BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pasar modal

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Pasar modal adalah salah satu alternatif yang dapat dimanfaatkan perusahaan
untuk memenuhi kebutuhan datanya. Perkembangan pasar modal di Indonesia telah
mendorong perusahaan-perusahaan untuk menjual sebagian sahamnya kepada
masyarakat. Banyaknya perusahaan yang go public mendorong para investor berhatihati sebelum mengambil keputusan investasi yang ada. Oleh karena itu, investor
harus terlebih dahulu menganalisis informasi akuntansi yang terdapat dalam laporan
keuangan. Pada perusahaan besar yang sahamnya dijual ke masyarakat, maka bursa
saham bisa merupakan indeks yang baik untuk mengukur tingkat efektivitas
perusahaan. Harga saham terpengaruh langsung dengan cepat oleh informasi yang
tersedia. Dalam laporan keuangan, terdapat analisis rasio keuangan yang ternyata
mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perubahan harga saham.
(Haryuningputri, 2012).
Sebelum melakukan investasi, para investor perlu mengetahui dan memilih
saham– saham mana yang dapat memberikan keuntungan paling optimal bagi dana
yang diinvestasikan. Dalam kegiatan analisis dan meMilih saham, para investor
memerlukan informasi – informasi yang relevan dan memadai melalui laporan
keuangan perusahaan. Sehubungan dengan hal itu, Bapepam melalui Keputusan
Ketua Bapepam No. Kep. 38/PM/1996 tentang laporan tahunan, telah mewajibkan
1
para emiten untuk menyampaikan laporan tahunan agar terdapat transparansi dalam
pengungkapan berbagai informasi yang berhubungan dengan kinerja emiten yang
bersangkutan melalui Keputusan Ketua Bapepam No. Kep. 38/PM/1996 tentang
laporan tahunan. (Wulandini, 2010).
Berdasarkan analisis rasio-rasio keuangan, para pemegang saham cenderung
akan menjual sahamnya jika rasio keuangan perusahaan tersebut buruk, dan
sebaliknya akan mempertahankan sahamnya jika rasio keuangan perusahaan tersebut
baik. Demikian juga dengan calon pemegang saham, jika rasio keuangan dari
perusahaan buruk, maka investor cenderung untuk tidak menginvestasikan
modalnya, sebaliknya jika rasio keuangan dari suatu perusahaan baik, maka investor
cenderung untuk menginvestasikan modalnya. Kecenderungan - kecenderungan dari
perlakuan pemegang saham maupun
calon pemegang saham atas analisis rasio
keuangan tersebut juga akan berpengaruh terhadap kecenderungan perubahan harga
saham di pasar modal. Hal ini disebabkan danya kelebihan permintaan dan kelebihan
penawaran atas saham yang ada dipasar modal. Hal tersebut berarti bahwa Earning
Per Share (EPS) yang termasuk rasio profitabilitas juga memberikan pengaruh
terhadap harga saham. (Wulandini, 2010)
Namun seiring dengan waktu, terlihat bahwa pengukuran dengan
menggunakan analisis rasio memiliki kelemahan, yaitu tidak memperhatikan biaya
modal dalam perhitungannya. Perhitunganini hanya melihat hasil akhir (laba
perushaan) tanpa memperhatikan risiko yang dihadapi perusahaan. Untuk
memperbaiki adanya kelemahan pada analisis rasio kemudian muncullah pendekatan
baru yang disebut Economic Value Added (EVA) dan Market Value Added (MVA).
2
EVA adalah nilai tambah yang diberikan oleh manajemen kepada pemegang saham
selama satu tahun tertentu, sedangkan MVA adalah perbedaan antara nilai pasar
nilai ekuitas dan nilai buku. (Brigham dan Houston, 2010).
Penelitian yang sama tentang EVA juga dilakukan oleh Siswa (2011) untuk
mengetahui pengaruh dari ROE, EVA dan EPS terhadap Return Saham, penemuan
ini membuktikan bahwa ROE, EVA, dan EPS berpengaruh signifikan terhadap return
saham. Metode ini digunakan karena banyak terdapat kelemahan – kelemahan dan
ketidakpastian dalam pengukuran kinerja tradisional, sehingga para ahli dan
akademis mencoba untuk mengembangkan konsep baru dalam pengukuran kinerja.
Fenomena yang membuat EVA berbeda dengan perhitungan konvensional lain
adalah digunakannya biaya modal dalam perhitungannya, yang tidak dilakukan
dalam perhitungan konvensional.
EVA merupakan ukuran kinerja keuangan yang paling baik untuk
menjelaskan economic profitsuatu perusahaan, dibandingkan dengan ukuran yang
lain. EVA juga merupakan ukuran kinerja yang berkaitan langsung dengan
kemakmuran pemegang saham sepanjang waktu. Pada dasarnya EVA mengukur nilai
tambah dalam suatu periode tertentu. Nilai tambah ini tercipta apabila perusahaan
memperoleh keuntungan di atas biaya modal perusahaan. Kondisi EVA yang positif
mencerminkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi daripada tingkat biaya modal.
EVA yang positif menunjukkan kemampuan manajemen dalam menciptakan
peningkatan nilai kekayaan perusahaan / pemilik modal, dan sebaliknya. EVA
negatif menyiratkan adanya penurunan nilai kekayaan. Suatu perusahaan publik yang
menghasilkan nilai EVA yang negatif meskipun mampu membukukan laba bersih
3
yang tinggi sekalipun, berarti perusahaan ini belum mampu menghasilkan tingkat
pengembalian modal yang sepadan untuk menutup resiko dan biaya investasi yang
ditanamkan pemilik modal.
Menurut McDaniel, Gadkari dan Fiksel yang dikutip oleh Shalihah (2001)
ada tiga hal yang membedakan EVA dengan tolak ukur keuangan yang lain yaitu :
(1) EVA tidak dibatasi oleh prinsip akuntansi yang berlaku umum. Pengguna EVA
bisa menyesuaikan dengan spesifik, (2) EVA dapat mendukung setiap keputusan
dalam sebuah perusahaan, mulai dari investasi modal, kimpensasi karyawan dan
kinerja unit bisnis, (3) Struktur EVA yang relatif sederhana membuatnya bisa
digunakan oleh bagian engineering, environmental dan personil lain sebagai alat
yang umum untuk mengkomunikasikan aspek yang berbeda dari kinerja keuangan.
Rasio profitabilitas adalah salah satu cara untuk menilai secara tepat sejauh
mana tingkat pengembalian yang akan didapat dari aktivitas investasinya. Jika
kondisi perusahaan dikategorikan menguntungkan atau menjanjikan keuntungan di
masa mendatang maka banyak investor yang akan menanamkan dananya untuk
membeli saham tersebut. Dan hal itu tentu saja mendorong harga saham naik menjadi
lebih tinggi. (Agustina, 2012)
Tingkat profitabilitas perusahaan dapat diukur dari beberapa aspek, yaitu
berdasarkan ROS (Return on Sales), EPS (Earning Per Share), ROA (Return on
Asset), ROE (Return on Equity) dan BEP (Basic Earning Power). Untuk mengukur
seberapa efektif perusahaan yang beroperasi sehingga menghasilkan keuntungan atau
mencapai tujuan profit keseluruhan, terutama dalam hubungannya dengan sumbersumber yang diinvestasikan digunakan rasio profitabilitas yang terdiri dari ROA, dan
4
ROE. Rasio ROA digunakan untuk mengukur kemampuan. perusahaan menghasilan
laba bersih berdasarkan tingkat aset tertentu. Nilai rasio ROA yang positif
menunjukkan bahwa dari total aktiva yang
dipergunakan untuk
beroperasi
perusahaan mampu memberikan laba bagi perusahaan. Sebaliknya apabila ROA
yang negatif menunjukkan bahwa dari total akiva yang dipergunakan, perusahaan
mendapatkan kerugian. Rasio ROE mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan
laba berdasarkan modal saham tertentu. Rasio ini merupakan ukuran profitabilitas
dari sudut pandang pemegang saham. Semakin besar ROE mencerminkan
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi pemegang
saham.
Wirawan (2011) melakukan penelitian terhadap perusahaan yang tergabung
dalam Indeks LQ45 di Bursa Efek Indonesia dengan menguji variabel EVA, Spread
EVA, EVA Momentum, dan ROA terhadap return saham. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa EVA Spread dan ROA memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap pengembalian saham sedangkan EVA dan EVA Momentum tidak memiliki
pengaruh signifikan terhadap pengembalian saham.
Seorang investor selalu mengharapkan profit dalam investasinya, maka
dariitu rasio pertumbuhan profitabilitas perusahaan juga menjadi hal yang
diperhatikan investor. Salah satu rasio profitabilitas yang terdapat dalam laporan
keuangan adalah Return On Equity. Nurmalasari dalam Hutami (2012) menyatakan
bahwa ROE merupakan salah satu alat utama investor yang paling sering digunakan
dalam menilai suatu saham. “ROE merupakan suatu pengukuran dari penghasilan
(income) atas modal yang diinvestasikan dalam perusahaan”. (Syamsuddin, 2011).
5
ROE mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan income berdasarkan
modal tertentu. Kenaikan ROE menandakan meningkatnya kinerja manajemen dalam
mengelola sumber dana yang ada untuk menghasilkan laba. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Chrisna dalam Hutami (2012) bahwa kenaikan ROE akan diikuti
kenaikan harga saham karena ROE yang tinggi menunjukkan baiknya tingkat
efisiensi penggunaan modal sendiri untuk menghasilkan keuntungan bagi pemegang
saham. Sunardi (2010) melakukan penelitian pada perusahaan yang tergabung dalam
indeks LQ 45 di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode Agustus 2008 - Januari 2009
dengan menguji pengaruh variabel ROI dan EVA terhadap return saham. Hasilnya
adalah variabel ROI dan EVA tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap return
saham.
EPS merupakan salah satu indikator keberhasilan perusahaan, sehingga EPS
yang tinggi akan menarik minat investor Syamsuddin, (2011). Menurut Widoatmodjo
dalam Priatina (2012), EPS sangat berpengaruh terhadap harga saham. Semakin
tinggi EPS maka akan semakin mahal suatu saham, karena EPS merupakan salah
satu bentuk rasio keuangan untuk menilai kinerja perusahaan.
EPS menunjukkan laba bersih perusahaan yang siap dibagikan kepada
pemegang saham. Nilai EPS saat ini akan dibandingkan dengan nilai EPS tahun
sebelumnya pada kuartal yang sama. Jika EPS menunjukkan trend yang positif, maka
harga saham akan meningkat. Widoatmodjo dalam Priatina (2012) menyatakan
bahwa EPS dapat digunakan untuk menilai baik atau tidaknya kinerja perusahaan,
sehingga semakin tinggi EPS akan semakin mahal suatu saham. Hal tersebut
didukung oleh teori Syamsuddin (2011) bahwa investor tertarik dengan nilai EPS
6
yang besar, sehingga meningkatnya nilai EPS akan meningkatkan harga saham. Hal
serupa juga dinyatakan Anggara (2011) , dan Suroto (2012) bahwa variabel EPS
berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga saham.
Sulasti (2012) telah melakukan penelitian perusahaan yang tergabung dalam
Indeks LQ45 di Bursa Efek Indonesia periode tahun 2008 hingga 2010 dengan
menguji variabel EVA, ROA, ROE, EPS, dan EVA Momentum terhadap perubahan
harga saham. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa secara simultan variabel
EVA, ROA, ROE, EPS, dan EVA Momentum tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap perubahan harga saham. Secara parsial, hanya variabel EPS yang
berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan harga saham.
Basic earning power (BEP) merupakan rasio yang menunjukkan kemapuan
dasar untuk menghasilkan laba dari aktiva-aktiva perusahaan, sebelum ada pengaruh
dari pajak dan leverage, dan angka ini akan bermanfaat dalam membandingkan
perusahaan-perusahaan dengan berbagai situasi pajak dan tingkat pengungkitan
keuangan yang berbeda-beda. Hubungan antara BEP dengan harga saham adalah
karena perusahaan mempunyai dasar earning untuk menghasilkan laba, maka kinerja
perusahaan itu bisa meningkat lebih baik. Apabila kinerja perusahaan semakin
meningkat, maka nilai perusahaan juga semakin meningkat yang akan diikuti dengan
peningkatan harga saham perusahaan.
Hal menarik yang menyebabkan penelitian ini dilakukan adalah tentang
pengaruh rasio-rasio profitabilitas dan EVA terhadap harga saham di masa depan.
Apabila terjadi peningkatan profitabilitas akan dianggap sebagai sinyal positif yang
berarti perusahaan mempunyai prospek yang baik, sehingga menimbukan reaksi
harga saham yang positif. Sebaliknya, jika terjadi penurunan profitabilitas dan EVA
7
akan dianggap sebagai sinyal negatif yang berarti tidak baik, sehingga menimbulkan
reaksi harga saham yang negatif.
Penelitian ini bermaksud mereplika penelitian Sasongko dan Wulandari
(2006) dengan periode berbeda penelitian yang berbeda. Adapun persamaan dan
perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang yaitu adanya
perbedaan periode pengamatan, penelitian terdahulu menggunakan periode
pengamatan dari tahun 2001 sampai 2002, sedangkan penelitian sekarang tahun 2011
sampai 2012. Dan persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah
menggunakan variabel yang sama.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini
mengambil judul “Pengaruh EVA dan rasio-rasio profitabilitas terhadap harga
saham (studi perusahaan manufaktur periode tahun 2011 - 2012 yang terdaftar
di BEI)”.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi pertanyaan penelitian dalam
penelitian ini antara lain:
1. Apakah ROA (Return On Asset) berpengaruh terhadap harga saham
perusahaan manufaktur di BEI?
2. Apakah ROE (Return On Equity) berpengaruh terhadap harga saham
perusahaan manufaktur di BEI?
3. Apakah ROS (Return On Sales) berpengaruh terhadap harga saham
perusahaan manufaktur di BEI ?
8
4. Apakah EPS
(Earning Per Share) berpengaruh terhadap harga saham
perusahaan manufaktur di BEI ?
5. Apakah BEP
(Basic Earning Power) berpengaruh terhadap harga saham
perusahaan manufaktur di BEI ?
6. Apakah EVA (Economic Value Added) berpengaruh terhadap harga saham
perusahaan manufaktur di BEI ?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Untuk menguji secara empiris pengaruh ROA (Return On Asset) terhadap
harga saham perusahaan manufaktur di BEI.
2. Untuk menguji secara empiris pengaruh ROE (Return On Equity) terhadap
harga saham perusahaan manufaktur di BEI.
3. Untuk menguji secara empiris pengaruh ROS (Return On Sales) terhadap
harga saham perusahaan manufaktur di BEI.
4. Untuk menguji secara empiris pengaruh (Earning Per Share) terhadap harga
saham perusahaan manufaktur di BEI.
5. Untuk menguji secara empiris pengaruh BEP
(Basic Earning Power)
terhadap harga saham perusahaan manufaktur di BEI.
6. Untuk menguji secara empiris pengaruh EVA (Economic Value Added)
terhadap harga saham perusahaan manufaktur di BEI.
1.4
Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah untuk :
9
1. Bagi penulis
Penelitian ini merupakan pelatihan intelektual, yang diharapkan depat
mempertajam daya pikir ilmiah serta meningkatkan kompetensi keilmuan
dalam disiplin ilmu yang digeluti. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan untuk menambah pengetahuan dan bahan bacaan bagi pihak yang
membutuhkan dan diharapkan dapat menambah refrensi perpustakaan.
2. Bagi Akademisi
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi investor dalam
melakukan invetasi saham dengan melihat kondisi perusahaan melalui rasio
keuangan, khususnya melalui rasio ROA, ROE, ROS, EPS, BEP dan EVA.
2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembang, ilmu ekonomi serta rujukan penelitian berikutnya tentang
pengaruh rasio profitabilitas dan EVA terhadap harga saham.
1.5
Sistematika Penulisan
Penelitian disusun dengan sistematika secara berurutan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
10
Bab II Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi mengenai teori karakteristik pasar modal dan analisis
rasio sebagai landasan teori yang kemudian terbentuk kerangka
konseptual dan hipotesis penelitian.
