diagnosis ortodontik - Orthodontics FKG UGM

advertisement
BUKU AJAR
ORTODONSIA II
KGO II
Penanggungjawab Mata Kuliah
drg. Prihandini Iman, MS., Sp.Ort (K)
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2008
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas karunia-Nya sehingga penulisan
bahan ajar Ortodonsia II ini dapat selesai.
Terdorong pada keinginan penulis untuk memberikan panduan terhadap
mahasiswa Kedokteran Gigi yang mempunyai perhatian pada Ortodonsia, maka
penulis menyempatkan diri untuk menulis bahan ajar Ortodonsia II. Ortodonsia II
itu sendiri adalah cabang dari ilmu Kedokteran Gigi yang mempelajari tentang
prosedur perawatan ortodontik dengan alat lepasan, meliputi cara pemeriksaan,
metode analisis pada model studi dan radiologi, serta memahami biomekanika
pergerakan gigi secara Ortodontik sehingga dapat menetapkan diagnosis, serta
menjelaskan etiologi maloklusi yang ada.
Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga atas terselesaikannya penulisan buku ajar ini kepada :
1. Rektor dan Wakil Rektor I Universitas Gadjah Mada
2. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada
3. Kepala Bagian Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah
Mada
4. Dosen pengampu mata kuliah Ortodonsia II
Penulis menyadari buku ajar ini belum sempurna maka diperlukan kritik
dan saran guna penyempurnaan buku ajar ini.
Yogyakarta, 10 Februari 2008
Penulis
drg. Prihandini Iman, MS., Sp.Ort (K)
1
TINJAUAN MATA KULIAH
1. Deskripsi singkat mata kuliah Ortodonsia II
Mata kuliah Ortodonsia II diselenggarakan dengan tatap muka satu jam per
minggu selama satu semester, di dalam tatap muka mahasiswa diberikan
materi dasar Ortodonsia II. Prasyarat mengikuti mata kuliah ini mahasiswa
harus telah mengikuti mata kuliah Ortodonsia I.
2. Kegunaan mata kuliah Ortodonsia II
Mahasiswa dapat mengerti dasar-dasar Ortodonsia II yang berguna untuk mata
kuliah Ortodonsia III dan IV.
3. Tujuan Intruksional umum
Setelah mengikuti kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami dan
menjelaskan prosedur perawatan ortodontik dengan alat lepasan, meliputi
cara pemeriksaan, metode analisis pada model studi dan radiologi, serta
memahami biomekanika pergerakan gigi secara Ortodontik sehingga dapat
menetapkan diagnosis, serta menjelaskan etiologi maloklusi yang ada.
4. Susunan atau urutan bahan ajar :
a. Penentuan diagnosis dan rencana perawatan Ortodontik
b. Etiologi maloklusi
c. Rencana perawatan
d. Rumusan perawatan
e. Biomekanika
5. Petunjuk bagi mahasiswa untuk mempelajari bahan ajar :
a. Membaca bahan ajar dengan seksama
b. Membuat skema hubungan pada masing-masing pokok bahasan
c. Menjawab latihan-latihan yang diberikan
2
DAFTAR ISI
Halaman
Pengantar .................................................................................................
Tinjauan Mata Kuliah ............................................................................
1
2
Daftar Isi................................................................................................................
3
I.
Penentuan diagnosis dan rencana perawatan Ortodontik ..................................
4
a.
Pendahuluan....................................................................................................
4
b.
Penyajian ........................................................................................................
6
II. Etiologi Maloklusi ..........................................................................................
21
a.
Pendahuluan....................................................................................................
21
b.
Penyajian ........................................................................................................
21
III. Rencana Perawatan ........................................................................................
26
a.
Pendahuluan....................................................................................................
26
b.
Penyajian ........................................................................................................
26
IV. Rumusan perawatan ........................................................................................
34
a.
Pendahuluan....................................................................................................
34
b.
Penyajian ........................................................................................................
34
V. Biomekanika ..................................................................................................
36
a.
Pendahuluan....................................................................................................
36
b. Penyajian.............................................................................................
36
Daftar Pustaka .......................................................................................................
47
3
I.
DIAGNOSIS ORTODONTIK
a. PENDAHULUAN
 PENGERTIAN DIAGNOSIS
Diagnosis berasal dari bahasa Yunani : Dia berarti melalui
Gnosis berarti Ilmu pengetahuan
Jadi diagnosis berarti : penetapan suatu keadaan yang menyimpang dari keadaan
normal melalui dasar pemikiran dan pertimbangan ilmu pengetahuan. Setiap
penyimpangan dari keadaan normal ini dikatakan sebagai suatu keadaan abnormal
atau anomali atau kelainan.
Untuk dapat menetapkan suatu diagnosis secara tepat diperlukan ilmu
pengetahuan atau pengalaman empirik yang luas mengenai :
• Keadaan normal atau standar normal, beserta variasi-variasinya yang masih
ditetapkan sebagai keadaan normal.
• Bermacam-macam bentuk penyimpangan dari keadaan normal yang dikatakan
sebagai keadaan abnormal.
Berdasar ilmu pengetahuan tersebut di atas kemudian informasi dikumpulkan
melalui prosedur pemeriksaan secara teliti dan sistematis agar didapatkan
seperangkat data yang lengkap dan tepat. Melalui data yang telah dikumpulkan ini
kemudian diagnosis ditetapkan. Makin lengkap dan akurat data yang dikumpulkan
akan makin mudah dan tepat diagnosis ditetapkan, kemudian penyusunan rencana
perawatan dan tindakan perawatan selanjutnya diharapkan dapat dilakukan secara
benar.
Menurut Salzmann (1950) ; diagnosis dibedakan atas :
1. Diagnosis Medis (Medical diagnosis)
4
yaitu suatu diagnosis yang menetapkan penyimpangan dari keadaan normal
yang disebabkan oleh suatu penyakit yang membutuhkan tindakan medis atau
pengobatan.
2. Diagnosis Ortodontik (Orthodontic diagnosis)
Yaitu diagnosis yang menetapkan suatu kelainan atau anomali oklusi gigi-gigi
(bukan penyakit) yang membutuhkan tindakan rehabilitasi.
Menurut Schwarz diagnosis ortodontik dibagi menjadi :
1. Diagnosis Biogenetik (Biogenetic diagnosis)
Yaitu diagnosis terhadap kelainan oklusi gigi-geligi (maloklusi) berdasarkan
atas faktor-faktor genetik atau sifat-sifat yang diturunkan (herediter) dari
orang tua terhadap anak-anaknya.
Misalnya : Orang tua yang mempunyai dagu maju atau prognatik dengan
maloklusi Klas III Angle tipe skeletal (oleh karena faktor keturunan)
cenderung akan mempunyai anak-anak prognatik dengan ciri-ciri yang khas
atau dengan kemiripan yang sangat tinggi dengan keadaan orang tuanya.
2. Diagnosis Sefalometrik (Cephalometric diagnosis)
Yaitu diagnosis mengenai oklusi gigi-geligi yang ditetapkan berdasarkan atas
data-data pemeriksaan dan pengukuran pada sefalogram (Rontgen kepala),
misalnya : maloklusi klas II Angle tipe skeletal ditandai oleh relasi gigi molar
pertama atas dan bawah klas II (distoklusi) yang disebabkan oleh karena posisi
rahang atas lebih ke anterior atau rahang bawah lebih ke posterior dalam
hubungannya terhadap basis kranium. Pada sefalogram dengan analisis
sefalometrik Steiner (1953) hasil pengukuran sudut ANB > 2° (standar normal
2°)
Titik A.
: titik sub spinale yaitu titik terdepan basis alveolaris
maksila
Titik N/Na.
: titik Nasion yaitu titik terdepan sutura frontonasalis
5
Titik B
: titik supra mentale yaitu titik terdepan basis alveolaris
mandibularis
3. Diagnosis Gigi geligi (Dental diagnosis ):
Diagnosis yang ditetapkan berdasarkan atas hubungan gigi-geligi hasil
pemeriksaan secara klinis atau intra oral atau pemeriksaan pada model studi.
⇒ Dengan mengamati posisi gigi terhadap masing-masing rahangnya kita akan
dapat menetapkan malposisi gigi yang ada yaitu setiap gigi yang menyimpang
atau keluar dari lengkung normalnya.
♦ Misalnya : - Mesioversi 3 !
- Supraversi 4 !
- Palatoversi ! 5
- Torsiversi 1 ! 1
- Mesioaksiversi 6 !
- Dan lain-lain.
⇒ Dengan mengamati hubungan gigi-gigi rahang atas terhadap gigi-gigi rahang
bawah kita akan dapat menetapkan malrelasi dari gigi-gigi tersebut.
♦ Misalnya :
•
Relasi gigi molar pertama : Klas I, II, III Angle (kanan / kiri)
•
Relasi gigi lainnya : - Open bite :
. 3!
, !1.
43 !
- Cross bite:
!4.
, !.8
!.5
!7 .
- Deep over bite: 321 ! 123 : (6 mm)
321 ! 123
- Dan lain-lain.
b. PENYAJIAN
 DASAR PENETAPAN DIAGNOSIS :
Dignosis ditetapkan berdasarkan atas pertimbangan data hasil pemeriksaan
secara sistematis, Data diagnostik yang paling utama harus dipunyai untuk dapat
menetapkan diagnosis adalah data pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan
subyektif dan obyektif serta data pemeriksaan dan pengukuran pada model studi,
sedangkan Graber (1972) mengelompokkan menjadi :
6
1. Kriteria Dignostik Esensial (Essential Diagnostic Criteria)
a. Anamnesis dan Riwayat kasus (case history)
b. Pemeriksaan atau Analisis klinis :
♦ Umum atau general : Jasmani, Mental
♦
c.
Khusus atau lokal : Intra oral, Extra oral
Analisis model studi : Pemeriksaan dan pengukuran pada model studi:
♦ Lebar mesiodistal gigi-gigi
♦ Lebar lengkung gigi
♦ Panjang atau Tinggi lengkung gigi
♦ Panjang perimeter lengkung gigi
d. Analisis Fotometri (Photometric Analysis):
Pemeriksaan dan pengukuran pada foto profil dan foto fasial pasien, meliputi
:
♦ Tipe profil
♦ Bentuk muka
♦ Bentuk kepala
e. Analisis Foto Rontgen (Radiographic Analysis):
♦ Foto periapikal
♦ Panoramik
♦ Bite wing
♦ Dan lain-lain
Bila dianggap perlu bisa dilengkapi dengan data hasil pemeriksaan tambahan yang
disebut sebagai :
2. Kriteria Diganostik Tambahan (Supplement Diagnostic Criteria)
a. Analisis Sefalometrik (Cephalometric Analysis):
♦ Foto lateral (Lateral projection) untuk anlisis profil
♦ Foto frontal (Antero-posierior projection) untuk anlisis fasial
♦ Dan lain-lain
7
b. Analisis Elektromyografi (EMG) : Untuk mengetahui abnormalitas tonus dan
aktivitas otot-otot muka dan mastikasi.
c. Radiografi pergelangan tangan (Hand-wrist Radiografi): Untuk menetapkan
indeks karpal yaitu untuk menentukan umur penulangan.
d. Pemeriksaan Laboratorium : Untuk menetapkan basal metabolic rate (BMR),
Tes indokrinologi, dan lain-lain.
 KAPAN MULAI MENDIAGNOSIS :
Diagnosis sudah bisa mulai ditetapkan saat pasien masuk di ruang
pemeriksaan.
