MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

advertisement
MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS
Dairion Gatot, Savita Handayani, Henny Syahrini Lubis, Guntur Ginting
Divisi Hematologi & Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK-USU/RSUP H Adam Malik/RSUD Dr.Pirngadi Medan
Definisi
Disseminated
intravascular
coagulation
(DIC)
merupakan
suatu
sindroma
klinikopatologis yang ditandai adanya aktivasi koagulasi darah sistemik, produksi fibrin
intravaskular, sehingga dapat menyebabkan trombosis pada pembuluh darah yang
berukuran kecil dan sedang, bahkan dapat menyebabkan gangguan/kegagalan fungsi organ
(gambar 1).1,2,3 DIC dapat terjadi akibat komplikasi dari infeksi, keganasan solid, keganasan
hematologi, penyakit-penyakit obstetrik, trauma, aneurisma, penyakit hati, dan lain
sebagainya. Gambaran karakteristik DIC yang muncul memiliki kaitan dengan kelainan yang
mendasarinya. Diagnosis dan penanganannya pun harus mempertimbangkan kondisi
etiologi yang mendasarinya. DIC yang terjadi pada sepsis, keganasan hematologi ataupun
kelainan obstetrik lebih mudah ditangani daripada jika terjadi pada kondisi etiologi
keganasan solid.1
Gambar 1. Proses perjalanan DIC
3,4
Epidemiologi dan Prognosis
Epidemiologi
DIC dapat terjadi pada 30-50% pasien yang mengalami sepsis, dan 1% dari total
keseluruhan pasien yang dirawat inap. DIC dapat terjadi pada seluruh usia, ras dan jenis
kelamin.
1
Prognosis
Prognosis
DIC
tergantung
dari
beratnya
koagulopati
serta
kondisi
yang
mendasarinya. Menentukan secara tepat angka mortalitas dan morbiditas pada pasien DIC
sangat sulit. Sebuah studi yang dilakukan oleh the Japanese Association for Acute Medicine
(JAAM) memperlihatkan DIC pada pasien sepsis memiliki mortalitas yang lebih tinggi
dibanding DIC pada pasien-pasien trauma (34,7% vs 10,5%). Sepsis akibat aborsi dengan
infeksi clostridium dan syok yang disertai DIC berat memiliki mortalitas 50%. 2,3
Komplikasi
Komplikasi DIC yang mungkin dapat terjadi antara lain: gagal ginjal akut (25%),
perubahan status mental (2%), disfungsi pernafasan (16%), disfungsi hati (19%),
perdarahan (64%) dan trombosis yang mengancam nyawa (pada pasien dengan DIC
sedang-berat hingga berat), tamponade jantung, hemotorak, hematoma intraserebral,
gangren pada jari-jari, syok (14%), kematian. 2,5
Etiologi
Etiologi DIC merupakan kondisi yang mendasari munculnya DIC. Beberapa kondisi
yang berkaitan dengan DIC adalah sebagai berikut:

3,6
Sepsis
 Bakterial : stafilokokus, streptokokus, pneumokokus, meningokokus, batang
Gram-negatif.
 Viral : CMV, hepatitis, varicella
 Mikosis
 Parasit
 Rickettsia

Trauma dan kerusakan jaringan : Cedera kepala, luka bakar luas, emboli lemak,
rhabdomyolisis

Penyakit pembuluh darah : Sindroma Kassabach-Merritt, aneurisma pembuluh
darah besar (misalnya aorta)

Komplikasi obstetri : abrupsio plasenta, emboli cairan amnion, sindroma
kematian janin, abortus septik.

Keganasan : adenokarsinoma (prostat, pankreas, dll), keganasan hematologi
(leukemia promielositik akut)

Kelainan imunologis : reaksi transfusi hemolitik akut, penolakan transplantasi
organ / jaringan, penyakit graft versus host

Obat-obatan : fibrinolitik, aprotinin, warfarin (khususnya pada neonatus dengan
defisiensi protein C), prothrombin concentration complex, amfetamin.
2

