pemanfaatan rumput ilalang sebagai bahan

advertisement
PEMANFAATAN RUMPUT ILALANG SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN BIOETANOL SECARA
FERMENTASI
USING REEDS AS MATERIALS FOR BIOETHANOL PRODUCTION BY FERMENTATION
1
Yuniar, 1Abu Hasan, 2Jaka Oktasanova
1
Staf Pengajar, 2Alumni, Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya
Jl. Srijaya Negara Bukit Besar, Palembang 30139
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
This study aims to utilize reeds as a basic material for bioethanol production, determines the selection of pretreatment
method (soaking with acid or without soaking with acid), determine the concentration of sulfuric acid in the process of
bioethanol hydrolysis so as to obtain the optimal amount and concentration, and compare the bioethanol produced with standard
bioethanol/ethanol. In this research, two types of pretreatment process by soaking the acid and acid without soaking where each
pretreatment process is done by treating them with sulfuric acid of 0.1 M, 0.15 M, and 0.2 M of 1000 mL in the hydrolysis stage
with a mass of 100 grams of reeds. Hydrolysis is carried out at a temperature of 80 ° C for 1 hour, while the fermentation
process is carried out for 7 days, followed by purification with 3 hours distillation stage at a temperature of 78-800C. Analysis
performed is determining the bias index using a refractometer, density using a pycnometer, the pH value, bioethanol
concentration level using ethanol-water Standard Curve calculation and chromatography gas, and testing of the test flame. From
this study sample with a concentration of 0.15 M H2SO4 pretreatment by treatment with acid soaking using chromatography gas
testing produces the best quality of bioethanol product with 34 ml volume, bioethanol concentration of 55.12%, whereas the
analysis using the water-ethanol standard curve calculation produce only 53.10% bioethanol level.
Key Words : Reed, Hydrolysis, Fermentation, Bioethanol
glukosa (C6H126) pada waktu dan suhu tertentu
sehingga dapat difermentasi menjadi etanol (Groggins,
1958).
Rumput Ilalang (Imperata cylindrica) merupakan
salah satu komunitas vegetasi alami yang sangat luas di
daerah tropik dan subtropik. Tumbuhan ini tumbuh liar
di hutan dan ladang terutama pada tanah yang tanahnya
dibiarkan tandus, kering dan banyak mendapat sinar
matahari. Biasanya tanaman ini tumbuh berumpun dan
mudah berkembang biak dimana tingginya sekitar 30 –
180 cm. Rumput Ilalang merupakan tanaman yang
mampu merintis kembali pemulihan kesuburan tanah
kedalam bentuk belukar dan hutan sekunder walaupun
memerlukan waktu lama. Selain itu, Rumput Ilalang
juga berperan dalam mengurangi erosi tanah, sebagai
bahan pembuat atap rumah, briket bioarang, bioetanol,
bahan kertas dan bahan makanan ternak, namun
pemanfaatannya masih sangat terbatas.
Di Sumatera Selatan sendiri banyak sekali hasil
olahan alam yang masih belum termanfaatkan dengan
baik, termasuk salah satunya adalah Rumput Ilalang.
Tanaman sejenis Rumput Ilalang ini banyak sekali
ditemukan didaerah seluruh Sumatera Selatan, dan
seluruh daerah di Indonesia. Tanaman ini tumbuh
secara liar, bisa tumbuh dimana saja. Rumput Ilalang
banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak,dan belum
termanfaatkan secara optimal. Padahal Rumput Ilalang
mengandung kandungan karbohidrat dan selulosa yang
tinggi, sehingga dari kandungan ini dapat dimanfaatkan
sebagai
dasar
pembuatan
Bioetanol
untuk
meningkatkan nilai tambah dari Rumput Ilalang itu
sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan
Rumput Ilalang sebagai bahan baku pembuatan
PENDAHULUAN
Bioetanol merupakan cairan biokimia hasil
fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan
bantuan mikroorganisme. Bioetanol dapat dibuat dari
biomassa berupa bahan sakarida (gula tebu, molase dan
jus buah), bahan pati (padi-padian, kentang, gandum)
dan yang terakhir bahan mengandung selulosa,seperti
jenis rumput-rumputan (rumput gajah dan rumput
ilalang). Pembuatan bioetanol dari tanaman yang
mengandung pati atau selulosa dilakukan melalui
proses konversi selulosa menjadi gula (glukosa) dengan
beberapa metode diantaranya hidrolisis menggunakan
asam ataupun secara enzimatis. Glukosa yang diperoleh
selanjutnya difermentasi dengan menggunakan yeast
yang merupakan sumber mikroorganisme yang mampu
mengubah glukosa menjadi bioetanol. Mikroorganisme
yang umumnya digunakan dalam proses produksi
bioetanol
adalah
Saccharomyces
cerevisiae.
Mikroorganisme ini memiliki keunggulan dari segi
mudah beradaptasi dengan lingkungan , lebih tahan
terhadap kadar alkohol tinggi dan lebih mudah didapat.
