BAB I - Portal Garuda

advertisement
SANKSI PADA PENCURIAN PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADZHAB
Amna Wati
Universitas Negeri Lampung
E-mail : [email protected]
Abstrak
Hukum Islam dalam upaya pemeliharaan harta atau hifzh al-mal sejak awal telah mengatur
tentang cara mencari harta agar dalam memperoleh harta tidak dengan cara melanggar
hukum seperti halnya mencuri. Bahkan dalam Islam pun diatur cara mendayagunakan harta
tersebut agar sejalan dengan tuntutan agama. Oleh karena itu salah satu aturan Islam yang
bertujuan untuk memelihara harta seseorang dari kejahatan orang lain adalah dengan mengharamkan mencari harta untuk orang lain. Mengenai aplikasi hukuman potong tangan ini
dikalangan Fukaha Islam bidang Jarimah terdapat banyak perbedaan. Antara Fukaha klasik
yang menyatakan bahwa hukuman potong tangan adalah mutlak. Sedangkan Fukaha
kontemporer masih memberikan pilihan lain selain hukuman potong tangan misalnya
hukuman takzir. Perbedaan pendapat tersebut akan penulis coba untuk mendeskripsikan ke
dalam tulisan ini sehingga terdapat gambaran yang jelas akan perbedaan-perbedaan dan
persamaan serta alasan-alasannya. Akan tatapi dalam tulisan ini penulis hanya akan
membahas substansi Hukum Pidana Islam tentang pencurian yang bersumber dari al
Qur’an dan mendeskripsikan pendapat imam empat tentang tindak pidana pencurian dalam
pandangan Islam serta pendapat para Fukaha klasik dan modern yang tertuang dalam kitabkitabnya.
Kata kunci : Pencurian, Jarimah, Imam Madzhab
Abstract
Islamic law in an attempt to the maintenance of property or the hifzh al-mal from the
beginning has set up about how to find treasures in order to obtain wealth not by violating
laws such as stealing. Even in Islam has regulated these treasures to make way in line with
the demands of religion. It is therefore one of the Islamic rule which aims to preserve the
treasure of someone from the crimes of others is to unban haramkan looking for treasure for
someone else. Regarding the application of punishment this hand cut among the Islamic field
Jarimah Fukaha, there is much difference. Between classic Fukaha said that sentenced cut
hand is absolute. While contemporary Fukaha still provides other options in addition to
penalties such as penalties takzir hand cut. The difference of opinion writers would try to
describe it in writing so there is a clear picture will be differences and similarities as well as
his reasons. Will tatapi in this paper the author will only discuss the substance of Islamic
criminal law about the theft from the Qur'an and describe the opinions of the four priests
about the crime of theft in the eyes of Islam as well as the opinions of its Fukaha classic and
modern which is contained in its books.
Keywords : Theft, Jarimah, Priest Of The Two
1
Pendahuluan
Hukum Islam menempatkan tindak kriminal dalam bab tersendiri yaitu bab
tentang Hukum Pidana. Dalam hal istilah Fikih disebut dengan Jinayah atau al
Tasyri’ al Jinai’ al Islami.1 Jinayah sering disebut oleh Fukaha sebagai Jarimah. Para
Fukaha sering memakai kata-kata jinayah hanya untuk mengenai jiwa orang atau
anggota badan seperti membunuh, memukul, aborsi dan sebagainya. Negara Arab
Saudi memakai istilah Jinayah dalam KUHPnya, akan tetapi dengan pengertian
yang berbeda dengan pengertian yang ada di kalangan Fukaha. Disana tindak
pidana digabungkan menjadi tiga bagian yaitu : Jinayah, Jauhah, Muqhalofah.2
a.) Jinayah adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau kerja
keras seumur hidup (asyghal saggahmu abbadah) atau kerja berat sementara
(Pasal 10 KUHP Arab Saudi).
b.) Jauhah yaitu tindak pidana yang diancam hukuman kurungan lebih dari satu
minggu (pasal 11).
c.) Muchallofah yaitu suatu tindak pidana yang diancam hukuman kurungan dari
satu minggu atau denda tidak lebih dari seratus plesters (pasal 12).
Dalam istilah Fukaha ketiga jenis tindak pidana seperti yang terdapat di
Arab Saudi disebut dengan Jinayah atau Jarimah.
Dalam Hukum Islam khususnya Hukum Pidana Islam (al Fiqh al-Jinai)
pencurian merupakan salah satu bentuk jarimah/tindak pidana yang diancam
dengan hukuman had yaitu hukuman potong tangan sebagaimana ditegaskan dalam
Q.S al Maidah ayat 38 :
―Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang tidak mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maka perkasa lagi maha bijaksana‖3
1
Abd Qadir Al Audah. Al Tasjri Al Jinai’ al Islami. Muqaranum bi Al Qanun Alwadi Jilid I h.
2
A. Hanafi. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta. Bulan Bintang. 1967. h. 15.
Departemen Agama. Al Qur’an dan Terjemahnya. Semarang. CV. Tolha Putra. 1989. H. 165
67.
3
Dengan terjemah ayat tersebut bermaksud menjelaskan bahwa jika telah
cukup syarat dan rukunnya maka bagi pencuri baik laki-laki dan perempuan
dikenai hukuman potong tangan.
Kemudian dilanjutkan dengan ayat 39 yang artinya :
―Maka barang siapa bertaubat diantara pencuri-pencuri itu sesudah
melakukan kejahatan tersebut dan memperbaiki diri maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ‖4
Pembahasan
A. Tinjauan Umum Tentang Jarimah
Sebelum
menguraikan
tentang pendapat para fukaha penulis
mengangap perlu untuk menguraikan lebih dulu pengertian jarimah secara
umum. Terminologi kuhum pidana dalam hukum islam, dikenal dengan nama
jarimah atau jinayah. Para fukaha memekai istilah jinayah
untuk jarimah.
Abdul Qadir Audah secara definitif mengatakan bahwa larangan-larangan
syara‘ yang diacamkan oleh Allah yang ditentukan atau hukuman ta‘zir.1
Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan
yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.2 Larangan
syara‘ maksudnya bahwa suatu perbuatan dianggap jarimah apabila dilarang
oleh syara‘, sehingga berbuat atau tidak berbuat tidak termasuk jarimah apabila
tidak menyebabkan pemidanaan3
Artinya jinayah sebenarnya lebih khusus untuk mengungkapkan
suatu perbuatan yang dapat merugikan jiwa seseorang, harta benda, atau
lainnya.4 Tetapi mayoritas ahli fiqih menggunakan istilah jinayah hanya untuk
perbuatan yang mengenai jiwa orang, anggota badan, seperti pembunuhan,
Ibid. h. 165.