Toksin hewan : ular, serangga

Penyakit hati : gagal hati fulminan, sirosis, fatty liver pada kehamilan

Lain-lain: Syok, sindrom distress pernafasan, transfusi masif
Patofisiologi DIC pada sepsis
Infeksi, khususnya septikemia merupakan kondisi klinis yang paing sering
menyebabkan DIC. Walaupun semua mikroorganisme dapat menyebabkan DIC, bakteri
merupakan patogen yang paling sering menyebabkan DIC. DIC yang nyata dapat terjadi
pada 30-50% pasien yang mengalami sepsis akibat bakteri Gram negatif. Mekanisme yang
terjadi pada proses terjadinya DIC pada pasien sepsis berbeda dari proses yang terlibat
pada leukemia maupun tumor solid. 7
Sepsis merupakan sindroma klinis yang sudah dikenal secara luas dan merupakan
respon sistemik host
terhadap infeksi. Kunci dari manifestasi klinis DIC sesungguhnya
bukan disebabkan oleh patogen yang menginvasi namun lebih diakibatkan dari kondisi
hipotensi, koagulopati, serta disfungsi multiorgan yang disebabkan oleh sepsis berat
sehingga berujung pada gangguan regulasi mediator-mediator inflamasi pada host.8
Gangguan hematologi yang terlihat pada DIC karena sepsis terdiri dari 4 mekanisme
yang terjadi secara bersama-sama yakni : (1) Kerusakan endotel dan pembentukan trombin
yang diperantarai oleh faktor jaringan (tissue factor) ; (2) Gangguan mekanisme fisiologis
antikoagulasi (misal, penekanan sistem anti-trombin dan protein C sehingga tidak dapat
mengimbangi pembentukan trombin) ; (3) gangguan degradasi fibrin akibat penekanan
sistem fibrinolisis. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya kadar plasminogen activator
inhibitor tipe 1 (PAI-1) yang beredar di sirkulasi, namun pada beberapa bentuk khusus DIC,
fungsi fibrinolisis dapat meningkat sehingga menyebabkan perdarahan ; (4) aktivasi
inflamasi (gambar 2).2,8
Gambar 2. Hubungan/korelasi antara
koagulasi dan inflamasi pada sepsis
yang memiliki ciri khas : aktivasi
koagulasi
yang
diinduksi
oleh
inflamasi
bersama-sama
dengan
gangguan
sistem
antikoagulan,
fibrinolisis serta fungsi endotel.
Selanjutnya, pada sepsis, koagulasi
yang
terjadi
sebaliknya
dapat
memperburuk inflamasi.8
3
Gambaran yang khas pada sepsis adalah terjadinya aktivasi dan disfungsi endotel
mikrovaskular. Hal ini diawali oleh inflamasi akibat komponen dari dinding sel bakteri yang
mengandung berbagai lipopolisakarida (LPS) yang menempel pada permukaan endotel.
Begitu inflamasi dimulai, sejumlah besar mediator-mediator inflamasi langsung dilepas
termasuk sitokin, kemokin dan sistem komplemen. Mediator-mediator ini selanjutnya dapat
berfungsi untuk mengaktivasi sel-sel endotel lainnya. Hal lain yang terjadi adalah pada
sepsis, sel-sel endotel menjadi lebih permeabel sehingga terjadi perpindahan cairan ke
ekstravaskular dan hal ini dapat menyebabkan hipovolemia dan hipotensi. Selain itu, pada
keadaan sepsis, permukaan endotel yang seharusnya memiliki sifat anti-trombotik berubah
menjadi pro-trombotik. Hal ini berkaitan dengan kejadian trombosis dan kegagalan multi
organ (gambar 3).8
Gambar 3. Peran endotel pada kondisi normal dan sepsis. (A) pada kondisi normal. Terdapat lapisan
antikoagulan pada permukaan endotel yang mencegah koagulasi darah melalui ekspresi trombomodulin (TM )
serta reseptor PC endotel (EPCR) yang membantu trombin menghasilkan protein C yang teraktivasi (APC)
melalui tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan anti-trombin (AT) yang menempel di permukaannya dan
mensekresikan tissue-type plasminogen activator (tPA) yng kemudian mendorong terjadinya fibrinolisis. (B) saat
infeksi bakteri masuk dalam aliran darah, aktivasi inflamasi sistemik menyebabkan pelepasan sitokin serta
aktivasi dan disfungsi endotel sehingga terjadi pelepasan mikropartikel-mikropartikel (MPs), apoptosis,
kerusakan endotel (ECs) serta hilangnya fungsi sebagai barier. Proses koagulasi teraktivasi dimulai dari interaksi
antara tissue factor (TF) dengan monosit, MPs dan juga kemungkinan dengan endotelium lainnya serta
pelepasan von Willebrand factor (vWF) yang dapat menyebabkan adhesi platelet pada permukaan subendotelial
serta agregasi trombosit. Produksi glikosaminoglikans (GAGs) mengalami penurunan, sementara protein-protein
antikoagulan seperti TFPI, AT, EPCR dan TM terlepas dari permukaan endotel serta mengalami penurunan
fungsi. Selanjutnya AT dan APC akan terus dikonsumsi. Fungsi fibrinolisis terganggu akibat peningkatan
penghambat utama aktivator plasminogen (PA) yakni PA inhibitor-1 (PAI-1) yang peningkatannya melebihi tPA,
serta peningkatan aktivasi komplemen akibat hilangnya fungsi/aktivitas thrombin-activatable fibrinolysis (TAFI)
yang normalnya mampu menghambat faktor komplemen C 3a dan C5a serta bradikinin. Protein-protein
antikoagulan ini selanjutnya akan berperan pada pelepasan sitokin. Tissue factor-factor VIIa (TF-FVIIa), faktor
(F) Xa, serta trombin menimbulkan aktivitas proinflamasi melalui pemotongan PAR-1 dan PAR-2. Pemotongan
PAR-1 oleh APC bergantung pada EPCR dan proses tersebut memodulasi inflamasi dan apoptosis. 8
4
Faktor jaringan dan pembentukan trombin
Trombin dapat dideteksi di dalam sirkulasi pada 3-5 jam setelah terjadinya
bakteremia ataupun endotoxemia. Banyak bukti ilmiah yang menunjukkan peran penting dari
sistem faktor jaringan/faktor VIIa dalam menginisiasi pembentukan trombin. 2
Paparan terhadap TF pada sirkulasi terjadi akibat adanya kerusakan endotelial,
kerusakan jaringan, inflamasi maupun sel tumor yang dapat mengekspresikan molekul
progoagulan (termasuk TF). TF mengaktivasi koagulasi lewat jalur ekstrinsik. Kompleks TFVIIa mengaktifkan trombin yang selanjutnya dapat memecah fibrinogen menjadi fibrin dan
secara bersamaan dapat menyebabkan agregasi trombosit. Jalur intrinsik dapat pula
mengalami aktivasi pada kondisi DIC ini hal ini malah dapat menyebabkan hemodinamik
semakin tidak stabil hingga hipotensi. Trombin yang dihasilkan oleh jalur TF/faktor VII
semakin memperkuat proses koagulasi dan inflamasi melalui mekanisme-mekanisme
berikut:2

Aktivasi platelet : peningkatan agregasi dan fungsi trombosit pada koagulasi

Aktivasi faktor VIII, V, dan XI sehingga semakin memperbanyak produksi trombin

Peningkatan aktivasi faktor-faktor proinflamasi melalui reseptor-reseptor yang
teraktivasi oleh protease (PARs/protease-avtivated resceptors)

Aktivasi faktor XIII menjadi XIIIa, sehingga memperbanyak produksi klot fibrin
dari fibrinogen

Aktivasi TAFI (thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor) sehingga menyebabkan
klot tahan terhadap proses fibrinolisis.