Bahan-bahan yang mengandung monosakarida
seperti glukosa (C6H12O6) dapat langsung difermentasi
menjadi etanol. Akan tetapi disakarida pati ataupun
karbohidrat kompleks seperti selulosa harus dihidrolisa
terlebih dahulu untuk mendapatkan monomer-monomer
glukosa. Hidrolisis dengan menggunakan air murni
berlangsung lambat dan hasil reaksi tidak optimal
sehingga perlu ditambahkan katalis untuk mempercepat
reaksi dan meningkatkan selektivitas. Hidrolisis dengan
menggunakan asam sebagai katalis dapat memutuskan
ikatan rantai polisakarida (selulosa dan pati) menjadi
monomer penyusunnya dan mengubahnya menjadi
1
2
bioetanol.
Mengetahui
pengaruh
perlakuan
pretreatment
terhadap
bioetanol
yang
dihasilkanMengetahui pengaruh konsentrasi H2SO4
terhadap bioetanol yang dihasilkan. Mengetahui
Kualitas produk bioetanol yang dihasilkan dengan cara
membandingkan dengan bioetanol/etanol standar.
dan Na3PO4 kedalam larutan dan aduk hingga rata.
Pindahkan larutan bibit (starter) kedalam Erlenmeyer
1000 ml yang ditutup rapat dengan menggunakan
gabus yang akan digunakan sebagai media penghubung
dengan Erlenmeyer 250 ml yang telah berisi larutan
H2SO4. Inkubasi larutan starter selama 3 hari pada suhu
ruang.
METODOLOGI
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu Rumput ilalang,,
air, gula pasir, ragi tape, urea, H2SO4 , NaOH, Na3PO4.
Adapun alat yang digunakan yaitu blender, oven, kain,
pisau, gelas kima 1000 ml, gelas ukur 1000 mlLabu
ukur 1000 ml, ayakan 100 mesh, pipet ukur, bola karet,
thermometer, neraca analitik, penangas air, seperangkat
alat pasteurisasi, gas kromatografi, pH meter dan
neraca analitik.
Tanpa perendaman asam
Ilalang sepanjang dipotong kurang lebih 1 cm.
Ilalang
dikecilkan
kembali
ukuran
dengan
menggunakan blender hingga berbentuk serabut halus.
Ilalang yang berbentuk serabut dikeringkan dengan
oven dengan suhu 105 oC selama 3 jam.
Dengan perendaman asam
Ilalang dipotong sepanjang kurang lebih 1 cm.
Ilalang
dikecilkan
kembali
ukuran
dengan
menggunakan blender hingga berbentuk serabut halus
dan dikeringkan dengan sinar matahari. Serabut ilalang
secukupnya dimasukkan ke dalam larutan H2SO4 0,2 M
sebanyak 1000 ml dan direndamnya selama 3 hari.
Setelah 3 hari perendaman,bilas sampel yang telah di
rendam dengan air hangat ( 800C ) lalu ditiriskan
sampai kering. larutkan endapan lignin dengan
menggunakan larutan NaOH 0,3 M sebanyak 1000 ml
selama 2 hari. Cuci sampel yang telah di rendam
dengan air hangat ( 800C ) lalu tiriskan sampai kering.
Keringkan kembali dengan oven pada suhu 105oC,
proses ini dilakukan selama 3 jam.
Proses Hidrolisis
Timbang Ilalang yang telah dikeringkan seberat
100 gr. Siapkan larutan H2SO4 sebanyak 1000 ml
dengan variasi konsentrasi asam sulfat ( 0,1 M, 0,15 M
dan 0,2 M ) didalam gelas kimia 1000 ml. Kemudian
panaskan larutan asam sulfat ini dalam gelas kimia
dengan menggunakan hotplate hingga mendidih.
Masukkan ilalang kedalam gelas kimia yang berisi
asam sulfat sambil diaduk selama 1 jam. Suhu
dipertahankan 80oC. Dinginkan campuran hingga suhu
ruang, kemudian lakukan penyaringan hingga diperoleh
filtrat berupa larutan glukosa.
Proses Pembuatan Starter
Larutkan 50 gr gula pasir kedalam air sebanyak
500 ml dan kemudian disaring. Pasteurisasikan larutan
pada suhu 80 oC selama 15 menit, kemudian dinginkan
hingga suhu ruang. Tambahkan ragi tape, urea, KNO3
Proses Fermentasi
Pindahkan larutan hasil hidrolisis kedalam gelas
kimia 1000 ml dan pasteurisasikan pada suhu 80 oC
selama 15 menit. Dinginkan larutan hingga suhu ruang
dan kemudian pindahkan dalam Erlenmeyer 1000 ml
yang telah disterilisasi. Tambahkan ragi tape, tepung
beras, urea, KNO3, Na3PO4. dan larutan starter. Atur pH
4-5 dengan penambahan H2SO4 dan NaOH. Tutup
Erlenmeyer dengan gabus yang telah dilubangi untuk
memasang selang yang akan dihubungkan dengan
Erlenmeyer yang berisi H2SO4. Kemudian inkubasi
selama 6 hari.
Proses Distilasi
Pindahkan larutan hasil fermentasi ke labu leher
dua. Lakukan distilasi pada suhu 78 oC selama 3 jam.