Misalnya : Dengan melihat muka pasien kita sudah bisa menetapkan tipe
profil, bentuk muka, keadaan bibir pasien, dan lain-lain. Kemudian tahap demi
tahap pemeriksaan dilalui kita akan langsung dapat menetapkan diagnosis
sementara (Tentative Diagnosis). Misalnya dari :
1. Identitas pasien :
a. Umur :
♦ Diastema gigi anterior pada umur 6 tahun, anak masih dalam masa
pertumbuhan, maloklusi ini masih dapat berkembang kearah normal
dengan erupsinya gigi permanent dengan ukuran mesiodistal yamg lebih
besar dari gigi susu, perawatan yang bisa dilakukan adalah observasi.
♦ Protrusif gigi-gigi rahang atas tipe dentoskeletal pada pasien berumur 23
tahun , pertumbuhan
dentofasial telah berhenti maloklusi bersifat
permanen, perawatan yang bisa dilakukan : perawatan protuisif rahang
atas yang berlebihan adalah bedah ortodontik (Orthodontic Surgery),
sedangkan perawatan terhadap proklinasi gigi anteriornya adalah
perawatan ortodontik (Ortodontic Treatment)
b. Suku bangsa atau ras :
♦ Protrusif merupakan keadaan abnormal bagi ras Caucasoid tetapi protrusif
pada tingkat tertentu masih dianggap normal untuk ras Negroid dan
Mongoloid.
8
♦ Suku Jawa dengan muka sedikit cembung masih dianggap normal karena
merupakan kelompok Mongoloid.
c. Jenis kelamin :
♦ Proses pertumbuhan dentofasial lebih cepat selesai pada wanita dari pada
laki-laki, seperti pendewasaan , proses penulangan, erupsi gigi terjadi lebih
awal pada wanita dari pada laki-laki.
♦ Ukuran rahang lebih besar pada laki-laki dari pada wanita.
d. Dan lain-lain.
2. Anamnesis dan Riwayat kasus (Case Hitory) :
Pasien dengan protrusif maksila ( klas II divisi 1 ) bisa ditetapkan sebagai
kasus yang disebabkan oleh faktor keturunan atau bukan,
dengan melakukan
anamnesis untuk menenelusuri riwayat kasusnya:
♦ Jika keadaan orang tua dan saudara-saudaranya mempunyai kemiripan dengan
pasien kasus ini disebabkan oleh faktor keturunan.
♦ Jika orang tua dan saudara-saudaranya tidak protrusif tetapi dari riwayat kasus
didapatkan pasien mempunyai bad habit mengisap ibu jari pada masa kecilnya
maka kasus ini disebabkan oleh faktor kebiasaan buruk atau bad habit.
3. Pemeriksaan klinis:
Dari hasil pemeriksaan klinis ini kita juga dapat mendiagnosis keadaan pasien
:
♦ Pasien dengan ukuran badan yang besar akan didiagnosis tidak normal
apabila ukuran rahangnya kecil
♦ Ukuran rahang pasien yang tidak seimbang dengan ukuran mesiodistal
gigi, gigi-gigi akan tampak berdesakan atau renggang-renggang,
didiagnose sebagai kasus maloklusi : gigi berjejal (crowding) atau
diastemata (spacing)
♦ Tipe profil pasien cembung, lurus atau cekung, normal tidaknya
tergantung kelompok ras pasien dan tingkat keparahannya.
♦ Dari hasil pemeriksaan klinis dapat pula ditetapkan diagnosis mengenai :
9
• Ektra oral : Bentuk muka, bentuk kepala, keadaan bibir, tinggi muka, posisi
dan hubungan rahang .
• Intra oral :
-
Relasi molar dinyatakan dengan klasifikasi Angle.
-
Malrelasi gigi lainnya seperti : openbite, crossbite, deep overbite, scissor
bite Overjet berlebihan dan lain-lain.
-
Malposisi gigi seperti : mesioversi, bukoversi, aksiversi, torsiversi,
supraversi, transversi dan lain-lain.
4. Analisis studi model :
Dari hasil pemeriksaan, pengukuran dan perhitungan pada studi model dapat
ditetapkan diagnosis mengenai :
♦ Bentuk dan ukuran rahang
♦ Ukuran mesiodistal gigi
♦ Bentuk dan ukuran lengkung gigi
♦ Penentuan relasi molar, malrelasi gigi lainnya, malposisi gigi
♦ Adanya kelainan bentuk gigi (malformasi), dan lain-lain.
5. Analisis Foto muka (Analisis fotografi) :
Analisis terhadap muka dan profil pasien dapat dilakukan langsung pada
pasien dalam pemeriksaan klinis. Tetapi untuk tujuan dokumentasi mengenai
keadaan wajah pasien diperlukan juga foto wajah perlu disertakan pada
laporan status pasien. Analisis foto muka pasien dilakukan untuk
mendiagnosis adanya abnormalitas mengenai bentuk profil dan tipe muka
pasien:
♦ Tipe profil : cembung, lurus, cekung.
♦ Bentuk muka: Brahifasial, Mesofasial, Oligofasial.
♦ Bentuk kepala: Brahisefali, Mesosefali, Oligosefali
6. Analisis Foto Rontgen :
10
Analisis Foto Rontgen diperlukan apabila dibutuhkan diagnosis tentang
keadaan jaringan dentoskeletal pasien yang tidak dapat diamati langsung
secara klinis, seperti:
♦ Foto periapikal : Untuk menentukan gigi yang tida ada, apakah karena
telah dicabut, impaksi atau agenese. Untuk menentukan posisi gigi yang
belum erupsi terhadap permukaan rongga mulut berguna untuk
menetapkan waktu erupsi, untuk membandingkan ruang yang ada dengan
lebar mesiodistal gigi permanen yang belum erupsi.
♦ Panoramik : Untuk menentukan keadaan gigi dan jaringan pendukungnya
secara keseluruhan dalam satu Ro foto, untuk menentukan urutan erupsi
gigi, dan lain-lain.
♦ Bite wing : Untuk menentukan posisi gigi dari proyeksi oklusal.
7. Analisis Sefalometri :
Analisis sefalometri sekarang semakin dibutuhkan untuk dapat mendiagnosis
maloklusi dan keadaan dentofasial secara lebih detil dan lebih teliti tentang:
♦ Pertumbuhan dan perkembangan serta kelainan kraniofasial
♦ Tipe muka atau fasial baik jaringan keras maupun jaringan lunak
♦ Posisi gigi-gigi terhadap rahang
♦ Hubungan rahang atas dan rahang bawah terhadap basis kranium
Diagnosis yang ditetapkan pada setiap tahap pemeriksaan disebut
diagnosis sementara (Tentative diagnosis),
setelah semua data pemeriksaan
lengkap dikumpulkan kemudian dapat ditetapkan diagnosis finalnya (Final
diagnosis) yang biasa disebut sebagai diagnosis dari pasien yang dihadapi.
Kadang-kadang jika kita masih ragu-ragu menetapkan suatu diagnosis secara pasti
atas dasar data-data pemeriksaan yang ada. Bisa pula diagnosis pasien ditetapkan
dengan disertai diagnosis alternatifnya yang disebut sebagai diferensial diagnosis.
11
 CARA MERUMUSKAN DIAGNOSIS :
Dalam pembuatan laporan praktikum sebelum melakukan perawatan pasien
setelah melakukan tahapan-tahapan pemeriksaan , pengukuran dan perhitungan
kita akan menetapkan dignosis dari kasus yang dihadapi .
Diagnosis dirumuskan dalam suatu kalimat yang khas yaitu dalam bentuk
kalimat pernyataan:
⇒ Contoh :
1. Maloklusi Angle klas I dengan protrusif bimaksiler tipe skeletal, disertai
dengan malrelasi
♦ openbite
: !3.
! 34
♦ palatalbite (overbite 8 mm)
♦ crossbite : ! . 5
!4.
♦ overjet berlebihan (6 mm),
dan malposisi gigi individual :
♦ infraversi
: !.3
♦ linguoversi : ! . 4
♦ rotasi (torsiversi) 7 ! ,
median line gigi tidak simetris : rahang atas bergeser ke kanan 2 mm dan rahang
bawah normal.
2. Maloklusi Angle klas I tipe dental, disertai dengan malrelasi :
♦ Overjet besar (4,5 mm)
♦ Deep overbite (7 mm)
♦ Scissorbite :
4. !
45!
12
♦ Supraklusi gigi anterior : 3 2 1 ! 1 2 3
321!123
dan malposisi gigi individual :
♦ rotasi gigi :
1 ! 1 ,
♦ linguoversi :
.3 ! .4
♦ infraversi :
2!
8 ! 8
gigi 5 ! telah dicabut karena karies, median line gigi tidak segaris. atas bergeser
ke kanan (3 mm) dan bawah normal.
3. Maloklusi Angle klas II divisi 1, subdivisi tipe dental disertai malrelasi:
♦ overbite normal (3,5 mm )
♦ overjet besar (8 mm)
♦ crossbite
: ! 4 . ,
!45
dan malposisi gigi individual :
♦ labioversi
: 1 ! 1
♦ mesiolabioversi :
3!
♦ supraversi
: !3
♦ mesioversi
: 6!
♦ rotasi
:1 ! 1, 7!
♦ supraversi
:5!,
median line gigi rahang bawah bergeser ke kanan 1 mm , gigi 4! telah dicabut
karena caries.
4. Maloklusi Angle klas III tipe dentoskeletal, dengan malrelasi :
♦ crossbite gigi anterior : 321 ! 123
,
321 ! 123
malposisi gigi individual :
♦ mesioversi dan rotasi : 4 !
13
♦ mesioversi
♦ labioversi
: 5!, !4 , !5 ,
321 ! 123
terdapat diastema diantara gigi 543 ! 345, gigi 7 ! telah dicabut .
5. Maloklusi Angle klas II divisi 1 tipe dental dengan malrelasi gigi :
♦ openbite gigi anterior: III 21 ! 123
3 21 ! 123
♦ crossbite
:
6! ,
6!
malposisi gigi individual :
♦ linguoversi
2!2
♦ palatoversi 6 1
♦ infraversi
3!
♦ labioversi 1 ! 1
gigi | 3 belum erupsi, prolonged retensi gigi V ! V , sisa akar gigi desidui IV ! V,
persitensi gigi 54 ! 45 dan gigi 2 ! 2 berbentuk kerucut (peg shape)
54 ! 45
Dari contoh-contoh tersebut di atas di dalam merumuskan diagnosis itu
secara sistematis ada beberapa tahapan yang harus diingat dan dicarikan datanya
dari hasil pemeriksaan terdahulu :
1. Nyatakan Maloklusi Angle klas :………..(lihat relasi gigi molar pertama atas
dan bawah) :
• Klas I, II atau klas III
• Divisi 1, 2
• Sub divisi
• Tipe dental, skeletal atau dentoskeletal (dengan melihat analisis profil
Simon)
14
2. Nyatakan kelaian relasi / malrelasi gigi lainnya yang ada pada data hasil
pemeriksaan
• Relasi gigi dalam arah vertikal :
-
openbite
-
edge to edge bite
-
shalowbite
-
overbite normal (2 – 4 mm)
-
deepbite
-
palatalbite
-
supraklusi
-
infraklusi
• relasi gigi dalam arah anteroposterior dan lateral (fasiolingual) :
-
Overjet besar / berlebihan (> 4 mm)
-
Overjet normal (2 – 4 mm)
-
Overjet kecil (< 2 mm)
-
Oedge to edge bite ( 0 mm)
-
Crossbite (gigi anterior atau posterior)
-
Scissor bite
3. Nyatakan kelainan atau anomali posisi atau malposisi gigi individual yang
ada :
•
labioversi atau bukoversi
•
linguoversi atau palatoversi
•
torsiversi atau rotasi
•
distoversi
•
mesioveri
•
supraversi
•
infraversi
•
transversi
•
aksiversi
15
•
mesiolabioversi (kombinasi)
4. Nyatakan kelainan-kelainan lainnya yang masih ada seperti :
•
Diastemata
•
Median line gigi tidak segaris, bergeser dari posisi normal
•
Tidak ada gigi : telah dicabut, impaksi, agenese
•
Kelainan morfologi : gigi berbentuk kerucut, berbentuk pasak, atau
mesiodens.
