Efek cekaman kekeringan dan penambahan fungi

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Air pada Tanaman
Air merupakan sumber kehidupan bagi seluruh makhluk hidup. Air
mempunyai peranan sangat penting karena air merupakan bahan pelarut bagi
kebanyakan reaksi dalam tubuh makhluk hidup. Air juga digunakan sebagai medium
enzimatis. Air sangat penting bagi tumbuhan, karena 30% sampai 90% berat
tumbuhan tersusun atas air. Tumbuhan menggunakan air pada proses fotosintesis.
Mineral-mineral yang diserap oleh akar harus terlarut juga dalam air (Astuti dan
Dewi, 2008).
Dalam siklus hidup suatu tanaman, mulai dari perkecambahan sampai
tumbuh dan berkembang, tanaman selalu membutuhkan air. Fungsi air bagi tanaman
diantaranya sebagai unsur esensial di dalam protoplasma, pelarut garam-garam, gas
dan zat lain dalam proses translokasi, pereaksi fotosintesis dan berbagai proses
hidrolisis, esensial untuk menjaga turgiditas, pembukaan stomata, serta sebagai
penyangga bentuk daun muda yang berlignin sedikit. Kebutuhan air pada tanaman
dapat dipenuhi melalui tanah dengan jalan penyerapan oleh akar. Besarnya air yang
diserap oleh akar tergantung ketersedian atau kadar air tanah yang ada dan laju
transpirasi. Pada kondisi kadar air tanah rendah atau berada di bawah kapasitas
lapang, dan dalam kondisi laju evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air, maka
tanaman akan dihadapkan pada kondisi cekaman air atau kekeringan (Sasli, 2004).
Air dapat membatasi pertumbuhan dan produktivitas pertumbuhan hampir
disegala tempat, baik karena periode kering tak terduga maupun curah hujan normal
yang rendah sehingga diperlukan pengairan yg teratur (Salisbury dan Ross, 1995).
Pengaruh ketersediaan air terhadap pertumbuhan tanaman sangat besar. Kekurangan
air pada tanaman yang diikuti berkurangnya air pada daerah perakaran berakibat
pada aktivitas fisiologis tanaman (Khaerana et al., 2008).
Pengaruh Cekaman Kekeringan pada Tanaman
Pengaruh ketersediaan air terhadap pertumbuhan tanaman sangat besar.
Kekurangan air pada tanaman yang diikuti berkurangnya air pada daerah perakaran
berakibat pada aktivitas fisiologis tanaman. Mekanisme yang terjadi pada tanaman
yang mengalami cekaman kekeringan adalah dengan mengembangkan mekanisme
3
respon terhadap kekeringan. Pengaruh yang paling nyata adalah mengecilnya ukuran
daun untuk meminimumkan kehilangan air (Khaerana, 2008). Hong-Bo et al. (2008)
juga menyebutkan cekaman air akan menekan pertumbuhan sel, sehingga akan
mengurangi pertumbuhan tanaman.
Kekurangan air akan mengganggu aktifitas fisiologis maupun morfologis,
sehingga mengakibatkan terhentinya pertumbuhan. Defisiensi air yang terus menerus
akan menyebabkan perubahan irreversibel (tidak dapat balik) dan pada gilirannya
tanaman akan mati (Haryati, 2003).
Cekaman kekeringan mempengaruhi semua fase pertumbuhan tanaman, baik
pertumbuhan vegetatif maupun pertumbuhan generatif, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi hasil tanaman. Cekaman kekeringan pada saat pertumbuhan vegetatif
akan mempengaruhi ukuran dan intensitas source (daun dan akar). Cekaman
kekeringan pada saat pertumbuhan generatif akan mempengaruhi intensitas dan
durasi source serta ukuran dari sink (misalnya buah atau bagian lain yang dipanen).
Ukuran, intensitas dan durasi source serta ukuran sink akan mempengaruhi asimilasi
total, dan akhirnya mempengaruhi hasil tanaman (Haryati, 2003).