Bab III Metodologi Penelitian
Bab ini membahas mengenai variabel penelitian dan definisi
operasional variabel, populasi dan sampel, jenis dan sumber data,
metode pengumpulan data, dan metode analisis yang digunakan.
Bab IV Hasil Dan Pembahasan
Bab ini menjelaskan tentang deskripsi objek penelitian, yaitu variabel
dan sampel yang digunakan dalam penelitian. Selain itu, bab ini berisi
tentang analisis data dan cara pembahasan.
Bab V Penutup
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari penelitian yang telah berhasil
dilakukan dan saran – saran yang diberikan untuk penelitian
selanjutnya.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Telaah Teori
2.1.1 Pengertian Pasar Modal
Secara umum, pasar modal adalah tempat atau sarana bertemunya antara
permintaan dan penawaran atas instrumen keuangan jangka panjang, umumnya lebih
dari 1 (satu) tahun. Hukum mendefinisikan pasar modal sebagai kegiatan yang
bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang
berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan
dengan efek. (Samsul, 2006).
Menurut Samsul, (2006), tujuan dan manfaat pasar modal dapat dilihat dari 3
sudut pandang, yaitu :
1. Sudut Pandang Negara
Pasar modal dibangun dengan tujuan menggerekkan perekonomian suatu negara
melalui kekuatan swasta dan mengurangi beban negara. Negara memiliki kekuatan
untuk mengatur bidang perekonomian tetapi tidak harus memiliki perusahaan
sendiri.
Jika kegiatan ekonomi dapat dilaksanakan oleh pihak swasta, maka negara tidak
perlu ikut campur agar tidak membuang -
buang biaya. Akan tetapi, negara
mempunyai kewajiban membuat perundang – undangan agar pihak swasta dapat
bersaing dengan jujur dengan dan tidak terjadi monopoli. Suatu perusahaan yang
menyangkut kehidupan publik dan keamanan negara juga dapat dimiliki serta
dioperasikan oleh pihak swasta, tetapi negara mempunyai kekuasaan untuk membuat
12
perundangan yang ketat tentang pelaksanaan produksi, penjualan, tenaga kerja,
kerahasiaan dan lain sebagainya.
2. Sudut Pandang Emiten
Pasar modal merupakan sarana untuk mencari tambahan modal. Perusahaan
berkepentingan untuk mendapatkan dana dengan biaya yang lebih murah dan hal itu
hanya bisa diperoleh di pasar modal. Modal pinjaman dalam bentuk obligasi jauh
lebih murahdaripada kredit jangka panjang perbankan. Meningkatkan modal sendiri
jauh lebih baik daripada meningkatkan modal pinjaman, khususnya untuk
menghadapi persaingan yang semakin tajam di era globalisasi. Perusahaan yang pada
awalnya memiliki utang lebih tinggi daripada modal sendiri dapat berbalik memiliki
modal sendiri yang lebih tinggi daripada utang apabila memasuki pasar modal. Jadi
pasar modal merupakan sarana untuk memperbaiki struktur permodalan perusahaan.
3. Sudut Pandang Masyarakat
Masyarakat memiliki sarana baru untuk menginvestasikan uangnya. Investasi
yang semula dilakukan dalam bentuk deposito, emas, tanah atau rumah sekarang
dapat dilakukan dalam bentuk saham dan oblgasi. Jika investasi dalam bentuk rumah
atau tanah butuh uang ratusan juta rupiah, maka investasi dalam bentuk efek dapat
dilakukan dengan dana dibawah RP. 5 juta.
Jadi pasar modal merupakan sarana yang baik untuk melakukan investasi dalam
jumlah yang tidak terlalu besar bagi kebanyakan masyarakat. Jika pasar modal
berjalan dengan baik, jujur, pertumbuhannya stabil dan harganya tidak terlalu
bergejolak, maka sarana itu akan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat. Akan
tetapi, dalam kenyataannya pasar modal di Indonesia jatuh bangun, banyakterjadi
13
penipuan harga, dan ada kasus Bank, serta banyaknya emiten yang dikeluarkan dari
bursa sehingga mencerminkan bahwa pasar modal tidak dikelola dengan baik.
Pasar modal adalah salah satu alternatif yang dapat dimanfaatkan perusahaan
untuk memenuhi kebutuhan dananya. Perkembangan pasar modal di Indonesia telah
mendorong perusahaan-perusahaan untuk menjual sebagian sahamnya kepada
masyarakat. Banyaknya perusahaan yang go public mendorong para investor berhatihati sebelum mengambil keputusan investasi yang ada. Oleh karena itu, investor
harus terlebih dahulu menganalisis informasi akuntansi yang terdapat dalam laporan
keuangan. Pada perusahaan besar yang sahamnya dijual ke masyarakat, maka bursa
saham bisa merupakan indeks yang baik untuk mengukur tingkat efektivitas
perusahaan Jasa–jasa perbankan memang lebih dahulu dalam membangun
perekonomian negara. Sejalan dengan eksistensi yang telah diakui dan dimanfaatkan
oleh masyarakat maupun pemerintah, dana perbankan tumbuh meningkat dalam
setiap tahun. Baik perbankan maupun pasar modal, keduanya adalah lembaga–
lembaga yang bahu membahu. Dinegara yang telah mapan, kedua lembaga ini sangat
diperlukan kehadirannya dalam mejalankan peranan memobilitas dana untuk
pembangunan. Karena itu negara yang telah berkembang mengusahakan kehadiran
pasar modal. Pakarti dan Anoraga, (2001).
Pemain saham atau investor perlu memiliki sejumlah informasi yang
berkaitan dengan dinamika harga saham agar dapat mengambil keputusan tentang
saham perusahaan yang layak untuk dipilih. Para emiten, melihat bahwa pencarian
dana melalui pasar modal merupakan pilihan pembiayaan yang lain, kemudian
14
mereka memanfaatkan kesempatan ini dengan mengeluarkan saham dan atau
obligasi. Semakin efisien dan efektif pengelolan pasar modal, maka semakin banyak
pula para calon emiten yang berdatangan ke pasar modal, berarti hal ini sekaligus
pula memperbaiki posisi quitas-nya dan pada akhirnya akan memperkuat daya saing
di industri dimana ia terlibat. Dengan adanya pasar modal, maka perusahaan –
perusahaan akan lebih mudah memperoleh dana sehingga kegiatan - kegiatan
ekonomi di berbagai sektor dapat ditingkatkan. Terjadinya peningkatan kegiatan
ekonomi akan menciptakan dan mengembangkan lapangan kerja yang luas, dengan
sendirinya dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sehingga secara
langsung dapat berpengaruh dalam mengurangi jumlah pengangguran. (Pakarti dan
Anoraga, 2001).
2.1.2 Pengertian Saham
Saham adalah tanda bukti memiliki perusahaan di mana pemiliknya disebut
juga sebagai pemegang saham. Bukti bahwa seseorang atau suatu pihak dapat
dianggap sebagai pemegang saham adalah apabila mereka sudah tercatat sebagai
pemegang saham dalam buku yang disebut Daftar Pemegang Saham (DPS). Pada
umumnya, DPS disajikan beberapa hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham di
selenggarakan dan setiap pihak dapat melihat DPS tersebut. Bukti bahwa seseorang
adalah pemegang saham juga dapat dilihat pada halaman belakang lembar saham
apakah namanya sudah diregistrasi oleh perusahaan atau belum. (Samsul, 2006).
Menurut Riyanto, (2001) dalam “Dasar-dasar Pembelajaran Perusahaan” :
“Saham adalah tanda bukti pengambilan bagian atau peserta dalam suatu peseroan
terbatas (PT).”
15
Dalam transaksi jual dan beli di Bursa Efek, saham merupakan instrumen
yang paling dominan diperdagangkan. Menurut Samsul, (2006), ada beberapa jenisjenis saham yaitu :
1. Saham preferen (preferred stock) adalah jenis saham yang memiliki hak
terlebih dahulu untuk menerima laba dan memiliki hak laba kumulatif.
Hak kumulatif adalah hak untuk mendapatkan laba yang tidak dibagikan
pada suatu tahun yang mengalami kerugian, tetapi akan dibayar pada
tahun yang mengalami kerugian, sehingga saham preferen akan akan
menerima laba dua kali. Hak istimewa ini diberikan kepada pemegang
saham preferen karena merekalah yang memasok dana ke perusahaan
sewaktu mengalami kesulitan keuangan.
2. Saham biasa (common stock) adalah jenis saham yang akan menerima
laba setelah laba bagian saham preferen dibayarkan. Apabila perusahaan
bangkrut, maka pemegang saham biasa yang menderita terlebih dahulu.
Penghitungan indeks harga saham didasarkan pada harga saham biasa.
Hanya pemegang saham biasa yang mempunyai suara dalam RUPS.
2.1.3 Analisis Fundamental
Analisis fundamental adalah teknik yang mencoba memperkirakan harga
saham di masa yang akan datang dengan cara mengestimasi nilai faktor-faktor
fundamental yang mempengaruhi harga saham di masa yang akan datang, dan
menerapkan hubungan variable-variabel tersebut sehingga diperoleh taksiran harga
saham. (Suad Husnan, 2001).
16
Menurut Samsul, (2006) dalam “Pasar Modal dan Manajemen Portofolio”,
dalam analisis fundamental, yang dijadikan dasar perkiraan harga (intrinsic value)
adalah faktor - faktor fundamental seperti laporan keuangan, informasi penting lain
yang sewaktu – waktu harus diumumkan perusahaan publik dan perkembangan
ekonomi makro, maupun berita dalam bidang – bidang lain seperti politik, sosial,
cuaca yang dianggap perlu, semuanya selama paling tidak dua tahun terakhir.
Analisis fundamental adalah suatu metode analisis yang menggunakan data
ekonomi, seperti data produksi, konsumsi dan pendapatan rumah tangga untuk
meramalkan pergerakan harga. Samsul, (2006). Analisis faktor fundamental
didasarkan pada analisis keuangan yang tercermin dalam rasio-rasio keuangan yang
terdiri dari lima rasio diantaranya yaitu, rasio likuiditas, rasio rentabilitas
(profitabilitas), rasio solvabilitas, rasio pasar dan rasio aktivitas.
Penelitian ini menggunakan Teori Sinyal (Signaling Theory). Teori sinyal
menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai dorongan untuk memberikan
informasi laporan keuangan pada pihak eksternal. Teori sinyal mengemukakan
tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada
pengguna laporan keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah
dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat
berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut
lebih baik daripada perusahaan lain. (Sari dan Zuhrohtun, 2006).
Ada dua pendekatan fundamental yang digunakan yang umumnya digunakan
dalam melakukan penilaian saham, yaitu pendekatan laba (Price earning ratio) dan
pendekatan nilai sekarang (Present Value Approuch) :
1. Penilaian saham dengan pendekatan laba (Price Earning Ratio)
17
Rasio ini sering digunakan oleh analis saham untuk menilai harga saham.
Pada dasarnya PER memberikan indikasi tentang jangka waktu yang diperlukan
untuk mengembalikan dana pada tingkat harga saham dan keuntungan perusahaan
pada suatu periode tertentu. (Abdul Halim, 2003).
Menurut Abdul Halim dalam bukunya yang berjudul “Analisis Investasi “
menganggap bahwa: “Price Earning Ratio (PER) adalah perbandingan antara harga
pasar saham dengan Earning per share.
Rumus untuk menghitung PER adalah sebagai berikut:
Harga Saham
PER
=
Earning per lembar saham
Disamping itu, PER juga merupakan ukuran harga relatif dari sebuah saham
perusahaan. Rumus untuk menghitung PER adalah sebagai berikut:
D₁ / E₁
PER =
k-g
Dimana :
D1/ E1 = rasio pembayaran dividen (dividen payout ratio)
k = tingkat return yang diisyaratkan
g = tingkat pertumbuhan dividen yang diharapkan
2. Pendekatan nilai sekarang (Present value)
18
Dalam pendekatan ini nilai suatu saham diestimasikan dengan cara
merekapitulasi pendapatan, sehingga pendekatan ini disebut juga capitalization
income method. Nilai sekarang suatu saham adalah sama dengan nilai sekarang dari
arus kas dimasa yang akan datang yang investor harapkan diterima dari investasi
pada saham tersebut.
Menurut Riyanto, (2001), Present Value dimaksudkan untuk menghitung
besarnya jumlah uang pada permulaan periode atas dasar tingkat bunga tertentu dari
suatu jumlah yang akan diterima beberapa waktu kemudian.
Dengan demikian apabila “nilai majemuk” menghitung jumlah akhir pada
akhir periode dari sejumlah uang yang dimiliki sekarang atas dasar tingkat bunga
tertentu. “Nilai sekarang” menghitung nilai pada waktu sekarang jumlah uang yang
baru akan dimiliki beberapa waktu kemudian. Dengan demikian maka cara
menghitung “present value”, adalah sebaliknya dari cara menghitung “compound
value”, dengan rumus. (Riyanto, 2001) :
PV = FV ( 1 + r ) ^ - n
Keterangan :
FV = ( Future value ( nilai pada akhir tahun ke n )
PV = ( Nilai sekarang ( nilai pada tahun ke 0 )
r = Suku bunga
n = Waktu ( tahun )
^ = tanda pangkat
19
Dalam metode ini deviden digunakan sebagai dasar model analisis.
Asumsinya adalah bahwa hanya deviden dapat diterima secara langsung dari
perusahaan sehingga deviden merupakan arus kas yang diharapkan dapat diterima
setiap tahun pada masa yang akan datang.
2.1.4
Analisis Rasio
Menurut Irawati, (2006), analisis rasio keungan didefenisikan sebagai,
analisis rasio keuangan adalah suatu teknik analisis dalam bidang keuangan yang
dimanfaatkan sebagai alat ukur kondisi – kondisi keuangan suatu perusahaan dalam
periode tertentu, ataupun hasil - hasil usaha dari suatu perusahaan pada satu periode
tertentu dengan jalan membandingkan dua variabel yang diambil dari laporan
keuangan perrusahaan, baik daftar neraca maupun rugi – laba.
Sedangkan menurut Harahap, (2004), rasio keuangan adalah angka yang
diperoleh dari hasil perbandingan dari satu pos laporan keuangan dengan pos lainnya
yang mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan.
Dengan rasio keuangan para pemakai laporan keuangan dapat dengan mudah
mengartikan informasi yang menggambarkan hubungan antara pos tertentu dengan
pos lainnya. Analisis rasio ini dibagi dalam lima macam yaitu :
1. Rasio likuiditas yaitu rasio yang mengukur kemampuan perusahaan untuk
memenuhi kewajiban financial jangka pendek.
2. Rasio leverage atau rasio utang adalah rasio yang digunakan
untuk
mengukur seberapa jauh aktiva perusahaan dibiayai utang atau dibiayai
oleh pihak luar.
20
3. Rasio aktivitas yaitu rasio yang mengukur seberapa efektif perusahaan
menggunakan sumber daya yang dimiliki. Atau dengan kata lain, sejauh
mana efisiensi perusahaan dalam menggunakan asset untuk memperoleh
penjualan.
4. Rasio profitabilitas yaitu rasio yang mengukur seberapa besar
kemampuan perusahaan memperoleh laba baik dalam hubungannya
dengan penjualan, assets maupun laba dan modal sendiri.
5. Rasio saham yaitu rasio yang menunjukkan bagian dari laba perusahaan,
deviden dan modal yang dibagikan pada setiap saham.
2.1.5
Variabel Penelitian
2.1.5.1 Harga Saham
Harga saham di bursa efek akan ditentukan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran. Pada saat permintaan saham meningkat, maka harga saham tersebut akan
cenderung meningkatkan. Sebaliknya, pada saat banyak orang menjual saham, maka
harga saham tersebut cenderung akan mengalami penurunan.(Pakarti dan Anoraga,
2001).
Pengertian harga saham menurut Sartono, (2001) dalam bukunya yang berjudul
“Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi” adalah : “Harga saham adalah nilai
dimana orang bersedia membayar untuk setiap lembar sahamnya”.
Sedangkan menurut Jogiyanto, (2007) dalam “Teori Portofolio dan Analisis
Investasi” : “Harga saham merupakan harga saham yang terjadi di pasar bursa pada
saat tertentu yang ditentukan oleh pelaku pasar. Nilai pasar ini ditentukan oleh
permintaan dan penawaran saham yang bersangkutan di pasar bursa”.
