BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metoclopramidi Hydrochloridum 2.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Metoclopramidi Hydrochloridum
2.1.1 Tinjauan umum
Gambar 2. Rumus bangun Metoclopramidi Hydrochloridum
Rumus molekul: C14H22ClN3O2.HCl.H2O
Nama kimia: 4-Amino-5-kloro-N-[2-(dietilamino)etil-o-anisamida
monohidroklorida, monohidrat [54143-57-6]
Berat molekul: 354,28
Pemerian: Serbuk hablur, putih atau praktis putih; tidak berbau atau praktis
tidak berbau.
Kelarutan: Sangat mudah larut dalam air; mudah larut dalam etanol; agak sukar
larut dalam klorofom; praktis tidak larut dalam eter.
(Ditjen POM, 1995).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Farmakologi
Mual dan muntah mempunyai banyak penyebab, termasuk obat-obatan
(misalnya sitotoksik, opioid, anastetik, digoksin), penyakit vestibular, gerakan
provokatif (misalnya mabuk laut), migren dan kehamilan. Lebih mudah untuk
mencegah muntah daripada menghentikannya bila muntah sudah terjadi. Oleh
karena itu, bila memungkinkan antiemetik sebaiknya diberikan sesaat sebelum
stimulus emetik (Neal, 2005).
Metoklopramida HCl berkhasiat antiemetik kuat berdasarkan blokade
reseptor dopamin di CTZ (chemoreceptor Trigger Zone). Di samping itu, zat ini
juga memperkuat pergerakan dan pengosongan lambung. Efektif pada jenis
muntah akibat kemoterapi dan migrain. Reabsorpsinya dari usus cepat, mulai
kerjanya dalam 20 menit (Tjay dan Rahardja, 2002)
2.1.3 Efek samping dan interaksi obat.
Efek samping yang terpenting adalah sedasi dan gelisah. Efek samping
lainnya berupa gangguan lambung dan usus serta gangguan ekstrapiramidal,
terutama pada anak kecil. Interaksi obat, obat-obat seperti digoksin yang terutama
diserap di lambung akan mengurangi reabsorpsinya bila diberikan bersamaan
dengan metoklopramida (Tjay dan Rahardja, 2002).
2.2 Fase Biofarmasetik
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia
formulasi obat terhadap bioavaibilitas obat. Bioavaibilitas menyatakan kecepatan
dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik (Shargel dan Yu, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Fase biofarmasetik melibatkan seluruh unsur-unsur yang terkait mulai saat
permberian obat hingga terjadinya penyerapan zat aktif. Peristiwa tersebut
tergantung pada cara pemberian dan bentuk sediaan. Fase biofarmasetik dapat
diuraikan dalam tiga tahap utama yaitu liberasi (pelepasan), disolusi (pelarutan)
dan absorpsi (penyerapan) (Aiache, 1993).
2.2.1 Liberasi (Pelepasan)
Apabila pasien menerima obat berarti ia mendapat zat aktif yang
diformulasi dalam bentuk sediaan dan dosis tertentu. Proses pelepasan zat aktif
dari bentuk sediaan tergantung pada jalur pemberiaan dan bentuk sediaan serta
dapat terjadi secara cepat. Pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan biologis dan mekanisme pada tempat pemasukan obat, misalnya gerak
peristaltik usus, hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau yang kenyal
(tablet, supositoria dan lain-lain). Tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua
tahap yaitu tahap pemecahan dan peluruhan, misalnya untuk sebuah tablet
(Aiache, 1993).
2.2.2 Disolusi (Pelarutan)
Setelah terjadi pelepasan, maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif.
Tahap kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan
(Aiache, 1993).
2.2.3 Absorpsi (Penyerapan)
Absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah masuknya molekulmolekul obat ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah
melewati membran biologik. Penyerapan ini hanya dapat terjadi bila zat aktif
Universitas Sumatera Utara
berada dalam bentuk terlarut. Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetik
dan tahap awal dari fase farmakokinetika.
Penyerapan zat aktif bergantung pada berbagai parameter, terutama sifat
fisikokimia molekul obat. Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi
apabila sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologis
(Aiache, 1993).
Menurut Shargel dan YU (2005) pada umumnya produk obat mengalami
absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses. Proses itu meliputi:
1. Disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat.
Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami
disintegrasi ke dalam partikel–partikel kecil melepaskan obat.
2. Pelarutan obat dalam media “aqueous”
Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat
menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologik pelarutan
obat dalam media “aqueous” merupakan suatu bagian penting sebelum
kondisi absorpsi sistemik.
3. Absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik.
Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan suatu
organ, obat tersebut harus melewati berbagai membrane sel. Pada
umumnya, membrane sel mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak
sebagai membrane lipid semipermeabel. Banyak obat mengandung
substituen lipofilik dan hidrofilik. Obat–obat yang lebih larut dalam lemak
lebih mudah melewati membrane sel daripada obat yang kurang larut
dalam lemak atau obat yang lebih larut dalam air.
Universitas Sumatera Utara
Obat dalam
produk obat
Pelepasan dengan
cara penghancuran
partikel pelarutan obat
absorbsi obat
obat
dalam
dalam
padat
larutan
tubuh
Menurut Siswandono dan Soekardjo (2000) Adapun faktor–faktor yang
mempengaruhi proses absorpsi obat di saluran cerna antara lain:
•
Bentuk sediaan obat, meliputi ukuran partikel bentuk sediaan,
adanya bahan-bahan tambahan dalam sediaan.
•
Sifat kimia fisika obat, misalnya: bentuk garam, basa, amorf,
kristal.
•
Faktor biologis, seperti: gerakan saluran cerna, luas permukaan
saluran cerna, waktu pengosongan lambung, banyaknya pembuluh
darah dalam usus, aliran (perfusi) darah dari saluran cerna.
•
Faktor-faktor lain, seperti: usia, interaksi obat dengan makanan,
interaksi obat dengan obat lain, penyakit tertentu.
2.3 Bioavailabilitas
Bioavailabilitas menunjukkan suatu pengukuran laju dan
yang aktif terapetik yang mencapai sirkulasi umum.
jumlah obat
Studi bioavailabilitas
dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui maupun terhadap
obat dengan efek terapetik yang belum disetujui FDA (Food Drug Administration)
untuk dipasarkan. Bioavalabilitas digunakan untuk menggambarkan fraksi dari
dosis obat yang mencapai sirkulasi sistemik yang merupakan salah satu bagian
dari aspek farmakokinetik obat. Defenisi tersebut diartikan bahwa obat yang di
berikan secara intravena bioavalibilitasnya 100%. Namun, jika obat diberikan
Universitas Sumatera Utara
melalui rute pemberian lain (seperti melalui oral) bioavalibilitasnya berkurang
(karena absorpsi yang tidak sempurna dan metabolisme lintas pertama) (Shargel
dan Yu, 2005).
Bioavailabilitas relatif adalah ketersediaan dalam sistemik suatu produk
obat dibandingkan terhadap suatu standar yang diketahui. Availabilitas suatu
formulasi obat dibandingkan terhadap availabilitas formula standar, yang biasanya
berupa suatu larutan dari obat murni, dievaluasi dalam studi “cross over”.
Availabilitas relatif dari dua produk obat yang diberikan pada dosis dan rute
pemberian yang sama dapat diperoleh dengan persamaan berikut:
Availabilitas relatif =
Jika dosis yang diberikan berbeda, suatu koreksi untuk dosis yang dibuat, seperti
dalam persamaan berikut:
Availabilitas relatif =
2.3.1 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Obat
Menurut
Anonim
(2006),
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
bioavailabilitas obat antara lain:
1) Sifat Fisikokimia Obat
• Ukuran partikel
• Luas permukaan obat
• Kelarutan obat
• Bentuk kimia obat, yaitu garam, bentuk anhydrous atau hidrous
• Lipofilisitas
• Stabilitas obat
Universitas Sumatera Utara
2) Faktor Formulasi
Untuk merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat
aktif dalam bentuk yang paling banyak berada dalam sistemik, farmasis
harus mempertimbangkan: (1) jenis produk obat; (2) sifat bahan tambahan
dalam produk obat; (3) sifat fisikokimia obat itu sendiri (Shargel dan Yu,
2005).
Untuk obat yang diberikan secara oral, bioavailabilitasnya
mungkin kurang dari 100% karena :
• Obat diabsorpsi tidak sempurna
• Eliminasi lintas pertama (First-Pass Elimination), Obat diabsorpsi
menembus dinding usus, darah vena porta mengirimkan obat ke
hati sebelum masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Obat dapat
dimetabolisme di dalam dinding usus atau bahkan di dalam darah
vena porta. Hati dapat mengekskresikan obat ke dalam empedu.
• Laju absorpsi
2.3.2. Parameter–parameter Bioavailabilitas.
a. T maksimum (
) yaitu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat
disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi
obat maksimum setelah pemberian obat. Pada
absorpsi obat adalah
terbesar, dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Absorpsi
masih berjalan setelah
Harga
tercapai, tetapi pada laju yang lebih lambat.
menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang diperlukan
untuk mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat
menjadi lebih cepat (Shargel dan Yu, 2005).