Pengaruh dari cekaman air terhadap tanaman menurut Muns (2002) dapat
diklasifikasikan berdasarkan beberapa tingkatan waktu, yaitu mulai dari menit, jam,
hari, minggu dan bulan.
Tabel 1. Respon Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Menurut Waktu.
Waktu
Pengaruh yang terlihat pada saat cekaman air
Menit
Penyusutan seketika laju pemanjangan daun dan
akar yang kemudian diikuti dengan
peneyembuhyan sebagian.
Jam
Laju pemanjangan akar kembali normal tapi
lebih rendah dari laju sebelumnya
Hari
Pertumbuhan daun lebih dipengaruhi daripada
pertumbuhan akar. Laju mekarnya daun
berkurang
Minggu Ukuran akhir daun dan/atau jumlah pucuk lateral
berkurang
Bulan
Mengubah saat pembungaan, menyusutkan
produksi biji.
Sumber: Munns 2002.
4
Cekaman kekeringan dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu kekurangan
suplai air di daerah perakaran atau laju kehilangan air (evapotranspirasi) lebih besar
dari absorbsi air meskipun kadar air tanahnya cukup (Sasli, 2004). Tanaman-tanaman
yang tumbuh pada kondisi cekaman kekeringan akan mengurangi jumlah stomata
sehingga menurunkan laju kehilangan air. Penutupan stomata dan serapan CO2 bersih
pada daun berkurang secara pararel (bersamaan) selama kekeringan. Proses asimilasi
karbon terganggu sebagai akibat dari rendahnya ketersediaan CO2 pada kloroplas
karena cekaman air yang menyebabkan terjadinya penutupan stomata. Jadi,
kekeringan yang hebat akan merubah/membatasi proses asimilasi, translokasi,
penyimpanan dan penggunaan karbon fotoasimilat secara terpadu (Sasli, 2004).
Fungi Mikoriza Arbuskula
Struktur akar umumnya dipelajari dari tanaman yang ditanam di rumah kaca,
namun di alam akar muda sebagian besar spesies terlihat sedikit berbeda karena
terinfeksi cendawan mikoriza (Salisbury dan Ross, 1995). Mikoriza merupakan salah
satu bentuk simbiosis mutualistik antara cendawan (mykes) dan perakaran (rhiza)
tumbuhan tingkat tinggi. Adanya bentuk asosiasi antara cendawan mikoriza dan akar,
sebenarnya adalah suatu bentuk “parasitism” dimana cendawan menyerang sistem
perakaran tetapi tidak sebagaimana halnya parasit yang berbahaya (patogen). Dalam
hal ini cendawan tidak merusak atau membunuh inangnya tetapi memberikan
keuntungan kepada tanaman inangnya dengan mensuplai mineral anorganik yang
berasal dari tanah untuk tanaman inang dan sebaliknya cendawan dapat memperoleh
karbohidrat dan faktor pertumbuhan lainnya dari tanaman inang (Rungkat, 2009).
Secara umum mikoriza di daerah tropis tergolong dalam dua tipe berdasarkan
struktur dan cara infeksinya terhadap tanaman inangnya yaitu : ektomikoriza dan
endomikoriza (Rungkat, 2009). Jamur yang terlibat dalam ektomikoriza termasuk
Basidiomisetes yang meliputi Amanitaceae, Bolateceae, Cortinariaceae, Russulaceae,
Tricholomataceae, Rizhopogonaceae dan Sclerodemataceae. Suatu perakaran
ektomikoriza tidak memiliki rambut akar dan tertutup oleh selapis atau selubung hifa
jamur yang hampir tampak mirip dengan jaringan inang. Jaringan ini disebut
selubung pseudoparenkimatis (Rao, 1994).