Ukur banyak distilat dengan menggunakan gelas ukur
100 ml. Pindahkan hasil distilat ke dalam wadah
sampel untuk di analisa. Parameter analisa meliputi
Berat Jenis dengan Piknometer (SNI 01-1940-1990),
Penentuan Indeks Bias dengan Refraktometer (ASTM
D-542), Penentuan nilai pH dengan pH meter (SNI 012891-1992), Penentuan Kadar Etanol Dengan Kurva
Baku Etanol + Air (SNI 19-1429-1989), Penentuan
Kadar Bioetanol dengan Gas Kromatografi (GC) (SNI
01 – 2891 – 1992) dan Penentuan Tes nyala (SNI 11 –
2891 – 1992).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Konsentrasi Asam Sulfat Terhadap
Volume Bioetanol yang dihasilkan
Setelah melalui tahap distilasi yang dilakukan
selama 3 jam dan menjaga suhu 78-800C dan
didapatlah volume bioetanol pada masing-masing
sampel yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 menunjukkan bahwa
pengaruh
konsentrasi asam sulfat terhadap volume yang
dihasilkan pada proses pretreatment dapat dilihat
bahwa pada proses pretreatment tanpa perendaman
asam, volume bioetanol yang tertinggi sebesar 31 ml
pada konsentrasi asam sulfat 0,2 M dan yang terendah
sebesar 22 ml pada konsentrasi asam sulfat 0,1 M. Ini
menunjukkan bahwa semakin tingginya konsentrasi
asam sulfat yang digunakan pada tahap hidrolisis maka
volume bioetanol yang didapatkan juga akan semakin
besar. Hal ini dikarenakan asam sulfat yang digunakan
pada tahap hidrolisis berperan sebagai katalis yang
memecah molekul selulosa pada Rumput Ilalang
sehingga meningkatkan konversi selulosa menjadi
glukosa. Proses hidrolisis selulosa juga harus dilakukan
3
dengan asam pekat agar dapat menghasilkan glukosa
yang optimal (Fieser, 1963).
fraksi volume etanol yang didapatkan dengan rumus
perbandingan campuran antara volume etanol dan
volume air dengan perbandingan konsentrasi 0%, 10%,
20%, 30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90%,dan 96%
sehingga didapat persamaan kurva baku dari grafik.
Dari persamaan kurva baku maka dapat dihitung kadar
bioetanol. Adapun pengaruh konsentrasi asam sulfat
terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan dengan
perhitungan kurva baku etanol-air dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 1. Pengaruh Konsentrasi Asam Sulfat terhadap
Volume yang dihasilkan pada Proses Pretreatment.
Sedangkan untuk proses pretreatment dengan
perendaman asam, dapat dilihat bahwa volume
bioetanol yang tertinggi sebesar 34 ml pada konsentrasi
asam sulfat 0,2 M dan yang terendah sebesar 25 ml
pada konsentrasi asam sulfat 0,1 M. Ini menunjukkan
bahwa semakin tingginya konsentrasi asam sulfat yang
digunakan pada proses
hidrolisis maka volume
bioetanol yang didapatkan juga akan semakin besar.
Sama seperti proses pretreatment tanpa perendaman
asam, hal ini juga dikarenakan asam sulfat yang
digunakan pada tahap hidrolisis berperan sebagai
katalis yang memecah molekul selulosa pada Rumput
Ilalang sehingga meningkatkan konversi selulosa
menjadi glukosa. Proses hidrolisis selulosa juga harus
dilakukan dengan asam pekat agar dapat menghasilkan
glukosa tinggi (Fieser, 1963).
Jika dibandingkan pengaruh kedua jenis proses
pretreatment baik dengan perendaman asam ataupun
tanpa perendaman asam, dapat dilihat bahwa volume
bioetanol yang dihasilkan dengan proses pretreatment
dengan perendaman asam lebih banyak dibandingan
dengan proses pretreatment tanpa perendaman asam.
Hal ini dikarenakan pada proses pretreatment tanpa
perendaman asam tidak ada perlakukan untuk
memecah lignin sebagai pelindung selulosa pada proses
hidrolisis asam. Sehingga apabila lignin tidah dipecah
maka proses pengkonversian selulosa menjadi glukosa
akan sangat sulit yang menyebabkan kurang
sempurnanya proses hidrolisis, akibatnya hasil yang
terkonversi menjadi bioetanol menjadi lebih sedikit
(Iranmahboob dkk., 2002).
Pengaruh Konsentrasi Asam Sulfat Terhadap
Kadar Bioetanol yang dihasilkan
Salah satu analisis yang dilakukan pada produk
bioetanol ialah menentukan kadar bioetanol dengan
cara perhitungan kurva baku etanol-air (SNI 19-14291989) dan menghubungkan pengaruhnya terhadap
konsentrasi asam sulfat. Penentuan kadar bioetanol
dengan perhitungan kurva baku etanol dan air
dilakukan dengan menganalisa nilai indeks bias dari
Gambar 2. Pengaruh Konsentrasi Asam Sulfat terhadap
Analisa % Bioetanol dengan Kurva Baku Pada Proses
Pretreatment
Gambar 2 menunjukkan bahwa pengaruh
konsentrasi asam sulfat terhadap analisa % bioetanol
dengan dengan perhitungan kurva baku etanol-air pada
proses pretreatment. Dapat dilihat bahwa pada proses
pretreatment tanpa perendaman asam kadar bioetanol
yang tertinggi terletak pada konsentrasi 0,2 M sebesar
53,02 %. Sedangkan kadar bioetanol terendah terletak
pada konsentrasi 0,1 M yaitu sebesar 31,59%. Ini
menunjukkan bahwa semakin tingginya konsentrasi
asam sulfat maka akan semakin besar kadar bioetanol
yang dihasilkan.