Meningkatnya ekspresi molekul-molekul adhesi (misal, selektin) sehingga
memicu efek inflamasi leukosit
Faktor VIIa telah diketahui berperan penting sebagai mediator terjadinya koagulasi
intravaskular pada sepsis. Penghambatan jalur faktor VIIa pada sepsis telah diketahui dapat
mencegah progresivitas DIC, dimana penghambatan yang dilakukan pada jalur alternatif lain
tidak terbukti dapat mempengaruhi proses koagulasi. Dalam suatu studi, ditemukan bahwa
penghambatan jalur TF/faktor VII(a) oleh antibodi monoklonal yang spesifik pada aktivitas
TF atau faktor VIIa dapat menghambat pembentukan trombin secara komplit. Dari studi ini
terlihat bahwa jalur ekstrinsik lebih memainkan peran dalam DIC sedangkan jalur intrinsik
tidak terlalu berperan. TF sendiri hingga saat ini belum diketahui dengan pasti darimana
sumbernya. Kemungkinan, TF yang bersirkulasi bersumber dari sel-sel mononuklear
(monosit) ataupun mungkin pula bersumber dari sel-sel endotel yang mengalami injuri.
Namun, peran TF yang diekspresikan oleh sel-sel endotel dalam patogenesis DIC masih
dalam penyelidikan.
2
5
Gangguan sistem antikoagulan
Pembentukan trombin semestinya diatur sedemikian rupa melalui
berbagai
mekanisme hemostasis. Namun, begitu proses koagulasi intravaskular dimulai, mekanisme
tersebut tidak sanggup untuk melakukan kompensasi yang diperlukan. Gangguan fungsi ini
menyebabkan pembentukan trombin semakin besar serta berperan dalam pembentukan
fibrin. Kadar anti-trombin juga berkurang pada keadaan DIC. Hal ini disebabkan oleh: 2

Anti trombin terpakai secara terus menerus akibat proses koagulasi yang terus
berlangsung

Estalase yang dihasilkan oleh neutrofil yang teraktivasi mendegradasi antitrombin dan protein-protein lainnya.