Abdul Qadir Audah, Tasyi’u al-Jina ‘I Al-Islami, Kairo : Dar al-Fikr, 1978, h..66
2 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1996. Cet.Ke-2, h..9
3 Abdul Qadir Audah, Op. Cit. h..66
4 Ibid, h..67
4
1
penganiayaan, pengguguran kandungan, dan sebagainya. Dan sebagian ulama
menggunakan istilah tersebut khusus untuk jariman hudud dan qisos.5 Secara
substansial maknanya sama maka para ahli fiqih menganggap bahwa dua
istilah tersebut sinonim.
Suatu perbuatan dikatakan jarimah apabila memenuhi kriteria-kriteria
tertentu, sehingga tidak semua perbuatan yang diduga jarimah menyebabkan si
pembuatnya harus dipidana. Adul Qadir Audah menyebutkan bahwa suatu
perbuatan disebut jarimah apabila memenuhi kriteria di bawah ini :
a.
Nas
yang
melarang
perbuatan
dan
mengancamkan
hubungan
terhadapnya, dan unsur ini biasa disebut unsur formil atau rukun syar’i.
b.
Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan
nyata ataupun sikap tidak berbuat, dan unsur ini biasa disebut unsur
materiil atau rukun maddi.
c.
Pembuat adalah orang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai
pertanggungjawaban terhadap jarimah yang diperbuat, dan unsur ini biasa
disebut unsur moril atau rukun abadi6
Faktor yang mengakibatkan adanya pertanggungjawaban pidana ialah
perbuatan ma’siat yaitu perbuatan melawan hukum, yakni mengerjakan
perbuatan (larangan) yang dilarang oleh syari‘at atau sikap tidak berbuat yang
diharuskan oleh syariat.7 Meskipun perbuatan melawan hukum menjadi sebab
adanya pertanggungan jawab pidana, namun diperlukan dua syarat bersamasama, yaitu mengetahui (idrak) dan pilihan (ikhtiar). Kalau salah satu syarat tidak
ada, maka tidak ada pertanggungan jawab pidana.8
Syarat yang lain yaitu si pembuat jarimah adalah orang mukallaf. Syarat ini
berdasarkan bahwa dalam syari‘at Islam orang yang diberi pembebanan hanya
orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk memahami dalil-dalil taklif, serta
5
6
Ibid, h. 67.
Ibid. h. 67.
pekerjaan yang dibebankan hanya pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan
disanggupi.
Syarat yang harus dipenuhi mukallaf ada dua hal, yaitu :
a.
Sanggup memahami nas-nas syara’ yang berisi hukum taklif (tunutan seperti
suruhan, larangan, dan sebagainya).
b.
Pantas dimintai pertanggung jawaban dan dijatuhi hukuman.
Adapun syarat yang harus ada pada perbuatan adalah :
a.
Perbuatan itu mungkin dikerjakan, dan disanggupi oleh seseorang untuk
ditinggalkan atau dikerjakan.
b.
Dapat diketahui dengan sempurna.9
Dengan demikian, seseorang dapat dipidana menurut pidana Islam apabila
terbukti melakukan tindak pidana dengan sengaja serta si pembuat secara pribadi
adalah orang yang mempunyai kemampuan bertanggung jawab.
B. Tindak Pidana Pencurian Menurut Empat Imam Madzhab
1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian
Kata pencurian merupakan terjemahan dari kata-kata sariqah, dalam bahasa
Arab yang berasal dari akar kata saraqa, yashiqu, sariqan, sariqatan. Secara etimologi,
kata ini berarti akhzu al syai khufyah, yaitu mengambil suatu secara diam-diam. Secara
terminologi, para ulama mengemukakan batasan-batasan limitatif yang berbedabeda. Ibnu Abidin dari kalangan Hanafiah, mengemukakan definisi sebagai berikut: 11
Abdul Qadir Audah, op.cit., h.. 11
A. Hanafi, op.cit., h..177
9 Ibid., h..72
11 Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar a’la’ al Duri al Muhktar Syarh Tanwir al absar, Mesir: Dar al Fikr,
1979/1399, juz 4, h.. 82—85.Mesir: Dar al Fikr, 1979/1399, juz 4, h.. 82—85.
7
8
Pencurian adalah pengambilan yang dilakukan oleh seorang mukallaf yang
(dapat berbicara serta melihat, sebanyak sepuluh dirham murni atau seukurannya,
(dengan adanya) unsur kesengajaan, secara nyata mengeluarkan, secara sembunyisembunyi dari tangan pemilik yang sah barang yang tidak cepat rusak di wilayah
yang adil (Islam) dari tempat simpanan tidak ada syubhat dan tidak pula ada
takwil”.
Dengan definisi yang dikemukakan oleh Ibn Abidin tersebut maka terlihat
dengan jelas beberapa syarat yang diperlukan untuk dinyatakan sebagai suatu
perbuatan percurian yaitu :
1) Pelaku pencurian adalah seorang mukalaf yang bisa bicara dan melihat. Orang
bisu tidak di Had karena jika ia bisa bicara mungkin akan timbul masalah syubhat
dari pembicaraannya. Begitu orang buta ia tidak dapat membedakan dengan jelas
mana yang merupakan hartanya dan mana yang bukan; 2) Jumlahnya sepuluh
dirham murni atau setaranya; 3) Adanya unsur kesengajaan;
4) Secara nyata
mengeluarkan dari tempat simpanan; 5) Dilakukan secara diam-diam; 6) Diambil
dari tangan pemilik yang sah; 7) Barang yang di ambil tidak cepat rusak; 8)
Pencurian terjadi di wilayah yang adil (Islam); 9) Harta yang diambil berada di
tempat simpanannya; 10) Tidak ada unsur-unsur yang membawa kepada keraguan
(syubhat) atau ada alasan untuk menghindar dari mencuri (ta‘wil) seperti mencuri
al-Quran.12
Mencuri Al Qur‘an bisa saja bertujuan untuk dibaca. Karena itu orang seperti
itu disebut dalam kelompok syubhat. Ibn Abidin adalah kelompok Hanafiah, maka
seorang Hanafiah yang mencuri tidak bisa diancam dengan hukuman Hadd apabila
tidak memenuhi syarat-syarat tersebut.
Pengertian pencurian yang dikemukakan oleh al Muwaftiq seorang ulama
dari kalangan makkiyah memberikan pengertian yaitu : 13
12
13
Al Kandah Lawi, Aujaz al Masalih ila ‗Muwatta‘ Malik Darar Fikr, 1974, tth juz 2.h. 334
Ibnu Rusyd, Bidayatul al Mujtahid wa al Nikayah al Maqtasyd, Da‘al Fikri, juz 2, h.. 334.