21
Menurut Weston dan Brigham, (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi harga
saham adalah :
1. Laba per lembar saham (Earning Per Share/EPS)
Seorang investor yang melakukan investasi pada perusahaan akan menerima laba
atas saham yang dimilikinya. Semakin tinggi laba per lembar saham (EPS) yang
diberikan perusahaan akan memberikan pengembalian yang cukup baik. Ini akan
mendorong investor untuk melakukan investasi yang lebih besar lagi sehingga harga
saham perusahaan akan meningkat.
2. Tingkat Bunga
Tingkat bunga dapat mempengaruhi harga saham dengan cara :
a. Mempengaruhi persaingan di pasar modal antara saham dengan obligasi, apabila
suku bunga naik maka investor akan menjual sahamnya untuk ditukarkan dengan
obligasi. Hal ini akan menurunkan harga saham. Hal sebaliknya juga akan terjadi
apbila tingkat bunga mengalami penurunan.
b. Mempengaruhi laba perusahaan, hal ini terjadi karena bunga adalah biaya,
semakin tinggi suku bunga maka semakin rendah laba perusahaan. Suku bunga juga
mempengaruhi kegiatan ekonomi yang juga akan mempengaruhi laba perusahaan.
3. Jumlah Kas Deviden yang Diberikan
Kebijakan pembagian deviden dapt dibagi menjadi dua, yaitu sebagian dibagikan
dalam bentuk deviden dan sebagian lagi disisihkan sebagai laba ditahan. Sebagai
salah satu factor yang mempengaruhi harga saham, maka peningkatan pembagian
deviden merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kepercayaan dari pemegang
22
saham karena jumlah kas deviden yang besar adalah yang diinginkan oleh investor
sehingga harga saham naik.
4. Jumlah laba yang didapat perusahaan
Pada umumnya, investor melakukan investasi pada perusahaan yang mempunyai
profit yang cukup baik karena menunjukan prospek yang cerah sehingga investor
tertarik untuk berinvestasi, yang nantinya akan mempengaruhi harga saham
perusahaan.
5. Tingkat Resiko dan Pengembalian
Apabila tingkat resiko dan proyeksi laba yang diharapkan perusahaan meningkat
maka akan mempengaruhi harga saham perusahaan. Biasanya semakin tinggi resiko
maka semakin tinggi pula tingkat pengembalian saham yang diterima.
2.1.5.2 Return on Assets (ROA)
Rasio laba bersih terhadap total aktiva mengukur pengembalian atas total aktiva
(ROA) adalah bunga dan pajak. (Brigham Houston, 2001). Rasio ini mengukur
tingkat
pengembalian
investasi
yang
telah
dilakukan
perusahaan
dengan
menggunakan seluruh aktiva yang dimiliknya. Semakin tinggi ROA semakin tinggi
keuntungan. Semakin tinggi keuntungan yang dihasilkan perusahaan akan
menjadikan investor tertarik akan nilai saham.
Return on Assets (ROA) merupakan rasio laba bersih terhadap total aset
mengukur pengembalian atas total aset setelah bunga dan pajak. (Brigham dan
Houston, 2010).
23
2.1.5.3 Return on Equity (ROE)
Rasio laba bersih terhadap ekuitas saham biasa mengukur pengembalian atas
ekuitas saham biasa (return on common equity atau ROE), atau tingkat pengembalian
atas investasi pemegang saham. (Brigham Houston, 2001). Return on equity
merupakan suatu pengukuran dari penghasilan (income) yang tersedia bagi para
pemilik perusahaan (baik pemegang saham biasa maupun pemegang saham preferen)
atas modal yang mereka investasikan di dalam perusahaan.
Definisi rentabilitas modal sendiri (ROE) menurut Riyanto, (2001) sebagai
berikut : Return On Equity adalah perbandingan antara jumlah profit yang tersedia
bagi pemilik modal sendiri di satu pihak dengan jumlah modal sendiri yang
menghasilkan laba tersebut di lain pihak. Atau dapat dikatakan bahwa rentabilitas
modal sendiri adalah kemampuan suatu perusahaan dengan modal sendiri yang
bekerja di dalamnya untuk menghasilkan keuntungan.
Sawir, (2001) mendefinisikan Return on Equity atau Tingkat Pengembalian
Ekuitas pemilik sebagai berikut : Adalah rasio yang memperlihatkan sejauh manakah
perusahaan mengelola modal sendiri (Networth) secara efektif mengukur tingkat
keuntungan dari investasi yang telah dilakukan pemilik modal sendiri atau pemegang
saham.
2.1.5.4 Return on Sales (ROS)
Return on Sales atau disebut juga Net Profit Margin adalah rasio yang digunakan
untuk menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan bersih
setelah dipotong pajak. Marjin laba atas penjualan (profit margin on sales), dihitung
24
dengan membagi laba bersih dengan penjualan, akan memberikan laba per dolar
penjualan. (Brigham Houston, 2001).
Net Profit Margin merupakan rasio antara laba bersih (net profit) yaitu penjualan
sesudah dikurangi dengan seluruh expenses termasuk pajak dibandingkan dengan
penjualan. Semakin tinggi net profit margin, semakin baik operasi suatu perusahaan.
Suatu net profit margin yang dikatakan baik akan sangat tergantung dari jenis
industri di dalam mana perusahaan berusaha. (Lukman Syamsuddin, 2004).
Net Profit Margin adalah rasio yang digunakan untuk menunjukkan kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan keuntungan bersih setelah dipotong pajak.
(Alexandri, 2008).
2.1.5.5 Earning Per Share (EPS)
Menurut Sartono, (2001) dalam buku yang berjudul “Manajemen Keuangan
Teori Dan Aplikasi”, menjelaskan bahwa kemakmuran pemegang saham akan
meningkat apabila harga saham yang dimilikinya meningkat. Sementara itu, harga
saham itu terbentuk di pasar modal dan ditentukan oleh beberapa faktor seperti laba
per lembar saham atau earning per share.
Apabila Earning Per Share (EPS) suatu perusahaan tidak memenuhi harapan
pemegang sahamnya, maka keadaan ini akan berdampak pada penurunan harga
saham. Tetapi, selama perusahaan tersebut dapat memelihara kepercayaan investor
dengan meningkatkan labanya atau mempertahankannya maka keadaan tersebut
cenderung akan membaik.
EPS adalah besarnya pendapatan setelah bunga dan pajak yang tersedia untuk
pemegang saham dibagi jumlah saham beredar. (Munawir, 2002).
25
2.1.5.6 Basic Earning Power (BEP)
Basic earning power ratio (rasio BEP) dihitung dengan membagi laba sebelum
bunga dan pajak (EBIT) dengan total aktiva. Rasio ini menunjukkan kemampuan
menghasilkan laba dari aktiva perusahaan sebelum pengaruh pajak serta leverage,
dan hal ini sangat berguna untuk membandingkan perusahaan dengan situasi pajak
yang berbeda dan tinggi leverage keuangan yang berbeda. (Brigham Houston, 2001).
Basic Earning Power (BEP) diperoleh dengan membagi laba bersih sebelum
bunga dan pajak dengan total aktiva. Semakin besar nilai BEP mengindikasikan
bahwa perusahaan telah dapat bekerja dengan efisien karena efisiensi baru dapat
diketahui dengan membandingkan laba yang diperoleh dengan kekayaan atau modal
untuk menghasilkan laba tersebut.
Menurut Brigham dan Houston, (2010), menjelaskan Basic Earning Power
merupakan rasio kemampuan dasar untuk menghasilkan laba (basic earning power)
dihitung dengan membagi jumlah laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) dengan total
aset.
2.1.5.7 Economic Value Added (EVA)
Laba bersih, sebagai alat ukur kinerja konvensional ikut memperhitungkan
pula biaya hutang, yang tercermin di dalam laporan rugi laba sebagai beban bunga,
tetapi tidak mencerminkan biaya ekuitas. Oleh karena itu, sebuah perusahaan dapat
melaporkan laba bersih yang positif jika laba bersihnya kurang dari biaya ekuitasnya.
Eva memperbaiki kelemahan ini dengan mengakui banwa untuk benar-benar
mengukur kinerja dengan tepat, kita perlu memperhitungkan biaya dari ekuitas
modal. (Brigham dan Houston, 2006).
26
EVA adalah ukuran kinerja keuangan yang lebih mampu menangkap laba
ekonomis perusahaan yang sebenarnya daripada ukuran-ukuran lain. EVA juga
merupakan ukuran kinerja yang secara langsung berhubungan dengan kekayaan
pemegang saham dari waktu ke waktu. (Jim De Mello, 2006).
Total modal mencakup utang jangka panjang, saham preferen dan ekuitas
saham biasa. Jadi, EVA adalah suatu estimasi laba ekonomi yang sesungguhnya dari
perusahaan dalam tahun berjalan, dan hal ini sangat berbeda dengan laba akuntansi.
EVA menunjukkan sisa laba setelah semua biaya modal, termasuk modal ekuitas,
dikurangkan, sedangkan laba akuntansi ditentukan tanpa memperhitungkan modal
ekuitas. (Brigham dan Houston, 2001).
Analisis sekuritas menemukan bahwa harga saham mengikuti EVA jauh lebih
dekat dibanding faktor lainnya seperti laba per lembar saham, marjin operasi.
Korelasi ini terjadi karena EVA benar-benar memperhatikan investor. Apabila nilai
EVA suatu perusahaan meningkat, maka kinerja perusahaan semakin baik sehingga
kesejahteraan para pemegang saham dapat ditingkatkan. Return pemegang saham
akan menyangkut dengan prestasi perusahaan di masa depan, karena harga saham
yang diharapkan oleh investor merupakan nilai intrinsik yang menunjukkan prestasi
dan risiko saham tersebut di masa yang akan datang.
Menurut Eguene F. Brigham, (2001), mengatakan bahwa EVA adalah cara
untuk mengukur profitabilitas operasi yang sesungguhnya. Biaya modal hutang
(beban bunga) dikurangkan ketika menghitung laba bersih, tetapi biaya ini tidak
dikurangkan pada saat menghitung biaya modalekuatis. Oleh karena itu, secara
ekonomis, laba bersih ditetapkan terlalu tinggi dibandingkan laba yang
sesungguhnya. Jadi, EVA menyelesaikan konvensional.
27
2.1.6
Hubungan Variabel Bebas dengan Variabel Terikat
2.1.6.1 Hubungan ROA terhadap Harga Saham
Return On Asset (ROA) yaitu rasio yang menggambarkan kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dari setiap satu rupiah asset menilai
apakah perusahaan ini efisien dalam memanfaatkan aktivanya dalam kegiatan
operasional perusahaan. Saat laba sebelum bunga dan pajak naik dan total aktiva
turun maka ROA akan naik, semakin besar ROA semakin besar tingkat keuntungan
yang dicapai perusahaan. Ini menunjukkan bahwa manajemen dapat menggunakan
total aktiva perusahaan dengan baik (aktiva lancar dan aktiva tetap) dan pada
akhirnya akan meningkatkan harga saham perusahaan sehingga menarik banyak
investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan. Rasio ini juga memberikan
ukuran yang lebih baik atas profitabilitas perusahaan karena menunjukkan efektifitas
manajemen dalam menggunakan aktiva untuk memperoleh pendapatan.
Hasil penelitian Agustina dan Noviri (2013), dengan judul “Pengaruh Return On
Asset (ROA), Earning Per Share (EPS), dan Tingkat Suku Bunga SBI Terhadap
Harga Saham (Studi Pada Indeks LQ45 Tahun 2010)”, membuktikan bahwa variabel
return on asset (ROA) secara parsial mempunyai pengaruh terhadap harga saham
pada perusahaan yang tercantum dalam indeks LQ45 yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI), karena hipotesis statistik yang akan digunakan dalam pengujian ini
adalah sebagai berikut : H0 : βi = 0 ROA (Return On Asset) tidak mempunyai
pengaruh terhadap harga saham. H1 : βi ≠ 0 ROA (Return On Asset) mempunyai
pengaruh terhadap harga saham. Diperoleh nilai signifikansi diperoleh 0,019. Maka
dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak, karena nilai signifikansi yang diperoleh (0,019)
28
lebih kecil daripada taraf signifikansi (0,05). H0 ditolak artinya Return On Asset
mempunyai pengaruh terhadap harga saham. Berdasarkan tabel 4.2, nilai t-hitung
untuk variabel ROA adalah 2,440, sedangkan nilai t-tabel dengan derajat
hitung variabel ROA> t‐tabel, maka terdapat pada daerah penolakan H0 yang berarti
terdapat pengaruh ROA terhadap harga saham. Nilai beta sebesar 0,257 menunjukan
pengaruh yang diberikan oleh variabel ROA adalah pengaruh positif.
Hasil dari penelitian tidak mendukung yang telah dilakukan Astri Wulan Dini
dan Iin Indarti (2010), melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Net Profit
Margin (NPM), Return On Assets (ROA) Dan Return On Equity (ROE) Terhadap
Harga Saham Yang Terdaftar Dalam Indeks Emiten LQ45 Tahun 2008 – 2010”
membuktikan bahwa Variabel ROA tidak berpengaruh signifikan terhadap harga
saham perusahaan LQ45 yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2008-2010
karena hasil tersebut terlihat pada nilai signifikan. Berdasarkan hasil pengujian yang
diketahuibahwa Return On Assets (ROA) tidak berpengaruh terhadap harga saham.
Penelitian ini hasilnya sama dengan penelitian yang dilakukan Handoko
“Pengaruh Economic Value Added, ROA, ROE, dan EPS terhadap perubahan harga
saham Perusahaan kategori LQ45 pada bursa Efek Jakarta” didapatkan hasil ROA
tidak berpengaruh terhadap harga saham. Dalam penelitian yang dilakukan Deasy ,
Hasanah (2010) “Pengaruh ROA, ROE dan EPS Terhadap Harga Pasar Saham Pada
Perusahaan Food And Beverages Yang Go Public Di Bursa Efek Indonesia (BEI)”,
mendapatkan hasil bahwa ROA tidak berpengaruh terhadap harga saham.
29
2.1.6.2 Hubungan ROE terhadap Harga Saham
Return on Equity (ROE) adalah perbandingan antara laba bersih perusahaan
dengan ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan menurut Dharmastuti dalam Patriawan
(2011). Saat laba bersih turun dan modal naik maka ROE akan turun. Hal ini berarti
dari total modal yang ada tidak dapat mempengaruhi perubahan harga saham.
Dengan jumlah equity yang tinggi maka mengakibatkan banyak dana yang kurang
produktif sehingga perlu adanya pengalokasian dana yang dapat menghasilkan
keuntungan, seperti memperluas lahan usaha atau menambah peralatan pabrik.
Hasil penelitian Amanda, Darminto dan Husaini (2011), membuktikan bahwa
variabel ROE secara simultan signifikan pengaruhnya terhadap harga saham dan
variabel ROE memiliki pengaruh paling dominan terhadap harga saham perusahaan
food and beverages . Hal ini tercermin dalam nilai standardized coefficients beta
yang menunjukkan bahwa nilai ROE paling tinggi di antara variabel bebas lainnya.
Penelitian ini hasilnya sama dengan peneliti yang dilakukan Wulandini dan
Indarti (2010), melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Net Profit Margin
(NPM), Return On Assets (ROA) Dan Return On Equity (ROE) Terhadap Harga
Saham Yang Terdaftar Dalam Indeks Emiten LQ45Tahun 2008 – 2010”, didapatkan
hasil nilai koefesien regresi (β3) yaitu Return On Equity (ROE) terhadap harga
saham diperoleh sebesar 0,055 dan arah koefisien regresi adalah positif, artinya
mempunyai hubungan yang searah dengan harga saham (Y). Hasil menunjukkan
bahwa variabel ROE mempunyai pengaruh signifikan terhadap harga saham.
Berdasarkan uji hipotesis, hasil tersebut terlihat pada nilai signifikan sebesar 0,011
yang lebih kecil dari tingkat signifikan.
30
Hasil penelitian yang dilakukan Rinati, (2008) tidak mendukung dengan
memperoleh hasil bahwa ROE tidak mempunyai pengaruh terhadap harga saham,
ditunjukan dengan nilai t.