•
Prolonged retention atau persistensi
•
Premature extractie (pencabutan dini)
•
Adanya sisa akar yang tertinggal
•
Dan lain-lain.
⇒ Penentuan tipe maloklusi (dental, skeletal, atau dentoskeletal) dapat dilakukan
dengan:
a. Analisis profil klinis:
♦ Mengamati hubungan rahang atas terhadap rahang bawah langsung pada
pasien dengan bantuan seutas benang yang diberi pemberat, pasien diamati
dari lateral tegak lurus bidang sagital, sebagai acuan atau referensi dalam
keadaan normal akan melewati permukaan labial gigi di daerah sepertiga
bagian distal lebar mesiodistal gigi kaninus atas kanan dan kiri (Dalil
Kaninus atau Simon Low) dan pada rahang bawah akan melewati daerah
interdental gigi kaninus dan premolar pertama pada sisi distal kaninus
bawah.
♦ Apabila bidang orbital pasien berada di distal posisi normal maka posisi
maksila atau mandibula pasien protrusif dan bila ada di mesial posisi
normal maksila atau mandibula retrusif.
♦ Posisi maksila dan madibula pasien dapat pula ditentukan dengan
mengamati bagian depan maksila (Subnasale atau Sn) dan bagian depan
16
mandibula (Pogonion atau Pog) terhadap bidang yang melalui titik
glabella tegak lurus FHP (G ⊥ FHP)
♦ Maksila normal : titik Sn berjarak 6 + 3 mm, protrusif >9 mm, retrusif < 3
mm
♦ Mandibula normal : titik Pog.berjarak 0 + 4 mm, proturusif > 4 mm,
retrusif
< 0 mm/ negatif.
Gambar 1 : Posisi maksila dan mandibula terhadap bidang orbital (Dalil Simon)
b. Analisis gnatostatik model :
♦ Model gigi dibuat dan dikonstruksi dengan alat Gnatostaat sehingga dapat
mentransfer posisi bidang orbital, bidang oklusal sesuai dengan keadaan
17
pasien. Posisi bidang orbital pada model dapat ditentukan dengan
membuat garis sesuai dengan posisi bidang orbital pasien, kedua sudut
samping depan kanan dan kiri boksing model rahang atas tepat pada posisi
bidang orbital pasien (garis Simon).
♦ Penentuan posisi maksila ditentukan dengan mengamati posisi sepertiga
distal kaninus atas terhadap tepi lateral depan boksing (bidang orbital)
♦ Posisi mandibula dapat ditentukan dengan mengamati posisi interdental
kaninus dan premolar pertama bawah terhadap tepi lateral depan boksing
(bidang orbital).
c. Analisis model studi:
♦ Posisi bidang orbital pada studi model dapat ditransfer dari hasil
pengamatan langsung secara klinis seperti yang dilakukan di atas (a)
kemudian ditandai pada permukaan labial atau bukal gigi pada model dan
pada tepi lateral boksing kemudian model ditriming untuk membentuk
sudut depan lateral boksing.
♦ Kemudian tentukan posisi maksila dan mandibula, dapat dilakukan dengan
menetapkan posisi bidang orbital pasien : bila melewati daerah sepertiga
distal permukaan labial gigi kaninus atas posisi maksila normal, bila
berada didistalnya posisi maksila protrusif dan bila berada didepannya
posisi maksila retrusif.
♦ Posisi mandibula ditetapkan dengan mengoklusikan model RA atau RB
secara sentrik, amati posisi bidang orbital pasien pada gigi-gigi bawah,
bila melewati daerah interdental gigi kaninus dan premolar pertama bawah
tepat pada sisi distal gigi kaninus posisi mandibula normal, bila garis
Simon (bidang orbital) berada di distalnya posisi madibula protrusif dan
bila berada didepannya posisi mandibula retrusif.
♦ Bila posisi maksila dan mandibula kedua-duanya berada di pada posisi
normal profil pasien ortognatik, bila kedua-duanya protrusif profil pasien
bikmaksiler prognatism dan bila kedua-duanya retrusif
profil pasien
bimaksiler retrognatism.
18
♦ Penentuan posisi garis Simon (bidang orbital) bisa salah bila pengamatan
profil pasien dari samping tidak tepat tegak lurus terhadap bidang sagital
pasien.
♦ Penentuan diagnosis bisa salah apabila posisi gigi kaninus atas malposisi,
bila gigi kaninus malposisi posisi normalnya nanti bisa ditetapkan pada
pembuatan lengkung ideal yaitu pada posisi garis Simon yang telah
ditandai pada model seperti yang dilakukan di atas.
d. Analisis foto profil :
♦ Dengan memakai garis tegak lurus bidang FHP melalui titik Glabela (G)
sebagai referensi, posisi maksila (titik Subnasale atau Sn) dan mandibula
(titik Pogonion atau Pog) ditetapkan terhadap garis referensi G ⊥ FHP:
♦ Maksila normal : titik Sn berjarak 6 + 3 mm, protrusif >9 mm, retrusif < 3
mm
♦ Mandibula normal : titik Pog.berjarak 0 + 4 mm, proturusif > 4 mm,
retrusif < 0 mm atau negatif.
e. Analisis Sefalometrik :
♦ Analisis Simon : dengan menarik garis tegak lurus FHP melalui titik
orbital (Or) sampai memotong permukaan labial gigi kaninus atas pada
sefalogram lateral (dalil Simon), kemudian posisi maksila dan madibula
dapat ditentukan seperti tersebut di atas.
♦ Analisis kecembungan profil Subtelny :
• Profill skeletal (sudut N-A-Pog) : Klas I : 174° , Klas II 178° , Klas III :
181°
• Profil jaringan Lunak (sudut N-Sn-pog) : Klas I : 159° , Klas II 163° ,
Klas III : 168°
• Profil total jaringan lunak (sudut N-No-pog) : Klas I : 133° , Klas II
133° , Klas III : 139°
(N/n= Nasion, A= Subspinale, Sn = subnasale, No = puncak hidung, Pog =
Pogonion)
♦ Analisis Steiner dengan mengukur besar :
19
• Sudut SNA (normal 82°) , >82° maksila protrusif , < 82° maksila
retrusif
• Sudut SNB (normal 80°) , > 80° mandibula protrusif, < 80° mandibula
retrusif
• Sudut ANB, bila titik A di depan titik B (normal rata-rata 2°): klas I
skeletal atau ortognatik, bila titk A jauh didepan titik B (>>2° atau
positif) : klas II skeletal atau retrognatik, bila titik A jauh di belakang
titik B (<<2° atau negatif ) : klas III skeletal atau prognatik
f. Dan lain-lain.
Dengan cara tersebut di atas posisi rahang bawah dan rahang atas dalam
hubungannya terhadap bidang referensi untuk menentukan tipe skeletalnya dapat
ditetapkan :
Apakah termasuk relasi skeletal klas I (Ortognatik), Klas II (Retrognatik) atau
klas III (Prognatik).
a. Pada Relasi skeletal klas I (Ortognatik) :
♦ Posisi maksila dan mandibula normal
♦ Jika posisi gigi terhadap masing-masing rahangnya semua normal (teratur
rapi) maka relasi gigi molar pertama atas dan bawah klas I Angle
(neutroklusi) dan relasi gigi-gigi lainnya terhadap antagonisnya normal
maka kasus ini didiagnosis sebagai : Oklusi normal.
♦ Jika relasi gigi molar pertama klas I (neutroklusi) tetapi ada gigi lainnya
yang malposisi atau malrelasi maka kasus ini didiagnosis sebagai
maloklusi klas I Angle tipe dental.
♦ Jika relasi gigi molar pertama distoklusi baik disertai maupun tanpa
disertai malposisi dan malrelasi gigi lainnya maka kasus ini didiagnosis
sebagai maloklusi klas II Angle tipe dental.
♦ Jika maloklusi klas II Angle ini disertai dengan protrusif gigi anterior atas
didiagnosis sebagai maloklusi klas I Angle divisi 1 tipe dental , dan jika
20
disertai dengan retrusif gigi anterior atas, didiagnosis sebagai maloklusi
klas II Angle divisi 2 tipe dental
♦ Jika relasi gigi molar pertama mesioklusi baik disertai maupun tanpa
disertai cross bite gigi anterior atau malposisi dan malrelasi gigi lainnya
maka kasus ini didiagnosis sebagai maloklusi klas III Angle tipe dental.
♦ Jika relasi molar klas II atau klas III ini hanya satu sisi (unilateral) maka
klasifikasi maloklusi dilengkapi dengan subdivisi
b. Pada Relasi skeletal klas I I (Retrognatik) :
♦ Posisi maksila lebih ke depan (protrusif) dan atau posisi mandibula lebih
ke belakang dari posisi normal (retrusif).
♦ Jika posisi gigi-gigi terhadap masing-masing rahangnya normal maka
relasi gigi-gigi bawah terhadap gigi-gigi atas distoklusi karena gigi-gigi
tersebut terletak pada rahang yang hubungannya retrognatik, hubungan
gigi molar pertama atas terhadap gigi molar pertama bawah klas II, maka
kasus ini didiagnosis sebagai : maloklusi klas II Angle tipe skeletal.
♦ Jika relasi klas II ini diikuti dengan malposisi gigi anterior berupa protrusif
gigi anterior atas maka kasus ini didiagnosis sebagai : maloklousi klas II
Angle divisi 1, dan jika gigi-gigi anterior atas dalam keadaan retrusif
maka kasus ini adalah : maloklusi klas II Angle divisi 2.
♦ Jika posisi gigi molar pertama atas dan atau bawah tidak normal terhadap
masing-masing rahangnya maka ada beberapa kemungkinan relasi gigi
molar:
♦ Jika gigi molar pertama atas distoversi dan atau gigi molar pertama bawah
mesioversi, dapat mengkompensasi deskrepansi hubungan rahang yang
retrognatik maka relasi molar pertama menjadi neutroklusi, maka kasus ini
diagnosis sebagai : maloklusi Angle klas I tipe dentoskletal. Jika malposisi
gigi molar tersebut tidak dapat mengkompensasi diskrepansi hubungan
rahannya maka relasi gigi molar tetap distoklusi maka kasus ini
didiagnosis sebagai: maloklusi klas II Angle tipe dento skeletal.
♦ Jika malposisi gigi molar pertama atas mesioversi dan atau gigi molar
pertama bawah distoversi maka hubungan gigi molar pertama atas dan
21
bawah akan semakin ekstrem ke arah maloklusi klas II Angle tipe
dentoskeletal.
c. Pada Relasi skeletal klas III (Prognatik) :
♦ Posisi maksila lebih ke belakang ( retrusif) dan atau posisi mandibula
lebih ke depan terhadap posisi normalnya (protrusif).
♦ Jika posisi gigi-gigi terhadap masing-masing rahangnya normal, maka
relasi gigi molar pertama atas dan bawah menjadi mesioklusi pada rahang
yang prognatik sehingga kasus ini diagnosis sebagai maloklusi klas III
Angle tipe skeletal.