Endomikoriza dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : (1) Eriacaeous mikoriza,
merupakan asosiasi antara akar Ericales dengan jamur dari kelompok Ascomycotina,
5
(2) Orchidaceous mikoriza, merupakan asosiasi antara anggrek dengan jamur dari
kelompok Basidiomycotina, dan (3) Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) adalah salah
satu tipe fungi mikoriza dan termasuk kedalam Glomeromycota dengan ordo
Glomales yang mempunyai dua sub-ordo yaitu Gigasporoineae dan Lomineae
(INVAM, 2006). Arbuskula adalah struktur yang paling berarti dalam kompleks
FMA yang berfungsi sebagai penukaran metabolit antara fungi dan tanaman
(Delvian,
2006)
sedangkan
vesikula
berbentuk
gloose
dan
berasal
dari
menggelembungnya hifa internal dari FMA (Brundrett et al,. 1996).
Struktur utama dari Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) adalah arbuskula,
vesikula, hifa eksternal dan spora antara lain yaitu (Dewi, 2007) : (1) Arbuskula
adalah struktur hifa yang bercabang-cabang seperti pohon-pohon kecil yang mirip
haustorium (membentuk pola dikotom), berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi
antara tanaman inang dengan jamur. (2) Vesikel merupakan suatu struktur berbentuk
lonjong atau bulat, mengandung cairan lemak, yang berfungsi sebagai organ
penyimpanan makanan atau berkembang menjadi klamidospora, yang berfungsi
sebagai organ reproduksi dan struktur tahan. (3) Hifa Eksternal merupakan struktur
lain dari FMA yang berkembang di luar akar. Hifa ini berfungsi menyerap hara dan
air di dalam tanah. (4) Spora, merupakan propagul yang bertahan hidup
dibandingkan dengan hifa yang ada di dalam akar tanah. Spora terdapat pada ujung
hifa eksternal dan dapat hidup selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Perkecambahan spora bergantung pada lingkungan seperti pH, temperature dan
kelembaban tanah serta kadar bahan organik. Bentuk struktur arbuskula, vesikula,
hifa eksternal dan spora dapat dilihat pada Gambar 1.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1. (a) Arbuskula (b) Vesikula (c) Hifa Eksternal (d) Spora
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) yang menginfeksi sistem perakaran
tanaman inang akan memproduksi hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza
6
akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam penyerapan unsur hara dan air serta
meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen tanah (Brundrett et al.,
1996). Beberapa manfaat yang dapat diperoleh tanaman inang dari adanya asosiasi
FMA adalah sebagai berikut : (1) meningkatkan unsur hara, (2) meningkatkan
ketahanan terhadap kekeringan, (3) tahan terhadap serangan patogen akar, dan (4)
FMA dapat memproduksi hormon dan zat pengatur tumbuh.
Hubungan Mikoriza dan Tanaman
Simbiosis antara mikoriza dan tanaman inangnya (jamur, tanah, dan akar
tanaman) merupakan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) (Brundrett,
2000). Simbiosis ini meliputi penyediaan fotosintat oleh inang untuk jamur dan
sebaliknya tanaman inang memperoleh nutrien yang diambil oleh tanah dari jamur.
Pada asosiasi ini infeksi pada akar tidak menyebabkan penyakit.
Mikoriza dikenal efektif dalam meningkatkan penyerapan hara, terutama
akumulasi fosfor dan dan biomassa dari banyak tanaman di dalam tanah dengan
kandungan fosfor yang rendah (Rungkat, 2009). Turk et al. (2006) mengatakan
bahwa peran utama dari FMA adalah untuk menyediakan fosfor bagi akar tanaman
yang terkena infeksi, karena fosfor adalah salah satu unsur yang sangat tidak mobil
di dalam tanah, meskipun jika fosfor ditambahkan di tanah dalam bentuk segera
larut, fosfor tersebut akan menjadi tidak mobil seperti fosfor organic dan kalsium
fosfat.
Rungkat (2009) menjelaskan bahwa tanaman yang bermikoriza biasanya
tumbuh lebih baik dari pada tanaman yang tidak bermikoriza. Mikoriza memiliki
peranan bagi pertumbuhan dan produksi tanaman, peranan mikoriza bagi tanaman
sebagai berikut : a) mikoriza meningkatkan penyerapan unsur hara, b) mikoriza
melindungi tanaman inang dari pengaruh yang merusak yang disebabkan oleh stres
kekeringan, c) mikoriza dapat beradaptasi dengan cepat pada tanah yang
terkontaminasi, d) mikoriza dapat melindungi tanaman dari patogen akar e) mikoriza
dapat memperbaiki produktivitas tanah dan tanah memantapkan struktur tanah.