―As Syaraqah ahaza al mal ahyajah‖ artinya mencuri itu adalah mengambil harta
secara sembunyi-sembunyi‖
Pengertian pencurian yang dikemukakan kalangan Malikiyah ini lebih ringkas dan
bersifat umum. Selain al Muwaffiq, Ibn Rusyd (w.595 H) juga dari kalangan
Makkiyah memberikan pengertian pencurian sebagai berikut :14
‖Mencuri adalah mengambil harta orang lain dalam keadaan tersembunyi
yang tidak dipercayakan kepadanya (orang yang mengambil)‖
Seorang ulama Malikkiyah, yaitu al Hattab (906-954 H) mengutip dari Ibn Irfah
mengatakan difinisi dari pencurian yang artinya adalah :15
―Mencuri adalah pengambilan yang dilakukan oleh seorang Mukallaf
terhadap anak kecil merdeka yang belum berakal atau harta yang dihormati
(Muhtaram) milik orang lain yang mencapai jumlah tertentu (marb)
dikeluarkan dari tempat simpanannya dengan sengaja serta mengambilnya
secara diam-diam yang tidak ada unsur syubhat dalam pengambilan
tersebut.‖
Dengan demikian terdapat beberapa unsur dari satu perbuatan pencurian
dikalangan Malikkiyah yaitu
a. Pencuri mukallaf;
b. Yang dicuri anak kecil merdeka atau harta yang dihormati;
c. Milik orang lain;
d. Mencapai nisab;
e. Mengeluarkan dari tempat simpanan;
f.
Dengan sengaja secara diam-diam; dan
g. Tidak ada syubhat.
Dalam pandangan malikiyah orang yang mengambil(mencuri) anak kecil
yang belum berakal dikategorikan sebagai pencuri yang dijatuhi hukuman had.
14
15
Ibid, h. 334.
Al Hattab,Abi Abd. Allah muhammad bin Muhammad bin Abd al Rahman al Magribi, Mawahib al
Jalil li sy Syarh Mukhtasar Kh.il, bihamisyhi: al Taj wa al akil li Mukhtasar al kh.il, 1978/1398 Juz 6 h.
306
Harta yang dicuri adalah harta muhtaram atau harta yang mempunyai nilai ekonomi,
oleh karena itu pencuri terhadap harta yang non ekonomis atau ghair al muhtaram
tidak menyebabkan pelakunya dijatuhi hukuman potong tangan (had)
Mengambil anak kecil yang belum berakal menurut penulis dapat
dikelompokkan pada kasus penculikan anak bukan pencurian. Hal ini perlu
dibedakan karena secara substansial kedua tindak pidana tersebut sangat
berbeda.
Selanjutnya menurut malikiyah ukuran yang dipakai dalam menentukan
apakah suatu barang atau benda bernilai ekonomis atau tidak ditentukan oleh
masyarakat itu sendiri yang ada pada masa itu dan waktu itu. Karena boleh jadi
waktu dan masa yang bergantian akan merubah satu pandangan masyarakat
terhadap nilai suatu benda atau barang.
Syarat lain yang ditentukan adalah dengan sengaja secara diam-diam,
kalangan Malikkiyah tersebut tidak menyebutkan pengertian dengan sengaja.
Menurut penulis secara diam-diam adalah suatu niat (azam) yang sangat kuat di
dalam diri pelaku untuk melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
kaidah umum yaitu suatu perbuatan mengambil harta orang lain secara sembunyi
sembunyi atau secara melawan hak atau secara melawan hukum. Tentu saja
masalah ini menjadi unsur subjektif dari suatu perbuatan pada tindak pidana
pencurian.
Sementara itu al Gamrawi dari kalangan Syafiiyah mendefinisikan : Mencuri adalah
mengambil harta secara diam-diam dalam keadaan zalim dari tempat simpanannya yang
biasa dengan syarat tertentu. 16
Secara rinci unsur dasar-dasar pencurian menurut al Gamrawi Sebagai berikut:17
a. Barang yang dicuri mencapai nisab ¼ dinar murni atau setaranya;
b. Barang yang dicuri milik orang lain;
c. Tidak ada syubhat dalam pengambilan;
16
17
Zainuddin, Perkembangan Pidana Pencurian dalam Hukum Islam, Jakarta: h.. 31.
I b i d, h.. 32.
d. Barang yang dicuri berada dalam tempat simpanan;
e. Barang yang di dicuri adalah mukhtaram.
Dengan uraian atau difinisi dari tindak pidana pencurian adalah mengambil
harta orang lain secara diam-diam, harta yang diambil berupa harta milik orang lain
dan ada itikad tidak baik18 dengan kata lain maka unsur-unsur pencurian terdiri
dari :
a. Mengambil harta secara diam-diam.
b. Barang yang dicuri berupa harta
c. Harta yang dicuri milik orang lain
d. Ada itikad tidak baik
Ulama empat madhab menyepakati tiga unsur utama pencurian yaitu adanya :
1) perbuatan mengambil
2) Adanya barang yagn dicuri
3) dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau secara diam-diam
Sedangkan tempat penyimpanan disepakati oleh sebagian fuqaha saja.
Dengan demikian pencurian yang disepakati oleh semua fuqaha adalah suatu
perbuatan mengambil suatu perbuatan mengambil sesuatu barang yang dilakukan
secara diam-diam.
Sedangkan pencurian yang disepakati oleh sebagian besar fuqaha adalah
suatu perbuatan mengambil barang atau harta orang lain yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya.
Batasan pengertian yang demikian belumlah menggambarkan keadaan yang
sebenarnya, oleh karena itu imam empat mensyaratkan untuk harta (barang) yang
diambil haruslah dipenuhi 3 unsur lagi, yaitu :
1) Harta tersebut adalah harta yang bergerak
2) Harta tersebut mempunyai nilai
18
H.A., Djazuli, Ibid, h.. 74
3) Harta tersebut berada dalam tempat penyimpanan
4) Harta tersebut mencapai nisab.
Untuk point pertama dimana disebutkan harta tersebut adalah harta yang
bergerak untuk saat sekarang mungkin sudah tidak pas lagi mengingat suasana
zaman sudah berubah dimana kecanggihan tekhnologi dan kemajuan ilmu
pengetahuan dapat membuat modus operandi pencurian berubah dan pencurian
dapat dilakukan terhadap harta-harta yang tidak secara nyata bergerak misalnya
harta-harta yang tersimpan dalam bentuk uang di bank yang dapat dilakukan
dengan komputer, dan lain-lain. Pencurian data-data perusahan melalui komputer
mengenai harta itu mempunyai nilai menurut penulis memanglah tepat, karena
tidak mungkin orang mau mencuri barang kalau barang tersebut tidak bernilai.
