SANKSI PADA PENCURIAN PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADZHAB Amna Wati Universitas Negeri Lampung E-mail : [email protected] Abstrak Hukum Islam dalam upaya pemeliharaan harta atau hifzh al-mal sejak awal telah mengatur tentang cara mencari harta agar dalam memperoleh harta tidak dengan cara melanggar hukum seperti halnya mencuri. Bahkan dalam Islam pun diatur cara mendayagunakan harta tersebut agar sejalan dengan tuntutan agama. Oleh karena itu salah satu aturan Islam yang bertujuan untuk memelihara harta seseorang dari kejahatan orang lain adalah dengan mengharamkan mencari harta untuk orang lain. Mengenai aplikasi hukuman potong tangan ini dikalangan Fukaha Islam bidang Jarimah terdapat banyak perbedaan. Antara Fukaha klasik yang menyatakan bahwa hukuman potong tangan adalah mutlak. Sedangkan Fukaha kontemporer masih memberikan pilihan lain selain hukuman potong tangan misalnya hukuman takzir. Perbedaan pendapat tersebut akan penulis coba untuk mendeskripsikan ke dalam tulisan ini sehingga terdapat gambaran yang jelas akan perbedaan-perbedaan dan persamaan serta alasan-alasannya. Akan tatapi dalam tulisan ini penulis hanya akan membahas substansi Hukum Pidana Islam tentang pencurian yang bersumber dari al Qur’an dan mendeskripsikan pendapat imam empat tentang tindak pidana pencurian dalam pandangan Islam serta pendapat para Fukaha klasik dan modern yang tertuang dalam kitabkitabnya. Kata kunci : Pencurian, Jarimah, Imam Madzhab Abstract Islamic law in an attempt to the maintenance of property or the hifzh al-mal from the beginning has set up about how to find treasures in order to obtain wealth not by violating laws such as stealing. Even in Islam has regulated these treasures to make way in line with the demands of religion. It is therefore one of the Islamic rule which aims to preserve the treasure of someone from the crimes of others is to unban haramkan looking for treasure for someone else. Regarding the application of punishment this hand cut among the Islamic field Jarimah Fukaha, there is much difference. Between classic Fukaha said that sentenced cut hand is absolute. While contemporary Fukaha still provides other options in addition to penalties such as penalties takzir hand cut. The difference of opinion writers would try to describe it in writing so there is a clear picture will be differences and similarities as well as his reasons. Will tatapi in this paper the author will only discuss the substance of Islamic criminal law about the theft from the Qur'an and describe the opinions of the four priests about the crime of theft in the eyes of Islam as well as the opinions of its Fukaha classic and modern which is contained in its books. Keywords : Theft, Jarimah, Priest Of The Two 1 Pendahuluan Hukum Islam menempatkan tindak kriminal dalam bab tersendiri yaitu bab tentang Hukum Pidana. Dalam hal istilah Fikih disebut dengan Jinayah atau al Tasyri’ al Jinai’ al Islami.1 Jinayah sering disebut oleh Fukaha sebagai Jarimah. Para Fukaha sering memakai kata-kata jinayah hanya untuk mengenai jiwa orang atau anggota badan seperti membunuh, memukul, aborsi dan sebagainya. Negara Arab Saudi memakai istilah Jinayah dalam KUHPnya, akan tetapi dengan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang ada di kalangan Fukaha. Disana tindak pidana digabungkan menjadi tiga bagian yaitu : Jinayah, Jauhah, Muqhalofah.2 a.) Jinayah adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau kerja keras seumur hidup (asyghal saggahmu abbadah) atau kerja berat sementara (Pasal 10 KUHP Arab Saudi). b.) Jauhah yaitu tindak pidana yang diancam hukuman kurungan lebih dari satu minggu (pasal 11). c.) Muchallofah yaitu suatu tindak pidana yang diancam hukuman kurungan dari satu minggu atau denda tidak lebih dari seratus plesters (pasal 12). Dalam istilah Fukaha ketiga jenis tindak pidana seperti yang terdapat di Arab Saudi disebut dengan Jinayah atau Jarimah. Dalam Hukum Islam khususnya Hukum Pidana Islam (al Fiqh al-Jinai) pencurian merupakan salah satu bentuk jarimah/tindak pidana yang diancam dengan hukuman had yaitu hukuman potong tangan sebagaimana ditegaskan dalam Q.S al Maidah ayat 38 : ―Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang tidak mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maka perkasa lagi maha bijaksana‖3 1 Abd Qadir Al Audah. Al Tasjri Al Jinai’ al Islami. Muqaranum bi Al Qanun Alwadi Jilid I h. 2 A. Hanafi. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta. Bulan Bintang. 1967. h. 15. Departemen Agama. Al Qur’an dan Terjemahnya. Semarang. CV. Tolha Putra. 1989. H. 165 67. 