♦ Jika posisi gigi terhadap masing-masing rahangnya tidak normal, maka
dapat terjadi beberapa kemungkinan hubungan gigi molar pertama atas dan
bawah :
♦ Jika posisi gigi molar pertama atas mesioklusi dan
atau gigi molar
pertama bawah distoklusi dapat mengkompensasi hubungan rahang yang
prognatik maka relasi gigi molar pertama atas dan bawah menjadi
neutroklusi maka kasus ini didiagnosis sebagai: maloklusi klas I Angle
tipe dentoskeletal. Jika malposisi gigi molar tersebut tidak dapat
mengkompensasi diskrepansi hubungan rahannya maka relasi gigi molar
tetap mesioklusi maka kasus ini didiagnosis sebagai: maloklusi klas III
Angle tipe dentokeletal.
♦ Jika malposisi gigi molar pertama atas distoversi dan atau gigi molar
pertama bawah mesiooversi maka hubungan gigi molar pertama atas dan
bawah akan semakin ekstrem ke arah maloklusi klas III Angle tipe
dentoskeletal.
♦ Relasi rahang atas dan bawah keduanya tidak normal pada arah yang
sama (Bimaksiler) :
-
Jika maksila dan madibula kedua-duanya pada posisi ke depan
maka maloklusi ini disebut sebagai tipe prognatik bimaksiler
(bimaxillary prognatism).
22
- Jika maksila dan madibula kedua-duanya pada posisi ke
belakang maka maloklusi ini disebut sebagai tipe retrognatik
bimaksiler (bimaxillary retrognatism).
ALUR HUBUNGAN PEMERIKSAAN, PENENTUAN
DIAGNOSIS DAN PERAWATAN ORTODONTIK
`
Pemeriksaan klinis
Analisis Model Studi
KLASIFIKASI/DIAGNOSIS
SEMENTARA
Data Diagnostik Tambahan:
1.
2.
3.
4
5.
6.
7.
8.
9.
Analisis Fotometri
Analisis Ro. Foto
Analisis Sefalometri
Konsul ke Bedah Mulut
Konsul ke
Periodontologi
Konsul ke Konservasi
Konsul ke THT
Konsul Ke Kardiologi
Pemerilsaan
DIAGNOSIS
Rencana Perawatan
Perawatan
Evaluasi Hasil
Perawatan Selanjutnya
Modifikasi Rencana Perawatan
Hasil akhir
23
II. ETIOLOGI MALOKLUSI
a. PENDAHULUAN
Kebanyakan dari maloklusi yang memerlukan perawatan ortodonsia disebabkan
oleh karena dua kemungkinan
:
1. Perbedaan antara ukuran gigi-gigi dan ukuran rahang yang menampung gigi
tersebut.
2. Pola tulang muka yang tidak selaras.
Untuk mempermudah mengetahui etiologi dari maloklusi dibuat klasifikasi dari
penyebab kelainan maloklusi tersebut. Terdapat dua pembagian pokok klasifikasi
maloklusi
:
1. Faktor Ekstrinsik atau disebut faktor sistemik atau faktor umum
2. Faktor Intrinsik atau faktor lokal
b. PENYAJIAN
1. Faktor Ekstrinsik
a. Keturunan (hereditair)
b. Kelainan bawaan (kongenital) misal : sumbing, tortikollis, kleidokranial
diostosis, cerebral plasi, sifilis dan sebagainya.
c. Pengaruh lingkungan
• Prenatal, misalnya : trauma, diet maternal, metabolisme maternal dan
sebagainya.
• Postnatal, misalnya : luka kelahiran, cerebal palsi, luka TMJ dan
sebagainya.
d. Predisposisi ganguan metabolisme dan penyakit
• Gangguan keseimbangan endokrin
• Gangguan metabolisme
• Penyakit infeksi
e. Kekurangan nutrisi atau gisi
24
f. Kebiasaan jelek (bad habit) dan kelainan atau penyimpangan fungsi.
• Cara menetek yang salah
• Mengigit jari atau ibu jari
• Menekan atau mengigit lidah
• Mengigit bibir atau kuku
• Cara penelanan yang salah
• Kelainan bicara
• Gangguan pernapasan (bernafas melalui mulut dan sebagainya)
• Pembesaran tonsil dan adenoid
• Psikkogeniktik dan bruksisem
g. Posture tubuh
h. Trauma dan kecelakaan
2. Faktor Intrinsik
:
a. Kelainan jumlah gigi
b. Kelainan ukuran gigi
c. Kelainan bentuk
d. Kelainan frenulum labii
e. Prematur los
f. Prolong retensi
g. Kelambatan tumbuh gigi tetap
h. Kelainan jalannya erupsi gigi
i.
Ankilosis
j.
Karies gigi
k. Restorasi gigi yang tidak baik
 FAKTOR EKSTRINSIK
a.
Faktor keturunan atau genetik
Faktor keturunan atau genetik adalah sifat genetik yang diturunkan dari
orang tuanya atau generasi sebelumnya. Sebagai contoh adalah ciri-ciri khusus
suatu ras atau bangsa misalnya bentuk kepala atau profil muka sangat dipengaruhi
25
oleh ras atau suku induk dari individu tersebut yang diturunkan dari kedua orang
tuanya. Bangsa yang merupakan prcampuran dari bermacam-macam ras atau suku
akan dijumpai banyak maloklusi
b.
Kelainan bawaan
Kelainan bawaan kebanyakan sangat erat hubungannya dengan faktor
keturunan misalnya sumbing atau cleft : bibir sumbing atau hare lip, celah
langit-langit (cleft palate).
• Tortikolis : adanya kelainan dari otot-otot daerah leher sehingga tidak
dapat tegak mengkibatkan asimetri muka.
• Kleidokranial disostosis
adalah tidak adanya tulang klavikula baik
sebagian atau seluruhnya, unlateral atau bilateral, keadaan ini diikuti
dengan terlambatnya penutupan sutura kepala, rahang atas retrusi dan
rahang bawah protrusi.
• Serebral palsi adalah adanya kelumpuhan atau gangguan koordinasi otot
yang disebabkan karena luka didalam kepala yang pada umumnya sebagai
akibat kecelakaan pada waktu kelahiran. Adanya gangguan fungsi pada
otot-otot
pengunyahan,
penelanan,
pernafasan
dan
bicara
akan
mengakibatkan oklusi gigi tidak normal.
• Sifilis : akibat penyakit sifilis yang diderita orang tua akan menyebabkan
terjadinya kelainan bentuk dan malposisi gigi dari bayi yang dilahirkan
c.
Gangguan keseimbangan endokrine
Misal : gangguan parathyroid, adanya hipothiroid akan menyebabkan
kritinisme dan resorpsi yang tidak normal sehingga menyebabkan erupsi
lambat dari gigi tetap.
d.
Kekurangan nutrisi dan penyakit
Misal : Rickets (kekurangan vitamin D), Scorbut (kekurangan vitamin C),
beri-beri (kekurang vitamin B1) mengakibatkan maloklusi yang hebat.
Ciri-ciri faktor oklusi yang diturunkan (herediter)
26
1. Kedudukan dan penyesuaian antara otot-otot perioral dengan
bentuk dan
ukuran lidah mempengaruhi keseimbangan oklusi (oklusi normal). Adanya
penyesuaian antara bentuk muka, bentuk dan ukuran rahang dan lidah.
2. Sifat-sifat mukosa, ukuran, bentuk lidah dan frenulum.
Sifat mukosa : keras, lunak, kencang atau lembek mempengaruhi erupsi gigi.
Frenulum labii dapat mengakibatkan celah
gigi dan mempengaruhi
kedudukan bibir.
Frenulum buccinator mengakibatkan rotasi gigi.
3. Ukuran gigi-gigi dan
mengakibatkan
gigi
lebar
berjejal
serta penjang
atau
bercelah.
lengkung
Misalnya
rahang
dapat
makrodontia,
mikrodomtia. Lebar dan panjang lengkung rahang, penyesuaian antara rahang
atas dan rahang bawah mengakibatkan terjadinya mandibuler retrusi atau
prognatism.
 FAKTOR INTRINSIK ATAU LOKAL
a. Kelainan jumlah gigi
1. Super numerary gigi (gigi kelebihan)
Lebih banyak terjadi pada rahang atas, kedudukan dekat midline (garis
mediana) sebelah palatival gigi seri rahang atas disebut mesiodens.
Bentuknya biasanya konus kadang-kadang bersatu (fused) dengan gigi
pertama kanan atau kiri, jumlahnya pada umumnya sebuah tapi kadangkadang sepasang. Gigi supernumery kadang-kadang tidak tumbuh
(terpendam atau impected) sehingga menghalangi tumbuhnya gigi tetap
didekatnya atau terjadi kesalahan letak (malposisi). Oleh karena itu pada
penderita yang mengalami kelambatan atau kelainan tumbuh dari gigi seri
rahang atas perlu dilakukan Ro photo.
2. Agenese dapat terjadi
bilateral atau unilateral atau kadang-kadang
unilateral dengan partial agenese pada sisi yang lain
27
Lebih banyak terjadi dari pada gigi supernumerary. Dapat terjadi pada
rahang atas maupun rahang bawah tetapi lebih sering pada rahang bawah.
Urutan kemungkinan terjadi kekurangan gigi adalah sebagai berikut :
-
Gigi seri II rahang atas ( I 2 )
-
Gigi geraham kecil II rahang bawah ( P 2 )
-
Gigi geraham III rahang atas dan rahang bawah
-
Gigi geraham kecil II ( P 2 ) rahang bawah
-
Pada kelainan jumlah gigi kadang diikuti dengan adanya kelainan
bentuk atau ukuran gigi. Misalnya bentuk pasak dari gigi seri II (peg
shaps tooth).
b. Kelainan ukuran gigi
Salah satu penyebab utama terjadinya malposisi adalah gigi sendiri yaitu
ukuran gigi tidak sesuai dengan ukuran rahang, ukuran gigi lebih lebar atau
sempit dibandingkan dengan lebara lengkung rahang sehingga meyebabkan
crowded atau spasing.
c. Kelainan bentuk gigi
Kelainan bentuk gigi yang banyak dijumpai adalah adanya peg teeth ( bentuk
pasak) atau gigi bersatu (fused). Juga perubahan bentuk gigi akibat proses atrisi
(karena fungsi) besar pengaruhnya terhadap terjadinya maloklusi, terutama
pada gigi sulung (desidui).
d. Kelainan frenulum labii
e. Premature los
Fungsi gigi sulung (desidui) adalah : pengunyahan, bicara, estetis
Juga yang terutama adalah menyediakan ruang untuk gigi tetap, membantu
mempertahankan tinggi oklusal gigi-gigi lawan (antagonis), membimbing
erupsi gigi tetap dengan proses resopsi.
Akibat premature los fungsi tersebut akan terganggu atau hilang sehingga dapat
mengkibatkan terjadinya malposisi atau maloklusi.
f. Kelambatan tumbuh gigi tetap (delayed eruption)
Dapat disebabkan karena adanya gigi supernumerary, sisa akar gigi sulung atau
karena jaringan mucosa yang terlalu kuat atau keras sehingga perlu dilakukan
28
eksisi. Kadang-kadang hilang terlalu awal (premature los) gigi sulung akan
mempercepat
erupsinya
gigi
tetap
menyebabkan terjadinya penulangan
penggantinya,
yang
tetapi
dapat
berlebihan sehingga
pula
perlu
pembukaan pada waktu gigi permanen akan erupsi, sehingga gigi tetap
penggantinya dapat dicegah.
g. Kelainan jalannya erupsi gigi
Merupakan akibat lebih lanjut dari gangguan lain. Misalnya adanya pola
herediter dari gigi berjejal yang parah akibat tidak seimbangnya lebar dan
panjang lengkung rahang dengan elemen gigi yaitu adanya : persistensi atau
retensi, Supernumerary, pengerasan tulang, tekanan-tekanan mekanis :
pencabutan, habit atau tekanan ortodonsi, faktor-faktor idiopatik (tidak
diketahui)
h. Ankilosis
Ankilosis atau ankilosis sebagian sering terjadi pada umur 6 – 12 tahun.