Hanya saja perlu diberi batasan yang jelas (tentu saja oleh ulil amri) mengenai
makna harta yang bernilai itu karena suatu harta (barang) dapat saja mempunyai
nilai yang sangat besar bagi seorang pemilik tapi tidak bernilai bagi orang lain,
misalnya pencurian dilakukan terhadap foto pengantin atau VCD yang berisi film
pengantin. Benda tersebut tidak ada gunanya bagi pencuri tapi bagi sipemilik sangat
berarti, karena nilai historisnya.
Mengenai tempat penyimpanan, menurut hemat penulis diperlukan suatu
interpretasi melalui qiyas dengan mengartikan bahwa tempat penyimpanan adalah
tempat yang dalam pengertian luas, artinya tempat penyimpanan adalah dalam
pengertian : 1) Yang selalu dijaga dan diawasi misalnya gudang beras, toko emas,
dll. 2) Yang tidak selalu dijaga dan diawasi tetapi disepakati bahwa tempat itu
adalah tempat yang layak untuk penyimpanan harta. Misalnya pencurian uang
dalam ATM (Automatic Teller Mechine), pencurian motor ditempat parkir, pencurian
sepeda di halaman rumah yang ada pagarnya dan pencurian ternak yang sedang
terikat dipohon sedang pemiliknya tidak ada ditempat.
Mengenai nisab atau batasan harta yang dicuri, ada sebuah hadis dari Aisyah dari
Nabi s.a.w. beliau berkata bahwa Rasulullah s.a.w. memotong tangan pencuri harta
yang berharga ¼ Dinar atau lebih. Pada masa itu 1 Dinar sama dengan 12 Dirham.
(HR Jamaah) sampai sekarang hampir sama nilainya
Hadits lain menyebutkan daru Ibn Umar bahwa Rasulullah s.a.w. memotong
tangan tangan seorang yang mencuri sebuah perisai seharga 3 Dirham. (HR.
Jamaah). Imam Abu Hanifah mengukur nisab pencurian adalah 10 Dirham atau 1
Dinar. (HR. Baihaqi dari Ibn Abbas). Syiah dan Ibn Rusyd nisab pencurian adalah 4
Dinar atau 40 Dirham. Menurut Haliman dalam bukunya Hukum Pidana Islam
menurut Ahlus Sunah Wal Jamaah, tersebut 20 hadits yang menyebutkan adanya
nisab potong tangan. Antara hadits tersebut yang paling rendah nisabnya adalah
senilai 3 Dirham untuk dapat dijatuhi sanksi potong tangan (had).
Dari keterangan berbagai hadits tentang nisab dihubungkan dengan nash alQur‘an tentang hukuman potong tangan (QS. 5 : 38) maka penulis berpendapat
bahwa hukuman had (potong tangan) yang ada dalam ayat al-Qur‘an tersebut
adalah hukuman maksimal. Sedangkan nisab terendah yaitu nisab untuk dijatuhi
hukuman potong tangan adalah untuk pencurian yang minimalnya seharga 3
Dirham sesuai hadits Nabi yang bersumber dari Ibn Umar (HR. Jamaah). Dengan
catatan bahwa hukuman had diberikan kepada pencuri pemula atau pencuri yang
baru pertama kali mencuri. Dengan demikian diharapkan maksud dan tujuan
penjeraan dari hukuman akan berdampak positif bagi pelaku itu sendiri maupun
bagi masyarakat luas apabila tangan yang dipotong tersebut digantungkan dileher
dan dipertontonkan kepada masyarakat beberapa saat sebelum dikuburkan atau
dilenyapkan. Untuk hal ini penulis sependapat dengan mazhab Zahiri dan Imam
Abu Hanifah bahwa pencuri pertama atau pencuri pemula dijatuhi had.
C. Pembuktian Pencurian
1.
Pengakuan (iqrar)
Secara lughawi iqrar berarti tetap diam dan tenang yang berasal dari kata
qarr yaqirru, garatan. Dalam bentuk kata fiil lazim (kata kerja pasif), kata
dasar ini kemudian diaktifkan dalam bentuk aqarra, yaqirru, iqraran yang berarti
menetapkan, mengaku atau pengakuan. Dengan pengertian yang sama kata aqrar
dikenal juga dalam bahasa Indonesia.23
Pengakuan atau iqrar ini telah disepakati oleh imam empat bahwa iqrar
merupakan alat pembuktian baik dalam urutannya dengan hak akal maupun
urusannya dengan hak sesama manusia. Pengakuan merupakan salah satu cara
pembuktian pengakuan lebih kuat dari pada cara pembuktian yang lain. Pengakuan
ini ditetapkan dalam nash al-Qur‘an, Sunnah dan Ijma.
Ada beberapa ayat al-Qur‘an yang dijadikan dasar persyariatan iqrar, antara
lain:
‫ََإِ ْر أَ َخ َز ه‬
)3:81( ‫ص ِشْ لَبٌُُا أَ ْل َش ْسوَب‬
َ ‫َّللاُ ِمٕزَب‬
ْ ِ‫لَب َي َءأَ ْل َش ْسحُ ْم ََأَ َخ ْزحُ ْم َعٍَّ َرٌِ ُى ْم إ‬..……… َ‫ق اٌىهبِِّٕٕه‬
Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi….. Allah
berfirman: apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang
demikian iu? Mereka menjawab: kami mengakui……. (QS. 3:81)
Dalam ayat lain disebutkan tentang iqrar:
)135:4(…‫غ ُىم‬
ُ ‫غ ِط‬
ْ ِ‫َٔبأَُّ ٍَب اٌه ِزْٔهَ اَ َمىُ ُْا ُو ُْوُ ُْا لَ َُ ِمْٕهَ بِب ٌْم‬
َ ُ‫ش ٍَذَا َء َّللا ٌَََ ُْ َعٍَّ اَ ْوف‬
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri (QS.
4:135)
Pada kutipan ayat pertama ditemui kata iqrar yang berarti pengakuan
sedangkan pada ayat kedua tidak ditemukan kata iqrar yang ditemui adalah kata
kesaksian terhadap diri sendiri. Untuk itu kata-kata kesaksian yang dimaksud
menurut jumhur fuqaha adalah iqrar atau pengakuan terhadap diri sendiri.