Universitas Sumatera Utara
=
log
b. Konsentrasi plasma puncak (
) menunjukkan konsentrasi obat
maksimum dalam plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa
obat diperoleh suatu hubungan antara efek farmakologi suatu obat dan
konsentrasi obat dalam plasma (Shargel dan Yu, 2005).
=
c. AUC (Area Under Curve) adalah permukaan dibawah kurva (grafik) yang
menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu.
AUC dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk
bioavailabilitas suatu obat. AUC dapat digunakan untuk membandingkan
kadar masing-masing plasma obat bila penentuan kecepatan eliminasinya
tidak mengalami perubahan. Selain itu antara kadar plasma puncak dan
bioavailabilitas terdapat hubungan langsung (Waldon, 2008).
AUC 0-∞ = AUC 0-t + AUC t-∞
AUC 0-t =
dan AUC
C n −1 + C n
( tn - tn-1 )
2
t-∞
=
Ctn
K el
2.4 Bioekivalensi
Alasan utama dilakukan studi bioekivalensi oleh karena produk obat yang
dianggap ekivalen farmasetik tidak memberikan efek terapetik yang sebanding
Universitas Sumatera Utara
pada penderita. Persyaratan bioekivalensi diberlakukan oleh FDA atas dasar
sebagai berikut (Shargel dan Yu, 2005):
1. Adanya fakta dari percobaan klinik atau pengamatan pada penderita
yang menyatakan berbagai produk obat tidak memberi efek terapik
yang sebanding.
2. Adanya fakta dari studi bioekivalensi menyatakan bahwa produkproduk tersebut bukan merupakan produk obat yang bioekivalen.
3. Adanya fakta bahwa produk-produk obat memperhatikan rasio terapik
yang sempit dan konsentrasi efektif minimum dalam darah, serta
penggunaannya secara aman dan efektif memerlukan dosis yang
cermat dan memerlukan pemantauan pada penderita.
2.5. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan
dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi. Hal ini karena didukung oleh
kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang
sangat sensitif dan beragam. KCKT mampu menganalisa berbagai cuplikan secara
kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran
(Ditjen POM, 1995).
KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk
analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah
bidang antara lain; farmasi, lingkungan dan industri-industri makanan (Rohman,
2007).
Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa
organik,
anorganik,
maupun
senyawa
biologis,
analisis
ketidakmurnian
Universitas Sumatera Utara
(impurities) dan analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap
(nonvolatil). KCKT paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawasenyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat dan proteinprotein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat
dan lain-lain (Rohman, 2007).
Menurut De Lux Putra (2007) kelebihan KCKT antara lain:
− Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran
− Resolusinya baik
− Mudah melaksanakannya
− Kecepatan analisis dan kepekaannya tinggi
− Dapat dihindari terjadinya dekomposisi/kerusakan bahan yang dianalisis
− Dapat digunakan bermacam-macam detektor
− Kolom dapat digunakan kembali
− Instrumennya memungkinan untuk bekerja secara automatis dan kuantitatif
− Waktu analisis umumnya singkat
− Kromatografi cair preparatif memungkinkan dalam skala besar
− Ideal untuk molekul besar dan ion.
2.5.1 Prinsip KCKT
Kromatografi merupakan tekhnik pemisahan yang mana solut atau zat-zat
terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini
melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh
distribusi dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair
membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi
Universitas Sumatera Utara
operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom,
kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Rohman, 2007).
2.5.2 Jenis KCKT
Pemisahan dapat dilakukan dengan fase normal atau fase terbalik
tergantung pada polaritas relative fase diam dan fase gerak. Berdasarkan pada
kedua pemisahan ini, seringkali KCKT dikelompokkan menjadi KCKT fase
normal dan KCKT fase terbalik. Kromatografi fase terbalik merupakan kebalikan
dari kromatografi fase normal. Kromatografi fase terbalik menggunakan fase diam
yang bersifat nonpolar, dan fase geraknya yang relatif lebih polar daripada fase
diam (Rohman, 2007).
2.5.3 Fase Gerak
Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat
bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya
elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase
diam, dan sifat komponen-komponen sampel. Untuk fase normal (fase diam lebih
polar daripada fase gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya
polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada
fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut
(Rohman, 2007).
Menurut Johnson dan Stevenson (1991) fase gerak harus:
-
Murni, tanpa cemaran
-
Tidak bereaksi dengan kemasan
-
Sesuai dengan detektor
-
Dapat melarutkan cuplikan
Universitas Sumatera Utara
-
Harganya wajar
2.5.4 Fase Diam
Oktadesil silika (ODS atau C18) merupakan fase diam yang paling banyak
digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang
rendah, sedang maupun tinggi (Watson, 2008).