3 Dengan terjemah ayat tersebut bermaksud menjelaskan bahwa jika telah cukup syarat dan rukunnya maka bagi pencuri baik laki-laki dan perempuan dikenai hukuman potong tangan. Kemudian dilanjutkan dengan ayat 39 yang artinya : ―Maka barang siapa bertaubat diantara pencuri-pencuri itu sesudah melakukan kejahatan tersebut dan memperbaiki diri maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ‖4 Pembahasan A. Tinjauan Umum Tentang Jarimah Sebelum menguraikan tentang pendapat para fukaha penulis mengangap perlu untuk menguraikan lebih dulu pengertian jarimah secara umum. Terminologi kuhum pidana dalam hukum islam, dikenal dengan nama jarimah atau jinayah. Para fukaha memekai istilah jinayah untuk jarimah. Abdul Qadir Audah secara definitif mengatakan bahwa larangan-larangan syara‘ yang diacamkan oleh Allah yang ditentukan atau hukuman ta‘zir.1 Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.2 Larangan syara‘ maksudnya bahwa suatu perbuatan dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara‘, sehingga berbuat atau tidak berbuat tidak termasuk jarimah apabila tidak menyebabkan pemidanaan3 Artinya jinayah sebenarnya lebih khusus untuk mengungkapkan suatu perbuatan yang dapat merugikan jiwa seseorang, harta benda, atau lainnya.4 Tetapi mayoritas ahli fiqih menggunakan istilah jinayah hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa orang, anggota badan, seperti pembunuhan, Ibid. h. 165. Abdul Qadir Audah, Tasyi’u al-Jina ‘I Al-Islami, Kairo : Dar al-Fikr, 1978, h..66 2 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1996. Cet.Ke-2, h..9 3 Abdul Qadir Audah, Op. Cit. h..66 4 Ibid, h..67 4 1 penganiayaan, pengguguran kandungan, dan sebagainya. Dan sebagian ulama menggunakan istilah tersebut khusus untuk jariman hudud dan qisos.5 Secara substansial maknanya sama maka para ahli fiqih menganggap bahwa dua istilah tersebut sinonim. Suatu perbuatan dikatakan jarimah apabila memenuhi kriteria-kriteria tertentu, sehingga tidak semua perbuatan yang diduga jarimah menyebabkan si pembuatnya harus dipidana. Adul Qadir Audah menyebutkan bahwa suatu perbuatan disebut jarimah apabila memenuhi kriteria di bawah ini : a. Nas yang melarang perbuatan dan mengancamkan hubungan terhadapnya, dan unsur ini biasa disebut unsur formil atau rukun syar’i. b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat, dan unsur ini biasa disebut unsur materiil atau rukun maddi. c. Pembuat adalah orang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah yang diperbuat, dan unsur ini biasa disebut unsur moril atau rukun abadi6 Faktor yang mengakibatkan adanya pertanggungjawaban pidana ialah perbuatan ma’siat yaitu perbuatan melawan hukum, yakni mengerjakan perbuatan (larangan) yang dilarang oleh syari‘at atau sikap tidak berbuat yang diharuskan oleh syariat.7 Meskipun perbuatan melawan hukum menjadi sebab adanya pertanggungan jawab pidana, namun diperlukan dua syarat bersamasama, yaitu mengetahui (idrak) dan pilihan (ikhtiar). Kalau salah satu syarat tidak ada, maka tidak ada pertanggungan jawab pidana.8 Syarat yang lain yaitu si pembuat jarimah adalah orang mukallaf. Syarat ini berdasarkan bahwa dalam syari‘at Islam orang yang diberi pembebanan hanya orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk memahami dalil-dalil taklif, serta 5 6 Ibid, h. 67. Ibid. h. 67. pekerjaan yang dibebankan hanya pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan disanggupi. Syarat yang harus dipenuhi mukallaf ada dua hal, yaitu : a. Sanggup memahami nas-nas syara’ yang berisi hukum taklif (tunutan seperti suruhan, larangan, dan sebagainya). b. Pantas dimintai pertanggung jawaban dan dijatuhi hukuman. Adapun syarat yang harus ada pada perbuatan adalah : a. Perbuatan itu mungkin dikerjakan, dan disanggupi oleh seseorang untuk ditinggalkan atau dikerjakan. b. Dapat diketahui dengan sempurna.9 Dengan demikian, seseorang dapat dipidana menurut pidana Islam apabila terbukti melakukan tindak pidana dengan sengaja serta si pembuat secara pribadi adalah orang yang mempunyai kemampuan bertanggung jawab. B. Tindak Pidana Pencurian Menurut Empat Imam Madzhab 1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Kata pencurian merupakan terjemahan dari kata-kata sariqah, dalam bahasa Arab yang berasal dari akar kata saraqa, yashiqu, sariqan, sariqatan. Secara etimologi, kata ini berarti akhzu al syai khufyah, yaitu mengambil suatu secara diam-diam. Secara terminologi, para ulama mengemukakan batasan-batasan limitatif yang berbedabeda. Ibnu Abidin dari kalangan Hanafiah, mengemukakan definisi sebagai berikut: 11 Abdul Qadir Audah, op.cit., h.. 11 A. Hanafi, op.cit., h..177 9 Ibid., h..72 11 Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar a’la’ al Duri al Muhktar Syarh Tanwir al absar, Mesir: Dar al Fikr, 1979/1399, juz 4, h.. 82—85.Mesir: Dar al Fikr, 1979/1399, juz 4, h.. 82—85. 