Selain nash al-Qur‘an yang menjadi dasar disyariatkan pengakuan adalah
hadits berikut:
ِّّ‫ض َع ْىًُ رُ هم لَب َي إِو‬
ُ ‫عَهْ أَبِّ ٌُ َش ْٔ َشةَ لَب َي َجب َء َمب َع ِه ْب ِه َمبٌِ ِه أَنه اٌىهبِٓ صٍّ َّللا عًٍٕ َعٍم لَب َي اِوِّٓ لَ ْذ َصوّ ِْْٓ ثُ فَأ َ ْع ِش‬
َ
َ
َ
‫ث فأ ْم ُشبِ ًِ أنْ ُٔ ْش َج َم‬
ُ ‫ض َع ْىًُ لَب َي لَ ْذ َصوّ ِْْٓ ثُ فَأ َ ْع ِش‬
ُ ‫َصوّ ِْْٓ ثُ فَأ َ ْع ِش‬
‫ض َع ْىًُ َ خهّ اِ ْل َش اَ ْسبَ َ َم هشا ٍت‬
Dari Abu Hurairah dia berkata: Maiz bin Malik data kepada nabi s.a.w. lalu
berkata: Sesungguhnya aku telah berzina: Rasulullah s.a.w. berpaling dari padanya.
23
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1995, h. 369
Kemudian dia berkata lagi sesunggunya aku telah berzina. Nabi berpaling juga dari
padanya. Maiz berkata kembali: Sesungguhnya aku telah berzina. Kemudian nabi
berpaling dari padanya. Maiz berkata kembali: Sesungguhnya aku telah berzina.
Nabi berpaling daripadanya sehingga dia berikrar empat kali kemudian nabi
menyuruh merajamnya. (HR. Ibnu Majjah)
Hadits lain riwayat al-Bukhari:
‫عَهْ َص ْٔ ِذ ا ْب ِه َخبٌِ ٍتذ ََاَبِّ ٌُ َش ْٔ َشةَ سظٓ َّللا َع ْى ٍُ َمب َع ِه اٌىهبِّ صٍّ َّللا عًٍٕ َعٍم لَب َي ََا ْغ ُذ َٔبأَوِ ْٕظ إٌَِّ اَ ْم َشأَ ِة ٌَ َزا فَإِنه‬
‫بس ُج َم ٍَب‬
ْ َ‫اَ ْعخَ َش ْفجَ ف‬
Dari Zaid bin Khalid dan Abu Hurairah r.a. dari nabi s.a.w. beliau bersabda:
Pergilah yang Unais kepada perempuan ini jika ia mengaku, rajamlah ia. (HR.
Bukhari)
Dasar disyariatkan pengakuan melalui ijma adaah bahwa sejak masa nabi
sampai sekarang tidak ada fuqaha yang membantah.
Ditetapkan pengakuan sebagai salah satu cara pembuktian.
Pengakuan haruslah diberikan oleh seseorang yang mempunyai kapasitas
dengan memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu balig, berakal dan tidak ada unsur
keterpaksaan. Ketiga unsur ini sama dengan unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh
seorang pelaku pencurian.
2. Saksi (syahadat)
Saksi dalam bahasa Arab disebutkan syahadat yang berasal dari akar kata
syahida-yasyhadu-syahadah
yang
berarti
menerangkan
atau
keterangan,
menginformasikan apa yang dilihat, menetapkan apa yang diketahui, informasi
yang pasti,24 menurut pengertian syara‘ saksi adalah:
ً‫اخببس اٌحبوم عه عٍم ٌٕمط عمخع‬
Memberitahu hakim tentang sesuatu informasi, agar dia dapat memutuskan
perkara (menghukum) sesuai dengan yang dikehendaki informasi tersebut.
24 Zainuddin, Perkembangan Pemikiran tentang Tindak Pidana Pencurian menurut Syari‘at
Islam, Jakarta, IAIN, 1998, h. 150.
Saksi disyari‘atkan dalam hukum Islam berdasarkan nash al-Qur‘an, Sunnah
dan Ijma. Nash al-Qur‘an yang berhubungan dengan saksi adalah:
‫ َاشٍذَا إرا حببٔعخم‬... ‫ َاعخشٍذَا شٍذٔه مه سجبٌىم فإن ٌم ٔىُوب سجٍٕه فشجً َامشأحبن مه حشظُن مه اٌشٍذاء‬...
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki diantara kamu, jika
tidak ada dua orang laki-laki maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi….… dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli…(QS. 2:82)
Sedang Sunnah rasul diantaranya:
ًٍٕ‫ وبن بٕىّ َبٕه سجً خصُمت فّ شٕئ فبخصمىب اٌّ سعُي َّللا صٍّ َّللا ع‬:‫ إن األشعذ لٕظ لبي‬:‫عه أبّ َائً لبي‬
‫َعٍم فمبي شٍذان اَ ٔمٕىً فمٍج ًٌ ان ٔخٍف َال ٔببٌّ فمبي اٌىبّ صٍّ َّللا عًٍٕ َعٍم مه ٍك عٍّ ٔمه ٔغخحك بٍب‬
‫مبال ٌَُ فٍٕب فبجش ٌمٓ َّللا عض َجً ٌَُ عًٍٕ غعببن‬
Dari Abi Wail ia berkata: Sesungguhnya al-Asy‘as bin Qais berkata: Antara
aku dan seseorang ada persengketaan tentang sesuatu. Kemudian kami mengadu
kepada rasulullah s.a.w. bersabda: Saksi engkau atau sumpah dia!. Aku menjawab:
Sesungguhnya ia ketika itu bersumpah sedangkan dia tidak peduli. Maka rasulullah
mengatakan: Siapa yang bersumpah dengan sesuatu sumpah untuk mendapatkan
hak terhadap harta pada hal dia berdusta, maka ia menemui Allah dan Allah akan
memarahinya. (HR. Bukhari)25
Hadits berikutnya juga tentang saksi:
ًٌ‫عه صٔذ به خبٌذ ان سعُي َّللا صٍّ َّللا عًٍٕ َعٍم لبي اال خٕش اٌشٍذاء اٌزِ ٔأحّ بشٍبدحً اَ ٔحذرٍب لبً ان ٔغأ‬
Dari Zaid bin Khalid bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: Ingatlah aku akan
memberitahu kalian tentang kesaksian yang terbaik yaitu orang yang memberikan
kesaksiannya atau menginformasikannya sebelum diminta. (HR. Muslim)26
Penetapan saksi melalui Ijma adalah bahwa sejak zaman bai s.a.w. sampai
sekarang para fuqaha tidak ada yan menentang persyari‘atan saksi dan
menjadikannya sebagai hujjah (argumen) dalam proses peradilan.