Ankilosis terjadi oleh karena robeknya bagian dari membrana periodontal
sehingga lapisan tulang bersatu dengan laminadura dan cemen.
Ankilosis dapat juga disebabkan oleh karena gangguan endokrin atau penyakitpenyakit kongenital (misal : kleidokranial disostosis yang mempunyai
predisposisi terjadi ankilosis, kecelakaan atau trauma).
i.
Karies gigi
Adanya karies terutama pada bagian aproksimal dapat mengakibatkan
terjadinya pemendekan lengkung gigi sedang karies beroklusal mempengaruhi
vertikal dimensi. Adanya keries gigi pada gigi sulung mengakibatkan
berkurangnya tekanan pengunyahan yang dilanjutkan ke tulang rahang, dapat
mengakibatkan
rangsangan
pertumbuhan
rahang
berkurang
sehingga
pertumbuhan rahang kurang sempurna.
j.
Restorasi gigi yang tidak baik
Terutama tumpatan aproksimal dapat menyebabkan gigi elongasi, sedangkan
tumpatan oklusal dapat menyebabkan gigi ektrusi atau rotasi.
III. RENCANA PERAWATAN
29
a. PENDAHULUAN
Diagnosis ortodonsi dianggap lengkap bila daftar problem pasien diketahui
dan antara problem patologi dan perkembangan dipisahkan . Tujuan rencana
perawatan adalah mendisain strategi operator dengan bijaksana dan hati-hati
dalam menggunakan keputusannya yang digunakan untuk menyelesaikan problem
tersebut dengan memaksimalkan manfaat bagi pasien dan meminimalkan beaya
dan risiko.
Pathology (caries, periodontal)
Problem list
= diagnosis
control before orthodontic
treatment
evaluate
Orthodontic
A
 A
(developmental) B
 B posible
Problems
C
 C solutions
Priority Order
interaction
compromise
cost/ benefit
other factors
Patient
informed
-parent
consult
alterna
tif consent
planseffectiveness
patiens
in put
Tx plan
concept
efficiency
Tx
plan
detail
b. PENYAJIAN
30
 RANGKAIAN
DARI
TAHAP
RENCANA
PERAWATAN
ORTODONTIK
Hasil diagnosis disusun dalam
daftar yang lengkap problem pasien.
Meskipun ada beberapa problem patologi yang tercatat, tetapi jika 5 karakteristik
dari maloklusi digunakan di dalam struktur daftar problem, maka akan didapat
maksimum 5 problem besar dari perkembangan , meskipun rata-rata pasien tidak
mempunyai sebanyak itu. Jika daftar problem tentang perkembangan dijumpai
dihubungkan dengan maloklusi seharusnya dibuat skema klasifikasinya untuk
mempermudah proses rencana perawatan. Mempunyai problem yang banyak pada
daftar problem akan membingungkan.
Langkah pertama dalam merencanakan perawatan ortodontik adalah
memisahkan problem patologi dari problem ortodontik (perkembangan), maka
proses rencana perawatan dapat diatur sebagai berikut.
1. problem ortodontik dijadikan prioritas
2. catat kemungkinan perawatan dengan lengkap
3. evaluasi kemungkinan solusinya, pertimbangkan factor-faktor
yang berpengaruh
4. jelaskan konsep rencana perawatan dengan pasien dan
keluarganya
5. buat rencana perawatan secara detail dan tahap-tahapnya
Prinsip terpenting adalah bahwa pasien tidak harus dalam keadaan
kesehatan yang sempurna jika mendapat perawatan ortodontik. Tetapi jika ada
penyakit atau patologi yang menyertainya harus sudah dalam pengawasan.
Artinya penyakit kronik atau akut yang mungkin ada harus dihentikan. Untuk
kasus ini problem patologi harus di rawat sebelum perawatan ortodontik dimulai.
Pada rangkaian perawatan , perawatan ortodontik dilakukan sesudah mengontrol
keadaan penyakit sistemik, perawatan periodontal dan pembuatan restorasi gigi.
Contoh kasus : pasien dengan problem patologi ada inflamasi flap pada molar dua
bawah, rencana perawatannya adalah melakukan irigasi dan observasi dengan
menjaga oral hygiene . Juga adanya attached gingival yang minimal pada anterior
31
bawah , rencana perawatannya adalah hanya diobservasi selama tahap perawatan
ortodontik
Patologi problem:
Inflamasi flap diatas molar dua bawah ------ irigasi, observasi
Attachment gingival yang minimal pada anterior bawah ------- tidak dirawat
dulu , tetapi diobservasi
 DAFTAR PRIORITAS PROBLEM ORTODONTIK
Problem ortodontik pasien dijadikan prioritas dalam membuat tahap
proses rencana perawatan, dengan maksud memaksimalkan manfaat bagi pasien,
karena itu problem harus diidentifikasi dan rencana perawatan harus difokuskan
pada keluhan pasien. Sebagai contoh, jika pasien mengeluh adanya protrusi dan
gigi insisivus yang tidak teratur, maka harus memprioritaskan keluhannya
walaupun ada gigi molar yang hilang dan memerlukan perawatan prostodontik.
Sebaliknya jika protrusi dan gigi yang tidak teratur bukan merupakan keluhan
pasien tetapi ada problem fungsi oklusal, maka mengganti gigi yang hilang
merupakan prioritas perawatan.
Kesukaran selalu akan dihadapi oleh operator
untuk menghindari
terjadinya benturan kepentingan. Sebagai contoh pasien dengan keluhan protrusi
dagu dan mempunyai maloklusi klas III. Jika operator memfokuskan perhatiannya
kepada problem maloklusi klas III dan membuat gigi-gigi menjadi oklusi yang
baik dan mengacuhkan kondisi dagunya, kelihatannya pasien akan puas dengan
hasil perawatan, tetapi rencana perawatan yang dibuat tidak sesuai dengan
problem pasien.
Contoh kasus : pasien dengan deep overbite yang besar, skeletal dan dental.,
ada crowding derajat sedang pada maksila dan ringan pada mandibula. Relasi
molar ½ tonjol klas II. Pada pasien ini koreksi elongasi insisivus adalah kunci
pertama perawatan
Daftar prioritas problem
1. deepbite yang dalam, skeletal/ dental
2. crowding maksila moderat dan mandibula ringan
3. klas II 1/2 tonjol
32
 KEMUNGKINAN PERAWATAN
Tahap selanjutnya dari rencana perawatan adalah mendaftar kemungkinan
perawatan dari tiap problem dimulai dari prioritas tertinggi. Pada tahap ini tiap
problem dipertimbangakn secara individual dan pada saat itu kemungkinan
solusinya dibuat seakan-akan problem pasien hanya satu.
Pertimbangkan kemungkinan solusi bagi pasien sebagai hal yang pertama,
pada kasus ini overbite sangat besar dan fasial pendek dengan super erupsi dari
gigi insisivus maksila dan mandibula. Hal ini memerlukan koreksi curve of Spee
pada lengkung bawah dan koreksi kurve pada lengkung atas. Ada 3 jalan yang
dapat dilakukan.
1.
absolut intrusi insisivus atas dan bawah, dengan menggerakkan apeks
akar mendekati hidung dan tepi bawah mandibula,
2.
relatif intrusi insisivus dengan mempertahankan insisivus selagi
mandibula tumbuh dan gigi posterior erupsi,
3.
ekstrusi gigi posterior yang memungkinkan mandibula rotasi ke bawah
dan ke belakang
Relatif intrusi dari insisivus dan ekstrusi dari gigi-gigi posterior pada
batasan gerakan gigi adalah sama. Perbedaannya adalah apakah pertumbuhan
vertical ramus mengko mpensasi bertambah tingginya molar ( apakah mandibular
plane angle dipertahankan (relatif intrusi) atau menambah rotasi mandibula ke
bawah dan ke belakang (ekstrusi). Pada usia 17 tahun pertumbuhan vertical sudah
tidak dapat diharapkan atau hanya terjadi sedikit, maka absolut intrusi atau
ekstrusi adalah kemungkinannya. Pada pertumbuhan yang telah berhenti,
mendatarkan (leveling) lengkung dengan ekstrusi gigi-gigi posterior akan
mengakibatkan rotasi mandibula ke bawah dan ke belakang terutama pada klas II
yang hal ini tidak diharapkan terjadi pada pasien. Maka intrusi adalah solusi yang
33
terbaik untuk memperbaiki deep overbite meskipun akan menimbulkan perawatan
yang kompleks.
Problem kedua adalah crowding gigi insisivus yang berat pada lengkung
atas dan ringan pada lengkung bawah. Untuk menentukan apakah akan dilakukan
ekspansi rahang atau ekstraksi premolar di pertimbangkan atas keadaan posisi
akhir insisivus . Pasien ini mempunyai hidung dan dagu yang maju, sehingga
estetik akan lebih baik bila insisivus lebih maju. Secara estetik akan tidak
menguntungkan bila dilakukan retraksi insisivus karena akan menyebabkan
hidung nampak besar, tetapi jika ekstraksi tetap akan dilakukan maka penutupan
ruang dilakukan dengan cara memajukan gigi posterior ke depan. Anchorage
untuk mengintrusi gigi anterior akan tidak sesuai dengan pola penutupan ruang
ini. Oleh karena itu jika intrusi insisivus merupakan pilihan yang terbaik , maka
ekspansi lengkung juga harus dipertimbangkan.
Problem ketiga adalah tendensi klas II, yang dapat diperbaiki dengan
pertumbuhan mandibula, tetapi pasien ini telah selesai masa pertumbuhannya.
Karena itu pemakaian elastik klas II yang menarik lengkung mandibula ke depan
dapat dipertimbangkan walaupun elastik ini cenderung menyebabkan ekstrusi
molar bawah dan dapat merotasi mandibula kebawah dan kedepan, karenanya
pemakaiannya harus hati-hati.
Kemungkinan solusi problem
Deep overbite, skeletal/ dental---- elongasi gigi posterior, mempertahankan insisivus:
- continuous arch wite
- intrusi relatif ( sesuai pertumbuhan vertical)
- ekstrusi ( akibatnya mandibula rotasi ke bawah –kebelakang)
intrusi insisivus dengan elongasi minimal molar
- segmented arch wire
- intrusi absolut ( tanpa mempertimbangakn pertumbuhan )
crowding insisivus : maksila moderate, mandibula ringan --- ekspansi kedua lengkung
- mengakibatkan insisivus maju
ekstraksi premolar satu atas
- mengakibatkan molar atas maju
ekstraksi premolar satu atas, premolar dua bawah
34
- dapat meretraksi insisivus kedua lengkung yang tak diharapkan
tendensi klas II
pertumbuhan mandibula yang diharapkan ????
 FAKTOR-FAKTOR DALAM MENGEVALUASI KEMUNGKINAN
PERAWATAN
Ada 4 faktor tambahan yang relevan yang harus dipertimbangkan:
1. Interaksi antar kemungkinan solusi
Interaksi antar kemungkinan solusi dari berbagai problem pasien akan
lebih mudah dilihat jika kemungkinannya didaftar, seperti pada kasus
diatas akan lebih jelas jika tiap pasien kemungkinan solusinya menjadi
problem yang diprioritaskan akan juga mensolusi problem yang lainnya
Pada kasus diatas yang penting diperhatikan adalah adanya hubungan
antara perubahan vertical dan horizontal dari
posisi mandibula .
