MORBIDITAS DAN STATUS GIZI BALITA PENERIMA MAKANAN TAMBAHAN BISKUIT YANG DISUBSTITUSI TEPUNG IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI KECAMATAN SUKALARANG DAN CIBADAK, KABUPATEN SUKABUMI MAYANG GALIH PUTRI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 ABSTRACT MAYANG GALIH PUTRI. Morbidity and Nutritional Status of Under Five Children Receiving Supplementary Feeding with Biscuit Substituted with Catfish Flour in Sukalarang and Cibadak Sub-district, District of Sukabumi. Under the guidance of Sri Anna Marliyati. Protein-Energy Malnutrition (PEM) among under five children is a nutrition problem in Indonesia. The purpose of this research was to study morbidity and nutritional status of under-five children before and after supplementary feeding with biscuit substituted with catfish flour in Sukalarang and Cibadak sub-district, district of Sukabumi. The samples of the study were children within the age range 12-60 months. A quasy experimental study design was implemented. Primary and secondary data were colected in the study. Data was analyzed using Microsoft Exel 2007 for windows and Statistical Program for Social Science (SPSS) 16.0. Primary data includes the characteristics of the sample’s families (families size, parental education, parental employment, and household income); the characteristics of children under-five (age, sex, weight, height, energy consumption, and protein consumption); the characteristic of environment, morbidity, nutritional status, and parenting (feeding and health care pattern). Weight for age (W/A), height for age (H/A) and weight for height (W/H) index were used to measure children under-five nutritional status. The result showed that supplementary feeding with biscuit substituted with catfish flour may increased nutritional status. After intervention, 52,8% children under five were normal (W/A). Based on analiysis showed that there were no corellation between feeding care pattern with nutritional status (r=0,042, p>0,05), and health care pattern with nutritional status (r=0,290, p>0,05). Many factors influenced nutritional status, such as consumption and infection deseases. Samples T Test analysis showed that was a difference on nutritional status (W/A) between after and before intervention (p<0,05). There was no difference of morbidity between after and before intervention (p>0,05). Keywords: Protein-Enery Malnutrition, supplementary feeding, nutritional status, morbidity, biscuit RINGKASAN MAYANG GALIH PUTRI. Morbiditas dan Status Gizi Balita Penerima Makanan Tambahan Biskuit Yang Disubstitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Kecamatan Sukalarang dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI. Masalah gizi kurang merupakan masalah multidimensi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor baik langsung maupun tidak langsung. Gizi kurang terjadi karena defisiensi atau ketidakseimbangan energi (zat gizi). Gizi kurang dapat menurunkan produktivitas kerja sehingga pendapatan menjadi rendah, miskin, dan pangan tidak tersedia cukup. Selain itu gizi kurang mengakibatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah sehingga rentan terserang penyakit (Suhardjo 2003). Balita merupakan kelompok usia yang rawan terserang penyakit dan kekurangan zat gizi. Kurang Energi Protein (KEP) pada bayi dan anak-anak sering dijumpai di negara - negara yang sedang berkembang. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam upaya perbaikan gizi balita. Biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) ini mengandung protein tinggi sehingga dengan adanya pemberian biskuit tersebut diharapkan dapat menambah asupan energi dan protein pada balita KEP. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat morbiditas dan status gizi balita sebelum dan setelah intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) di Kecamatan Sukalarang dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Adapun tujuan khusus penelitian ini yaitu: (1) Mengetahui karakteristik sosial-ekonomi keluarga balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus); (2) Mengetahui karakteristik kondisi lingkungan daerah tempat tinggal balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus); (3) Mengetahui konsumsi pangan balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus); (4) Mengetahui pola asuh ibu (pola asuh makan dan kesehatan) dan tingkat kepatuhan sasaran penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) terhadap pemberian makanan tambahan; (5) Menganalisis hubungan antara pola pengasuhan ibu dengan status gizi balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus); (6) Menganalisis hubungan antara tingkat morbiditas dengan status gizi balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus); (7) Mengkaji perubahan tingkat morbiditas balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus); (8) Mengkaji perubahan status gizi balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Desain penelitian ini menggunakan desain quasy experimental. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Juli 2011 yang dilakukan di dua kecamatan yaitu, kecamatan Sukalarang dan kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Penentuan puskesmas Sukalarang (kecamatan Sukalarang) dan puskesmas Sekarwangi (kecamatan Cibadak) sebagai lokasi penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan pertimbangan bahwa kedua puskesmas tersebut termasuk puskesmas yang diberi program PMT oleh pemerintah setempat. Contoh dalam penelitian berjumlah 36 balita, dengan rincian 15 balita (kecamatan Sukalarang) dan 22 balita (kecamatan Cibadak). Lebih dari separuh jumlah contoh (75%) adalah balita perempuan. Sebagian besar usia contoh termasuk dalam kategori 12 - 23 bulan (55,6%). Berdasarkan jenjang pendidikan formal, sebagian besar orang tua contoh berpendidikan SD atau sederajat (47,2% ayah dan 52,8% ibu). Sebagian besar ayah contoh bekerja sebagai buruh non tani (41,7%). Sebagian besar ibu contoh (86,1%) adalah tidak bekerja atau hanya berperan sebagai ibu rumah tangga. Lebih dari separuh keluarga contoh tergolong dalam keluarga sedang yang terdiri dari 5-7 orang dengan jumlah persentase sebesar 44,4 %. Sebagian besar (80,6%) pendapatan keluarga contoh berada pada kisaran Rp. 66.680 – Rp. 260.115 perkapita/bulan. Berdasarkan garis kemiskinan yang telah ditetapkan oleh BPS Propinsi Jawa Barat, diketahui sebanyak 64% keluarga contoh termasuk dalam kategori miskin, yaitu pendapatan dibawah Rp. 191.985 perkapita/bulan. Sebagian besar kondisi lingkungan tempat tinggal contoh berada pada kategori sedang (52,8%). Dengan gambaran sebanyak 16,7% responden tidak memiliki WC sendiri di dalam rumah sehingga menumpang di WC tetangga. Lebih dari 50% responden (88,9%) mendapatkan air minum dari sumur tak terlindung/ mata air tak terlindung. Kemudian sumur tak terlindung/mata air tak terlindung juga merupakan sumber air untuk mandi dengan persentase sebesar (94,4%). Rata-rata konsumsi energi dan protein contoh sebelum intervensi berturut-turut sebesar 972 ± 175 Kal dan 24 ± 7 gram. Setelah dilakukan intervensi biskuit, rata-rata konsumsi energi dan protein contoh mengalami peningkatan menjadi 1184 ± 131 Kal (energi) dan 34 ± 6 gram (protein). Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Paired Samples T Test, menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan Tingkat Kecukupan Protein (TKP) antara sebelum dan setelah intervensi, hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar (p< 0,05). Sebanyak 52,8% responden memiliki pola asuh makan dengan kategori sedang. Lebih dari separuh responden (72,2%) menerapkan pola asuh hidup sehat kategori sedang untuk anak balitanya. Berdasarkan pengamatan tingkat kepatuhan responden dan balita terhadap pemberian makanan tambahan, diketahui bahwa sebanyak 58,3% ibu balita (responden) termasuk dalam kategori patuh. Hasil uji statistik menggunakan uji korelasi rank spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh makan dengan status gizi balita (BB/U) (p>0,05 dan r=0,042). Selain pola asuh makan, berdasarkan uji statistik dengan korelasi rank spearman diketahui juga bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh hidup sehat dengan status gizi balita (BB/U) (p>0,05 dan r=0,290). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat morbiditas dengan status gizi balita (p>0,05). Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji Samples Paired T Test, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) rata-rata morbiditas contoh antara sebelum dan setelah intervensi. Hasil uji statistik dengan uji Samples Paired T Test juga menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) ratarata z-skor BB/U (status gizi) contoh antara sebelum dan setelah intervensi. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan status gizi setelah dilakukan intervensi dengan biskuit tinggi protein yang ditunjukkan dengan nilai z-skor yang bertambah. Kata kunci: pemberian makanan tambahan, status gizi balita, morbiditas, pola asuh MORBIDITAS DAN STATUS GIZI BALITA PENERIMA MAKANAN TAMBAHAN BISKUIT YANG DISUBSTITUSI TEPUNG IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI KECAMATAN SUKALARANG DAN CIBADAK, KABUPATEN SUKABUMI MAYANG GALIH PUTRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 LEMBAR PENGESAHAN Judul : Morbiditas dan Status Gizi Balita Penerima Makanan Tambahan Biskuit Yang Disubstitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Kecamatan Sukalarang dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi Nama : Mayang Galih Putri NIM : I14070078 Disetujui Dosen Pembimbing Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si. NIP. 19600205 198903 2 002 Diketahui Ketua Departemen Gizi Masyarakat Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. NIP. 19621218 198703 1 001 Tanggal Lulus: PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Morbiditas dan Status Gizi Balita Penerima Makanan Tambahan Biskuit Yang Disubstitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Kecamatan Sukalarang dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Drs. Kukuh Taufiqul Malik, MM, Ibunda Siti Sarah, Nenek tersayang Hj. Nani Rohani, Tegar Nuramadhan, Yulinar Khiyarunnisa serta seluruh keluarga penulis atas kasih sayang, perhatian dan dukungan salam bentuk materi maupun moral. Selain itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, memberikan bimbingan, saran arahan, dan dukungan kepada penulis dengan penuh kesabaran. 2. Leyli Amalia, S.TP, M.Si. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, saran arahan, dan dukungan kepada penulis. 3. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si. sebagai dosen pemandu seminar dan dosen penguji yang telah mengevaluasi hasil penelitian penulis dan memberikan saran dalam penulisan skripsi ini. 4. Tim penelitian payung Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M.Sc, Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si. dan Leyli Amalia, S.TP, M.Si. yang telah mengijinkan penulis ikut melakukan penelitian. 5. Sahabat “Prima”: Siti Hajar (ceu-ceu), Nesyi Febi (ayuk/emak), Devi Nur (adhe), Devi Sandy (teteh), dan sahabat Luminaire (GM’44) atas segala keceriaan, pengalaman dan persahabatan yang tidak terlupakan. 6. Semua sahabat “Cendrawasi“ terutama “Kamar geDe” (Nono chan/ Eno dan Buret/ Rita) atas kasih sayang, dukungan dan semangat yang diberikan. 7. Ibu Ahli Gizi Puskesmas Sekarwangi (Bu Iis), Ahli Gizi Puskesmas Sukalarang (Bu Neneng), Bu Lilis, Bu Ati, Bu Damaris, dan ibu-ibu kader lainnya yang telah membantu penulis dalam proses pengambilan data. 8. Teman seperjuangan penelitian payung “PMT Biskuit yang Disubstitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarian gariepinus) di kabupaten Sukabumi tahun 2011”, Mbak Nana, Mbak Widya, dan Mas Dani. 9. Teman-teman enumerator atas segala motivasi, semangat, dan bantuannya dalam pengambilan data di Sukabumi. 10. Keluarga besar Gizi Masyarakat: Gizi Masyarakat angkatan ’44, ’45, ’46, para pengajar, staf TU atas segala bantuannya. 11. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas semua dukungan, bantuan dan doanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua. Bogor, November 2011 Mayang Galih Putri RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Kuningan,Jawa Barat pada tanggal 3 November 1989. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Drs. Kukuh Taufiqul Malik, MM dan Ibu Siti Sarah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 5 Kuningan pada tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Kuningan dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan selanjutnya ditempuh di SMA Negeri 1 Kuningan dan lulus pada tahun 2007. Pada bulan Juli tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI IPB). Kemudian pada bulan Agustus 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama penulis mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif di organisasi mahasiswa daerah (OMDA) Himpunan Mahasiswa Arya Kamuning (HIMARIKA), penulis pun mengikuti organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) di Club Peduli Pangan dan Gizi. Pada tahun 2009 penulis juga aktif di organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) menjadi staf divisi Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa dan Kewirausahaan (PSDMK). Pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2010, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi. Selain itu, penulis juga melaksanakan kegiatan Internship Dietetic (ID) di RS. Ciawi, Bogor pada bulan April-Mei 2011. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dietetik 1 dan 2 pada tahun 2011. Pada tahun 2011 juga penulis menyelesaikan tugas akhirnya dengan judul penelitian “Morbiditas dan Status Gizi Balita Penerima Makanan Tambahan Biskuit Yang Disubstitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Kecamatan Sukalarang dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi”. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... vi PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 Latar Belakang ................................................................................................. 1 Tujuan .............................................................................................................. 3 Hipotesis .......................................................................................................... 4 Kegunaan Penelitian ........................................................................................ 5 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6 Balita ................................................................................................................ 6 Masalah Gizi Makro Kurang Energi Protein (KEP) ........................................... 6 Status Gizi Balita .............................................................................................. 9 Pola Asuh ...................................................................................................... 12 Karakteristik Keluarga .................................................................................... 13 Konsumsi Pangan .......................................................................................... 15 Kebiasaan Makan .......................................................................................... 16 Kesehatan Lingkungan .................................................................................. 17 Program Pemberian Makanan Tambahan ...................................................... 18 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus sp) ........................................................ 18 Biskuit Tinggi Protein ..................................................................................... 19 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................. 20 METODE PENELITIAN ..................................................................................... 23 Desain, Waktu dan Tempat ............................................................................ 23 Cara Pemilihan Contoh .................................................................................. 23 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................................ 25 Pengolahan dan Analisis Data ....................................................................... 27 Definisi Operasional ....................................................................................... 32 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 34 Keadaan Umum Tempat Penelitian ................................................................ 34 Program Pemberian Makanan Tambahan di Kabupaten Sukabumi ............... 35 Karakteristik Balita ......................................................................................... 35 Karakteristik Orang Tua Contoh ..................................................................... 36 Kondisi Lingkungan ........................................................................................ 40 Konsumsi Pangan Balita ................................................................................ 43 Pola Asuh ...................................................................................................... 49 Tingkat Kepatuhan Ibu dalam Program PMT .................................................. 56 Morbiditas Balita ............................................................................................ 58 Status Gizi Balita ............................................................................................ 60 Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Status Gizi Balita ....................................... 63 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 65 ii Kesimpulan .................................................................................................... 65 Saran ............................................................................................................. 66 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 67 LAMPIRAN ........................................................................................................ 71 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Kebutuhan protein bayi dan anak balita (9/kg BB Sehari) ..................... 6 Tabel 2 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram) ......... 19 Tabel 3 Kandungan zat gizi dan energi biskuit komersial per takaran penyajian (21,8 gram) ........................................................................................ 19 Tabel 4 Jenis dan cara pengumpulan data ...................................................... 26 Tabel 5 Cara pengelompokkan dan pengkategorian variabel........................... 30 Tabel 6 Sebaran balita berdasarkan jenis kelamin dan umur ........................... 36 Tabel 7 Sebaran orang tua contoh berdasarkan umur, pendidikan, dan pekerjaan ........................................................................................... 36 Tabel 8 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar keluarga ....................... 39 Tabel 9 Sebaran pendapatan keluarga contoh (Rp/kapita) .............................. 39 Tabel 10 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori garis kemiskinan BPS Propinsi Jawa Barat 2009 .................................................................. 40 Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan kondisi fisik rumah .......................... 41 Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan sumber air ...................................... 42 Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan sarana pembuangan....................... 42 Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan kategori kondisi lingkungan ............ 42 Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata konsumsi energi dan protein .. 44 Tabel 16 Rata-rata konsumsi energi dan protein contoh awal dan akhir intervensi (konsumsi rumah) .............................................................................. 45 Tabel 17 Rata-rata konsumsi energi dan protein contoh awal dan akhir intervensi (konsumsi rumah+biskuit PMT).......................................................... 45 Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi pada awal dan akhir intervensi ................................................................... 46 Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan protein pada awal dan akhir intervensi ................................................................... 47 Tabel 20 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein contoh sebelum dan saat intervensi (dengan konsumsi biskuit PMT) ................................. 