MODUL PERKULIAHAN Folklore Modul Standar untuk digunakan dalam Perkuliahan di Universitas Mercu Buana Fakultas Program Studi Fakultas Desain dan Desain Produk Seni Kreatif Abstract Tatap Muka 07 Kode MK Disusun Oleh MK19049 Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M. Si Kompetensi Penjelasan mengenai kontrak Diharapkan peserta mengikuti perkuliahan yang didalamnya perkuliahan dengan baik dengan dijelaskan mengenai tata tertib, teknis, mengikuti petunjuk teknis pengerjaan, serta bahan untuk perkuliahan. Di sehingga dapat mengasah keterampilan, jelaskan juga mengenai materi dan mempertajam kepekaan terhadap perkuliahan yang harus diterapkan segala sesuatu yang menyangkut pada mata kuliah Folklore di Folklore / Kebudayaan Universitas Mercubuana 2014 2 Folklore Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Folklore Jepang Sejarah Folklore Jepang Foklor Jepang telah dikumpulkan sejak 1910. Orang Jepang yang dianggap sebagai pelopor penelitian folklor secara ilmiah di Jepang adalah Yanagita Kunio (1875-1962). Buku pertamanya tentang folklor yaitu Tono Monogatari yang diterbitkan pada tahun 1910. Buku ini dikemudian hari menjadi karya kesusastraan dan folklor klasik. Pada tahun 1930 folklor Jepang telah menjadi suatu disiplin tersendiri, dan telah mendapat pengakuan secara formal oleh masyarakatnya. Tahun 1930 dianggap sebagai titik pangkal berdirinya ilmu folklor di Jepang, karena pada tahun itu, telah timbul kegiatan-kegiatan untuk mengadakan penelitian folklor. Motivasi penelitian folklor Jepang oleh para ahli folklor Jepang dibawah pimpinan Yanagita yaitu untuk mencari unsur-unsur tradisi lisan untuk merumuskan watak nasional khas orang Jepang. Jepang yang oleh penduduknya sendiri disebut Nippon atau Nihon, merupakan negara yang wilayahnya terdiri dari pulau-pulau (Kodansha, 1993: 649-658). Dari pulau-pulau yang tersebar ini, muncullah legenda-legenda yang tumbuh di kalangan masyarakat Jepang. Menurut Richard M. Dorson yang dikutip oleh James Danandjaja, banyaknya legenda di Jepang disebabkan karena negara itu telah lama mengucilkan dirinya dari negara lain. Legenda, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah cerita rakyat dari zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Yanagita Kunio menyebut legenda Jepang dengan istilah densetsu, yang berbeda dengan legenda dari Eropa. Densetsu itu masih ada sampai sekarang, karena legenda Jepang masih didukung oleh kepercayaan masyarakat yang secara kuat masih dianut. Akibatnya, terdapat banyak dongeng yang di Barat sudah dianggap fiktif, di Jepang masih dianggap benar-benar terjadi. Dengan 2014 3 Folklore Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id demikian dongeng-dongeng tersebut dapat dikategorikan kedalam legenda (James Danandjaja, Folklor Jepang, 1997, hal. 78 ). Legenda Jepang masih merupakan folklor hidup, bukan saja bagi rakyat biasa tetapi juga bagi orang Jepang yang hidup di zaman sekarang. Hal ini disebabkan sewaktu zaman dulu ketika mereka masih kecil atau dalam proses pengasuhan anak, mereka sudah diakrabkan dengan legenda-legenda yang masih hidup dalam masyarakatnya. Jadi walaupun mereka mengatakan sudah tidak percaya, di dalam hati sebenarnya mereka masih yakin. Dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat, namun mengandung pesanpesan yang merupakan nilai-nilai dari bangsa yang mendukungnya, sehingga dapat berfungsi sebagai alat untuk mendidik individu dan masyarakatnya. Hal-hal gaib masih dipercaya sampai sekarang, karena mereka menerimanya secara logis. Di