25
26
Al-Bukhari, Imam, Sahih Bukhari, Beirut : Asy-Syu‘ub Jilid III, Juz 2, h. 949
Muslim, Sahih Muslim, Indonesia : Mahtabab Dar Ihya al Kutub al Arabiyah, Juz 2 h. 63
Saksi
juga
diperlukan
syarat-syarat
sebagaimana
syarat-syarat
yan
gdiperlukan bagi seseorang pelaku pencurian, syarat-syarat tersebut hampir sama
yaitu:
Saksi harus orang yang mukallaf, berakal, balig, bisa melihat, merdeka, Islam
dan adil.
Selain itu diperlukan syarat lain yaitu tidak ada hubungan kekeluargaan
antara saksi dengan orang yang disaksikan.
3. Qarinah (tanda-tanda)
Qarinah adalah tanda-tanda yang menunjukkan adanya suatu kasus arau
peristiwa. Qarinah yang dapat dijadikan sebagai alat pembuktian adalah Qarinah
yang tegas yaitu tanda-tanda yang membawa kepada keyakinan misalnya dalam
kasus pencurian seseorang yang baru saja keluar dari sebuah rumah yang ada
pagarnya dengan keadaan tergesa-gesa sedangkan dalam tangan kanannya
menenteng radio compo dan pada tangan kirinya masih terdapat golok, maka dapat
diduga seorang yang keluar dengan keadaan tergesa-gesa dengan membawa golok
dan radio compo adalah pelaku pencurian dengan kekerasan.
Fuqaha yang membolehkan qarinah sebagai alat pembuktian adalah Ibnu
Qoyyim (571 H) dan dari kalangan Hanabilah.
4. Sumpah Penolakan (yamin al-Mardudah)
Sumpah Penolakan adalah sumpah yang dilakukan sebagai penolakan atau
bantahan terhadap sumpah orang yang dituduhkan. Misalnya B dituduh mencuri
oleh si A, lalu B membantah dengan bersumpah. Kemudian si A pun bersumpah
untuk meyakinkan tuduhannya. Maka sumpah A untuk menolak sumpah B adalah
sumpah penolakan.
Mazhab Syafi‘i dalam pendapatnya membolehkan sumpah penolakan ini
sebagai alat pembuktian.
Apabila tidak ada pengakuan dan para saksi tidak cukup lalu orang yang
mendakwa maka wajib menjatuhkan had karena sumpah penolakan kekuatannya
sama dengan ikrar dan saksi dalam pembuktian. Tetapi ada pendapat lain dari
mazhab Syafi‘i yang menolak dijatuhkan melalui sumpah penolakan.27
D. Sanksi Pencurian.
Sanksi dalam bahasa Arab disebut uqubah yang berasal dari akar kata aqabaya‘qibu-uqban-uquban yang secara lughawi berarti pembalasan hukuman atau
sanksi. Menurut istilah fuqaha, uqubah ini adalah :28
ً‫جضاء َظعً اٌشبسع ٌٍشدع عه اسحىبة مب وٍّ عىً َحشن مبأمشب‬5
Suatu pembalasan yang dibuat oleh syar‘I (pembuat hukum) untuk menahan
orang dari melakukan sesuatu yang dilarang dan dari meninggalkan sesuatu yang
disuruh.
Sanksi pencurian biasa disebut dengan had pencurian. Para fuqaha sepakat
bahwa pelaku pencurian yang telah memenuhi unsur-unsur untuk dijatuhi
hukuman had (potong tangan) sebagaimana firman Allah
)5:38( ‫َاٌغبسق َاٌغبسلت فبلطعُا أذٍٔمب‬
Laki-laki dan perempuan yang mencuri maka potonglah tangannya.
Mengenai aplikasi sanksi had ini dikalangan para fuqaha masih terdapat
selisih pendapat mengenai batas-batas dari bagian mana yang harus dipotong.
Fuqaha sepakat apabila unsur-unsur pencurian telah dipenuhi oleh pelaku
pencurian maka dijatuhi sanksi had, tetapi masih diperselisihkan mengenai batasanbatasan yang dipotong tersebut.
Dalam bukunya al-Qurtubi
29
mengatakan fuqaha sepakat bahwa pengertian
memotong tangan sebagai sanksi dari tindak pidana pencurian adalah memisahkan
27
28
Zainudin, Op. Cit., h. 173
Al Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Ali, Al Suna Al Kubra, Beurut : Dar Al Fikri, tt. H. 13.
29 Al-Qurtubi Abi Abd. Allah Muhammad bin Muhammad al-Ansari, al-Jami li Ahkam alQur’an, Kairo, Dar el-Katib al Arabi, 1967/1387, Juz 6, h. 168
atau menceraikan tangan dari badan. Sanksi ini telah dilakukan sejak zaman nabi
seperti sanksi yang dijatuhkan terhadap orang yang mencuri sorban Sofwan dan
juga sanksi yang dijatuhkan kepada al-Makhzumiyah yang mencuri harta. Begitu
juga para sahabat telah melakukannya had tersebut dilakukan apabila telah
terpenuhi persyaratannya, yaitu ada pelaku pencurian, adanya barang bukti yang
dicuri, adanya perbuatan mencuri dan tidak ada unsur subhat, pengambilan
dilakukan secara diam-diam.
Para fuqaha telah sepakat mengenai sanksi had apabila telah memenuhi
persyaratannya. Kesepakatan itu berlaku terhadap pencurian yang dilakuakn
pertama kali. Bila pencurian dilakukan lebih dari satu kali atau berulang-ulang
maka fuqaha berbeda pendapat. Hal tersebut didasarkan pada satu sebab bahwa
nash al-Qur‘an tidak menyebutkan adanya potong kaki, tetapi potong tangan.
‫َاٌغبسق َاٌغبسلت فبلطعُا أذٍٔمب‬
Dalam nash al-Qur‘an tersebut jelas disebutkan laki-laki dan perempuan
yang mencuri potonglah tangannya tidak ada disebutkan potonglah kakinya.
Ibnu Mas‘ud memberikan alasannya bahwa al-Qur‘an surat 5:38 tersebut berarti
(potonglah tangan keduanya) selain itu ibnu Mas‘ud menyebutnya dari praktek
yang sudah dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya.30
Menurut pendapat fuqaha klasik khususnya mazhab Hanafiah dan
Hanabilah apabila ada orang yang melakukan pencurian untuk kedua kalinya maka
dipotong kakinya yang kiri, dan kalau masih mengulangi dimasukkan ke dalam
penjara sampai taubat dan dita‘zir. Pemotongan kaki kiri didasarkan pada Ijma para
sahabat.