7 8 Pencurian adalah pengambilan yang dilakukan oleh seorang mukallaf yang (dapat berbicara serta melihat, sebanyak sepuluh dirham murni atau seukurannya, (dengan adanya) unsur kesengajaan, secara nyata mengeluarkan, secara sembunyisembunyi dari tangan pemilik yang sah barang yang tidak cepat rusak di wilayah yang adil (Islam) dari tempat simpanan tidak ada syubhat dan tidak pula ada takwil”. Dengan definisi yang dikemukakan oleh Ibn Abidin tersebut maka terlihat dengan jelas beberapa syarat yang diperlukan untuk dinyatakan sebagai suatu perbuatan percurian yaitu : 1) Pelaku pencurian adalah seorang mukalaf yang bisa bicara dan melihat. Orang bisu tidak di Had karena jika ia bisa bicara mungkin akan timbul masalah syubhat dari pembicaraannya. Begitu orang buta ia tidak dapat membedakan dengan jelas mana yang merupakan hartanya dan mana yang bukan; 2) Jumlahnya sepuluh dirham murni atau setaranya; 3) Adanya unsur kesengajaan; 4) Secara nyata mengeluarkan dari tempat simpanan; 5) Dilakukan secara diam-diam; 6) Diambil dari tangan pemilik yang sah; 7) Barang yang di ambil tidak cepat rusak; 8) Pencurian terjadi di wilayah yang adil (Islam); 9) Harta yang diambil berada di tempat simpanannya; 10) Tidak ada unsur-unsur yang membawa kepada keraguan (syubhat) atau ada alasan untuk menghindar dari mencuri (ta‘wil) seperti mencuri al-Quran.12 Mencuri Al Qur‘an bisa saja bertujuan untuk dibaca. Karena itu orang seperti itu disebut dalam kelompok syubhat. Ibn Abidin adalah kelompok Hanafiah, maka seorang Hanafiah yang mencuri tidak bisa diancam dengan hukuman Hadd apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Pengertian pencurian yang dikemukakan oleh al Muwaftiq seorang ulama dari kalangan makkiyah memberikan pengertian yaitu : 13 12 13 Al Kandah Lawi, Aujaz al Masalih ila ‗Muwatta‘ Malik Darar Fikr, 1974, tth juz 2.h. 334 Ibnu Rusyd, Bidayatul al Mujtahid wa al Nikayah al Maqtasyd, Da‘al Fikri, juz 2, h.. 334. ―As Syaraqah ahaza al mal ahyajah‖ artinya mencuri itu adalah mengambil harta secara sembunyi-sembunyi‖ Pengertian pencurian yang dikemukakan kalangan Malikiyah ini lebih ringkas dan bersifat umum. Selain al Muwaffiq, Ibn Rusyd (w.595 H) juga dari kalangan Makkiyah memberikan pengertian pencurian sebagai berikut :14 ‖Mencuri adalah mengambil harta orang lain dalam keadaan tersembunyi yang tidak dipercayakan kepadanya (orang yang mengambil)‖ Seorang ulama Malikkiyah, yaitu al Hattab (906-954 H) mengutip dari Ibn Irfah mengatakan difinisi dari pencurian yang artinya adalah :15 ―Mencuri adalah pengambilan yang dilakukan oleh seorang Mukallaf terhadap anak kecil merdeka yang belum berakal atau harta yang dihormati (Muhtaram) milik orang lain yang mencapai jumlah tertentu (marb) dikeluarkan dari tempat simpanannya dengan sengaja serta mengambilnya secara diam-diam yang tidak ada unsur syubhat dalam pengambilan tersebut.‖ Dengan demikian terdapat beberapa unsur dari satu perbuatan pencurian dikalangan Malikkiyah yaitu a. Pencuri mukallaf; b. Yang dicuri anak kecil merdeka atau harta yang dihormati; c. Milik orang lain; d. Mencapai nisab; e. Mengeluarkan dari tempat simpanan; f. Dengan sengaja secara diam-diam; dan g. Tidak ada syubhat. Dalam pandangan malikiyah orang yang mengambil(mencuri) anak kecil yang belum berakal dikategorikan sebagai pencuri yang dijatuhi hukuman had. 14 15 Ibid, h. 334. Al Hattab,Abi Abd. Allah muhammad bin Muhammad bin Abd al Rahman al Magribi, Mawahib al Jalil li sy Syarh Mukhtasar Kh.il, bihamisyhi: al Taj wa al akil li Mukhtasar al kh.il, 1978/1398 Juz 6 h. 306 Harta yang dicuri adalah harta muhtaram atau harta yang mempunyai nilai ekonomi, oleh karena itu pencuri terhadap harta yang non ekonomis atau ghair al muhtaram tidak menyebabkan pelakunya dijatuhi hukuman potong tangan (had) Mengambil anak kecil yang belum berakal menurut penulis dapat dikelompokkan pada kasus penculikan anak bukan pencurian. Hal ini perlu dibedakan karena secara substansial kedua tindak pidana tersebut sangat berbeda. Selanjutnya menurut malikiyah ukuran yang dipakai dalam menentukan apakah suatu barang atau benda bernilai ekonomis atau tidak ditentukan oleh masyarakat itu sendiri yang ada pada masa itu dan waktu itu. Karena boleh jadi waktu dan masa yang bergantian akan merubah satu pandangan masyarakat terhadap nilai suatu benda atau barang. Syarat lain yang ditentukan adalah dengan sengaja secara diam-diam, kalangan Malikkiyah tersebut tidak menyebutkan pengertian dengan sengaja. Menurut penulis secara diam-diam adalah suatu niat (azam) yang sangat kuat di dalam diri pelaku untuk melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan kaidah umum yaitu suatu perbuatan mengambil harta orang lain secara sembunyi sembunyi atau secara melawan hak atau secara melawan hukum. Tentu saja masalah ini menjadi unsur subjektif dari suatu perbuatan pada tindak pidana pencurian. Sementara itu al Gamrawi dari kalangan Syafiiyah mendefinisikan : Mencuri adalah mengambil harta secara diam-diam dalam keadaan zalim dari tempat simpanannya yang biasa dengan syarat tertentu. 