BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pembahasan dalam bab-bab sebelumnya dapat diperoleh jawaban permasalahan yang diajukan dalam penelitian, masalah pertama diperoleh jawaban sebagai berikut; bahwa tahapan dan tindakan penanggulangan bencana yang dilakukan terhadap cagar budaya pada tahun 2009 di Kota Padang dinilai belum sesuai dengan manajemen kebencanaan cagar budaya. Hal itu ditunjukkan tidak adanya sinkronisasi antara yang di amanatkan UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, dan UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No PM.64/UM-001/MKP/2009 Tentang Pedoman Penanganan Tinggalan Purbakala Pasca bencana dan Managing Disaster Risk for World Heritage (manual) yang dikeluarkan UNESCO serta Guideline for Managing Post-Disaster Conservation of Heritage Buildings, Case Study Padang, West Sumatra (pedoman) oleh BPPI, masing-masing pihak berkerja sendiri-sendiri. Oleh karena itu, perlu sinkronisasi dan penyempurnaan, baik terhadap tahap pelaksanaan tindakan, dan manajemen kebencanaan cagar budaya. Proses sinkronisasi dan kesempurnaan pelaksanaan manajemen kebencanaan cagar budaya pada dapat dilaksanakan dengan perbandingan serta evaluasi, sehingga dapat menjawab permasalahan ke dua dari karya tulis ini. Di masa mendatang, melaksanakan penanganan bencana terhadap cagar budaya di Kota Padang, dapat menyempurnakan cara atau kerangka 153 manajemen kebencanaan cagar budaya yang secara garis besar tahapan serta tindakan tersebut diurai adalah sebagai berikut: 1) Pra bencana (a). Melakukan update regulasi tentang cagar budaya, (b). Melakukan update inventaris, (c). Penaksiran resiko ancaman terhadap bencana, (d). Pencegahan resiko bencana dan mitigasi berdasarkan hasil taksiran, (e). Menetapkan tim tanggap darurat bencana, dan (f). Menyiapan tindakan darurat bencana. 2) Saat tanggap darurat, (a). Melaksanakan rencana tindakan tanggap darurat, (b). Melakukan pencegahan dampak bencana, (c). Konseptualisasi, dan (d). Menjalankan aturan dan tanggungjawab tim khusu terhadap cagar budaya. 3) Pasca bencana, (a). Mencari tahu resiko setelah bencana, (b). Berkoordinasi dengan yang melakukan kegiatan serupa di lokasi yang sama, (c). Melakukan pendekatan dan mengkaji nilai identitas dan fungsi cagar budaya sebelum dilakukan restorasi, rekonstruksi dan revitaslisasi, (d). Mobilitas peralatan (e). Konservasi, dan (f). Meninjau kembali kebijakan atau legalitas serta kebijakan kebencanaan bila dibutuhkan. Aspek yang perlu diperbandingkan dalam manajemen kebencanaan cagar budaya adalah etika serta sumberdaya yang dimiliki oleh stakeholder di lokasi tempat cagar budaya, berada dalam menjalankan manajemen itu stakeholderpun harus melalui proses yang mencakup administrasi, teknis, serta evaluasi. Untuk ke tiga proses itu harus seimbang agar dapat dicapai tujuan baik pencegahan, maupun penanganan dan penanggulangan. Model yang diajukan, dapat digunakan dalam memahami sejauh mana potensi bencana yang ada di wilayah tersebut, cara pencegahannya, dan tindakan yang perlu dilakukan saat tanggap darurat, serta tindakan-tindakan yang juga diperlukan pada tahap pasca bencana. 154 Kerangka penanggulangan hasil penelitian ini yang telah disinkronkan dan disempurnakan, dapat digunakan untuk menentukan koordinasi, dalam melakukan evakuasi, penilaian cepat dan kebutuhan dilakukan. Hal yang perlu dijalankan adalah cara menentukan status kerusakan, distribusi peralatan pada lokasi bencana, serta menentukan tindakan pemugaran, sehingga kondisi minimal cagar budaya dapat kembali ke kondisi yang semula. 155