48 Tabel 21 Riwayat pemberian ASI ....................................................................... 49 Tabel 22 Cara memberikan makanan ................................................................ 51 Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan kategori pola asuh makan............... 51 Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat .......................... 52 Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat .......................... 54 iv Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat .......................... 55 Tabel 27 Sebaran responden berdasarkan kategori pola asuh hidup sehat ....... 56 Tabel 28 Jumlah keping biskuit tinggi protein yang dikonsumsi perhari ............. 57 Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit, frekuensi sakit, dan lama sakit dalam tiga bulan terakhir ........................................................... 58 Tabel 30 Rata-rata morbiditas contoh pada awal dan akhir intervensi ............... 60 Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan indikator status gizi (BB/U, TB/U, dan BB/TB) pada awal dan akhir intervensi .............................................. 61 Tabel 32 Rata-rata z-skor BB/U (status gizi) contoh pada awal dan akhir intervensi ........................................................................................... 62 Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh makan dan status gizi (BB/U) .......................................................................................................... 63 Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat dan status gizi ... 64 Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan tingkat morbiditas dan status gizi .......... 64 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian morbiditas dan status gizi balita penerima makanan tambahan biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) di kecamatan Sukalarang dan Cibadak, kabupaten Sukabumi ........................................................ 22 Gambar 2 Kerangka pemilihan contoh .............................................................. 25 Gambar 3 Sebaran ibu berdasarkan tingkat kepatuhan dalam program PMT ... 56 Gambar 4 Rata-rata jumlah biskuit tinggi protein yang dikonsumsi oleh contoh selama program PMT dilaksanakan (88 HMA) ................................ 57 Gambar 5 Rata-rata frekuensi sakit yang diderita contoh sebelum intervensi bulan 0 dan selama intervensi (tiga bulan)....................................... 59 Gambar 6 Rata-rata lama kejadian sakit (morbiditas) yang diderita contoh selama tiga bulan intervensi ......................................................................... 60 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Kuesioner penelitian ........................................................................ 72 Lampiran 2 Kuesioner recall konsumsi pangan .................................................. 76 Lampiran 3 Hasil uji statistik hubungan antar variabel ...................................... 77 Lampiran 4 Hasil uji statistik (uji beda Paired Samples T-Test) .......................... 77 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah gizi kurang merupakan masalah multidimensi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor baik langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor penyebab masalah gizi ini bersumber atau berakar dari terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial atau termasuk juga kejadian bencana alam. Gizi kurang terjadi karena defisiensi atau ketidakseimbangan energi (zat gizi). Gizi kurang dapat menurunkan produktivitas kerja sehingga pendapatan menjadi rendah, miskin, dan pangan tidak tersedia cukup. Selain itu gizi kurang mengakibatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah sehingga rentan terserang penyakit (Suhardjo 2003). Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan pembangunan di suatu wilayah. Pembangunan akan berjalan baik apabila didukung oleh masyarakat yang berkualitas. Berkaitan dengan hal tersebut, untuk menciptakan SDM yang berkualitas, banyak faktor yang harus diperhatikan, antara lain faktor pangan (zat gizi), kesehatan, pendidikan, informasi, teknologi, dan jasa pelayanan lainnya seperti jasa pelayanan kesehatan. Dari sekian banyak faktor tersebut, zat gizi memegang peranan yang paling penting. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM, khususnya generasi penerus bangsa (anak-anak). Permasalahan gizi utama di Indonesia difokuskan pada 4 masalah, yaitu Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Zat Besi (anemia), Kurang Vitamin A (KVA), dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) (Khomsan et al. 2009a). Balita merupakan kelompok usia yang rawan terserang penyakit dan kekurangan zat gizi. Kekurangan gizi pada usia balita akan berdampak negatif bagi pertumbuhan balita tersebut karena akan mengakibatkan keterlambatan pertumbuhan pada balita. Anak atau balita yang kekurangan makanan bergizi akan tertinggal pertumbuhan fisik, mental dan intelektualnya. Gangguan pertumbuhan ini selain menyebabkan tingginya angka kematian anak, juga menyebabkan berkurangnya potensi belajar dan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit. Anak yang menderita kekurangan gizi juga cenderung lebih mudah menderita penyakit kronis dikemudian hari. Kurang Energi Protein (KEP) pada bayi dan anak-anak sering dijumpai di negara - negara yang sedang berkembang. Diare dan penyakit infeksi merupakan salah satu faktor yang 2 memegang peranan penting dalam menyebabkan gizi kurang pada balita selain faktor pemberian air susu ibu (ASI) (Suhardjo 2003). Menurut Soekirman (2000), KEP pada balita sangat berbeda sifatnya dengan KEP pada orang dewasa. Faktor penyebab timbulnya gizi kurang pada balita lebih kompleks dibandingkan pada orang dewasa. Untuk menanggulanginya diperlukan upaya penanggulangan yang menggunakan pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak secara terintegrasi dengan cara memperbaiki aspek lingkungan hidup anak seperti pola asuh, pendidikan ibu, air bersih dan kesehatan lingkungan, mutu serta pelayanan kesehatan. Selain itu, partisipasi aktif dari orang tua dan masyarakat setempat juga penting dalam pencegahan dan penanggulangan masalah gizi kurang pada balita. Periode kritis anak berada pada lima tahun pertama setelah kelahiran. Jika pertumbuhan dan perkembangan anak pada periode ini optimal, maka anak tersebut akan tumbuh menjadi seorang manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, target utama posyandu adalah balita, ditambah wanita hamil dan menyusui (Khomsan et al. 2009a). Menurut Adi (2010), untuk menanggulangi masalah gizi kurang pada balita perlu adanya program peningkatan kesehatan masyarakat, pendidikan (penyuluhan), dan perbaikan pola konsumsi. Peningkatan kesehatan masyarakat dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Salah satu program untuk menanggulangi masalah gizi kurang dan angka kesakitan pada balita yaitu dengan dilakukannya program intervensi pemberian makanan tambahan (PMT) pada balita yang mengalami KEP. Pemberian makanan tambahan ini diharapkan dapat membantu mengurangi prevalensi gizi kurang. Berdasarkan Riskesdas (2010), diketahui bahwa prevalensi gizi kurang di propinsi Jawa Barat berdasarkan BB/U sebesar 9,9%. Sukabumi merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil penimbangan bulanan balita di kabupaten Sukabumi tahun 2010, diketahui prevalensi balita gizi kurang sebesar 8,55%. Prevalensi ini lebih sedikit dibandingkan prevalensi balita gizi kurang di provinsi Jawa Barat. Masalah gizi kurang pada balita akan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup balita tersebut di kemudian hari. Oleh sebab itu, masalah tersebut harus dapat segera ditanggulangi. 3 Salah satu cara untuk dapat menanggulangi masalah gizi kurang pada balita KEP yaitu dengan cara memberikan makanan tambahan (PMT). Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam upaya perbaikan gizi balita. Studi mengenai efikasi pemberian makanan tambahan tersebut telah dilakukan oleh Adi pada tahun 2010 dengan hasil yang positif. Sebagai tindak lanjut dari studi tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi memberikan biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) sebagai upaya untuk mengurangi prevalensi gizi kurang dan gizi buruk serta memperbaiki status gizi balita gizi kurang dan gizi buruk pada tahun 2011 di kabupaten Sukabumi. Biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) ini mengandung protein tinggi sehingga dengan adanya pemberian biskuit tersebut diharapkan dapat menambah asupan energi dan protein pada balita KEP. Dalam perbaikan pola konsumsi pangan balita, pola asuh anak oleh ibu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi anak balita. Ibu sangat berperan penting dalam meningkatkan status gizi anak (balita). Pola makan anak hampir sepenuhnya tergantung pada kemampuan ibu untuk mentransfer pengetahuan gizi ke dalam sikap dan kebiasaan makan yang baik. Tingkat kepatuhan orang tua (pengasuh) dalam memberikan biskuit (PMT) juga sangat penting terhadap keberhasilan program Pemerintah Daerah kabupaten Sukabumi dalam upaya memperbaiki status gizi dan tingkat morbiditas balita gizi kurang di kabupaten Sukabumi. Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik meneliti perubahan morbiditas dan status gizi balita pada awal dan akhir intervensi pemberian makanan tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) oleh Pemda Kabupaten Sukabumi pada tahun 2011. Daerah Sukabumi yang dijadikan lokasi penelitian ini merupakan daerah dataran tinggi tepatnya yaitu di kecamatan Sukalarang dan kecamatan Cibadak, kabupaten Sukabumi, provinsi Jawa Barat. Tujuan Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji morbiditas dan status gizi balita pada awal dan akhir intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) 4 biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) di Kecamatan Sukalarang dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui karakteristik sosial-ekonomi keluarga balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). 2. Mengetahui karakteristik kondisi lingkungan daerah tempat tinggal balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). 3. Mengetahui konsumsi pangan balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). 4. Mengetahui pola asuh ibu (pola asuh makan dan kesehatan) dan tingkat kepatuhan sasaran penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) terhadap pemberian makanan tambahan. 5. Menganalisis hubungan antara pola pengasuhan ibu dengan status gizi balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). 6. Menganalisis hubungan antara tingkat morbiditas dengan status gizi balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). 7. Mengkaji perubahan tingkat morbiditas balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). 8. Mengkaji perubahan status gizi balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara pola pengasuhan ibu dengan status gizi balita. 2. Terdapat hubungan antara tingkat morbiditas dengan status gizi balita. 3. Terdapat perbedaan morbiditas balita antara sebelum dan setelah dilakukan intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). 4. Terdapat perbedaan status gizi balita antara sebelum dan setelah dilakukan intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). 5 Kegunaan Penelitian Penelitian ini dapat membantu meningkatkan kesadaran, kepatuhan dan pemahaman masyarakat khususnya ibu balita terhadap pentingnya memperbaiki pola makan balita dan memperhatikan asupan zat gizinya agar mencukupi kebutuhan gizi balita. Disamping itu juga dapat meningkatkan pemahaman pengasuh (ibu) dalam hal perbaikan pola asuh terhadap anak balita dan juga memperhatikan aspek kesehatan lingkungan. Partisipasi masyarakat lainnya juga seperti kader sangat berperan terhadap kelancaran program intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) untuk meningkatkan status gizi balita gizi kurang dan gizi buruk. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah setempat dalam upaya menanggulangi masalah gizi kurang dan gizi buruk pada balita di Kabupaten Sukabumi. Dengan adanya penelitian ini diharapkan pemerintah mengetahui efikasi (pengaruh) dari Pemberian Makanan Tambahan PMT) biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) terhadap perbaikan morbiditas dan status gizi balita gizi kurang di Kabupaten Sukabumi. TINJAUAN PUSTAKA Balita Usia balita adalah periode penting dalam proses tumbuh kembang anak yang merupakan pertumbuhan dasar anak. Pada usia balita, perkembangan kemampuan berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosi, dan inteligensi anak berjalan sangat cepat. Hal tersebut merupakan landasan bagi perkembangan anak berikutnya. Balita termasuk ke dalam kelompok usia yang berisiko tinggi terhadap penyakit. Kekurangan ataupun kelebihan zat gizi pada balita dapat mempengaruhi status gizi dan status kesehatannya. Pemenuhan kebutuhan zat gizi pada balita memang sangat penting untuk menunjang proses tumbuh kembang (Marendra & Febry 2008). Kebutuhan protein bayi dan anak balita disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kebutuhan protein bayi dan anak balita (9/kg BB Sehari) Bayi: (Bulan) <3 g/hari 2,40 BALITA (Tahun) 1 2 3-6 1,85 3 6-9 1,62 4 9-11 1,44 5 6 Sumber: Sediaoetama 2006 g/hari 1,27 1,19 1,12 1,06 1,01 0,98 Masalah Gizi Makro Kurang Energi Protein (KEP) KEP merupakan salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan dan infeksi yang berdampak pada penurunan status gizi. Manifestasi dari KEP dalam diri penderita ditentukan dengan mengukur status gizi anak atau orang yang menderita KEP. Jenis masalah gizi ini sering dijumpai di negaranegara miskin dan diderita oleh orang dewasa ataupun anak-anak. Saat ini masalah KEP pada orang dewasa tidak sebesar masa lalu kecuali pada wanita di daerah-daerah miskin. Namun, hingga tahun 2000 KEP pada anak usia di bawah lima tahun (balita) masih menjadi masalah yang memprihatinkan (Soekirman 2000). Menurut almatsier (2006), KEP pada anak-anak akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi, dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan. Bayi sampai anak berusia di bawah lima tahun (balita) serta ibu hamil dan menyusui merupakan golongan yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk KEP. KEP pada balita sangat 7 berbeda sifatnya dengan KEP pada orang dewasa. KEP pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah atau masyarakat bahkan oleh keluarganya sekalipun. Terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak selalu didahului oleh terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan seperti gizi buruk yang terjadi pada orang dewasa. Meskipun pangan di pasaran melimpah tetapi mungkin saja kasus gizi kurang dapat terjadi pada balita. KEP pada anak balita sering disebut sebagai masalah kelaparan yang “tersembunyi” atau hidden hunger. Faktor penyebab masalah gizi kurang pada anak balita bersifat lebih komplek dibandingkan pada orang dewasa, maka diperlukan upaya penanggulangan yang menggunakan pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak secara terintegrasi. Tidak hanya memperbaiki aspek makanan tetapi juga harus memperbaiki lingkungan hidup anak seperti pola pengasuhan, pendidikan ibu, air bersih dan lingkungan, mutu pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Partisipasi aktif orang tua dan masyarakat sangat diperlukan untuk pencegahan dan penanggulangan balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk (Soekirman 2000). Manifestasi Kurang Energi Protein (KEP) pada anak balita dalam jangka pendek dan panjang dapat berupa rendahnya berat badan umur (underweight), atau anak menjadi pendek (stunted) atau kurus (wasted). Untuk mengetahui status gizi anak balita termasuk normal atau tidak (gizi kurang atau gizi lebih) perlu dilakukan perbandingan antara ukuran antropometri anak (berat badan atau tinggi badan) dengan baku internasional. Seorang anak dikatakan mengalami gizi kurang jika berat badan atau tinggi badannya kurang dari -2 standar deviasi (SD). Anak balita dengan berat atau tingginya kurang dari -3 SD maka tergolong status gizi buruk (Prosiding Lokakarya Nasional II 2006). Berdasarkan penyebabnya, terdapat beberapa istilah dalam KEP, antara lain adalah kwashiorkor dan marasmus dengan gejala dan tanda-tandanya seperti yang diuraikan sebagai berikut: (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat 2007) Kwashiorkor (Kekurangan Protein) Kwashiorkor merupakan salah satu masalah gizi dengan suatu keadaan kekurangan protein baik secara kualitas maupun kuantitas ataupun keduaduanya yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perbaikan sel yang rusak. 8 Kekurangan protein ini biasanya menyerang anak-anak yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Anak yang disapih usia 1-4 tahun 2. Bertempat di daerah tropis atau sub tropis, dimana keadaan ekonomi, sosial, dan budaya merupakan kombinasi faktor yang dapat menimbulkan kekurangan protein pada anak-anak 3. Anak-anak yang sedang dirawat inap karena pembedahan atu hipermetabolik Marasmus Marasmus merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan protein dan energi yang kronis. Berat badan yang sangat rendah merupakan karakteristik dari marasmus. Berikut adalah gejala atau tanda-tanda marasmus: 1. Kurus kering 2. Tampak hanya tulang dan kulit 3. Otot dan lemak bawah kulit atropi (mengecil) 4. Wajah seperti tua 5. Berkerut dan keriput 6. Layu dan kering 7. Umumnya terjadi diare Marasmus umumnya terjadi karena beberapa faktor di bawah ini: Masalah sosial yang kurang menguntungkan Kemiskinan Infeksi Mikroorganisme pathogen penyebab diare Kecepatan pertumbuhan yang melambat Tidak ada dermatitis atau depigmentasi Tidak ada edema Tumbuh kerdil serta mental dan emosi terganggu Tidur gelisah, apatis dan merengus Menarik diri dari lingkungan Suhu tubuh subnormal karena tidak memiliki lemak subkutan yang menjaga agar tetap hangat Aktivitas metabolisme minimal Jantung melemah 9 Status Gizi Balita Status gizi merupakan keadaan kesehatan seseorang atau sekelompok orang yang disebabkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Status gizi seseorang atau sekelompok orang dapat digunakan untuk mengetahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut kondisi gizinya baik atau sebaliknya (Nasoetion & Riyadi 1994). Menurut Suhardjo (1989c), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi adalah berat bayi lahir rendah, kembar, banyak anak dalam keluarga, jarak kelahiran yang pendek, penyapihan dini, pemberian makanan tambahan tertentu terlalu dini atau terlambat, sering terkena infeksi, ibu yang buta huruf diantara ibu yang berpendidikan, kemiskinan, dan anak-anak yang orang tuanya tidak lengkap. Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi makanan, antropometri, biokimia, dan klinis. Berat badan menurut umur (BB/U) dianggap tidak informatif bila tidak disertai dengan informasi tinggi badan menurut umur (TB/U). Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi dan berat badan yang akurat akan menjadi tidak berarti jika penentuan umur tidak tepat (Riyadi 2003). Pemantauan status gizi balita BB/U dan TB/U lebih tepat bila menggunakan baku WHO-NCHS dan dihitung berdasarkan skor simpangan baku (z-score). Keuntungan penggunaan z-score adalah hasil hitungan telah dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri. Penentuan prevalensi dengan cara zscore lebih akurat dibandingkan cara persen terhadap median yang memberi hasil sangat bervariasi, baik menurut kelompok umur maupun masing-masing indeks. Nilai keadaan gizi anak dibagi menjadi empat kategori, yaitu baik, sedang, kurang, dan buruk (Gibson 1993 diacu dalam Khomsan et al. 2009). Pertumbuhan fisik sering dijadikan indikator untuk mengukur status gizi baik individu maupun populasi. Anak yang menderita kekurangan gizi akan berpenampilan lebih pendek dengan berat badan lebih rendah dibandingkan teman-teman sebayanya yang sehat dan bergizi baik. Laju pertambahan berat akan lebih banyak terpengaruh pada kondisi kurang gizi dibandingkan tinggi badan. Oleh sebab itu, penurunan berat badan paling sering digunakan untuk menapis anak-anak yang mengalami gizi kurang. Jika defisiensi gizi berlangsung lama dan parah, maka pertumbuhan tinggi badan akan terpengaruh. Selain itu 10 juga proses pendewasaan akan terganggu. Apabila seorang anak mengalami defisiensi protein (meskipun konsumsi energinya cukup), anak tersebut tetap akan mengalami pertumbuhan tinggi badan yang terhambat (Khomsan 2002). Status gizi anak dapat diketahui melalui pengukuran antropometri. Kata antropometri berasal dari bahasa Latin antropos yang berarti manusia (human being) (Soekirman 2000). Secara umum antropometri dapat diartikan sebagai ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa et al. 2002). Status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai umur (U) secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi antara ketiganya. Masing-masing indikator memiliki maknanya sendiri-sendiri. Kombinasi antara BB dan U membentuk indikator BB menurut U yang disimbolkan dengan “BB/U”,kombinasi antara TB dan U membentuk indikator TB menurut U yang disimbolkan dengan “TB/U”, dan kombinasi BB dan TB membentuk indikator BB menurut TB atau disimbolkan dengan “BB/TB” (Soekirman 2000). Metode antropometri termasuk pengukuran dimensi fisik dan komposisi tubuh (WHO 1995). Pengukuran antropometri memiliki keuntungan tambahan dalam menyediakan informasi mengenai sejarah status gizi pada masa lampau. Pengukuran ini dapat dilakukan dengan mudah, cepat, dan menggunakan peralatan yang sudah distandarisasi (Gibson 2005). Antropometri umumnya digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah cairan dalam tubuh (Supariasa et al. 2002). Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh TB. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000). 11 Indikator BB/U Indikator BB/U dapat normal, lebih rendah, atau lebih tinggi setelah dibandingkan dengan standar WHO. Status gizi tergolong baik jika BB/U normal, BB/U rendah dapat diartikan status gizi tersebut tergolong gizi kurang atau buruk. Sedangkan BB/U tinggi digolongkan sebagai status gizi lebih. Baik status gizi kurang maupun lebih, kedua-duanya memiliki resiko yang tidak baik bagi kesehatan. Status gizi kurang yang diukur dengan indikator BB/U dalam ilmu gizi digolongkan ke dalam kelompok “berat badan rendah” (BBR) atau underweight. Menurut tingkat keparahannya, BBR dikelompokkan ke dalam kategori BBR tingkat ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). BBR tingkat berat atau sangat berat (berat badan sangat rendah = BBSR) sering disebut sebagai status gizi buruk. Gizi buruk pada anak-anak di masyarakat dikenal dengan marasmus dan kwashiorkor (Soekirman 2000). Indikator TB/U Indikator TB/U dapat dinyatakan normal, kurang, dan tinggi menurut standar WHO. Menurut WHO, bagi anak yang memilki TB kurang maka dikategorikan sebagai stunted (pendek tidak sesuai dengan umur). Tingkat keparahannya dapat digolongkan ringan, sedang, dan berat atau buruk. Hasil pengukuran TB/U menggambarkan status gizi masa lalu. Seorang anak yang tergolong stunted kemungkinan keadaan gizi masa lalu kurang atau tidak baik (Soekirman 2000). Berbeda dengan BBR yang diukur dengan BB/U yang mungkin dapat diperbaiki dalam waktu pendek, baik pada anak ataupun pada dewasa. Stunted pada orang dewasa tidak lagi dapat dipulihkan. Kemungkinan untuk memulihkan pada anak balita dengan cara menormalkan pertumbuhan linier (pertumbuhan berat badan mengikuti pertumbuhan tinggi badan dengan percepatan tertentu) dan mengejar pertumbuhan potensial (petumbuhan tinggi badan menurut keturunan genetik dalam lingkungan yang ideal) masih dapat dilakukan. Sedangkan pada anak usia sekolah sampai remaja kemungkinan menormalkan pertumbuhan linier masih ada, tetapi kemungkiannya kecil untuk dapat catch-up growth (Soekirman 2000). Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Pertambahan tinggi atau panjang badan relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu yang singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru dapat dilihat dalam waktu yang cukup 12 lama. Oleh sebab itu indikator TB/U menggambarkan status gzizi masa lampau (Soekirman 2000). Indikator BB/TB Pengukuran antropometri yang terbaik adalah menggunakan indikator BB/TB. Ukuran ini menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik, Seseorang dengan BB/TB kurang dikategorikan sebagai “kurus” atau “wasted”. Berat badan behubungan linier dengan tinggi badan. Dalam kondisi normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan yang normal akan proposional dengan tinggi badan. Indikator BB/TB ini diperkenalkan pertama kali oleh Jellife pada tahun 1966 dan merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini, terutama jika data umur yang akurat sulit untuk diperoleh. Oleh sebab itu, indikator BB/TB merupakan indikator yang independen terhadap umur (Soekirman 2000). Pola Asuh Proses pengasuhan adalah suatu proses interaksi, penyesuaian orang tua, pemenuhan tanggung jawab orang tua untuk memenuhi kebutuhan anak serta perlindungan terhadap anak. Pengasuhan memiliki beberapa pola yang menunjukkan adanya hubungan dengan aspek tertentu, mengikuti kebutuhan anak akan kebutuhan fisik dan non-fisik, agar anak dapat hidup normal dan mandiri di masa mendatang. Pola asuh terdiri dari pola asuh makan, pola asuh kesehatan, dan pola asuh psikososial. Status gizi anak tidak hanya dipengaruhi oleh sistem sosial budaya, kualitas interaksi ibu anak yang dilihat dari aspek praktik pengasuhan, praktik pemberian makan serta perawatan kesehatan (Hastuti 2008). Pola Asuh Makan Pola asuh makan merupakan praktik yang diterapkan ibu khususnya yang berkaitan dengan situasi dan cara makan, sehingga dapat memberikan suasana yang menyenangkan bagi anak pada situasi makan (Tambingon 1999 dalam Khairunnisak 2004). Tujuan memberi makan pada anak adalah untuk memenuhi kebutuhan zat gizi yang cukup demi kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan, aktivitas pertumbuhan dan perkembangan. Keadaan lingkungan dan sikap keluarga merupakan pertimbangan yang penting dalam pemberian makan kepada anak. Pada masa perkembangan anak, keluarga dapat membantu anak mencapai sikap normal dan berminat terhadap 13 makanan tanpa adanya suatu kecemasan dan kekhawatiran mengenai makan.Pola asuh makan yang baik, dalam arti secara kuantitatif maupun kualitatif yang tepat pada masa balita sangat dianjurkan. Praktik pemberian makan pada anak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesehatan dan status gizi. Kemampuan seorang ibu untuk memperkenalkan makanan baru pada anak memiliki pengaruh yang besar terhadap daya terima dan kesukaan anak terhadap suatu makanan (Khomsan et.al 2009b). Peran ibu sangat penting terhadap masalah kesehatan. Jika anak mulai diberi makanan tambahan, anak memiliki risiko terkena infeksi dan kekurangan gizi. Jika anak mulai mengkonsumsi makanan pelengkap dan atau makanan buatan, maka penyimpanan makanan dan higienitasnya perlu diperhatikan (Pramuditya 2010). Pola Asuh Kesehatan Pengasuhan kesehatan merupakan tugas orang tua anak agar anak selalu berada pada kondisi terbebas dari penyakit serta dapat beraktivitas rutin selayaknya individu normal. Usaha preventif yang dilakukan orang tua untuk membentuk kesehatan anak adalah dengan membiasakan pola hidup sehat, melalui penanaman kebiasaan hidup bersih dan teratur. Kebisaan tersebut antara lain: mandi, keramas rambut, menggosok gigi, menggunting kuku, mencuci tangan sebelum makan, dan sebagainya. Aspek kesehatan juga mencakup upaya kuratif yang dibelanjakan orang tua untuk memberikan pengobatan dan perawatan kesehatan anak (Hastuti 2008). Karakteristik Keluarga Keluarga sebagai kelompok inti dari masyarakat merupakan lingkungan alami hasil pertumbuhan dan perkembangan anak, perlu terus diberdayakan sehingga menjadi lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Menurut Megawangi (2004) keluarga adalah tempat pertama dan utama dimana seseorang anak dididik dan dibesarkan. Fungsi keluarga utama dalam resolusi majelis umum PBB adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Umur Orangtua Orang tua khususnya ibu yang terlalu muda (<20 tahun) cenderung kurang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam mengasuh anak sehingga pada umumnya orang tua tersebut merawat dan mengasuh anak 14 berdasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga lebih cenderung menjadikan ibu lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kualitas dan kuantitas pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, pada ibu yang memiliki usia yang telah matang (dewasa) akan cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1998). Pendidikan Orangtua Setiap orang memiliki tingkat pendidikan yang berbeda-beda, dari segi kuantitas maupun kualitas. Tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian. Tingkat pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola konsumsi antar anggota keluarga (Gunarsa & Gunarsa 1995). Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Angka melek huruf merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Atmarita & Fallah 2004). Pekerjaan Orangtua Semakin bertambah luasnya lapangan kerja maka semakin mendorong banyaknya kaum wanita yang bekerja, terutama di sektor swasta. Di satu sisi, hal tersebut berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian terhadap pemberian makan anak menjadi kurang, sehingga cenderung dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang dan perkembangan otak anak (Mulyani 1990). Besar Keluarga Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga. Pada suatu keluarga, terutama keluarga miskin akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan makanannya jika jumlah keluarganya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, 15 tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut (Suhardjo 2003). Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga, dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Hal ini disebabkan karena semakin bertambah besar jumlah keluarga, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orangtua tidak menyadari bahwa anakanak yang sangat muda memerlukan pangan yang relatif lebih banyak dibandingkan anak-anak yang lebih tua (Suhardjo 2003). Pendapatan Keluarga Menurut Suhardjo (1989a), dengan meningkatnya pendapatan seseorang, maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang-orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang dibutuhkan. Ada pula keluarga yang sebenarnya mempunyai penghasilan cukup namun sebagian anaknya berstatus kurang gizi. Pada umumnya tingkat pendapatan naik, maka jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik, tetapi mutu makanan tidak selalu membaik (Suhardjo 2003). Konsumsi Pangan Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang cukup lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, iklim, dan aktivitas fisik (Almatsier 2006). Menurut Notoatmodjo (1993) perilaku terhadap makanan adalah respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku makan ini meliputi pengetahuan, sikap dan praktek terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (zat gizi). Praktek atau konsumsi pangan seseorang tercermin dari pola konsumsi pangannya. Pola konsumsi pangan adalah susunan beragam pangan yang biasa dikonsumsi oleh keluarga atau masyarakat dalam hidangannya sehari-hari. Pola konsumsi pangan ini disusun berdasarkan jenis makanan , frekuensi makan, dan jumlah yang 16 dimakan. Pengukuran praktek konsumsi iini dapat dilakukan dengan cara wawancara terhadap responden tentang makanan yang dikonsumsi (Suhardjo 1989). Kebiasaan Makan Menurut Khumaidi (1989), kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan atau pemilihan makanan. Kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan (misalnya pantangan), distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan (misalnya suka atau tidak suka) dan cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan. Meningkatnya pendapatan perorangan menyebabkan terjadinya perubahan dalam susunan makanan, akan tetapi pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan (Suhardjo 1989b). Pengelolaan atau penyediaan makanan dalam keluarga pada umumnya dikoordinir oleh ibu. Ibu yang mempunyai pengetahuan gizi dan berkesadaran gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan yang sehat sedini mungkin kepada anaknya (Suhardjo 1989b). Tingkat pengetahuan gizi ibu berhubungan dengan tingkat pendidikan formal ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal ibu akan semakin luas wawasan berfikirnya sehingga akan lebih banyak informasi zat gizi yang dapat diserapnya. Dengan demikian akan semakin baik ibu tersebut memilih bahan makanan yang bergizi untuk dikonsumsi keluarganya (Soewondo dan Sadli 1989 dalam Khomsan et al. 2009). Menurut Suhardjo (1989b), adat kebiasaan yang berhubungan dengan makanan di antaranya adalah jumlah makanan yang dikonsumsi, waktu makan, makan bersama, jajan, dan adanya prioritas makanan tertentu terhadap anggota keluarga. Kepercayaan, kebiasaan makan pantangan dan suka atau tidak suka terhadap makanan tertentu merupakan unsur budaya yang memiliki hubungan langsung dengan kebiasaan makan. Frekuensi pemberian makanan pertama pada anak cukup dua kali sehari, sebanyak satu atau dua sendok teh penuh. Seiring tumbuh-kembangnya, kebutuhan bayi akan meningkat. Apabila bayi telah menyukai makanan baru tersebut, maka ia akan mengonsumsi 3-6 sendok besar penuh setiap kali makan. 17 Menurut Arisman (2007), terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam memberikan makanan sapihan. Pemberian makanan padat pertama harus bertekstur sangat halus dan licin agar bayi perlahan-lahan dapat menerima makanan dengan tekstur yang lebih kasar. Apabila bayi sudah tumbuh gigi, maka dapat diberikan bubur saring, sedangkan bagi bayi yang telah pandai mengunyah makanan dapat diberikan makanan cincang. Dalam pemberian makanan, sebaiknya makanan tidak dicampur agar bayi dapat membedakan tekstur dan rasa makanan. Kesehatan Lingkungan Kesehatan lingkungan merupakan segala usaha pengendalian/ pengawasan kondisi lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan atau dapat menimbulkan kerugian bagi perkembangan fisik, kesehatan, dan daya tahan hidup manusia. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia baik berupa benda maupun suatu keadaan yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan seseorang atau sekelompok masyarakat. Lingkungan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, antara lain: (Widyati dan Yuliarsih 2002) Lingkungan Biologis Lingkungan yang terdiri dari semua makhluk hidup, baik tumbuhtumbuhan, hewan, maupun mikroorganisme yang berada di sekitar manusia. Lingkungan Fisik Lingkungan yang terdiri dari benda-benda tak hidup, tetapi berhubungan dengan kehidupan atau kelangsungan hidup manusia. Lingkungan Sosial Budaya Lingkungan sosial budaya adalah interaksi antara manusia dengan makhluk sesamanya. Lingkungan sosial budaya ini merupakan lingkungan yang erat dengan masalah kesehatan dan harus dilihat dari kehidupan masyarakat secara luas. Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002), kesehatan ligkungan ,mencakup aspek yang sangat luas, meliputi hampir semua aspek kehidupan manusia. Pentingnya lingkungan yang sehat akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku manusia. Berikut di bawah ini merupakan ruang lingkup kesehatan lingkungan yang terdiri dari: 18 1. Penyediaan air minum 2. Pengolahan air limbah dan pengendalian pencemaran air 3. Pengolahan sampah padat 4. Pengendalian vektor (perantara penyakit) 5. Pencegahan atau pengendalian pencemaran tanah oleh kotoran manusia 6. Sanitasi makanan dan minuman 7. Pengendalian kebisingan 8. Kesehatan kerja dan pencegahan kecelakaan 9. Perumahan dan pemukiman 10. Pengawasan terhadap tempat-tempat rekreasi umum dan pariwisata. Program Pemberian Makanan Tambahan Balita merupakan kelompok usia yang rawan mengalami kekurangan zat gizi, seperti KEP. Kejadian gizi kurang pada balita tidak selalu didahului dengan terjadinya bencana kekurangan pangan dan kelaparan sehingga diperlukan pendekatan dalam upaya penanggulangannya, salah satunya yaitu dengan cara perbaikan gizi dari aspek makanan (Khomsan 2004). Program pemberian makanan menyediakan makanan gratis bagi seseorang yang membutuhkan. Makanan yang diberikan dapat berasal dari pemerintah dalam negeri, pemerintah luar negeri, ataupun dari organisasi di luar pemerintahan. Pemberian makanan tambahan ini merupakan salah satu cara untuk membantu keluarga yang masih kekurangan pangan (miskin). Terdapat beberapa tipe dalam program pemberian makanan, yaitu: pemberian makanan pada kelompok “at risk”/ rawan gizi kurang (balita, anak-anak, ibu hamil, dan menyusui), institutional feeding (pada anak sekolah), dan emergency feeding. Tujuan adanya pemberian makanan tambahan ini adalah untuk meningkatkan asupan makanan dan memperbaiki gizi pada ibu-ibu dan anak-anak yang paling berisiko mengalami gizi kurang (King & Burgess 1995). Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus sp) Terdapat berbagai jenis ikan yang dibudidayakan di Indonesia, salah satunya adalah ikan lele. Ikan lele yang banyak dibudidayakan dan dijumpai dipasaran saat ini adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) (Mahyuddin 2007). Bentuk tubuh ikan lele memanjang dan tidak bersisik sehingga memiliki kulit yang licin. Bentuk kepala ikan lele ini pipih dengan tulang kepala yang keras sebagai batok kepala, sesuai dengan kelas familinya yaitu Clariidae. Di sekitar mulut lele dumbo terdapat nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam yang 19 terdapat kumis di setiap mandibula. Sirip punggu, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda (Suyanto 1999). Biskuit Tinggi Protein Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit merupakan sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dengan melalui proses pemanasan dan percetakan. Biskuit diproses dengan pemanggangan hingga kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif lama. Berdasarkan penelitian Mervina (2009), kandungan energi dan protein biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo berturut-turut sebesar 480 Kal dan 18,8 gram (bb) per 100 gram biskuit. Agar dapat memenuhi 20% AKG protein, maka balita harus mengonsumsi biskuit sebanyak 4 keping (50 gram biskuit). Kandungan gizi per takaran penyajian dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram) Energi & Zat Gizi Energi (kkal) Protein (gram) Karbohidrat (gram) Lemak (gram) Jumlah per sajian 240 9.8 26.9 10.6 Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolate protein kedelai memiliki kontribusi yang cukup terhadap pemenuhan zat gizi, terutama protein dan energi. Kontribusi protein yang dapat diberikan sebesar 25.12% dan 39.20% dari AKG berdasarkan perhitungan AKG yang didasarkan pada kecukupan energi dan protein pada balita usia 1-3 tahun dan usia 4-6 tahun (WNPG 2004), sehingga dapat dikatakan biskuit ini menjadi makanan tambahan untuk balita yang tinggi protein (Mervina 2009). Jika dibandingkan dengan biskuit untuk bayi yang dijual di pasaran, biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolate protein kedelai mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan biskuit komersial yang ada. Kandungan zat gizi dan energi biskuit komersial per takaran penyajian 2 keping (21,8 gram) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Kandungan zat gizi dan energi biskuit komersial per takaran penyajian (21,8 gram) Energi & Zat Gizi Energi (kkal) Protein (gram) Karbohidrat (gram) Lemak (gram) Jumlah per sajian 90 2 17 1,5 KERANGKA PEMIKIRAN Status gizi masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor yang komplek dan saling berhubungan satu dengan lainnya. Pada tingkat rumah tangga, status gizi dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga untuk menyediakan makanan yang cukup baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, pola asuh anak, pengetahuan gizi, dan faktor sosio-budaya lainnya. Hal ini menunjukkan adanya hubungan erat antara konsumsi pangan dengan status gizi dan kesehatan masyarakat. Banyaknya status gizi kurang mencerminkan masalah yang besar pada sumberdaya manusia di Indonesia (Khomsan et al. 2009). Menurut Suhardjo (2003), kekurangan zat gizi dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya yaitu konsumsi pangan yang kurang baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Konsumsi pangan dan pola pengasuhan yang diperoleh seorang anak sangat menentukan status gizi anak tersebut. Semakin baik konsumsi pangan baik dari segi kuantitas maupun kualitas dan semakin baik pola pengasuhan yang diterima oleh seorang anak maka status gizinya akan semakin baik. Pada masa anak-anak, status gizi secara langsung berpengaruh terhadap imunitas, perkembangan kognitif, pertumbuhan, dan stamina tubuh (Hardinsyah 2007). Bayi, anak-anak balita, ibu hamil, dan ibu menyusui merupakan golongan yang rawan gizi. Pada bayi, protein merupakan bagian penting selama masa pertumbuhan dan masa perkembangannya. Kekurangan gizi pada masa-masa ini akan menyebabkan terganggunya pembentukan saraf dan simpul-simpul saraf sehingga akan mengakibatkan terjadinya retardasi mental yang tidak dapat diperbaiki kembali. Selain itu juga, kekurangan energi dan protein pada masa anak-anak menyebabkan pertumbuhan terlambat dan perkembangan anak terganggu (Suhardjo 2003). Periode kritis anak berada pada lima tahun pertama setelah kelahiran. Jika pertumbuhan dan perkembangan anak pada periode ini optimal, maka dia akan tumbuh menjadi manusia yang berkualitas (Khomsan et al. 2009). Oleh sebab itu, sebaiknya asupan zat gizi pada anak-anak terutama balita harus diperhatikan agar dapat memenuhi kebutuhan gizi balita. Dalam rangka menanggulangi masalah kekurangan gizi pada balita yang mengalami gizi kurang (KEP), perlu adanya upaya untuk meningkatkan dan memperbaiki status gizinya. Salah satunya yaitu dengan cara melakukan program intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Pemberian makanan tambahan ini betujuan untuk memperbaiki konsumsi pangan balita dan 21 meningkatkan status gizi serta mengurangi morbiditas pada balita gizi kurang (KEP). Jenis PMT yang diberikan adalah biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus). Biskuit ini mengandung protein tinggi sehingga dapat menjadi solusi untuk menurunkan prevalensi gizi kurang (KEP) pada balita. Menurut Adi (2010), selain dipengaruhi oleh pemberian makanan tambahan berupa biskuit, kecukupan konsumsi gizi balita juga ditentukan oleh konsumsi pangan harian baik dari segi jumlah dan jenis makanannya. Konsumsi pangan harian balita secara langsung dipengaruhi oleh ketersediaan pangan keluarga dan pola asuh, secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga. Oleh karena itu, pola pengasuhan memiliki peranan yang penting terhadap status gizi balita. Status gizi balita dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu terhadap gizi dan kesehatan. Karakteristik sosial ekonomi keluarga akan mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan perilaku gizi ibu. Pola asuh dan kesehatan lingkungan juga secara tidak langsung mempengaruhi status gizi balita. Namun, dalam penelitian ini variabel-variabel seperti pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu balita KEP tidak diteliti. Variabelvariabel yang diteliti pada penelitian ini yaitu karakteristik sosial-ekonomi keluarga balita gizi kurang dan gizi buruk, pola pengasuhan, kondisi lingkungan, konsumsi pangan balita, tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi biskuit PMT yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus), morbiditas, dan status gizi balita. Kerangkan pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1. 