Jepang makhluk-makhluk alam gaib masih diyakini keberadaannya oleh penduduknya, karena masih ada orang yang mengatakan pernah bertemu dengan makhluk semacam itu (James Danandjaja, Folklor Jepang, 1997, hal. 79,131). Artinya, peristiwa gaib masih merupakan fakta yang masuk akal bagi masyarakat Jepang. Folklor Jepang banyak dipengaruhi oleh agama Shinto dan Budha. Selain itu, hampir seluruh ceritanya berdasarkan atas kitab Kojiki, Nihon Shoki dan Fudoki. Selain itu folklor Jepang juga sering melibatkan karakter lucu, aneh, berbagai macam makhluk gaib, kami (dewa atau roh yang dihormati), yokai (raksasa/roh), yurei (hantu), dan hewan dengan kemampuan gaib serta benda-benda suci. Pada prinsipnya kehidupan beragama adalah kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib. Supernatural yang memiliki pengaruh bagi kehidupan individu, kelompok masyarakat atau yang lainnya. Beragama sebagai fenomena universal kehidupan manusia yang seperti yang dikatakan oleh Bergson (18591941), seorang filsuf Perancis bahwa kita dapat menemukan masyarakat tanpa sains, seni dan filsafat namun tidak ada masyarakat tanpa agama. Sementara itu seorang filsuf Norbeck (1974:3) mengatakan bahwa ia tidak mengakui adanya beragama universal dalam kehidupan individual. Individu-individu yang non 2014 4 Folklore Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id religius menurutnya makin umum di kalangan masyarakat modern, namun kepercayaan terhadap keagamaan tetap saja dipegang oleh semua masyarakat Sehubungan dengan kehadiran agama di Jepang, seorang peneliti keagamaan Miyake Hitoshi2 dalam bukunya Nihon shukyo No Kozo 日本宗教の構造 _menjelaskan mengenai agama di dunia yang berhubungan dengan agama di Jepang menjadi beberapa kategori sebagai berikut: 1) Mikai Shukyou, Agama Primitif. Penganutnya belum bisa baca dan tulis, contoh: animisme, kepercayaan terhadap roh dan dan gejala-gejala alam; totemisme (animal worship) adalah keyakinan bahwa manusia memiliki hubungan dengan binatang; shamanisme, agama yang mempercayai ada kekuatan dukun; shijo shinshinko, agama yang percaya bahwa yang diyakini dan dipercayai hidup di langit. 2) Minzoku Shukyo yaitu agama rakyat atau agama negara yang hanya ada dalam satu bangsa saja, contoh: Shinto, Tao , Yahudi dan lainnya. 3) Fuhen Shukyou yaitu agama-agama universal atau agama samawi, agamaagama yang dapat ditemukan dimana saja, contoh: Islam, Kristen, Budha dan lainnya. Adapun dalam kehidupan keseharian orang Jepang nampaknya agama bukanlah hal yang dianggap penting. Masyarakat Jepang mempunyai pandangan yang sangat sekuler dan tidak begitu peduli pada agama. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penganut agama di Jepang dari data yang dikeluarkan dan direvisi oleh Kementrian Pendidikan Jepang baru-baru ini sebagai berikut, penganut Shinto berkisar 107 juta orang, Budha berkisar 89 juta orang, Katolik dan Kristen Protestan sekitar 3 juta orang, serta sekitar 10 juta orang sebagai penganut agama lain-lain. Apabila dijumlahkan maka total seluruh penganut agama di Jepang akan berjumlah 290 juta. Ditambah dengan jumlah penganut berbagai aliran dari Budha dan Shinto saja hampir melebihi 200 juta orang. Dengan demikian penganut agama di Jepang berjumlah dua kali lipat dari jumlah penduduknya. Total penganut agama di Jepang melebihi jumlah penduduk ini diperoleh dari data yang dikumpulkan berdasarkan angket yang diambil dari berbagai organisasi keagamaan di seluruh Jepang dengan cara melihat tradisi 2014 5 Folklore Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id