2.1.6.3 Hubungan ROS terhadap Harga Saham
Net Profit margin (NPM) atau
return on sales (ROS) yaitu rasio yang
menggambarkan besarnya laba bersih yang diperoleh perusahaan pada setiap
penjualan yang dilakukan. Saat laba bersih naik, total penjualan pun akan naik hal ini
disebabkan karena tingginya biaya yang dikeluarkan sehingga NPM tidak memiliki
pengaruh terhadap harga saham. Hal ini berarti manajemen mengalami kegagalan
dalam hal operasional (penjualan) dan ini akan mengakibatkan mengurangnya
kepercayaan investor untuk berinvestasi dalam perusahaan. Apabila ROS masih
berada di bawah angka rata-rata industri menunjukkan bahwa tingginya biaya-biaya.
Biaya yang tinggi biasanya terjadi karena operasi yang tidak efisien. Besar kecilnya
rasio ini mempengaruhi harga saham perusahaan.
Hasil penelitian Haryuningputri dan Widyarti (2012), membuktikan bahwa
variabel ROS tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Hal ini
dikarenakan nilai Sig t variabel lebih kecil dari tingkat signifikasi dengan tingkat
signifikasi sebesar 0,118, 0,188 dan 0,392.
Peneliti ini mendukung penelitian yang dilakukan Wulandini dan Indarti
(2010) yang berjudul “Pengaruh Net Profit Margin (NPM), Return On Assets (ROA)
Dan Return On Equity (ROE) Terhadap Harga Saham Yang Terdaftar Dalam Indeks
Emiten LQ45Tahun 2008 – 2010”. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
31
variabel ROS berpengaruh negatif pada harga saham. Artinya mempunyai hubungan
yang tidak searah dengan Harga Saham (Y). Berdasarkan uji Hipotesis, hasil variabel
laba bersih tidak mempunyai pengaruh terhadap Harga Saham. Hasil tersebut terlihat
pada nilai signifikan sebesar 0,311 yang lebih besar dari tingkat signifikan.
Penelitian ini hasilnya sama dengan peneliti yang dilakukan Rinati (2008),
yang menghasilkan bahwa Net Profit Margin (NPM) tidak memiliki pengaruh
terhadap harga saham.
2.1.6.4 Hubungan EPS terhadap Harga Saham
Earning Per Share (EPS) merupakan rasio yang menunjukkan bagian laba
untuk setiap saham. Salah satu penyebab mengapa earnings per share EPS menarik
investor adalah karena adanya anggapan bahwa EPS mengandung informasi yang
penting untuk melakukan prediksi mengenai besarnya dividen dan harga saham.
Informasi tentang laba perusahaan sangat diperlukan dalam melakukan penilaian
terhadap harga saham. Nilai EPS yang diharapkan akan mempengaruhi tingkat
kepercayaan investor terhadap investasi dalam perusahaan tersebut. Perilaku investor
terhadap harga saham dipengaruhi oleh informasi laba yang dalam hal ini diwakili
oleh EPS sebagai cerminan kinerja keuangan perusahaan selama periode tertentu.
Didalam perdagangan saham, EPS sangat berpengaruh pada harga saham. Jika EPS
meningkat maka harga saham juga akan naik, demikian juga sebaliknya. EPS
merupakan salah satu bentuk rasio keuangan untuk menilai kinerja perusahaan.
Apabila EPS meningkat maka permintaan akan saham tersebut juga meningkat maka
harga saham akan naik, perubahan harga saham atau fluktuasi harga saham ini akan
32
mendatangkan capital gain/loss. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulakan
bahwa peningkatan EPS akan menyebabkan peningkatan dividen dan harga saham.
Peningkatan harga pasar saham menyebabkan timbulnya capital gain. Dengan
demkian perubahan EPS akan mempengaruhi return yang diperoleh investor dalam
bentuk capital gain/loss dan dividen.
Hasil penelitian Amanda, Darminto dan
Husaini (2011), membuktikan
bahwa variabel EPS secara parsial berpengaruh terhadap harga saham dengan nilai
sig. sebesar 0,003 dan besarnya pengaruh EPS terhadap harga saham adalah 43,4%.
Nilai positif tersebut menunjukkan pengaruh yang searah, sehingga dapat diartikan
bahwa harga saham meningkat 0,434 satuan jika variabel EPS meningkat satu satuan
dengan asumsi variabel bebas lainnya konstan.
Peneliti ini mendukung penelitian yang dilakukan Agustina dan Noviri (2013)
yang berjudul “Pengaruh Return On Asset (ROA), Earning Per Share (EPS), dan
Tingkat Suku Bunga SBI Terhadap Harga Saham (Studi Pada Indeks LQ45 Tahun
2010)”. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara teoritis Earning Per
Share berpengaruh terhadap harga saham. Untuk itu, hipotesis statistik yang akan
digunakan dalam pengujian ini adalah sebagai berikut :
H0 : βi = 0 EPS (Earning Per Share) tidak mempunyai pengaruh terhadap harga
saham.
H2 : βi ≠ 0 EPS (Earning Per Share) mempunyai pengaruh terhadap harga saham.
Maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak, karena nilai signifikansi yang diperoleh
(0,000) lebih kecil daripada taraf signifikansi (0,05). H0 ditolak artinya Earning Per
Share mempunyai pengaruh positif terhadap harga saham.
33
Penelitian ini hasilnya sama dengan peneliti yang dilakukan Haryuningputri
dan Widyarti (2012), melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Rasio
Profitabilitas Dan EVA Terhadap Harga Saham Pada Sektor Industri Manufaktur Di
BEI”. Tahun 2007-2010”, didapatkan hasil dengan tingkat signifikasi sebesar 0,001.
Hal ini dikarenakan nilai Sig t variabel lebih kecil dari tingkat signifikasi sebesar
0,05 atau 5%.
2.1.6.5 Hubungan BEP terhadap Harga Saham
Basic Earning Power (BEP) merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan
menghasilkan laba dari aktiva perusahaan sebelum pengaruh pajak serta leverage.
Rasio ini dipergunakan untuk mengukur kemampuan suatu perusahaan dengan modal
yang bekerja di dalam perusahaan (operating capital) untuk menghasilkan laba.
Secara teori, semakin besar nilai BEP mengindikasikan bahwa kinerja perusahaan
semakin baik karena perusahaan mampu menghasilkan laba dengan seluruh modal
yang bekerja di dalam perusahaan dengan efektif dan efisien. Jika kinerja suatu
perusahaan bagus maka nilai perusahaan juga akan meningkat yang pada akhirnya
akan berdampak pada peningkatan harga saham.
Hasil penelitian Achmad (2010), membuktikan bahwa hasil koefisien regresi
menunjukkan bahwa BEP mempunyai t hitung bertanda negatif yaitu sebesar -1.347
dengan probabilitas sebesar 0,179. Hal tersebut menunjukkan bahwa p value (0,179)
> tingkat signifikansi (0,05) sehingga H3 tidak dapat diterima, berarti BEP tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga saham.
34
Hasil ini mengindikasikan bahwa besarnya BEP yang dihasilkan oleh
perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Kondisi ini
kontradiktif dengan teori yang mendasarinya bahwa BEP menunjukkan kemampuan
perusahaan menghasilkan laba dari aset perusahaan, sebelum pengaruh pajak dan
leverage. Apabila BEP meningkat, maka keuntungan perusahaan akan meningkat.
Investor akan memandang perusahaan tersebut mempunyai prospek yang baik
sehingga mereka mau membeli saham perusahaan tersebut.
Dan peneliti mendukung penelitian yang dilakukan Sasongko dan Wulandari
(2006) dengan judul “Pengaruh EVA Dan Rasio - Rasio Profitabilitas Terhadap
Harga Saham”. Hasil penelitiannya bahwa uji parsial menunjukkan variabel BEP
tidak berpengaruh terhadap harga saham. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji t yang
diterima pada taraf signifikansi . Artinya EPS dapat digunakan untuk menentukan
nilai perusahaan.
2.1.6.6 Hubungan EVA terhadap Harga Saham
EVA merupakan suatu pendekatan baru dan juga merupakan ukuran
profitabilitas dalam menilai kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan secara
adil harapan- harapan pemegang saham dan kreditur. Harapan para pemilik modal
tersebut dapat diwakili dari masing-masing biaya modalnya dan derajat keadilan
yang dinyatakan dengan ukuran rata-rata tertimbang dari struktur modalnya. Dapat
diketahui bahwa terdapat hubungan negatif antara EVA dengan harga saham di pasar
modal yang berarti bahwa setiap kenaikan EVA akan mengakibatkan penurunan
terhadap harga saham. Perusahan - perusahaan bukannya menciptakan nilai tetapi
35
menghancurkan nilai kekayaan pemegang saham. Bahkan jika ditelusuri lebih jauh
terdapat beberapa perusahaan yang selama beberapa tahun menghasilkan tingkat
imbal hasil yang telah rendah daripada tingkat bunga bebas risiko. Kenyataan bahwa
pencerminan dari EVA membuktikan pasar modal Indonesia bersifat WeakForm
efficient, yaitu bahwa harga saham di pasar modal tidak mencerminkan seluruh
informasi yang ada.
Hasil penelitian Mardiyanto (2013), membuktikan bahwa pengaruh variabel
EVA terhadap harga saham terlihat masih terdapat hasil yang kontradiksi satu sama
lain dengan tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Hal ini juga
menyebabkan bahwa penelitian mengenai pengaruh alat ukur kinerja perusahaan
khususnya menggunakan EVA terhadap harga saham masih diperlukan.
Hasil peneliti yang dilakukan Haryuningputri dan Widyarti (2012),
mendukung dengan judul “Pengaruh Rasio Profitabilitas Dan EVA Terhadap Harga
Saham Pada Sektor Industri Manufaktur Di BEI Tahun 2007-2010”, didapatkan hasil
dengan dibuktikan dari nilai F hitung sebesar 5,019 dengan nilai signifikasi sebesar
0,000. Karena probabilitas jauh lebih kecil dari 5% maka model regresi dapat
digunakan untuk memprediksi harga saham atau dapat dikatakan bahwa return on
asset, return on equity, return on sales, earning per share dan economic value added
secara bersama-sama berpengaruh terhadap return saham.
36
2.2 Penelitian Terdahulu
Berikut adalah hasil penelitian terdahulu, yang telah dilakukan peneliti sebelumnya:
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No.
Peneliti (Tahun)
1.
Lidya Agustina,
Sany Noviri
(2013)
2.
Astrid Amanda,
Darminto,
Achmad Husain
(2011)
3.
Tri Suciyati
(2010)
4.
Variabel
Penelitian
Variabel
Independent :
X1 : ROA
Variabel
Dependent:
Y : Harga Saham
Tujuan
Penelitian
Untuk
menguji
secara
empiris
pengaruh
ROA
terhadap
harga
saham.
Variabel
Independent :
X2 : ROE
X4 : EPS
Variabel
Dependent :
Y : Harga Saham
Untuk mengetahui
bahwa
variabel
ROE dan EPS
secara
simultan
signifikan
pengaruhnya
terhadap
harga
saham
perusahaan.
Untuk mengetahui
bahwa
variabel
ROS berpengaruh
signifikan
terhadap
harga
saham.
Untuk mengetahui
bahwa
variabel
BEP berpengaruh
signifikan
terhadap
harga
saham.
Variabel
Independent :
X3 : ROS
Variabel
Dependent :
Y : Harga Saham
Ester
Farida Variabel
Irawati Harianja
Independent :
(2005)
X5 : BEP
Variabel
Dependent :
Y : Harga Saham
37
Hasil Penelitian
Hasil
penelitian
membuktikan
bahwa
variabel
ROA secara parsial
dan
simultan
mempunyai
pengaruh terhadap
harga saham pada
perusahaan dalam
indeks LQ45 yang
terdaftar di BEI.
Hasil
penelitian
membuktikan
bahwa
variabel
ROE dan EPS
secara
simultan
signifikan
pengaruhnya
terhadap
harga
saham perusahaan.
Hasil
penelitian
membuktikan
bahwa
variabel
ROS berpengaruh
signifikan terhadap
harga saham.
Hasil
penelitian
mengindikasikan
bahwa
BEP
mempunyai
pengaruh
yang
signifikan terhadap
harga saham.
5.
Herry Mardiyanto
(2013)
Untuk mengetahui
bahwa
variabel
EVA
secara
positif signifikan
berpengaruh
terhadap
harga
saham.
Variabel
Independent :
X6 : EVA
Variabel
Dependent :
Y : Harga Saham
38
Hasil
penelitian
membuktikan
bahwa
tidak
variabel
EVA
berpengaruh
signifikan terhadap
harga saham.
2.3 Kerangka Konseptual
Berdasarkan telaah teoritis dan pengembangan hipotesis yang dibuat maka
penelitian ini dapat membangun kerangka pemikiran teoritis pada gambar 2.4 sebagai
berikut:
ROA (X₁)
ROE (Xβ‚‚)
ROS (X₃)
Harga Saham
EPS (Xβ‚„)
(Y)
BEP (Xβ‚…)
EVA (X₆)
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
Dari hasil analisis laporan keuangan yang berupa ROA, ROE, ROS, EPS ,
BEP dan EVA akan dilakukan pengujian apakah keenam variabel tersebut baik
secara serentak maupun parsial akan berpengaruh terhadap perubahan harga saham
pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
39
2.4 Hipotesis
Menurut Sugiyono, (2005), hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya
disusun dalam bentuk pertanyaan.
2.4.1 Pengaruh ROA terhadap Harga Saham
Return On Asset (ROA) adalah rasio yang menggambarkan kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dari setiap satu rupiah asset menilai
apakah perusahaan ini efisien dalam memanfaatkan aktivanya dalam kegiatan
operasional perusahaan.
Dalam penelitian terdahulu yang diteliti oleh Agustina dan Noviri (2013),
membuktikan bahwa variabel ROA secara parsial mempunyai pengaruh terhadap
harga saham pada perusahaan yang tercantum dalam indeks LQ45 yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI). Hasil yang sama dibuktikan oleh Susilowati (2005),
membuktikan bahwa ROA berpengaruh terhadap harga saham. Demikian halnya
dengan penelitian yang dilakukan oleh Robin dan Anastasia (2008), menunjukkan
bahwa variabel ROA berpengaruh terhadap harga saham. ROA dipiih sebagai faktor
yang mempengaruhi harga saham karena ROA merupakan rasio yang mewakili
pengembalian atas seluruh aktivitas perusahaan. Hal ini berarti ROA memiliki
pengaruh signifikan terhadap harga saham. Berdasarkan penjelasan tersebu, hipotesis
dalam penelitian ini adalah:
H₁ : Return On Asset berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham
perusahaan.
40
2.4.2 Pengaruh ROE terhadap Harga Saham
Return on Equity (ROE) adalah perbandingan antara laba bersih perusahaan
dengan ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan. Saat laba bersih turun dan modal naik
maka ROE akan turun. Pada pemegang saham melakukan investasi untuk
mendapatkan pengembalian atas uangnya, dan rasio ini menunjukkan seberapa besar
pengembalian tersebut. Semakin besar rasio ini dapat mempengaruhi minat investor
untuk melakukan pembelian saham.
Dalam penelitian Amanda, dkk (2011), membuktikan bahwa variabel ROE
secara simultan signifikan pengaruhnya terhadap harga saham dan variabel ROE
memiliki pengaruh paling dominan terhadap harga saham perusahaan food and
beverages . Hal ini tercermin dalam nilai standardized coefficients beta yang
menunjukkan bahwa nilai ROE paling tinggi di antara variabel bebas lainnya. Hasil
yang sama dibuktikan oleh Susilawati (2005), menunjukkan bahwa ROE
berpengaruh terhadap harga saham. Demikian halnya dengan penelitian yang
dilakukan oleh Johanes Rico Sukmana (2009), menunjukkan bahwa ROE
berpengaruh terhadap harga saham baik secara parsial maupun simultan. Hal ini
berarti ROE memiliki pengaruh signifikan terhadap harga saham. Berdasarkan
penjelasan tersebu, hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Hβ‚‚ : Return On Equity berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham
perusahaan.
2.4.3 Pengaruh ROS terhadap Harga Saham
Net Profit margin (NPM) atau ROS yaitu rasio yang menggambarkan
besarnya laba bersih yang diperoleh perusahaan pada setiap penjualan yang
41
dilakukan. Apabila ROS masih berada di bawah angka rata-rata industri
menunjukkan bahwa tingginya biaya-biaya. Biaya yang tinggi biasanya terjadi
karena operasi yang tidak efisien (Brigham dan Houston, 2005).