Desmodium sp
Desmodium sp merupakan tanaman perdu pendek bertahunan dengan batang
yang menanjak atau melata. Desmodium sp adalah tanaman dari famili Fabaceae,
7
tanaman semak tegak berumur pendek dengan tinggi 1-3 m (Sutrasno et al., 2009).
Bentuk legum Desmodium sp dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Bentuk Legum Desmodium sp
Daun Desmodium sp memiliki ciri berhelai tiga (trifoliate) bundar atau bulat
telur dengan ujung helai daun sedikit tajam. Daunnya memiliki beragam tekstur,
bentuk, ukuran, kebanyakan mengertas, berbentuk bundar telur, tetapi yang di ujung
berbentuk menjorong, ujung daun bertakik atau lebih atau kurang meruncing,
ditutupi dengan rambut melekap pada permukannya dan permukaan bawah lebih
banyak ditutupi dengan rambut keperakan melekat. Daun samping memiliki ukuran
yang sama. Helai daun biasanya agak tebal, panjang 5-7 cm, ditutupi oleh bulu yang
halus. Perbungaan tandan di ketiak atau di ujung, bunga berwarna merah muda,
lembayung muda, ungu, violet atau putih, pada umumnya berpasangan. Buah polong
dengan 6-8 biji. Biji kecil dan keras, berwarna hijau yang berubah coklat kekuningan
sampai coklat seiring kemasakan. Polong merekah ketika cukup masak. Jumlah biji
mencapai sekitar 500.000 biji/kg (Sutrasno et al., 2009).
Di daerah alaminya, Desmodium sp tumbuh pada daerah-daerah beriklim
sublembab yang memiliki curah hujan tahunan sebesar 900-1500 mm, dengan lima
bulan masa kering. Rata-rata suhu minimum tahunannya berkisar pada 20-29 °C, dan
rata-rata suhu maksimumnya di bawah 42 °C. Berdasarkan ketinggian, tumbuhan ini
tersebar dari batas permukaan air laut hingga 1500 m. Desmodium sp tumbuh secara
alami pada tahap awal atau pertengahan suksesi dari tipe-tipe vegetasi yang
mengalami gangguan, seperti daerah bukit berpasir di pantai, tepi-tepi sungai, dan
dataran tergenang. Tumbuhan ini juga dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah, baik
yang bersifat basa maupun asam, namun lebih toleran pada tanah asam dan tidak
subur (Sutrasno et al., 2009).
8
Indigofera sp
Indigofera sp adalah genus besar dari sekitar 700 jenis tanaman berbunga
milik keluarga Fabaceae (Schrire, 2005). Terdapat di seluruh daerah tropis dan
subtropis di dunia, dengan beberapa jenis mencapai zona di kawasan timur Asia.
Indigofera sp memberikan peluang yang menjanjikan dalam hal pemenuhan
kebutuhan ternak ruminansia terhadap penyediaan hijauan pakan. Menurut Hassen et
al., (2008) produksi tanaman Indigofera sp adalah sebesar 2.728 kg/ha. Indigofera sp
memiliki kandungan protein yang tinggi, toleran terhadap musim kering, genangan
air, dan tahan terhadap salinitas. Bentuk legum Indigofera sp dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Bentuk Legum Indigofera sp
Legum Indigofera sp merupakan salah satu leguminosa yang memiliki
kandungan protein cukup tinggi, yaitu sebesar 24,3%. Indigofera sp memiliki sifat
yang toleran terhadap kekeringan dan salinitas (Skerman, 1982). Saat akar
terdalamnya dapat tumbuh kemampuannya untuk merespon curah hujan yang kurang
dan ketahanan terhadap herbivora merupakan potensi yang baik sebagai cover crop
(tanaman penutup tanah) untuk daerah semi- kering dan daerah kering (Hassen et al.