Pendapat mazhab Hanafiah dan Hanabilah bila diurutkan dalam tabel
tampak sebagai berikut:31
Tabel 1
30
Zainudin, Op. Cit., h. 177
31 Ibn al-Arabi – Abu Bakar Muhammad Ali bin Ahmad bin Said Alahkam Al-Qur‘an, tt. Isa al
Babil Al-Hilabi, 1967/1387 Juz 2 h. 613.
Mazhab Hanafi dan Hambali tentang sanksi pencurian.
No. Mencuri
Sanksi / Hukuman
Sumber
1
Pertama Kali
Potong Tangan / Had
Al-Qur‘an surat 5:38
2
Kedua Kali
Potong Kaki Kiri
Ijma Sahabat
3
Ketiga Kali
Penjara s/d taubat atau ta‘zir
Ijma Sahabat
Sumber: data sekunder 2002
Pemberian sanksi penjara bagi pelaku pencurian yang mengulangi
pencuriannya ketiga kali dan seterusnya oleh mazhab Hanafi dan kelompoknya
adalah didasarkan pada tujuan dari hudud /pemberian sanksi adalah untuk
menimbulkan kebinasaan (itlaf) apalagi penganiayaan kepada manusia. Oleh karena
itu bila menjatuhkan pemotongan kaki sesudah pemotongan tangan kanan dan kaki
kiri akan menimbulkan kebinasaan hal itu didasarkan pada perkataan Imam Ali r.a.
sebagai berikut:
ًٍ‫ فإن عبد لطعج سج‬,ّ‫عه عمشَ به عبذَّللا به عٍمت عه عٍّ سظٓ َّللا عىً لبي ارا عشق اٌغبسق لطعج ٔذي إٌمى‬
‫ إوّ ألعخحّ مه َّللا ان ادعً ٌٕظ ًٌ ٔذ ٔبوً ٍٔب َٔغخىحّ ٍٔب‬,‫إٌغشْ فإن عبد ظمىخً اٌغحه خّ ٔحذد خٕش‬
‫َٔمعّ عٍٍٕب‬
Dari Amr bin Murrah dari Abd. Allah bin Salamah dari Ali r.a. dia berkata:
Apabila pencuri mencuri dipotong tangan kanannya, jika dia mengulanginya
dipotong kaki kirinya dan jika masih mengulangi dimasukan dalam penjara sampai
dia menjadi baik dan taubat. Saya sungguh malu kepada Allah membiarkannya
tidak punya tangan untuk makan, beristinjak dan melaksanakan pekerjaan (HR.
Daruquthni)
Mazhab Maliki dan Syafi‘i berpendapat potong tangan kanan untuk
pencurian pertama, kaki kiri untuk kedua kali, tangan kiri untuk yang ketiga kali,
kaki kanan untuk keempat kali dan penjara serta ta‘zir untuk yang kelima kali dan
seterusnya. 32
Pendapat tersebut bila diurut dalam bentuk tabel sebagai berikut:
32
Malik bin Anas al-Mudawwanah, Al-Kubra, tt, Dar el Fikr, 1986/1406 H.
Tabel 2
Mazhab Maliki dan Syafi‘i tentang sanksi pencurian:
No. Pencurian
Sanksi / Hukuman
Sumber
1
Pertama Kali
Potong Tangan Kanan
Al-Qur‘an
2
Kedua Kali
Potong Kaki Kiri
Ijma
3
Ketiga Kali
Potong Tangan Kiri
Ijma
4
Keempat Kali
Potong Kaki Kanan
Ijma
5
Kelima dan seterusnya
Ta‘zir
Ijma
Sumber : data sekunder, 2000.
Adapun dasar hukum bagi mazhab Maliki dan Syafi‘i adalah hadits berikut:
‫عه أبّ ٌشٔشة سظٓ َّللا عىً ان سعُي َّللا صٍّ َّللا عًٍٕ َعٍم لبي إن عشق فبلطعُا ٔذي رم ان عشق فبلطعُا سجًٍ رم‬
ًٍ‫إن عشق فبلطعُا ٔذي رم ان عشق فبلطعُا سج‬
Dari Abi Hurairah r.a. bahwa nabi s.a.w. bersabda jika seseorang mencuri
maka potonglah tangannya (yang kanan) jika masih mencuri potonglah kakinya
(yang kiri) kemudian jika masih mencuri potonglah tangannya (yang kiri) jika masih
mencuri maka potonglah kakinya (yang kanan). (HR. Nasa‘i, Abu Daud dan AlDaruquthni).
Menurut mazhab Syafi‘i pemotongan tangan dan kaki dilakukan karena
kedua bagian tubuh ini merupakan sarana yang paling pokok untuk mencuri,
tangan untuk mengambil dan kaki untuk berjalan. Sedangkan pemotongan yang
dilakukan secara timbal balik antara tangan dan kaki bertujuan agar tidak
menghilangkan sama sekali sarana untuk beraktivitas tetapi tetap membatasi ruang
gerak. Hal ini menunjukkan pada sifat penjeraan dari hukuman dalam hukum
Islam.
Mengenai batas pemotongan tangan keempat mazhab, Hanafi, Maliki,
Hambali dan Syafi‘i sepakat dilakukan mulai dari pergelangan tangan yaitu
persendian antara hasta dan telapak tangan 33 Imam yang empat beralasan karena:
33 Ibn Ilhilman, Imam Kmal al Din Muhammad bin al Walid al Siwad’i Syarh al Fath al Qadir
Beirut: Dar el Fikr, 1977/1407, Juz 5 h. 393
1. Sunah Rasul yang memberlakukan pemotongan telapak tangan pada pergelangan
bagi orang yang mencuri antara lain:
‫عه ابه عببط اوً عئً عه اٌخٕمم فمبي ان َّللا لبي فّ وخببً ٕه روش اٌُظُء (فبغغٍُا َجُ ىم َأذٔىم) َلبي‬
‫(َاٌغبسق َاٌغبسلت فبلطعُا أٔذٍٔمب) فىبوج اٌغىت فّ اٌمط اٌىفغه‬
Dari Ibnu Abbas beliau ditanya tentang tayamum lalu dia menjawab:
Sesungguhnya Allah berfirman dalam kitabnya ketika menyebut wudhu (maka
basuhlah muka dan tanganmu hingga siku) dan Allah juga mengatakan tentang
tayamum (maka sapulah muka dan tanganmu) dan Allah mengatakan: (dan pencuri
laki-laki dan perempuan maka potonglah tangan keduanya) oleh karena itu sunnah
memberlakukan pemotongan kedua telapak tangan . (HR. Turmudzi)34
Dari Adi bahwa nabi s.a.w, memotong tangan pencuri dari pergelangan
tangannya (HR. Al-Baihaqi)
0ً‫ لط اٌىبّ صٍّ َّللا عًٍٕ َعٍم عبسلب مه اٌمىفص‬:‫عه عبذ َّللا به عمش َلبي‬
Artinya : Dari Abd. Allah bin Amir dia berkata: Nabi memotong tangan
pencuri dari pergelangan (HR. AL-Baihaqi)35
2. Ijma Sahabat, yaitu Umar dan Abu Bakar melakukan pemotongan tangan pada
pergelangan tidak ada sahabat lain yang membantah walaupun pengertian
pemotongan mencakup tiga hal yaitu pergelangan, siku dan bahu. Akan tetapi yang
dimaksud adalah hanya pergelangan karena memperlakukan pada siku dan bahi
masih diragukan sedangkan sesuatu yang masih diragukan tidak dibenarkan dalam
syari‘at Islam.