22 Karakteristik sosial-ekonomi keluarga: Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Besarnya keluarga Pengetahuan, sikap, dan praktik ibu contoh Ketersediaan Pangan Kondisi Lingkungan Pola Asuh Tingkat kepatuhan Konsumsi harian Konsumsi biskuit PMT Konsumsi pangan balita (Tingkat Kecukupan E dan P) Status Gizi Balita Gambar 1 Keterangan: Morbiditas (Penyakit dan infeksi) Kerangka pemikiran penelitian morbiditas dan status gizi balita penerima makanan tambahan biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) di kecamatan Sukalarang dan Cibadak, kabupaten Sukabumi = variabel yang diteliti = variabel yang tidak diteliti = hubungan yang diteliti = hubungan yang tidak diteliti METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian mengenai Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada balita gizi kurang dan gizi buruk (KEP) dilakukan dengan menggunakan desain quasy experimental. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Juli 2011 yang dilakukan di dua kecamatan yaitu, kecamatan Sukalarang dan kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Cara Pemilihan Contoh Penentuan puskesmas Sukalarang dan puskesmas Sekarwangi (kecamatan Cibadak) sebagai lokasi penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan pertimbangan bahwa kedua puskesmas tersebut termasuk puskesmas yang diberi biskuit sebagai makanan tambahan oleh pemerintah setempat. Selain itu juga kedua puskesmas tersebut merupakan puskesmas yang berada di daerah dataran tinggi di kabupaten Sukabumi. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung mengenai program intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada balita gizi kurang dan gizi buruk (KEP) di beberapa puskesmas di Kabupaten Sukabumi. Terdapat 10 puskesmas dari 10 kecamatan yang dijadikan lokasi penelitian payung ini. Cara pemilihan lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi. Pemilihan 10 puskesmas ini didasarkan pada data jumlah balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk (KEP) di daerah tersebut. Namun, dalam penelitian payung lokasi penelitian dibagi-bagi ke dalam beberapa wilayah berdasarkan dataran tinggi, dataran sedang, dan dataran rendah. Pada penelitian ini hanya mengambil beberapa lokasi yang berada di dataran tinggi, yaitu kecamatan Sukalarang dan kecamatan Cibadak. Penarikan contoh juga dilakukan secara purposive dengan kriteria inklusi sebagai berikut: 1. Balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk (KEP), dicirikan dengan tidak bertambahnya berat badan selama 3 kali penimbangan 2. Balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk (KEP) yang diberi makanan tambahan biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan mengonsumsi biskuit tersebut selama 3 bulan berturut-turut 24 3. Balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk (KEP) yang tinggal di daerah dataran tinggi 4. Ibu dari balita gizi kurang dan gizi buruk (KEP) bersedia mengikuti penelitian ini selama 3 bulan dan bersedia diwawancarai Pada penelitian ini, salah jenis pertama ( ) ditetapkan sebesar 5%, power test sebesar 1- (80%), dan peningkatan Z-skor (BB/U) setelah intervensi sebesar � . Rumus untuk menghitung perkiraan besar contoh berdasarkan perhitungan menggunakan rumus Steel dan Torrie (1991): � Keterangan : n = besar sampel = suatu nilai sehingga P( Z > z ) = 1 normal , Z adalah peubah acak baku = suatu nilai sehingga P( Z > z ) = 1- , Z adalah peubah acak normal baku � = 1,2 (perkiraan standar deviasi status gizi (BB/U) berdasarkan � = 1 (Peningkatan z-skor (BB/U) yang diharapkan setelah intervensi) penelitian Pramuditya 2010) Berdasarkan perhitungan dalam rumus matematis tersebut, dengan nilai Z1- = 1,96 dan nilai Z1- = 0,842 dapat ditentukan nilai n = 22,61 dibulatkan menjadi 23 sebagai batas minimal dari besar contoh yang disyaratkan. Data dari puskesmas Sekarwangi dan Sukalarang, menunjukkan bahwa balita penerima program PMT berjumlah 37 balita dengan rincian 15 balita dari puskesmas Sukalarang dan 22 balita dari puskesmas Sekarwangi. Total balita yang menerima PMT berupa biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dari kedua kecamatan tersebut berjumlah 37 balita, tetapi yang memenuhi kriteria contoh dan berpartisipasi dalam penelitian ini hingga akhir hanya berjumlah 36 balita. Satu balita mengalami drop out dikarenakan tidak memenuhi salah satu kriteria inklusi penelitian. Sebanyak 21 balita adalah penerima PMT biskuit di kecamatan Cibadak dan 15 balita penerima PMT biskuit di kecamatan Sukalarang (Gambar 2). 25 Kabupaten Sukabumi purposive Kecamatan Cibadak Kecamatan Sukalarang Penerima Program Pemberian Makanan Tambahan Biskuit 22 balita 15 balita Memenuhi kriteria sebagai contoh 21 balita 15 balita 36 balita Gambar 2 Kerangka pemilihan contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner dan wawancara secara langsung dengan ibu balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk (KEP) dan melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk. Data sekunder diperoleh dari puskesmas setempat dan Dinas Kesehatan kabupaten Sukabumi. Data primer yang diperoleh meliputi karakteristik contoh dan keluarga contoh yang terdiri dari identitas contoh (nama, jenis kelamin, umur, urutan anak), identitas keluarga contoh, data sosial ekonomi keluarga contoh (pendapatan keluarga contoh, pendidikan, pekerjaan orang tua, jumlah anggota keluarga, dan pengetahuan gizi dan kesehatan), data tingkat kepatuhan konsumsi makanan tambahan biskuit, data konsumsi makanan, dan kejadian sakit (morbiditas). Data-data tersebut diperoleh dari ibu balita (contoh) melalui wawancara secara langsung menggunakan kuesioner. Selain itu diambil pula data antropometri balita yang terdiri dari berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Pengukuran antropometri yang meliputi BB 26 dan TB merupakan data dasar yang diambil sebanyak 2 kali selama penelitian berlangsung. Data dasar tersebut diambil pada awal penelitian dan akhir peneltitian (baseline and endline) untuk melihat adanya perbedaan status gizi balita pada awal intervensi dan akhir intervensi diberikan. Data sekunder meliputi profil/ gambaran umum wilayah kabupaten Sukabumi yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, gambaran umum daerah penelitian yang didapatkan dari kantor kecamatan atau puskesmas setempat, catatan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi mengenai data puskesmas di daerah penelitan, data jumlah balita gizi kurang dan gizi buruk (KEP) di desa yang terkait penelitian, dan data-data dari instansi terkait yang diperlukan untuk mendukung penelitian. Jenis dan cara pengumpulan data secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis dan cara pengumpulan data Jenis data Data 1 Karakteristik/ identitas contoh (balita): Nama Jenis kelamin Umur Urutan anak, dll Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh: Pendapatan Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Jumlah anggota keluarga Pengukuran antropometri: Berat badan Tinggi badan Kondisi Lingkungan Primer Wawancara dengan ibu balita menggunakan kuesioner Primer Wawancara dengan ibu balita menggunakan kuesioner Awal dan akhir Primer Penimbangan secara langsung Awal dan akhir (2 kali) Primer Awal dan akhir 5 Pola asuh makan dan hidup sehat Primer Wawancara dengan ibu balita menggunakan kuesioner Wawancara dengan ibu balita menggunakan kuesioner 6 Konsumsi pangan balita Kuantitas Primer Metode food recall 2x24 jam Awal dan akhir (2 kali) 2 3 4 Cara Pengumpulan Data Waktu Pengumpulan Data Awal dan akhir No Awal dan akhir 27 No 7 Jenis data Data Tingkat kepatuhan konsumsi makanan tambahan biskuit: Primer Cara Pengumpulan Data Wawancara dengan ibu balita dan pencatatan harian oleh petugas kesehatan. Waktu Pengumpulan Data Setiap minggu selama 3 bulan 8 Jumlah yang diberikan Jumlah yang dikonsumsi Jumlah sisa Siapa yang mengonsumsi Alasan tidak mengonsumsi Morbiditas Primer 9 Status gizi Primer Dicatat dalam form isian Wawancara dengan ibu balita menggunakan kuesioner Pengukuran antropometri (BB dan TB) Awal dan akhir (2 kali) Awal dan akhir (2 kali) Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh tersebut selanjutnya diolah dan dianalisis secara deskriptif sengan menggunakan program SPSS versi 16,0 for Windows. Pengolahan data meliputi editing, coding, dan entry data yang dilakukan secara manual dan menggunakan program computer Microsoft Excel. Semua data yang diperoleh dikumpulkan, dikelompokan kemudian ditabulasikan dan dianalisis secara statistik analitik dan deskriptif. Analisis deskriptif disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi, persentase, nilai minimum dan maksimum, nilai rata-rata dan standar deviasi. Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi Spearman dan uji t dengan menggunakan Paired Samples T Test. Data konsumsi pangan diperoleh secara kuantitatif. Secara kuantitatif konsumsi pangan diperoleh dengan metode recall 2 x 24 jam. Recall dilakukan secara berulang sebanyak 2 kali, yaitu pada saat awal sebelum intervensi dan saat akhir dilakukan intervensi. Selanjutnya dilakukan perhitungan kandungan gizi pangan yang dikonsumsi balita. Tingkat konsumsi pangan balita dihitung setelah kandungan zat gizi pangan yang dikonsumsi telah diketahui. Berikut di bawah ini rumus untuk menghitung kandungan zat gizi pangan dan tingkat konsumsi zat gizi. 28 Kandungan Zat Gizi Pangan KGij = � x Gij x Keterangan: KGij = jumlah zat gizi I dari setiap jenis pangan j Bij = berat pangan j dalam gram Gij = kandungan zat gizi I dari pangan j BDDj = persen jumlah pangan j yang dimakan Tingkat Kecukupan Zat Gizi TKGi = x 100% Keterangan : TKGi = tingkat kecukupan zat gizi i Ki = konsumsi zat gizi i AKGi = kecukupan zat gizi I yang dianjurkan Perhitungan tingkat kecukupan zat gizi khusus untuk energi dan protein memperhitungkan berat badan aktual contoh yang dibandingkan berat badan anak balita standar yang terdapat pada AKG. Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah: (a) defisit tingkat berat (<70% AKG); (b) defisit tingkat sedang (70-79% AKG); (c) defisit tingkat ringan (80-89% AKG); (d) normal (90-119% AKG); dan (e) kelebihan (≥120% AKG). Tingkat kepatuhan dicatat dalam form pemantauan yang berisi banyaknya biskuit yang dibagikan kepada balita per minggu, biskuit yang dikonsumsi oleh balita per hari dan sisa yang tidak dikonsumsi. Data kepatuhan dicatat oleh petugas kesehatan selama intervensi berlangsung. Tingkat kepatuhan dihitung dengan dengan cara menjumlahkan semua biskuit yang dikonsumsi balita selama 88 hari makan anak (HMA) dibagi jumlah biskuit yang seharusnya dikonsumsi oleh balita selama 88 hari kemudian dikalikan 100%. Pengelompokkan tingkat kepatuhan dibagi menjadi tiga, yaitu rendah (jika kepatuhan < 50%), cukup (jika kepatuhan 50-70%), dan tinggi (kepatuhan ≥70%) (Adi 2010). Status gizi diukur dengan menggunakan metode antropometri (BB dan TB) yang didasarkan umur setiap bulan. Pengukuran ini dilakukan sebanyak dua 29 kali, dimulai sebelum intervensi dan setelah intervensi. Hasil dari pengukuran tersebut disajikan dalam bentuk indeks antropometri (BB/TB, BB/U, dan TB/U) berupa nilai terstandar (Z skor). Status gizi dikategorikan menurut Z-skor dengan software WHO Antro 2005. Pengkategorian status gizi anak balita berdasarkan Z-skor dengan menggunakan baku antropometri WHO (2005) untuk indikator BB/U, TB/U, dan BB/TB adalah sebagai berikut : Indikator BB/U Gizi Buruk Z-skor < - 3,0 Gizi Kurang Z-skor ≥ - 3,0 s/d Z-skor < - 2,0 Gizi Baik Z-skor ≥ - 2,0 s/d Z-skor ≤ 2,0 Gizi Lebih Z-skor > 2,0 Indikator TB/U Sangat pendek Z-skor < - 3,0 Pendek Z-skor ≥ -3,0 s/d Z-skor < -2,0 Normal Z-skor ≥ -2,0 Indikator BB/TB Sangat kurus Z-skor < - 3,0 Kurus Z-skor ≥ - 3,0 s/d Z-skor < - 2,0 Normal Z-skor ≥ - 2,0 s/d Z-skor ≤ 2,0 Gemuk Z-skor > 2,0 Morbiditas atau angka kesakitan dapat diperoleh dengan wawancara secara langsung dengan ibu balita. Data morbiditas ini dihitung berdasarkan kejadian sakit (frekuensi dan lama sakit) yang dialami selama intervensi, sebelum intervensi, dan setelah intervensi untuk mengetahui apakah ada perbedaan kejadian sakit antara pada awal dan akhir intervensi. Kemudian data kejadian sakit tersebut dihitung dengan menjumlahkan frekuensi terjadinya penyakit infeksi (ISPA, demam, diare, cacar, dan campak) pada data baseline (bulan 0), bulan ke-1, bulan ke-2, dan bulan ke-3 selama intervensi. Pola asuh yang diamati dalam penelitian ini adalah pola asuh makan dan pola asuh hidup sehat. Pola asuh diukur dengan penilaian pola asuh yang ditentukan oleh pengkategorian dari jawaban responden. Responden yang menjawab tidak diberi nilai 0, nilai 1 untuk responden yang menjawab kadangkadang, dan nilai 2 bagi responden yang menjawa ya. Selanjutnya dari masingmasing item pertanyaan dibuat ke dalam bentuk tabel sebaran frekuensi yang terdiri dari jumlah (n) dan persentasenya. Total skor yang diperoleh kemudian 30 dipersentasekan dengan total skor seharusnya dan hasilnya dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu kurang (<60%), sedang (60-80%), dan baik (>80%). Kondisi lingkungan diukur dengan penilaian kondisi lingkungan yang ditentukan oleh bobot skor dari setiap jawaban pertanyaan, yaitu 3 (untuk jawaban yang paling sesuai), 2 (untuk jawaban yang sesuai), dan 1 (untuk jawaban yang kurang sesuai). Selanjutnya dari masing-masing item pertanyaan dibuat ke dalam bentuk tabel sebaran frekuensi yang terdiri dari jumlah (n) dan persentasenya. Total skor yang diperoleh dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu kurang (< 60%), sedang (60-80%), dan baik (>80%) (Khomsan 2000). Cara pengelompokan dan pengkategorian variabel disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Cara pengelompokkan dan pengkategorian variabel No 1 2 Variabel Karakteristik/ identitas contoh (balita): Nama Jenis kelamin Umur balita (WHO 2006) Urutan anak, dll Kategori Pengukuran 1) Laki-laki 2) Perempuan 1) 2) 3) 4) 12-23 bulan 24-35 bulan 36-47 bulan 48-60 bulan - Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh: Umur orang tua (Papalia and Olds 1986) Pendapatan (BPS 2009) Pendidikan orang tua 0) 1) 2) 3) 4) Tidak sekolah SD/ sederajat SMP/ sederajat SMA/ sederajat PT Pekerjaan orang tua 0) 1) 2) 3) 4) 5) 6) Tidak bekerja Petani Pedagang Buruh tani Buruh non tani PNS/ ABRI/ Polisi Jasa (tukang ojeg, tukang cukur, calo, dsb) 1) Remaja (< 20 tahun) 2) Dewasa awal (20-40 tahun) 3) Dewasa tengah (41-65 tahun) 4) Dewasa lanjut (>65 tahun) Berdasarkan garis kemiskinan provinsi Jawa Barat tahun 2009: 1. Miskin (Rp. < 191.985) 2. Tidak miskin (≥191.985) 31 No Variabel Kategori Pengukuran 7) Ibu rumah tangga (IRT) 8) Lainnya Besar keluarga (BKKBN 1998) 1) Keluarga kecil (≤ 4 orang) 2) Keluarga sedang (5-6 orang) 3) Keluarga besar (≥ 7 orang) 3 Pengukuran antropometri: Berat badan Tinggi badan 4 Kondisi Lingkungan (kondisi rumah, sumber air minum, sarana pembuangan sampah dan air limbah) 5 Pola asuh makan Riwayat pemberian ASI Cara memberikan makan …..kg ….cm 1) Kurang ( <60%) 2) Sedang ( 60-80%) 3) Baik (>80%) 1) Rendah (<60%) 2) Sedang (60-80%) 3) Baik (>80%) 6 Pola asuh hidup sehat (mandi, sikat gigi, cuci tangan, keramas, gunting kuku, dan menggunakan alas kaki) 7 Konsumsi pangan balita Recall 2 x 24 jam 8 Tingkat kepatuhan konsumsi makanan tambahan biskuit 1) Kurang patuh (<50%) 2) Cukup patuh (50-75%) 3) Patuh (≥75%) 9 Morbiditas (Kejadian sakit) 0 = Tidak sakit 1 bulan terakhir 1 = Sakit 1 bulan terakhir 10 1) Rendah (<60%) 2) Sedang (60-80%) 3) Baik (>80%) Klasifikasi tingkat kecukupan: 1) Desifit tingkat berat (<70% AKG) 2) Defisit tingkat sedang (7079% AKG) 3) Defisit tingkat ringan (8089% AKG) 4) Normal/ cukup (90-119% AKG) 5) Kelebihan (≥120% AKG) Frekuensi sakit Dianalisis berdasarkan rata-rata standar deviasi Lama sakit Dianalisis berdasarkan rata-rata standar deviasi Status gizi (BB/U) 1) Gizi Buruk (Z-skor < - 3,0) 2) Gizi Kurang (Z-skor ≥ 3,0 s/d Z-skor < - 2,0) 3) Gizi Baik (Z-skor ≥ - 2,0 s/d Z-skor ≤ 2,0) 4) Gizi Lebih (Z-skor > 2,0) 32 No Variabel Status gizi (TB/U) Status gizi (BB/TB) Kategori Pengukuran 1) Sangat pendek (Z-skor < 3,0) 2) Pendek (Z-skor ≥ - 3,0 s/d Z-skor < - 2,0) 3) Normal (Z-skor ≥ - 2,0) 1) Sangat kurus (Z-skor < 3,0) 2) Kurus (Z-skor ≥ - 3,0 s/d Z-skor < - 2,0) 3) Normal (Z-skor ≥ - 2.0 s/d Z-skor ≤ 2,0) 4) Gemuk (Z-skor > 2,0) Definisi Operasional Contoh adalah balita baik berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan berada dalam rentang usia (12-60 bulan) yang memiliki status gizi kurang dan gizi buruk berdasarkan BB/U dengan nilai Z-skor <-3,0 atau Z-skor ≥ 3,0 s/d Z-skor < - 2,0 dan diberikan intervensi PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) selama 88 hari. Ibu Balita adalah ibu yang memiliki anak balita yang menjadi contoh dalam penelitian. Biskuit PMT adalah produk makanan kering (biskuit) yang disubstitusi dengan menggunakan tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) sehingga mengandung protein yang tinggi. Tingkat kepatuhan adalah tingkat kesadaran dan kepatuhan ibu balita dalam memberikan biskuit PMT pada balita gizi kurang atau gizi buruk selama 88 hari berturut-turut setiap harinya. Pola pengasuhan adalah kepedulian orang tua (ibu) dalam memberikan asuhan dalam memperhatikan asupan konsumsi gizi balita dan kondisi kesehatan lingkungan sekitar. Tingkat Pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh orang tua contoh Pendapatan Keluarga Contoh adalah pendapatan keluarga contoh dalam satu bulan, yang dinyatakan dalam Rp/kapita/bulan. Pendapatan Per Kapita adalah jumlah penerimaan ayah dan ibu setiap bulan dalam rupiah dibagi dengan banyaknya anggota keluarga. Konsumsi pangan adalah semua makanan baik makanan harian maupun makanan tambahan (biskuit PMT) yang dikonsumsi contoh. 