Bayangkan jika pada kondisi yang sebaliknya yaitu adanya open bite,
sering kali masalahnya terjadi tidak pada pengurangan erupsi dari insisivus
tetapi akibat erupsi yang berlebihan pada gigi posterior dan terjadinya
mandibula yang rotasi kebawah dan kebelakang. Karenanya pada keadaan
ini pemakaian elastik vertical untuk mengelongasi gigi anterior bukan
merupakan solusinya. Perawatan harus ditujukan untuk depresi elongasi
gigi posterior , atau mencegahnya erupsi selagi bagian lain tumbuh. Hal ini
akan membuat mandibula rotasi ke atas bersama gigi insisivus, walaupun
jika mandibula rotasi ke atas juga akan maju ke depan dan akan menjadi
baik bila pasien mempunyai maloklusi klas II pada awalnya , tetapi akan
menjadi jelek bila pasien mempunyai maloklusi klas III
Interaksi lain yang penting adalah hubungan antara insisivus yang protrusi
dan penentuan ekstraksi dan ekspansi. Ekspansi lengkung untuk
memperbaiki gigi yang crowding dengan arah transversal akan cenderung
35
membuat insisivus lebih protrusif. Pada keadaan ini kemungkinan estetik
akan lebih menguntungkan, tetapi gigi-gigi yang teratur tersebut tidak
akan stabil dibandingkan jika gigi insisivus diretraksi.
2. Kompromi
Pada pasien dengan problem yang bermacam-macam tidak mungkin
diselesaikan semuanya. Karenanya harus dilakukan kompromi prioritas
dari daftar problem.
Tujuan perawatan ortodontik adalah mendapatkan oklusi yang ideal,
dengan estetik fasial yang ideal, dan hasil yang stabil dan sering kali sukar
untuk mencapai ketiga-tiganya.
Meskipun oklusi dental didambakan tetapi tidak semua pasien dapat
menerima perlakuan ini. Kadang-kadang oklusi ideal dirubah dengan
ekstraksi untuk mencapai estetik yang baik dan stabil.
3. Beaya dan risiko
Hubungan antara kesulitan perawatan dan manfaat perawatan harus juga
dipertimbangkan. Kesulitan untuk menentukan risiko dan beaya tidak
hanya tergantung pada soal keuangan tetapi juga kooperasi , kenyamanan,
waktu, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh pasien dengan openbite,
untuk mengurangi tinggi fasial jika dilakukan operasi rahang akan
membutuhkan banyak biaya dan risikonya besar
dibandingkan jika
digunakan elastik untuk mengelongasi insisivus atau dengan mengurangi
oklusal gigi posterior yang kedua cara tersebut dilakukan untuk
mengurangi tinggi gigitan.
4. Pertimbangan lain
Penting untuk memberikan pertimbangan perawatan pada tiap individu
pasien.
Sebagai
contoh
apakah
waktu
perawatan
diminimalkan
sehubungan dengan adanya penyakit periodontal? Haruskah tahap
perawatan ditangguhkan karena tidak pastinya pola pertumbuhan ?
 MENDAPATKAN IZIN INFORMASI (INFORMED CONSENT)
36
Dokter harus selalu menganalisa situasi pasien sehingga dapat menentukan
perawatan yang terbaik dan sesuai dengan permintaan pasien. Diskusi dengan
pasien dan keluarganya seharusnya dilakukan dengan rutin untuk membicarakan
keuntungan dan kerugian dari macam perawatan.
Interaksi kemungkinan perawatan
Pada masa pertumbuhan telah selesai, penambahan tinggi fasial akan mengakibatkan mandibula
dan kebelakang, membuat defisiensi mandibula makin parah
- ekspansi lengkung akan mengakibatkan insisivus maju, memperbaiki bibir tetapi
membuat overjet lebih besar
- ekstraksi pada lengkung akan mengurangi dukungan pada bibir dan membuat hidung
dan dagu lebih maju
- Elastik Klas II cenderung akan mengelongasi molar bawah dan membuat mandibula
rotasi kebawah dan kebelakang
Pertimbangan lain dari rencana perawatan:
- hidung relatif besar dan dagu maju
- pada masa maturitas tidak menggantungkan pada pertumbuhan
- pasien dimotivasi supaya kooperasi baik
Beberapa situasi spesifik sering terjadi pada ortodontik terutama pada
penentuan final rencana perawatan antara perawatan dengan ekstraksi dan
ekspansi.
Sebagai contoh adanya kerugian jika gigi-gigi diekstraksi , dan
keuntungan pada stabilitas hasil yang yang lebih baik terhadap estetik fasial.
Problem lain yang sering ada , pada kasus maloklusi Klas II pada awal remaja.
Ada 2 aspek yang harus didiskusikan yaitu tentang keuntungan perawatan awal
dan menunggu sampai remaja Walaupun pada beberapa pasien pemilihan waktu
perawatan tidak akan berpengaruh terhadap hasil perawatan. Pada kasus maloklusi
yang melibatkan factor skeletal, diskusi harus dilakukan untuk merancanakan
macam perawatan , apakah memerlukan bedah orto atau tidak. Sebagai contoh
adanya fungsi rahang yang akan lebih baik dengan dilakukannya pergerakan gigi
insisivus, dibandingkan dengan fungsi dengan rahang pada posisi yang benar
padahal estetik fasial akan lebih baik jika hubungan rahang benar.
Risiko
-
perawatan ortodontik
ketidak nyamanan pada pemakaian alat
dekalsifikasi pada higieni mulut jelek
resopsi akar
degenerasi pulpa pada gigi yang trauma
gigi relaps
adanya disproporsi pertumbuhan rahang
problem tmj
penentuan waktu perawatan yang bervariasi
37
 DETAIL RENCANA PERAWATAN
Pada rencana perawatan
kasus Klas II yang akan dirawat dengan alat
fungsional sehubungan dengan adanya modifikasi pertumbuhan akan melibatkan
mekanoterapi yang digunakan. Mekanoterapi dapat berupa bionator dengan
memajukan mandibula 4 mm, insisivus mandibula ditutupi, gigi-gigi posterior
mandibula dibiarkan erupsi, dan gigi-gigi maksila diblok secara vertical.
Pemilihan prosedur perawatan harus memenuhi kriteria efektif dalam mencapai
hasil yang diharapkan dan efisien dalam waktu perawatan. Sebagai contoh jika
rencana perawtan adalah mengekspansi lengkung maksila yang sempit,
kemungkinan dapat dilakukan dengan spring pada alat removable, ekspansi
lengkung lingual
Rencana perawatan final(tanpa ekstraksi)
Konsep perawatan:
- koreksi overbite dengan intrusi insisivus
- koreksi crowding dengan ekspansi lengkung
- meminimumkan mandibula untuk rotasi ke bawah & belakang
Mekanoterapi
- molar band, bonding gigi yg lain, maxillary transpalatal lingual arch
- mengatur gigi-gigi anterior, segmen posterior harus stabil
- intrusi insisivus, pemakaian segmented arch mechanics
- elastik klas II untuk mengoreksi hubungan anteroposterior
Retensi : pertahankan gigi-gigi, pembukaan gigitan, maksila dengan removable, mandibula
dengan fixed/ removable
38
IV. RUMUSAN PERAWATAN ORTODONTIK
a. PENDAHULUAN
 INFORMASI LATAR BELAKANG
1. Riwayat pribadi
•
usia, jenis kelamin, tempat tinggal
•
alas an kedatangan ke dokter gigi
•
perawatan gigi yang pernah dijalani
•
sikapnya terhadap perawatan
•
kebersihan mulut dan kebiasaan diet
•
kebiasaan mengisap jari atau ibu jari
2. Kesehatan umum
•
riwayat kesehatan yang relevan
•
kondisi kesehatan dewasa ini
b. PENYAJIAN
 PEMERIKSAAN PADA PASIEN
1. perkembangan umum berkaitan dengan usia
2. cacat bicara
3. kondisi rongga mulut
• kebersihan mulut
• kondisi gingival
• membran mukosa mulut
39
• kondisi gigi - gigi
4. bentuk dan fungsi otot-otot mulut
•
bibir
hubungan vertical
hubungan horizontal
posisi waktu istirahat berkaitan dngan gigi-gigi
fungsi selama menelan dan bicara
• lidah
ukuran
posisi sewaktu istirahat
fungsi selama menelan dan bicara
• ringkasan efek dari otot-otot mulut terhadap oklusi dan
perawatan
5. hubungan skeletal- bentuk kranio fasial
•
penilaian klinis
•
penilaian radiology
•
ringkasan efek hubungan skeletal terhadap oklusi dan
perawatan
6. posisi dan oklusi gigi-gigi
•
gigi-gigi yang ada, erupsi dan belum erupsi
•
gigi-gigi yang tidak ada , gigi-gigi supernumerary
•
hubungan gigi-gigi anteroposterior, gigi-gigi bukal dan gigigigi insisivus
•
onklinasi insisivus , overjet dan overbite
•
hubungan lateral dan gigitan terbalik
•
malposisi gigi setempat
•
kontak awal dan pergeseran
7. ukuran gigi-gigi dalam hubungannya dengan ukuran rahang
• penilaian potensi atau keadaan berjejal yang sudah terjadi dan
keadaan renggang
40
 ETIOLOGI KONDISI OKLUSAL
Ringkasan dari faktor-faktor etiologi dan efeknya terhadap perawatan korekstif
•
faktor-faktor muscular
•
faktor skeletal
•
ukuran gigi-gigi
•
faktor-faktor local
 TUJUAN PERAWATAN ORTODONSI
Garis besar tujuan
 RENCANA PERAWATAN
• tipe dan jumlah pergerakan gigi
• ruang yang diperlukan
• pencabutan gigi-gigi yang dipilih, waktu
• pesawat tahap-tahap perawatan
• retensi
V. BIOMEKANIKA ORTODONTIK
a. PENDAHULUAN
Biomekanika ortodontik mempelajari efek biologis jaringan pendukung
gigi akibat dari perawatan ortodontik secara mekanik dan beberapa macam hal
yang berhubungan dengan kekuatan mekanik.
Diantaranya adalah
:
1. Reaksi jaringan pendukung gigi
• Reaksi sel
• Pergerakan gigi
• Resorpsi tulang alveolus
• Aposisi tulang alveolus
• Perubahan pada serabut-serabut periodontium
• Remodeling sekunder
41
• Keadaan umum
2. Kekuatan ortodontik
• Macam-macam sistim pemberian kekuatan
• Macam-macam gerakan gigi
• Sistim penjangkaran (Anchorage)
b. PENYAJIAN
1. REAKSI JARINGAN PENDUKUNG GIGI
 REAKSI SEL
Periodontium adalah jaringan penyangga gigi, fungsinya adalah sebagai
peredam kejut terhadap tekanan pengunyahan.
Gigi dikatakan dalam keadaan seimbang bilamana semua resultan dan
momen gaya dari tekanan pengunyahan sama dengan 0 (nol). Jika semua
tekanan yang mengenai mahkota gigi menimbulkan keseimbangan, maka
jaringan periodontium tidak perlu mengadakan reaksi untuk mencapai
keseimbangan pada mahkota gigi maka keseimbangan dicapai dengan
kemampuan reaktif periodontium, proses untuk mencapai keseimbangan ini
berlangsung terus menerus selama hidup secara fisiologi .
Alat ortodontik adalah alat untuk menimbulkan kekuatan mekanik ke
periodontium, agar gigi bergerak sesuai dengan yang dikehendaki. Terlihat
ada proses biologis antara kekuatan mekanik dengan bergeraknya gigi.
Perawatan ortodontik aktif pada dasarnya adalah adanya kemampuan
jaringan periodontium untuk mengadakan remodeling. Prinsipnya adalah
bahwa aktivasi sel yang melakukan remodeling menyebabkan gigi berpindah
tempat, sedangkan kekuatan mekanik adalah merupakan rangsangan yang
mengaktifkan sel tersebut.