16 Secara rinci unsur dasar-dasar pencurian menurut al Gamrawi Sebagai berikut:17 a. Barang yang dicuri mencapai nisab ¼ dinar murni atau setaranya; b. Barang yang dicuri milik orang lain; c. Tidak ada syubhat dalam pengambilan; 16 17 Zainuddin, Perkembangan Pidana Pencurian dalam Hukum Islam, Jakarta: h.. 31. I b i d, h.. 32. d. Barang yang dicuri berada dalam tempat simpanan; e. Barang yang di dicuri adalah mukhtaram. Dengan uraian atau difinisi dari tindak pidana pencurian adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam, harta yang diambil berupa harta milik orang lain dan ada itikad tidak baik18 dengan kata lain maka unsur-unsur pencurian terdiri dari : a. Mengambil harta secara diam-diam. b. Barang yang dicuri berupa harta c. Harta yang dicuri milik orang lain d. Ada itikad tidak baik Ulama empat madhab menyepakati tiga unsur utama pencurian yaitu adanya : 1) perbuatan mengambil 2) Adanya barang yagn dicuri 3) dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau secara diam-diam Sedangkan tempat penyimpanan disepakati oleh sebagian fuqaha saja. Dengan demikian pencurian yang disepakati oleh semua fuqaha adalah suatu perbuatan mengambil suatu perbuatan mengambil sesuatu barang yang dilakukan secara diam-diam. Sedangkan pencurian yang disepakati oleh sebagian besar fuqaha adalah suatu perbuatan mengambil barang atau harta orang lain yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya. Batasan pengertian yang demikian belumlah menggambarkan keadaan yang sebenarnya, oleh karena itu imam empat mensyaratkan untuk harta (barang) yang diambil haruslah dipenuhi 3 unsur lagi, yaitu : 1) Harta tersebut adalah harta yang bergerak 2) Harta tersebut mempunyai nilai 18 H.A., Djazuli, Ibid, h.. 74 3) Harta tersebut berada dalam tempat penyimpanan 4) Harta tersebut mencapai nisab. Untuk point pertama dimana disebutkan harta tersebut adalah harta yang bergerak untuk saat sekarang mungkin sudah tidak pas lagi mengingat suasana zaman sudah berubah dimana kecanggihan tekhnologi dan kemajuan ilmu pengetahuan dapat membuat modus operandi pencurian berubah dan pencurian dapat dilakukan terhadap harta-harta yang tidak secara nyata bergerak misalnya harta-harta yang tersimpan dalam bentuk uang di bank yang dapat dilakukan dengan komputer, dan lain-lain. Pencurian data-data perusahan melalui komputer mengenai harta itu mempunyai nilai menurut penulis memanglah tepat, karena tidak mungkin orang mau mencuri barang kalau barang tersebut tidak bernilai. Hanya saja perlu diberi batasan yang jelas (tentu saja oleh ulil amri) mengenai makna harta yang bernilai itu karena suatu harta (barang) dapat saja mempunyai nilai yang sangat besar bagi seorang pemilik tapi tidak bernilai bagi orang lain, misalnya pencurian dilakukan terhadap foto pengantin atau VCD yang berisi film pengantin. Benda tersebut tidak ada gunanya bagi pencuri tapi bagi sipemilik sangat berarti, karena nilai historisnya. Mengenai tempat penyimpanan, menurut hemat penulis diperlukan suatu interpretasi melalui qiyas dengan mengartikan bahwa tempat penyimpanan adalah tempat yang dalam pengertian luas, artinya tempat penyimpanan adalah dalam pengertian : 1) Yang selalu dijaga dan diawasi misalnya gudang beras, toko emas, dll. 2) Yang tidak selalu dijaga dan diawasi tetapi disepakati bahwa tempat itu adalah tempat yang layak untuk penyimpanan harta. Misalnya pencurian uang dalam ATM (Automatic Teller Mechine), pencurian motor ditempat parkir, pencurian sepeda di halaman rumah yang ada pagarnya dan pencurian ternak yang sedang terikat dipohon sedang pemiliknya tidak ada ditempat. Mengenai nisab atau batasan harta yang dicuri, ada sebuah hadis dari Aisyah dari Nabi s.a.w. beliau berkata bahwa Rasulullah s.a.w. memotong tangan pencuri harta yang berharga ¼ Dinar atau lebih. Pada masa itu 1 Dinar sama dengan 12 Dirham. (HR Jamaah) sampai sekarang hampir sama nilainya Hadits lain menyebutkan daru Ibn Umar bahwa Rasulullah s.a.w. memotong tangan tangan seorang yang mencuri sebuah perisai seharga 3 Dirham. (HR. Jamaah). Imam Abu Hanifah mengukur nisab pencurian adalah 10 Dirham atau 1 Dinar. (HR. Baihaqi dari Ibn Abbas). Syiah dan Ibn Rusyd nisab pencurian adalah 4 Dinar atau 40 Dirham. Menurut Haliman dalam bukunya Hukum Pidana Islam menurut Ahlus Sunah Wal Jamaah, tersebut 20 hadits yang menyebutkan adanya nisab potong tangan. Antara hadits tersebut yang paling rendah nisabnya adalah senilai 3 Dirham untuk dapat dijatuhi sanksi potong tangan (had). Dari keterangan berbagai hadits tentang nisab dihubungkan dengan nash alQur‘an tentang hukuman potong tangan (QS. 5 : 38) maka penulis berpendapat bahwa hukuman had (potong tangan) yang ada dalam ayat al-Qur‘an tersebut adalah hukuman maksimal. Sedangkan nisab terendah yaitu nisab untuk dijatuhi hukuman potong tangan adalah untuk pencurian yang minimalnya seharga 3 Dirham sesuai hadits Nabi yang bersumber dari Ibn Umar (HR. Jamaah). Dengan catatan bahwa hukuman had diberikan kepada pencuri pemula atau pencuri yang baru pertama kali mencuri. Dengan demikian diharapkan maksud dan tujuan penjeraan dari hukuman akan berdampak positif bagi pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat luas apabila tangan yang dipotong tersebut digantungkan dileher dan dipertontonkan kepada masyarakat beberapa saat sebelum dikuburkan atau dilenyapkan. Untuk hal ini penulis sependapat dengan mazhab Zahiri dan Imam Abu Hanifah bahwa pencuri pertama atau pencuri pemula dijatuhi had. C. Pembuktian Pencurian 1. Pengakuan (iqrar) Secara lughawi iqrar berarti tetap diam dan tenang yang berasal dari kata qarr yaqirru, garatan. Dalam