beragamaan orang Jepang. Pada umumnya orang Jepang menganut lebih dari satu agama (double faith). Pada umumnya orang Jepang ketika lahir mendapatkan upacara dalam Shinto, dan diikuti dengan berbagai upacara keagamaan dan ritual lainnya sepanjang hidupnya, ketika menikah dalam Shinto atau Kristen dan dalam upacara Budha pada kematian dan penghormatan terhadap leluhur. Selain Buddha dan Shinto, alasan apakah yang menyebabkan orang Jepang memeluk lebih dari satu agama? Hal ini mungkin sulit untuk dijelaskan. Meminjam pendapat dari seorang peneliti agama-agama di Jepang, Prof.Hanazono Toshimaro dari Universitas Tohoku yang mengatakan bahwa Jepang diibaratkan sebagai “musium agamaagama di dunia”. Mungkin pernyataan tersebut diatas terlalu dilebih-lebihkan namun banyak peneliti yang berangapan demikian karena pada umumnya orang Jepang tidak percaya pada agama namun pada kenyataannya mereka menganut atau memeluk lebih dari satu agama. Konon agama asli orang Jepang adalah Shinto (神道) yang artinya “jalan para dewa“. Setelah masuknya Budha melalui China dan Korea sekitar abad ke 6, melalui pergulatan yang panjang, terjadi interaksi yang serasi antara dewa-dewa Shinto dengan Budha yang dikenal dengan 本地垂迹 _honji suijaku. Pada umumnya sekarang ini orang Jepang tidak ada yang hanya beragama Shinto atau Budha saja bahkan ditambah dengan Kristen atau dengan yang lainnya. Mereka meletakan prioritas-prioritas atau kebutuhan untuk pada masing-masing agama. Demikian pula sampai saat ini di rumah-rumah orang Jepang, utamanya di wilayah pedesaan terdapat altar Shinto dan Budha juga adakalanya ada patung Bunda Maria. Mereka juga pergi ke Jinja atau kuil Shinto dan pergi ke Otera atau kuil Budha mungkin juga pergi ke gereja atau kegiatan keagamaan lainnya sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Mengenai keberadaan agama-agama di Jepang Harumi Befu seorang antropolog (1981:95-96) mengatakan bahwa agama di Jepang adalah merupakan gabungan antara kepercayaan “primitif” yang kemungkinan tidak bisa dikategorikan kedalam pengertian agama dalam pandangan agama-agama 2014 6 Folklore Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id samawi. Seperti diantara beberapa agama yang dianut di Jepang, Shinto adalah yang paling tua berbeda dengan agama-agama yang lainnya (Budha, Kon Fu Tsu, Katolik, Protestan, Islam dan lainnya), tidak diketahui kapan Shinto lahir atau muncul di Jepang. Shinto dikatakan konon mirip dengan kepercayaan Tao di Cina, yang juga diperkenalkan di Jepang bersamaan dengan Konfusianisme. Taoisme adalah didasarkan keyakinan pada tenaga-tenaga gaib yang ada di alam semesta yang menjadi salah satu landasan terbentuknya kepercayaan rakyat (folk beliefts) di Jepang. Sementara Befu, (1981:94-95) juga mengatakan bahwa Konfusianisme adalah sebuah ajaran agama selain filsafat moral. Setelah masuk ke Jepang unsur-unsur keagamaannya menipis, yang terus bertahan adalah aspek sekulernya seperti falsafah kehidupan dalam etika yang mengatur hubungan antar manusia dan pemerintahan dalam satu negara. Di Jepang pemikiran konfusianisme dipelajari hanya di kalangan samurai yang pada abad ke 16 tergolong sebagai golongan minoritas di dalam masyarakat saat itu. Kemudian di awal Meiji (1868) pada pertengahan abad 18 penyebarannya secara meluas ke semua lapisan masyarakat sebagai aturan moral atau etika. Sikap orang Jepang terhadap agama dan ajaran yang berasal dari luar Jepang pada dasarnya tidak ada pertentangan. Karakter dan orientasi keagamaan mereka tidak sama dengan orang Barat