Kehilangan anti-trombin akibat kebocoran kapiler

Terganggunya produksi anti-trombin terkait kerusakan hati akibat kurangnya
perfusi dan koagulasi mikrovaskular
Rendahnya kadar anti-trombin pada DIC memiliki korelasi dengan peningkatan
mortalitas, khususnya pada pasien dengan sepsis. Kadar anti-trombin yang rendah
mengawali munculnya manifestasi klinis sepsis. Hal ini kemungkinan menunjukkan bahwa
anti-trombin memang terlibat dalam patogenesis DIC dan memiliki kaitan pula dengan
disfungsi organ.2
Selain dari menurunnya jumlah anti-trombin, sistem protein-C juga ternyata
mengalami penekanan yang signifikan. Protein-C bersama dengan protein-S juga termasuk
dalam mekanisme utama kompensasi antikoagulan. Dalam kondisi normal, protein-C
diaktifkan oleh trombin melalui trombomodulin pada permukaan se-sel endotel. Protein-C
yang teraktivasi menghalangi proses koagulasi dengan melakukan pemecahan (proteolitik)
pada faktor Va dan VIIIa serta PAR1 melalui ikatan dengan reseptor protein-C pada sel
endotelial (EPCR/endothelial cell protei-C receptor). Gangguan fungsi protein-C ini terjadi
akibat adanya berkurangnya ekspresi trombomodulin ataupun terjadinya proses inaktivasi
akibat spesies oksigen reaktif (ROC/reactive oxygen species) pada sel-sel endotelial melalui
sitokin-sitokin proinflamatori seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan interleukin (IL)1b. Hal ini telah diketahui dalam suatu pengamatan pada pasien-pasien sepsis akibat
meningokokus. Selain itu, terdapat pula penurunan jumlah zimogen/pro-enzim protein-C
(mekanismenya sama dengan apa yang terjadi pada antitrombin) sehingga semakin
meningkatkan status pro-koagulasi. Lebih lanjut lagi protein-C semakin berkurang akibat
konsumsi yang terus-menerus, kebocoran ekstravaskular, kehilangan lewat ginjal,
berkurangnya produksi protein-C oleh hati serta berkurangnya protein-S bebas yang
bersirkulasi. Penelitian yang dilakukan pada hewan pecobaan yang mengalami koagulasi
akibat inflamasi berat menunjukkan bahwa gangguan terhadap sistem
protein-C
6
meningkatkan mortalitas dan morbiditas, sementara hal sebaliknya terjadi dimana angka
keselamatan meningkat, kegagalan organ berkurang dengan perbaikan terhadap sistem
protein-C.2
TFPI (TF pathway inhibitor) merupakan mekanisme antikoagulan lain yang
mengalami penekanan pada DIC. TFPI dapat menghambat faktor Xa secara reversibel dan
trombin secara ireversibel serta memiliki kemampuan untuk menghambat kompleks TF-VIIa.
Meskipun ternyata kadar TFPI normal pada kondisi sepsis, ternyata pada keadaan DIC
terdapat suatu kondisi insufusiensi relatif. Namun peran TFPI dalam patogenesis DIC masih
belum sepenuhnya dimengerti. Studi eksperimental pada manusia menunjukkan bahwa
pemberian rekombinan TFPI dapat mem-blok pembentukan trombin akibat inflamasi. 2.8
Gangguan sistem fibrinolisis
Fibrin intravaskular yang dihasilkan oleh trombin normalnya dieliminasi oleh proses
fibrinolisis. dalam sebuah model eksperimental terlihat bahwa, disaat proses koagulasi
berlangsung pada titik maksimal, maka sistem fibrinolisis justru terhenti. Hal ini dikarenakan
adanya peningkatan kadar PAI-1 plasma secara terus-menerus. Proses ini dimediasi oleh
TNF-2 dan IL-1. Peningkatan kadar PAI-1 muncul sebelum DIC dan hal ini merupakan
pertanda buruknya prognosis. Dalam sebuah studi ditemukan bahwa pada pasien DIC
dengan kegagalan multi organ terdapat peningkatan
kadar antigen tissue plasminogen
activator (t-PA) dan PAI-1 disertai berkurangnya kadar α2-antiplasmin dibandingkan dengan
pasien DIC tanpa kegagalan multi-organ. Temuan ini mendukung kesimpulan bahwa
fibrinolisis merupakan mekanisme yang penting untuk mencegah kegagalan multi-organ.2
Namun pada beberapa kondisi yang jarang, DIC dapat muncul dengan karakteristik
hiperfibrinolisis yang berat dimana pada saat yang sama aktivitas sistem koagulasi juga
sedang berada pada titik puncak. Hal ini dapat dijumpai sebagai komplikasi dari leukemia
mieloid akut (M-3 menurut klasifikasi FAB/French-American-British) atau pada beberapa
keganasan berupa adenokarsinoma. Pada keadaan ini, meskipun kondisi hiperfibrinolisis
lebih dominan, namun trombosis yang luas juga tetap muncul secara signifikan. Namun
secara klinis biasanya hal yang menonjol pada pasien ini adalah perdarahan. Secara umum,
terapi anti-fibrinolitik pada pasien DIC tidak direkomendasikan oleh karena hal ini dapat
meningkatkan defisit fibrinolisis dan meningkatkan trombosis. 2
Aktivasi inflamasi
Terdapat keterkaitan penting (komunikasi silang) antara jalur inflamasi dan
koagulasi. Kondisi inflamasi dapat meningkatkan aktifitas kaskade pembekuan darah,
sebaliknya peningkatan proses koagulasi dapat meningkatkan kondisi inflamasi itu sendiri.
Selain itu, terdapat pula beberapa faktor lain yang memperberat gangguan keseimbangan
hemostasis
sehingga menyebabkan
kecenderungan
pasien
berada dalam
status
hiperkoagulasi. Banyak faktor-faktor koagulasi yang mengalami aktivasi pada DIC memiliki
7
peranan dalam perburukan inflamasi melalui rangsangan pelepasan sitokin-sitokin
proinflamasi oleh sel-sel endotel. Faktor X, trombin, serta kompleks TF-VIIa telah terbukti
dapat menngkatkan proses inflamasi. 2
Klasifikasi dan Gambaran Klinis
Klasifkasi
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium terhadap fungsi hemostasis, DIC dapat
diibagi menjadi 3 yakni : fase kompensasi, hiperkompensasi dan fase dekompensasi dengan
gambaran laboratorium seperti terlihat pada tabel 1. 5
Tabel 1. Pembagian DIC berdasarkan nilai laboratorium
5
Pemeriksaan
Kompensasi
Hiperkompensasi
Dekompensasi
Trombosit
Normal
Normal
Menurun
PTT
Normal
Normal/meningkat
Meningkat
aPTT
Normal
Normal/meningkat
Meningkat
Fibrinogen
Normal
Normal/meningkat
Menurun
D-Dimer
+/meningkat
+/meningkat
++/sangat meningkat
Gejala klinis
