BUKU AJAR ORTODONSIA II KGO II Penanggungjawab Mata Kuliah drg. Prihandini Iman, MS., Sp.Ort (K) FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2008 PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas karunia-Nya sehingga penulisan bahan ajar Ortodonsia II ini dapat selesai. Terdorong pada keinginan penulis untuk memberikan panduan terhadap mahasiswa Kedokteran Gigi yang mempunyai perhatian pada Ortodonsia, maka penulis menyempatkan diri untuk menulis bahan ajar Ortodonsia II. Ortodonsia II itu sendiri adalah cabang dari ilmu Kedokteran Gigi yang mempelajari tentang prosedur perawatan ortodontik dengan alat lepasan, meliputi cara pemeriksaan, metode analisis pada model studi dan radiologi, serta memahami biomekanika pergerakan gigi secara Ortodontik sehingga dapat menetapkan diagnosis, serta menjelaskan etiologi maloklusi yang ada. Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas terselesaikannya penulisan buku ajar ini kepada : 1. Rektor dan Wakil Rektor I Universitas Gadjah Mada 2. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada 3. Kepala Bagian Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada 4. Dosen pengampu mata kuliah Ortodonsia II Penulis menyadari buku ajar ini belum sempurna maka diperlukan kritik dan saran guna penyempurnaan buku ajar ini. Yogyakarta, 10 Februari 2008 Penulis drg. Prihandini Iman, MS., Sp.Ort (K) 1 TINJAUAN MATA KULIAH 1. Deskripsi singkat mata kuliah Ortodonsia II Mata kuliah Ortodonsia II diselenggarakan dengan tatap muka satu jam per minggu selama satu semester, di dalam tatap muka mahasiswa diberikan materi dasar Ortodonsia II. Prasyarat mengikuti mata kuliah ini mahasiswa harus telah mengikuti mata kuliah Ortodonsia I. 2. Kegunaan mata kuliah Ortodonsia II Mahasiswa dapat mengerti dasar-dasar Ortodonsia II yang berguna untuk mata kuliah Ortodonsia III dan IV. 3. Tujuan Intruksional umum Setelah mengikuti kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami dan menjelaskan prosedur perawatan ortodontik dengan alat lepasan, meliputi cara pemeriksaan, metode analisis pada model studi dan radiologi, serta memahami biomekanika pergerakan gigi secara Ortodontik sehingga dapat menetapkan diagnosis, serta menjelaskan etiologi maloklusi yang ada. 4. Susunan atau urutan bahan ajar : a. Penentuan diagnosis dan rencana perawatan Ortodontik b. Etiologi maloklusi c. Rencana perawatan d. Rumusan perawatan e. Biomekanika 5. Petunjuk bagi mahasiswa untuk mempelajari bahan ajar : a. Membaca bahan ajar dengan seksama b. Membuat skema hubungan pada masing-masing pokok bahasan c. Menjawab latihan-latihan yang diberikan 2 DAFTAR ISI Halaman Pengantar ................................................................................................. Tinjauan Mata Kuliah ............................................................................ 1 2 Daftar Isi................................................................................................................ 3 I. Penentuan diagnosis dan rencana perawatan Ortodontik .................................. 4 a. Pendahuluan.................................................................................................... 4 b. Penyajian ........................................................................................................ 6 II. Etiologi Maloklusi .......................................................................................... 21 a. Pendahuluan.................................................................................................... 21 b. Penyajian ........................................................................................................ 21 III. Rencana Perawatan ........................................................................................ 26 a. Pendahuluan.................................................................................................... 26 b. Penyajian ........................................................................................................ 26 IV. Rumusan perawatan ........................................................................................ 34 a. Pendahuluan.................................................................................................... 34 b. Penyajian ........................................................................................................ 34 V. Biomekanika .................................................................................................. 36 a. Pendahuluan.................................................................................................... 36 b. Penyajian............................................................................................. 36 Daftar Pustaka ....................................................................................................... 47 3 I. DIAGNOSIS ORTODONTIK a. PENDAHULUAN PENGERTIAN DIAGNOSIS Diagnosis berasal dari bahasa Yunani : Dia berarti melalui Gnosis berarti Ilmu pengetahuan Jadi diagnosis berarti : penetapan suatu keadaan yang menyimpang dari keadaan normal melalui dasar pemikiran dan pertimbangan ilmu pengetahuan. Setiap penyimpangan dari keadaan normal ini dikatakan sebagai suatu keadaan abnormal atau anomali atau kelainan. Untuk dapat menetapkan suatu diagnosis secara tepat diperlukan ilmu pengetahuan atau pengalaman empirik yang luas mengenai : • Keadaan normal atau standar normal, beserta variasi-variasinya yang masih ditetapkan sebagai keadaan normal. • Bermacam-macam bentuk penyimpangan dari keadaan normal yang dikatakan sebagai keadaan abnormal. Berdasar ilmu pengetahuan tersebut di atas kemudian informasi dikumpulkan melalui prosedur pemeriksaan secara teliti dan sistematis agar didapatkan seperangkat data yang lengkap dan tepat. Melalui data yang telah dikumpulkan ini kemudian diagnosis ditetapkan. Makin lengkap dan akurat data yang dikumpulkan akan makin mudah dan tepat diagnosis ditetapkan, kemudian penyusunan rencana perawatan dan tindakan perawatan selanjutnya diharapkan dapat dilakukan secara benar. Menurut Salzmann (1950) ; diagnosis dibedakan atas : 1. Diagnosis Medis (Medical diagnosis) 4 yaitu suatu diagnosis yang menetapkan penyimpangan dari keadaan normal yang disebabkan oleh suatu penyakit yang membutuhkan tindakan medis atau pengobatan. 2. Diagnosis Ortodontik (Orthodontic diagnosis) Yaitu diagnosis yang menetapkan suatu kelainan atau anomali oklusi gigi-gigi (bukan penyakit) yang membutuhkan tindakan rehabilitasi. Menurut Schwarz diagnosis ortodontik dibagi menjadi : 1. Diagnosis Biogenetik (Biogenetic diagnosis) Yaitu diagnosis terhadap kelainan oklusi gigi-geligi (maloklusi) berdasarkan atas faktor-faktor genetik atau sifat-sifat yang diturunkan (herediter) dari orang tua terhadap anak-anaknya. Misalnya : Orang tua yang mempunyai dagu maju atau prognatik dengan maloklusi Klas III Angle tipe skeletal (oleh karena faktor keturunan) cenderung akan mempunyai anak-anak prognatik dengan ciri-ciri yang khas atau dengan kemiripan yang sangat tinggi dengan keadaan orang tuanya. 2. Diagnosis Sefalometrik (Cephalometric diagnosis) Yaitu diagnosis mengenai oklusi gigi-geligi yang ditetapkan berdasarkan atas data-data pemeriksaan dan pengukuran pada sefalogram (Rontgen kepala), misalnya : maloklusi klas II Angle tipe skeletal ditandai oleh relasi gigi molar pertama atas dan bawah klas II (distoklusi) yang disebabkan oleh karena posisi rahang atas lebih ke anterior atau rahang bawah lebih ke posterior dalam hubungannya terhadap basis kranium. Pada sefalogram dengan analisis sefalometrik Steiner (1953) hasil pengukuran sudut ANB > 2° (standar normal 2°) Titik A. : titik sub spinale yaitu titik terdepan basis alveolaris maksila Titik N/Na. : titik Nasion yaitu titik terdepan sutura frontonasalis 5 Titik B : titik supra mentale yaitu titik terdepan basis alveolaris mandibularis 3. Diagnosis Gigi geligi (Dental diagnosis ): Diagnosis yang ditetapkan berdasarkan atas hubungan gigi-geligi hasil pemeriksaan secara klinis atau intra oral atau pemeriksaan pada model studi. ⇒ Dengan mengamati posisi gigi terhadap masing-masing rahangnya kita akan dapat menetapkan malposisi gigi yang ada yaitu setiap gigi yang menyimpang atau keluar dari lengkung normalnya. ♦ Misalnya : - Mesioversi 3 ! - Supraversi 4 ! - Palatoversi ! 5 - Torsiversi 1 ! 1 - Mesioaksiversi 6 ! - Dan lain-lain. ⇒ Dengan mengamati hubungan gigi-gigi rahang atas terhadap gigi-gigi rahang bawah kita akan dapat menetapkan malrelasi dari gigi-gigi tersebut. ♦ Misalnya : • Relasi gigi molar pertama : Klas I, II, III Angle (kanan / kiri) • Relasi gigi lainnya : - Open bite : . 3! , !1. 43 ! - Cross bite: !4. , !.8 !.5 !7 . - Deep over bite: 321 ! 123 : (6 mm) 321 ! 