atau orang-orang yang memiliki kepercayaan pada agama-agama Samawi. Bahwa orang Jepang mengangap agama itu bukanlah suatu yang perlu disampaikan kepada orang lain sifatnya tertutup individual bahkan eksklusif. Jenis Folklore Jepang 1. Mite Istilah bahasa Jepang untuk Mite adalah Shinwa yang berarti “Kisah mengenai para dewa”. Merupakan gabungan tema-tema pribumi yang berasal daratan Asia Timur dan dipengaruhi oleh ajaran Budhisme dan Taoisme. Mite Jepang yang dikisahkan dalam Kojiki dan Nihon Shoki dapat dibagi menjadi 3 siklus: 2014 7 Folklore Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id a) Siklus Takamagahara (Dataran tinggi di surga), yang mengisahkan timbulnya para dewa sewaktu diciptakannya surga dan dunia (penguasa Takamagahara adalah dewi yang bernama Amaterasu Omikami). b) Siklus Izumo (sekarang merupakan prefektur Shimane), daerah dimana Dewa Susanoo No Mikoto turun dari Takamagahara (keturunannya bernama Okuninushi No Mikoto menguasai daerah ini dan menyerahkannya kepada dewi Amaterasu Omikami). c) Siklus Tsukushi (kini pulau Kyushu), daerah dimana Ninigi No Mikoto, cucu laki-laki Amaterasu Omikami turun dan menguasai wilayah Ashihara No Nakatsukuni (tanah Jepang, disebut juga Utsushi No Kuni atau “Tanah yang dihormati”) Shinwa adalah cerita yang memaparkan secara simbolik tentang kehidupan nyata dan asal mula keberadaan dunia.) Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa shinwa adalah istilah bahasa Jepang untuk mite dalam kesusastraan Indonesia. Shinwa merupakan penggabungan dari tema-tema masyarakat pribumi yang berasal dari daratan Asia Timur, dan kemudian dipengaruhi oleh ajaran Budhisme dan Taoisme yang masuk dalam kehidupan masyarakat tersebut. Dalam Shinwa cerita yang banyak dipaparkan adalah tentang asal-usul daratan Jepang, lahirnya kamisama ( Tuhan/ dewa dewi) masyarakat Jepang, keagungan keluarga kaisar, dan sebagainya. 2. Legenda Oleh Yanagita Kunio disebut dengan istilah Densetzu. Legenda Jepang ditopang oleh kepercayaan rakyat yang masih dianut secara kuat. Isi cerita umumnya tentang kepercayaan, dan peristiwa tentang asal-usul tempat, bangunan, kuil, desa, pohon, batu, siluman, binatang gaib (tanuki, naga, kitsune), atau makhluk jadi-jadian (kappa, tengu, oni), mata air, gunung, atau bukit. Selain itu, isi cerita bisa berupa legenda sejarah, tokoh sejarah, asalusul adat istiadat, dan hal-hal tabu. 3. Densetsu (Dongeng) Dongeng Jepang dianggap tidak benar-benar terjadi (fiktif) dan tidak terikat 2014 8 Folklore Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id oleh waktu maupun tempat, namun mengandung pesan-pesan yang merupakan nilai-nilai dari bangsa yang mendukungnya. Contoh dongeng Jepang: Momotaro, Kintaro, Urashima Taro, Isshun Boshi, dll. (Densetsu adalah informasi atau penjelasan yang disampaikan dari mulut ke mulut mengenai peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan sejarah dan fenomena alam.) Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa densetsu adalah istilah bahasa Jepang yang digunakan untuk legenda dalam kesusastraan Indonesia. Densetsu sampai saat ini masih hidup di masyarakat Jepang, sebab masih ditopang oleh kepercayaan masyarakat Selain pembagian di atas, folklor Jepang juga sering dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu: 4. Mukashibanashi (kisah-kisah lalu/lama): Lokasi cerita dan tokoh-tokoh dalam cerita bersifat fiktif, sedangkan waktu kejadian adalah masa lampau yang tidak dijelaskan secara pasti. Ciri khas adalah kata "mukashi" yang digunakan untuk kalimat