Dalam penelitian terdahulu yang dilakukan Suciyati (2008), membuktikan
bahwa variabel ROS berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Hal ini
dikarenakan memiliki kontribusi yang cukup mampu dalam mempengaruhi harga
saham. Hasil yang sama dibuktikan oleh Susilawati (2005), membuktikan bahwa
ROS berpengaruh terhadap harga saham. Demikian halnya dengan penelitian yang
dilakukan oleh Indah Nurmalasari (2008), menunjukkan bahwa ROS memiliki
dampak positif untuk perubahan harga saham dan mempunyai pengaruh yang
signifikan. Hal ini berarti ROS memiliki pengaruh signifikan terhadap harga saham.
Berdasarkan penjelasan tersebu, hipotesis dalam penelitian ini adalah:
H₃ : Net Profit Margin berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham
perusahaan.
2.4.4 Pengaruh EPS terhadap Harga Saham
EPS adalah rasio yang menunjukkan bagian laba untuk setiap saham. Salah
satu penyebab mengapa earnings per share EPS menarik investor adalah karena
adanya anggapan bahwa EPS mengandung informasi yang penting untuk melakukan
prediksi mengenai besarnya dividen dan harga saham.
Hasil penelitian Sasongko dan Wulandari (2006), membuktikan bahwa
variabel EPS dengan hasil uji t yang diterima pada taraf signifikansi. Artinya EPS
dapat digunakan untuk menentukan nilai perusahaan. Hasil yang sama dibuktikan
oleh Amanda, dkk (2011), membuktikan bahwa variabel EPS secara parsial
42
berpengaruh terhadap harga saham. Demikian halnya dengan penelitian yang
dilakukan oleh Agustina dan Noviri (2013), dari hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa secara teoritis Earning Per Share berpengaruh terhadap harga saham. Hal ini
berarti EPS memiliki pengaruh signifikan terhadap harga saham. Berdasarkan
penjelasan tersebu, hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Hβ‚„ : Earning Per Share berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham
perusahaan.
2.4.5 Pengaruh BEP terhadapp Harga Saham
Basic Earning Power (BEP) merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan
menghasilkan laba dari aktiva perusahaan sebelum pengaruh pajak serta leverage.
Rasio ini dipergunakan untuk mengukur kemampuan suatu perusahaan dengan modal
yang bekerja di dalam perusahaan. Rasio ini bermanfaat ketika membandingkan
perusahaan dengan berbagai tingkat leverage keuangan dan situasi pajak. (Brigham
dan Houston, 2009)
Hasil penelitian Harianja (2005), dalam penelitian mengenai Analisis Faktor
Fundamental Terhadap Harga Saham Dengan Menggunakan Rasio Profitabilitas
Bursa Efek
Indonesia, membuktikan bahwa Basic Earning Power (BEP)
berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham. Hal ini berarti BEP memiliki
pengaruh signifikan terhadap harga saham. Berdasarkan penjelasan tersebu, hipotesis
dalam penelitian ini adalah:
Hβ‚… : Basic Earning Power berpengaruh signifikan terhadap harga saham.
43
2.4.6 Pengaruh EVA terhadap Harga Saham
EVA merupakan suatu pendekatan baru dan juga merupakan ukuran
profitabilitas dalam menilai kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan secara
adil harapan- harapan pemegang saham dan kreditur. EVA menyajikan suatu ukuran
yang baik mengenai sampai sejauh mana perusahaan telah memberikan tambahan
pada nilai pemegang saham.(Brigham dan Houston, 2006)
Dalam penelitian terdahulu yang dilakukan Suciyati (2008), membuktikan
bahwa variabel EVA berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Hal ini
membuktikan kemampuan manajemen perusahaan telah berhasil menciptakan nilai
tambah ekonomis bagi perusahaan. Hasil yang sama dibuktikan oleh Handoko (2008)
melakukan penelitian pada perusahaan dengan menguji pengaruh variabel EVA,
terhadap perubahan harga saham. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa secara serentak
variabel EVA berpengaruh signifikan terhadap perubahan harga saham. Demikian
halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Tinneke (2007) dengan melakukan
penelitian terhadap sampel 77 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Jakarta, menunjukkan bahwa EVA berpengaruh positif terhadap harga saham. Hal ini
berarti EVA memiliki pengaruh signifikan terhadap harga saham. Berdasarkan
penjelasan tersebu, hipotesis dalam penelitian ini adalah:
H₆ : Economic Value Added berpengaruh signifikan terhadap harga saham.
44
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
3.1.1 Variabel Penelitian
Variabel-variabel dalam penelitian ini meliputi variabel dependen dan
variabel independen. Variabel dependen adalah tipe variabel yang dijelaskan atau
dipengaruhi oleh variabel dipengaruhi oleh variabel independen. (Indriantoro dan
Supomo, 2013). Dengan kata lain pertumbuhan perusahaan tergantung pada
perubahan satu lebih faktor. Sedangkan variabel independen adalah tipe variabel
yang menjelaskan atau mempengaruhi variabel yang lain. (Indriantoro dan Supomo,
2013).
1. Variabel Bebas (Independen Variable)
Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Return on Asset
(ROA), Return on Equity (ROE), Return on Sales (ROS) , Earning Per Share
(EPS), Basic Earning Power (BEP), dan Economic Value Added (EVA).
2. Variabel Terikat (Dependent Variable)
Variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga saham
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI.
3.1.2 Definisi Oprasional
Menurut Indriantoro dan Supomo, (2013), definisi operasional adalah
penjelasan mengenai cara – cara tertentu yang digunakan oleh peneliti untuk
45
mengukur (mengoperasionalisasi) construct menjadi variabel penelitian yang dapat
diuji. Indikator-indikator variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini antara lain :
a. ROA
Return on Asset (ROA) adalah salah satu bentuk dari rasio profitabilitas untuk
mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan
menggunakan total aktiva yang ada dan setelah biaya-biaya modal (biaya yang
digunakan mendanai aktiva) dikeluarkan dari analisis. Untuk menghitung ROA
digunakan rumus : Subramanyam dan J. Wild, (2010)
Return On Asset =
Earning After Tax (EAT)
x 100%
Total Aktiva
b. ROE
Merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur laba bersih setelah pajak
dengan modal sendiri, sekaligus menunjukkan tingkat efesiensi penggunaan
modal sendiri. Semakin tinggi nilai rasio ini maka perusahaan tersebut semakin
baik karena posisi perusahaan semakin kuat. ROE dapat dirumuskan sebagai
berikut : Subramanyam dan J. Wild, (2010)
Return of Equity =
Earning After Tax (EAT)
Ekuitas saham biasa
46
x 100%
c. ROS
Return on Sales adalah rasio kemampuan perusahaan dalam mencapai suatu
laba (profit) dari kegiatan penjualan yang dilakukan. Pengukurannya
berdasarkan prosentase perbandingan antara laba bersih dibagi dengan
penjualan. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Subramanyam dan J.
Wild, (2010)
Return on Sales = Laba bersih setelah pajak
x 100%
penjualan
d. EPS
Earning Per Share (EPS) merupakan komponen penting pertama yang harus
diperhatikan dalam analisis perusahaan. Informasi EPS suatu perusahaan
menunjukkan besarnya laba bersih perusahaan yang siap dibagikan untuk
semua pemegang saham perusahaan. EPS merupakan rasio yang menunjukkan
berapa besar keuntungan(return) yang diperoleh investor atau pemegang saham
per lembar saham.
EPS adalah suatu laba yang akan diterima oleh pemegang saham dengan
menggunakan rumus sebagai berikut: Weston dan Brigham, (2001)
EPS =
Earning After Tax (EAT)
Share Outstanding
47
Keterangan :
EPS
= Laba per lembar saham
EAT
= Laba bersih setelah pajak
Share Outstanding
= Jumlah saham yang beredar
e. BEP
Rasio ini menunjukan kemampuan perusahaan memperoleh laba diukur dari
jumlah laba sebelum dikurangi bunga dan pajak dibandingkan denga total
aktiva. Semakin besar rasio ini semakin baik. Rumus yang digunakan :
Weston dan Brigham, (2001)
BEP
=
Laba sebelum bunga dan pajak (EBIT)
Total Aktiva
f. EVA
EVA merupakan indikator tentang adanya perubahan nilai dari suatu investasi.
EVA mengukur nilai tambah yang dihasilkan suatu perusahaan dengan cara
mengurangi biaya modal yang timbul sebagai akibat investasi yang dilakukan.
Langkah menghitung EVA (Economic Value Added)
EVA merupakan hasil pengurangan total biaya modal terhadap laba operasi
pajak. Biaya modal sendiri dapat berupa cost of debt dan cost of equity.
Weston dan Brigham, (2001)
48
1.
Menghitung NOPAT (Net Operating After Tax)
Rumus : NOPAT = Laba (Rugi) Usaha – Pajak
NOPAT = (Laba (Rugi) usaha setelah pajak – pajak
2.
Menghitung Invested Capital
Rumus : Invested Capital = (Total Hutang + Ekuitas) – Hutang Jangka
Pendek
3.
Menghitung WACC (Weighted Average Cost Of Capital)
Rumus : WACC = [(D x rd) (1-tax) + (E x re)]
Dimana :
Tingkat Modal
=
Total Hutang
x 100%
Total Hutang dan Ekuitas
Cost of Debt
=
Beban Bunga
x 100%
Total Hutang
Tingkat Modal dan Ekuitas
=
Total Ekuitas
x 100%
Total Hutang dan Ekuitas
Cost of Equity
=
Laba bersih setelah pajak
Total Ekuitas
49
x 100%
Tingkat pajak
=
Beban Pajak
x 100%
Laba bersih sebelum pajak
Rumus WACC : WACC = [(D x rd) (1-tax) + (E x re)]
4.
Menghitung-Capital-Charges
Rumus :
Capital Charges = WACC x Invested Capital
5.
Menghitung-Economic-Value-Added (EVA)
Rumus :
EVA = NOPAT – Capital charges
2. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah harga saham perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
3.2 Penentuan Populasi dan Sampel
Populasi dan sampel merupakan hal penting dalam penelitian dengan batasan
objek penelitian dan sejauh mana penelitian akan dilaksanakan. Kriteria pemilihan
sampel yang akan diteliti adalah :
a. Perusahaan manufaktur yang telah go public, tercatat sebagai emiten sejak tahun
2012 dan 2013 secara terus menerus (tidak pernah mengalami delisting).
b. Mengeluarkan laporan keuangan setiap tahun pengamatan.
c. Perusahaan tercatat mempunyai data harga saham.
50
d. Di dalam laporan keuangan tersebut tercantum biaya bunga (interest expense) dan
beban pajak.
e. Perusahaan yang datanya tidak bersifat outliers.
3.3. Jenis dan Sumber Data
3.3.1 Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, yaitu data
berbentuk angka yang berasal dari Return on Asset (ROA), Return on Equity (ROE),
Return on Sales (ROS), Earning Per Share (EPS), Basic Earning Power (BEP) dan
Economic Value Added (EVA).
3. 3. 2 Sumber Data
Sedangkan sumber data dalam penelitian ini adalah data Sekunder yang
diperoleh dari Bursa Efek Indonesia. Menurut Indriantoro dan Supomo, (2013), data
sekunder yaitu data yang diterbitkan atau digunakan oleh organisasi yang bukan
merupakan pengolahnya. Dalam penelitian ini data sekunder meliputi ROA, ROE,
ROS, EPS BEP dan EVA yaitu tahun 2011 dan 2012.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Bursa
Efek Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Data perusahaan yang terdaftar di BEI. Data ini diperolah dari JSX Statistic.
2) Data perusahaan yang delisting diperoleh dari JSX Statistic.
3) Data laporan keuangan
4) Data ini diperoleh dari Pusat Data Pasar Modal.
51
5) Data tanggal laporan keuangan. Data ini diperlukan untuk menentukan harga
saham.
6) Harga saham masing-masing perusahaan manufaktur yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu harga saham saat laporan keuangan diserahkan ke BAPEPAM.
Harga saham harian yang dipakai adalah closing price.
3.5 Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah teknik regresi berganda atau
multiple regression untuk menguji pengaruh ROA, ROE, ROS, EPS, BEP, dan EVA
terhadap harga saham. Model regresi berganda adalah teknik analisis regresi yang
menjelaskan hubungan antara variabel dependen dengan beberapa variabel
independen. Dalam penggunaan persamaan regresi terdapat beberapa asumsi-asumsi
dasar yang harus dipenuhi. Asumsi-asumsi tersebut adalah: uji normalitas, uji
multikolenearitas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas. Analisis ini mencakup
uji asumsi klasik dan uji hipotesis.
3.5.1 Statistik Deskriptif
Tujuan pengujian ini adalah mempermudah pemahaman terhadap variabel –
variabel yang digunakan. Ghozali (2013) menyatakan bahwa statistik deskriptif
memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata – rata
(mean), standar deviasi, varian, maksimum, minimum, sum, range, kurtosis dan
skewness (kemencengan distribusi). Statistik deskriptif biasanya digunakan untuk
menggambarkan profil data sampel sebelum memanfaatkan teknik analisis statistik
yang berfungsi untuk menguji hipotesis.
52
3.5.2 Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik adalah persyaratan statistik yang harus dipenuhi pada
analisis regresi linear berganda yang berbasis ordinary least square (OLS). Jadi
analisis regresi yang tidak berdasarkan OLS tidak memerlukan persyaratan asumsi
klasik, misalnya regresi logistik atau regresi ordinal.Model regresi yang baik adalah
yang memenuhi seluruh uji asumsi klasik, yaitu data terdistribusi normal, tidak
terjadi multikolonieritas, bebas dari autokolerasi, dan homoskedastisitas.
Analisis regresi memerlukan beberapa asumsi agar model layak digunakan.
asumsi yang digunakan adalah uji normalitas, uji multikolinieritas, uji autokorelasia,
uji heterosdastisitas,
3.5.2.1 Uji Normalitas
Uji normalitas adalah untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal
atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki nilai residual yang terdistribusi
normal. Jadi uji normalitas bukan dilakukan pada masing-masing variabel tetapi pada
nilai residualnya. Sering terjadi kesalahan yang jamak yaitu bahwa uji normalitas
dilakukan pada masing-masing variabel. Hal ini tidak dilarang tetapi model regresi
memerlukan normalitas pada nilai residualnya bukan pada masing-masing variabel
penelitian. (Ghozali, 2013) : Dasar pengambilan keputusan dalam uji K-S adalah
sebagai berikut:
53
a. Apabila nilai signifikansi atau nilai probabilitas > 0.05 atau 5 persen maka
data terdistribusi secara normal.
b. Apabila nilai signifikansi atau nilai probabilitas < 0.05 atau 5 persen maka
data tidak terdistribusi normal.
3.5.2.2 Uji Multikolinieritas
Uji multikolinearitas adalah untuk melihat ada atau tidaknya korelasi
(keterkaitan) yang tinggi antara variabel-variabel bebas dalam suatu model regresi
linear berganda. Jika variabel independen saling berkolerasi, maka variabel-variabel
ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi
antar sesama variabel independen sama dengan nol. Untuk mendeteksi ada atau
tidaknya multikolonieritas di dalam model regresi adalah sebagai berikut. (Ghozali,
2013):
a. Nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat
tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel independen banyak yang
tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen.
b. Menganalisis matrik korelasi variabel-variabel independen. Jika antar
variabel independen ada korelasi yang cukup tinggi (umumnya di atas
0.90), maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolonieritas. Tidak
adanya korelasi yang tinggi antar variabel independen tidak berarti bebas
dari multikolonieritas. Multikolonieritas dapat disebabkan karena adanya
efek kombinasi dua atau lebih variabel independen.
c. Multikolonieritas dapat juga dilihat dari (1) nilai tolerance dan lawannya
(2) variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap
54
variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen
lainnya. Nilai cutoff yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya
multikolonieritas adalah nilai Tolerance ≤ 0.10 atau sama dengan nilai VIF
≥ 10.