Sedangkan pada proses pretreatment dengan
perendaman asam dapat dilihat bahwa kadar bioetanol
yang tertinggi terletak pada konsentrasi 0,15 M sebesar
53,10%. Sedangkan kadar bioetanol terendah terletak
pada konsentrasi 0,2 M sebesar 42,85%. Ini titik
optimum konsentrasi asam pada proses pretreatment
dengan perendaman asam terletak pada konsentrasi
0,15 M, sehingga pada konsentrasi asam sulfat 0,2 M
kadar bioetanol yang dihasilkan menurun. Hal Ini
disebabkan karena konsentrasi asam sulfat 0,2 M pada
proses perendaman asam, konsentrasi asamnya tidak
optimum lagi dan terlalu tinggi, sehingga merusak
kandungan glukosa yang telah terpecah (Kamm dan
Kamm, 2004). Akibatnya glukosa sulit untuk
dikonversikan menjadi bioetanol, dan hasil bioetanol
yang diperoleh pun tidak optimal.
Jika kedua proses pretreatment dibandingkan.
Dapat dilihat bahwa, dari penentuan kadar bioetanol
dengan perhitungan kurva baku etanol-air, kadar
bioetanol dengan proses pretreatment dengan
perendaman asam lebih tinggi daripada proses
pretreatment tanpa perendaman asam, dan rata-rata
kadar bioetanol dengan proses pretreatment dengan
perendaman asam yaitu 47,12 % dengan titik
4
optimumnya berada pada konsentrasi 0,15 M,
sedangkan rata-rata kadar bioetanol dengan proses
pretreatment tanpa perendaman asam yaitu sebesar
41,62 %. Ini menunjukkan sampel yang melalui
tahapan proses pretreatment dengan perendaman asam
lebih baik dibanding melalui proses pretreatment tanpa
perendaman asam, ini berarti, untuk mendapatkan
kadar bioetanol yang terbaik harus dilakukan melalui
proses pretreatment dengan perendaman asam. Hal ini
dikarenakan melalui proses pretreatment dengan
perendaman asam, lignin telah dipecah dari selulosa
dengan perendaman asam dan basa selama 5 hari,
sehingga menyebabkan selulosa menjadi lebih mudah
dihirolisis tanpa banyak kehilangan polisakaridanya.
Sehingga kadar bioetanol yang dihasilkan lebih optimal
(Iranmahboob dkk., 2002).
Pengaruh Konsentrasi Asam Sulfat Terhadap
Kadar Bioetanol yang dihasilkan
Analisis yang juga dilakukan pada produk
bioetanol ialah menentukan kadar bioetanol dengan
peralatan Gas Kromatografi melalui penentuan nilai
puncak (ESTD) dan menghubungkan pengaruhnya
terhadap konsentrasi asam sulfat. Adapun pengaruh
konsentrasi asam sulfat terhadap kadar bioetanol yang
dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh Konsentrasi Asam Sulfat terhadap
Analisa % Bioetanol pada Proses Pretreatment
Gambar 3 menunjukkan bahwa pengaruh
konsentrasi asam sulfat terhadap analisa % bioetanol
dengan Gas Kromatografi pada proses pretreatment.
Dapat dilihat bahwa, pada proses Pretreatment tanpa
perendaman asam kadar bioetanol yang tertinggi
terletak pada konsentrasi 0,2 M sebesar 55,09 %.
Sedangkan kadar etanol terendah terletak pada
konsentrasi 0,1 M yaitu sebesar 33,00 %. Ini
menunjukkan bahwa semakin tingginya konsentrasi
asam sulfat maka akan semakin besar kadar bioetanol
yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan asam sulfat yang
digunakan pada tahap hidrolisis berperan sebagai
katalis yang memecah molekul selulosa pada Rumput
Ilalang, sehingga meningkatkan konversi selulosa
menjadi glukosa. Proses hidrolisis selulosa juga harus
dilakukan dengan asam pekat agar dapat menghasilkan
glukosa yang optimal (Fieser, 1963).
Sedangkan pada proses pretreatment dengan
perendaman asam. Dapat dilihat bahwa kadar bioetanol
yang tertinggi terletak pada konsentrasi 0,15 M sebesar
55,12 %. Sedangkan kadar bioetanol terendah terletak
pada konsentrasi 0,2 M sebesar 43,91%. Ini
menunjukkan bahwa, titik optimum konsentrasi asam
pada proses pretreatment dengan perendaman asam
terletak pada konsentrasi 0,15 M, sehingga pada
konsentrasi asam sulfat 0,2 M kadar bioetanol yang
dihasilkan
menurun. Hal Ini disebabkan karena
konsentrasi asam sulfat 0,2 M dengan proses
perendaman asam terlalu tinggi dan melewati titik
optimum, sehingga merusak kandungan glukosa yang
telah terpecah (Kamm dan Kamm, 2004). Akibatnya
glukosa sulit untuk dikonversikan menjadi bioetanol,
dan hasil bioetanol yang diperoleh pun tidak optimal.