2004, 2006). Interval defoliasi tanaman ini yaitu 60 hari dengan intensitas defoliasi
100 cm dari permukaan tanah pada batang utama dan 10 cm dari pangkal
percabangan pada cabang tanaman (Suharlina, 2010). Produksi bahan kering (BK)
total Indigofera sp. adalah 21 ton/ha/tahun dan produksi bahan kering daun total 5
ton/ha/tahun (Hassen et al. 2008).
Indigofera sp adalah jenis Indigofera yang relatif baru dikembangkan di
Indonesia. Tanaman ini dapat digunakan sebagai hijauan pakan terutama untuk pakan
kambing perah yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Indigofera
sp jenis leguminosa pohon ini cocok dikembangkan di Indonesia karena toleran
9
terhadap musim kering, genangan air, dan tahan terhadap salinitas (Hassen et al,
2008).
Stylosanthes scabra
Stylosanthes scabra (S. scabra ) merupakan tanaman semak tahunan dengan
tinggi dapat mencapai 2 meter, dengan akar tunggang yang kuat dan dalam (sampai 4
m). Batang muda bervariasi dari warna hijau sampai merah, tergantung dari tipe,
biasanya dengan bulu-bulu yang padat dan kasar, menjadi lebih berkayu seiring umur
tanaman. Helai daun berbulu pada kedua permukaan, berwarna hijau pucat sampai
hijau tua dan hijau kebiruan, panjang 20-33 mm dan lebar 4-12 mm. Bunga berwarna
kuning pucat sampai kuning tua. Buah polong dengan 2 segmen, kedua segmen
biasanya subur, segmen bagian atas panjang 4-5 mm dan segmen bagian bawah
panjang 2 mm, coklat pucat sampai coklat muda, 400.000-500.000 biji dalam buah
polong/kg dan 600.000-800.000 biji bersih/kg (CSIRO, 2005). Bentuk legum S.
scabra dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Bentuk Legum S. scabra
Stylosanthes scabra biasanya digunakan sebagai padang gembala tahunan,
ditanam bersama dengan rumput unggul dan rumput alam. Digunakan sebagai
tanaman potong angkut pada beberapa negara. Tanaman muda cocok untuk
diawetkan (CSIRO, 2005).
Stylosanthes scabra dapat tumbuh dengan baik pada tanah pasir tidak subur,
asam dan mudah menyusut atau keras; demikian pula tumbuh dengan baik pada
tanah dengan tekstur lebih berat, sedikit asam, dan tidak cocok sama sekali pada
semua jenis tanah liat berat (CSIRO, 2005).
Stylosanthes scabra merupakan spesies yang sangat tahan terhadap
kekeringan dan tumbuh pada daerah dengan curah hujan rendah sampai 350
mm/tahun. Dalam penanamannya, tanaman ini terutama digunakan pada daerah
10
dengan curah hujan tahunan sekitar 600 dan 2000 mm/tahun. Musim kering yang
panjang dapat menjadi faktor pembatas pada daerah dengan curah hujan rendah dan
tanah yang lebih dangkal, dimana tanaman semusim atau tanaman tahunan dengan
kemampuan berperilaku sebagai tanaman semusim (misalnya S. hamata ), biasanya
lebih berhasil. Pertumbuhan bibit biasanya terlalu lambat pada S. scabra karena
tanaman ini berperilaku sebagai tanaman semusim. Beberapa tipe tidak tahan
terhadap penggenangan air (CSIRO, 2005).
Nilai nutrisi S. scabra akan menurun seiring bertambahnya umur tanaman,
PK daun dari 20% menjadi 10%, P dari 0,3% menjadi 0,1% dan kecernaan bahan
kering in vitro dari 70% menjadi 50%. Proporsi batang meningkat bersamaan dengan
bertambahnya umur, dari sekitar 20% pada pertumbuhan awal menjadi 75% pada
akhir musim (dan lebih tinggi pada padang gembala yang digembalakan) (CSIRO,
2005).