3.5.2.3 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linear ada
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu
pada periode t-1 (sebelumnya). Autokorelasi muncul karena observasi yang
berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Masalah ini timbul karena
residual (kesalahan pengganggu) tidak bebas dari satu observasi ke observasi
lainnya. Hal ini sering ditemukan pada data runtut waktu (time series) karena
“gangguan”
pada
seseorang
individu
kelompok
cenderung
mempengaruhi
“gangguan” pada individu/kelompok yang sama pada periode berikutnya. Cara untuk
mendeteksi autokorelasi dengan uji Durbin-Watson (DW test). Uji Durbin Watson
hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (frist order autocorrelation) dan
mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam model regresi dan tidak ada
variabel lag di antara variabel independen. (Ghozali, 2013).
3.5.2.4 Uji Heteroskedastisitas
Menurut Ghozali, (2013), uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji
apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu
pengamatan ke pengamatan lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke
55
pengamatan lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas dan jika berbeda disebut
heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang Homoskedastisitas atau
tidak terjadi Heteroskedastisitas.Salah satu cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya
heteroskedastisitas yaitu dengan uji glejser. Glejser mengusulkan untuk meregres
nilai absolut residual terhadap variabel independen. Jika variabel independen
signifikan secara statistik mempengaruhi variabel dependen, maka ada indikasi
terjadi heteroskedastisitas. Data yang tidak heteroskedastisitas adalah data yang nilai
signifikansinya di atas tingkat kepercayaan 0.05 (α > 5%).
3.6
Uji Hipotesis
3.6.1 Pengujian Signifikansi Simultan (Uji F)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel
independen atau bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara
bersama-sama terhadap variabel dependen/terikat. Ghozali, (2013).
1) Perumusan hipotesis :
a. H0 : b1= b2 =....................= bk = 0, artinya variabel independen
bukan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel
dependen.
b. Ha: b1 ≠ b2 ≠...................≠ bk ≠ 0, artinya variabel independen
secara simultan merupakan penjelas yang signifikan terhadap
variabel dependen.
56
2) Pengambilan keputusan :
Hipotesis akan diuji dengan program SPSS dengan menggunakan
tingkat signifikansi sebesar 5% atau 0.05, maka kriteria pengujian
menerima atau menolak hipotesis dapat ditentukan sebagai berikut:
a. Jika nilai sig > 0.05 maka H0 diterima
b. Jika nilai sig < 0.05 maka H0 ditolak atau menerima Ha
3.6.2
Pengujian Koefisien Regresi Secara Parsial (Uji t)
Uji t pada dasarnya menunjukkan uji parsial untuk melihat pengaruh masing-
masing variabel independen atau bebas (X) berpengaruh nyata atau tidak secara
parsial terhadap variabel dependen/terikatnya (Y). Hasil uji t dapat dilihat pada tabel
coefficients pada kolom sig (significance).
1) Perumusan hipotesis :
a.
H0 :bi = 0, arttinya suatu variabel independen bukan merupakan
penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen.
b.
Ha :
bi ≠ 0, artinya variabel tersebut merupakan penjelas yang
signifikan terhadap variabel dependen.
2) Pengambilan Keputusan :
Uji ini dapat dilakukan dengan mambandingkan t hitung dengan tabel atau
dengan melihat kolom signifikansi pada masing-masing t hitung, proses uji t
identik dengan Uji F.
Jika probabilitas nilai t atau signifikansi < 0,05, maka dapat dikatakan
bahwa terdapat pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel
terikat secara parsial.
57
Namun, jika probabilitas nilai t atau signifikansi > 0,05, maka dapat
dikatakan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara
masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat.
3.6.3 Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R²) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan
model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi
adalah antara nol dan satu. Nilai R² yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel
independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen sangat terbatas. Nilai yang
mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua
informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. Secara
umum koefisien determinasi untuk data silang (crossection) relatif rendah karena
adanya variasi yang besar antara masing-masing pengamatan, sedangkan untuk data
runtun waktu (time series) biasanya mempunyai nilai koefisien determinasi yang
tinggi. (Ghozali, 2013).
58
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Deskripsi Objek Penelitian
Deskripsi objek penelitian mengkaji tentang pengaruh EVA dan rasio-rasio
profitabilitas terhadap harga saham. Informasi atau data yang digunakan dalam
variabel independen adalah Return on Asset, Return on Equity, Return on Sales ,
Earning Per Share, Basic Earning Power, dan Economic Value Added. Sedangkan
variabel dependen yang digunakan adalah harga saham.
Didalam kriteria-kriteria yang akan digunakan didalam penelitian sampel ini
adalah Perusahaan Manufaktur yang menerbitkan laporan keuangan selama
penelitian tahun 2011-2012. Berdasarkan spesifikasi data yang diamati secara rinci
jumlah Perusahaan Manufaktur yang terdaftar pada BEI tahun 2011-2012 selama
periode penelitian adalah 54 perusahaan. Keterangan proses pengambilan sampel
yang dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut :
Tabel 4.1
Proses Pengambilan Sampel
Kriteria Pemilihan Sampel
Jumlah
Jumlah perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI
138
2011-2012
Jumlah perusahaan manufaktur yang tidak
mengeluarkan laporan keuangan setiap tahun
59
(32)
pengamatan
Perusahaan manufaktur yang tidak tercatat
-
mempunyai data harga saham
Perusahaan manufaktur di dalam laporan keuangan
(29)
tidak tercantum biaya bunga (interest expense) dan
beban pajak
Perusahaan yang datanya bersifat outliers
(20)
Perusahaan yang tidak membukukan laba
(3)
Total Sampel Penelitian
54
Sumber : data sekunder yang diolah
4.2
Analisis Data
4.2.1 Uji Statistik Deskriptif
Uji statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang
dilihat dari nilai rata – rata (mean), standar deviasi, maksimum, dan minimum. Hasil
pengujian terhadap uji statistik deskriptif dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut:
Tabel 4.2
Hasil Uji Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
ROA
108
,09
68,01
9,6660
9,63142
ROE
108
,29
108,73
17,4984
14,77534
ROS
108
,13
35,11
7,8217
7,33752
EPS
108
,00293
5334,00000
258,9660194
689,92041266
BEP
108
,00
8,78
,3355
1,17062
log_eva
108
3,71
9,89
6,2833
1,35486
log_harga_saham
108
,48
5,38
2,7497
,84015
Valid N (listwise)
108
Sumber : Hasil Output SPSS 21
60
Berdasarkan hasil diatas, nilai return on assets minimum sebesar 0,09% dan
maksimum sebesar 68,01%. Sedangkan nilai standar deviasi variabel return on assets
sebesar 9,63142 lebih kecil dari nilai mean variabel return on assets sebesar 9,6660.
Karena nilai standar deviasi lebih kecil daripada nilai mean maka dapat diartikan
bahwa return on assets memiliki kualitas data baik dan tidak terjadi penyimpangan
data. Hal ini dapat diperbandingkan melalui nilai minimum dan nilai maksimum
yang tidak jauh dari nilai mean. Jadi semakin kecil simpangan maka data semakin
homogen (Lungan, 2006).
nilai return on equity minimum sebesar 0,29%
dan maksimum sebesar
108,73%. Sedangkan nilai standar deviasi variabel return on equity sebesar 14,77534
lebih kecil dari nilai mean variabel return on equity sebesar 17,4984. Karena nilai
standar deviasi lebih kecil daripada nilai mean maka dapat diartikan bahwa return on
equity memiliki kualitas data baik dan tidak terjadi penyimpangan data. Hal ini dapat
diperbandingkan melalui nilai minimum dan nilai maksimum yang tidak jauh dari
nilai mean. Jadi semakin kecil simpangan maka data semakin homogen (Lungan,
2006).
Nilai return on sales minimum sebesar 0,13% dan maksimum sebesar
35,11%. Sedangkan nilai standar deviasi variabel return on sales sebesar 7,33752
lebih kecil dari nilai mean variabel return on sales sebesar 7,8217. Karena nilai
standar deviasi lebih kecil daripada nilai mean maka dapat diartikan bahwa return on
sales memiliki kualitas data baik dan tidak terjadi penyimpangan data. Hal ini dapat
diperbandingkan melalui nilai minimum dan nilai maksimum yang tidak jauh dari
nilai mean. Jadi semakin kecil simpangan maka data semakin homogen (Lungan,
2006).
61
Nilai earning per share minimum sebesar 0,00293% dan maksimum sebesar
5334,00000%. Sedangkan nilai standar deviasi variabel earning per share sebesar
689,92041266 lebih besar dari nilai mean variabel earning per share sebesar
258,9660194. Karena nilai standar deviasi lebih besar daripada nilai mean maka
dapat diartikan bahwa earning per share memiliki kualitas data kurang baik dan
terjadi penyimpangan data. Hal ini dapat diperbandingkan melalui data mentah nilai
minimum dan nilai maksimum yang jauh dari nilai mean. Jadi semakin besar
simpangan maka data semakin heterogen (Lungan, 2006).
Nilai basic earning power minimum sebesar 0,00% dan maksimum sebesar
8,78%. Sedangkan nilai standar deviasi variabel basic earning power sebesar
1,17062 lebih besar dari nilai mean variabel basic earning power sebesar 0,3355 .
Karena nilai standar deviasi lebih besar daripada nilai mean maka dapat diartikan
bahwa basic earning power memiliki kualitas data kurang baik dan terjadi
penyimpangan data. Hal ini dapat diperbandingkan melalui data mentah nilai
minimum dan nilai maksimum yang jauh dari nilai mean. Jadi semakin besar
simpangan maka data semakin heterogen (Lungan, 2006).
Nilai economic value added minimum sebesar 3,71% dan maksimum sebesar
9,89%. Sedangkan nilai standar deviasi variabel eva sebesar 1,35486 lebih kecil dari
nilai mean variabel economic value added sebesar 6,2833. Karena nilai standar
deviasi lebih kecil daripada nilai mean maka dapat diartikan bahwa economic value
added memiliki kualitas data baik dan tidak terjadi penyimpangan data. Hal ini dapat
diperbandingkan melalui nilai minimum dan nilai maksimum yang tidak jauh dari
nilai mean. Jadi semakin kecil simpangan maka data semakin homogen (Lungan,
2006).
62
Nilai harga saham minimum sebesar 0,48% dan maksimum sebesar 5,38% .
Sedangkan nilai standar deviasi variabel harga saham sebesar 0,84015 lebih kecil
dari nilai mean variabel harga saham sebesar 2,7497 . Karena nilai standar deviasi
lebih kecil daripada nilai mean maka dapat diartikan bahwa harga saham memiliki
kualitas data baik dan tidak terjadi penyimpangan data. Hal ini dapat
diperbandingkan melalui nilai minimum dan nilai maksimum yang tidak jauh dari
nilai mean. Jadi semakin kecil simpangan maka data semakin homogen (Lungan,
2006).
4.2.2 Uji Asumsi Klasik
Pengujian analisis regresi digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui
apakah model regresi yang digunakan dapat menghasilkan output yang baik. Model
analisis yang digunakan dalam uji asumsi klasik terdiri dari uji normalitas, uji
heterokedastisitas, uji multikolonieritas, dan uji autokorelasi.
4.2.1.1 Uji Normalitas
Menurut Ghozali (2013), uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah
dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal.
Terdapat dua cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak
yaitu dengan statistik non-parametik Kolmogorov-Smirnov.
Hasil pengujian terhadap uji normalitas data menggunakan uji KolmogorovSmirnov dapat dilihat pada tabel 4.3 sebagai berikut :
63
Tabel 4.3
Hasil Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N
Normal
108
Mean
,0000000
Std. Deviation
,77477060
Most
Absolute
,082
Extreme
Positive
,046
Negative
-,082
Paramete
rsa,b
Difference
s
Kolmogorov-Smirnov Z
,851
Asymp. Sig. (2-tailed)
,463
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Sumber : Hasil Output SPSS 21
Hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov diketahui sebesar 0,851 dengan
Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,463 atau nilai signifikansi diatas 0,05 yaitu (0,463 >
0,05) maka dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal.
4.2.1.3 Uji Multikolinearitas
Menurut Ghozali (2013), untuk menguji apakah model regresi ditemukan
adanya korelasi antar variabel independen. Dengan menggunakan nilai tolerance,
nilai yang terbentuk harus diatas 10% dan menggunakan VIF (variance inflation
factor), nilai yang terbentuk harus kurang dari 10. Berikut ini hasil pengujian uji
multikolinearitas data dapat dilihat pada tabel 4.4 sebagai berikut :
64
Tabel 4.4
Hasil Uji Multikolinearitas
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
(Constant)
1
Std. Error
2,173
,415
ROA
,007
,012
ROE
-,007
ROS
t
Sig.
Beta
Collinearity Statistics
Tolerance
VIF
5,233
,000
,078
,584
,561
,469
2,133
,008
-,120
-,875
,383
,452
2,214
,048
,016
,416
3,023
,003
,445
2,248
EPS
-8,423E-005
,000
-,069
-,742
,460
,969
1,032
BEP
-,013
,067
-,018
-,198
,843
,971
1,030
,045
,059
,073
,759
,449
,920
1,087
log_eva
a. Dependent Variable: log_harga_saham
Sumber : Hasil Output SPSS 21
Berdasarkan hasil uji multikolinearitas pada tabel 4.4 dapat dilihat pada nilai
tolerance menunjukkan variabel independen yaitu sebesar ROA 0,469 ; ROE 0,452 ;
ROS 0,445 ; EPS 0,969 ; BEP 0,971 ; EVA 0,920, sedangkan nilai VIF sebesar ROA
2,133 ; ROE 2,214 ; ROS 2,248 ; EPS 1,032 ; BEP 1,030 ; EVA 1,087, dari hasil
output diatas nilai variabel independen nilai tolerance > 0,1 dan VIF < 10 maka
disimpulkan penelitian ini bebas multikolinearitas antara variabel independen.
4.2.1.4 Uji Autokorelasi
Menurut Ghozali (2013), untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu
pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem
autokorelasi. Berikut ini hasil pengujian uji autokorelasi menggunakan uji Run Test.
Uji Run Test digunakan untuk menguji apakah antar residual terdapat korelasi
yang tinggi dengan taraf signifikansi yang sudah ditentukan yaitu diatas 0,05.
65
Berdasarkan hasil pengujian uji autokorelasi dapat dilihat pada tabel 4.5 sebagai
berikut :
Tabel 4.5
Hasil Uji Run – Test
Runs Test
Unstandardized
Residual
Test Valuea
-,02575
Cases < Test Value
54
Cases >= Test Value
54
Total Cases
108
Number of Runs
46
Z
-1,740
Asymp. Sig. (2-tailed)
,082
a. Median
Sumber : Hasil Output SPSS 21
Dari hasil pengujian uji Run – Test diketahui Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar
0,082 atau nilai signifikansi diatas 0,05 yaitu (0,082 > 0,05) maka dapat disimpulkan
bahwa bebas autokorelasi.
4.2.1.2 Uji Heteroskedastisitas
Menurut Ghozali (2013), untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain.
Salah satu cara mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas yaitu dengan
melihat grafik scatterplot dan dibuktikan dengan uji glejser dengan tingkat
signifikansi diatas 0,05 dengan meregres nilai absolut residual terhadap variabel
independen. Berikut ini hasil pengujian uji heteroskedastisitas data menggunakan uji
glejser dapat dilihat pada tabel 4.6 sebagai berikut :
66
Tabel 4.6
Hasil Uji Glejser
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
t
Sig.
Coefficients
B
1
Std. Error
(Constant)
,335
,251
ROA
,004
,007
ROE
,003
ROS
Beta
1,337
,184
,069
,512
,610
,005
,080
,582
,562
,015
,010
,219
1,588
,115
EPS
9,079E-005
,000
,124
1,326
,188
BEP
-,027
,040
-,062
-,666
,507
,005
,036
,014
,151
,881
log_eva
a. Dependent Variable: absres
Sumber : Hasil Output SPSS 21
Hasil uji glejser tabel 4.6 diatas dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun
variabel independen yang signifikan secara statistik mempengaruhi variabel
dependen nilai Absolut Ut. Hal ini terlihat dari probabilitas signifikannya lebih dari
5% atau 0,05. Jadi, dapat disimpulkan model regresi tidak mengandung adanya
Heteroskedastisitas dan model regresi layak digunakan.