Gejala DIC yang muncul bergantung pada kondisi penyakit yang mendasarinya.
Kondisi-kondisi tersebut antara lain : sepsis atau infeksi berat, trauma (politrauma,
neurotrauma, emboli lemak), destruksi organ (pankreatitis berat), keganasan (tumor
proliferatif, keganasan mieloproliferatif/limfiproliferatif), masalah obstetri (emboli cairan
amnion, abrupsio plasenta), gangguan vaskular (sindroma Kasabach-Merrit, aneurisma
pembuluh darah besar), gagal hati berat, reaksi toksik/imunologik berat (gigitan ular, obatobat rekreasional, reaksi transfusi, penolakan transplantasi).2
Gambaran klinis umum meliputi : demam, hipotensi, asidosis, hipoksia dan
proteinuria. Pada sebuah studi yang melibatkan 118 pasien didapatkan gambaran utama
yang terjadi pada pasien-pasien DIC antara lain: (1) perdarahan (64%), dapat berasal dari
gusi, saluran cerna, luka bekas operasi maupun rongga serosa paska operasi, petechiae,
ekimosis, epistaksis, hematoma, purpura, perdarahan dari kateter intra vena maupun kateter
urin (hematuri); (2) gangguan fungsi ginjal (25%) ; (3) gangguan fungsi hati (19%) ; (4)
gangguan pernafasan (16%) ; (5) Syok (14%) ; (6) gangguan susunan saraf pusat (2%).
Selain itu, perlu juga diperhatikan berbagai gejala dan tanda terkait trombosis pembuluh
darah besar (misal deep vein thrombosis [DVT]) dan trombosis mikrovaskular (misal, gagal
ginjal). Perdarahan yang bersumber dari 3 tempat yang tidak saling berhubungan
8
merupakan suatu tanda DIC. Pada DIC yang melibatkan paru, gejalanya dapat berupa
sesak nafas, batuk darah, serta batuk. 2
Pemeriksaan fisik
Pada DIC akut, pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan biasanya merupakan bagian
dari kondisi yang menyebabkan/mendasarinya serta sistem/organ yang terlibat. Pada
kondisi DIC kronis ataupun subakut, manifestasi utamanya adalah trombosis sebagai akibat
berlebihnya produksi trombin, tanda-tanda trombo-emboli vena dapat muncul dalam kondisi
seperti ini. Tanda-tanda yang berhubungan dengan sirkulasi adalah sebagai berikut: (1)
tanda-tanda perdarahan spontan dan mengancam jiwa ; (2) tanda-tanda perdarahan
subakut ; (3) tanda-tanda trombosis yang diffus dan terlokalisasi ; (4) perdarahan pada
rongga serosa. Sementara tanda-tanda keterlibatan saraf pusat antara lain: (1) penurunan
kesadaran ataupun sopor dengan penyebab yang tidak spesifik ; (2) defisit neurologis fokal
yang berlangsung sementara. Tanda-tanda keterlibatan sistem kardovaskular antara lain :
(1) hipotensi ; (2) takikardi ; serta (3) kegagalan sirkulasi. Tanda-tanda keterlibatan sistem
pernafasan antara lain : (1) friction rub pleura ; (2) tanda-tanda acute respiratory distress
syndrome (ARDS). Tanda-tanda keterlibatan gastrointestinal antara lain : (1) hematemesis;
(2) hematochezia. Tanda-tanda keterlibatan genitourinaria antara lain: (1) tanda-tanda
azotemia dan gagal ginjal; (2) asidosis; (3) hematuria; (4) oliguria; (5) metrorrhagia: (6)
perdarahan uterus. Tanda-tanda dermatologis antara lain: (1) petechiae; (2) bullae
hemoragik; (3) sianosis akral; (4) nekrosis kulit ekstremitas bawah (purpura fulminan); (5)
infark lokal dan gangrene; (6) perdarahan luka dan hematom di area subkutaneus; (6)
trombosis.2
Diagnosa Banding
Diagnosa banding yang perlu dipikirrkan pada keadaan DIC antara lain:
2
1. Disfibrinogenemia
2. Sindroma hemolitik-uremik
3. Trombositopenia imbas heparin
4. Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)
5. Thrombotic thrombocytopenic purpura
Diagnosis & Penjajakan
Diagnosis DIC
Diagnosis DIC bisa saja sulit ditegakkan, apalagi pada kasus DIC yang kronis dan
kurang nyata, dimana kelainan klinis dan laboratorium yang dijumpai agak kabur. Tidak ada
satupun pemeriksaan laboratorium rutin ataupun prosedur diagnostik yang telah ditetapkan
yang cukup sensitif sekaligus spesifik dalam mendiagnosis DIC oleh karena itu, diagnosis
9
DIC harus berdasarkan gabungan dari data klinis dan laboratorium (Grade C, Level IV).2,3
Namun demikian beberapa nilai laboratorium yang sering dijumpai abnormal pada keadaan
DIC antara lain, waktu pembekuan yang memanjang (PT dan aPTT), tingginya kadar
produk-produk degradasi fibrin, peningkatan nilai D-dimer, trombositopenia ringan hingga
berat (98% dari seluruh pasien DIC dan 50%
dengan jumlah trombosit <50 x 10 9/L).
Ditemukannya schistocytes (gambar 3) pada pemeriksaan hapus darah tepi sebagai
pertanda patologis untuk mikroangiopati (10%). Selain itu, pada pemeriksaan darah tepi
dapat pula dijumpai burr cell (gambar 4). Nilai laboratorium yang didapat merupakan nilai
sesaat dan sangat cepat berubah, oleh karena ini pemeriksaan ulangan mesti dilakukan
(Grade B, Level III).2,3
Gambar 4. Sel darah merah yang terfragmentasi/skistosit (Kiri) dan burr cell (Kanan)
Hitung jumlah trombosit
Trombositopenia merupakan suatu pemeriksaan yang sensitif namun tidak spesifik
untuk DIC, pemeriksaan ulangan perlu dilakukan untuk melihat apakah hasil yang
didapatkan merupakan rentang nilai normal trombosit pasien atau memang suatu
trombositopenia yang khas untuk DIC jika didapatkan adanya penurunan dari nilai awal. 2,3
Waktu pembekuan darah serta pemeriksaan faktor-faktor koagulasi
Pemeriksaan waktu pembekuan darah (misalnya, aPTT dan PT) biasanya
memperlihatkan adanya pemanjangan pada 50% pasien DIC sebagai akibat berkurangnya
faktor-faktor koagulasi karena konsumsi yang terus menerus. Namun nilai yang normal atau
bahkan memendek dapat pula dijumpai. Keadaan ini dapat terjadi sebagai akibat dari
aktifasi faktor-faktor koagulasi pada sirkulasi seperti thrombin (Xa). Oleh karena itu,
pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan untuk menyingkirkan DIC bila hasilnya normal. Dalam
hal monitoring, nilai PT lah yang digunakan untuk memantau DIC, bukan nilai INR. Nilai INR
digunakan untuk pemantauan terapi antikoagulan oral. 2,3