123 - Dan lain-lain. b. PENYAJIAN DASAR PENETAPAN DIAGNOSIS : Dignosis ditetapkan berdasarkan atas pertimbangan data hasil pemeriksaan secara sistematis, Data diagnostik yang paling utama harus dipunyai untuk dapat menetapkan diagnosis adalah data pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan subyektif dan obyektif serta data pemeriksaan dan pengukuran pada model studi, sedangkan Graber (1972) mengelompokkan menjadi : 6 1. Kriteria Dignostik Esensial (Essential Diagnostic Criteria) a. Anamnesis dan Riwayat kasus (case history) b. Pemeriksaan atau Analisis klinis : ♦ Umum atau general : Jasmani, Mental ♦ c. Khusus atau lokal : Intra oral, Extra oral Analisis model studi : Pemeriksaan dan pengukuran pada model studi: ♦ Lebar mesiodistal gigi-gigi ♦ Lebar lengkung gigi ♦ Panjang atau Tinggi lengkung gigi ♦ Panjang perimeter lengkung gigi d. Analisis Fotometri (Photometric Analysis): Pemeriksaan dan pengukuran pada foto profil dan foto fasial pasien, meliputi : ♦ Tipe profil ♦ Bentuk muka ♦ Bentuk kepala e. Analisis Foto Rontgen (Radiographic Analysis): ♦ Foto periapikal ♦ Panoramik ♦ Bite wing ♦ Dan lain-lain Bila dianggap perlu bisa dilengkapi dengan data hasil pemeriksaan tambahan yang disebut sebagai : 2. Kriteria Diganostik Tambahan (Supplement Diagnostic Criteria) a. Analisis Sefalometrik (Cephalometric Analysis): ♦ Foto lateral (Lateral projection) untuk anlisis profil ♦ Foto frontal (Antero-posierior projection) untuk anlisis fasial ♦ Dan lain-lain 7 b. Analisis Elektromyografi (EMG) : Untuk mengetahui abnormalitas tonus dan aktivitas otot-otot muka dan mastikasi. c. Radiografi pergelangan tangan (Hand-wrist Radiografi): Untuk menetapkan indeks karpal yaitu untuk menentukan umur penulangan. d. Pemeriksaan Laboratorium : Untuk menetapkan basal metabolic rate (BMR), Tes indokrinologi, dan lain-lain. KAPAN MULAI MENDIAGNOSIS : Diagnosis sudah bisa mulai ditetapkan saat pasien masuk di ruang pemeriksaan. Misalnya : Dengan melihat muka pasien kita sudah bisa menetapkan tipe profil, bentuk muka, keadaan bibir pasien, dan lain-lain. Kemudian tahap demi tahap pemeriksaan dilalui kita akan langsung dapat menetapkan diagnosis sementara (Tentative Diagnosis). Misalnya dari : 1. Identitas pasien : a. Umur : ♦ Diastema gigi anterior pada umur 6 tahun, anak masih dalam masa pertumbuhan, maloklusi ini masih dapat berkembang kearah normal dengan erupsinya gigi permanent dengan ukuran mesiodistal yamg lebih besar dari gigi susu, perawatan yang bisa dilakukan adalah observasi. ♦ Protrusif gigi-gigi rahang atas tipe dentoskeletal pada pasien berumur 23 tahun , pertumbuhan dentofasial telah berhenti maloklusi bersifat permanen, perawatan yang bisa dilakukan : perawatan protuisif rahang atas yang berlebihan adalah bedah ortodontik (Orthodontic Surgery), sedangkan perawatan terhadap proklinasi gigi anteriornya adalah perawatan ortodontik (Ortodontic Treatment) b. Suku bangsa atau ras : ♦ Protrusif merupakan keadaan abnormal bagi ras Caucasoid tetapi protrusif pada tingkat tertentu masih dianggap normal untuk ras Negroid dan Mongoloid. 8 ♦ Suku Jawa dengan muka sedikit cembung masih dianggap normal karena merupakan kelompok Mongoloid. c. Jenis kelamin : ♦ Proses pertumbuhan dentofasial lebih cepat selesai pada wanita dari pada laki-laki, seperti pendewasaan , proses penulangan, erupsi gigi terjadi lebih awal pada wanita dari pada laki-laki. ♦ Ukuran rahang lebih besar pada laki-laki dari pada wanita. d. Dan lain-lain. 2. Anamnesis dan Riwayat kasus (Case Hitory) : Pasien dengan protrusif maksila ( klas II divisi 1 ) bisa ditetapkan sebagai kasus yang disebabkan oleh faktor keturunan atau bukan, dengan melakukan anamnesis untuk menenelusuri riwayat kasusnya: ♦ Jika keadaan orang tua dan saudara-saudaranya mempunyai kemiripan dengan pasien kasus ini disebabkan oleh faktor keturunan. ♦ Jika orang tua dan saudara-saudaranya tidak protrusif tetapi dari riwayat kasus didapatkan pasien mempunyai bad habit mengisap ibu jari pada masa kecilnya maka kasus ini disebabkan oleh faktor kebiasaan buruk atau bad habit. 3. Pemeriksaan klinis: Dari hasil pemeriksaan klinis ini kita juga dapat mendiagnosis keadaan pasien : ♦ Pasien dengan ukuran badan yang besar akan didiagnosis tidak normal apabila ukuran rahangnya kecil ♦ Ukuran rahang pasien yang tidak seimbang dengan ukuran mesiodistal gigi, gigi-gigi akan tampak berdesakan atau renggang-renggang, didiagnose sebagai kasus maloklusi : gigi berjejal (crowding) atau diastemata (spacing) ♦ Tipe profil pasien cembung, lurus atau cekung, normal tidaknya tergantung kelompok ras pasien dan tingkat keparahannya. ♦ Dari hasil pemeriksaan klinis dapat pula ditetapkan diagnosis mengenai : 9 • Ektra oral : Bentuk muka, bentuk kepala, keadaan bibir, tinggi muka, posisi dan hubungan rahang . • Intra oral : - Relasi molar dinyatakan dengan klasifikasi Angle. - Malrelasi gigi lainnya seperti : openbite, crossbite, deep overbite, scissor bite Overjet berlebihan dan lain-lain. - Malposisi gigi seperti : mesioversi, bukoversi, aksiversi, torsiversi, supraversi, transversi dan lain-lain. 4. Analisis studi model : Dari hasil pemeriksaan, pengukuran dan perhitungan pada studi model dapat ditetapkan diagnosis mengenai : ♦ Bentuk dan ukuran rahang ♦ Ukuran mesiodistal gigi ♦ Bentuk dan ukuran lengkung gigi ♦ Penentuan relasi molar, malrelasi gigi lainnya, malposisi gigi ♦ Adanya kelainan bentuk gigi (malformasi), dan lain-lain. 5. Analisis Foto muka (Analisis fotografi) : Analisis terhadap muka dan profil pasien dapat dilakukan langsung pada pasien dalam pemeriksaan klinis. Tetapi untuk tujuan dokumentasi mengenai keadaan wajah pasien diperlukan juga foto wajah perlu disertakan pada laporan status pasien. Analisis foto muka pasien dilakukan untuk mendiagnosis adanya abnormalitas mengenai bentuk profil dan tipe muka pasien: ♦ Tipe profil : cembung, lurus, cekung. ♦ Bentuk muka: Brahifasial, Mesofasial, Oligofasial. ♦ Bentuk kepala: Brahisefali, Mesosefali, Oligosefali 6. Analisis Foto Rontgen : 10 Analisis Foto Rontgen diperlukan apabila dibutuhkan diagnosis tentang keadaan jaringan dentoskeletal pasien yang tidak dapat diamati langsung secara klinis, seperti: ♦ Foto periapikal : Untuk menentukan gigi yang tida ada, apakah karena telah dicabut, impaksi atau agenese. Untuk menentukan posisi gigi yang belum erupsi terhadap permukaan rongga mulut berguna untuk menetapkan waktu erupsi, untuk membandingkan ruang yang ada dengan lebar mesiodistal gigi permanen yang belum erupsi. ♦ Panoramik : Untuk menentukan keadaan gigi dan jaringan pendukungnya secara keseluruhan dalam satu Ro foto, untuk menentukan urutan erupsi gigi, dan lain-lain. ♦ Bite wing : Untuk menentukan posisi gigi dari proyeksi oklusal. 7. Analisis Sefalometri : Analisis sefalometri sekarang semakin dibutuhkan untuk dapat mendiagnosis maloklusi dan keadaan dentofasial secara lebih detil dan lebih teliti tentang: ♦ Pertumbuhan dan perkembangan serta kelainan kraniofasial ♦ Tipe muka atau fasial baik jaringan keras maupun jaringan lunak ♦ Posisi gigi-gigi terhadap rahang ♦ Hubungan rahang atas dan rahang bawah terhadap basis kranium Diagnosis yang ditetapkan pada setiap tahap pemeriksaan disebut diagnosis sementara (Tentative diagnosis), setelah semua data pemeriksaan lengkap dikumpulkan kemudian dapat ditetapkan diagnosis finalnya (Final diagnosis) yang biasa disebut sebagai diagnosis dari pasien yang dihadapi. Kadang-kadang jika kita masih ragu-ragu menetapkan suatu diagnosis secara pasti atas dasar data-data pemeriksaan yang ada. Bisa pula diagnosis pasien ditetapkan dengan disertai diagnosis alternatifnya yang disebut sebagai diferensial diagnosis. 11 CARA MERUMUSKAN DIAGNOSIS : Dalam pembuatan laporan praktikum sebelum melakukan perawatan pasien setelah melakukan tahapan-tahapan pemeriksaan , pengukuran dan perhitungan kita akan menetapkan dignosis dari kasus yang dihadapi . Diagnosis dirumuskan dalam suatu kalimat yang khas yaitu dalam bentuk kalimat pernyataan: ⇒ Contoh : 1. Maloklusi Angle klas I dengan protrusif bimaksiler tipe skeletal, disertai dengan malrelasi ♦ openbite : !3. ! 34 ♦ palatalbite (overbite 8 mm) ♦ crossbite : ! . 5 !4. ♦ overjet berlebihan (6 mm), dan malposisi gigi individual : ♦ infraversi : !.3 ♦ linguoversi : ! . 4 ♦ rotasi (torsiversi) 7 ! , median line gigi tidak simetris : rahang atas bergeser ke kanan 2 mm dan rahang bawah normal. 2. Maloklusi Angle klas I tipe dental, disertai dengan malrelasi : ♦ Overjet besar (4,5 mm) ♦ Deep overbite (7 mm) ♦ Scissorbite : 4. ! 45! 12 ♦ Supraklusi gigi anterior : 3 2 1 ! 1 2 3 321!123 dan malposisi gigi individual : ♦ rotasi gigi : 1 ! 1 , ♦ linguoversi : .3 ! .4 ♦ infraversi : 2! 8 ! 8 gigi 5 ! telah dicabut karena karies, median line gigi tidak segaris. atas bergeser ke kanan (3 mm) dan bawah normal. 3. Maloklusi Angle klas II divisi 1, subdivisi tipe dental disertai malrelasi: ♦ overbite normal (3,5 mm ) ♦ overjet besar (8 mm) ♦ crossbite : ! 4 . , !45 dan malposisi gigi individual : ♦ labioversi : 1 ! 1 ♦ mesiolabioversi : 3! ♦ supraversi : !3 ♦ mesioversi : 6! ♦ rotasi :1 ! 1, 7! ♦ supraversi :5!, median line gigi rahang bawah bergeser ke kanan 1 mm , gigi 4! telah dicabut karena caries. 4. Maloklusi Angle klas III tipe dentoskeletal, dengan malrelasi : ♦ crossbite gigi anterior : 321 ! 123 , 321 ! 123 malposisi gigi individual : ♦ mesioversi dan rotasi : 4 ! 13 ♦ mesioversi ♦ labioversi : 5!, !4 , !5 , 321 ! 123 terdapat diastema diantara gigi 543 ! 345, gigi 7 ! telah dicabut . 5. Maloklusi Angle klas II divisi 1 tipe dental dengan malrelasi gigi : ♦ openbite gigi anterior: III 21 ! 123 3 21 ! 123 ♦ crossbite : 6! , 6! malposisi gigi individual : ♦ linguoversi 2!2 ♦ palatoversi 6 1 ♦ infraversi 3! ♦ labioversi 1 ! 1 gigi | 3 belum erupsi, prolonged retensi gigi V ! V , sisa akar gigi desidui IV ! V, persitensi gigi 54 ! 45 dan gigi 2 ! 2 berbentuk kerucut (peg shape) 54 ! 45 Dari contoh-contoh tersebut di atas di dalam merumuskan diagnosis itu secara sistematis ada beberapa tahapan yang harus diingat dan dicarikan datanya dari hasil pemeriksaan terdahulu : 1. Nyatakan Maloklusi Angle klas :………..