Jika kedua proses pretreatment dibandingkan.
Dapat dilihat bahwa, dari penentuan kadar bioetanol
dengan menggunakan peralatan Gas Kromatografi,
kadar bioetanol dengan proses pretreatment dengan
perendaman asam lebih tinggi daripada proses
pretreatment tanpa perendaman asam. Rata-rata kadar
bioetanol dengan proses pretreatment dengan
perendaman asam yaitu sebesar 48,47 % dengan titik
optimum berada pada konsentrasi 0,15 M, sedangkan
rata-rata kadar bioetanol dengan proses pretreatment
tanpa perendaman asam yaitu sebesar 43,03 %. Ini
menunjukkan sampel yang melalui tahapan proses
pretreatment dengan perendaman asam lebih baik
dibanding melalui proses pretreatment tanpa
perendaman asam. Ini berarti, untuk mendapatkan
kadar bioetanol yang terbaik harus dilakukan melalui
proses pretreatment dengan perendaman asam. Hal ini
dikarenakan melalui proses pretreatment dengan
perendaman asam, lignin telah dipecah dari selulosa
dengan perendaman asam dan basa selama 5 hari, dan
selulosa menjadi lebih mudah dihirolisis tanpa banyak
kehilangan polisakaridanya mengakibatkan dihasilkan
kadar bioetanol yang optimal (Iranmahboob dkk.,
2002).
Dapat dilihat untuk penentuan kadar bioetanol dari
produk yang dihasilkan pada kedua proses pretreatment
baik dengan cara perhitungan kurva baku etanol-air
(manual)
maupun
dengan
perhitungan
nilai
puncak/ESTD dengan peralatan Gas Kromatografi,
hasil dari kedua metode analisa tidak begitu jauh
(hampir sama), dimana kadar bioetanol yang dihasilkan
dengan proses pretreatment dengan perendaman asam
lebih tinggi dibandingkan proses pretreatment tanpa
perendaman asam. Dan titik optimum berada pada
konsentrasi asam sulfat 0,15 M.
Pengaruh Konsentrasi Asam Sulfat Terhadap
Indeks Bias Bioetanol yang dihasilkan
Analisa yang juga dilakukan pada produk
bioetanol ialah menganalisa Indeks Bias dari produk
bioetanol yang dihasilkan. Dilakukan dengan cara
mengukur Indeks Bias bioetanol menggunakan
Refraktometer (ASTM D-542) dan menghubungkan
pengaruhnya terhadap konsentrasi asam sulfat.
Pengukuran terhadap Indeks Bias secara luas telah
digunakan antara lain untuk mengetahui konsentrasi
5
larutan ( Subedi dkk, 2006 ) dan mengetahui komposisi
bahan-bahan penyusun larutan. Indeks bias juga dapat
digunakan untuk mengetahui kualitas suatu larutan.
Adapun pengaruh konsentrasi asam sulfat terhadap
Indeks Bias bioetanol yang dihasilkan dapat dilihat
pada Gambar 10.
Gambar 4. Pengaruh Konsentrasi Asam Sulfat terhadap
Analisa Indeks Bias Pada Proses Pretreatment.
Gambar 4 menunjukkan bahwa pengaruh
konsentrasi asam sulfat terhadap analisa indeks bias
pada pretreatment. Dapat dilihat bahwa pada perlakuan
pretreatment tanpa perendaman asam, indeks bias
tertinggi terletak pada konsentrasi asam sulfat 0,2 M
yaitu 1,34868 dan yang terendah terletak pada
konsentrasi 0,1 M yaitu 1,34071. Ini menunjukkan,
semakin tinggi konsentasi asam sulfat maka nilai
indeks bias bioetanol juga akan semakin besar. Indeks
bias sangat dipengaruhi oleh kualitas dan konsentrasi
dari produk yang dihasilkan (Subedi dkk, 2006), jika
dihubungkan dengan kadar bioetanol yang didapat
melalui analisa dengan kurva baku maupun Gas
Kromatografi,
memang
benar
untuk
proses
pretreatment tanpa perendaman asam, kadar bioetanol
tertinggi terletak pada konsentrasi asam sulfat 0,2 M
dan terendah pada konsentrasi 0,1 M.
Sedangkan pada pretreatment dengan perendaman
asam. Dapat dilihat bahwa nilai indeks bias tertinggi
terdapat pada konsentrasi 0,15 M yakni sebesar
1,34871 dan yang terendah pada konsetrasi asam 0,2 M
sebesar 1,34471 ini menunjukkan nilai indeks bias
optimum terletak pada konsentrasi 0,15 M. Hal ini
disebabkan karena Kualitas produk dengan konsentrasi
0,2 M lebih rendah dibandingkan 0,15 M. jika
dihubungkan dengan kadar bioetanol yang didapat
melalui analisa dengan kurva baku maupun Gas
Kromatografi,
memang
benar
untuk
proses
pretreatment dengan perendaman asam, kadar
bioetanol tertinggi terletak pada konsentrasi asam sulfat
0,15 M dan terendah pada konsentrasi 0,2 M. Yang
menyebabkan kualitas produk pada konsentrasi asam
sulfat 0,2 M menjadi kecil, karena konsentrasi asam
sulfat 0,2 M dengan proses perendaman asam terlalu
tinggi sehingga merusak kandungan glukosa yang telah
terpecah (Kamm dan Kamm, 2004). Akibatnya glukosa
sulit untuk dikonversikan menjadi bioetanol, dan
kadar/kualitas bioetanol yang diperoleh pun tidak
optimal yang berakibat juga pada nilai indeks bias nya,
karena nilai indeks bias dipengaruhi oleh produk yang
dihasilkan.