10
Protein C dan antithrombin merupakan 2 antikoagulan alami yang sering dijumpai
menurun jumlahnya pada kondisi DIC. Terdapat beberapa bukti ilmiah yang menganjurkan
untuk menggunakan kedua hal diatas sebagai indikator prognostik. Namun secara umum
pemeriksaannya masih belum tersedia di kebanyakan sentra pelayanan kesehatan,
sehingga aplikasinya masih relatif jarang. 2
Pemeriksaan fibrinogen, D-dimer, dan produk degradasi fibrin
Aktifasi fibrin merupakan suatu proses/komponen utama dalam DIC, oleh karenanya
logis jika ditemukan adanya peningkatan nilai fibrin terlarut, maka diagnosis DIC dapat lebih
yakin untuk ditegakkan. Namun pemeriksaan fibrin terlarut juga masih belum tersedia secara
luas bagi para klinisi.2,3
Konsumsi fibrin secara masif pada DIC secara logika akan menyebabkan penurunan
kadar fibrinogen. Hal ini menyebabkan pemeriksaan fibrinogen digunakan secara luas untuk
diagnosis DIC, namun pada kenyataannya, nilai fibrinogen pada keadaan inflamasi justru
meningkat, dan meskipun nilainya akan menurun sejalan dengan progresifitas penyakit,
nilainya jarang mencapai batas bawah nilai normal. Pada sebuah studi, diperlihatkan bahwa
nilai fibrinogen tetap dalam rentang normal pada 57% pasien DIC. Selain itu, dalam studi
lain diperlihatkan bahwa sensitifitas nilai fibrinogen yang rendah dalam mendiagnosis DIC
hanya 28%. Namun pemeriksaan serial fibrinogen memberikan nilai yang lebih bermakna
sebagai petunjuk diagnosis. 2,3
Fibrinolisis merupakan salah satu proses yang penting pada DIC, oleh karenanya
seharusnya terdapat bukti dari proses degradasi fibrin yakni berupa peningkatan nilai Ddimer dan produk-produk degradasi fibrin lainnya. Proses proteolisis terhadap tautan silang
fibrin yang tidak terlarut menghasilkan sebuah neo-epitop unik yang memiliki ciri ikatan D-D
(D-dimer). Pemeriksaan D-Dimer ini memberikan hasil yang lebih bernilai untuk DIC. Selain
itu, pemeriksaan D-diimer berguna untuk membedakan DIC dari kondisi-kondisi yang
memberikan gambaran yang sama berupa penurunan jumlah trombosit, pemanjangan waktu
koagulasi seperti misalnya pada penyakit hati kronis. 2
Sistem skoring DIC
Diagnosis DIC didasarkan pada berbagai gambaran klinis serta laboratorium. The
International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH) mengembangkan sebuah
sistem skoring sederhana untuk mendiagnosis DIC yang jelas/nyata dan DIC yang
kurang/tidak nyata dengan menggunakan parameter laboratorium yang tersedia di hampir
seluruh laboratorium rumah sakit (Grade C, Level IV) seperti terlihat pada gambar 5 dan
gambar 6.2,3
11
Gambar 5. Sistem skoring untuk DIC yang nyata/overt.9
Gambar 6. Sistem skoring untuk DIC yang tidak nyata/non-overt.9
Skor 5 atau lebih mengindikasikan suatu DIC yang nyata, namun skor kurang dari 5
tidak mengeksklusikan DIC namun dapat berupa suatu DIC yang tidak nyata. Sensitifitas
sistem skoring ini adalah 91-93% dan spesifisitasnya 97-98%. Suatu sudi yang lain
memperlihatkan bahwa skoring ini dapat pula digunakan sebagai indikator prognostik di
ruang rawat intensif, dimana mortalitas sepsis yang disertai DIC ditemukan >40%
sedangkan sepsis tanpa DIC <25%. Setiap poin dalam skor ini memiliki odds ratio 1,29.2
12
Selain ISTH, terdapat pula sistem skoring lainnya, antara lain yang diberikan oleh
The Japanese Associaton for Acute Medicine (JAAM) seperti terlihat pada gambar 7,
Dimana skoring yang digunakan khusus didesain untuk pasien-pasien dengan kondisi kritis.
Sistem ini telah divalidasi oleh studi-studi prospektif lainnya, dan dapat mendiagnosa DIC
lebih dini dari metode-metode sebelumnya. Penangan yang agresif terhadap DIC dan
kondisi/penyakit yang mendasarinya terbukti mampu meningkatkan keberhasilan dalam
outcome dan mengurangi mortalitas pasien. 2
Gambar 7. Sistem skoring DIC berdasarkan Japanese Association for Acute Medicine (JAAM). 10
13
Diagnosis Sepsis
Diagnosis sepsis dapat ditegakkan berdasarkan adanya temuan/sangkaan infeksi
desertai dengan sistemic inflammatory respons syndrome (SIRS) yang ditandai dengan dua
atau lebih kondisi-kondisi berikut : (1) demam (temperatur oral >38 oC) atau hipotermia
(<36oC); (2) takipnea (>24 kali/menit); (3) takikardia (heart reate >90 kali/menit); (4)
leukositosis (>12.000/µL), leukopenia (<4.000/µL),atau > 10% bands. Disebut sepsis
berat/sindroma sepsis jika sepsis bersama-sama dengan satu atau lebih tanda disfungsi
organ (gambar 8).11 Sementara itu, syok sepsis merupakan sepsis disertai hipotensi
(tekanan darah sistolik arterial <90 mmHg, atau lebih rendah 40 mmHg dari tekanan darah
rata-rata pasien biasanya) selama satu jam meski telah dilakukan pemberian cairan yang
adekuat. Atau jika pasien membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah
sistolik >90 mmHg atau mean arterial pressure > 70 mmHg.11
Gambar 8. Kriteria diagnosis sepsis berat.12
Manajemen DIC pada Sepsis
Pertimbangan umum
Penanganan DIC utamanya ditujukan pada kondisi/kelainan yang mendasarinya
(Grade C, Level IV) sesuai dengan etiologi yang telah disampaikan sebelumnya. Biasanya
kondisi DIC akan menghilang jika kelainan primer/etiologinya berhasil ditangani dengan
baik. Prinsip penanganan DIC antara lain: (1) Suportif, antara lain : resusitasi, stabilisasi
hemodinamik dan tanda vital serta monitoring, bebaskan jalan nafas, nilai dan catat berat
dan luasnya perdarahan serta trombosis, koreksi hipovolemia, koreksi kadar gula darah,
gangguan asam basa dan elektrolit (2) Mengobati penyakit primer/mengatasi infeksi, serta
(3) Menghambat proses patologis DIC.2,5,12
Penanganan DIC harus dilakukan pada rumah sakit yang memiliki fasilitas
perawatan kritis yang memadai serta tenaga subspesialis yang berpengalaman seperti
14
hematologi, bank darah, ahli bedah. Pasien yang masuk ke rumah sakit tanpa kapabilitas