(lihat relasi gigi molar pertama atas dan bawah) : • Klas I, II atau klas III • Divisi 1, 2 • Sub divisi • Tipe dental, skeletal atau dentoskeletal (dengan melihat analisis profil Simon) 14 2. Nyatakan kelaian relasi / malrelasi gigi lainnya yang ada pada data hasil pemeriksaan • Relasi gigi dalam arah vertikal : - openbite - edge to edge bite - shalowbite - overbite normal (2 – 4 mm) - deepbite - palatalbite - supraklusi - infraklusi • relasi gigi dalam arah anteroposterior dan lateral (fasiolingual) : - Overjet besar / berlebihan (> 4 mm) - Overjet normal (2 – 4 mm) - Overjet kecil (< 2 mm) - Oedge to edge bite ( 0 mm) - Crossbite (gigi anterior atau posterior) - Scissor bite 3. Nyatakan kelainan atau anomali posisi atau malposisi gigi individual yang ada : • labioversi atau bukoversi • linguoversi atau palatoversi • torsiversi atau rotasi • distoversi • mesioveri • supraversi • infraversi • transversi • aksiversi 15 • mesiolabioversi (kombinasi) 4. Nyatakan kelainan-kelainan lainnya yang masih ada seperti : • Diastemata • Median line gigi tidak segaris, bergeser dari posisi normal • Tidak ada gigi : telah dicabut, impaksi, agenese • Kelainan morfologi : gigi berbentuk kerucut, berbentuk pasak, atau mesiodens. • Prolonged retention atau persistensi • Premature extractie (pencabutan dini) • Adanya sisa akar yang tertinggal • Dan lain-lain. ⇒ Penentuan tipe maloklusi (dental, skeletal, atau dentoskeletal) dapat dilakukan dengan: a. Analisis profil klinis: ♦ Mengamati hubungan rahang atas terhadap rahang bawah langsung pada pasien dengan bantuan seutas benang yang diberi pemberat, pasien diamati dari lateral tegak lurus bidang sagital, sebagai acuan atau referensi dalam keadaan normal akan melewati permukaan labial gigi di daerah sepertiga bagian distal lebar mesiodistal gigi kaninus atas kanan dan kiri (Dalil Kaninus atau Simon Low) dan pada rahang bawah akan melewati daerah interdental gigi kaninus dan premolar pertama pada sisi distal kaninus bawah. ♦ Apabila bidang orbital pasien berada di distal posisi normal maka posisi maksila atau mandibula pasien protrusif dan bila ada di mesial posisi normal maksila atau mandibula retrusif. ♦ Posisi maksila dan madibula pasien dapat pula ditentukan dengan mengamati bagian depan maksila (Subnasale atau Sn) dan bagian depan 16 mandibula (Pogonion atau Pog) terhadap bidang yang melalui titik glabella tegak lurus FHP (G ⊥ FHP) ♦ Maksila normal : titik Sn berjarak 6 + 3 mm, protrusif >9 mm, retrusif < 3 mm ♦ Mandibula normal : titik Pog.berjarak 0 + 4 mm, proturusif > 4 mm, retrusif < 0 mm/ negatif. Gambar 1 : Posisi maksila dan mandibula terhadap bidang orbital (Dalil Simon) b. Analisis gnatostatik model : ♦ Model gigi dibuat dan dikonstruksi dengan alat Gnatostaat sehingga dapat mentransfer posisi bidang orbital, bidang oklusal sesuai dengan keadaan 17 pasien. Posisi bidang orbital pada model dapat ditentukan dengan membuat garis sesuai dengan posisi bidang orbital pasien, kedua sudut samping depan kanan dan kiri boksing model rahang atas tepat pada posisi bidang orbital pasien (garis Simon). ♦ Penentuan posisi maksila ditentukan dengan mengamati posisi sepertiga distal kaninus atas terhadap tepi lateral depan boksing (bidang orbital) ♦ Posisi mandibula dapat ditentukan dengan mengamati posisi interdental kaninus dan premolar pertama bawah terhadap tepi lateral depan boksing (bidang orbital). c. Analisis model studi: ♦ Posisi bidang orbital pada studi model dapat ditransfer dari hasil pengamatan langsung secara klinis seperti yang dilakukan di atas (a) kemudian ditandai pada permukaan labial atau bukal gigi pada model dan pada tepi lateral boksing kemudian model ditriming untuk membentuk sudut depan lateral boksing. ♦ Kemudian tentukan posisi maksila dan mandibula, dapat dilakukan dengan menetapkan posisi bidang orbital pasien : bila melewati daerah sepertiga distal permukaan labial gigi kaninus atas posisi maksila normal, bila berada didistalnya posisi maksila protrusif dan bila berada didepannya posisi maksila retrusif. ♦ Posisi mandibula ditetapkan dengan mengoklusikan model RA atau RB secara sentrik, amati posisi bidang orbital pasien pada gigi-gigi bawah, bila melewati daerah interdental gigi kaninus dan premolar pertama bawah tepat pada sisi distal gigi kaninus posisi mandibula normal, bila garis Simon (bidang orbital) berada di distalnya posisi madibula protrusif dan bila berada didepannya posisi mandibula retrusif. ♦ Bila posisi maksila dan mandibula kedua-duanya berada di pada posisi normal profil pasien ortognatik, bila kedua-duanya protrusif profil pasien bikmaksiler prognatism dan bila kedua-duanya retrusif profil pasien bimaksiler retrognatism. 18 ♦ Penentuan posisi garis Simon (bidang orbital) bisa salah bila pengamatan profil pasien dari samping tidak tepat tegak lurus terhadap bidang sagital pasien. ♦ Penentuan diagnosis bisa salah apabila posisi gigi kaninus atas malposisi, bila gigi kaninus malposisi posisi normalnya nanti bisa ditetapkan pada pembuatan lengkung ideal yaitu pada posisi garis Simon yang telah ditandai pada model seperti yang dilakukan di atas. d. Analisis foto profil : ♦ Dengan memakai garis tegak lurus bidang FHP melalui titik Glabela (G) sebagai referensi, posisi maksila (titik Subnasale atau Sn) dan mandibula (titik Pogonion atau Pog) ditetapkan terhadap garis referensi G ⊥ FHP: ♦ Maksila normal : titik Sn berjarak 6 + 3 mm, protrusif >9 mm, retrusif < 3 mm ♦ Mandibula normal : titik Pog.berjarak 0 + 4 mm, proturusif > 4 mm, retrusif < 0 mm atau negatif. e. Analisis Sefalometrik : ♦ Analisis Simon : dengan menarik garis tegak lurus FHP melalui titik orbital (Or) sampai memotong permukaan labial gigi kaninus atas pada sefalogram lateral (dalil Simon), kemudian posisi maksila dan madibula dapat ditentukan seperti tersebut di atas. ♦ Analisis kecembungan profil Subtelny : • Profill skeletal (sudut N-A-Pog) : Klas I : 174° , Klas II 178° , Klas III : 181° • Profil jaringan Lunak (sudut N-Sn-pog) : Klas I : 159° , Klas II 163° , Klas III : 168° • Profil total jaringan lunak (sudut N-No-pog) : Klas I : 133° , Klas II 133° , Klas III : 139° (N/n= Nasion, A= Subspinale, Sn = subnasale, No = puncak hidung, Pog = Pogonion) ♦ Analisis Steiner dengan mengukur besar : 19 • Sudut SNA (normal 82°) , >82° maksila protrusif , < 82° maksila retrusif • Sudut SNB (normal 80°) , > 80° mandibula protrusif, < 80° mandibula retrusif • Sudut ANB, bila titik A di depan titik B (normal rata-rata 2°): klas I skeletal atau ortognatik, bila titk A jauh didepan titik B (>>2° atau positif) : klas II skeletal atau retrognatik, bila titik A jauh di belakang titik B (<<2° atau negatif ) : klas III skeletal atau prognatik f. Dan lain-lain. Dengan cara tersebut di atas posisi rahang bawah dan rahang atas dalam hubungannya terhadap bidang referensi untuk menentukan tipe skeletalnya dapat ditetapkan : Apakah termasuk relasi skeletal klas I (Ortognatik), Klas II (Retrognatik) atau klas III (Prognatik). a. Pada Relasi skeletal klas I (Ortognatik) : ♦ Posisi maksila dan mandibula normal ♦ Jika posisi gigi terhadap masing-masing rahangnya semua normal (teratur rapi) maka relasi gigi molar pertama atas dan bawah klas I Angle (neutroklusi) dan relasi gigi-gigi lainnya terhadap antagonisnya normal maka kasus ini didiagnosis sebagai : Oklusi normal. ♦ Jika relasi gigi molar pertama klas I (neutroklusi) tetapi ada gigi lainnya yang malposisi atau malrelasi maka kasus ini didiagnosis sebagai maloklusi klas I Angle tipe dental. ♦ Jika relasi gigi molar pertama distoklusi baik disertai maupun tanpa disertai malposisi dan malrelasi gigi lainnya maka kasus ini didiagnosis sebagai maloklusi klas II Angle tipe dental. ♦ Jika maloklusi klas II Angle ini disertai dengan protrusif gigi anterior atas didiagnosis sebagai maloklusi klas I Angle divisi 1 tipe dental , dan jika 20 disertai dengan retrusif gigi anterior atas, didiagnosis sebagai maloklusi klas II Angle divisi 2 tipe dental ♦ Jika relasi gigi molar pertama mesioklusi baik disertai maupun tanpa disertai cross bite gigi anterior atau malposisi dan malrelasi gigi lainnya maka kasus ini didiagnosis sebagai maloklusi klas III Angle tipe dental. ♦ Jika relasi molar klas II atau klas III ini hanya satu sisi (unilateral) maka klasifikasi maloklusi dilengkapi dengan subdivisi b. Pada Relasi skeletal klas I I (Retrognatik) : ♦ Posisi maksila lebih ke depan (protrusif) dan atau posisi mandibula lebih ke belakang dari posisi normal (retrusif). ♦ Jika posisi gigi-gigi terhadap masing-masing rahangnya normal maka relasi gigi-gigi bawah terhadap gigi-gigi atas distoklusi karena gigi-gigi tersebut terletak pada rahang yang hubungannya retrognatik, hubungan gigi molar pertama atas terhadap gigi molar pertama bawah klas II, maka kasus ini didiagnosis sebagai : maloklusi klas II Angle tipe skeletal. ♦ Jika relasi klas II ini diikuti dengan malposisi gigi anterior berupa protrusif gigi anterior atas maka kasus ini didiagnosis sebagai : maloklousi klas II Angle divisi 1, dan jika gigi-gigi anterior atas dalam keadaan retrusif maka kasus ini adalah : maloklusi klas II Angle divisi 2. ♦ Jika posisi gigi molar pertama atas dan atau bawah tidak normal terhadap masing-masing rahangnya maka ada beberapa kemungkinan relasi gigi molar: ♦ Jika gigi molar pertama atas distoversi dan atau gigi molar pertama bawah mesioversi, dapat mengkompensasi deskrepansi hubungan rahang yang retrognatik maka relasi molar pertama menjadi neutroklusi, maka kasus ini diagnosis sebagai : maloklusi Angle klas I tipe dentoskletal. Jika malposisi gigi molar tersebut tidak dapat mengkompensasi diskrepansi hubungan rahannya maka relasi gigi molar tetap distoklusi maka kasus ini didiagnosis sebagai: maloklusi klas II Angle tipe dento skeletal. ♦ Jika malposisi gigi molar pertama atas mesioversi dan atau gigi molar pertama bawah distoversi maka hubungan gigi molar pertama atas dan 21 bawah akan semakin ekstrem ke arah maloklusi klas II Angle tipe dentoskeletal. c. Pada Relasi skeletal klas III (Prognatik) : ♦ Posisi maksila lebih ke belakang ( retrusif) dan atau posisi mandibula lebih ke depan terhadap posisi normalnya (protrusif). ♦ Jika posisi gigi-gigi terhadap masing-masing rahangnya normal, maka relasi gigi molar pertama atas dan bawah menjadi mesioklusi pada rahang yang prognatik sehingga kasus ini diagnosis sebagai maloklusi klas III Angle tipe skeletal. ♦ Jika posisi gigi terhadap masing-masing rahangnya tidak normal, maka dapat terjadi beberapa kemungkinan hubungan gigi molar pertama atas dan bawah : ♦ Jika posisi gigi molar pertama atas mesioklusi dan atau gigi molar pertama bawah distoklusi dapat mengkompensasi hubungan rahang yang prognatik maka relasi gigi molar pertama atas dan bawah menjadi neutroklusi maka kasus ini didiagnosis sebagai: maloklusi klas I Angle tipe dentoskeletal. Jika malposisi gigi molar tersebut tidak dapat mengkompensasi diskrepansi hubungan rahannya maka relasi gigi molar tetap mesioklusi maka kasus ini didiagnosis sebagai: maloklusi klas III Angle tipe dentokeletal. ♦ Jika malposisi gigi molar pertama atas distoversi dan atau gigi molar pertama bawah mesiooversi maka hubungan gigi molar pertama atas dan bawah akan semakin ekstrem ke arah maloklusi klas III Angle tipe dentoskeletal. ♦ Relasi rahang atas dan bawah keduanya tidak normal pada arah yang sama (Bimaksiler) : - Jika maksila dan madibula kedua-duanya pada posisi ke depan maka maloklusi ini disebut sebagai tipe prognatik bimaksiler (bimaxillary prognatism). 