4.2.3 Uji Regresi Linier Berganda
Dalam penelitian ini model analisis yang dipergunakan adalah uji regresi
linear berganda dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya
pengaruh Return on Asset, Return on Equity, Return on Sales , Earning Per Share,
Basic Earning Power, dan Economic Value Added terhadap harga saham. Variabel
dependen diasumsikan random dan variabel independen diansumsikan memiliki nilai
67
tetap (Ghozali, 2013). Hasil perhitungan rumus linier berganda dengan menggunakan
bantuan program SPSS versi 21.0, maka diperoleh hasil analisis linier berganda pada
tabel 4.7 sebagai berikut :
Tabel 4.7
Hasil Uji Regresi Linier Berganda
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
(Constant)
1
Std. Error
2,173
,415
ROA
,007
,012
ROE
-,007
ROS
t
Sig.
Beta
Collinearity Statistics
Tolerance
VIF
5,233
,000
,078
,584
,561
,469
2,133
,008
-,120
-,875
,383
,452
2,214
,048
,016
,416
3,023
,003
,445
2,248
EPS
-8,423E-005
,000
-,069
-,742
,460
,969
1,032
BEP
-,013
,067
-,018
-,198
,843
,971
1,030
,045
,059
,073
,759
,449
,920
1,087
log_eva
a. Dependent Variable: log_harga_saham
Sumber : Hasil Output SPSS 21
Berdasarkan hasil pengujian uji regresi linier berganda dapat dibuat
persamaan regresi untuk mengetahui pengaruh kinerja keuangan terhadap nilai
perusahaan sebagai berikut :
Y=𝛼 + 𝛽 1X1+𝛽 2X2 + 𝛽 3X3+ 𝛽4X4 + 𝛽5X5 + 𝛽6X6 +𝛽7X7 + 𝛽8X8+ πœ–
Y=2,173+0,007X1−0,007X2+0,048X3−8,423X4−0,013X5+0,045X6
Berdasarkan hasil persamaan regresi linier berganda diatas diketahui sebagai
berikut :
1. Nilai konstanta sebesar 2,173 artinya apabila semua variabel X (independen)
bernilai konstan atau tetap maka nilai Harga Saham akan sebesar 2,173.
68
2. Koefisien return on assets sebesar 0,007 artinya bahwa pada saat variabel return
on assets mengalami penambahan 1% maka harga saham akan mengalami
kenaikan sebesar 0,007.
3. Koefisien return on equity sebesar -0,007 artinya bahwa pada saat variabel return
on equity mengalami penambahan 1% maka harga saham akan mengalami
penurunan sebesar 0,007.
4. Koefisien return on sales sebesar 0,048 artinya bahwa pada saat variabel return
on sales mengalami penambahan 1% maka harga saham akan mengalami
kenaikan sebesar 0,048.
5. Koefisien earning per share sebesar -8,423 artinya bahwa pada saat variabel
logaritma natural earning per share mengalami penambahan 1% maka harga
saham akan mengalami penurunan sebesar 8,423.
6. Koefisien basic earning power sebesar -0,013 artinya bahwa pada saat variabel
basic earning power mengalami penambahan 1% maka harga saham akan
mengalami penurunan sebesar 0,013.
7. Koefisien eva sebesar 0,045 artinya bahwa pada saat variabel eva mengalami
penambahan 1% maka harga saham akan mengalami kenaikan sebesar 0,045.
4.2.4 Pengujian Hipotesis
4.2.4.1 Pengujian Hipotesis secara simultan (Uji F)
Menurut Ghozali (2013), uji statistik F menunjukkan apakah semua variabel
independen dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama – sama
terhadap variabel dependen. Pengujian ini dipergunakan untuk mengetahui apakah
model regresi layak atau tidak untuk penelitian. Dengan melihat angka probabilitas
69
signifikan sebesar 0.011 lebih kecil dari tingkat signifikasi alpha sebesar 0,05.
Berdasarkan hasil pengujian uji F dapat dilihat pada tabel 4.8 sebagai berikut :
Tabel 4.8
Hasil Uji F
ANOVAa
Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
11,297
6
1,883
Residual
64,229
101
,636
Total
75,526
107
F
2,961
Sig.
,011b
a. Dependent Variable: log_harga_saham
b. Predictors: (Constant), log_eva, EPS, BEP, ROE, ROA, ROS
Sumber : Hasil Output SPSS 21
Berdasarkan hasil uji-F pada tabel 4.8 maka dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa variabel ROA (X1), ROE (X2), ROS (X3), EPS (X4), BEP (X5),
EVA (X6) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Harga Saham (Y). Hasil
tersebut terlihat pada nilai signifikan sebesar 0,011b maka menunjukkan bahwa ROA,
ROE, ROS, EPS, BEP, dan EVA secara bersama-sama (simultan) berpengaruh
terhadap Harga Saham.
4.2.4.2 Pengujian Hipotesis secara parsial (Uji t)
Uji statistik t menunjukkan pengaruh satu variabel independen secara individual
dalam menerangkan variabel dependen. Pengujian hipotesis secara parsial (uji t)
dengan tingkat signifikansi < 0,05 (Ghozali, 2013). Hasil pengujian uji parsial (uji t)
dapat dilihat pada tabel 4.9 sebagai berikut :
70
Tabel 4.9
Hasil Uji t
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
t
Sig.
Collinearity Statistics
Coefficients
B
Beta
2,173
,415
ROA
,007
,012
ROE
-,007
ROS
Tolerance
VIF
5,233
,000
,078
,584
,561
,469
2,133
,008
-,120
-,875
,383
,452
2,214
,048
,016
,416
3,023
,003
,445
2,248
EPS
-8,423E-005
,000
-,069
-,742
,460
,969
1,032
BEP
-,013
,067
-,018
-,198
,843
,971
1,030
,045
,059
,073
,759
,449
,920
1,087
(Constant)
1
Std. Error
log_eva
a. Dependent Variable: log_harga_saham
Sumber : Hasil Output SPSS 21
Berdasarkan hasil pengujian secara parsial (uji t) pada tabel 4.9 dapat
diurakan sebagai berikut :
1. Return on Assets (ROA)
Return on assets mempunyai nilait-hitung sebesar 0,584 dan nilai tingkat
signifikansi sebesar 0,561 > 0,050 maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa return on assets tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham
dengan demikian hipotesis pertama ditolak.
2. Return on Equity (ROE)
Return on equity mempunyai nilai t-hitung sebesar -0,875 dan nilai tingkat
signifikansi sebesar 0,383 > 0,050 maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa Return on Equity tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham
dengan demikian hipotesis kedua ditolak.
71
3. Return on Sales (ROS)
Return on sales mempunyai nilai t-hitung sebesar 3,023 dan nilai tingkat
signifikansi sebesar 0,003 < 0,050 maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa earning per share berpengaruh signifikan terhadap harga saham dengan
demikian hipotesis ketiga diterima.
4. Earning Per Share (EPS)
Earning per share mempunyai nilai t-hitung sebesar -0,742 dan nilai tingkat
signifikansi sebesar 0,460 > 0,050 maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa earning per share tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham
dengan demikian hipotesis ketiga ditolak.
5. Basic Earning Power (BEP)
Basic earning power mempunyai nilai t-hitung sebesar -0,198 dan nilai
tingkat signifikansi sebesar 0,843 > 0,050 maka dalam penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa earning per share tidak berpengaruh signifikan terhadap price
to book value dengan demikian hipotesis kelima ditolak.
6. Economic Value Added (EVA)
Economic Value Added mempunyai nilai t-hitung sebesar 0,759 dan nilai
tingkat signifikansi sebesar 0,449 > 0,050 maka dalam penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa economic value added tidak berpengaruh signifikan terhadap
harga sahamdengan demikian hipotesis keenam ditolak.
72
4.2.5
Uji Koefisien Determinasi
Menurut Ghozali (2013), uji koefisien determinasi digunakan untuk mengukur
seberapa jauh kemampuan model dalam variabel dependen. Nilai koefisien
determinasi antara nol dan satu. Nilai R2 Nilai yang mendekati satu berarti variabel –
variabel independen memberikan semua informasi yang dibutuhkan untuk
memprediksi variabel dependen. Hasil pengujian uji koefisien determinasi (R2) dapat
dilihat pada tabel 4.10 sebagai berikut :
Tabel 4.10
Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2)
Model Summaryb
Model
1
R
,387a
R
Adjusted R
Std. Error of the
Durbin-
Square
Square
Estimate
Watson
,150
,099
,79745
1,797
a. Predictors: (Constant), log_eva, EPS, BEP, ROE, ROA, ROS
b. Dependent Variable: log_harga_saham
Sumber : Hasil Output SPSS 21
Berdasarkan hasil pengujian uji koefisien determinasi pada tabel 4.10
menjelaskan bahwa besarnya nilai adjusted R2 adalah 0,099, hal ini berarti bahwa
nilai perusahaan yang diproksikan oleh harga saham 9,9% dijelaskan oleh return on
assets, return on equity, return on sales, earning per share, basic earning power, dan
economic value added dan sisanya sebesar 90,1% dijelaskan oleh variabel lain di luar
model penelitian.
73
Selain itu, nilai adjusted R2 yang dihasilkan besar itu berarti kemampuan
variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen sangat tidak
terbatas. Dimana nilai adjusted R2 hampir mendekati satu berarti variabel-variabel
independen mampu memberikan semua informasi yang dibutuhkan untuk
memprediksi variabel dependen.
4.3
Pembahasan dan Hasil Pembahasan
4.3.1 Pengaruh Return On Assets terhadap Harga Saham
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pertama return on assets tidak
berpengaruh signifikan terhadap harga saham, hal ini menunjukkan adanya
penggunaan dan pengelolaan aset perusahaan yang tidak optimal dan kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang dipergunakan kurang efektif
dan efisien, sehingga investor tidak terlalu memperhitungkan return on assets
sebagai pertimbangan investasi. Jadi dengan tidak adanya pengaruh return on assets
terhadap harga saham, maka dengan demikian dapat dijelaskan bahwa hipotesis
pertama ditolak.
Tidak adanya pengaruh return on assets terhadap harga saham pada
perusahaan manufaktur dikarenakan perusahaan kurang maksimal dalam pengelolaan
aset untuk menghasilkan laba, semakin tinggi return on assets tidak mempengaruhi
tingkat harga saham yang ditentukan, begitu juga sebaliknya. Atau perusahaan tidak
mampu meraih profit atau keuntungan yang bagus disetiap periode, bahkan para
investor perlu mengkhawatirkan perusahaan tersebut akan merugi atau bahkan
bankrut. Artinya, keuntungan atau profit yang didapat oleh perusahaan tidak dapat
74
dinikmati oleh para investor dan tidak dapat membuka kemungkinan datangnya
investor-investor baru lagi yang ingin menanamkan modal mereka disana yang dapat
meningkatkan harga pasar saham perusahaan tersebut. Rasio Return on assets
menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang
dipergunakan. Return on assets diperoleh dari rasio antara earning after taxes dengan
total aktiva.
Selain itu tidak berpengaruhmya return on assets terhadap harga saham juga
dapat dilihat dari rata-rata return on assets, perusahaan sampel dalam penelitian ini
menunjukkan nilai rata-rata 9,66%, dari 108 perusahaan sampel sebanyak 65
perusahaan
dibawah
nilai
rata-rata
return
on
assets
semua
perusahaan.
Secara statistik dapat dilihat pada data mentah tidak adanya pengaruh return
on assets terhadap harga saham yaitu PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk pada tahun
2011 return on assets sebesar 4.18 dan tahun 2012 sebesar 6.56 sedangkan harga
saham di tahun 2011 sebesar 495 dan tahun 2012 sebesar 108. Apabila diperhatikan
dari contoh diatas, nilai return on assets yang tinggi tidak berarti diikuti nilai harga
saham yang tinggi, sebaliknya nilai return on assets yang rendah juga tidak diikuti
nilai harga saham yang rendah.
Dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian yang
dilakukan oleh Astri Wulan Dini dan Iin Indarti (2010), yang menyatakan variabel
return on assets tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham karena hasil
tersebut terlihat pada nilai signifikan. Berdasarkan hasil pengujian yang diketahui
bahwa Return On Assets (ROA) tidak berpengaruh terhadap harga saham, akan tetapi
hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Agustina dan Noviri
75
(2013), membuktikan bahwa variabel return on asset secara parsial mempunyai
pengaruh terhadap harga saham.
4.3.2 Pengaruh Return On Equity terhadap Harga Saham
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis kedua return on equity tidak
berpengaruh signifikan terhadap harga saham, hal ini menunjukkan bahwa return
on equity hanya menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
keuntungan dengan investasi para pemilik, namun kurang menggambarkan
perkembangan dan prospek perusahaan sehingga para investor tidak terlalu
memperhitungkan return on equity sebagai pertimbangan investasinya. Jadi dengan
tidak adanya pengaruh return on equity terhadap harga saham, maka dengan
demikian dapat dijelaskan bahwa hipotesis kedua ditolak.
Return on equity tidak berpengaruh terhadap harga saham pada perusahaan
manufaktur dikarenakan perusahaan memiliki return on equity yang rendah atau
bahkan negatif akan terklasifikasikan sebagai perusahaan yang kurang baik dalam
menghasilkan incomenya. Jika return on equity naik maka akan menurunkan harga
saham. Kenaikan rasio ini berarti akan menurunkan laba bersih dari perusahaan yang
bersangkutan. Jadi semakin menurun tingkat efektif dan efisien manajemen
perusahaan, atau dengan kata lain kinerja manajemen perusahaan dalam mengelola
sumber dana pembiayaan operasional tidak maksimal dalam menghasilkan laba
bersih. Sehingga mempengaruhi minat investor dalam berinvestasi pada perusahaan.
Rasio ini penting bagi para pemilik dan pemegang saham karena rasio ini
menunjukkan
kemampuan
perusahaan
dalam
mengelola
modalnya
untuk
mendapatkan laba bersih (net income). Dan peningkatan kemampuan perusahaan
76
dalam menghasilkan laba atas modal yang diinvestasikan para pemegang saham
return on equity akan memberikan pengaruh positif terhadap harga saham sampai
pada batasan dimana tingkat pengembalian ekuitas pemilik dapat memberikan
informasi mengenai kondisi perusahaan kepada investor. Selain itu, tingkat
pengembalian ekuitas pemilik menjadi alat ukur yang digunakan oleh para investor
untuk memperkirakan kinerja perusahaan di masa depan.
Selain itu tidak berpengaruhmya return on equity terhadap harga saham juga
dapat dilihat dari rata-rata return on equity, perusahaan sampel dalam penelitian ini
menunjukkan nilai rata-rata 17,49%, dari 108 perusahaan sampel sebanyak 58
perusahaan dibawah nilai rata-rata return on equity semua perusahaan.
Secara statistik dapat dilihat pada data mentah tidak adanya pengaruh return
on equity terhadap harga saham yaitu PT. Indo Kordsa Tbk pada tahun 2011 return
on equity sebesar 1.78 dan tahun 2012 sebesar 13.29 sedangkan harga saham di tahun
2011 sebesar 215 dan tahun 2012 sebesar 3. Apabila diperhatikan dari contoh diatas,
nilai return on equity yang tinggi tidak berarti diikuti nilai harga saham yang tinggi,
sebaliknya nilai return on equity yang rendah juga tidak diikuti nilai harga saham
yang rendah.
Dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan
oleh Rinati, (2008) tidak mendukung dengan memperoleh hasil bahwa return on
equity tidak mempunyai pengaruh terhadap harga saham, ditunjukan dengan nilai t,
akan tetapi hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulandini dan
Indarti (2010), yang menyatakan return on equity terhadap harga saham dengan arah
koefisien regresi adalah positif, artinya mempunyai hubungan yang searah dengan
77
harga saham. Hasil menunjukkan bahwa variabel return on equity mempunyai
pengaruh signifikan terhadap harga saham.
4.3.3 Pengaruh Return On sales terhadap Harga Saham
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ketiga return on sales berpengaruh
signifikan terhadap harga saham, hal ini menandakan bahwa semakin tinggi return
on sales, maka akan semakin tinggi pula harga saham. Selain itu, para investor dalam
melakukan investasi memperhitungkan variabel return on sales untuk memprediksi
harga saham. Sehingga dengan adanya pengaruh return on sales terhadap harga
saham, maka dengan demikian dapat dijelaskan bahwa hipotesis ketiga diterima.