seperti yang telah disebut diatas, harus segera ditransfer jika keadaan pasien cukup stabil. 1,2
Mengahambat proses patologis DIC
Transfusi trombosit
Transfusi trombosit dan faktor-faktor koagulasi jangan semata-mata hanya untuk
tujuan mengkoreksi nilai laboratorium namun lebih ditujukan pada kondisi klinis seperti
perdarahan
ataupun
persiapan
untuk
tindakan/prosedur
invasif
tertentu
untuk
meminimalisasi resiko perdarahan (Grade C, Level IV). Nilai ambang batas nilai trombosit
yang perlu ditransfusi cukup beragam, namun kebanyakan klinisi memberikan transfusi
trombosit jika nilai trombosit <20 x 109/L meski tanpa perdarahan. Pada kasus DIC dengan
perdarahan aktif, nilai trombosit trombosit 20x 10 9/L s/d 50 x 109/L merupakan batas dimana
transfusi trombosit dapat diberikan (dosis 1-2 U/kg/hari) (Grade C, Level IV).1,2,3
Koreksi faktor koagulasi
Pemberian faktor-faktor koagulasi sebelumnya dianggap memperburuk kondisi
karena hal ini dianggap sama dengan “menyiram minyak ke dalam api”. Namun hal ini tidak
terbukti dalam studi-studi ilmiah. Namun secara umum pemberian kriopresipitat dan faktor
koagulasi konsentrat jangan diberikan secara rutin sebagai terapi pengganti pada kasus
DIC. Pemberian FFP bermanfaat dan dapat diberikan pada kondisi perdarahan pada DIC
disertai adanya PT dan aPTT yang memanjang ataupun pada kondisi direncanakan untuk
dilakukan prosedur invasif (Grade C, Level IV).1,2,3 Defisiensi fibrinogen berat (<1 g/l) dapat
dikoreksi dengan pemberian kriopresipitat ataupun fibrinogen konsentrat murni bersamasama dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP). Faktor-faktor koagulasi yang
mengalami defisiensi akibat konsumsi dapat dikoreksi dengan pemberian FFP, khususnya
jika nilai INR >2.0, aPTT meningkat dua kali lipat, atau jika fibrinogen <100 mg/dL. Dosis
FFP yang dianjurkan adalah 15 mg/kg. Pemeriksaan ulangan terhadap waktu pembekuan
darah (aPTT dan PT) perlu dilakukan untuk memantau defek koagulasi (jika perlu dapat
dilakukan tiap 8 jam). Pada keadaan terdapat defisiensi vitamin K akibat konsumsi,
pemberian vitamin K dapat pula diberikan. 1,2
Pemberian kompleks protrombin konsentrat (PCC) memberikan manfaat dimana
hanya diperlukan sedikit volume sehingga pada keadaan pasien yang mengalami
overvolume, pemberian PCC lebih menguntungkan (Grade C, Level IV). Namun terdapat hal
yang merugikan yakni pada PCC terdapat kekurangan faktor koagulasi yang cukup penting
yakni faktor V sementara pada DIC terdapat defisiensi global dari faktor-faktor koagulasi.
Selain itu beberapa literatur menyebutkan pemakaian PCC bisa saja merugikan karena
adanya aktivasi dari faktor-faktor koagulasi yang terdapat dalam PCC tersebut. 1,2
15
Antikoagulan
Heparin harus diberikan pada keadaan yang menunjukkan adanya deposisi fibrin
yang luas namun tanpa adanya perdarahan yang signifikan (4-5 U/kg). Pemberian heparin
bertujuan untuk mencegah trombosis pada keadaan DIC. Pemberian heparin pada dosis
terapeutik diindikasikan jika dijumpai adanya trombo-emboli yang nyata seperti purpura
fulminan, atau iskemik akral. Pada kondisi sepsis berat, pemberian low molecular weight
heparin (LMWH) terbukti lebih superior dalam sebuah uji klinik acak. 2 Pada kondisi DIC
dengan adanya resiko tinggi perdarahan, lebih baik diberikan infus heparin kontinu dengan
dosis 10 µ/kg/jam tanpa perlu mencapai target rasio aPTT 1,5-2,5 kali kontrol. Monitoring
sebaiknya hanya dilakukan pada tanda-tanda klinis perdarahan(Grade C, Level IV).3 Pada
kondisi penyakit kritis, pasien DIC yang tidak mengalami perdarahan, direkomendasikan
profilaksis trombo-emboli vena dengan heparin dosis profilaksis atau LMWH (Grade A, Level
IB).1,3
Pemberian protein C yang teraktivasi terbukti bermanfaat untuk kasus DIC yang
disebabkan
oleh
sepsis
oleh karena
efek
antikoagulasinya.
Namun belakangan
peredarannya ditarik dari pasaran karena pada sebuah trial (PROWESS-SHOCK),
pemberian protein C (drotrecogin alfa) tidak menunjukkan adanya manfaat pada angka
keselamatan pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis. Demikian pula halnya dengan
pemberian anti-trombin, dimana sebuah studi acak dalam skala besar tidak dapat
menunjukkan manfaat pemberian anti-trombin dalam menurunkan mortalitas pada DIC
(Grade A, Level IB).1,2
Tissue factor pathway inhibitor (TFPI) belakangan ini banyak mendapat perhatian
sebagai terapi yang cukup potensial untuk DIC terkait sepsis. Percobaan yang dilakukan
pada hewan telah memperlihatkan hasil yang cukup menjanjikan untuk menahan laju DIC
dan mencegah kematian serta kerusakan organ. Namun sayangnya, uji fase III terhadap
TFPI pada manusia dengan DIC ternyata tidak menunjukkan manfaat yang signifikan
terhadap penurunan mortalitas. 1,2
Trombomodulin rekombinan (rTM) dapat digunakan pada DIC dengan etiologi sepsis
berat dan keganasan hematopoetik. Trombomodulin dapat berikatan dengan trombin dan
memungkinkan aktivasi protein C. Selain itu trombomodulin juga memiliki manfaat untuk
menghambat proses inflamasi melalui ikatannya dengan high-mobility group B (HBGM-1).
Dalam sebuah studi acak terbukti bahwa rTM memberi hasil yang lebih baik dalam
mengendalikan DIC dibandingkan dengan heparin unfractionated, khususnya dalam
mengontrol diathesis perdarahan yang persisten. 1,2
Antifibrinolitik
Pemberian antifibrinolitik pada kasus-kasus perdarahan memang terbukti efektif,
namun khusus untuk perdarahan pada DIC, secara umum pemberian antifibrinolitik tidak
16
direkomendasikan (Grade C, Level IV) kecuali pada perdarahan dalam kasus-kasus jarang
dimana terdapat kondisi hiperfibrinolisis misalnya pada koagulopati yang disebabkan oleh
leukemia promielositik akut (AML-M3), trauma, serta beberapa kasus DIC akibat keganasan
(misal, karsinoma prostat) dengan dosis 1 g tiap 8 jam (Grade C, Level IV). 1,2
Kesimpulan