22 - Jika maksila dan madibula kedua-duanya pada posisi ke belakang maka maloklusi ini disebut sebagai tipe retrognatik bimaksiler (bimaxillary retrognatism). ALUR HUBUNGAN PEMERIKSAAN, PENENTUAN DIAGNOSIS DAN PERAWATAN ORTODONTIK ` Pemeriksaan klinis Analisis Model Studi KLASIFIKASI/DIAGNOSIS SEMENTARA Data Diagnostik Tambahan: 1. 2. 3. 4 5. 6. 7. 8. 9. Analisis Fotometri Analisis Ro. Foto Analisis Sefalometri Konsul ke Bedah Mulut Konsul ke Periodontologi Konsul ke Konservasi Konsul ke THT Konsul Ke Kardiologi Pemerilsaan DIAGNOSIS Rencana Perawatan Perawatan Evaluasi Hasil Perawatan Selanjutnya Modifikasi Rencana Perawatan Hasil akhir 23 II. ETIOLOGI MALOKLUSI a. PENDAHULUAN Kebanyakan dari maloklusi yang memerlukan perawatan ortodonsia disebabkan oleh karena dua kemungkinan : 1. Perbedaan antara ukuran gigi-gigi dan ukuran rahang yang menampung gigi tersebut. 2. Pola tulang muka yang tidak selaras. Untuk mempermudah mengetahui etiologi dari maloklusi dibuat klasifikasi dari penyebab kelainan maloklusi tersebut. Terdapat dua pembagian pokok klasifikasi maloklusi : 1. Faktor Ekstrinsik atau disebut faktor sistemik atau faktor umum 2. Faktor Intrinsik atau faktor lokal b. PENYAJIAN 1. Faktor Ekstrinsik a. Keturunan (hereditair) b. Kelainan bawaan (kongenital) misal : sumbing, tortikollis, kleidokranial diostosis, cerebral plasi, sifilis dan sebagainya. c. Pengaruh lingkungan • Prenatal, misalnya : trauma, diet maternal, metabolisme maternal dan sebagainya. • Postnatal, misalnya : luka kelahiran, cerebal palsi, luka TMJ dan sebagainya. d. Predisposisi ganguan metabolisme dan penyakit • Gangguan keseimbangan endokrin • Gangguan metabolisme • Penyakit infeksi e. Kekurangan nutrisi atau gisi 24 f. Kebiasaan jelek (bad habit) dan kelainan atau penyimpangan fungsi. • Cara menetek yang salah • Mengigit jari atau ibu jari • Menekan atau mengigit lidah • Mengigit bibir atau kuku • Cara penelanan yang salah • Kelainan bicara • Gangguan pernapasan (bernafas melalui mulut dan sebagainya) • Pembesaran tonsil dan adenoid • Psikkogeniktik dan bruksisem g. Posture tubuh h. Trauma dan kecelakaan 2. Faktor Intrinsik : a. Kelainan jumlah gigi b. Kelainan ukuran gigi c. Kelainan bentuk d. Kelainan frenulum labii e. Prematur los f. Prolong retensi g. Kelambatan tumbuh gigi tetap h. Kelainan jalannya erupsi gigi i. Ankilosis j. Karies gigi k. Restorasi gigi yang tidak baik FAKTOR EKSTRINSIK a. Faktor keturunan atau genetik Faktor keturunan atau genetik adalah sifat genetik yang diturunkan dari orang tuanya atau generasi sebelumnya. Sebagai contoh adalah ciri-ciri khusus suatu ras atau bangsa misalnya bentuk kepala atau profil muka sangat dipengaruhi 25 oleh ras atau suku induk dari individu tersebut yang diturunkan dari kedua orang tuanya. Bangsa yang merupakan prcampuran dari bermacam-macam ras atau suku akan dijumpai banyak maloklusi b. Kelainan bawaan Kelainan bawaan kebanyakan sangat erat hubungannya dengan faktor keturunan misalnya sumbing atau cleft : bibir sumbing atau hare lip, celah langit-langit (cleft palate). • Tortikolis : adanya kelainan dari otot-otot daerah leher sehingga tidak dapat tegak mengkibatkan asimetri muka. • Kleidokranial disostosis adalah tidak adanya tulang klavikula baik sebagian atau seluruhnya, unlateral atau bilateral, keadaan ini diikuti dengan terlambatnya penutupan sutura kepala, rahang atas retrusi dan rahang bawah protrusi. • Serebral palsi adalah adanya kelumpuhan atau gangguan koordinasi otot yang disebabkan karena luka didalam kepala yang pada umumnya sebagai akibat kecelakaan pada waktu kelahiran. Adanya gangguan fungsi pada otot-otot pengunyahan, penelanan, pernafasan dan bicara akan mengakibatkan oklusi gigi tidak normal. • Sifilis : akibat penyakit sifilis yang diderita orang tua akan menyebabkan terjadinya kelainan bentuk dan malposisi gigi dari bayi yang dilahirkan c. Gangguan keseimbangan endokrine Misal : gangguan parathyroid, adanya hipothiroid akan menyebabkan kritinisme dan resorpsi yang tidak normal sehingga menyebabkan erupsi lambat dari gigi tetap. d. Kekurangan nutrisi dan penyakit Misal : Rickets (kekurangan vitamin D), Scorbut (kekurangan vitamin C), beri-beri (kekurang vitamin B1) mengakibatkan maloklusi yang hebat. Ciri-ciri faktor oklusi yang diturunkan (herediter) 26 1. Kedudukan dan penyesuaian antara otot-otot perioral dengan bentuk dan ukuran lidah mempengaruhi keseimbangan oklusi (oklusi normal). Adanya penyesuaian antara bentuk muka, bentuk dan ukuran rahang dan lidah. 2. Sifat-sifat mukosa, ukuran, bentuk lidah dan frenulum. Sifat mukosa : keras, lunak, kencang atau lembek mempengaruhi erupsi gigi. Frenulum labii dapat mengakibatkan celah gigi dan mempengaruhi kedudukan bibir. Frenulum buccinator mengakibatkan rotasi gigi. 3. Ukuran gigi-gigi dan mengakibatkan gigi lebar berjejal serta penjang atau bercelah. lengkung Misalnya rahang dapat makrodontia, mikrodomtia. Lebar dan panjang lengkung rahang, penyesuaian antara rahang atas dan rahang bawah mengakibatkan terjadinya mandibuler retrusi atau prognatism. FAKTOR INTRINSIK ATAU LOKAL a. Kelainan jumlah gigi 1. Super numerary gigi (gigi kelebihan) Lebih banyak terjadi pada rahang atas, kedudukan dekat midline (garis mediana) sebelah palatival gigi seri rahang atas disebut mesiodens. Bentuknya biasanya konus kadang-kadang bersatu (fused) dengan gigi pertama kanan atau kiri, jumlahnya pada umumnya sebuah tapi kadangkadang sepasang. Gigi supernumery kadang-kadang tidak tumbuh (terpendam atau impected) sehingga menghalangi tumbuhnya gigi tetap didekatnya atau terjadi kesalahan letak (malposisi). Oleh karena itu pada penderita yang mengalami kelambatan atau kelainan tumbuh dari gigi seri rahang atas perlu dilakukan Ro photo. 2. Agenese dapat terjadi bilateral atau unilateral atau kadang-kadang unilateral dengan partial agenese pada sisi yang lain 27 Lebih banyak terjadi dari pada gigi supernumerary. Dapat terjadi pada rahang atas maupun rahang bawah tetapi lebih sering pada rahang bawah. Urutan kemungkinan terjadi kekurangan gigi adalah sebagai berikut : - Gigi seri II rahang atas ( I 2 ) - Gigi geraham kecil II rahang bawah ( P 2 ) - Gigi geraham III rahang atas dan rahang bawah - Gigi geraham kecil II ( P 2 ) rahang bawah - Pada kelainan jumlah gigi kadang diikuti dengan adanya kelainan bentuk atau ukuran gigi. Misalnya bentuk pasak dari gigi seri II (peg shaps tooth). b. Kelainan ukuran gigi Salah satu penyebab utama terjadinya malposisi adalah gigi sendiri yaitu ukuran gigi tidak sesuai dengan ukuran rahang, ukuran gigi lebih lebar atau sempit dibandingkan dengan lebara lengkung rahang sehingga meyebabkan crowded atau spasing. c. Kelainan bentuk gigi Kelainan bentuk gigi yang banyak dijumpai adalah adanya peg teeth ( bentuk pasak) atau gigi bersatu (fused). Juga perubahan bentuk gigi akibat proses atrisi (karena fungsi) besar pengaruhnya terhadap terjadinya maloklusi, terutama pada gigi sulung (desidui). d. Kelainan frenulum labii e. Premature los Fungsi gigi sulung (desidui) adalah : pengunyahan, bicara, estetis Juga yang terutama adalah menyediakan ruang untuk gigi tetap, membantu mempertahankan tinggi oklusal gigi-gigi lawan (antagonis), membimbing erupsi gigi tetap dengan proses resopsi. Akibat premature los fungsi tersebut akan terganggu atau hilang sehingga dapat mengkibatkan terjadinya malposisi atau maloklusi. f. Kelambatan tumbuh gigi tetap (delayed eruption) Dapat disebabkan karena adanya gigi supernumerary, sisa akar gigi sulung atau karena jaringan mucosa yang terlalu kuat atau keras sehingga perlu dilakukan 28 eksisi. Kadang-kadang hilang terlalu awal (premature los) gigi sulung akan mempercepat erupsinya gigi tetap menyebabkan terjadinya penulangan penggantinya, yang tetapi dapat berlebihan sehingga pula perlu pembukaan pada waktu gigi permanen akan erupsi, sehingga gigi tetap penggantinya dapat dicegah. g. Kelainan jalannya erupsi gigi Merupakan akibat lebih lanjut dari gangguan lain. Misalnya adanya pola herediter dari gigi berjejal yang parah akibat tidak seimbangnya lebar dan panjang lengkung rahang dengan elemen gigi yaitu adanya : persistensi atau retensi, Supernumerary, pengerasan tulang, tekanan-tekanan mekanis : pencabutan, habit atau tekanan ortodonsi, faktor-faktor idiopatik (tidak diketahui) h. Ankilosis Ankilosis atau ankilosis sebagian sering terjadi pada umur 6 – 12 tahun. Ankilosis terjadi oleh karena robeknya bagian dari membrana