Adanya pengaruh return on sales terhadap harga saham dapat terlihat dari
rata-rata return on sales yang tiap tahunnya meningkat diimbangi dengan kenaikan
harga saham. Karena return on sales memiliki pengaruh yang paling tinggi terhadap
harga saham sehingga kemampuan perusahaan untuk mendapat laba juga tinggi.
Semakin tinggi tingkat penjualan maka semakin produktif perusahaan tersebut.
Return on sales yang tinggi menandakan kemampuan perusahaan menghasilkan laba
yang tinggi pada tingkat penjualan tertentu serta kemampuan perusahaan yang baik
dalam menekan biaya-biaya operasioanalnya. Hal ini meningkatkan kepercayaan
investor untuk menginvestasikan modalnya pada perusahaan tersebut sehingga
permintaan akan saham perusahaan meningkat yang otomatis akan diikuti
peningkatan harga saham tersebut. Teori tersebut semakin memperkuat hasil
penelitian ini yaitu return on sales berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga
saham.
78
Secara statistik dapat dilihat pada data mentah adanya pengaruh return on
sales terhadap harga saham yaitu PT. Voksel Electric Tbk pada tahun 2011 return on
sales sebesar 5.49 dan tahun 2012 sebesar 5.91 sedangkan harga saham di tahun
2011 sebesar 820 dan tahun 2012 sebesar 1.030. Apabila diperhatikan dari contoh
diatas, nilai return on sales yang rendah berarti diikuti nilai harga saham yang
rendah, sebaliknya nilai return on sales yang tinggi juga diikuti nilai harga saham
yang tinggi.
Dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian yang
dilakukan oleh Suciyati (2008), membuktikan bahwa variabel return on sales
berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Hal ini dikarenakan memiliki
kontribusi yang cukup mampu dalam mempengaruhi harga saham, akan tetapi hal
ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Haryuningputri dan Widyarti
(2012), membuktikan bahwa variabel return on sales tidak berpengaruh signifikan
terhadap harga saham.
4.3.4 Pengaruh Earning Per Share terhadap Harga Saham
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis keempat earning per share tidak
berpengaruh signifikan terhadap harga saham, hal ini menandakan bahwa penurunan
earning per share tidak akan mempengaruhi hasil pengembalian yang berhak
diperoleh investor dalam bentuk dividen dan capital gain. Selain itu, earning per
share memiliki nilai rendah yang menandakan bahwa perusahaan gagal dalam
memberikan kemanfaatan sebagaimana yang diharapkan oleh pemegang saham
79
(investor). Sehingga dengan tidak adanya pengaruh earning per share terhadap
harga sahan, maka dengan demikian dapat dijelaskan bahwa hipotesis keempat
ditolak.
Tidak adanya pengaruh earning per share terhadap harga saham pada
perusahaan manufaktur dikarenakan beberapa faktor diantaranya penggunaan hutang.
Dalam menentukan sumber dana untuk menjalankan perusahaan dalam struktur
modal yang mampu memaksimumkan harga saham perusahaannya. Dengan
demikian terlihat bahwa perubahan penggunaan hutang, merupakan faktor yang
mempengaruhi tingkat earning per share. Jika suatu perusahaan kurang baik dalam
pengelolaan penggunaan hutang maka akan berdampak pada penurunan laba
perlembar saham yang dibagikan kepada investor, walaupun harga sahamnya tinggi.
Sehingga investor akan mempertimbangkan untuk menginvestasikan modalnya di
perusahaan
tersebut.
Artinya,
peningkatan
kemampuan
perusahaan
dalam
menghasilkan laba atas modal yang diinvestasikan para pemegang saham earning
per share akan memberikan pengaruh positif terhadap harga saham sampai pada
batasan dimana tingkat laba per saham dapat memberikan informasi mengenai
kondisi perusahaan kepada investor. Selain itu, laba per saham menjadi alat ukur
yang digunakan oleh para investor untuk memperkirakan kinerja perusahaan di masa
depan.
Selain itu tidak berpengaruhmya earning per share terhadap harga saham
juga dapat dilihat dari rata-rata earning per share., perusahaan sampel dalam
penelitian ini menunjukkan nilai rata-rata 260,13%, dari 108 perusahaan sampel
sebanyak 78 perusahaan dibawah nilai rata-rata
perusahaan.
80
earning per share semua
Secara statistik dapat dilihat pada data mentah tidak adanya pengaruh earning
per share terhadap harga saham yaitu PT. Eratex Djaja Tbk pada tahun 2011
earning per share sebesar 694 dan tahun 2012 sebesar 42 sedangkan harga saham di
tahun 2011 sebesar 200 dan tahun 2012 sebesar 325. Apabila diperhatikan dari
contoh diatas, nilai earning per share yang tinggi tidak berarti diikuti nilai harga
saham yang tinggi, sebaliknya nilai earning per share yang rendah juga tidak diikuti
nilai harga saham yang rendah.
Dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Amanda, dkk (2011), membuktikan bahwa variabel earning per share
secara parsial berpengaruh terhadap harga saham.
4.3.5 Pengaruh Basic Earning Power terhadap Harga Saham
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis kelima basic earning power tidak
berpengaruh signifikan terhadap harga saham, hal ini menandakan bahwa kinerja
suatu perusahaan semakin rendah dikarenakan perusahaan belum mampu
menghasilkan laba dengan efektif dan efisien. Jika kinerja suatu perusahaan rendah
maka nilai perusahaan juga akan menurun yang pada akhirnya akan berdampak pada
harga saham. Jadi dengan tidak adanya pengaruh basic earning power terhadap
harga sahan, maka dengan demikian dapat dijelaskan bahwa hipotesis keempat
ditolak.
Tidak adanya pengaruh basic earning power terhadap harga saham pada
perusahaan manufaktur dikarenakan semakin kecil nilai basic earning power
mengindikasikan bahwa kinerja suatu perusahaan semakin kurang baik karena
perusahaan tidak mampu menghasilkan laba dengan seluruh modal yang bekerja di
81
dalam perusahaan dengan efektif dan efisien. Sehingga mempengaruhi minat
investor dalam berinvestasi pada perusahaan tersebut. Jadi, jika kinerja suatu
perusahaan bagus maka nilai perusahaan juga akan meningkat yang pada akhirnya
akan berdampak pada peningkatan harga saham.
Selain itu tidak berpengaruhmya basic earning power terhadap harga saham
juga dapat dilihat dari rata-rata basic earning power, perusahaan sampel dalam
penelitian ini menunjukkan nilai rata-rata 0,33%, dari 108 perusahaan sampel
sebanyak 100 perusahaan dibawah nilai rata-rata basic earning power semua
perusahaan.
Secara statistik dapat dilihat pada data mentah tidak adanya pengaruh basic
earning power terhadap harga saham yaitu PT. Budi Strach & Sweetener Tbk pada
tahun 2011 basic earning power sebesar 0.04 dan tahun 2012 sebesar 5.42 sedangkan
harga saham di tahun 2011 sebesar 240 dan tahun 2012 sebesar 114. Apabila
diperhatikan dari contoh diatas, nilai basic earning power yang tinggi tidak berarti
diikuti nilai harga saham yang tinggi, sebaliknya nilai basic earning power yang
rendah juga tidak diikuti nilai harga saham yang rendah.
Dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian yang
dilakukan oleh Achmad (2010), membuktikan bahwa hasil koefisien regresi
menunjukkan bahwa basic earning power tidak dapat diterima, berarti basic earning
power tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga saham, akan tetapi
hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Vany Achmad (2010),
yang menujukkan bahwa basic earning power berpengaruh signifikan terhadap
harga saham. Hal ini berarti basic earning power memiliki pengaruh signifikan
terhadap harga saham.
82
4.3.6 Pengaruh Economic Value Added terhadap Harga Saham
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis keenam economic value added tidak
berpengaruh signifikan terhadap harga saham, hal ini menandakan bahwa
perusahaan tidak mampu menciptakan nilai tetapi menghancurkan nilai kekayaan
pemegang saham. Bahkan terdapat beberapa perusahaan yang selama beberapa tahun
menghasilkan tingkat imbal hasil yang lebih rendah daripada tingkat bunga bebas
resiko. Sehingga dengan tidak adanya pengaruh economic value added terhadap
harga saham, maka dengan demikian dapat dijelaskan bahwa hipotesis keenam
ditolak.
Kenyataan bahwa economic value added tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap harga saham di pasar modal atau harga saham tidak merupakan
pencerminan dari Economic Value Added membuktikan pasar modal Indonesia
bersifat WeakForm efficient, yaitu bahwa harga saham di pasar modal tidak
mencerminkan seluruh informasi yang ada. Selain itu, pengaruh lingkungan eksternal
justru lebih dominan sebagai dasar pengambilan keputusan investor sendiri.
Pengaruh pasar tersebut dapat datang dari kondisi pasar uang, seperti naiknya tingkat
suku bunga baik dalam negeri maupun luar negeri, devaluasi sehingga
mengakibatkan tekanan terhadap nilai jual saham yang tidak ada kaitannya dengan
kinerja perusahaan.
Selain itu tidak berpengaruhmya economic value added terhadap harga saham
juga dapat dilihat dari rata-rata economic value added, perusahaan sampel dalam
penelitian ini menunjukkan nilai rata-rata 6,29%, dari 108 perusahaan sampel
83
sebanyak 64 perusahaan dibawah nilai rata-rata economic value added semua
perusahaan.
Secara statistik dapat dilihat pada data mentah tidak adanya pengaruh
economic value added terhadap harga saham yaitu PT. Inter Delta Tbk pada tahun
2011 economic value added sebesar 963918.4 dan tahun 2012 sebesar 436856.2
sedangkan harga saham di tahun 2011 sebesar 420 dan tahun 2012 sebesar 420.
Apabila diperhatikan dari contoh diatas, nilai economic value added yang tinggi
tidak berarti diikuti nilai harga saham yang tinggi, sebaliknya nilai economic value
added yang rendah juga tidak diikuti nilai harga saham yang rendah.
Dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan
oleh Mardiyanto (2013), membuktikan bahwa pengaruh variabel economic value
added terhadap harga saham terlihat masih terdapat hasil yang kontradiksi satu sama
lain dengan tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Hal ini juga
menyebabkan bahwa penelitian mengenai pengaruh alat ukur kinerja perusahaan
khususnya menggunakan economic value added terhadap harga saham masih
diperlukan, akan tetapi hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Handoko (2008) melakukan penelitian pada perusahaan dengan menguji pengaruh
variabel economic value added, terhadap perubahan harga saham. Hasilnya dapat
disimpulkan bahwa secara serentak variabel economic value added berpengaruh
signifikan terhadap perubahan harga saham.
84
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan pada perusahaan
manufaktur tahun 2011-2012 tentang pengaruh Return on Asset, Return on Equity,
Return on Sales, Earning Per Share, Basic Earning Power, dan Economic Value
Added terhadap harga saham. Sehingga dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Variabel Return on Asset tidak memiliki pengaruh terhadap harga saham,
dapat dikatakan Return on Asset tidak memiliki kontribusi terhadap harga
saham.
2.
Variabel Return on Equity tidak memiliki pengaruh terhadap harga
saham, dapat dikatakan Return on Equity tidak memiliki kontribusi terhadap
harga saham.
3.
Variabel Return on Sales berpengaruh terhadap harga saham, dapat dikatakan
Return on Sales memiliki kontribusi terhadap harga saham.
4.
Variabel Earning Per Share tidak memiliki pengaruh terhadap harga
saham, dapat dikatakan Earning Per Share tidak memiliki kontribusi
terhadap harga saham.
5.
Variabel Basic Earning Power tidak memiliki pengaruh terhadap harga
saham, dapat dikatakan Basic Earning Power tidak memiliki kontribusi
terhadap harga saham.
85
6. Variabel Economic Value Added tidak memiliki pengaruh terhadap harga saham,
dapat dikatakan
Economic Value Added tidak memiliki kontribusi terhadap
harga saham.
5.2
Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan pada perusahaan
manufaktur tahun 2011-2012 tentang pengaruh Return on Asset, Return on Equity,
Return on Sales, Earning Per Share, Basic Earning Power, dan Economic Value
Added terhadap harga saham. Sehingga saran yang disampaikan sebagai berikut :
a)
Diharapkan mengganti variabel atau menambah jumlah variabel lain diluar
variabel dalam penelitian ini yang berkaitan dengan harga saham, seperti debt
to equity ratio, debt ratio, asset growth ratio, sales growth ratio, current
ratio, inventory turnover.
b) Diharapkan menambah rasio keuangan lainnya sebagai variabel independen,
karena sangat dimungkinkan rasio keuangan lain yang tidak dimasukkan
dalam penelitian ini berpengaruh terhadap perubahan harga saham, seperti
debt to equity ratio, debt ratio, asset growth ratio, sales growth ratio, current
ratio, inventory turnover.
c) Diharapkan memperpanjang periode pengamatan agar hasil penelitian dapat
digeneralisasikan.
86
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Halim. 2003. Analisis Investasi . Salemba Empat, Jakarta.
Agnes, Sawir. 2001. Analisis Kinerja Keuangan dan Perencanaan Keuangan
Perusahaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Anoraga, Pandji, dan Pakarti Piji. 2001. Pengantar Pasar Modal. Edisi Revisi. PT.
Asdi Mahasatya. Jakarta.
Alexandri, Moh Benny, 2008. Manajemen Keuangan Bisnis. Cetakan Kesatu.
Bandung: Alfabeta.
Brigham.Eugene F and Joel F Houston. 2001. Manajemen Keuangan. Edisi
kedelapan. Erlangga: Jakarta.
Ghozali, Imam. 2013. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM SPSS 21.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro: Semarang.
Harahap, Sofyan Safiri. 2004. Analisis Kritis atas Laporan Keuangan. Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
Irawati, Susan. 2006. Manajemen Keuangan. Cetakan Pertama. Bandung: Pustaka.
Indriantoro Nur dan Bambang Supomo. 2014. Metodelogi Penelitian Bisnis. BPFEYogyakarta. Yogyakarta.
Jim De Mello. 2006. Cases in Finance. Kasus-kasus Keuangan. Jakarta: Salemba
Empat.
Jogiyanto. 2007. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi Revisi. Yogyakarta:
BPFE.
Riyanto, Bambang. 2001. Dasar-dasar
keempat.Yogyakarta: BPFE.
Pembelajaran
Perusahaan.
Edisi
Samsul, Mohamad. 2006. Pasar Modal & Manajemen Portofolio. Surabaya:
Erlangga.
Suad, Husnan. 2001. Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas. Edisi
kelima. Yogyakarta: BPFE.
Sartono, Agus. 2001. Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: BPFE.
87
Subramanyam dan John J.Wild. 2010. Analisis Laporan Keuangan. Salemba Empat,
Jakarta
Syamsudin, Lukman. 2004. Manajemen Keuangan. Penerbit Raja Grafindo
Persada. Jakarta
Astri Wulan Dini dan Iin Indarti. 2010. Pengaruh Net Profit Margin (NPM), Return
On Assets (ROA) Dan Return On Equity (ROE) Terhadap Harga Saham Yang
Terdaftar Dalam Indeks Emiten LQ45 Tahun 2008 – 2010. Jurnal Akuntansi.
Astrid Amanda, Darminto dan Achmad Husaini. 2011. Pengaruh DER, ROE, EPS,
PER terhadap Harga Saham. Jurnal Akuntansi.
Lidya Agustina dan Sany Noviri. 2013. Pengaruh Return On Asset (ROA), Earning
Per Share (EPS), dan Tingkat Suku Bunga SBI Terhadap Harga Saham
(Studi Pada Indeks LQ45 Tahun 2010). Jurnal Akuntansi.
Meilinda Haryuningputri dan Endang Tri Widyarti. 2012. Pengaruh Rasio
Profitabilitas dan EVA terhadap Harga Saham pada Sektor Industri
Manufaktur di BEI tahun 2007-2010. Jurnal Akuntansi.
Noer Sasongko dan Nila Wulandari. 2006. Pengaruh EVA dan Rasio – Rasio
Profitabilitas terhadap Harga Saham. Jurnal Akuntansi.
www.idx.co.id
88
Download