Jika kedua proses pretreatment dibandingkan.
Dapat dilihat bahwa nilai indeks bias dari proses
pretreatment dengan perendaman asam menghasilkan
nilai indeks bias yang lebih baik dibandingkan proses
pretreatment tanpa perendaman asam. Hal ini juga
dikarenakan kualitas produk bioetanol pada proses
pretreatment dengan perendaman asam lebih baik
dibandingkan dengan proses pretreatment tanpa
perendaman.
Berdasarkan hasil penganalisa nilai Indeks Bias
dari produk bioetanol Rumput Ilalang yang dihasilkan
melalui proses pretreatment baik dengan perendaman
asam maupun tanpa perendaman asam nilai indeks bias
nya berkisar dari 1,34071-1,34871 dan jika
dibandingkan indeks bias bioetanol/etanol yaitu sebesar
1,3512 (Bab II, Tabel 5) nilai indeks bias dari produk
bioetanol yang dihasilkan dari Rumput Ilalang secara
fermentasi tidak berbeda jauh.
Pengaruh Konsentrasi Asam Sulfat Terhadap Berat
Jenis Bioetanol yang dihasilkan
Analisis yang juga dilakukan pada produk
bioetanol ialah menganalisa Berat Jenis/Densitas
bioetanol dan menghubungkan pengaruhnya terhadap
konsentrasi asam sulfat. Untuk mengetahui nilai
densitas dari produk, maka dilakukan pengukuran
densitas dengan menggunakan piknometer 25 ml (SNI
01-1940-1990) dan perhitungan nya dapat dilihat pada
lampiran II. Adapun pengaruh konsentrasi asam sulfat
terhadap berat jenis/densitas bioetanol yang dihasilkan
dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Pengaruh Konsentrasi Asam Sulfat terhadap
Analisa Densitas Pada Proses Pretreatment.
Gambar 5 menunjukkan bahwa pengaruh
konsentrasi asam sulfat terhadap analisa Berat
Jenis/Densitas baik untuk proses pretreatment. Untuk
proses pretreatment tanpa perendaman asam, densitas
tertinggi terletak pada konsentrasi 0,1 M sebesar 0,875
gr/ml dan yang terendah terletak pada konsentrasi 0,2
M sebesar 0,853 gr/ml.
Sedangkan pada proses pretreatment perendaman
asam, densitas tertinggi terletak pada konsentrasi 0,1 M
sebesar 0,864 gr/ml dan yang terendah terletak pada
konsentrasi 0,2 M sebesar 0,851 gr/ml.
6
Ini menunjukkan bahwa, baik dengan proses
perendaman asam maupun tanpa perendaman asam,
semakin besar konsentrasi asam sulfat maka semakin
kecil nilai densitasnya, sehingga dapat disimpulkan
hubungan antara densitas dan pengaruh konsentrasi
asam sulfat berbanding terbalik. Densitas bioetanol
yang semakin kecil menunjukkan bahwa semakin
tingginya nilai kadar bioetanol yang dihasilkan.
Jika dibandingkan dengan densitas dari bioetanol/
yakni 0,84154 gr/ml, densitas bioetanol yang dihasilkan
dari Rumput Ilalang tidak berbeda jauh karena rentang
densitasnya berada pada 0,851-0,875, Hal ini
disebabkan persamaan dari sifat fisika dan kimia yang
sama antara bioetanol/etanol dan bioetanol yang
dihasilkan dari Rumput Ilalang.
Pengaruh Konsentrasi Asam Sulfat Terhadap pH
Bioetanol yang dihasilkan
Analisis yang juga dilakukan pada produk
bioetanol ialah menganalisa pH bioetanol yang
dihasilkan dan menghubungkan pengaruhnya terhadap
konsentrasi asam sulfat. Adapun pengaruh konsentrasi
asam sulfat terhadap pH bioetanol yang dihasilkan
dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Pengaruh Konsentrasi Asam Sulfat terhadap
Analisa Nilai pH Pada Proses Pretreatment.
Gambar 6 menunjukkan bahwa pengaruh
konsentrasi asam sulfat terhadap analisa nilai pH pada
produk bioetanol melalui proses pretreatment. Dapat
dilihat bahwa, pada proses pretreatment
tanpa
perendaman asam nilai pH tertinggi terletak pada
konsentrasi asam 0,1 M dengan pH 6 dan yang
terendah terletak pada konsentrasi 0,2 M dengan nilai
pH 5.
Sedangkan untuk pretreatment tanpa perendaman
asam nilai pH tertinggi terletak pada konsentrasi asam
0,1 M dengan pH 5 dan yang terendah terletak pada
konsentrasi 0,2 M dengan nilai pH 4.