periodontal sehingga lapisan tulang bersatu dengan laminadura dan cemen. Ankilosis dapat juga disebabkan oleh karena gangguan endokrin atau penyakitpenyakit kongenital (misal : kleidokranial disostosis yang mempunyai predisposisi terjadi ankilosis, kecelakaan atau trauma). i. Karies gigi Adanya karies terutama pada bagian aproksimal dapat mengakibatkan terjadinya pemendekan lengkung gigi sedang karies beroklusal mempengaruhi vertikal dimensi. Adanya keries gigi pada gigi sulung mengakibatkan berkurangnya tekanan pengunyahan yang dilanjutkan ke tulang rahang, dapat mengakibatkan rangsangan pertumbuhan rahang berkurang sehingga pertumbuhan rahang kurang sempurna. j. Restorasi gigi yang tidak baik Terutama tumpatan aproksimal dapat menyebabkan gigi elongasi, sedangkan tumpatan oklusal dapat menyebabkan gigi ektrusi atau rotasi. III. RENCANA PERAWATAN 29 a. PENDAHULUAN Diagnosis ortodonsi dianggap lengkap bila daftar problem pasien diketahui dan antara problem patologi dan perkembangan dipisahkan . Tujuan rencana perawatan adalah mendisain strategi operator dengan bijaksana dan hati-hati dalam menggunakan keputusannya yang digunakan untuk menyelesaikan problem tersebut dengan memaksimalkan manfaat bagi pasien dan meminimalkan beaya dan risiko. Pathology (caries, periodontal) Problem list = diagnosis control before orthodontic treatment evaluate Orthodontic A A (developmental) B B posible Problems C C solutions Priority Order interaction compromise cost/ benefit other factors Patient informed -parent consult alterna tif consent planseffectiveness patiens in put Tx plan concept efficiency Tx plan detail b. PENYAJIAN 30 RANGKAIAN DARI TAHAP RENCANA PERAWATAN ORTODONTIK Hasil diagnosis disusun dalam daftar yang lengkap problem pasien. Meskipun ada beberapa problem patologi yang tercatat, tetapi jika 5 karakteristik dari maloklusi digunakan di dalam struktur daftar problem, maka akan didapat maksimum 5 problem besar dari perkembangan , meskipun rata-rata pasien tidak mempunyai sebanyak itu. Jika daftar problem tentang perkembangan dijumpai dihubungkan dengan maloklusi seharusnya dibuat skema klasifikasinya untuk mempermudah proses rencana perawatan. Mempunyai problem yang banyak pada daftar problem akan membingungkan. Langkah pertama dalam merencanakan perawatan ortodontik adalah memisahkan problem patologi dari problem ortodontik (perkembangan), maka proses rencana perawatan dapat diatur sebagai berikut. 1. problem ortodontik dijadikan prioritas 2. catat kemungkinan perawatan dengan lengkap 3. evaluasi kemungkinan solusinya, pertimbangkan factor-faktor yang berpengaruh 4. jelaskan konsep rencana perawatan dengan pasien dan keluarganya 5. buat rencana perawatan secara detail dan tahap-tahapnya Prinsip terpenting adalah bahwa pasien tidak harus dalam keadaan kesehatan yang sempurna jika mendapat perawatan ortodontik. Tetapi jika ada penyakit atau patologi yang menyertainya harus sudah dalam pengawasan. Artinya penyakit kronik atau akut yang mungkin ada harus dihentikan. Untuk kasus ini problem patologi harus di rawat sebelum perawatan ortodontik dimulai. Pada rangkaian perawatan , perawatan ortodontik dilakukan sesudah mengontrol keadaan penyakit sistemik, perawatan periodontal dan pembuatan restorasi gigi. Contoh kasus : pasien dengan problem patologi ada inflamasi flap pada molar dua bawah, rencana perawatannya adalah melakukan irigasi dan observasi dengan menjaga oral hygiene . Juga adanya attached gingival yang minimal pada anterior 31 bawah , rencana perawatannya adalah hanya diobservasi selama tahap perawatan ortodontik Patologi problem: Inflamasi flap diatas molar dua bawah ------ irigasi, observasi Attachment gingival yang minimal pada anterior bawah ------- tidak dirawat dulu , tetapi diobservasi DAFTAR PRIORITAS PROBLEM ORTODONTIK Problem ortodontik pasien dijadikan prioritas dalam membuat tahap proses rencana perawatan, dengan maksud memaksimalkan manfaat bagi pasien, karena itu problem harus diidentifikasi dan rencana perawatan harus difokuskan pada keluhan pasien. Sebagai contoh, jika pasien mengeluh adanya protrusi dan gigi insisivus yang tidak teratur, maka harus memprioritaskan keluhannya walaupun ada gigi molar yang hilang dan memerlukan perawatan prostodontik. Sebaliknya jika protrusi dan gigi yang tidak teratur bukan merupakan keluhan pasien tetapi ada problem fungsi oklusal, maka mengganti gigi yang hilang merupakan prioritas perawatan. Kesukaran selalu akan dihadapi oleh operator untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan. Sebagai contoh pasien dengan keluhan protrusi dagu dan mempunyai maloklusi klas III. Jika operator memfokuskan perhatiannya kepada problem maloklusi klas III dan membuat gigi-gigi menjadi oklusi yang baik dan mengacuhkan kondisi dagunya, kelihatannya pasien akan puas dengan hasil perawatan, tetapi rencana perawatan yang dibuat tidak sesuai dengan problem pasien. Contoh kasus : pasien dengan deep overbite yang besar, skeletal dan dental., ada crowding derajat sedang pada maksila dan ringan pada mandibula. Relasi molar ½ tonjol klas II. Pada pasien ini koreksi elongasi insisivus adalah kunci pertama perawatan Daftar prioritas problem 1. deepbite yang dalam, skeletal/ dental 2. crowding maksila moderat dan mandibula ringan 3. klas II 1/2 tonjol 32 KEMUNGKINAN PERAWATAN Tahap selanjutnya dari rencana perawatan adalah mendaftar kemungkinan perawatan dari tiap problem dimulai dari prioritas tertinggi. Pada tahap ini tiap problem dipertimbangakn secara individual dan pada saat itu kemungkinan solusinya dibuat seakan-akan problem pasien hanya satu. Pertimbangkan kemungkinan solusi bagi pasien sebagai hal yang pertama, pada kasus ini overbite sangat besar dan fasial pendek dengan super erupsi dari gigi insisivus maksila dan mandibula. Hal ini memerlukan koreksi curve of Spee pada lengkung bawah dan koreksi kurve pada lengkung atas. Ada 3 jalan yang dapat dilakukan. 1. absolut intrusi insisivus atas dan bawah, dengan menggerakkan apeks akar mendekati hidung dan tepi bawah mandibula, 2. relatif intrusi insisivus dengan mempertahankan insisivus selagi mandibula tumbuh dan gigi posterior erupsi, 3. ekstrusi gigi posterior yang memungkinkan mandibula rotasi ke bawah dan ke belakang Relatif intrusi dari insisivus dan ekstrusi dari gigi-gigi posterior pada batasan gerakan gigi adalah sama. Perbedaannya adalah apakah pertumbuhan vertical ramus mengko mpensasi bertambah tingginya molar ( apakah mandibular plane angle dipertahankan (relatif intrusi) atau menambah rotasi mandibula ke bawah dan ke belakang (ekstrusi). Pada usia 17 tahun pertumbuhan vertical sudah tidak dapat diharapkan atau hanya terjadi sedikit, maka absolut intrusi atau ekstrusi adalah kemungkinannya. Pada pertumbuhan yang telah berhenti, mendatarkan (leveling) lengkung dengan ekstrusi gigi-gigi posterior akan mengakibatkan rotasi mandibula ke bawah dan ke belakang terutama pada klas II yang hal ini tidak diharapkan terjadi pada pasien. Maka intrusi adalah solusi yang 33 terbaik untuk memperbaiki deep overbite meskipun akan menimbulkan perawatan yang kompleks. Problem kedua adalah crowding gigi insisivus yang berat pada lengkung atas dan ringan pada lengkung bawah. Untuk menentukan apakah akan dilakukan ekspansi rahang atau ekstraksi premolar di pertimbangkan atas keadaan posisi akhir insisivus . Pasien ini mempunyai hidung dan dagu yang maju, sehingga estetik akan lebih baik bila insisivus lebih maju. Secara estetik akan tidak menguntungkan bila dilakukan retraksi insisivus karena akan menyebabkan hidung nampak besar, tetapi jika ekstraksi tetap akan dilakukan maka penutupan ruang dilakukan dengan cara memajukan gigi posterior ke depan. Anchorage untuk mengintrusi gigi anterior akan tidak sesuai dengan pola penutupan ruang ini. Oleh karena itu jika intrusi insisivus merupakan pilihan yang terbaik , maka ekspansi lengkung juga harus dipertimbangkan. Problem ketiga adalah tendensi klas II, yang dapat diperbaiki dengan pertumbuhan mandibula, tetapi pasien ini telah selesai masa pertumbuhannya. Karena itu pemakaian elastik klas II yang menarik lengkung mandibula ke depan dapat dipertimbangkan walaupun elastik ini cenderung menyebabkan ekstrusi molar bawah dan dapat merotasi mandibula kebawah dan kedepan, karenanya pemakaiannya harus hati-hati. Kemungkinan solusi problem Deep overbite, skeletal/ dental---- elongasi gigi posterior, mempertahankan insisivus: - continuous arch wite - intrusi relatif ( sesuai pertumbuhan vertical) - ekstrusi ( akibatnya mandibula rotasi ke bawah –kebelakang) intrusi insisivus dengan elongasi minimal molar - segmented arch wire - intrusi absolut ( tanpa mempertimbangakn pertumbuhan ) crowding insisivus : maksila moderate, mandibula ringan --- ekspansi kedua lengkung - mengakibatkan insisivus maju ekstraksi premolar satu atas - mengakibatkan molar atas maju ekstraksi premolar satu atas, premolar dua bawah 34 - dapat meretraksi insisivus kedua lengkung yang tak diharapkan tendensi klas II pertumbuhan mandibula yang diharapkan ???? FAKTOR-FAKTOR DALAM MENGEVALUASI KEMUNGKINAN PERAWATAN Ada 4 faktor tambahan yang relevan yang harus dipertimbangkan: 1. Interaksi antar kemungkinan solusi Interaksi antar kemungkinan solusi dari berbagai problem pasien akan lebih mudah dilihat jika kemungkinannya didaftar, seperti pada kasus diatas akan lebih jelas jika tiap pasien kemungkinan solusinya menjadi problem yang diprioritaskan akan juga mensolusi problem yang lainnya Pada kasus diatas yang penting diperhatikan adalah adanya hubungan antara perubahan vertical dan horizontal dari posisi mandibula . Bayangkan jika pada kondisi yang sebaliknya yaitu adanya open bite, sering kali masalahnya terjadi tidak pada pengurangan erupsi dari insisivus tetapi akibat erupsi yang berlebihan pada gigi posterior dan terjadinya mandibula yang rotasi kebawah dan kebelakang. Karenanya pada keadaan ini pemakaian elastik vertical untuk mengelongasi gigi anterior bukan merupakan solusinya. Perawatan harus ditujukan untuk depresi elongasi gigi posterior , atau mencegahnya erupsi selagi bagian lain tumbuh. Hal ini akan membuat mandibula rotasi ke atas bersama gigi insisivus, walaupun jika mandibula rotasi ke atas juga akan maju ke depan dan akan menjadi baik bila pasien mempunyai maloklusi klas II pada awalnya , tetapi akan menjadi jelek bila pasien mempunyai maloklusi klas III Interaksi lain yang penting adalah hubungan antara insisivus yang protrusi dan penentuan ekstraksi dan ekspansi. Ekspansi lengkung untuk memperbaiki gigi yang crowding dengan arah transversal akan cenderung 35 membuat insisivus lebih protrusif. Pada keadaan ini kemungkinan estetik akan lebih menguntungkan, tetapi gigi-gigi yang teratur tersebut tidak akan stabil dibandingkan jika gigi insisivus diretraksi. 