Produksi bahan kering S. scabra pada tanah yang tidak subur dengan curah
hujan rendah mungkin kurang dari 1 ton/ha, tetapi bisa sampai 10 ton/ha dibawah
kondisi yang lebih ideal. Pada padang gembala rumput/legum tanaman ini dapat
menyumbang BK 2-7 ton/ha (CSIRO, 2005).
Leucaena leucocephala
Leucaena leucocephala (L. leucocephala) merupakan salah satu spesies dari
genus Leucaena, Famili Mimosasea. Leucaena leucocephala adalah tanaman pohon
dengan tinggi dapat mencapai 18 meter, bercabang banyak dan kuat, dengan kulit
batang abu-abu dan lenticel yang jelas. Daun bersirip dua dengan 4-9 pasangan sirip,
bervariasi dalam panjang sampai 35 cm, dengan glandula besar (sampai 5 mm) pada
dasar petiole, helai daun 11-22 pasang/sirip, 8-16 mm x 1-2 mm, akut. Bunga sangat
banyak dengan diameter kepala 2-5 cm, stamen (10 per bunga) dan pistil sepanjang
10 mm. Buah polong 14-26 cm x 1,5-2 cm, pendant, coklat pada saat tua. Jumlah biji
18-22 per buah polong, berwarna coklat (CSIRO, 2005).
Leucaena leucocephala merupakan tanaman legum pohon serba guna, berasal
dari Amerika Tengah dan Meksiko. Leucaena leucocephala umumnya ditanam
sebagai tanaman pagar dan tanaman pelindung untuk tanaman komersial. Daunnya
(L. leucocephala) dipergunakan sebagai pakan ternak dan batangnya dimanfaatkan
sebagai kayu bakar (Soeseno, 1992). Daun L. leucocephala telah banyak digunakan
11
untuk meningkatkan produksi ternak di daerah tropis (Khamseekhiew et al., 2001).
Legum L. leucocephala mengandung protein yang cukup tinggi, sekitar 21%-25%
(Khamseekhiew et al., 2001 ; Rajendran et al., 2001). Bentuk legum L. leucocephala
dapat pada Gambar 5.
Gambar 5. Bentuk Legum L. leucocephala
Leucaena leucocephala termasuk legum yang produktif menghasilkan
hijauan, tahan pemotongan dan penggembalaan berat, dan sebagai pakan tambahan
yang bermutu tinggi (Soeseno, 1992). Sifat pertumbuhan L. leucocephala sangat baik
dan batangnya cepat besar. Daunnya kecil-kecil dan bersirip tunggal. Daun yang
muda atau setengah tua dapat digunakan sebagai makanan ternak yang dapat diambil
secara terus menerus.
Leucaena leucocephala dapat digunakan sebagai hijauan potongan maupun
sebagai tanaman di padang penggembalaan. Diantara berbagai jenis kacangkacangan di daerah tropis, tanaman L. leucocephala memiliki kandungan gizi yang
tinggi untuk produksi ternak. Nilai nutrisi bagian yang dimakan memiliki nilai
kecernaan 55-70% (CSIRO, 2005). Diantara berbagai jenis kacang-kacangan daerah
tropis, tanaman L. leucocephala mempunyai kemungkinan yang lebih luas dalam
pemanfaatannya.
Leucaena leucocephala merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk
menutup kekurangan jumlah ataupun mutu hijauan pada musim panceklik karena
Tahan terhadap musim kering yang panjang dan tetap berdaun pada musim kering
(CSIRO, 2005). Leucaena leucocephala sangat baik digunakan sebagai pakan ternak,
karena L. leucocephala dapat diberikan kepada ternak berupa hijauan segar, kering,
tepung, silase dan pellet. Ranting hijaun berdiameter 5-6 mm masih dapat dimakan
oleh ternak meskipun kurang palatable dan kandungan gizinya lebih rendah
dibandingkan daun atau ranting muda (Soeseno, 1992).
12
Download