Dari hasil diatas menunjukkan nilai pH dari
masing-masing
produk
baik
melalui
proses
pretreatment tanpa perendaman asam maupun dengan
perendaman asam berbanding terbalik dengan
konsentrasi asam yang diberikan, semakin besar
konsentrasi asam yang diberikan maka semakin kecil
nilai pH produk bioetanol. Hal ini dikarenakan semakin
besar konsentrasi asam yang diberikan maka semakin
meningkat
tingkat
keasaman
produk
yang
menyebabkan semakin turun nilai pH. Namun nilai pH
masing-masing produk tetap berada pada kondisi yang
aman yakni bekisar dari 4-6, hal ini sesuai dengan
referensi , bahwa pH produk bioetanol harus bekisar di
pH 4-6 (Higgins dkk, 1985).
Pengaruh Proses Pretreatment dan Konsentrasi
Asam Sulfat Terhadap Analisa Bau, Warna, dan Uji
Nyala Produk Bioetanol yang dihasilkan.
Analisis yang juga dilakukan pada produk
bioetanol ialah menganalisa dan mengamati bau,
warna, dan uji nyala dari produk bioetanol yang
dihasilkan dan menghubungkan pengaruhnya terhadap
konsentrasi asam sulfat.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan,
didapatkan data untuk pengamatan bau dari produk
bioetanol yang dihasilkan, dapat dilihat bahwa produk
bioetanol dihasilkan melalui proses pretreatment
dengan perendaman asam menghasilkan bau yang lebih
menyengat dibandingkan dengan proses pretreatment
tanpa perendaman asam. Hal ini dikarenakan kadar
bioetanol yang dihasilkan melalui proses pretreatment
dengan perendaman asam lebih tinggi dibandingkan
dengan pretreatment tanpa perendaman asam, sehingga
menyebabkan bau nya lebih menyengat.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan,
didapatkan data untuk pengamatan warna dari produk
bioetanol yang dihasilkan, dapat dilihat bahwa produk
bioetanol yang dihasilkan melalui proses pretreatment
dengan perendaman asam maupun tanpa perendaman
asam memiliki warna yang sama, yakni warna
bening/jernih, ini sesuai dengan sifat fisik dari
bioetanol yang bewarna bening/jernih.
Berdasarkan hasil uji nyala, didapatkan data
bahwa, kesemua produk bioetanol yang dihasilkan baik
melalui proses pretreatment dengan perendaman asam
maupun tanpa perendaman asam menghasilkan uji
nyala yang baik, dengan ciri-ciri api bewarna biru.
Nyala api yang paling bagus dan bewarna biru terang
dihasilkan oleh produk bioetanol dari proses
pretreatment dengan perendaman asam pada
konsentrasi asam 0,15 M dan api yang paling redup
dihasilkan oleh produk bioetanol yang melalui proses
pretreatment tanpa perendaman asam pada konsentrasi
asam 0,1 M. Hal Ini menunjukkan bahwa semakin
besar kadar bioetanol yang dihasilkan, maka semakin
bagus nyala api yang dihasilkan.
KESIMPULAN
Rumput Ilalang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku pembuatan bioetanol karena mengandung
kandungan selulosa yang cukup besar yakni 48,12 %.
Bioetanol yang dihasilkan melalui proses pretreatment
dengan perendaman asam menghasilkan kualitas
bioetanol yang lebih baik dibandingkan produk
bioetanol yang dihasilkan melalui proses pretreatment
tanpa perendaman asam baik dari segi volume maupun
kadar bioetanolnya.
7
Bioetanol yang dihasilkan pada konsentrasi asam
sulfat 0,15 M melalui pretreatment dengan perendaman
asam menghasilkan volume dan kadar bioetanol yang
paling tinggi yakni masing-masing sebesar 34 ml dan
55,12 %.
Bioetanol dari Rumput Ilalang memiliki kualitas
yang hampir sama/tidak berbeda jauh dengan
bioetanol/etanol standar, yang ditinjau dari analisa sifat
fisik dan sifat kimianya.
DAFTAR PUSTAKA
Ariestaningtyas.,1991,”Bioetanoldanpemanfaatannya,(
Online)”su.ac.id/bitstream/123456789/19307/4/C
hapter%20II.pdf. Diakses pada tanggal 1 Mei
2014.
Atkinson, Bernard and Ferda Mavituna. (1983).
Biochemical Engineering And Biotechnology
Handbook”. The NaturePress.
Bailey, J.E., and Ollis, D.F (1987)., Biochemical
Enginering Fundamentals, Tokyo, McGraw Hill
Kogakusha Ltd.
Citra, Indah Utami. 2009. Pembuatan Bioetanol dari
Ubi Kayu ditinjau dari Penambahan Bensin untuk
Nilai Angka Oktan. Palembang : Politeknik
Negeri Sriwijaya
Enari Bon P. S.. 1983. Ethanol Production Via
Enzymatic Hydrolisis of Sugar-Cane Bagasse and
Straw. Chemistry Institute Federal University of
Rio
deJenero,(Online),(http//www.fiesp.com.br/agenc
ianoticias/elba.bon.pdf, Diakses pada tanggal 4
April 2014)
Fieser William M. 1963. Microbial Enzyme and
Biotechnology. New York : Applied Science
Publisher.
Groggins P.H. 1958. Unit Process in Organic Syntetic
5th edition. Tokyo: McGraw-Hill, Ltd.