2. Kompromi Pada pasien dengan problem yang bermacam-macam tidak mungkin diselesaikan semuanya. Karenanya harus dilakukan kompromi prioritas dari daftar problem. Tujuan perawatan ortodontik adalah mendapatkan oklusi yang ideal, dengan estetik fasial yang ideal, dan hasil yang stabil dan sering kali sukar untuk mencapai ketiga-tiganya. Meskipun oklusi dental didambakan tetapi tidak semua pasien dapat menerima perlakuan ini. Kadang-kadang oklusi ideal dirubah dengan ekstraksi untuk mencapai estetik yang baik dan stabil. 3. Beaya dan risiko Hubungan antara kesulitan perawatan dan manfaat perawatan harus juga dipertimbangkan. Kesulitan untuk menentukan risiko dan beaya tidak hanya tergantung pada soal keuangan tetapi juga kooperasi , kenyamanan, waktu, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh pasien dengan openbite, untuk mengurangi tinggi fasial jika dilakukan operasi rahang akan membutuhkan banyak biaya dan risikonya besar dibandingkan jika digunakan elastik untuk mengelongasi insisivus atau dengan mengurangi oklusal gigi posterior yang kedua cara tersebut dilakukan untuk mengurangi tinggi gigitan. 4. Pertimbangan lain Penting untuk memberikan pertimbangan perawatan pada tiap individu pasien. Sebagai contoh apakah waktu perawatan diminimalkan sehubungan dengan adanya penyakit periodontal? Haruskah tahap perawatan ditangguhkan karena tidak pastinya pola pertumbuhan ? MENDAPATKAN IZIN INFORMASI (INFORMED CONSENT) 36 Dokter harus selalu menganalisa situasi pasien sehingga dapat menentukan perawatan yang terbaik dan sesuai dengan permintaan pasien. Diskusi dengan pasien dan keluarganya seharusnya dilakukan dengan rutin untuk membicarakan keuntungan dan kerugian dari macam perawatan. Interaksi kemungkinan perawatan Pada masa pertumbuhan telah selesai, penambahan tinggi fasial akan mengakibatkan mandibula dan kebelakang, membuat defisiensi mandibula makin parah - ekspansi lengkung akan mengakibatkan insisivus maju, memperbaiki bibir tetapi membuat overjet lebih besar - ekstraksi pada lengkung akan mengurangi dukungan pada bibir dan membuat hidung dan dagu lebih maju - Elastik Klas II cenderung akan mengelongasi molar bawah dan membuat mandibula rotasi kebawah dan kebelakang Pertimbangan lain dari rencana perawatan: - hidung relatif besar dan dagu maju - pada masa maturitas tidak menggantungkan pada pertumbuhan - pasien dimotivasi supaya kooperasi baik Beberapa situasi spesifik sering terjadi pada ortodontik terutama pada penentuan final rencana perawatan antara perawatan dengan ekstraksi dan ekspansi. Sebagai contoh adanya kerugian jika gigi-gigi diekstraksi , dan keuntungan pada stabilitas hasil yang yang lebih baik terhadap estetik fasial. Problem lain yang sering ada , pada kasus maloklusi Klas II pada awal remaja. Ada 2 aspek yang harus didiskusikan yaitu tentang keuntungan perawatan awal dan menunggu sampai remaja Walaupun pada beberapa pasien pemilihan waktu perawatan tidak akan berpengaruh terhadap hasil perawatan. Pada kasus maloklusi yang melibatkan factor skeletal, diskusi harus dilakukan untuk merancanakan macam perawatan , apakah memerlukan bedah orto atau tidak. Sebagai contoh adanya fungsi rahang yang akan lebih baik dengan dilakukannya pergerakan gigi insisivus, dibandingkan dengan fungsi dengan rahang pada posisi yang benar padahal estetik fasial akan lebih baik jika hubungan rahang benar. Risiko - perawatan ortodontik ketidak nyamanan pada pemakaian alat dekalsifikasi pada higieni mulut jelek resopsi akar degenerasi pulpa pada gigi yang trauma gigi relaps adanya disproporsi pertumbuhan rahang problem tmj penentuan waktu perawatan yang bervariasi 37 DETAIL RENCANA PERAWATAN Pada rencana perawatan kasus Klas II yang akan dirawat dengan alat fungsional sehubungan dengan adanya modifikasi pertumbuhan akan melibatkan mekanoterapi yang digunakan. Mekanoterapi dapat berupa bionator dengan memajukan mandibula 4 mm, insisivus mandibula ditutupi, gigi-gigi posterior mandibula dibiarkan erupsi, dan gigi-gigi maksila diblok secara vertical. Pemilihan prosedur perawatan harus memenuhi kriteria efektif dalam mencapai hasil yang diharapkan dan efisien dalam waktu perawatan. Sebagai contoh jika rencana perawtan adalah mengekspansi lengkung maksila yang sempit, kemungkinan dapat dilakukan dengan spring pada alat removable, ekspansi lengkung lingual Rencana perawatan final(tanpa ekstraksi) Konsep perawatan: - koreksi overbite dengan intrusi insisivus - koreksi crowding dengan ekspansi lengkung - meminimumkan mandibula untuk rotasi ke bawah & belakang Mekanoterapi - molar band, bonding gigi yg lain, maxillary transpalatal lingual arch - mengatur gigi-gigi anterior, segmen posterior harus stabil - intrusi insisivus, pemakaian segmented arch mechanics - elastik klas II untuk mengoreksi hubungan anteroposterior Retensi : pertahankan gigi-gigi, pembukaan gigitan, maksila dengan removable, mandibula dengan fixed/ removable 38 IV. RUMUSAN PERAWATAN ORTODONTIK a. PENDAHULUAN INFORMASI LATAR BELAKANG 1. Riwayat pribadi • usia, jenis kelamin, tempat tinggal • alas an kedatangan ke dokter gigi • perawatan gigi yang pernah dijalani • sikapnya terhadap perawatan • kebersihan mulut dan kebiasaan diet • kebiasaan mengisap jari atau ibu jari 2. Kesehatan umum • riwayat kesehatan yang relevan • kondisi kesehatan dewasa ini b. PENYAJIAN PEMERIKSAAN PADA PASIEN 1. perkembangan umum berkaitan dengan usia 2. cacat bicara 3. kondisi rongga mulut • kebersihan mulut • kondisi gingival • membran mukosa mulut 39 • kondisi gigi - gigi 4. bentuk dan fungsi otot-otot mulut • bibir hubungan vertical hubungan horizontal posisi waktu istirahat berkaitan dngan gigi-gigi fungsi selama menelan dan bicara • lidah ukuran posisi sewaktu istirahat fungsi selama menelan dan bicara • ringkasan efek dari otot-otot mulut terhadap oklusi dan perawatan 5. hubungan skeletal- bentuk kranio fasial • penilaian klinis • penilaian radiology • ringkasan efek hubungan skeletal terhadap oklusi dan perawatan 6. posisi dan oklusi gigi-gigi • gigi-gigi yang ada, erupsi dan belum erupsi • gigi-gigi yang tidak ada , gigi-gigi supernumerary • hubungan gigi-gigi anteroposterior, gigi-gigi bukal dan gigigigi insisivus • onklinasi insisivus , overjet dan overbite • hubungan lateral dan gigitan terbalik • malposisi gigi setempat • kontak awal dan pergeseran 7. ukuran gigi-gigi dalam hubungannya dengan ukuran rahang • penilaian potensi atau keadaan berjejal yang sudah terjadi dan keadaan renggang 40 ETIOLOGI KONDISI OKLUSAL Ringkasan dari faktor-faktor etiologi dan efeknya terhadap perawatan korekstif • faktor-faktor muscular • faktor skeletal • ukuran gigi-gigi • faktor-faktor local TUJUAN PERAWATAN ORTODONSI Garis besar tujuan RENCANA PERAWATAN • tipe dan jumlah pergerakan gigi • ruang yang diperlukan • pencabutan gigi-gigi yang dipilih, waktu • pesawat tahap-tahap perawatan • retensi V. BIOMEKANIKA ORTODONTIK a. PENDAHULUAN Biomekanika ortodontik mempelajari efek biologis jaringan pendukung gigi akibat dari perawatan ortodontik secara mekanik dan beberapa macam hal yang berhubungan dengan kekuatan mekanik. Diantaranya adalah : 1. Reaksi jaringan pendukung gigi • Reaksi sel • Pergerakan gigi • Resorpsi tulang alveolus • Aposisi tulang alveolus • Perubahan pada serabut-serabut periodontium • Remodeling sekunder 41 • Keadaan umum 2. Kekuatan ortodontik • Macam-macam sistim pemberian kekuatan • Macam-macam gerakan gigi • Sistim penjangkaran (Anchorage) b. PENYAJIAN 1. REAKSI JARINGAN PENDUKUNG GIGI REAKSI SEL Periodontium adalah jaringan penyangga gigi, fungsinya adalah sebagai peredam kejut terhadap tekanan pengunyahan. Gigi dikatakan dalam keadaan seimbang bilamana semua resultan dan momen gaya dari tekanan pengunyahan sama dengan 0 (nol). Jika semua tekanan yang mengenai mahkota gigi menimbulkan keseimbangan, maka jaringan periodontium tidak perlu mengadakan reaksi untuk mencapai keseimbangan pada mahkota gigi maka keseimbangan dicapai dengan kemampuan reaktif periodontium, proses untuk mencapai keseimbangan ini berlangsung terus menerus selama hidup secara fisiologi . Alat ortodontik adalah alat untuk menimbulkan kekuatan mekanik ke periodontium, agar gigi bergerak sesuai dengan yang dikehendaki. Terlihat ada proses biologis antara kekuatan mekanik dengan bergeraknya gigi. Perawatan ortodontik aktif pada dasarnya adalah adanya kemampuan jaringan periodontium untuk mengadakan remodeling. Prinsipnya adalah bahwa aktivasi sel yang melakukan remodeling menyebabkan gigi berpindah tempat, sedangkan kekuatan mekanik adalah merupakan rangsangan yang mengaktifkan sel tersebut. Kekuatan mekanik dipakai untuk