bentuk kata fiil lazim (kata kerja pasif), kata dasar ini kemudian diaktifkan dalam bentuk aqarra, yaqirru, iqraran yang berarti menetapkan, mengaku atau pengakuan. Dengan pengertian yang sama kata aqrar dikenal juga dalam bahasa Indonesia.23 Pengakuan atau iqrar ini telah disepakati oleh imam empat bahwa iqrar merupakan alat pembuktian baik dalam urutannya dengan hak akal maupun urusannya dengan hak sesama manusia. Pengakuan merupakan salah satu cara pembuktian pengakuan lebih kuat dari pada cara pembuktian yang lain. Pengakuan ini ditetapkan dalam nash al-Qur‘an, Sunnah dan Ijma. Ada beberapa ayat al-Qur‘an yang dijadikan dasar persyariatan iqrar, antara lain: ََإِ ْر أَ َخ َز ه )3:81( ص ِشْ لَبٌُُا أَ ْل َش ْسوَب َ َّللاُ ِمٕزَب ْ ِلَب َي َءأَ ْل َش ْسحُ ْم ََأَ َخ ْزحُ ْم َعٍَّ َرٌِ ُى ْم إ..……… َق اٌىهبِِّٕٕه Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi….. Allah berfirman: apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian iu? Mereka menjawab: kami mengakui……. (QS. 3:81) Dalam ayat lain disebutkan tentang iqrar: )135:4(…غ ُىم ُ غ ِط ْ َِٔبأَُّ ٍَب اٌه ِزْٔهَ اَ َمىُ ُْا ُو ُْوُ ُْا لَ َُ ِمْٕهَ بِب ٌْم َ ُش ٍَذَا َء َّللا ٌَََ ُْ َعٍَّ اَ ْوف Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri (QS. 4:135) Pada kutipan ayat pertama ditemui kata iqrar yang berarti pengakuan sedangkan pada ayat kedua tidak ditemukan kata iqrar yang ditemui adalah kata kesaksian terhadap diri sendiri. Untuk itu kata-kata kesaksian yang dimaksud menurut jumhur fuqaha adalah iqrar atau pengakuan terhadap diri sendiri. Selain nash al-Qur‘an yang menjadi dasar disyariatkan pengakuan adalah hadits berikut: ِّّض َع ْىًُ رُ هم لَب َي إِو ُ عَهْ أَبِّ ٌُ َش ْٔ َشةَ لَب َي َجب َء َمب َع ِه ْب ِه َمبٌِ ِه أَنه اٌىهبِٓ صٍّ َّللا عًٍٕ َعٍم لَب َي اِوِّٓ لَ ْذ َصوّ ِْْٓ ثُ فَأ َ ْع ِش َ َ َ ث فأ ْم ُشبِ ًِ أنْ ُٔ ْش َج َم ُ ض َع ْىًُ لَب َي لَ ْذ َصوّ ِْْٓ ثُ فَأ َ ْع ِش ُ َصوّ ِْْٓ ثُ فَأ َ ْع ِش ض َع ْىًُ َ خهّ اِ ْل َش اَ ْسبَ َ َم هشا ٍت Dari Abu Hurairah dia berkata: Maiz bin Malik data kepada nabi s.a.w. lalu berkata: Sesungguhnya aku telah berzina: Rasulullah s.a.w. berpaling dari padanya. 23 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1995, h. 369 Kemudian dia berkata lagi sesunggunya aku telah berzina. Nabi berpaling juga dari padanya. Maiz berkata kembali: Sesungguhnya aku telah berzina. Kemudian nabi berpaling dari padanya. Maiz berkata kembali: Sesungguhnya aku telah berzina. Nabi berpaling daripadanya sehingga dia berikrar empat kali kemudian nabi menyuruh merajamnya. (HR. Ibnu Majjah) Hadits lain riwayat al-Bukhari: عَهْ َص ْٔ ِذ ا ْب ِه َخبٌِ ٍتذ ََاَبِّ ٌُ َش ْٔ َشةَ سظٓ َّللا َع ْى ٍُ َمب َع ِه اٌىهبِّ صٍّ َّللا عًٍٕ َعٍم لَب َي ََا ْغ ُذ َٔبأَوِ ْٕظ إٌَِّ اَ ْم َشأَ ِة ٌَ َزا فَإِنه بس ُج َم ٍَب ْ َاَ ْعخَ َش ْفجَ ف Dari Zaid bin Khalid dan Abu Hurairah r.a. dari nabi s.a.w. beliau bersabda: Pergilah yang Unais kepada perempuan ini jika ia mengaku, rajamlah ia. (HR. Bukhari) Dasar disyariatkan pengakuan melalui ijma adaah bahwa sejak masa nabi sampai sekarang tidak ada fuqaha yang membantah. Ditetapkan pengakuan sebagai salah satu cara pembuktian. Pengakuan haruslah diberikan oleh seseorang yang mempunyai kapasitas dengan memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu balig, berakal dan tidak ada unsur keterpaksaan. Ketiga unsur ini sama dengan unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh seorang pelaku pencurian. 2. Saksi (syahadat) Saksi dalam bahasa Arab disebutkan syahadat yang berasal dari akar kata syahida-yasyhadu-syahadah yang berarti menerangkan atau keterangan, menginformasikan apa yang dilihat, menetapkan apa yang diketahui, informasi yang pasti,24 menurut pengertian syara‘ saksi adalah: ًاخببس اٌحبوم عه عٍم ٌٕمط عمخع Memberitahu hakim tentang sesuatu informasi, agar dia dapat memutuskan perkara (menghukum) sesuai dengan yang dikehendaki informasi tersebut. 24 Zainuddin, Perkembangan Pemikiran tentang Tindak Pidana Pencurian menurut Syari‘at Islam, Jakarta, IAIN, 1998, h. 150. Saksi disyari‘atkan dalam hukum Islam berdasarkan nash al-Qur‘an, Sunnah dan Ijma. Nash al-Qur‘an yang berhubungan dengan saksi adalah: َاشٍذَا إرا حببٔعخم... َاعخشٍذَا شٍذٔه مه سجبٌىم فإن ٌم ٔىُوب سجٍٕه فشجً َامشأحبن مه حشظُن مه اٌشٍذاء... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki diantara kamu, jika tidak ada dua orang laki-laki maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi….… dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli…(QS. 2:82) Sedang Sunnah rasul diantaranya: ًٍٕ وبن بٕىّ َبٕه سجً خصُمت فّ شٕئ فبخصمىب اٌّ سعُي َّللا صٍّ َّللا ع: إن األشعذ لٕظ لبي:عه أبّ َائً لبي َعٍم فمبي شٍذان اَ ٔمٕىً فمٍج ًٌ ان ٔخٍف َال ٔببٌّ فمبي اٌىبّ صٍّ َّللا عًٍٕ َعٍم مه ٍك عٍّ ٔمه ٔغخحك بٍب مبال ٌَُ فٍٕب فبجش ٌمٓ َّللا عض َجً ٌَُ عًٍٕ غعببن Dari Abi Wail ia berkata: Sesungguhnya al-Asy‘as bin Qais berkata: Antara aku dan seseorang ada persengketaan tentang sesuatu. Kemudian kami mengadu kepada rasulullah s.a.w. bersabda: Saksi engkau atau sumpah dia!. Aku menjawab: Sesungguhnya ia ketika itu bersumpah sedangkan dia tidak peduli. Maka rasulullah mengatakan: Siapa yang bersumpah dengan sesuatu sumpah untuk mendapatkan hak terhadap harta pada hal dia berdusta, maka ia menemui Allah dan Allah akan memarahinya. (HR. Bukhari)25 Hadits berikutnya juga tentang saksi: ًٌعه صٔذ به خبٌذ ان سعُي َّللا صٍّ َّللا عًٍٕ َعٍم لبي اال خٕش اٌشٍذاء اٌزِ ٔأحّ بشٍبدحً اَ ٔحذرٍب لبً ان ٔغأ Dari Zaid bin Khalid bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: Ingatlah aku akan memberitahu kalian tentang kesaksian yang terbaik yaitu orang yang memberikan kesaksiannya atau menginformasikannya sebelum diminta. (HR. Muslim)26 Penetapan saksi melalui Ijma adalah bahwa sejak zaman bai s.a.w. sampai sekarang para fuqaha tidak ada yan menentang persyari‘atan saksi dan menjadikannya sebagai hujjah (argumen) dalam proses peradilan. 25 26 Al-Bukhari, Imam, Sahih Bukhari, Beirut : Asy-Syu‘ub Jilid III, Juz 2, h. 949 Muslim, Sahih Muslim, Indonesia : Mahtabab Dar Ihya al Kutub al Arabiyah, Juz 2 h. 63 Saksi juga diperlukan syarat-syarat sebagaimana syarat-syarat yan gdiperlukan bagi seseorang pelaku pencurian, syarat-syarat tersebut hampir sama yaitu: Saksi harus orang yang mukallaf, berakal, balig, bisa melihat, merdeka, Islam dan adil. Selain itu diperlukan syarat lain yaitu tidak ada hubungan kekeluargaan antara saksi dengan orang yang disaksikan. 3. Qarinah (tanda-tanda) Qarinah adalah tanda-tanda yang menunjukkan adanya suatu kasus arau peristiwa. Qarinah yang dapat dijadikan sebagai alat pembuktian adalah Qarinah yang tegas yaitu tanda-tanda yang membawa kepada keyakinan misalnya dalam kasus pencurian seseorang yang baru saja keluar dari sebuah rumah yang ada pagarnya dengan keadaan tergesa-gesa sedangkan dalam tangan kanannya menenteng radio compo dan pada tangan kirinya masih terdapat golok, maka dapat diduga seorang yang keluar dengan keadaan tergesa-gesa dengan membawa golok dan radio compo adalah pelaku pencurian dengan kekerasan. Fuqaha yang membolehkan qarinah sebagai alat pembuktian adalah Ibnu Qoyyim (571 H) dan dari kalangan Hanabilah. 4. Sumpah Penolakan (yamin al-Mardudah) Sumpah Penolakan adalah sumpah yang dilakukan sebagai penolakan atau bantahan terhadap sumpah orang yang dituduhkan. Misalnya B dituduh mencuri oleh si A, lalu B membantah dengan bersumpah. Kemudian si A pun bersumpah untuk meyakinkan tuduhannya. Maka sumpah A untuk menolak sumpah B adalah sumpah penolakan. Mazhab Syafi‘i dalam pendapatnya membolehkan sumpah penolakan ini sebagai alat pembuktian. Apabila tidak ada pengakuan dan para saksi tidak cukup lalu orang yang mendakwa maka wajib menjatuhkan had karena sumpah penolakan kekuatannya sama dengan ikrar dan saksi dalam pembuktian. Tetapi ada pendapat lain dari mazhab Syafi‘i yang menolak dijatuhkan melalui sumpah penolakan.27 D. Sanksi Pencurian. Sanksi dalam bahasa Arab disebut uqubah yang berasal dari akar kata aqabaya‘qibu-uqban-uquban yang secara lughawi berarti pembalasan hukuman atau sanksi. Menurut istilah fuqaha, uqubah ini adalah :28 ًجضاء َظعً اٌشبسع ٌٍشدع عه اسحىبة مب وٍّ عىً َحشن مبأمشب5 Suatu pembalasan yang dibuat oleh syar‘I (pembuat hukum) untuk menahan orang dari melakukan sesuatu yang dilarang dan dari meninggalkan sesuatu yang disuruh. Sanksi pencurian biasa disebut dengan had pencurian. Para fuqaha sepakat bahwa pelaku pencurian yang telah memenuhi unsur-unsur untuk dijatuhi hukuman had (potong tangan) sebagaimana firman Allah )5:38( َاٌغبسق َاٌغبسلت فبلطعُا أذٍٔمب Laki-laki dan perempuan yang mencuri maka potonglah tangannya. Mengenai aplikasi sanksi had ini dikalangan para fuqaha masih terdapat selisih pendapat mengenai batas-batas dari bagian mana yang harus dipotong. Fuqaha sepakat apabila unsur-unsur pencurian telah dipenuhi oleh pelaku pencurian maka dijatuhi sanksi had, tetapi masih diperselisihkan mengenai batasanbatasan yang dipotong tersebut. Dalam bukunya al-Qurtubi 29 mengatakan fuqaha sepakat bahwa pengertian memotong tangan sebagai sanksi dari tindak pidana pencurian adalah memisahkan 27 28 Zainudin, Op. Cit., h. 173 Al Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Ali, Al Suna Al Kubra, Beurut : Dar Al Fikri, tt. H. 13. 29 Al-Qurtubi Abi Abd. Allah Muhammad bin Muhammad al-Ansari, al-Jami li Ahkam alQur’an, Kairo, Dar el-Katib al Arabi, 1967/1387, Juz 6, h. 168 atau menceraikan tangan dari badan. Sanksi ini telah dilakukan sejak zaman nabi seperti sanksi yang dijatuhkan terhadap orang yang mencuri sorban Sofwan dan juga sanksi yang dijatuhkan kepada al-Makhzumiyah yang mencuri harta. Begitu juga para sahabat telah melakukannya had tersebut dilakukan apabila telah terpenuhi persyaratannya, yaitu ada pelaku pencurian, adanya barang bukti yang dicuri, adanya perbuatan mencuri dan tidak ada unsur subhat, pengambilan dilakukan secara diam-diam. Para fuqaha telah sepakat mengenai sanksi had apabila telah memenuhi persyaratannya. Kesepakatan itu berlaku terhadap pencurian yang dilakuakn pertama kali. Bila pencurian dilakukan lebih dari satu kali atau berulang-ulang maka fuqaha