Higgins Basset, R.C. Denney, G.H. Jeffery, J.
Mendham, Alih Bahasa Dr. A. Hadyana
Pudjaatmaka, Ir. L. Setiono, Editor Dr. A.
Hadyana Pudjaatmaka, 1985. ed. 4, Buku Ajar
Vogel
Bioetanol Anorganik, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Holtzapple, Mark., Cognata, M., Shu, Y., Hendrickson,
C.. 1993. Inhibition of Trichoderma reesei
Cellulase by Sugars and Solvents. Biotechnology
and Bioengineering, Vol. 36, No.3.
Hunt Philler., 1981. Optimization of Ethanol
Fermentation Processes Design.
Iranmahboob, J., Nadim, F., Monemi, S.,
2002.Optimizing Acid-Hydrolysis: A Critical Step
For Production Of Ethanol From Mixed Wood
Chips. Biomass and Bioenergy, 22: 401 – 404.
John S., 1997, “Pembuatan Etanol Absolut Dengan
Distilasi Dan Adsorbsi Menggunakan Molecular
Sieve 3A”, (Online), ”http://digilib.its.ac.id/public/
ITS-Undergraduate-17225Presentation-pdf.pdf.
Diakses pada tanggal 2 Mei 2014.
Judoamidjojo.,1992,”Bioethanol
dari
bahan
lignosellulosa: tantangan menuju komersialisasi,
(Online)”,http://rahadiandimas.staff.uns.ac.id/763
Diakses pada tanggal 3 Mei 2014
Kamn Kilbwer and Kamn Stwewart., 2004, 3 rd Ed,
The Alcohol Textbook, Distillery Quality Control,
Chapter 20, Nottingham University Press,
Nottingham, United Kingdom.
Kim J.H, Pramanik, K, and Tourent., 1987, parametrics
Studies on Batch Alcohol Fermentation Using
Saccharomyces cerevisiae Yeast Extracted From
Toddy, Department of Chemical Engineering,
Regional Engineering College, Andra Pradesh.
Ladish Raditya Ardi, Umi Kalsum, dan Budi Santoso.,
1984,” Pemurnian Etanol Dari Fermentasi Tape
Ubi Kayu (Manihot Utilissima) (Kajian Suhu Dan
Lama Waktu Destilasi), (Online)”,http://elibrary.
ub.ac.id/bitstream. Diakses pada tanggal 10 Maret
2014.
Mardoni., 2005. Kromatografi Gas Analisis Pangan.
Bogor: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Perguruan Tinggi
Pusat Antar Universitas IPB
Mosier J, Palmqvist, E., and Hahn-Hägerdal, B., 2005.
Sun and Cheng.,2005 Review paper. Fermentation
of lignocellulosic hydrolysates. II: inhibitors and
mechanisms
of
inhibition.
Bioresource
Technology, 74, 25-33.
Olivier T and Barbigou., 2010,” Acid Hydrolysis
Pretreatment
of
Bagasse-Lignocellulosic
Material, (Online), ”http://www.docstoc. com/
docs/ 27565855/Acid-Hydrolysis-Pretreatment-ofBagasse-Lignocellulosic-Material. Diakses pada
tanggal 26 Mei 2014.
Rahman, Arif. 2009. Sisa Cadangan Minyak Indonesia
15 Tahun. <URL:,(Online),
”http://www.
indomigas. com /sisa-cadangan-minyak-indonesia
-15-tahun”, Diakses pada tanggal 21 Maret 2014.
Sastrohamidjojo, H. 2001. Kromatografi. Yogyakarta:
Liberty.
Sheleser., 1994.1 st Ed, Alcohol Palm Book, Ethanol
Specification, Praj Industries Limited
Shinnosuke Onuki dkk, 2008,” Ethanol production,
purification, and analysis techniques: a review”
http://elibrary .ub.ac.id/bitstream.Diakses pada
tanggal 25 Mei 2014
Soebijanto.,1986,”Penerapan Konsep Biorefinery pada
Bahan Beselulosa, (Online)” ,http://lutfis07
alumni.
ipb.ac.
id/zh/category/lingkungan/.
Diakses pada tanggal 4 Mei 2014.
Steffen, T., 2003, Continuous Ethanol Production
fromNonsterilized Carob Pod Extract by
Immobilized Saccharomyces cerevisiae on
Mineral Kissiris Using A Two-reactor System,
Journal Applied Biochemistry and Biotechnology,
Vol. 59, No. 3.
8
Subedi H, TomaKrisno, dan Zainuddin., 2006
,”Pemanfaatan Saccharomyces Cerevisiae Dalam
Industri Alkohol” ,(Online),http://aguskrisnoblog.
wordpress. com /2012/01 / 01 / pemanfaatansaccharomyces- cerevisiae- dalam -industrialkohol/. Diakses pada tanggal 6 Juni 2014.
Tanaka F and Otten., 1986, The Systematic
Identification Of Organic Compounds: A
Laboratory Manual, John Wiley & Sons, Canada.
Zhao, F., Miao, J. Y., Shi, G. Y., dan Zhang, K. C.,
2009, Ethanol Fermentationby an Acid-tolerant
Zymomonas
mobilis under
Non-sterilized
Condition, Process Biochemistry, Elsevier, 40:
183-187
Download