menggerakan gigi ke posisinya yang baru karena kemampuannya untuk membangkitkan aktivasi sel di dalam periodontium secara lokal. Mekanisme yang menyangkut aktivasi sel oleh kekuatan mekanis sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, tetapi 42 bukti-bukti menunjukkan bahwa aliran listrik akan timbul di dalam jaringan periodontium yang tertekan. FENOMENA ADAPTASI BENTUK TULANG HUKUM WOLF : Tulang sewaktu-waktu membentuk dan merubah dirinya oleh karena tekanan, bertambah atau berkurang massanya untuk mengimbangi tekanan tersebut. Potensial listrik yang timbul akibat tekanan disebut PIEZOELEKTRIK. Aliran listrik itu diduga akan memberi muatan kepada suatu makromolekul untuk berinteraksi dengan suatu reseptor pada dinding sel, sehingga sel yang berperan dalam proses remodeling akan bereaksi. Fenomena biolobis pada gerakan gigi secara ortodontik meliputi : 1. Stimulus (rangsangan/aksi) 2. Transducer 3. Respon (jawaban/reksi) STIMULUS Kekuatan ortodontik (energi mekanik) TRANSDUCER Diubah menjadi energi listrik RESPON Remodeling tulang Gambar 1 : Fenomena biologis gerakan gigi PERGERAKAN GIGI Bila kekuatan dikenakan pada gigi, maka akan timbul daerah yang tertekan dan daerah yang tertarik. Daerah yang tertekan tulang diresorpsi; daerah yang tertarik tulang akan diaposisi. Daerah yang tertekan akan terjadi sesuai dengan arah kekuatan yang dikenakan, kekuatan akan menekan gigi ke dinding tulang alveolus dan 43 membrana periodontalis akan terjepit diantara gigi dan dinding alveolus, dalam waktu singkat akan terjadi resorpsi tulang di daerah itu. Daerah yang berlawanan, gigi akan menjauhi dinding alveolus. Melebarnya ruang membrana periodontalis akan menimbulkan tarikan di daerah itu dan terjadi aposisi tulang. Proses remodeling tulang dirangsang oleh pemberian kekuatan pada gigi, menyebabkan gigi bergerak dan integritas tulang alveolus tetap terpelihara. Gigi akan bergerak dalam dua tahap : 1. Segera setelah pemberian kekuatan, gigi akan bergerak baik oleh karena penekanan pada membrana periodontalis maupun oleh karena elastisitas tulang yang akan membengkok sedikit oleh tekanan. 2. Setelah periode diam, selanjutnya gigi akan bergerak searah pemberian tekanan oleh karena adanya resorpsi tulang alveolus. Beberapa pertanyaan mungkin timbul : • Bagaimana proses remodeling itu terjadi ? • Dimana hal itu terjadi ? • Faktor apa saja yang ikut mengontrol respon tersebut ? Proses remodeling dilakukan oleh osteocyti. Yang terutama adalah • Osteoclast • Ostoblast : Sel-sel tersebut umumnya berasal dari dalam membrana periodontalis, ada yang mengatakan bahwa sel-sel tersebut berasal dari pembuluh darah. Mekanisme permulaan tentunya harus ada rangsangan yang mampu merangsang osteoblast dan osteoclast menjadi aktif. Untuk aktivitasnya diperlukan banyak energi, sehingga dalam selnya banyak mengandung mitochondria. Dengan demikian dibutuhkan sistem vaskularisasi yang cukup dan sumber sel yang potensial dan dapat diaktifkan dengan cepat. Membrana periodontalis terletak diantara gigi dan tulang alveolus. Tekanan yang mengenai gigi akan menjepit membrana periodontalis. Tekanan yang kuat akan menyebabkan pembuluh darah tersumbat. 44 Tersumbatnya pembuluh darah akan menyebabkan tidak aktifnya komponen sel-sel dalam membrana periodontalis dan mungkin akan menyebabkan matinya sel-sel tersebut. Maka dari itu pemberian kekuatan tidak boleh terlampau kuat sehingga pembuluh darah menjadi buntu. RESORPSI Bagaimana kekuatan yang tidak menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah dalam membarana periodontalis dapat merangsang resorpsi tulang ? Jawabanya adalah : belum diketahui dengan pasti. Ada dua teori tentang resorpsi tulang alveolus: Teori I : Bien (1966), mengatakan bahwa pembuluh darah dalam membrana periodontalis akan terjepit dan terjadi stenosis. Pembuluh darah akan mengembung, akibatnya gelembung gas (oksigen) keluar dari cairan darah dan meninggalkan pembuluh darah, sebagian kembali lagi tetapi sebagian ada yang terjebak spiculae pada tulang alveolus. Keadaan ini menyebabkan resorpsi tulang alveolus secara lokal. Bagaimana mekanisme oksigen dapat merangsang resorpsi tulang sampai sekarang belum jelas, namun dalam teori ini dikatakan bahwa pembuluh darah memberikan gelembung-gelembung oksigen dan catu nutrisi yang sangat diperlukan untuk aktifitas sel. Teori II : Mekanisme terjadinya resorpsi yang lain ialah melibatkan efek hidrodinamik pada daerah yang tertekan dan sifat piezoelektrik tulang. Pemberian kekuatan akan menimbulkan tekanan hidrodinamik, karena membrana periodontalis berisi pembuluh darah dan cairan interstitiel. Tekanan ini akan diteruskan ke dinding tulang olveolus. Permukaan tulang alveolus akan berubah bentuknya menjadi cembung, perubahan bentuk seperti 45 ini dihubungkan dengan resorpsi tulang. Fenomena ini mungkin berhubungan dengan stimulasi listrik, sebab perubahan bentuk tulang akan menghasilkan aliran listrik. Muatan listrik didaerah yang tertekan (cembung) adalah muatan listrik positif. Peranan pembuluh darah disini adalah membantu meneruskan tekan hidrodinamik dan memberikan nutrisi untuk energi yang diperlukan dalam proses resorpsi tulang. Dasar molekuler yang menerangkan hubungan antara fenomena listrik dengan aktivitas osteoclast sampai sekarang belum jelas. Ada dua macam resorpsi : 1. Frontal resorption Bila pembuluh darah dalam membrana periodontalis tidak tersumbat, maka resorpsi tulang terjadi langsung pada permukaan tulang. 2. Undermining resorption/rear resorption Bila tekanan yang diberikan terlampau kuat sehingga menyebabkan pembuluh darah tertutup, catu nutrisi tidak ada, maka terjadi perubahan ke arah kemunduran jaringan (regresi), sel-sel dan serabut-serabut periodontium akan menghilang dan mengalami degenerasi hyalin. Resorpsi tidak terjadi langsung pada permukaan tulang tetapi mulai dari bone marrow (substantia spongiosa). Setelah resorpsi sampai pada permukaan tulang alveolus dan tekanan diterima sudah berkurang atau hilang berhenti maka invasi pembuluh darah akan terjadi dan membrana periodontalis akan tumbuh kembali. Peristiwa tadi akan terjadi dalam 2 fase. • Mula-mula jaringan nekrotik akan diserap • Kemudian akan diikuti dengan pembentukan komponen-komponen jaringan baru Perubahan pada pembuluh darah 46 Tekanan ringan akan merangsang frontal resorption, sebaliknya tekanan yang kuat akan menyebabkan vascular thrombosis dan akhirnya kematian membrana periodontalis. Schwarz menganjurkan untuk menggunakan kekuatan yang tidak sampai menyumbat aliran darah dalam menggerakan gigi. Kekuatan yang dianjurkan itu adalah tidak lebih dari 20 – 26 gram/cm2 (tekanan darah kapiler). Kekuatan lebih dari itu tidak hanya akan menyebabkan hyalinisasi tetapi bahkan dapat terjadi resorpsi akan atau kematian pulpa. Kesimpulannya adalah bahwa aktivitas seluler yang penting untuk resorpsi tulang dan memelihara jaringan periodontium adalah sangat tergantung pada catu darah yang cukup untuk nutrisi dan menyerap sisa-sisa metabolisme. APOSISI TULANG Selama bergeraknya gigi, tulang baru diaposisikan di daerah tulang yang tertarik. Tulang baru diaposisikan pada permukaan tulang alveolus yang berhadapan dengan membrana periodontalis. Jika bundel-bundel principal fiber besar-besar biasanya matrix dideposisikan sepanjang serabut-serabut tersebut diikuti dengan pembaentukan lamellae baru. Bila bundelnya kecilkecil, lapisan matrix akan dideposisikan lebih merata sepanjang permukaan tulang. Sel yang melakukan proses apposisi adalah osteoblast. Sel-sel ini sangat membutuhkan energi seperti halnya osteoclast pada daerah resorpsi, maka dari itu juga sangat dibutuhkan catu darah yang cukup. Osteoblast bertambah jumlahnya dengan cara : • Proliferasi atau diferensiasi sel precursor dalam membrana periodontalis • Proliferasi atau diferensiasi perivascular stem cells. Proliferasi dan diferensiasi sel-sel ini terlihat satu atau dua hari setelah pemberian kekuatan. Pembuluh darah memegang peran penting dalam pemberian nutrisi dan oksigen serta material lain yang penting untuk sintesis tulang, disamping itu juga merupakan sumber osteoblast. Bagaimana tarikan pada membrana periodontalis dapat merangsang produksi osteoblast dan pembentukan tulang baru belum diketahui dengan jelas. Epker dan Frost 47 mengatakan bahwa fenomena piezoelektrik terlibat dalam proses ini. Membrana periodontalis terikat kuat ke tulang alveolus, sehingga tarikan akan merubah struktur kristal tulang. Tulang akan menjadi cekung, perubahan bentuk tulang semacam itu berlawanan dengan perubahan yang terjadi pada daerah yang tertekan. Perubahan ini dihubungkan dengan muatan listrik negatif yang akan merangsang pembentukan tulang baru. Seperti pada teori resorpsi, dasar molekulernya juga belum jelas. Pada saat tulang terbentuk di permukaan alveolus, permukaan tulang akan bergerak ke arah bergeraknya gigi. Serabut-serabut dalam membrana periodontalis akan tertanam dalam tulang baru dan akan menjadi serabut Sharpey’s yang baru. PERUBAHAN PADA SERABUT-SERABUT PERIODONTIUM Principal fiber tertanam dalam cementum di satu sisi dan sisi lain tertanam pada tulang alveolus dan melanjutkan diri sebagai serabut-serabut Sharpey’s. Pada saat permukaan tulang alveolus diresorpsi, maka perlekatan (attachment) serabut-serabut tersebut akan lepas. Bagaimanakah mekanisme melekatnya kembali (reattachment) serabut-serabut tersebut pada tulang alveolus ? Kraw dan Enlow mengatakan bahwa berkas-berkas serabut collagen dalam matrix organik tulang alveolus yang diresorpsi akan menyusun diri pada arah yang sama atau bergabung dengan principal fiber, dengan cara seperti itu maka kesinambungannya dengan tulang akan tetap terjaga. Serabut-serabut collagen tadi akan berlaku sebagai serabut Sharpey’s yang baru. Mereka menggambarkan periodontium ada tiga zone yang spesifi pada serabut-serabut : 1. Inner zone Tertanam dalam cementum. Zone ini terdiri dari mature collagen bundles yang relatif stabil. 