Potensi Hilang Rp 4,9 Triliun Jumat, 15 Februari 2008 | 02:54 WIB Jakarta, Kompas - Potensi pajak yang hilang sebagai dampak dari insentif yang diberikan pemerintah dalam program stabilisasi harga pangan mencapai Rp 4,9 triliun. Hal ini terjadi karena Pajak Pertambahan Nilai atas impor terigu dan gandum, serta penjualan minyak goreng, ditanggung oleh pemerintah. Demikian disampaikan Dirjen Pajak Darmin Nasution. Realisasi program subsidi Pajak Pertambahan Nilai yang ditanggung pemerintah (PPN DTP) itu ditetapkan dalam dua peraturan, yaitu Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-02/PJ/2008 tentang Tata Cara Penatausahaan PPN DTP atas penyerahan minyak goreng di dalam negeri serta Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-03/PJ/2008 tentang Tata Cara Penatausahaan PPN DTP atas impor dan/atau penyerahan gandum dan terigu. Untuk penyerahan minyak goreng curah, kebijakan PPN DTP diterapkan sejak 25 September 2007 dan diperpanjang per 1 Januari 2008. Adapun penyerahan minyak goreng kemasan ditetapkan mulai 8 Februari 2008. ”Jumlah PPN DTP untuk tahun 2007 atas penyerahan minyak goreng curah dalam negeri Rp 300 miliar,” ujar Darmin di Jakarta, Kamis (14/2). Menurut pengamat ekonomi Rizal Ramli, di Bandung, kebijakan subsidi berupa penurunan bea masuk impor dan peniadaan PPN hanya solusi jangka pendek serta hanya menguntungkan pedagang dan importir. Secara terpisah, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat mengharapkan pemerintah meninjau kembali kebijakan ketahanan pangan, khususnya untuk komoditas minyak goreng, kedelai, dan terigu. Paket kebijakan yang dibuat pemerintah, kata Hidayat, telah direspons secara berbeda oleh pasar, terutama yang menyangkut pajak ekspor (PE) minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), perdagangan kedelai, dan pencabutan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk terigu. ”Surat resmi untuk meminta peninjauan kembali kebijakan ketahanan pangan itu telah disiapkan, untuk dilayangkan kepada Presiden,” kata Hidayat. Tiga pos tarif Hidayat menjelaskan, kebijakan PE progresif yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 09/PMK.011/2008, pemerintah menambahkan tiga pos tarif, yaitu 15 persen jika harga CPO di atas 1.100 dollar AS per ton, 20 persen jika harga CPO di atas 1.200 dollar AS per ton, dan 25 persen jika harga CPO di atas 1.300 dollar AS per ton. Penambahan pos tarif itu tidak pernah dikonsultasikan dengan pengusaha. Menurut Hidayat, kenaikan PE dari 10 persen menjadi 15 persen dan seterusnya akan memicu spekulasi ekspor besar- besaran ketika pelaku usaha mengetahui bahwa PE akan naik 5 persen pada bulan berikutnya, dengan melihat prediksi harga di pasar global. Atau sebaliknya, pengusaha menahan penjualan di pasar domestik dan menunggu PE turun pada bulan berikutnya. Berdasarkan laporan Oilworld Weekly, selama Juli-September 2007 terdapat 660.000 ton CPO tidak tercatat (unregister). Menanggapi itu, Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian Ahmad Mangga Barani menyatakan, PE progresif CPO tidak merugikan perkebunan dan pengolah CPO. ”Pemerintah hanya mengurangi sedikit dari keuntungan mereka yang melimpah untuk membantu yang tidak mampu,” ujarnya. Mengenai kekhawatiran akan maraknya penyelundupan, Mangga Barani menyatakan,” Itu kewajiban aparat keamanan untuk menyelesaikannya.” Selain PE CPO, Kadin juga menyoroti Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 02/2008 terkait pencabutan SNI Wajib terigu. Kebijakan itu dinilai secara tak langsung akan meniadakan fortifikasi. Jika itu terjadi, akan berdampak pada asupan gizi masyarakat, khususnya rakyat miskin. ”Kebijakan ini bukan pro- rakyat miskin,” tegas Hidayat. (OSA/MAS/JON/OIN)