2.5.5 Elusi Gradien dan Isokratik
Menurut De Lux Putra (2007) elusi pada KCKT dapat dibagi menjadi dua
sistem yaitu:
1. Sistem elusi isokratik. Pada sistem ini, elusi dilakukan dengan satu macam
atau lebih fase gerak dengan perbandingan tetap (komposisi fase gerak tetap
selama elusi).
2. Sistem elusi gradien. Pada sistem ini, elusi dilakukan dengan campuran fase
gerak yang perbandingannya berubah-ubah dalam waktu tertentu (komposisi
fase gerak berubah-ubah selama elusi).
Elusi gradien didefinisikan sebagai penambahan kekuatan fase gerak
selama suatu analisis kromatografi berlangsung. Digunakan untuk meningkatkan
resolusi campuran yang kompleks terutama jika sampel mempunyai kisaran
polaritas yang luas. Pengaruh yang menguntungkan dari elusi gradien adalah
memperpendek waktu analisis senyawa-senyawa yang secara kuat ditahan di
dalam kolom.
Universitas Sumatera Utara
2.5.6 Instrumen KCKT
Instrumen KCKT terdiri dari
wadah fase gerak (reservoir), pompa
(pump), tempat injeksi sampel (injector), kolom (column), detektor (detector) dan
perekam (recorder) (McMaster, 2007).
Gambar 3. Instrumen dasar KCKT. (sumber: McMaster, 2007).
Sampel diinjeksikan ke dalam injektor KCKT menggunakan vial
autosampler sebanyak 10 µl secara otomatis,
kemudian melewati kolom.
Didalam kolom terjadi pemisahan karena adanya perbedaan elusi dan diatur oleh
adanya fase gerak dan fase diam (Oktadesil silika atau C18). Setelah dari kolom
masuk ke detektor yang mendeteksi adanya komponen cuplikan dalam aliran yang
keluar dari kolom. Detektor yang digunakan adalah detektor photodiode-array
(PDA) pada panjang gelombang 273 nm. Rekorder yang dihubungkan ke detektor
akan menangkap sinyal elektronik dari detektor dan memplotkannya ke dalam
kromatogram.
2.5.6.1 Wadah Fase Gerak
Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert) terhadap fase gerak.
Bahan yang umum digunakan adalah gelas dan baja anti karat. Daya tampung
Universitas Sumatera Utara
tandon harus lebih besar dari 500 ml, yang dapat digunakan selama 4 jam untuk
kecepatan alir yang umumnya 1-2 ml/menit (Munson, 1991)
2.5.6.2 Pompa
Pompa digunakan untuk menggerakkan fase gerak melalui kolom. Pompa
yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat harus
inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas,
baja tahan karat, teflon, dan batu nilam. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu
memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan
kecepatan alir 3 ml/menit. Aliran pelarut dari pompa harus tanpa denyut untuk
menghindari hasil yang menyimpang pada detektor (Watson, 2008).
Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak adalah
untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat,
reprodusibel, konstan, dan bebas dari gangguan (Watson, 2008).
2.5.6.3 Tempat Injeksi Sampel
Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke dalam
fase gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom menggunakan alat
penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi
dengan keluk sampel (sample loop) internal atau eksternal (Rohman, 2007).
2.5.6.4 Kolom
Kolom adalah jantung kromatografi. Berhasil atau gagalnya suatu analisis
tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan yang sesuai. Kolom
dapat dibagi menjadi dua kelompok :
a. Kolom analitik: diameter khas adalah 2–6 mm. Panjang kolom tergantung
pada jenis kemasan. Untuk kemasan pellikular, panjang yang lumrah
Universitas Sumatera Utara
adalah 50–100 cm. Untuk kemasan poros mikropartikulat, umumnya 10 –
30 cm. Dewasa ini ada yang 5 cm.
b. Kolom preparatif: umumnya memiliki diameter 6 mm atau lebih besar dan
panjang kolom 25–100 cm.
Kolom umumnya dibuat dari stainless steel dan biasanya dioperasikan pada
temperatur kamar, tetapi bisa juga digunakan temperatur lebih tinggi, terutama
untuk kromatografi penukar ion dan kromatografi eksklusi. Kemasan kolom
tergantung pada mode KCKT yang digunakan (De Lux Putra, 2007).
2.5.6.5 Detektor
Idealnya, suatu detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut
(Rohman, 2007):
•
Mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reprodusibel
•
Mempunyai sensitifitas yang tinggi, yakni mampu mendeteksi solut pada
kadar yang sangat kecil
•
Stabil dalam pengoperasiannya
•
Mempunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan
pelebaran pita.
•
Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak.
Universitas Sumatera Utara
Download