2. External zone 48 Tertanam dalam dinding alveolus. Zone ini dikatakan kurang stabil dan kadang-kadang dapat mengadakan perubahan. 3. Intermediate zone Zone ini sangat tidak stabil, terdiri dari immature collagen fiber, sangat mudah mengadakan perubahan. Bila gigi bergerak, serabut-serabut pada inner zone akan terbawa bersama gigi, sedangkan serabut-serabut pada external zone akan lepas dari perlekatannya pada tulang yang diresorpsi. Serabut-serabut collagen dalam matrix tulang akan menyambungkan diri dengan serabut-serabut baru dalam intermediate zone. Intermediate zone ini yang akan mengatur atau memelihara kesinambungan dan ukuran panjang pendeknya serabut. Dengan demikian maka sintesa collagen memegang peranan penting dalam mekanisme ini. Pengamatan dengan radioaktif menunjukkan bahwa sintesa collagen lebih aktif di daerah crestal dan apical, sehingga daerah ini mengalami adaptasi lebih dulu kemudian baru diikuti oleh serabut-serabut oblique dan serabut-serabut horisontal. REMODELING SEKUNDER Pada gerakan gigi secara ortodontik, ada daerah yang mengalami resorpsi dan aposisi. Tulang sering kali mengadakan resorpsi dari daerah bone marrow di sebalik daerah yang mengadakan aposisi, demikian juga tulang selalu dibentuk di permukaan bone marrow disebalik tulang cortical yang sedang mengalami resorpsi. Ini disebut remodeling sekunder. Remodeling sekunder berguna untuk mempertahankan ketebalan tulang dan mempertahankan hubungan antara gigi ke tulang alveolus agar relatif konstan. Peristiwa ini adalah merupakan bukti dari fenomena adaptasi bentuk tulang seperti yang disebut dalam hukum Wolf. Perubahan pada tulang oleh karena mekanisme piezoelektrik telah ditunjukkan oleh Epker dan Frost. Dinding tulang alveolus pada sisi yang tertekan akan menipis. Pengurangan ketebalan ini dihubungkan 49 dengan resorpsi tulang. Bagaimana aposisi tulang dibagian kontralateralnya dapat terjadi ?. Analisa yang sama juga terjadi di daerah tulang alveolus yang tertarik. Bagaimana bisa terjadi resorpsi di daerah kontralateralnya ?. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme kontrol biologis yang sangat rumit ikut aktif dalam proses resorpsi dan aposisi tulang alveolus. KEADAAN UMUM Tekanan dan tarikan merupakan respon awal dari pemberian kekuatan secara ortodontik pada sisi yang berlawanan. Tekanan dan tarikan ini selanjutnya akan merangsang remodeling selama bergeraknya gigi. Kecepatan dan kemudahan respon seluler pada remodeling tulang terhadap kekuatan ortodontik dihubungkan dengan kandungan sel dan sensitivitasnya dalam membrana periodontalis. Membrana periodontalis yang mengandung banyak sel mempunyai potensi yang lebih cepat dan lebih aktif remodelingnya. Sebagai contoh : Pada anak-anak, pembentukan tulang di daerah yang tertarik dimulai satu atau dua hari setelah pemberian kekuatan. Sedangkan pada usia sewasa, baru mulai setelah delapan sampai sepuluh hari. Perbedaan ini dihubungakan dengan perbedaan kandungan sel dalam membrana periodontalisnya. Pada proses resorpsi, variabel yang dianggap penting ialah sifat tulang alveolus. Alveolus mungkin tersusun dari tulang yang padat atau mungkin tersusun dengan modullary space yang luas atau mempunyai dinding yang porus. Dengan demikian tulang yang porus lebih mudah mengalami resorpsi. Dikatakan juga dalam bone marrow dijumpai banyak sekali sel-sel. 2. KEKUATAN ORTODONTIK 50 Pemberian kekuatan memegang peran penting dalam pergerakan gigi secara ortodontik. Kekuatan sangat penting untuk mengawali atau merangsang remodeling tulang maupun untuk membimbing gerakan gigi menuju ke posisi yang diinginkan. Gigi digerakkan dengan pemberian kekuatan yang dihasilkan dari pegaspegas kawat atau elastik yang dipasang pada alat ortodontik lepasan maupun cekat. Pegas dan elastik mempunyai energi potensial, bila bentuknya dirubah maka akan menjadi energi kinetik pada saat ia kembali ke bentuk semula. Bila energi ini dikenakan pada gigi maka gigi akan terbawa olehnya. Kekuatan ini penting untuk merangsang fenomena seluler dalam remodeling jaringan periodontium. SISTIM PEMBERIAN KEKUATAN Dua sistim pemberian kekuatan untuk menggerakkan gigi : 1. One point contact force/ Single point contact force/ Tipping force Kekuatan dikenakan pada satu titik kontak 2. Couple force Kekuatan yang dikenakan adalah sama dan paralel, memberikan aksi yang simultan dengan arah berlawanan. Bila couple force dikenakan pada gigi, maka akan terjadi gerakan rotasi. Center of resistance Pusat ketahanan adalah suatu tempat di akar gigi yang mempunyai ketahanan yang paling besar terhadap kekuatan ortodontik. Tiga center of resistance : 1. Anteroposterior 2. Transverse 3. Vertikal Pada gigi berakar tunggal, senter of resistance terletak 40 % jarak dari alveolar crest ke ujung akar gigi. 51 GERAKAN GIGI Selama prawatan ortodontik, gigi dapat bergerak ke segala arah. Untuk mempermudah maka gerakan gigi dibagi dalam dua bentuk dasar : 1. Rotasi (rotasi murni) Merupakan gerakan gigi yang berputar pada pusat rotasi. Bila gigi berputar penuh maka ia akan kembali ke posisinya semula. 2. Translasi Mahkota dan akar gigi bergerak pada arah dan jarak yang sama, sehingga gigi bergerak bodily atau dikatakan tidak ada perubahan inklinasi axial. Gerakan gigi secara umum dibagi dalam : 1. Horisontal movement Gerakan gigi dalam arah anteroposterior dan buccolingual, dibagi menjadi : a. Controlled crown movement b. Controlled root movement c. Bodily movement 2. Vertical movement Dibagi dalam : a. Intrusion b. Extrusion 3. Rotary movement ANCHORAGE Anchorage adalah suatu tempat perlawanan (resistance) dimana kekuatan dihasilkan untuk menggerakkan gigi. Anchor berarti sauh (jangkar). Pembagian penjangkaran : Menurut sumbernya (letaknya) dikenal dua sumber utama : 1. Intraoral anchorage Intraoral anchorage dapat berupa : a. Tooth borne anchorage 52 Tempat perlawanan diletakkan pada gigi di dalam mulut, dibagi menjadi : • Intramaxillary anchorage Tempat perlawanan diletakkan pada gigi dalam satu rahang dipakai untuk menggerakkan gigi dalam rahang yang sama. Menurut sifatnya intramaxillary anchorage dibagi menjadi - : Simple anchorage Gigi anchorage mempunyai daya tahan (resistance) lebih besar dari gigi yang digerakkan (satu gigi dipakai untuk menggerakkan satu gigi). - Compound anchorage Beberapa gigi digabung untuk menggerakkan satu gigi. - Stationary anchorage Sama seperti simple anchorage tetapi alat dibentuk sedemikian rupa sehingga gigi anchorage dapat bergerak secara bodily. Occipital anchorage dapat dipakai sebagai alat untuk membentuk stationary anchorage, atau suatu alat dengan pemakaian buccal tube dapat mencegah gigi anchorage bergerak secara tilting akan tetapi memungkinkan bergerak secara bodily. - Reciprocal anchorage Bila kekuatan ortodontik yang dikenakan pada gigi atau gigi-gigi akan didistribusikan sama kuat pada kedua belah sisi, sehingga gigi atau gigi-gigi akan bergerak sama pada kedua sisi. Reciprokal anchorage dapat digunakan pada gigi-gigi dalam satu rahang atau dapat pada kedua rahang yang saling berlawanan • Intermaxillary anchorage Anchorage pada satu rahang dipakai untuk menggerakkan gigi pada rahang yang berlawanan b. Tissue borne anchorage Anchorage yang diletakkan pada jaringan lunak dalam mulut, dapat pada mukosa palatum atau pada otot-otot perioral. 53 2. Extraoral anchorage Sistem penjangkaran yang diletakkan diluar mulut. Dapat berupa • : Occipital anchorage Anchorage diletakkan di daerah occipital • Cervical anchorage Anchorage diletakkan pada tengkuk. DAFTAR PUSTAKA Anthony Gianelly & Henry M. Goldman, Biologic Basic of Orthodontics Foster, TD. A text Book of Orthodontics., ed. 3. Oxford Graber, T.M., Orthodontics, Principles and Practice, 3rd, ED., W.B. Saunders Co., Philadhelphia, London, Toronto,1972. Graber ,T. M. & Swain, B.F., Orthodontics Current Principles and Techniques Graber,T.M. and Swain,B.F.,Orthodontics, Principles and Technique, The C.V. Mosby Co.,St.Louis,Toronto, Princeton,1985 Jacobson, A., (Ed.), Radiographic Cephalometry From Basics to Videoimaging, Quintessence Publishing Co, Inc, London, Chicago, Berlin, Tokyo, Sao Paulo, Moscow, Prague and Warsawa, 1955. Janet M. Vaughan, The Physiology of Bone Kusnoto, H. Penggunaan Sefalometri Radiografi dalam bidang Orthodonti, Bagian Orthodonti, Fakultas Trisakti, Jakarta, 1977. Linden, F. P.G.M. Vd. L., and Boersma, H,. Diagnosis end Tratment Planning in Dentofacial Orthopedics, Quintessence Publishing Co., Ltd., London, Chicago, Berlin, Tokyo, Sao Paulo, 1987. Michael R. Marcotte, Biomechanics in Orthodontics 54 Moyers, R.E., Handbook of Orthodontics for Student and General Practitioners, 2nd.Ed.,Year Book Medical Publisher, Inc.,Chicago, 1970. Moyers, R.E., Handbook of Ortodontics, 4th.Ed. Year Book Medical Publisher, Inc.,Chicago, London, Boca Raton,1988. Muir, J.D., Reed, R.T., ( 1979 ) . Tooth Movement with Removable Appliances. Pitman Publishing Ltd, London Proffit, W.R.,Fields, H.W., Ackermann, J.L., Thomas, P.M.and Camilla Tulloch, J.F.,Contemporary Orthodontics, The C.V. Mosby Co,. St. Louis, Toronto, London,1986. Profit WR, and Fields, HW., ( 2000). Contemporary Orthodontics, ed.3. Mosby, Philladelpia, p. 145-294 Rakosi, T., An Atlas and Manual of Cephalometric Radiography, Wolfe Nedical Publications, Ltd., Great Britain, Worcester London, 1982. Salzmann, J.A., Principles of Orthodontics, 2nd.Ed. J.B. Lippincott Co., Philadelphia,London, 1950. Salzmann J.A., Orthodontics in Daily Pratice 55