I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sumber daya kelautan Indonesia merupakan salah satu aset pembangunan yang penting dan memiliki peluang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi negara ini. Setidaknya terdapat tiga alasan utama yang mendasari hal tersebut. Pertama, secara fisik Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau dan 81.000 km garis pantai, dimana sekitar 70% wilayah teritorialnya berupa laut (Simanungkalit,1999). Kedua, di wilayah pesisir dan lautan yang sangat luas itu terdapat potensi pembangunan berupa aneka sumber daya alam yang belum dimanfaatkan secara optimal. Ketiga, seiring pertambahan jumlah penduduk dunia dan semakin menipisnya sumber daya pembangunan di daratan, permintaan terhadap produk dan jasa kelautan diperkirakan akan meningkat (Resosudarmo et al., 2000). Perairan laut seluas total 5,8 juta km2 (Berdasarkan Konvensi PBB tahun 1982), Indonesia menyimpan potensi sumber daya hayati dan non hayati yang melimpah (Simanungkalit, 1999). Salah satu potensi sumber daya hayati kelautan adalah sektor perikanan, dari 6,7 juta ton potensi perikanan, baru sekitar 65% yang dieksploitasi atau dimanfaatkan (Anonim, 1993). Ikan kerapu dan kakap, salah satu komoditas perikanan yang berpotensi bagi perkembangan dunia usaha, khususnya sebagai sumber pangan dan komoditas perdagangan di Indonesia dan dunia. Kerapu dan kakap mempunyai nilai ekonomi tinggi, harga yang mahal serta merupakan komoditas ekspor. Saat ini budidaya ikan kerapu dan kakap sudah berkembang, maka perlu ketersediaan benih secara kontinu. Usaha untuk mencukupi kebutuhan benih perlu adanya pembenihan, yang teknologinya sudah dapat diaplikasikan (Sugama et al., 2012). 1 Salah satu permasalahan dalam budidaya kerapu dan kakap adalah penyakit. Penyakit bakterial yang banyak ditemukan dalam budidaya kerapu baik perbenihan, pendederan, maupun pembesaran adalah Vibriosis. Vibriosis merupakan penyakit bakterial yang disebabkan oleh bakteri dari genus Vibrio. Vibrio tergolong ganas dalam menyerang kakap dan kerapu (Kordi, 2004). Infeksi Vibrio umumnya terjadi pada ikan air laut dan air payau, meskipun ada laporan mengenai infeksi Vibrio pada ikan air tawar (Irianto, 2005). Vibriosis biasanya muncul sebagai patogen primer ataupun bersifat sekunder (Koesharyani dan Zafran, 1997). Vibrio dominan sebagai penyebab sakit pada stadia pemeliharaan induk, larva, benih dan pembesaran ikan kerapu (Wijayanti dan Djunaidah, 2001). Beberapa Vibrio bersifat patogen dan dapat menimbulkan penyakit epizootik yang serius, namun beberapa spesies yang lain hanya bersifat patogen oportunis yang menimbulkan penyakit apabila ikan mengalami luka fisik, luka akibat parasit, dan stress. Nitimulyo et al., (2005) menyatakan bahwa bakteri dari genus Vibrio yang menyebabkan Vibriosis antara lain V.anguillarum, V.alginolyticus, V.ordalli, V.salmonicida, V.vulnivicus, V.damsela, V.carchariae, V.cholerae, V.harveyi, V.fluvialis, V.parahaemolyticus, V.metchnikovii dan V.furnisii. Beberapa spesies Vibrio patogen antara lain V.alginolyticus, V.anguillarum, V.charcariae, V.damsela, V.ordalli, dan V.vulnificus (Austin dan Austin, 1987). Selama ini identifikasi dan deteksi bakteri patogen dilakukan berdasarkan pengamatan gejala klinis, riwayat kejadian penyakit di lokasi budidaya, karakteristik morfologi, fisiologi, dan biokimia bakteri. Metode tersebut memiliki peran yang cukup penting sebagai studi awal, namun kurang dapat menentukan hubungan filogenitas bakteri dan ekspresinya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, batasan-batasan tersebut dapat dipecahkan dengan metode molekuler (Suwanto, 1994). 2 Metode identifikasi secara molekuler yang saat ini dikembangkan adalah melalui analisis DNA genom yang berbasis teknik PCR hingga sekuensing. Metode molekuler digunakan untuk mengidentifikasi dan mendeteksi patogen pada ikan berdasarkan amplifikasi gen-gen tertentu yang lebih spesifik seperti sekuen gen 16S rRNA (Conejero dan Hadreyeda, 2003). Pemanfaatan gen 16S rRNA telah digunakan sebagai parameter sistematik molekuler yang universal, representatif, dan praktis untuk mengkonstruksi kekerabatan filogenetik pada tingkat spesies (Case et al. 2007). 3 Perumusan Masalah 1. Apakah ada keragaman fenotipik penyebab Vibriosis pada ikan air laut di Batam dan Mataram ? 2. Apakah identifikasi Vibrio spp secara fenotip sesuai dengan identifikasi secara molekuler 3. Apakah perubahan histopatologi yang menciri pada organ ikan air laut yang terinfeksi secara alami oleh Vibrio? Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi secara fenotipik penyebab Vibriosis pada ikan air laut di wilayah Batam dan Mataram. 2. Menguji secara molekuler penyebab Vibriosis pada pada ikan air laut di wilayah Batam dan Mataram yang dibandingkan dengan di genbank 3. Mengetahui perubahan histopatologi organ akibat dari infeksi alami Vibrio. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi kepada pembudidaya ikan air laut tentang agen penyebab Vibriosis. 2. Memberikan informasi terkait dengan perubahan histopatologi organ ikan air laut yang terinfeksi secara alami oleh bakteri Vibrio. 4 Keaslian Penelitian Kajian mengenai bakteri penyebab Vibriosis pernah dilakukan pada udang (Nasi et al. (2007). Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah udang vannamei dan udang windu di wilayah Kendal Jawa Tengah. Deteksi Vibrio dengan menggunakan multiplex PCR (Kim dan Bang, 2008). Penelitian tersebut dilakukan di wilayah Korea Selatan dengan menggunakan isolat Vibrio yang berasal dari Korea Culture Center of Microorganism dan menggunakan primer 16S-23S. Penelitian mengenai agen penyebab Vibriosis dari kerapu bebek (Cromileptis altivelis) dari keramba jaring apung di Karimunjawa dan karakterisasi secara molekuler pernah dilakukan oleh Sarjito (2011). Penelitian yang akan dilakukan dikhususkan pada sampel yang berasal dari kerapu dan kakap putih di wilayah Batam dan Mataram, identifikasi secara fenotip dan genotip serta pemeriksaan histopatologi organ ikan yang terinfeksi secara alami oleh Vibrio. 5