Kekuatan mekanik dipakai untuk menggerakan gigi ke posisinya yang
baru karena kemampuannya untuk membangkitkan aktivasi sel di dalam
periodontium secara lokal. Mekanisme yang menyangkut aktivasi sel oleh
kekuatan mekanis sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, tetapi
42
bukti-bukti menunjukkan bahwa aliran listrik akan timbul di dalam jaringan
periodontium yang tertekan.
FENOMENA ADAPTASI BENTUK TULANG
HUKUM WOLF :
Tulang sewaktu-waktu membentuk dan merubah dirinya oleh karena
tekanan, bertambah atau berkurang massanya untuk mengimbangi tekanan
tersebut.
Potensial listrik yang timbul akibat tekanan disebut PIEZOELEKTRIK.
Aliran listrik itu diduga akan memberi muatan kepada suatu makromolekul
untuk berinteraksi dengan suatu reseptor pada dinding sel, sehingga sel yang
berperan dalam proses remodeling akan bereaksi.
Fenomena biolobis pada gerakan gigi secara ortodontik meliputi
:
1. Stimulus (rangsangan/aksi)
2. Transducer
3. Respon (jawaban/reksi)
STIMULUS
Kekuatan
ortodontik
(energi
mekanik)
TRANSDUCER
Diubah menjadi
energi listrik
RESPON
Remodeling
tulang
Gambar 1 : Fenomena biologis gerakan gigi
 PERGERAKAN GIGI
Bila kekuatan dikenakan pada gigi, maka akan timbul daerah yang tertekan
dan daerah yang tertarik. Daerah yang tertekan tulang diresorpsi; daerah yang
tertarik tulang akan diaposisi.
Daerah yang tertekan akan terjadi sesuai dengan arah kekuatan
yang dikenakan, kekuatan akan menekan gigi ke dinding tulang alveolus dan
43
membrana periodontalis akan terjepit diantara gigi dan dinding alveolus,
dalam waktu singkat akan terjadi resorpsi tulang di daerah itu. Daerah yang
berlawanan, gigi akan menjauhi dinding alveolus. Melebarnya ruang
membrana periodontalis akan menimbulkan tarikan di daerah itu dan terjadi
aposisi tulang.
Proses remodeling tulang dirangsang oleh pemberian kekuatan
pada gigi, menyebabkan gigi bergerak dan integritas tulang alveolus tetap
terpelihara.
Gigi akan bergerak dalam dua tahap :
1. Segera setelah pemberian kekuatan, gigi akan bergerak baik oleh karena
penekanan pada membrana periodontalis maupun oleh karena elastisitas
tulang yang akan membengkok sedikit oleh tekanan.
2. Setelah periode diam, selanjutnya gigi akan bergerak searah pemberian
tekanan oleh karena adanya resorpsi tulang alveolus.
Beberapa pertanyaan mungkin timbul
:
• Bagaimana proses remodeling itu terjadi ?
• Dimana hal itu terjadi ?
• Faktor apa saja yang ikut mengontrol respon tersebut ?
Proses remodeling dilakukan oleh osteocyti. Yang terutama adalah
•
Osteoclast
•
Ostoblast
:
Sel-sel tersebut umumnya berasal dari dalam membrana periodontalis, ada
yang mengatakan bahwa sel-sel tersebut berasal dari pembuluh darah.
Mekanisme permulaan tentunya harus ada rangsangan yang
mampu merangsang osteoblast dan osteoclast menjadi aktif. Untuk
aktivitasnya diperlukan banyak energi, sehingga dalam selnya banyak
mengandung mitochondria. Dengan demikian dibutuhkan sistem vaskularisasi
yang cukup dan sumber sel yang potensial dan dapat diaktifkan dengan cepat.
Membrana periodontalis terletak diantara gigi dan tulang alveolus.
Tekanan yang mengenai gigi akan menjepit membrana periodontalis.
Tekanan yang kuat akan menyebabkan pembuluh darah tersumbat.
44
Tersumbatnya pembuluh darah akan menyebabkan tidak aktifnya komponen
sel-sel dalam membrana periodontalis dan mungkin akan menyebabkan
matinya sel-sel tersebut. Maka dari itu pemberian kekuatan tidak boleh
terlampau kuat sehingga pembuluh darah menjadi buntu.
 RESORPSI
Bagaimana kekuatan yang tidak menyebabkan tersumbatnya
pembuluh darah dalam membarana periodontalis dapat merangsang resorpsi
tulang ?
Jawabanya adalah
: belum diketahui dengan pasti. Ada dua teori
tentang resorpsi tulang alveolus:
Teori I
:
Bien (1966), mengatakan bahwa pembuluh darah dalam membrana
periodontalis akan terjepit dan terjadi stenosis. Pembuluh darah akan
mengembung, akibatnya gelembung gas (oksigen) keluar dari cairan darah
dan meninggalkan pembuluh darah, sebagian kembali lagi tetapi sebagian ada
yang terjebak spiculae pada tulang alveolus. Keadaan ini menyebabkan
resorpsi tulang alveolus secara lokal. Bagaimana mekanisme oksigen dapat
merangsang resorpsi tulang sampai sekarang belum jelas, namun dalam teori
ini dikatakan bahwa pembuluh darah memberikan gelembung-gelembung
oksigen dan catu nutrisi yang sangat diperlukan untuk aktifitas sel.
Teori II
:
Mekanisme terjadinya resorpsi yang lain ialah melibatkan efek
hidrodinamik pada daerah yang tertekan dan sifat piezoelektrik tulang.
Pemberian kekuatan akan menimbulkan tekanan hidrodinamik,
karena membrana periodontalis berisi pembuluh darah dan cairan interstitiel.
Tekanan ini akan diteruskan ke dinding tulang olveolus. Permukaan tulang
alveolus akan berubah bentuknya menjadi cembung, perubahan bentuk seperti
45
ini dihubungkan dengan resorpsi tulang. Fenomena ini mungkin berhubungan
dengan stimulasi listrik, sebab perubahan bentuk tulang akan menghasilkan
aliran listrik. Muatan listrik didaerah yang tertekan (cembung) adalah muatan
listrik positif.
Peranan pembuluh darah disini adalah membantu meneruskan tekan
hidrodinamik dan memberikan nutrisi untuk energi yang diperlukan dalam
proses resorpsi tulang. Dasar molekuler yang menerangkan hubungan antara
fenomena listrik dengan aktivitas osteoclast sampai sekarang belum jelas.
Ada dua macam resorpsi :
1. Frontal resorption
Bila pembuluh darah dalam membrana periodontalis tidak tersumbat,
maka resorpsi tulang terjadi langsung pada permukaan tulang.
2. Undermining resorption/rear resorption
Bila tekanan yang diberikan terlampau kuat sehingga menyebabkan
pembuluh darah tertutup, catu nutrisi tidak ada, maka terjadi perubahan ke
arah
kemunduran
jaringan
(regresi),
sel-sel
dan
serabut-serabut
periodontium akan menghilang dan mengalami degenerasi hyalin.
Resorpsi tidak terjadi langsung pada permukaan tulang tetapi mulai dari
bone marrow (substantia spongiosa). Setelah resorpsi sampai pada
permukaan tulang alveolus dan tekanan diterima sudah berkurang atau
hilang berhenti maka invasi pembuluh darah akan terjadi dan membrana
periodontalis akan tumbuh kembali. Peristiwa tadi akan terjadi dalam 2
fase.
•
Mula-mula jaringan nekrotik akan diserap
•
Kemudian akan diikuti dengan pembentukan komponen-komponen
jaringan baru
Perubahan pada pembuluh darah
46
Tekanan ringan akan merangsang frontal resorption, sebaliknya tekanan
yang kuat akan menyebabkan vascular thrombosis dan akhirnya kematian
membrana periodontalis.
Schwarz menganjurkan untuk menggunakan kekuatan yang tidak sampai
menyumbat aliran darah dalam menggerakan gigi. Kekuatan yang dianjurkan
itu adalah tidak lebih dari 20 – 26 gram/cm2 (tekanan darah kapiler).
Kekuatan lebih dari itu tidak hanya akan menyebabkan hyalinisasi tetapi
bahkan dapat terjadi resorpsi akan atau kematian pulpa.
Kesimpulannya adalah bahwa aktivitas seluler yang penting untuk resorpsi
tulang dan memelihara jaringan periodontium adalah sangat tergantung pada
catu darah yang cukup untuk nutrisi dan menyerap sisa-sisa metabolisme.

APOSISI TULANG
Selama bergeraknya gigi, tulang baru diaposisikan di daerah tulang yang
tertarik. Tulang baru diaposisikan pada permukaan tulang alveolus yang
berhadapan dengan membrana periodontalis. Jika bundel-bundel principal
fiber besar-besar biasanya matrix dideposisikan sepanjang serabut-serabut
tersebut diikuti dengan pembaentukan lamellae baru. Bila bundelnya kecilkecil, lapisan matrix akan dideposisikan lebih merata sepanjang permukaan
tulang.
Sel yang melakukan proses apposisi adalah osteoblast. Sel-sel ini sangat
membutuhkan energi seperti halnya osteoclast pada daerah resorpsi, maka
dari itu juga sangat dibutuhkan catu darah yang cukup.
Osteoblast bertambah jumlahnya dengan cara
:
• Proliferasi atau diferensiasi sel precursor dalam membrana periodontalis
• Proliferasi atau diferensiasi perivascular stem cells.
Proliferasi dan diferensiasi sel-sel ini terlihat satu atau dua hari setelah
pemberian kekuatan. Pembuluh darah memegang peran penting dalam
pemberian nutrisi dan oksigen serta material lain yang penting untuk sintesis
tulang, disamping itu juga merupakan sumber osteoblast. Bagaimana tarikan
pada membrana periodontalis dapat merangsang produksi osteoblast dan
pembentukan tulang baru belum diketahui dengan jelas. Epker dan Frost
47
mengatakan bahwa fenomena piezoelektrik terlibat dalam proses ini.
Membrana periodontalis terikat kuat ke tulang alveolus, sehingga tarikan
akan merubah struktur kristal tulang. Tulang akan menjadi cekung, perubahan
bentuk tulang semacam itu berlawanan dengan perubahan yang terjadi pada
daerah yang tertekan. Perubahan ini dihubungkan dengan muatan listrik
negatif yang akan merangsang pembentukan tulang baru. Seperti pada teori
resorpsi, dasar molekulernya juga belum jelas.
Pada saat tulang terbentuk di permukaan alveolus, permukaan tulang akan
bergerak ke arah bergeraknya gigi. Serabut-serabut dalam membrana
periodontalis akan tertanam dalam tulang baru dan akan menjadi serabut
Sharpey’s yang baru.
 PERUBAHAN PADA SERABUT-SERABUT PERIODONTIUM
Principal fiber tertanam dalam cementum di satu sisi dan sisi lain tertanam
pada tulang alveolus dan melanjutkan diri sebagai serabut-serabut Sharpey’s.
Pada saat permukaan tulang alveolus diresorpsi, maka perlekatan
(attachment) serabut-serabut tersebut akan lepas. Bagaimanakah mekanisme
melekatnya kembali (reattachment) serabut-serabut tersebut pada tulang
alveolus ?
Kraw dan Enlow mengatakan bahwa berkas-berkas serabut collagen dalam
matrix organik tulang alveolus yang diresorpsi akan menyusun diri pada arah
yang sama atau bergabung dengan principal fiber, dengan cara seperti itu
maka kesinambungannya dengan tulang akan tetap terjaga. Serabut-serabut
collagen tadi akan berlaku sebagai serabut Sharpey’s yang baru. Mereka
menggambarkan
periodontium
ada
tiga
zone
yang
spesifi
pada
serabut-serabut
:
1. Inner zone
Tertanam dalam cementum. Zone ini terdiri dari mature collagen
bundles yang relatif stabil.