berbeda pendapat. Hal tersebut didasarkan pada satu sebab bahwa nash al-Qur‘an tidak menyebutkan adanya potong kaki, tetapi potong tangan. َاٌغبسق َاٌغبسلت فبلطعُا أذٍٔمب Dalam nash al-Qur‘an tersebut jelas disebutkan laki-laki dan perempuan yang mencuri potonglah tangannya tidak ada disebutkan potonglah kakinya. Ibnu Mas‘ud memberikan alasannya bahwa al-Qur‘an surat 5:38 tersebut berarti (potonglah tangan keduanya) selain itu ibnu Mas‘ud menyebutnya dari praktek yang sudah dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya.30 Menurut pendapat fuqaha klasik khususnya mazhab Hanafiah dan Hanabilah apabila ada orang yang melakukan pencurian untuk kedua kalinya maka dipotong kakinya yang kiri, dan kalau masih mengulangi dimasukkan ke dalam penjara sampai taubat dan dita‘zir. Pemotongan kaki kiri didasarkan pada Ijma para sahabat. Pendapat mazhab Hanafiah dan Hanabilah bila diurutkan dalam tabel tampak sebagai berikut:31 Tabel 1 30 Zainudin, Op. Cit., h. 177 31 Ibn al-Arabi – Abu Bakar Muhammad Ali bin Ahmad bin Said Alahkam Al-Qur‘an, tt. Isa al Babil Al-Hilabi, 1967/1387 Juz 2 h. 613. Mazhab Hanafi dan Hambali tentang sanksi pencurian. No. Mencuri Sanksi / Hukuman Sumber 1 Pertama Kali Potong Tangan / Had Al-Qur‘an surat 5:38 2 Kedua Kali Potong Kaki Kiri Ijma Sahabat 3 Ketiga Kali Penjara s/d taubat atau ta‘zir Ijma Sahabat Sumber: data sekunder 2002 Pemberian sanksi penjara bagi pelaku pencurian yang mengulangi pencuriannya ketiga kali dan seterusnya oleh mazhab Hanafi dan kelompoknya adalah didasarkan pada tujuan dari hudud /pemberian sanksi adalah untuk menimbulkan kebinasaan (itlaf) apalagi penganiayaan kepada manusia. Oleh karena itu bila menjatuhkan pemotongan kaki sesudah pemotongan tangan kanan dan kaki kiri akan menimbulkan kebinasaan hal itu didasarkan pada perkataan Imam Ali r.a. sebagai berikut: ًٍ فإن عبد لطعج سج,ّعه عمشَ به عبذَّللا به عٍمت عه عٍّ سظٓ َّللا عىً لبي ارا عشق اٌغبسق لطعج ٔذي إٌمى إوّ ألعخحّ مه َّللا ان ادعً ٌٕظ ًٌ ٔذ ٔبوً ٍٔب َٔغخىحّ ٍٔب,إٌغشْ فإن عبد ظمىخً اٌغحه خّ ٔحذد خٕش َٔمعّ عٍٍٕب Dari Amr bin Murrah dari Abd. Allah bin Salamah dari Ali r.a. dia berkata: Apabila pencuri mencuri dipotong tangan kanannya, jika dia mengulanginya dipotong kaki kirinya dan jika masih mengulangi dimasukan dalam penjara sampai dia menjadi baik dan taubat. Saya sungguh malu kepada Allah membiarkannya tidak punya tangan untuk makan, beristinjak dan melaksanakan pekerjaan (HR. Daruquthni) Mazhab Maliki dan Syafi‘i berpendapat potong tangan kanan untuk pencurian pertama, kaki kiri untuk kedua kali, tangan kiri untuk yang ketiga kali, kaki kanan untuk keempat kali dan penjara serta ta‘zir untuk yang kelima kali dan seterusnya. 32 Pendapat tersebut bila diurut dalam bentuk tabel sebagai berikut: 32 Malik bin Anas al-Mudawwanah, Al-Kubra, tt, Dar el Fikr, 1986/1406 H. Tabel 2 Mazhab Maliki dan Syafi‘i tentang sanksi pencurian: No. Pencurian Sanksi / Hukuman Sumber 1 Pertama Kali Potong Tangan Kanan Al-Qur‘an 2 Kedua Kali Potong Kaki Kiri Ijma 3 Ketiga Kali Potong Tangan Kiri Ijma 4 Keempat Kali Potong Kaki Kanan Ijma 5 Kelima dan seterusnya Ta‘zir Ijma Sumber : data sekunder, 2000. Adapun dasar hukum bagi mazhab Maliki dan Syafi‘i adalah hadits berikut: عه أبّ ٌشٔشة سظٓ َّللا عىً ان سعُي َّللا صٍّ َّللا عًٍٕ َعٍم لبي إن عشق فبلطعُا ٔذي رم ان عشق فبلطعُا سجًٍ رم ًٍإن عشق فبلطعُا ٔذي رم ان عشق فبلطعُا سج Dari Abi Hurairah r.a. bahwa nabi s.a.w. bersabda jika seseorang mencuri maka potonglah tangannya (yang kanan) jika masih mencuri potonglah kakinya (yang kiri) kemudian jika masih mencuri potonglah tangannya (yang kiri) jika masih mencuri maka potonglah kakinya (yang kanan). (HR. Nasa‘i, Abu Daud dan AlDaruquthni). Menurut mazhab Syafi‘i pemotongan tangan dan kaki dilakukan karena kedua bagian tubuh ini merupakan sarana yang paling pokok untuk mencuri, tangan untuk mengambil dan kaki untuk berjalan. Sedangkan pemotongan yang dilakukan secara timbal balik antara tangan dan kaki bertujuan agar tidak menghilangkan sama sekali sarana untuk beraktivitas tetapi tetap membatasi ruang gerak. Hal ini menunjukkan pada sifat penjeraan dari hukuman dalam hukum Islam. Mengenai batas pemotongan tangan keempat mazhab, Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi‘i sepakat dilakukan mulai dari pergelangan tangan yaitu persendian antara hasta dan telapak tangan 33 Imam yang empat beralasan karena: 33 Ibn Ilhilman, Imam Kmal al Din Muhammad bin al Walid al Siwad’i Syarh al Fath al Qadir Beirut: Dar el Fikr, 1977/1407, Juz 5 h. 393 1. Sunah Rasul yang memberlakukan pemotongan telapak tangan pada pergelangan bagi orang yang mencuri antara lain: عه ابه عببط اوً عئً عه اٌخٕمم فمبي ان َّللا لبي فّ وخببً ٕه روش اٌُظُء (فبغغٍُا َجُ ىم َأذٔىم) َلبي (َاٌغبسق َاٌغبسلت فبلطعُا أٔذٍٔمب) فىبوج اٌغىت فّ اٌمط اٌىفغه Dari Ibnu Abbas beliau ditanya tentang tayamum lalu dia menjawab: Sesungguhnya Allah berfirman dalam kitabnya ketika menyebut wudhu (maka basuhlah muka dan tanganmu hingga siku) dan Allah juga mengatakan tentang tayamum (maka sapulah muka dan