E. Gugurnya sanksi / hukuman potong tangan.
Banyak pendapat tentang gugurnya sanksi had di kalangan fuqaha. HA.
Jazuli 36 dalam bukunya menyebutkan hapusnya sanksi had yaitu :
1.
Terbukti bahwa dua orang saksinya itu dusta dalam kesaksiannya.
34
Al-Turmudzi Abi Isa Muhammad Saurah, al Jami’ al Sahih, Mesir,Mustafa al-Babi al-H.abi,
1962/1382
35
Al-Baihaqi, Op. Cit., Juz 8, h. 271
36
HA. Jazuli., Loc. Cit., h. 86.
2.
Pencuri menarik kembali pengakuannya.
3.
Pelaku pencurian mengembalikan harta yang dicuri sebelum diajukan ke
pengadilan pendapat ini diajukan oleh Imam Abu Hanifah, sedang menurut
Imam
Malik,
Imam
Syafi‘i
dan
Imam
Ahmad
mengatakan
bahwa
mengembalikan harta yang dicuri itu tidak menyebabkan gugurnya sanksi had,
karena sanksi had terwujud ketika terjadinya pengambilan harta.
4.
dimilikinya harta yang dicuri atau dengan sah oleh pencuri sebelum diajukan ke
pengadilan ini pendapat Imam Abu Hanifah, sedang menurut Imam yang lain
hal ini tidak menyebabkan gugurnya melaksanakan sanksi had, oleh karena itu
alternatif hukuman adalah hukuman ta‘zir. Sementara itu dalil dalam Al-qur‘an
Surat 5 : 39 menyebutkan bahwa seorang pelaku pencurian tidak dapat dijatuhi
sanksi had apabila ia telah bertaubat sebelum pelaku ditangkap oleh yang
berwenang sesuai dengan lafal ayat tersebut yang artinya : maka barang siapa
bertaubat diantara pencuri-pencuri itu setelah melakukan kejahatan itu dan
memperbaiki diri maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya.
Simpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalil utama
yang menyatakan dapat menggugurkan sanksi had bagi pelaku pencurian adalah
adanya taubat yang dilakukan pelaku sebelum ia ditangkap oleh pihak yang
berwenang, tentu saja taubat yang dimaksud menurut hemat penulis adalah taubat
nasuha yang dilakukan sesuai syarat dan rukun taubat nasuha. Menurut Imam Abu
Hanifah tobat itu adalah menghapuskan hukuman seluruh tindak pidana yang
berkaitan dengan hak Allah. Firman Allah : Yang artinya : ―Dan terhadap dua orang
yang melakukan perbuatan keji diantara kami, maka berilah hukuman kepada keduanya
kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki dirinya, maka biarkanlah mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat (An Nisa 16).
Daftar Pustaka
Abd Qadir Al Audah. Al Tasjri Al Jinai’ al Islami. Muqaranum bi Al Qanun Alwadi Jilid I
A. Hanafi. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta. Bulan Bintang. 1967.
Departemen Agama. Al Qur’an dan Terjemahnya. Semarang. CV. Tolha Putra. 1989.
Abdul Qadir Audah, Tasyi’u al-Jina ‘I Al-Islami, Kairo : Dar al-Fikr, 1978.
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1996. Cet.Ke-2.
Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar a’la’ al Duri al Muhktar Syarh Tanwir al absar, Mesir: Dar
al Fikr, 1979/1399, juz 4, hlm. 82—85.Mesir: Dar al Fikr, 1979/1399, juz 4.
Al Kandah Lawi, Aujaz al Masalih ila ‘Muwatta’ Malik Darar Fikr, 1974, tth juz 2.
Ibnu Rusyd, Bidayatul al Mujtahid wa al Nikayah al Maqtasyd, Da’al Fikri, juz 2.
Al Hattab,Abi Abd. Allah muhammad bin Muhammad bin Abd al Rahman al Magribi, Mawahib al
Jalil li sy Syarh Mukhtasar Kh.il, bihamisyhi: al Taj wa al akil li Mukhtasar al kh.il,
1978/1398 Juz
Zainuddin, Perkembangan Pidana Pencurian dalam Hukum Islam, Jakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1995.
Zainuddin, Perkembangan Pemikiran tentang Tindak Pidana Pencurian menurut Syari’at
Islam, Jakarta, IAIN, 1998.
Al-Bukhari, Imam, Sahih Bukhari, Beirut : Asy-Syu’ub Jilid III, Juz 2.
Muslim, Sahih Muslim, Indonesia : Mahtabab Dar Ihya al Kutub al Arabiyah, Juz 2.
Al Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Ali, Al Suna Al Kubra, Beurut : Dar Al Fikri, tt.
Al-Qurtubi Abi Abd. Allah Muhammad bin Muhammad al-Ansari, al-Jami li Ahkam alQur’an, Kairo, Dar el-Katib al Arabi, 1967/1387, Juz 6.
Ibn al-Arabi – Abu Bakar Muhammad Ali bin Ahmad bin Said Alahkam Al-Qur’an, tt. Isa al
Babil Al-Hilabi, 1967/1387 Juz 2.
Malik bin Anas al-Mudawwanah, Al-Kubra, tt, Dar el Fikr, 1986/1406.
Ibn Ilhilman, Imam Kmal al Din Muhammad bin al Walid al Siwad’i Syarh al Fath al Qadir
Beirut: Dar el Fikr, 1977/1407, Juz 5.
Al-Turmudzi Abi Isa Muhammad Saurah, al Jami’ al Sahih, Mesir,Mustafa al-Babi al-H.abi,
1962/1382
Download