2. External zone
48
Tertanam dalam dinding alveolus. Zone ini dikatakan kurang stabil dan
kadang-kadang dapat mengadakan perubahan.
3. Intermediate zone
Zone ini sangat tidak stabil, terdiri dari immature collagen fiber, sangat
mudah mengadakan perubahan.
Bila gigi bergerak, serabut-serabut pada inner zone akan terbawa bersama
gigi, sedangkan serabut-serabut pada external zone akan lepas dari
perlekatannya pada tulang yang diresorpsi. Serabut-serabut collagen dalam
matrix tulang akan menyambungkan diri dengan serabut-serabut baru dalam
intermediate zone. Intermediate zone ini yang akan mengatur atau
memelihara kesinambungan dan ukuran panjang pendeknya serabut. Dengan
demikian maka sintesa collagen memegang peranan penting dalam
mekanisme ini. Pengamatan dengan radioaktif menunjukkan bahwa sintesa
collagen lebih aktif di daerah crestal dan apical, sehingga daerah ini
mengalami adaptasi lebih dulu kemudian baru diikuti oleh serabut-serabut
oblique dan serabut-serabut horisontal.
 REMODELING SEKUNDER
Pada gerakan gigi secara ortodontik, ada daerah yang mengalami
resorpsi dan aposisi. Tulang sering kali mengadakan resorpsi dari daerah bone
marrow di sebalik daerah yang mengadakan aposisi, demikian juga tulang
selalu dibentuk di permukaan bone marrow disebalik tulang cortical yang
sedang mengalami resorpsi. Ini disebut remodeling sekunder. Remodeling
sekunder
berguna
untuk
mempertahankan
ketebalan
tulang
dan
mempertahankan hubungan antara gigi ke tulang alveolus agar relatif
konstan. Peristiwa ini adalah merupakan bukti dari fenomena adaptasi bentuk
tulang seperti yang disebut dalam hukum Wolf.
Perubahan
pada
tulang
oleh
karena
mekanisme
piezoelektrik telah ditunjukkan oleh Epker dan Frost. Dinding tulang alveolus
pada sisi yang tertekan akan menipis. Pengurangan ketebalan ini dihubungkan
49
dengan resorpsi tulang. Bagaimana aposisi tulang dibagian kontralateralnya
dapat terjadi ?. Analisa yang sama juga terjadi di daerah tulang alveolus yang
tertarik. Bagaimana bisa terjadi resorpsi di daerah kontralateralnya ?. Hal ini
menunjukkan bahwa mekanisme kontrol biologis yang sangat rumit ikut aktif
dalam proses resorpsi dan aposisi tulang alveolus.
 KEADAAN UMUM
Tekanan dan tarikan merupakan respon awal dari pemberian
kekuatan secara ortodontik pada sisi yang berlawanan. Tekanan dan tarikan
ini selanjutnya akan merangsang remodeling selama bergeraknya gigi.
Kecepatan dan kemudahan respon seluler pada remodeling tulang terhadap
kekuatan ortodontik dihubungkan dengan kandungan sel dan sensitivitasnya
dalam membrana periodontalis.
Membrana periodontalis yang mengandung banyak sel mempunyai
potensi yang lebih cepat dan lebih aktif remodelingnya.
Sebagai contoh : Pada anak-anak, pembentukan tulang di daerah yang tertarik
dimulai satu atau dua hari setelah pemberian kekuatan. Sedangkan pada usia
sewasa, baru mulai setelah delapan sampai sepuluh hari. Perbedaan ini
dihubungakan
dengan
perbedaan
kandungan
sel
dalam
membrana
periodontalisnya.
Pada proses resorpsi, variabel yang dianggap penting ialah sifat
tulang alveolus. Alveolus mungkin tersusun dari tulang yang padat atau
mungkin tersusun dengan modullary space yang luas atau mempunyai
dinding yang porus. Dengan demikian tulang yang porus lebih mudah
mengalami resorpsi. Dikatakan juga dalam bone marrow dijumpai banyak
sekali sel-sel.
2. KEKUATAN ORTODONTIK
50
Pemberian kekuatan memegang peran penting dalam pergerakan gigi
secara ortodontik. Kekuatan sangat penting untuk mengawali atau merangsang
remodeling tulang maupun untuk membimbing gerakan gigi menuju ke posisi
yang diinginkan.
Gigi digerakkan dengan pemberian kekuatan yang dihasilkan dari pegaspegas kawat atau elastik yang dipasang pada alat ortodontik lepasan maupun
cekat. Pegas dan elastik mempunyai energi potensial, bila bentuknya dirubah
maka akan menjadi energi kinetik pada saat ia kembali ke bentuk semula. Bila
energi ini dikenakan pada gigi maka gigi akan terbawa olehnya. Kekuatan ini
penting untuk merangsang fenomena seluler dalam remodeling jaringan
periodontium.
 SISTIM PEMBERIAN KEKUATAN
Dua sistim pemberian kekuatan untuk menggerakkan gigi :
1. One point contact force/ Single point contact force/ Tipping force
Kekuatan dikenakan pada satu titik kontak
2. Couple force
Kekuatan yang dikenakan adalah sama dan paralel, memberikan aksi yang
simultan dengan arah berlawanan. Bila couple force dikenakan pada gigi,
maka akan terjadi gerakan rotasi.
Center of resistance
Pusat ketahanan adalah suatu tempat di akar gigi yang mempunyai
ketahanan yang paling besar terhadap kekuatan ortodontik.
Tiga center of resistance
:
1. Anteroposterior
2. Transverse
3. Vertikal
Pada gigi berakar tunggal, senter of resistance terletak 40 % jarak dari alveolar
crest ke ujung akar gigi.
51
 GERAKAN GIGI
Selama prawatan ortodontik, gigi dapat bergerak ke segala arah.
Untuk mempermudah maka gerakan gigi dibagi dalam dua bentuk dasar
:
1. Rotasi (rotasi murni)
Merupakan gerakan gigi yang berputar pada pusat rotasi. Bila gigi berputar
penuh maka ia akan kembali ke posisinya semula.
2. Translasi
Mahkota dan akar gigi bergerak pada arah dan jarak yang sama, sehingga gigi
bergerak bodily atau dikatakan tidak ada perubahan inklinasi axial.
Gerakan gigi secara umum dibagi dalam :
1. Horisontal movement
Gerakan gigi dalam arah anteroposterior dan buccolingual, dibagi menjadi
:
a. Controlled crown movement
b. Controlled root movement
c. Bodily movement
2. Vertical movement
Dibagi dalam :
a. Intrusion
b. Extrusion
3. Rotary movement
 ANCHORAGE
Anchorage adalah suatu tempat perlawanan (resistance) dimana kekuatan
dihasilkan untuk menggerakkan gigi. Anchor berarti sauh (jangkar).
Pembagian penjangkaran
:
Menurut sumbernya (letaknya) dikenal dua sumber utama :
1. Intraoral anchorage
Intraoral anchorage dapat berupa
:
a. Tooth borne anchorage
52
Tempat perlawanan diletakkan pada gigi di dalam mulut, dibagi
menjadi
:
• Intramaxillary anchorage
Tempat perlawanan diletakkan pada gigi dalam satu rahang dipakai
untuk menggerakkan gigi dalam rahang yang sama.
Menurut sifatnya intramaxillary anchorage dibagi menjadi
-
:
Simple anchorage
Gigi anchorage mempunyai daya tahan (resistance) lebih besar
dari gigi yang
digerakkan
(satu
gigi
dipakai untuk
menggerakkan satu gigi).
-
Compound anchorage
Beberapa gigi digabung untuk menggerakkan satu gigi.
-
Stationary anchorage
Sama seperti simple anchorage tetapi alat dibentuk sedemikian
rupa sehingga gigi anchorage dapat bergerak secara bodily.
Occipital anchorage dapat dipakai sebagai alat untuk membentuk
stationary anchorage, atau suatu alat dengan pemakaian buccal
tube dapat mencegah gigi anchorage bergerak secara tilting akan
tetapi memungkinkan bergerak secara bodily.
-
Reciprocal anchorage
Bila kekuatan ortodontik yang dikenakan pada gigi atau gigi-gigi
akan didistribusikan sama kuat pada kedua belah sisi, sehingga
gigi atau gigi-gigi akan bergerak sama pada kedua sisi.
Reciprokal anchorage dapat digunakan pada gigi-gigi dalam satu
rahang atau dapat pada kedua rahang yang saling berlawanan
• Intermaxillary anchorage
Anchorage pada satu rahang dipakai untuk menggerakkan gigi
pada rahang yang berlawanan
b. Tissue borne anchorage
Anchorage yang diletakkan pada jaringan lunak dalam mulut, dapat pada
mukosa palatum atau pada otot-otot perioral.
53
2. Extraoral anchorage
Sistem penjangkaran yang diletakkan diluar mulut. Dapat berupa
•
:
Occipital anchorage
Anchorage diletakkan di daerah occipital
•
Cervical anchorage
Anchorage diletakkan pada tengkuk.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony Gianelly & Henry M. Goldman, Biologic Basic of Orthodontics
Foster, TD. A text Book of Orthodontics., ed. 3. Oxford
Graber, T.M., Orthodontics, Principles and Practice, 3rd, ED., W.B. Saunders
Co., Philadhelphia, London, Toronto,1972.
Graber ,T. M. & Swain, B.F., Orthodontics Current Principles and Techniques
Graber,T.M. and Swain,B.F.,Orthodontics, Principles and Technique, The C.V.
Mosby Co.,St.Louis,Toronto, Princeton,1985
Jacobson,
A., (Ed.),
Radiographic Cephalometry From Basics to
Videoimaging, Quintessence Publishing Co, Inc, London, Chicago,
Berlin, Tokyo, Sao Paulo, Moscow, Prague and Warsawa, 1955.
Janet M. Vaughan, The Physiology of Bone
Kusnoto, H. Penggunaan Sefalometri Radiografi dalam bidang Orthodonti,
Bagian Orthodonti, Fakultas Trisakti, Jakarta, 1977.
Linden, F. P.G.M. Vd. L., and Boersma, H,. Diagnosis end Tratment Planning in
Dentofacial Orthopedics, Quintessence Publishing Co., Ltd., London,
Chicago, Berlin, Tokyo, Sao Paulo, 1987.
Michael R. Marcotte, Biomechanics in Orthodontics
54
Moyers, R.E., Handbook of Orthodontics for Student and General Practitioners,
2nd.Ed.,Year Book Medical Publisher, Inc.,Chicago, 1970.
Moyers, R.E., Handbook of Ortodontics, 4th.Ed. Year Book Medical Publisher,
Inc.,Chicago, London, Boca Raton,1988.
Muir, J.D., Reed, R.T., ( 1979 ) . Tooth Movement with Removable
Appliances. Pitman Publishing Ltd, London
Proffit, W.R.,Fields, H.W., Ackermann, J.L., Thomas, P.M.and Camilla Tulloch,
J.F.,Contemporary Orthodontics, The C.V. Mosby Co,. St. Louis,
Toronto, London,1986.
Profit WR, and Fields, HW., ( 2000). Contemporary Orthodontics, ed.3.
Mosby, Philladelpia, p. 145-294
Rakosi, T., An Atlas and Manual of Cephalometric Radiography, Wolfe Nedical
Publications, Ltd., Great Britain, Worcester London, 1982.
Salzmann, J.A., Principles of Orthodontics, 2nd.Ed. J.B. Lippincott Co.,
Philadelphia,London, 1950.
Salzmann J.A., Orthodontics in Daily Pratice
55
Download