pembukanya. Momotaro, Kintaro, Urashima Taro, Patung Jizo Bertopi Bambu, dan IssunBōshi merupakan beberapa contoh folklor Jepang yang termasuk dalam mukashibanashi. Mukashibanashi adalah cerita rakyat yang biasanya diceritakan pada anakanak. Mukashibanashi adalah istilah Jepang untuk dongeng. Dalam buku Nihon no Minwa (1969), Kinoshita Junji, seorang ahli folklor Jepang menjelaskan alasan mengapa cerita rakyat jenis ini disebut dengan mukashi banashi. Istilah mukashibanashi yang digunakan para ahli folklor untuk menyebut cerita rakyat diambil dari kalimat pembuka (cara bercerita) cerita rakyat tersebut. Cerita-cerita tersebut selalu dimulai dengan kalimat “mukashi, aru tokoro ni…” (dahulu, di suatu tempat). Cara bercerita seperti itu jauh sebelumnya telah terdapat dalam buku Nihon Ryouiki yang ditulis pada awal 2014 9 Folklore Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id zaman Heian. Seperti halnya dongeng, mukashibanashi pun mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dari jenis minwa yang lain. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut. - bukan merupakan cerita nyata, dan lahir dari daya khayal yang bersifat fiktif; - diceritakan tanpa dihubung-hubungkan dengan keistimewaan suatu tempat manusia; - diceritakan dengan menggunakan kata keterangan waktu yang tetap, yaitu kata mukashi. Kata ini menunjukkan waktu yang telah lampau; - berperan untuk mengutarakan jarak antara cerita nyata dan cerita khayal; - biasanya diakhiri dengan kata-kata seperti “shiawase ni kurashimashita”, (mereka hidup bahagia selamanya) atau “anraku ni kurashimashita” (mereka hidup dengan tenang dan bahagia) - kata-kata yang digunakan adalah kata/bahasa kehidupan sehari-hari. Juga sering digunakan pula aizuchi (kata sahutan), seperti “u-mu, ou, haa, hee, dan sebagainya. (Irianti,1992: 26-27) Selain yang diuraikan di atas pada bagian akhir sebuah mukashi banashi ada pula cerita yang diakhiri dengan kata “tosa” yang mempunyai arti “hal yang diceritakan tersebut di dengar dari orang lain” Dilihat dari jenisnya mukashibanashi terbagi atas tiga kelompok, yaitu動物昔 話 _(doobutsu mukashibanashi) adalah istilah Jepang untuk dongengdongeng binatang, 本格昔話 _(honkaku mukashibanashi) adalah istilah untuk dongeng biasa, dan 笑い話 _(waraibanashi) adalah istilah untuk lelucon. Dalam sebuah struktur karya sastra, unsur-unsur budaya dapat dilihat sebagai cerminan kehidupan sosial masyarakat di mana karya sastra tersebut lahir, begitu juga yang terlihat dalam sebuah mukashi banashi. Sebagai sebuah karya sastra, mukashi banashi pun dilatar belakangi oleh budaya masyarakatnya. Menurut Teeuw (1984), pemahaman sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan, mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra tersebut dan tidak langsung terungkap dalam sistem tanda bahasanya (Teeuw, 1984: 100). 2014 10 Folklore Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 5. Namidabanashi (cerita sedih) 6. Obakebanashi (cerita hantu) 7. Ongaeshibanashi (kisah-kisah membalas kebaikan) 8. Waraibanashi (cerita lucu) 9. Yokubaribanashi (cerita tentang keserakahan), dll 2014 11 Folklore Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Befu Harumi. “Japan: An Anthropological Introduction. Tokyo Charles Tuttle Co. Bennet ., John W.& Iwano Ishino. 1999 Danandjaja James. Folklor Jepang. Grafiti Jakarta. 1997. Miyake Hitoshi, 日本宗教の構造. Keio Tsushin. Tokyo. 1974. Norbeck, Edward. “Religion in Human Life”. Holt Rinehart. New York. 1974. 2014 12 Folklore Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id