tanganmu) dan Allah mengatakan: (dan pencuri laki-laki dan perempuan maka potonglah tangan keduanya) oleh karena itu sunnah memberlakukan pemotongan kedua telapak tangan . (HR. Turmudzi)34 Dari Adi bahwa nabi s.a.w, memotong tangan pencuri dari pergelangan tangannya (HR. Al-Baihaqi) 0ً لط اٌىبّ صٍّ َّللا عًٍٕ َعٍم عبسلب مه اٌمىفص:عه عبذ َّللا به عمش َلبي Artinya : Dari Abd. Allah bin Amir dia berkata: Nabi memotong tangan pencuri dari pergelangan (HR. AL-Baihaqi)35 2. Ijma Sahabat, yaitu Umar dan Abu Bakar melakukan pemotongan tangan pada pergelangan tidak ada sahabat lain yang membantah walaupun pengertian pemotongan mencakup tiga hal yaitu pergelangan, siku dan bahu. Akan tetapi yang dimaksud adalah hanya pergelangan karena memperlakukan pada siku dan bahi masih diragukan sedangkan sesuatu yang masih diragukan tidak dibenarkan dalam syari‘at Islam. E. Gugurnya sanksi / hukuman potong tangan. Banyak pendapat tentang gugurnya sanksi had di kalangan fuqaha. HA. Jazuli 36 dalam bukunya menyebutkan hapusnya sanksi had yaitu : 1. Terbukti bahwa dua orang saksinya itu dusta dalam kesaksiannya. 34 Al-Turmudzi Abi Isa Muhammad Saurah, al Jami’ al Sahih, Mesir,Mustafa al-Babi al-H.abi, 1962/1382 35 Al-Baihaqi, Op. Cit., Juz 8, h. 271 36 HA. Jazuli., Loc. Cit., h. 86. 2. Pencuri menarik kembali pengakuannya. 3. Pelaku pencurian mengembalikan harta yang dicuri sebelum diajukan ke pengadilan pendapat ini diajukan oleh Imam Abu Hanifah, sedang menurut Imam Malik, Imam Syafi‘i dan Imam Ahmad mengatakan bahwa mengembalikan harta yang dicuri itu tidak menyebabkan gugurnya sanksi had, karena sanksi had terwujud ketika terjadinya pengambilan harta. 4. dimilikinya harta yang dicuri atau dengan sah oleh pencuri sebelum diajukan ke pengadilan ini pendapat Imam Abu Hanifah, sedang menurut Imam yang lain hal ini tidak menyebabkan gugurnya melaksanakan sanksi had, oleh karena itu alternatif hukuman adalah hukuman ta‘zir. Sementara itu dalil dalam Al-qur‘an Surat 5 : 39 menyebutkan bahwa seorang pelaku pencurian tidak dapat dijatuhi sanksi had apabila ia telah bertaubat sebelum pelaku ditangkap oleh yang berwenang sesuai dengan lafal ayat tersebut yang artinya : maka barang siapa bertaubat diantara pencuri-pencuri itu setelah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Simpulan Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalil utama yang menyatakan dapat menggugurkan sanksi had bagi pelaku pencurian adalah adanya taubat yang dilakukan pelaku sebelum ia ditangkap oleh pihak yang berwenang, tentu saja taubat yang dimaksud menurut hemat penulis adalah taubat nasuha yang dilakukan sesuai syarat dan rukun taubat nasuha. Menurut Imam Abu Hanifah tobat itu adalah menghapuskan hukuman seluruh tindak pidana yang berkaitan dengan hak Allah. Firman Allah : Yang artinya : ―Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kami, maka berilah hukuman kepada keduanya kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki dirinya, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat (An Nisa 16). Daftar Pustaka Abd Qadir Al Audah. Al Tasjri Al Jinai’ al Islami. Muqaranum bi Al Qanun Alwadi Jilid I A. Hanafi. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta. Bulan Bintang. 1967. Departemen Agama. Al Qur’an dan Terjemahnya. Semarang. CV. Tolha Putra. 1989. Abdul Qadir Audah, Tasyi’u al-Jina ‘I Al-Islami, Kairo : Dar al-Fikr, 1978. A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1996. Cet.Ke-2. Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar a’la’ al Duri al Muhktar Syarh Tanwir al absar, Mesir: Dar al Fikr, 1979/1399, juz 4, hlm. 82—85.Mesir: Dar al Fikr, 1979/1399, juz 4. Al Kandah Lawi, Aujaz al Masalih ila ‘Muwatta’ Malik Darar Fikr, 1974, tth juz 2. Ibnu Rusyd, Bidayatul al Mujtahid wa al Nikayah al Maqtasyd, Da’al Fikri, juz 2. Al Hattab,Abi Abd. Allah muhammad bin Muhammad bin Abd al Rahman al Magribi, Mawahib al Jalil li sy Syarh Mukhtasar Kh.il, bihamisyhi: al Taj wa al akil li Mukhtasar al kh.il, 1978/1398 Juz Zainuddin, Perkembangan Pidana Pencurian dalam Hukum Islam, Jakarta. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1995. Zainuddin, Perkembangan Pemikiran tentang Tindak Pidana Pencurian menurut Syari’at Islam, Jakarta, IAIN, 1998. Al-Bukhari, Imam, Sahih Bukhari, Beirut : Asy-Syu’ub Jilid III, Juz 2. Muslim, Sahih Muslim, Indonesia : Mahtabab Dar Ihya al Kutub al Arabiyah, Juz 2. Al Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Ali, Al Suna Al Kubra, Beurut : Dar Al Fikri, tt. Al-Qurtubi Abi Abd. Allah Muhammad bin Muhammad al-Ansari, al-Jami li Ahkam alQur’an, Kairo, Dar el-Katib al Arabi, 1967/1387, Juz 6. Ibn al-Arabi – Abu Bakar Muhammad Ali bin Ahmad bin Said Alahkam Al-Qur’an, tt. Isa al Babil Al-Hilabi, 1967/1387 Juz 2. Malik bin Anas al-Mudawwanah, Al-Kubra, tt, Dar el Fikr, 1986/1406. Ibn Ilhilman, Imam Kmal al Din Muhammad bin al Walid al Siwad’i Syarh al Fath al Qadir Beirut: Dar el Fikr, 1977/1407, Juz 5. Al-Turmudzi Abi Isa Muhammad Saurah, al Jami’ al Sahih, Mesir,Mustafa al-Babi al-H.abi, 1962/1382