Penyebab tersering DIC adalah sepsis.

Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, terdapat ciri khas yakni, proses
koagulasi diawali oleh kerusakan endotel sebagai penghasil TF

Diagnosis DIC harus dibuat berdasarkan gabungan data klinis dan laboratorium.
Pada DIC oleh karena sepsis, harus terdapat bukti/sangkaan adanya infeksi

Manajemen DIC akibat sepsis mencakup 3 hal yakni: (1) terapi suportif (2)
mengatasi infeksi dan (3) menghentikan proses patologis DIC.

Pemberian terapi yang ditujukan pada penghentian proses patologis DIC ataupun
pemberian faktor-faktor koreksi harus didasarkan pada kondisi klinis, bukan
laboratorium semata

Antikoagulan harus segera diberikan jika terdapat indikasi baik untuk profilaksis
maupun terapeutik
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Wada H, Thachil J, Di Nisio, M, Mathew P, Kurosawa S, Gando S, Kim HK, Nielsen JD,
Dempfle C-E, Levi M, Toh CH. Guidance for diagnosis and treatment of disseminated
intravascular coagulation from harmonization of the recommendations from three
guidelines. J Thromb Haemost 2013; 11: 761–7.
2. Levi M. Disseminated intravascular coagulation. Medscape medical reference. 2014
3. Levi M, Toh CH, Thachil J, Watson HG. Guideline for the diagnosis and management of
disseminated intravascular coagulation. 2009. Blackwell Publishing Ltd, British Journal of
Haematology, 145, 24–33.
4. Levi M, Hate HT. Disseminated intravascular coagulation. 1999. Massachusetts Medical
Society. Volume 341 Number 8.
5. Koagulasi intravaskular disseminata. Dalam Rani AA, Soegondo S, Nazir AUZ, Wijaya
IP, Nafrialdi, Mansjoer A, ed. Panduan Pelayanan Medik – PAPDI. 2009. Interna
Publishing. Hal 201-202.
6. Arruda VR, High KA. Coagulation disorders. In : Longo DL, Kasper DL, Jameson JL,
Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine, ed. 18th ed.
McGraw Hill. New York ; Vol 1, p973-982.
7. Dalainas I. Pathogenesis diagnosis and management of disseminated intravascular
coagulation : a literature review. European Review for Medical and Pharmacological
Sciences. 2008;12: 19-31.
8. Schouten M, Wiersinga WJ, Levi M, Van der Pol T. Inflammation endothelium and
coagulation in sepsis. 2008. Journal of Leucocyte Biology. Volume 83. p536-545. DOI :
10.1189/jlb.0607373.
9. Toh CH, Hoots WK, on behalf of the SSC on Disseminated Intravascular Coagulation of
the ISTH. The scoring system of the Scientific and Standardisation Committee on
Disseminated Intravascular Coagulation of the International Society on Thrombosis and
Haemostasis: a 5-year overview. J Thromb Haemost 2007; 5: 604–6.
10. Gando S, Saoitoh D, Ogura H, Mayumi T, Koseki K, Ikeda T et al. Natural history of
disseminated intravascular coagulaton diagnosed based on the newly established
diagnostic criteria for critically ill patients: Result of a multicenter, prospective survey. Crit
Care Med 2008 Vol. 36, No. 1. DOI: 10.1097/01.CCM.0000295317.97245.2D
11. Munford RS. Severe sepsis and septic shock. Dalam: Longo DL, Kasper DL, Jameson
JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, ed. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 18th
edition. McGraw-Hill Companies, Inc. Vol 1, Chapter 271. p2223-31
12. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al. Surviving
sepsis campaign: international guidelines for management of severe sepsis and septic
shock: 2013. Critical Care Medicine. Volume 41. p580-637
18
Download