33 Status gizi balita adalah kondisi tubuh balita (contoh) yang ditentukan berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB dengan menggunakan baku antropometri WHO 2005. Morbiditas adalah suatu kejadian penyakit infeksi (ISPA, demam, diare, cacar, dan campak) (frekuensi dan lama sakit) yang pernah diderita oleh contoh selama penelitian berlangsung. Kejadian sakit adalah lamanya sakit infeksi yang pernah diderita oleh balita (contoh) selama penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Tempat Penelitian Kondisi Geografis Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Jawa Barat dengan jarak tempuh 96 km dari ibukota Propinsi Jawa Barat (Bandung) dan 119 km dari ibukota Negara (Jakarta). Secara geografis wilayah Kabupaten Sukabumi terletak diantara 60 57’ – 70 25’ Lintang Selatan dan 1040 49’ – 1070 00’ Bujur Timur dan mempunyai luas daerah 4.128 km2 dan 14,39% dari luas Jawa Barat atau 3,01 % dari luas Pulau Jawa. Secara administratif Kabupaten Sukabumi berbatasan secara langsung dengan wilayah Kota Sukabumi yang dikelilingi beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Sukabumi dan Kadudampit di sebelah utara, kecamatan Cisaat di sebelah barat, Kecamatan Nyalindung di sebelah selatan, dan Kecamatan Sukaraja di sebelah Timur. Kabupaten Sukabumi sejak tahun 2006 terdiri dari 47 Kecamatan, 345 desa, 3 kelurahan, 2996 rukun warga dan 11.499 rukun tangga. Wilayah Kabupaten Sukabumi berada pada ketinggian berkisar antara 0 – 2960 meter, dengan bentuk topografis wilayah pada umumnya meliputi permukaan yang bergelombang di daerah selatan dan bergunung di daerah bagian utara dan tengah (BPS 2010). Kepadatan Penduduk Berdasarkan hasil Survey Sosial Ekonomi Daerah (SUSEDA) pada akhir tahun 2007, penduduk kabupaten Sukabumi sebanyak 2.258.253 jiwa. Jumlah penduduk tersebut terus meningkat hingga pada tahun 2008. Kepadatan penduduk tersebut meningkat menjadi 2,405.777 jiwa yang terdiri dari 1.205.368 laki-laki dan 1.200.409 perempuan dengan kepadatan penduduk 582,39 orang per km persegi. Sarana Kesehatan Masyarakat Fasilitas kesehatan di Sukabumi meliputi 3 unit rumah sakit, 57 unit Puskesmas Inpres, 3044 Posyandu, 73 unit Puskesmas Keliling, dan 94 unit Puskesmas pembantu. Jumlah puskesmas di Kabupaten Sukabumi sampai dengan akhir tahun 2009 adalah sebanyak 58 unit, dengan rincian jumlah puskesmas perawatan 5 unit dan puskesmas non perawatan sebanyak 53 unit. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui keterjangkauan penduduk terhadap puskesmas adalah rasio puskesmas per 100.000 penduduk. Rasio puskesmas terhadap 35 100.000 penduduk tahun 2009 adalah 1 : 2,36 artinya setiap 100.000 penduduk dilayani 2 - 3 puskesmas. Selain itu rasio puskesmas terhadap kecamatan pada tahun 2009 adalah 1,23 yang artinya setiap 1 kecamatan mempunyai rata-rata 1 puskesmas. Terdapat 11 Kecamatan yang memiliki 2 puskesmas dalam 1 kecamatan antara lain : Kecamatan Ciemas, Surade, Tegalbuleud, Palabuhanratu, Nyalindung, Sukaraja, Cisaat, Gunungguruh, Cibadak, Nagrak dan Cicurug (Dinkes 2010). Program Pemberian Makanan Tambahan di Kabupaten Sukabumi Program pemberian makanan tambahan di Kabupaten Sukabumi ini merupakan program kerjasama antara Institut Pertanian Bogor dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi dan home industry PT Saad’s Bakery & Cake Tanggerang. Program ini berlangsung selama tiga bulan (88 hari), dimulai dari bulan Maret hingga Juli 2011. Terdapat 10 kecamatan yang menjadi cakupan program PMT, yaitu kecamatan Sukalarang, Cibadak, Citarik, Nyalindung, Kadudampit, Pelabuhan Ratu, Warungkiara, Bantargadung, Simpenan, dan Cikidang. Total balita yang memperoleh makanan tambahan biskuit tinggi protein berjumlah 180 balita yang tersebar di sepuluh kecamatan di kabupaten Sukabumi. Biskuit tinggi protein ini diberikan kepada anak dengan status gizi kurang yang berasal dari keluarga kuang mampu. Harga jual biskuit tinggi protein tersebut berkisar Rp. 2.800/ bungkus. Jenis makanan tambahan yang diberikan dalam program intervensi ini berupa biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo. Biskuit tersebut telah melalui uji organoleptik terlebih dahulu agar dapat diterima oleh anak balita. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mervina (2009), hasil uji penerimaan terhadap balita sasaran sebanyak 86,7 % balita menyatakan suka terhadap biskuit ini dan sekitar 6,7 % balita merasa tidak suka. Berdasarkan hasil uji penerimaan ini maka dapat disimpulkan bahwa formula biskuit ini dapat diterima sebagai makanan tambahan untuk anak kecil. Karakteristik Balita Jenis Kelamin dan Umur Balita Usia balita adalah periode penting dalam proses tumbuh kembang anak yang merupakan pertumbuhan dasar anak. Pada usia balita, perkembangan kemampuan berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosi, dan inteligensi anak berjalan sangat cepat. Balita termasuk ke dalam kelompok usia yang berisiko tinggi terhadap penyakit (Marendra & Febry 2008). Berdasarkan jenis 36 kelamin, balita yang menjadi contoh dalam penelitian ini terdiri laki-laki (25%) dan perempuan (75%). Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase balita terbesar berada pada rentang usia 12 – 23 bulan (55,6%). Sisanya masing-masing sebesar 16,7% berada pada rentang usia 24-35 bulan dan 36-47 bulan. Persentase terkecil terdapat pada rentang usia 48-60 bulan, yaitu sebesar 11,1 %. Rata-rata usia contoh 27,14 bulan dengan standar deviasi 13,85 bulan. Usia contoh minimum 12 bulan sedangkan usia maksimum 58 bulan. Tabel 6 Sebaran balita berdasarkan jenis kelamin dan umur Karakteristik Anak Balita Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Umur (bulan) 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 60 Total n % 9 27 36 25 75 100 20 6 6 4 36 55.6 16.7 16.7 11.1 100 Karakteristik Orang Tua Contoh Umur Orang Tua Sebanyak 36 keluarga contoh ikut berpartisipasi dalam penelitian ini. Umur merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktifitas seseorang (Khomsan 2007). Umur ayah dan ibu contoh dalam penelitian ini sebagian besar tergolong dalam golongan dewasa awal berkisar antara 20 – 40 tahun. Rata-rata umur ayah contoh adalah 36 tahun dengan standar deviasi 7,7 tahun, sedangkan rata-rata umur ibu contoh adalah 30,3 tahun dengan standar deviasi 6,9 tahun. Persentase terbesar umur ayah balita berada pada rentang usia 20 – 40 tahun yaitu sebesar 63,9 %, begitu pula persentase terbesar pada ibu balita yaitu sebesar 88,9 % pada usia 20 – 40 tahun (dewasa awal) (Tabel 7). Tabel 7 Sebaran orang tua contoh berdasarkan umur, pendidikan, dan pekerjaan Karakteristik Keluarga Contoh Umur (tahun) Remaja Dewasa awal (20-40 tahun) Dewasa akhir (41-65 tahun) Dewasa lanjut (>65 tahun) Total n Ayah % 0 23 13 0 0 63.9 36.1 0 n 1 32 3 0 Ibu % 2.8 88.9 8.3 0 37 Tabel 7 (Lanjutan) Karakteristik Keluarga Contoh Tingkat pendidikan Tidak sekolah SD/ sederajat SMP/ sederajat SMA/ sederajat Perguruan Tinggi Total Jenis Pekerjaan Tidak bekerja Petani Pedagang Buruh tani Buruh non tani PNS/ABRI/Polisi Jasa (tukang ojek, tukang cukur, calo,dsb) Ibu rumah tangga Lainnya Total n Ayah % n Ibu % 1 17 12 6 0 36 2.8 47.2 33.3 16.7 0 100 0 19 16 1 0 36 0 52.8 44.4 2.8 0 100 0 1 3 4 15 0 6 0 7 36 0 2.8 8.3 11.1 41.7 0 16.7 0 19.4 100 0 0 1 1 2 0 1 31 0 36 0 0 2.8 2.8 5.6 0 2.8 86.1 0 100 Pendidikan Orang Tua Pendidikan merupakan salah satu faktor paling penting yang berhubungan langsung terhadap pola asuh gizi dalam keluarga, khususnya pendidikan ibu. Gunarsa dan Gunarsa (1995) menyatakan bahwa tingkat pendidikan orang tua baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi komunikasi antara orang tua dan anak di dalam lingkungan keluarga. Berdasarkan jenjang pendidikan formal, sebagian besar orang tua contoh baik ayah maupun ibu hanya menyelesaikan pendidikan formal sampai tingkat SD/sederajat. Persentase tingkat pendidikan ayah yang menyelesaikan pendidikan hanya sampai tingkat SD/sederajat sebanyak 47,2 %, sedangkan ibu contoh yang hanya menyelesaikan pendidikan formal sampai tingkat SD/ sederajat sebanyak 52,8%. Sisanya ada yang menyelesaikan sampai tingkat SMP/ sederajat, ayah (33,3%) dan ibu (44,4%) (Tabel 7). Berdasarkan Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa orang tua contoh baik ibu maupun ayah memiliki tingkat pendidikan yang rendah, terlihat dari sebagian besar berada pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempermudah seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam kesehatan dan gizi (Atmarita & Fallah 2004). Semakin tinggi tingkat pendidikan yang telah dicapai orang tua diduga akan semakin baik pemahaman kesehatan dan gizi yang 38 diterapkan di dalam keluarga. Pendidikan yang baik akan mempengaruhi sikap gizi seseorang (Rodiah 2010). Oleh karena itu, diduga orang tua yang tingkat pendidikannya rendah cenderung akan sulit dalam memahami sikap gizi dan kesehatan yang baik sehingga butuh penjelasan lebih dalam agar dapat dipahami oleh orang tua. Pekerjaan Orang Tua Sebanyak 41,7 % ayah contoh bekerja sebagai buruh non tani. Sisanya bekerja sebagai petani (2,8%), butuh tani (11,1%), pedagang (8,3%), jasa (16,7%), dan lainnya (19,4%) sebagai karyawan kantor. Ibu balita dalam penelitian ini sebagian besar hanya seorang ibu rumah tangga. Dapat dilihat dari Tabel 6 di atas bahwa persentase terbesar 86,1 % pekerjaan ibu balita sebagai ibu rumah tangga. Sisanya ada yang bekerja sebagai buruh tani (2,8%), buruh non tani (buruh pabrik) (5,6%), pedagang (2,8%), dan jasa (2,8%). Status pekerjaan ibu mempengaruhi kuantitas dan kualitas waktu ibu dengan anak (Meirita et al. 2000). Besar Keluarga Besar keluarga ditentukan dengan cara mendata jumlah anggota keluarga. Ukuran besarnya keluarga berkaitan erat dengan kejadian masalah gizi dan kesehatan. Menurut Tussodiyah (2010), jumlah anggota keluarga memiliki andil dalam permasalahan gizi. Semakin banyak jumlah anggota keluarga dalam suatu rumah tangga maka akan semakin rendah alokasi pendapatan dari setiap anggota keluarga untuk menyediakan makanan dan pelayanan kesehatan jika dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih sedikit. Oleh karena itu, rumah tangga yang memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih banyak cenderung memiliki risiko masalah gizi kurang. Jumlah anggota keluarga contoh berkisar antara 4-9 orang dengan ratarata 5,56 orang dan standar deviasi 1,46 orang. Pada Tabel 8 di bawah menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh tergolong dalam keluarga sedang yang terdiri dari 5-6 orang dengan jumlah persentase sebesar 44,4%. Persentase terkecil terdapat pada golongan keluarga besar yang anggota keluarganya terdiri dari 7 orang atau lebih. keluarga besar sekitar 25%. Jumlah persentase golongan 39 Tabel 8 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar keluarga Karakteristik Keluarga Contoh Besar keluarga Kecil (≤ 4 orang) Sedang (5 – 6 orang) Besar (≥ 7 orang) Total n % 11 16 9 36 30.6 44.4 25.0 100 Pendapatan Keluarga Pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan. Pendapatan keluarga merupakan penjumlahan dari masingmasing pendapatan anggota keluarga yang bekerja. Menurut Sajogyo (1994) dalam Rodiah (2010), rendahnya pendapatan merupakan kendala yang menyebabkan seseorang tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam. Pendapatan rata-rata keluarga contoh adalah Rp. 163.397 perkapita/bulan dengan pendapatan minimal Rp. 40.000 perkapita/bulan dan pendapatan maksimal sebesar Rp. 437.500 perkapita/bulan. Pendapatan keluarga contoh dikategorikan menjadi tiga, yaitu kurang dari Rp. 66.680 perkapita/bulan, Rp. 66.680–260.115 perkapita/bulan, dan lebih dari Rp. 260.115 perkapita/bulan. Sebagian besar (80,6%) pendapatan keluarga contoh berada pada kisaran Rp. 66.680–260.115 perkapita/bulan. Sebanyak 2,8% keluarga contoh yang memiliki pendapatan kurang dari Rp. 66.680 perkapita/bulan dan sisanya (16,7%) memiliki pendapatan lebih dari Rp. 260.115 perkapita/bulan (Tabel 9). Tabel 9 Sebaran pendapatan keluarga contoh (Rp/kapita) Pendapatan keluarga contohh <Rp.66.680 Rp.66.680-Rp.260.115 >Rp.260.115 Total Standar deviasi n 1 29 6 36 % 2.8 80.6 16.7 100 12 ± 14.9 Pendapatan seseorang atau keluarga akan menentukan daya beli terhadap pangan (Harper et al. 1986). Menurut Arinta (2010), tingkat pendapatan yang tinggi dapat memberikan peluang yang lebih besar bagi anggota keluarga dalam memilih pangan yang lebih baik berdasarkan jumlah dan jenisnya. Jika pangan yang tersedia cukup baik dalam segi kuantitas maupun kualitasnya maka orang cenderung mengonsumsi makanan dengan menu yang bergizi dan seimbang sesuai dengan PUGS. 40 BPS Propinsi Jawa Barat (2009) menetapkan garis kemiskinan sebesar Rp.191.985 perkapita/bulan. Berdasarkan garis kemiskinan yang telah ditetapkan oleh BPS Propinsi Jawa Barat tersebut maka diketahui bahwa sebanyak 64% keluarga contoh dalam penelitian ini termasuk dalam kategori miskin, yaitu pendapatan dibawah Rp. 191.985 perkapita/bulan (Tabel 10). Tabel 10 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori garis kemiskinan BPS Propinsi Jawa Barat 2009 Pendapatan Miskin Tidak Miskin Total n 23 13 36 % 64 36 100 Kondisi Lingkungan Lingkungan merupakan salah satu variabel yang kerap mendapat perhatian khusus dalam menilai kondisi kesehatan masyarakat. Lingkungan bersama dengan faktor perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik menentukan baik buruknya status derajat kesehatan masyarakat (Dinkes 2010). Pentingnya lingkungan yang sehat akan menentukan sikap dan perilaku manusia. Kondisi lingkungan yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari kondisi fisik rumah, sumber air, sarana pembuangan limbah dan sampah. Kondisi fisik rumah yang diteliti meliputi dinding, lantai, atap, jendela, jamban, dan kamar mandi. Sebagian besar responden (52,8%) memiliki rumah dengan dinding tembok. Akan tetapi masih terdapat sebanyak 27,8% responden memiliki rumah dengan dinding bilik/kayu. Sisanya sebanyak 19,4% memiliki rumah dengan dinding setengah tembok (Tabel 11). Selain dinding, lantai rumah responden juga diamati. Lantai rumah harus mudah dibersihkan misalnya lantai yang terbuat dari keramik, teraso, tegel atau semen, dan kayu atau bambu (Latifah et al. 2002 dalam Tussodiyah 2010). Lebih dari separuh responden (72,2%) memiliki lantai dari semen/pelur/kayu. Sisanya masing-masing 13.9% memiliki lantai rumah dari ubin/keramik dan tanah. Lantai tanah tidak memenuhi syarat kesehatan karena dapat menjadi sumber penyakit seperti cacing dan bakteri penyebab sakit perut (Tussodiyah 2010). Selain itu, sebagian besar (75%) responden menggunakan beton/ genteng sebagai atap rumah. Sebanyak 69,4% responden memiliki WC sendiri di dalam rumah, sisanya sebanyak 16,7% responden tidak memiliki WC sendiri di dalam rumah sehingga menumpang di WC tetangga. Menurut Tussodiyah (2010), jendela merupakan ventilasi udara yang berfungsi sebagai tempat pertukaran udara agar di dalam rumah tetap bersih dan segar. Sebagian responden (50%) memiliki rumah yang dilengkapi 41 jendela yang dapat terbuka, sisanya sebanyak 25% responden memiliki jendela tetapi tidak terbuka (tertutup) (Tabel 11). Responden yang memiliki jendela terbuka dapat menghirup udara yang segar di dalam rumahnya karena udara dapat leluasa keluar masuk ruangan, sedangkan responden yang memiliki jendela tetapi tertutup kurang dapat menghirup udara segar sepertii responden yang memiliki jendela terbuka. Meskipun terdapat jendela tetapi jendela tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik. Jendela tersebut tidak dapat dibuka sehingga udara tidak dapat leluasa keluar masuk ke dalam rumah. Jendela hanya berfungsi untuk menerangi ruangan ketika siang hari tetapi tidak berfungsi sebagai tempat pertukaran udara di dalam rumah. Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan kondisi fisik rumah Dinding Lantai Atap Kepemilikan WC Ventilasi udara dan jendela Kondisi fisik rumah a.tembok b.½ tembok c.bilik/papan/ kayu a.ubin/keramik b.semen/pelur/kayu c.tanah a.beton/genteng n 19 7 10 5 26 5 27 % 52,8 19,4 27,8 13,5 72,8 13,7 75 b.asbes/seng/kayu c.ijuk/daun/jerami/lainnya a. ya, ada b.tidak ada, menumpang WC tetangga c.tidak ada, WC umum a.ada, terbuka b. ada, tertutup c. tidak ada 9 0 25 6 5 18 9 9 25 0 69,4 16,7 13,9 50 25 25 Air sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup di dunia. Kebutuhan air bersifat mutlak. Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari air. Sumber air yang diteliti dalam penelitian ini adalah sumber air untuk minum dan sumber air untuk mandi. Sebagian besar responden (88,9%) mendapatkan air minum dari sumur tak terlindung/ mata air tak terlindung (Tabel 12). Hanya sekitar 8,3% responden yang mendapat sumber air minum dari PAM/ air ledeng/ sumur terlindung/mata air terlindung. Kemudian sumur tak terlindung/mata air tak terlindung juga merupakan sumber air untuk mandi dengan persentase sebesar (94,4%). Sisanya sebanyak 5,6% responden memperoleh sumber air untuk mandi berasal dari air PAM/ ledeng/ sumur terlindungi/ mata air terlindungi. Air sumur harus dilindungi terhadap bahaya pengotoran dan pencemaran agar memenuhi syarat kesehatan sebagai air rumah tangga. Sumber air minum sering menjadi sumber pencemar pada penyakit water borne (Tussodiyah 2010). Oleh karena itu sumber air minum harus memenuhi syarat kesehatan. 42 Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan sumber air Sumber air minum Sumber air mandi Sumber air a.PAM/ledeng/sumur terlindung/ mata air terlindung b.sumur tak terlindung/mata air tak terlindung c. air sungai/ air hujan/lainnya a.PAM/ledeng/sumur terlindung/ mata air terlindung b. sumur tak terlindung/mata air tak terlindung c. air sungai/air hujan/lainnya n 3 32 1 2 34 0 % 8,3 88,9 2,8 5,6 94,4 0 Kondisi lingkungan yang diteliti dalam penelitian ini selanjutnya adalah sarana pembuangan sampah dan air limbah. Pembuangan sampah dan air limbah yang tidak pada tempatnya akan menimbulkan berbagai penyakit dan gangguan kesehatan. Berdasarkan Tabel 13, hanya sekitar 38,9% responden yang membuang sampah pada tempat sampah tertutup/ kantong plastik/ TPS. Sampah merupakan segala sesuatu yang sudah tidak terpakai lagi sehingga harus dibuang. Terdapat hubungan antara sampah dengan penyakit-penyakit yang ditulari oleh tikus, lalat, dan nyamuk. Diperlukan adanya pengaturan pembuangan sampah agar tidak membahayakan kesehatan manusia. Sebanyak 50% responden membuang air limbah rumah tangga mereka ke selokan/ got tertutup. Sisanya sebanyak 36,1% responden membuang air limbah ke saluran air/pembuangn/ got terbuka. Hanya sekitar 13,9% responden membuang air limbah rumah tangganya ke pekarangan/ sungai/ lainnya Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan sarana pembuangan Tempat buang sampah Tempat pembuangan air limbah Sarana pembuangan a.Tempat sampah tertutup/kantong plastik/TPS b.Tempat sampah terbuka c.Pekarangan/ sungai/jalanan/lainnya a. selokan/got tertutup b. saluran air/pembuangan/got terbuka c. pekarangan/ sungai/ lainnya n 14 % 38,9 14 8 18 13 5 38,9 22,2 50 36,1 13,9 Pada penelitian ini kondisi lingkungan dikategorikan menjadi tiga kategori. Kategori rendah yaitu bila persentase kondisi lingkungan <60%, kategori sedang bila persentase berada pada rentang 60-80%, dan kategori baik bila persentase kondisi lingkungan >80%. Sebaran contoh berdasarkan kategori kondisi lingkungan disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan kategori kondisi lingkungan Kondisi Lingkungan Rendah Sedang Baik Total n 4 19 13 36 % 11,1 52,8 36,1 100 43 Berdasarkan tabel 14 dapat diketahui bahwa sebanyak 36,1 % responden memiliki kondisi lingkungan dengan kategori baik. Sebanyak 52,8 % berada pada kategori sedang, dan hanya sekitar 11,1 % responden memiliki kondisi lingkungan yang rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan kondisi lingkungan responden masih belum cukup baik, karena hanya sekitar 36,1% (<50%) tergolong kondisi yang baik, sisanya kondisi lingkungan masih tergolong sedang dan rendah. Meskipun persentase responden yang termasuk dalam kategori kondisi lingkungan sedang lebih besar dibandingkan kategori lainnya, tetapi hal tersebut tidak dapat dikatakan bahwa kondisi lingkungan contoh sudah cukup baik, karena berdasarkan pengamatan secara langsung terlihat bahwa kondisi lingkungan yang masih kurang baik dicirikan dengan masih terdapat keluarga contoh yang tidak memiliki jamban (wc) pribadi di rumahnya, lantai rumah yang masih berbahan dasar tanah, jendela yang tidak terbuka sehingga tidak terjadi pertukaran udara di dalam rumah dan menyebabkan ruangan menjadi lembab, serta sumber air minum yang berasal dari sumur/ mata air yang tidak terlindungi. Konsumsi Pangan Balita Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan (Harper et al.1986). Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok hidup manusia. Penilaian konsumsi pangan dapat dipakai untuk menentukan jumlah dan sumber zat gizi yang dimakan. Hal ini dapat membantu mengetahui apakah persediaan zat gizi dalam tubuh cukup atau kurang. Rendahnya mutu bahan pangan yang dikonsumsi dan jumlah makanan yang tidak cukup dapat menyebabkan berbagai masalah diantaranya adalah: pertumbuhan badan terganggu, gangguan pada perkembangan mental dan kecerdasan, timbulnya berbagai macam penyakit, angka kematian bayi dan anak yang tinggi serta menurunnya produktivitas kerja. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan secara kompleks, seperti tersedianya bahan pangan, status ekonomi dan sosial budaya serta gangguan kesehatan. Pada penelitian ini, untuk mengetahui konsumsi pangan balita dilakukan survei konsumsi pangan dengan metode recall 2 x 24 jam. Recall dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada awal intervensi dan akhir intervensi dilakukan. Recall konsumsi pangan balita dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak jumlah asupan makanan yang dikonsumsi balita 44 dan apakah asupan makanannya tersebut sudah mencukupi tingkat kecukupannya ataukah belum mencukupi. Berdasarkan hasil recall konsumsi pangan contoh, diketahui bahwa konsumsi energi contoh pada awal intervensi berkisar antara 684 - 1546 Kal, sedangkan konsumsi protein berkisar antara 1246 gram. Pada akhir intervensi konsumsi energi dan protein contoh mengalami peningkatan, konsumsi contoh pada akhir intervensi berkisar antara 916 - 1422 Kal, sedangkan konsumsi protein berkisar antara 24 - 45 gram. Rata-rata konsumsi energi dan protein contoh secara rinci disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata konsumsi energi dan protein Awal Intervensi Energi (Kal) Protein (gram) Akhir Intervensi 972 ± 147 Konsumsi Rumah 981 ± 176 Konsumsi Biskuit PMT 199 ± 38 Konsumsi Total (Rumah+Biskuit PMT) 1184 ± 131 24 ± 7 26 ± 7 8±2 34 ± 6 Berdasarkan Tabel 15, dapat diketahui bawha pada awal intervensi ratarata konsumsi energi contoh sebesar 972 ± 147 Kal dan konsumsi protein sebesar 24 ± 7 gram. Pada akhir intervensi, konsumsi pangan harian contoh yang hanya berasal dari rumah mengalami peningkatan tetapi peningkatan tersebut tidak terlalu signifikan, berbeda halnya jika dibandingkan dengan ratarata konsumsi contoh ditambah dengan konsumsi biskuit PMT. Rata-rata konsumsi energi dan protein contoh yang hanya berasal dari rumah berturut-turut pada akhir intervensi adalah sebesar 981 ± 176 Kal (energi) dan 26 ± 7 gram (protein), sedangkan rata-rata konsumsi contoh yang berasal dari makanan rumah ditambah konsumsi biskuit yaitu sebesar 1184 ± 131 Kal (energi) dan 34 ± 6 gram (protein). Dengan melihat data tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya konsumsi biskuit PMT menambah asupan energi dan protein pada contoh. Meskipun rata-rata konsumsi contoh yang hanya berasal dari rumah pada akhir intervensi lebih besar dibandingkan rata-rata konsumsi contoh yang hanya berasal dari rumah pada awal intervensi, tetapi perbedaannya tidak terlalu jauh. Peningkatan konsumsi pangan yang hanya berasal dari rumah pada akhir intervensi diduga karena uang jajan yang biasa diberikan kepada contoh digunakan oleh ibu contoh untuk membeli pangan yang lebih bermanfaat seperti membeli sayuran dan pangan sumber protein sehingga konsumsi pangan keluarga menjadi lebih baik. 45 Hasil uji Paired Samples T test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara rata-rata konsumsi energi contoh yang berasal dari rumah pada awal dan akhir intervensi (Tabel 16). Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0,148 (p>0,05). Hal serupa juga terjadi pada rata-rata konsumsi protein, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata konsumsi protein contoh yang berasal dari rumah pada awal dan akhir intervensi dengan nilai signifikansi sebesar 0,703 (p>0,05). Terlihat bahwa terjadi peningkatan ratarata konsumsi energi dan protein contoh, tetapi peningkatan tersebut tidak terlalu signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok sosial ekonomi rendah cenderung tidak ada perubahan konsumsi dari waktu ke waktu. Tabel 16 Rata-rata konsumsi energi dan protein contoh awal dan akhir intervensi (konsumsi rumah) Energi (Kal) Protein (gram) Awal intervensi 972 ± 147 24 ± 7 Akhir intervensi 981 ± 176 26 ± 7 p 0,148 0,703 Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Paired Samples T Test, menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata antara rata-rata konsumsi energi contoh (konsumsi rumah + biskuit PMT) pada awal dan akhir intervensi, hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) (Tabel 17). Hal serupa juga terjadi pada rata-rata konsumsi protein, terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata konsumsi protein contoh pada awal dan akhir intervensi dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Terlihat bahwa terjadi peningkatan rata-rata konsumsi energi dan protein contoh pada akhir intervensi dengan adanya konsumsi biskuit PMT yaitu menjadi 1184 Kal (energi) dan 34 gram (protein). Tabel 17 Rata-rata konsumsi energi dan protein contoh awal dan akhir intervensi (konsumsi rumah+biskuit PMT) Energi (Kal) Protein (gram) Awal intervensi 972 ± 147 24 ± 7 Akhir intervensi 1184 ± 131 34 ± 6 p 0,000 0,000 Tingkat kecukupan energi contoh dibagi menjadi lima kategori yaitu, defisit tingkat berat, defisit tingkat sedang,defisit tingkat ringan, normal/ cukup, dan diatas tingkat kecukupan (Depkes 1996). Berdasarkan hasil recall makan contoh selama 2x24 jam yang dilakukan pada awal intervensi, dapat diketahui bahwa lebih dari lima puluh persen contoh (55,6%) tingkat kecukupan energinya tergolong dalam kategori normal/ cukup. Sisanya terlihat bahwa sepertiga contoh balita masih tergolong dalam kategori defisit. Masing-masing sebanyak 11,1% tingkat kecukupan energinya tergolong defisit tingkat berat dan sedang. Contoh 46 yang tergolong tingkat kecukupan energinya defisit tingkat ringan sebanyak 13,9%, sedangkan yang berada diatas tingkat kecukupan hanya sebanyak 3 orang (8,3%). Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi pada awal dan akhir intervensi disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi pada awal dan akhir intervensi Tingkat Kecukupan Energi Defisit Tingkat Berat (<70%) Defisit Tingkat Sedang (70-79%) Defisit Tingkat Ringan (80-89%) Normal/cukup (90-119%) Diatas Tingkat Kecukupan (≥120%) Total Awal Intervensi n % 4 11,1 4 11,1 5 13,9 55,6 20 3 8,3 36 100 Akhir Intervensi n % 0 0 2 5,6 4 11,1 44,4 16 14 38,9 36 100 Recall konsumsi pangan contoh dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada awal dan akhir intervensi. Pada akhir intervensi tingkat kecukupan energi contoh mengalami peningkatan. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan adanya pemberian biskuit tinggi protein yang mengandung energi dan protein cukup tinggi sehingga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap tingkat kecukupan energi dan protein contoh. Berdasarkan Tabel 18, diketahui bahwa tingkat kecukupan energi contoh dengan adanya tambahan konsumsi biskuit PMT yang tergolong normal/ cukup sebanyak 44,4% dan sebanyak 38,9% contoh tingkat kecukupan energinya berlebih (berada diatas tingkat kecukupan). Jika dibandingkan dengan tingkat kecukupan energi pada awal intervensi maka akan terlihat adanya peningkatan yang terjadi. Pada awal intervensi masih terdapat contoh yang mengalami defisit tingkat berat, tetapi pada akhir intervensi sudah tidak terdapat contoh yang mengalami defisit tingkat berat. Namun, masih terdapat contoh yang mengalami defisit tingkat sedang (5,6%) dan ringan (11,1%). Adanya intervensi biskuit PMT meniadakan contoh yang mengalami defisit tingkat berat. Selain itu juga menurunkan persentase contoh yang mengalami defisit tingkat sedang, ringan, dan normal masing-masing sebesar 50%, 20%, dan 20%. Jika biskuit PMT tidak diperhitungkan dalam penentuan konsumsi contoh, maka terjadi peningkatan persentase contoh yang mengalami defisit tingkat berat sebesar 25%, meningkatkan persentase contoh yang mengalami defisit tingkat sedang sebesar 50%, menurunkan persentase contoh yang mengalami defisit tingkat ringan sebesar 60%. Selain itu juga, tanpa adanya konsumsi biskuit PMT, dapat terjadi peningkatan persentase contoh yang 47 berada dalam kategori diatas tingkat kecukupan yaitu sebesar 133,3%. Peningkatan tersebut diduga karena konsumsi pangan harian contoh yang hanya berasal dari rumah juga meningkat, meskipun peningkatannya tidak terlalu jauh. Konsumsi pangan memang meningkat, tetapi bertambahnya konsumsi pangan dari segi kuantitas belum tentu seimbang dengan kualitas konsumsi pangannya. Protein memiliki fungsi penting bagi tubuh yaitu untuk pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, mengangkut zat-zat gizi dan sebagai sumber energi (Almatsier 2006). Kekurangan protein pada usia balita akan menyebabkan masalah gizi, yaitu kwashiorkor. Oleh karena itu tingkat kecukupan protein harus tercukupi. Berdasarkan Tabel 19, diketahui bahwa sebanyak 27,8% contoh tingkat kecukupan proteinnya tergolong normal/ cukup. Terlihat pula bahwa lebih dari 50% contoh balita masih tergolong dalam kategori defisit, terdapat sembilan orang contoh (25%) tergolong dalam kategori defisit tingkat berat, 16,7% contoh berada dalam kategori defisit tingkat sedang, dan sisanya sebanyak 13,9 % contoh mengalami defisit tingkat ringan. Contoh yang memiliki tingkat kecukupan proteinnya diatas tingkat kecukupan hanya sebanyak enam orang, yaitu sekitar 16,7%. Secara keseluruhan tingkat kecukupan protein contoh pada awal intervensi banyak yang masih mengalami defisit, baik defisit tingkat berat, sedang, dan ringan. Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan protein pada awal dan akhir intervensi disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan protein pada awal dan akhir intervensi Tingkat Kecukupan Protein Defisit Tingkat Berat (<70%) Defisit Tingkat Sedang (70-79%) Defisit Tingkat Ringan (80-89%) Normal/cukup (90-119%) Diatas Tingkat Kecukupan (>120%) Total Awal Intervensi n % 9 25 6 16,7 5 13,9 27,8 10 6 16,6 36 100 Akhir Intervensi n % 0 0 2 5,6 2 5,6 11 30,6 58,2 21 36 100 Tingkat kecukupan protein contoh pada akhir intervensi juga mengalami peningkatan dari awal intervensi. Dalam setiap keping biskuit tinggi protein mengandung 2,45 gram protein. Pada akhir intervensi, contoh maksimal diberi empat keping biskuit tinggi protein setiap harinya sehingga jika contoh mengkonsumsi satu bungkus biskuit tinggi protein yang yang terdiri dari empat keping biskuit maka sebanyak 9,8 gram protein yang dikonsumsi contoh berasal dari biskuit tersebut. 48 Lebih dari separuh contoh (58,3%) berada dalam kategori diatas tingkat kecukupan. Contoh yang tingkat kecukupan proteinnya berada dalam kategori normal sebanyak 30,6%. Sisanya masing-masing 5,6% berada pada kategori defisit tingkat sedang dan defisit tingkat ringan. Adanya pemberian makanan tambahan berupa biskuit tinggi protein memberikan kontribusi yang cukup banyak terhadap tingkat kecukupan protein contoh. Apabila dibandingkan dengan tingkat kecukupan protein contoh pada awal intervensi, masih banyak contoh yang mengalami defisit tingkat berat. Adanya intervensi biskuit PMT meniadakan contoh yang mengalami defisit tingkat berat. Selain itu juga menurunkan persentase contoh yang mengalami defisit tingkat sedang dan ringan masing-masing sebesar 66,6% dan 60%. Selain itu juga dengan adanya intervensi biskuit PMT dapat meningkatkan persentase contoh yang tergolong dalam kategori normal sebesar 10%. Terlihat bahwa setelah dilaksanakannya intervensi berupa biskuit tinggi protein, tingkat kecukupan protein contoh mengalami peningkatan dan hal ini berdampak positif sebagai upaya meningkatkan status gizi balita. Tabel 20 menunjukkan rata-rata Tingkat Kecukupan Energi (TKE) contoh pada awal intervensi adalah 94% dengan standar deviasi 20%. Tingkat Kecukupan Energi tersebut pada akhir intervensi meningkat, sehingga rataratanya menjadi 118% dengan standar deviasi 29%. Hal ini juga terjadi pada rata-rata Tingkat Kecukupan Protein (TKP) contoh, pada awal intervensi rata-rata TKP adalah 91% dengan standar deviasi 31%. Pada akhir intervensi, rata-rata Tingkat Kecukupan Protein (TKP) contoh meningkat menjadi 135 ± 43%. Tabel 20 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein contoh pada awal dan akhir intervensi (dengan konsumsi biskuit PMT) Tingkat Kecukupan Energi Tingkat Kecukupan Protein Awal intervensi 94 ± 20% 91 ± 31% Akhir intervensi 118 ± 29% 135 ± 43% p 0,000 0,000 Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Paired Samples T Test, menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata antara Tingkat Kecukupan Energi (TKE) pada awal dan akhir intervensi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Hal serupa juga terjadi pada Tingkat Kecukupan Protein (TKP), terdapat perbedaan yang nyata antara awal dan akhir intervensi dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Terlihat bahwa terjadi peningkatan rata-rata tingkat kecukupan energi (TKE) dan tingkat kecukupan 49 protein (TKP) pada akhir intervensi masing-masing menjadi 118 ± 29% dan 135 ± 43% (Tabel 20). Pola Asuh Pola asuh adalah praktek di rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan anak (WKNPG 2000). Pola merupakan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, dan memberi kasih sayang. Pada penelitian ini, pola asuh yang akan dibahas yaitu pula asuh makan dan pola asuh hidup sehat. Pola Asuh Makan ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa memberikan makanan tambahan apapun pada bayi yang berusia 0-6 bulan. Lebih dari lima puluh persen (55,6%) balita yang diberikan ASI eksklusif (Tabel 21). Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat hampir separuhnya balita yang tidak diberikan ASI eksklusif. Masalah gangguan pertumbuhan mulai muncul pada usia antara 1-6 bulan. Masalah pertumbuhan pada usia ini diduga kuat berkaitan dengan praktek pemberian ASI. Oleh karena itu, perlu adanya penyuluhan yang intensif dalam rangka promosi praktek pemberian ASI yang sehat (WKNPG 2000). Tabel 21 Riwayat pemberian ASI Riwayat pemberian ASI Anak diberi ASI eksklusif (ASI saja hingga 6 bulan) Anak mendapatkan kolostrum ASI diberikan sampai usia 2 tahun Anak mulai diberikan MPASI setelah usia 6 bulan Anak diberi madu/teh/pisang setelah usia 6 bulan Ya n 20 28 22 20 22 % 55,6 77,8 61,1 55,6 61,1 Tidak n % 16 44,4 8 22,2 14 38,9 16 44,4 14 39,9 Data pada Tabel 21 menunjukkan bahwa sekitar 77,8% balita mendapatkan kolostrum. Sisanya sebesar 22,2 % balita yang tidak diberikan kolostrum. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, responden tidak memberikan kolostrum dikarenakan tidak mengetahui manfaat kolostrum tersebut dan adanya mitos bahwa kolostrum tidak baik diberikan kepada bayi, sehingga kolostrum tersebut dibuang. Kolostrum merupakan cairan ASI yang berwarna keruh kekuningan dan kental yang pertama dikeluarkan ibu beberapa hari setelah melahirkan. Kolostrum tersebut mengandung banyak zat-zat gizi yang sangat baik untuk bayi. Kandungan zat gizi yang terdapat dalam kolostrum 50 tidak terdapat pada susu lain, misalnya pada susu formula. Oleh karena itu, kolostrum sebaiknya diberikan langsung kepada bayi setelah dilahirkan. Berdasarkan Tabel 21, diketahui bahwa lebih dari separuh contoh (61,1%) balita yang diberi ASI hingga usia 2 tahun. Sebesar 38,9 % balita tidak diberi ASI hingga 2 tahun dikarenakan alasan ibu yang bekerja sehingga anak hanya diberikan susu formula saja. Menurut Suhardjo (1989), ASI merupakan makanan yang paling cocok untuk bayi serta memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat oleh manusia ataupun susu lainnya. Oleh karena itu sebaiknya balita diberikan ASI hingga usia 2 tahun ditambah dengan makanan tambahan untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Pemberian MP ASI setelah bayi berusia 6 bulan harus diperhatikan konsistensi dan jenis makanannya. Sebanyak 55,6% balita setelah usia 6 bulan diberi MP ASI. Selain itu juga terdapat 61,1 % balita setelah usia 6 bulan yang diberikan madu/teh/pisang. Aspek riwayat pemberian ASI pada balita yang memiliki skor terendah adalah kurangnya balita yang diberi ASI eksklusif. Praktek pemberian ASI eksklusif yang masih rendah tersebut diduga dikarenakan pengetahuan dan pemahaman ibu balita mengenai pentingnya ASI eksklusif masih kurang, sehingga diperlukan adanya penyuluhan kepada ibu balita mengenai pentingnya pemberian ASI eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan. Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan setelah bayi berusia enam bulan (Muchtadi 2002). Hal tersebut dikarenakan pencernaan bayi masih rentan sehingga membutuhkan proses bertahap untuk memberikan makanan yang disesuaikan dengan konsistensi dan jenis makanannya. ASI merupakan zat yang sempurna untuk pertumbuhan bayi serta mempercepat perkembangan berat badan. Lamanya balita diberi ASI yang terbaik adalah sampai usia 24 bulan. Sejak lahir sampai usia enam bulan sebaiknya hanya diberi ASI saja, setelah enam bulan bayi mulai dapat diberikan makanan tambahan pendamping ASI sampai usia 2 tahun, setelah usia tersebut balita sudah siap disapih. Tabel 22 adalah sebaran contoh berdasarkan cara memberikan makanan kepada balita contoh. Lebih dari separuh contoh (61,1%) terkadang makan tiga kali sehari. Sebanyak 22,2% contoh makan tiga kali dalam sehari, sedangkan sisanya 16,7% contoh tidak makan tiga kali sehari. Sebesar 83,3% contoh diberi buah setiap hari, sedangkan sisanya masing-masing sebesar 8,3% contoh tidak 51 diberikan buah setiap harinya. Kebiasaan mengonsumsi sayur contoh masih rendah, hampir separuh contoh (± 40-50%) tidak mengonsumsi sayur setiap harinya. Pada aspek konsumsi protein hewani dan nabati contoh, lebih dari separuh contoh (69,4%) dan (55,6%) tidak pernah atau kadang-kadang mengonsumsi protein hewani dan nabati. Sebanyak 55,6% ibu contoh menyediakan makanan dengan menu lengkap dan sebanyak 63,9 % contoh hanya mengonsumsi lauk dan sayur saja ,atau nasi dan lauk saja. Berdasarkan aspek cara membentuk situasi makan, lebih dari lima puluh persen (63,9%) ibu menyuapi contoh yang tidak nafsu makan dan sekitar 72,2 % ibu membujuk contoh bila sedang tidak mau makan (Tabel 22). Tabel 22 Cara memberikan makanan n 8 3 15 1 9 15 6 3 % 22.2 8.3 41.7 2.8 25 41.7 16.7 8.3 Kadangkadang n % 61.1 22 83.3 30 17 47.2 15 41.7 69.4 25 20 55.6 10 27.8 10 27.8 23 26 63.9 72.2 10 7 Ya Cara memberikan makanan Anak makan 3 kali sehari Ibu memberikan buah setiap hari kepada anak Ibu memberikan sayur setiap hari kepada anak Anak telat/ tidak teratur makan Konsumsi protein hewani anak Konsumsi protein nabati anak Ibu menyediakan makanan dengan menu lengkap Anak mengonsumsi lauk dan sayur saja, atau nasi dan lauk saja Cara membentuk situasi makan Ibu menyuapi anak yang tidak nafsu makan Ibu membujuk anak bila sedang tidak mau makan 27.8 19.4 Tidak n 6 3 4 20 2 1 20 23 % 16.7 8.3 11.1 55.6 5.6 2.8 55.6 63.9 3 3 8.3 8.3 Berdasarkan Tabel 23, diketahui bahwa sebesar 52,8% responden memiliki pola asuh makan yang sedang. Hanya sebesar 2,8% responden memiliki pola asuh makan yang baik. Sisanya sekitar 44,4% responden memiliki pola asuh makan yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya ibu balita yang menerapkan pola asuh makan dengan baik. Perlu adanya upaya untuk meningkatkan pemahaman ibu balita terhadap pentingnya pola asuh makan balita yang baik sehingga dapat membantu mengurangi terjadinya gizi buruk pada balita. Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan kategori pola asuh makan Kategori Pola Asuh Makan Rendah Sedang Baik Total n 16 19 1 36 % 44,4 52,8 2,8 100 52 Pola Asuh Hidup Sehat Pola asuh hidup sehat yang diteliti dalam penelitian ini diukur dengan 14 pertanyaan meliputi sering atau tidaknya mengunjungi posyandu setiap bulan, kepemilikan KMS yang terisi penuh, penerimaan vitamin A, imunisasi yang lengkap serta penanaman kebiasaan hidup bersih dan teratur seperti mandi, keramas, gosok gigi, gunting kuku, dan mencuci tangan. Menurut Tussodiyah (2010), perawatan kesehatan adalah bentuk perilaku ibu dalam menerapkan pola hidup sehat pada anak sehingga anak selalu berada dalam kondisi terbebas dari penyakit dan dapat beraktivitas rutin selayaknya individu normal. Berdasarkan Tabel 24, dapat diketahui bahwa sebanyak 72,2% responden selalu mengajak anak balitanya mengunjungi posyandu setiap bulan untuk melakukan penimbangan. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi ibu balita terhadap posyandu sudah cukup baik, terlihat dari lebih dari 50% ibu balita yang rutin membawa anak balitanya mengunjungi posyandu setiap bulan. Hanya sekitar 27,8% responden menjawab kadang-kadang mengajak anak balitanya ke posyandu setiap bulan. Penimbangan dilakukan untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan balita sehingga dapat diketahui dan dipantau status gizi balita tersebut setiap bulannya. Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat Pola asuh hidup sehat Ibu mengajak anak ke posyandu setiap bulan Total Anak memiliki KMS yang berisi penuh Total Anak menerima kapsul vitamin A Total Anak mendapatkan imunisasi yang lengkap Total Frekuensi Sering/Ya Kadang-kadang Penuh Tidak penuh Ya Kadang-kadang Tidak pernah Ya Belum lengkap n 26 10 36 28 8 36 35 1 0 36 15 21 36 % 72.2 27.8 100 77.8 22,2 100 97.2 2.8 0 100 41.7 58.3 100 Sebanyak 77,8% responden juga menjawab bahwa KMS anak balitanya terisi penuh/ lengkap, sedangkan sisanya 22,2% menjawab tidak penuh. Dari aspek penerimaan kapsul vitamin A, sebanyak 97,2% anak balita (contoh) sudah menerima kapsul vitamin A. Imunisasi yang diberikan kepada contoh belum lengkap seluruhnya. Terdapat 41,7% contoh yang telah menerima imunisasi lengkap. Sisanya sebanyak 58,3% contoh belum menerima imunisasi secara lengkap. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa balita contoh yang masih berusia 53 di bawah dua tahun sehingga imunisasi yang diberikan belum seluruhnya diberikan. Kebiasaan mencuci tangan harus diawali sedini mungkin dan dimulai dari rumah. Mencuci tangan merupakan langkah yang cukup penting untuk mencegah penyebaran penyakit, khususnya penyakit yang menular. Balita merupakan kelompok yang rawan dan rentan terhadap penyakit sehingga kebersihan lingkungan dan kebersihan diri harus diperhatikan. Lebih dari lima puluh persen (63,9%) responden membiasakan anak balitanya untuk mencuci tangan dengan sabun sebelum makan. Sebanyak 80,6% responden membiasakan mencuci tangan dengan sabun setelah BAB. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah memiliki kebiasaan mencuci tangan yang sudah cukup baik (Tabel 25). Kebersihan mainan anak juga perlu diperhatikan. Biasanya anak balita memiliki kebiasaan buruk yaitu memasukan mainan ke dalam mulutnya sehingga mainan tersebut sebaiknya sering dicuci agar tetap bersih. Sebanyak 47,2% responden kadang-kadang mencuci mainan anaknya, hanya sekitar 22,2% responden yang selalu mencuci bersih mainan anaknya. Hal tersebut bukan dikarenakan pemahaman ibu balita terhadap pentingnya kebersihan mainan masih rendah, tetapi karena tidak semua anak balita yang menjadi contoh dalam penelitian ini memiliki mainan sehingga hanya sedikit (22,2% atau 8 orang) ibu balita (responden) yang menjawab selalu mencuci bersih mainan anaknya (Tabel 25). Lebih dari separuh responden (66,7%) menggunting kuku anaknya setiap satu minggu sekali. Anak balita yang sudah mulai main di tanah dan sudah dapat bermain di luar rumahnya sendiri merupakan salah satu kondisi yang menyebabkan anak balita tersebut rawan gizi dan rawan kesehatan (Notoatmodjo 2007). Sebanyak 52,8% responden terkadang membolehkan anak balitanya bermain tanah. Kondisi tersebut sebenarnya kurang baik bagi kondisi kesehatan dan gizi anak, tetapi karena terkadang anak menangis ketika dilarang bermain yang disukainya sehingga ibu balita terkadang membolehkan anaknya bermain di tanah. Hal ini juga terkait dengan pendidikan ibu yang rendah sehingga kurang memahami pentingnya gizi dan kesehatan, khususnya dalam hal menjaga kesehatan anak sehingga masih memperbolehkan anaknya bermain tanah. (Tabel 25). 54 Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat Pola asuh hidup sehat Membiasakan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan Total Membiasakan mencuci tangan dengan sabun setelah BAB Total Ibu mencuci bersih mainan anak Total Ibu menggunting kuku anak 1 minggu sekali Total Ibu membolehkan anak bermain tanah Total Frekuensi Sering/Ya n 23 % 63,9 Kadangkadang Tidak pernah 11 30,6 2 36 29 5 5,6 100 80,6 13,9 2 36 8 17 5,6 100 22,2 47,2 11 36 24 12 30,6 100 66,7 33,3 0 36 7 19 0 100 19,4 52,8 10 36 27,8 100 Sering/Ya Kadangkadang Tidak pernah Sering/Ya Kadangkadang Tidak pernah Sering/Ya Kadangkadang Tidak pernah Sering/Ya Kadangkadang Tidak pernah Pola asuh hidup sehat tidak hanya dilakukan secara preventif (pencegahan) saja, tetapi juga dapat dilakukan secara kuratif. Secara preventif dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan seperti yang telah dibahas pada tabel di atas. Kebiasaan ibu dalam menjaga kebersihan tubuh anak balita juga diamati dalam penelitian ini. Menjaga kebersihan tubuh penting dalam memelihara kesehatan, terutama dalam menjaga kesehatan anak balita yang rentan terserang penyakit. Aspek yang diamati meliputi kebiasaan ibu mencuci rambut anak dalam satu minggu, memeriksa kebersihan telinga anak, menyediakan dan menyuruh anak menggunakan alas kaki ketika keluar rumah, serta mengajak anak balita melakukan olahraga. Sebanyak 77,8% responden mencuci rambut anak minimal 2 kali dalam seminggu. Selain itu juga sebanyak 77,8% responden memeriksa kebersihan telingan anak dan membersihkannya. Anak balita yang sudah dapat bermain ke luar rumah perlu diberikan alas kaki ketika bermain keluar sehingga penyediaan alas kaki untuk anak perlu diperhatikan. Lebih dari lima puluh persen (83,3%) responden telah menyediakan alas kaki untuk anaknya dan menyuruh anaknya untuk membiasakan menggunakan alas kaki ketika keluar rumah (Tabel 26). 55 Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat Pola asuh hidup sehat Ibu mencuci rambut anak minimal 2 x/minggu Total Ibu memeriksa kebersihan telinga anak Total Ibu menyediakan alas kaki untuk digunakan anak ketika keluar rumah Frekuensi Sering/Ya Kadangkadang Tidak pernah n 28 7 % 77,8 19,4 1 2.8 Sering/Ya Kadangkadang Tidak pernah 28 8 77,8 22,2 0 36 30 0 100 83,3 5 13,9 1 36 30 5 2,8 100 83,3 13,9 1 36 2,8 100 Sering/Ya Kadangkadang Tidak pernah Total Ibu menyuruh anak memakai alas kaki ketika keluar rumah Sering/Ya Kadangkadang Tidak pernah Total Berdasarkan definisi atau kriteria tentang pola asuh hidup sehat, lebih dari separuh responden (72,2%) menerapkan pola asuh hidup sehat kategori sedang untuk anak balitanya. Sisanya sekitar 25% responden memiliki pola asuh hidup sehat dengan kategori baik (Tabel 27). Aspek yang memiliki persentase tertinggi yaitu pada anak yang diberikan kapsul vitamin A. Sebanyak 97,2% contoh balita telah mendapatkan kapsul vitamin A (Tabel 24). Hal tersebut dikarenakan pada bulan Febuari dan Agustus selalu diadakan pemberian kapsul vitamin A pada balita di posyandu, sehingga biasanya pada bulan-bulan tersebut terdapat banyak ibu balita yang membawa anak balitanya untuk mengunjungi posyandu. Secara keseluruhan pola asuh hidup sehat responden tergolong dalam kategori sedang. Dikatakan sedang, karena masih terdapat responden yang memiliki pola asuh hidup sehat kurang baik, seperti masih terdapat responden yang membiarkan anaknya bermain tanah dan masih terdapat pula responden yang jarang mencuci mainan anaknya jika memang memiliki mainan seperti boneka dan mobil-mobilan. Bila anak dibiarkan bermain tanah, dikhawatirkan anak tersebut akan mudah tertular bibit penyakit sehingga mudah sakit. Oleh karena itu, sebaiknya ada penyuluhan mengenai pentingnya pola asuh hidup sehat bagi ibu balita dalam merawat anak balitanya agar pola asuh ibu, khususnya dalam hal menjaga kebersihan dan kesehatan anak menjadi lebih baik sehingga kejadian sakit pada balita dapat dihindarkan. 56 Tabel 27 Sebaran responden berdasarkan kategori pola asuh hidup sehat Kategori Pola Asuh Hidup Sehat Rendah (<60%) Sedang (60-80%) Baik (>80%) Total n 1 26 9 36 % 2,8 72,2 25 100 Tingkat Kepatuhan Ibu dalam Program PMT Jumlah biskuit yang seharusnya dikonsumsi oleh setiap balita perhari adalah satu bungkus. Tiap bungkus biskuit berisi empat keping biskuit yang memiliki berat total 50 gram. Tingkat kepatuhan ibu dalam Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) diukur dengan cara membandingkan biskuit yang telah dikonsumsi dengan biskuit yang seharusnya dikonsumsi oleh contoh. Tingkat kepatuhan dikatakan kurang bila dalam waktu 88 Hari Makan Anak (HMA) rata-rata biskuit yang dimakan <50 % (<2 keping biskuit tinggi protein perhari), dikatakan cukup patuh jika rata-rata biskuit yang dikonsumsi sebanyak 50%≤x<75% (2-3 keping biskuit tinggi protein perhari) dan dikatakan patuh apabila rata-rata biskuit yang dikonsumsi ≥75 % (≥3 keping biskuit tinggi protein perhari). Berikut disajikan persentase sebaran tingkat kepatuhan ibu contoh dalam program PMT (Gambar 3). 58.3 60 50 40 30 20 10 0 38.9 2.78 Kurang patuh (<50%) Cukup patuh (50-74%) Patuh (≥75%) Persentase Tingkat Kepatuhan Gambar 3 Sebaran ibu berdasarkan tingkat kepatuhan dalam program PMT Gambar 3 menunjukkan bahwa sebanyak 58,3% ibu balita (responden) termasuk dalam kategori patuh, 38,9% responden tergolong dalam kategori cukup patuh, dan sisanya sebanyak 2,78% responden kurang patuh dalam program ini. Lebih dari 50% balita mengkonsumsi biskuit tinggi protein dengan ratarata ≥3 keping perhari dari awal hingga akhir intervensi (58,3%). Sebanyak 14 balita telah mengonsumsi biskuit tinggi protein dengan rata-rata 2 - 3 keping 57 perhari, dan hanya satu balita yang mengonsumsi biskuit tinggi protein dengan rata-rata <2 keping perhari (Tabel 28). Tabel 28 Jumlah keping biskuit tinggi protein yang dikonsumsi perhari Jumlah Keping Biskuit yang Dikonsumsi < 2 keping/hari 2-3 keping/hari ≥3 keping /hari Total n 1 14 21 36 % 2,78 38,9 58,3 100 Biskuit tinggi protein diberikan sebanyak empat keping perhari kepada contoh. Dari total jumlah biskuit tinggi protein yang diberikan perhari tersebut dikategorikan menjadi <2 keping/hari, 2 - 3 keping /hari, dan >3 keping /hari. Pengkategorian tersebut juga digunakan untuk mengetahui tingkat kepatuhan responden dan contoh dalam mengikuti program pemberian makanan tambahan. Gambar 4 menunjukkan rata-rata jumlah biskut tinggi protein yang dikonsumsi oleh balita selama proram dilaksanakan. Pemantauan konsumsi biskuit tinggi protein dilakukan selama 88 hari. Secara umum terjadi penurunan dari bulan kedua hingga bulan ketiga pemberian biskuit. Hal ini juga berarti terjadi penurunan tingkat kepatuhan ibu dari bulan kedua hingga bulan ketiga. Pada bulan pertama dan bulan kedua, rata-rata konsumsi biskuit sama setiap harinya, yaitu sebanyak 3,3 keping perhari, sedangkan pada bulan ketiga ratarata konsumsi biskuit mengalami penurunan menjadi 3,1 keping perhari. Hal tersebut diduga dikarenakan contoh yang sudah merasa bosan mengkonsumsi biskuit tinggi protein sehingga konsumsi biskuit tersebut berkurang tiap harinya. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak adanya variasi rasa biskuit. 3.35 3.3 3.25 RATA-RATA KONSUMSI BISKUIT PERHARI 3.2 3.15 3.1 3.05 3 Bulan I Bulan II Bulan III Gambar 4 Rata-rata jumlah biskuit tinggi protein yang dikonsumsi oleh contoh selama program PMT dilaksanakan (88 HMA) 58 Morbiditas Balita Morbiditas merupakan angka kesakitan contoh selama tiga bulan intervensi. Selama intervensi tersebut dapat diketahui berapa kali contoh menderita penyakit infeksi. Morbiditas diketahui berdasarkan kejadian sakit (frekuensi dan lama sakit) selama intervensi. Morbiditas yang diteliti meliputi data beberapa penyakit infeksi seperti ISPA, demam, hepatitis, DBD, diare, dan campak. Kondisi kesehatan anak berpengaruh terhadap selera makan dan pemanfaatan zat gizi di dalam tubuh. Gizi dan kesehatan memiliki hubungan yang erat (Hartoyo et al. 2003). Apabila anak kondisi kesehatannya terganggu dan sakit maka akan menyebabkan nafsu makan anak menurun sehingga konsumsi pangan anak tersebut juga menurun. Faktor utama yang berdampak terhadap pertumbuhan anak balita adalah kekurangan asupan gizi dan penyakit infeksi. Berdasarkan hasil penelitian, jenis penyakit infeksi yang sering diderita oleh contoh adalah ISPA, demam, dan diare. Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit, frekuensi sakit dan lama sakit disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit, frekuensi sakit, dan lama sakit dalam tiga bulan terakhir Riwayat Kesehatan n Frekuensi Rendah (1-3 kali) (>3 kali) Lama sakit 1-3 hari 4-7 hari >7 hari ISPA % Diare n % Demam n % Cacar n % Campak n % 18 0 51,4 0 3 1 8,3 2,8 7 0 19,4 0 5 0 13,9 0 2 0 5,6 0 5 4 9 13,9 11,1 25 1 0 3 2,8 0 8,3 2 1 4 5,6 2.8 11,1 0 2 3 0 5,6 8,3 0 2 0 0 5,6 0 Secara umum diketahui bahwa jenis penyakit yang sering dialami oleh sebagian besar contoh adalah ISPA dengan frekuensi 1 hingga 3 kali (51,4%) dengan lama sakit lebih dari tujuh hari (25%). Pada umumnya saat contoh mengalami ISPA biasanya juga disertai dengan demam. Penyakit yang jarang sekali diderita oleh contoh dalam tiga bulan terakhir ini adalah campak. Sebanyak 5,6% contoh menderita penyakit campak dengan frekuensi 1-3 kali dan lama sakit selama 4 hingga 7 hari (Tabel 29). Gambar 5 menunjukkan bahwa balita yang menjadi contoh dalam penelitian ini mengalami kejadian sakit dengan rata-rata frekuensi sakit berada pada rentang 0,3 – 0,5 kali selama tiga bulan. Rata-rata frekuensi kejadian sakit tertinggi terjadi pada bulan 0 (awal intervensi) yaitu sebanyak 0,5 kali, sedangkan 59 rata-rata frekuensi kejadian sakit terendah terjadi pada bulan ke-3 intervensi (0,3 kali). Berdasarkan Gambar 5, selama tiga bulan intervensi frekuensi kejadian sakit semakin menurun tiap bulannya. Pada bulan 0 (awal intervensi), contoh mengalami sakit dengan rata-rata frekuensi 0,5 kali dengan standar deviasi 0,8 kali. Pada bulan ke-1 intervensi terjadi penurunan frekuensi sakit menjadi 0,4 kali dengan standar deviasi 0,6 kali. Rata-rata frekuensi kejadian sakit pada bulan ke-2 tetap sama dengan bulan ke-1 yaitu 0,4 kali dengan standar deviasi 0,5 kali. Pada bulan ke-3 intervensi terjadi penurunan yaitu menjadi 0,3 kali. Selama tiga bulan intervensi, rata-rata penyakit yang diderita oleh contoh adalah demam, ISPA (batuk dan flu), dan diare. Namun, dari ketiga penyakit tersebut, penyakit yang sering diderita oleh contoh yaitu demam dan ISPA. 0.6 0.5 0.4 0.3 Rata-rata Frekuensi Sakit (kali) 0.2 0.1 0 Bulan 0 Gambar 5 Bulan I Bulan II Bulan III Rata-rata frekuensi sakit yang diderita contoh sebelum intervensi bulan 0 dan selama intervensi (tiga bulan) Total lamanya kejadian sakit (morbiditas) diperoleh dengan cara mengalikan frekuensi sakit (kali) dengan lamanya sakit (hari). Dari total lamanya kejadian sakit kemudian dirata-ratakan sehingga diperoleh rata-rata lama kejadian sakit (rata-rata morbiditas). Hasil rata-rata lamanya kejadian sakit setiap bulannya dibandingkan antara awal, dan akhir intervensi. Berdasarkan Gambar 6, rata-rata kejadian sakit (rata-rata morbiditas) pada bulan 0 (sebelum intervensi) yaitu selama 1,7 ± 3,2 hari, sedangkan rata-rata kejadian sakit pada bulan ke – I intervensi yaitu selama 2 ± 2,7 hari. Pada bulan ke-1 intervensi ini terjadi rata-rata kejadian sakit (morbiditas) terlama. Pada bulan ke-2 intervensi rata-rata kejadian sakit (morbiditas) mengalami penurunan kembali menjadi 1,8 ± 2,5 hari. Terlihat bahwa terjadi kenaikan lamanya kejadian sakit pada bulan sebelum intervensi ke bulan pertama intervensi. Selama intervensi rata-rata lama kejadian sakit mengalami fluktuasi (naik-turun), tetapi fluktuasi tersebut tidak 60 terlalu berbeda. Pada akhir intervensi rata-rata lamanya kejadian sakit mengalami penurunan menjadi 1,4 hari dengan standar deviasi 2,4 hari. 2.5 2 1.5 2 1.8 1.7 1.4 1 Rata-rata Lamanya Kejadian Sakit/ morbiditas (Hari) 0.5 0 Bulan 0 Gambar 6 Bulan I Bulan II Bulan III Rata-rata lama kejadian sakit (morbiditas) yang diderita contoh selama tiga bulan intervensi Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji Samples Paired T Test, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) rata-rata morbiditas contoh antara sebelum dan setelah intervensi. Rata-rata morbiditas sebelum intervensi adalah 1,7 ± 3,2 hari, sedangkan setelah dilakukan intervensi rata-rata morbiditas menjadi 1,4 ± 2,4 hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi penurunan tingkat morbiditas setelah dilakukan intervensi dengan biskuit tinggi protein yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata morbiditas yang tidak terlalu berbeda jauh (Tabel 30). Tabel 30 Rata-rata morbiditas contoh pada awal dan akhir intervensi Awal intervensi Akhir intervensi Rata-rata morbiditas 1,7 ± 3,2 1,4 ± 2,4 p 0,639 Status Gizi Balita Indikator antropometri yang biasa digunakan untuk menilai status gizi balita adalah berat badan terhadap umur (BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U), dan berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Dari beberapa macam indikator antropometri tersebut, indikator berat badan terhadap umur (BB/U) lebih sering dan paling umum digunakan (Aritonang 2000). Status gizi balita berdasarkan standar baku antropometri WHO 2005 dengan indikator BB/U dikategorikan menjadi 4 kategori yaitu gizi buruk (z-skor < -3,0), gizi kurang (-3,0 < z-skor < -2), gizi baik (-2 < z-skor < 2,0), dan gizi lebih (z-skor > 2,0). Program intervensi pemberian makanan tambahan berupa biskuit tinggi protein yang berlangsung selama tiga bulan bertujuan untuk membantu meningkatkan status gizi balita (contoh) yang memiliki status gizi kurang dan buruk agar status gizinya menjadi baik. Menurut Aritonang (2000), perubahan 61 yang dapat dilihat dari hasil suatu intervensi pemberian makanan tambahan adalah kenaikan berat badan. Apabila anak sehat dan makanannya baik, maka berat badan dan tinggi badan anak akan bertambah. Berat badan akan lebih berpengaruh terhadap suatu intervensi jangka pendek dibandingkan tinggi badan. Berdasarkan indikator BB/U pada awal intervensi diketahui bahwa lebih dari separuh contoh (63,9%) termasuk dalam kategori gizi kurang. Sisanya sebanyak 36,1% contoh termasuk dalam status gizi buruk. Intervensi dapat meningkatkan status gizi contoh, terlihat pada awal intervensi tidak ada contoh yang status gizinya baik tetapi pada akhir intervensi terdapat contoh yang status gizinya berada dalam kategori gizi baik sebesar 52,8%. Selain itu juga persentase contoh yang berada dalam kategori gizi buruk dan gizi kurang menurun. Persentase contoh yang mengalami gizi buruk menurun dari 36,1% menjadi 2,8% dan persentase contoh yang mengalami gizi kurang menurun dari 63,9% menjadi 44,4% (Tabel 31). Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan indikator status gizi (BB/U, TB/U, dan BB/TB) pada awal dan akhir intervensi Status Gizi Balita Status Gizi (BB/U) Gizi buruk (z-skor < -3,0) Gizi kurang (-3,0 < z-skor < -2,0) Gizi baik (-2,0 < z-skor < 2,0) Total Status Gizi (TB/U) Sangat pendek (z-skor < -3,0) Pendek (-3,0 < z-skor < -2,0) Normal (z-skor ≥ -2,0) Total Status Gizi (BB/TB) Sangat kurus (z-skor < -3,0) Kurus (-3,0 < z-skor < -2,0) Normal (-2,0 < z-skor < 2,0) Total Awal Intervensi n % Akhir Intervensi n % 13 23 0 36 36,1 63,9 0 100 1 16 19 36 2,8 44,4 52,8 100 15 13 8 36 41,7 36,1 22,2 100 6 19 11 36 16,7 52,8 30,6 100 2 13 21 36 5,6 36,1 58,3 100 0 1 35 36 0 2,8 97,2 100 Berdasarkan indikator TB/U pada awal intervensi diketahui bahwa sebanyak 41,7 % contoh termasuk dalam kategori sangat pendek. Sebanyak 35,1 % contoh tergolong dalam kategori pendek dan sisanya tergolong dalam kategori normal (22,2%). Menurut Aritonang (2000), indikator TB/U merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kekurangan gizi pada masa lampau. Penggunaan indikator TB/U dalam suatu intervensi harus disertai dengan indikator lain, seperti BB/U, karena perubahan TB tidak banyak terjadi dalam waktu singkat dan ini menjadi kekurangan dari indikator TB/U. Intervensi dapat 62 meningkatkan status gizi contoh, terlihat terjadi peningkatan persentase contoh yang berada dalam status gizi normal dari 22,2% menjadi 30,6%. Hal ini juga terjadi pada contoh yang mengalami status gizi pendek. Persentase contoh yang berada dalam kategori pendek meningkat dari 36,1% menjadi 52,8%. Intervensi juga mampu menurunkan persentase contoh yang berada dalam kategori status gizi sangat pendek. Pada awal intervensi persentase contoh yang memiliki status gizi sangat pendek sebesar 41,7%, tetapi pada akhir intervensi persentasenya berkurang menjadi 16,7% (Tabel 31). Selain kedua indikator sebelumnya, indikator BB/TB juga biasa digunakan dengan indikator lainnya. Indikator BB/TB lebih menggambarkan keadaan kurang gizi akut pada waktu sekarang meskipun tidak dapat menggambarkan status gizi masa lampau. Indikator BB/TB merupakan indikator yang baik untuk mendapatkan proporsi tubuh yang normal, dan untuk membedakan anak yang kurus atau gemuk (Aritonang 2000). Berdasarkan indikator BB/TB pada awal intervensi, dapat diketahui bahwa terdapat lebih dari separuh contoh (58,3%) termasuk dalam kategori normal. Sisanya sebanyak 36,1% contoh termasuk dalam kategori kurus dan sangat kurus (5,6%). Intervensi dapat meniadakan contoh yang memiliki status gizi sangat kurus dan menurunkan persentase contoh yang memiliki status gizi kurus dari 36,1% menjadi 2,8%. Selain itu juga intervensi dapat meningkatkan status gizi contoh yang berada dalam kategori normal, persentase meningkat dari 58,3% menjadi 97,2%. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa setelah dilakukan intervensi pemberian makanan tambahan biskuit tinggi protein, status gizi contoh mengalami peningkatan Tabel 32 Rata-rata z-skor BB/U (status gizi) contoh pada awal dan akhir intervensi Awal intervensi Akhir intervensi Rata-rata z-skor BB/U -2,89 ± 0,48 -1,77 ± 0,84 p 0,000 Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji Samples Paired T Test, diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) rata-rata z-skor BB/U (status gizi) contoh antara awal dan akhir intervensi. Rata-rata z-skor BB/U pada awal intervensi adalah -2,89 ± 0,48, sedangkan pada akhir intervensi rata-rata nilai zskor menjadi -1,77 ± 0,84. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan secara nyata nilai z-skor BB/U (status gizi) setelah dilakukan intervensi dengan biskuit tinggi protein.(Tabel 32). 63 Hubungan Pola Asuh Ibu (Pola Asuh Makan dan Pola Asuh Hidup Sehat) dengan Status Gizi Balita Tabel 33 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pola asuh makan dan status gizi contoh pada awal intervensi. Sebanyak 33,3% contoh memiliki status gizi kurang serta pola asuh makan yang rendah. Selain itu juga terdapat 11,1% contoh yang memiliki status gizi buruk dengan pola asuh makan yang masih rendah, hanya satu orang yang status gizinya kurang dengan pola asuh yang baik. Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh makan dan status gizi (BB/U) Pola Asuh Makan Rendah Sedang Baik Total Status Gizi Balita Gizi Buruk Gizi Kurang n % n % 11,1 12 33,3 4 9 25 10 27,8 2,8 0 0 1 13 36,1 23 63,9 Total n 16 19 1 36 % 44,4 52,8 2,8 100 Hasil uji statistik menggunakan uji korelasi rank spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh makan dengan status gizi balita contoh (BB/U) pada awal intervensi (p>0,05 dan r=0,042). Hal ini sejalan dengan penelitian Pramuditya (2010) yang menyatakan bahwa antara pola asuh makan dengan status gizi balita tidak terdapat hubungan yang signifikan. Hal ini diduga karena status gizi tidak hanya dipengaruhi oleh pola asuh makan, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti ketersediaan pangan, konsumsi pangan harian (baik secara kualitas maupun kuantitas), penyakit infeksi, dan kesehatan lingkungan. Selain itu juga status gizi dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu terhadap gizi dan kesehatan (Suhardjo 1989). Tabel 34 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat dan status gizi. Sebanyak 41,7% contoh yang berstatus gizi kurang memiliki pola asuh hidup sehat yang sedang, tetapi masih terdapat contoh yang memiliki pola asuh hidup sehat yang baik namun berstatus gizi kurang (22,2%). Berdasarkan uji statistik dengan korelasi rank spearman diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh hidup sehat dengan status gizi balita (BB/U) pada awal intervensi (p>0,05 dan r=0,290). Hal ini sejalan dengan penelitian Pramuditya (2010) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh hidup sehat dengan status gizi balita. Pola asuh hidup sehat erat hubungannya dengan status kesehatan anak, tetapi tidak berhubungan secara langsung dengan status gizi anak. 64 Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat dan status gizi Pola Asuh Hidup Sehat Rendah Sedang Baik Total Status Gizi Balita Gizi Buruk Gizi Kurang n % n % 0 1 2,8 0 41,7 11 30,6 15 22,2 1 2,8 8 13 36,1 23 63,9 Total n 1 26 9 36 % 2,8 72,2 25 100 Hubungan Tingkat Morbiditas dengan Status Gizi Balita Tabel 35 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan tingkat morbiditas dan status gizi contoh pada akhir intervensi. Tingkat morbiditas dikategorikan menjadi rendah (<4 hari), sedang (5-7 hari), dan tinggi (≥8 hari) (Sugiono 2009). Sebanyak 30,6% contoh memiliki status gizi kurang serta tingkat morbiditas yang rendah. Selain itu juga terdapat 2,8% contoh yang memiliki status gizi buruk dengan tingkat morbiditas yang rendah. Sebanyak 41,7% contoh yang berstatus gizi baik dengan tingkat morbiditas yang rendah. Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan tingkat morbiditas dan status gizi Tingkat Morbiditas Rendah Sedang Total Status Gizi Balita Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi n % n % n 2,8 30,6 15 1 11 0 0 5 13,9 4 1 2,8 16 44,5 19 Total Baik % 41,7 11,1 52,8 n 27 9 36 % 75 25 100 Hasil uji statistik menggunakan uji korelasi rank spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat morbiditas dengan status gizi balita contoh (BB/U) pada akhir intervensi (p>0,05 dan r=-0,078). Hal ini sejalan dengan penelitian Herdhiati (2010) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat morbiditas dengan status gizi. Hal ini diduga karena banyak faktor yang ikut berpengaruh terhadap kejadian penyakit (morbiditas), salah satunya adalah sanitasi lingkungan. Berdasarkan konsep segitiga penyakit Bloom, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang, yaitu (1) penyebab penyakit (agent), (2) manusia sebagai tuan rumah (host), dan (3) aspek lingkungan (environment). Gangguan keseimbangan antara ketiga faktor tersebut akan menyebabkan timbulnya suatu penyakit. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Lebih dari separuh jumlah contoh (75%) adalah balita perempuan. Usia contoh berkisar antara 12-60 bulan. Sebagian besar usia contoh termasuk dalam kategori 12 - 23 bulan (55,6%). Berdasarkan jenjang pendidikan formal, sebagian besar orang tua contoh berpendidikan SD atau sederajat (47,2% ayah dan 52,8% ibu). Sebanyak 41,7% ayah contoh bekerja sebagai buruh non tani. Sebagian besar ibu contoh (86,1%) adalah tidak bekerja atau hanya berperan sebagai ibu rumah tangga. Lebih dari separuh keluarga contoh tergolong dalam keluarga sedang yang terdiri dari 5-7 orang dengan jumlah persentase sebesar 44,4 %. Sebagian besar (80,6%) pendapatan keluarga contoh berada pada kisaran Rp. 66.680 – Rp. 260.115 perkapita/bulan. Berdasarkan garis kemiskinan yang telah ditetapkan oleh BPS Propinsi Jawa Barat, diketahui sebanyak 64% keluarga contoh termasuk dalam kategori miskin, yaitu pendapatan dibawah Rp. 191.985 perkapita/bulan. Sebagian besar kondisi lingkungan tempat tinggal contoh berada pada kategori sedang (52,8%). Dengan gambaran bahwa lebih dari separuh responden (72,2%) memiliki lantai dari semen/pelur/kayu. Selain itu, sebagian besar (75%) responden menggunakan beton/ genteng sebagai atap rumah. Sebanyak 16,7% responden tidak memiliki WC sendiri di dalam rumah sehingga menumpang di WC tetangga. Sebagian responden (50%) memiliki rumah yang dilengkapi jendela yang dapat terbuka. Lebih dari 50% responden (88,9%) mendapatkan air minum dari sumur tak terlindung/ mata air tak terlindung. Kemudian sumur tak terlindung/mata air tak terlindung juga merupakan sumber air untuk mandi dengan persentase sebesar (94,4%). Hanya sekitar 38,9% responden yang membuang sampah pada tempat sampah tertutup/ kantong plastik/ TPS. Sebanyak 36,1% responden membuang air limbah ke saluran air/pembuangan/ got terbuka. Rata-rata konsumsi energi dan protein pada awal intervensi berturut-turut sebesar 972 ± 147 Kal dan 24 ± 7 gram. Pada akhir intervensi biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), rata-rata konsumsi energi dan protein contoh mengalami peningkatan menjadi 1184 ± 131 Kal (energi) dan 34 ± 6 gram (protein). Intervensi biskuit PMT meningkatkan secara nyata konsumsi energi dan protein balita gizi kurang dan gizi buruk (p<0,05). Sebanyak 52,8% responden memiliki pola asuh makan dengan kategori sedang. 66 Lebih dari separuh responden (72,2%) menerapkan pola asuh hidup sehat kategori sedang untuk anak balitanya. Berdasarkan pengamatan tingkat kepatuhan responden dan balita terhadap pemberian makanan tambahan, diketahui bahwa sebanyak 58,3% ibu balita (responden) termasuk dalam kategori patuh. Pola asuh (pola asuh makan dan hidup sehat) tidak berhubungan secara nyata dengan status gizi balita (BB/U) pada awal intervensi (p>0,05). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat morbiditas dengan status gizi balita (p>0,05). Rata-rata morbiditas sebelum intervensi adalah 1,7 ± 3,2 hari, sedangkan setelah dilakukan intervensi rata-rata morbiditas menjadi 1,4 ± 2,4 hari. Tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) rata-rata morbiditas contoh pada awal dan akhir intervensi. Rata-rata z-skor BB/U pada awal intervensi adalah -2,89 ± 0,48, sedangkan pada akhir dilakukan intervensi rata-rata nilai zskor menjadi -1,77 ± 0,84. Pemberian biskuit PMT dapat meningkatkan secara nyata status gizi balita berdasarkan indikator BB/U (p<0,05). Saran Pola asuh ibu dalam memberikan makanan dan menjaga kesehatan anak balitanya harus ditingkatkan dan diperbaiki. Oleh karena itu, perlu adanya penyuluhan mengenai pola asuh ibu (pola asuh makan dan hidup sehat) bagi ibu balita agar pengetahuan, sikap, dan praktik ibu terhadap gizi dan kesehatan meningkat dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga masih terdapat keluarga contoh yang memiliki kondisi lingkungan tempat tinggal dalam kategori rendah, sehingga perlu adanya upaya dalam memperbaiki kondisi lingkungan keluarga contoh. Hal yang masih perlu diperbaiki yaitu dengan cara meningkatkan kesadaran keluarga contoh dalam penyediaan jamban sehat, adanya ventilasi udara yang terbuka di dalam rumah, dan kesadaran keluarga contoh dalam membuang sampah pada tempatnya. Adanya program pemberian biskuit PMT tinggi protein memberikan peningkatan terhadap status gizi balita (BB/U). Oleh karena itu, program ini sebaiknya terus dilanjutkan dalam upaya menanggulangi masalah KEP pada balita. Selain itu, Ibu balita perlu meningkatkan asupan makanan yang bergizi bagi anak balitanya untuk proses pertumbuhan dan perkembangan. Sebaiknya konsumsi biskuit yang diberi kepada anak balita KEP disertai dengan konsumsi pangan harian yang beragam dan berimbang agar kebutuhan zat gizi balita terpenuhi. DAFTAR PUSTAKA Adi A.C. 2010. Efikasi pemberian makanan tambahan (PMT) biskuit disubstitusi dengan tepung protein ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), isolate protein kedelai dan probiotik Enterococcus faecium IS-27526 yang dimikroenkapsulasi pada balita (2-5 tahun) berat badan rendah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Almatsier S. 2006. Prisip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Arinta FR. 2010. Partisipasi ibu dan kader dalam program pemberian makanan tambahan pemulihan (PMT-P) kaitannya dengan tingkat kepatuhan ibu balita [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Arisman. 2007. Buku Ajar Ilmu Gizi. Di dalam: Widyastuti P, editor. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Buku Kedokteran, EGC. Aritonang I. 2000. Pemantauan Pertumbuhan Balita. Petunjuk Praktis Menilai Status Gizi & Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius. Atmarita, Fallah T.S. 2004. Analisis Situasi Pangan dan Kesehatan Masyarakat. Di Dalam Widyakarya Pangan dan Gizi VIII, Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Berita resmi statistik Provinsi Jawa Barat. Edisi No. 27/07/32/th.XI [terhubung berkala]. www.jabar.bps.go.id [11 April 2011]. [BPS] Badan Pusat Statistik Jawa Barat. .2010. Jawa barat dalam angka. http://regionalinvestment.com/newsipid/displayprofil.php?ia=3202. [17 Agustus 2011]. [Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat]. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta: Depkes RI. _______________________________________________. 2010. Laporan Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. [Dinkes] Dinas Kesehatan. 2010. Profil kesehatan kabupaten sukabumi. http://119.252.111.2:8080/documents/14243/33079/Profil+Kesehatan+K abupaten+Sukabumi.pdf. [18 Agustus 2011]. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment. New York: Oxford University Press. 68 Gunarsa SD, Gunarsa YS. 1995. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Gusthianza J. 2010. Studi efikasi pemberian mi instan yang diperkaya red palm oil (RPO) terhadap peningkatan kadar retinol serum dan respon imun anak sekolah dasar 7-9 tahun [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah. 2007. Inovasi Gizi dan Pengembangan Modal Sosial bagi Peningkatan Kualitas Manusia dan Pengentasan Kemiskinan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Harper LJ, Deaton BJ, Driskel JA. 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Suhardjo, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Hartoyo et al. 2003. Pengembangan Model Tumbuh Kembang Anak Terpadu. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hastuti D. 2008. Pengasuhan: Teori dan Prinsip serta Aplikasinya di Indonesia. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Hurlock EB. 1998. Perkembangan Anak Edisi ke-6. M. Tjandra dan Zarkasih, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Child Development. Khiarunnisak I. 2004. Hubungan kualitas asuh dan periilaku hidup sehat dengan status gizi dan kesehatan anak usia 3-5 tahun pada keluarga miskin di kecamatan Bogor Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi [Diktat mata kuliah]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. ___________. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. ___________. 2004. Peran Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta: PT. Grasindo. Khomsan A., Anwar F., Riyadi H., Sukandar D., & Mudjajanto ES. 2007. Studi Implementasi Program Gizi: Pemanfaatan, Cakupan, Keefektivan, dan Dampak Terhadap Status Gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. _________________________________________________________. 2009a. Studi Peningkatan Pengetahuan Gizi Ibu dan Kader Posyandu serta Perbaikan Gizi Balita. Bogor: Institut Pertanian Bogor. _________________________________________________________. 2009b. Studi Implementasi Program Gizi: Pemanfaatan, Cakupan, Keefektifan, dan Dampak Terhadap Status Gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor dan Nestle Foundation. 69 Khumaidi M. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor: Institut Pertanian Bogor. King FS, Burgess A. 1995. Nutrition for Developing Countries. New York: Oxford University Press. LIPI. 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Mahyuddin K. 2007. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar Swadaya. Marendra Z, Febry AB. 2008. Buku Pintar Menu Balita. Jakarta: PT. Wahyu Media. Megawangi R. 2004. Pendidikan Karakter ; Solusi Yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta : Indonesia Heritage Fondation. Meirita, Hastuti D, Sunarti E. 2000. Hubungan kualitas dan kuantitas asuh dengan status gizi anak bawah lima tahun di Desa Rancamaya, Kota Bogor. Media Gizi dan Keluarga XXIV (2): 23-27. Mervina. 2009. Formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan isolate protein kedelai (Glycine max) sebagai makanan potensial untuk anak balita gizi kurang [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Muchtadi. 2002. GIZI UNTUK BAYI: ASI, Susu Formula dan Makanan Tambahan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Mulyani S. 1990. Penelitian Gizi dan Kesehatan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Nasoetion A, Riyadi H. 1994. Gizi Terapan. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Papalia DE dan Old. 1986. Human Development. USA: Mc. Draw-Hill. Pramuditya SW. 2010. Kaitan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu serta pola asuh dengan perilaku keluarga sadar gizi dan status gizi anak[skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Riyadi H. 2003. Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri ( Method of Anthropometric Nutritional Assessment). Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 70 Rodiah D. 2010. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Gizi Seimbang Anak Sekolah di SDN Gunung Gede Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid I. Jakarta:PT. Dian Rakyat. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Sugiono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV. Alvabeta. Suhardjo. 1989a. Petunjuk Laboratorium: Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. _______. 1989b. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. _______. 1989c. Berbagai Cara Pendidikan Gizi Petunjuk Laboratorium. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. _______. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. _______. 2008. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Supariasa DN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Suyanto SR. 1999. Budidaya Ikan Lele. Jakarta: Penerbit Swadaya Tussodiyah W. 2010. Pola asuh, kondisi lingkungan, dan status kesehatan balita bawah garis merah (BGM) di kabupaten sukabumi [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Widyati R dan Yuliarsih. 2002. Higiene & Sanitasi Umum dan Perhotelan. Jakarta: PT. Grasindo. Winarno F.G. 1987. Gizi dan Makanan Bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta: Pustaka Harapan. [WKNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. 2000. Peran Pola Asuh Anak: Pemanfaatan Hasil Studi Penyimpangan Positif Untuk Program Gizi. LIPI. LAMPIRAN 72 Lampiran 1 Kuesioner penelitian MORBIDITAS DAN STATUS GIZI BALITA PENERIMA MAKANAN TAMBAHAN BISKUIT YANG DISUBSTITUSI TEPUNG IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI KECAMATAN SUKALARANG DAN CIBADAK, KABUPATEN SUKABUMI*) 1. Enumerator : _________________________ 2. Nama Ibu Balita : _________________________ 3. Nama Suami : _________________________ 4. Nomor Rumah/RT/RW : ____/____ /_____ 5. Kecamatan : 1. Sukalarang 6. No HP/Telp Rumah : __________________________ 7. Tanggal/Jam Wawancara : __________________________ 2. Cibadak A. KARAKTERISTIK/ IDENTITAS BALITA 1 2 3 4 5 6 Nama anak balita Jenis kelamin (lingkari jawaban ! ) Tanggal lahir (harus terisi) Usia anak balita (bulan) Anak ke Berat badan/ Tinggi badan ………………………………………………… 1. Laki-laki 2. Perempuan ………………………. ................................ (isi dalam bulan) ……..... ……………kg / ………….cm B. BIODATA DAN KARAKTERISTIK SOSIAL-EKONOMI KELUARGA No (1) Nama (2) Posisi dalam keluarga (3) Umur (4) Thn (B41) Jenis Kelamin (5) Pendidikan terakhir (6) Pekerjaan (7) Penghasilan /bulan (8) Bln (B42) Kode : (3) Posisi di Keluarga 1=suami (ayah), 2=istri (ibu) , 3=anak, 4= saudara lainnya, 5= kakek/nenek, 6=lainnya sebutkan 4) Umur 1 Dalam tahun 2 dalam bulan (tidak tahu = 777) (5) Jenis Kelamin 1=laki-laki, 2=perempuan (6) Pendidikan Terakhir 0= TS 1=SD 2=SMP 3=SMA 4=PT (7) Pekerjaan Kode: 0=Tidak Bekerja, 1=Petani, 2=Pedagang, 3=Buruh tani, 4=Buruh non tani, 5=PNS/ABRI/Polisi, 73 6=Jasa (tukang ojek, tukang cukur, calo, dan sebagainya), 7=Ibu rumah tangga (IRT), 8=lainnya, sebutkan, 9=N/A (8) Penghasilan/ bulan 1=<Rp.500.000 2=Rp500.000-1.000.000 3.≥ Rp.1.000.000- 2.500.000 4. ≥Rp. 2.500.000 C. KONDISI LINGKUNGAN 1. Kondisi rumah: Berbahan dasar apakah dinding rumah yang Anda dan keluarga tempati? a. tembok b. ½ tembok c. bilik/papan/ kayu Jenis lantai rumah yang Anda dan keluarga tempati? a. ubin/keramik b. semen/pelur/kayu c.tanah Jenis atap dari rumah yang Anda dan keluarga tempati ? a. beton/genteng b. asbes/seng/kayu c.ijuk/daun/jerami/lainnya Apakah Anda memiliki WC pribadi di rumah ? a. ya, ada b. tidak ada, menumpang WC tetangga c.tidak ada, WC umum Apakah terdapat ventilasi udara dan jendela di rumah Anda? a. ada, terbuka b. ada, tertutup c. Tidak ada 2. Sumber air minum Berasal darimanakah air yang Anda gunakan untuk minum ? a. PAM/ledeng/sumur terlindung b. sumur tak terlindung/mata air tak terlindung c. air sungai/ air hujan/lainnya 3. Sumber air mandi Berasal darimanakah air yang Anda gunakan untuk minum ? a. PAM/ledeng/sumur terlindung/mata air terlindung b. sumur tak terlindung/mata air tak terlindung c. air sungai/ air hujan/lainnya 4.. Sarana pembuangan sampah dan air limbah Jika Anda ingin membuang sampah, kemanakah Anda biasanya membuang sampah? a. Tempat sampah tertutup/kantong plastik/TPS b. Tempat sampah terbuka c. Pekarangan/ sungai/jalanan/lainnya Kemanakah jalur air limbah dari rumah Anda dibuang? a. selokan/got tertutup/saluran air b. saluran air/pembuangan/got terbuka c. pekarangan/ sungai/ lainnya D. POLA ASUH MAKAN Ceklis sesuai jawaban responden No Pertanyaan Tidak pernah/ tidak D1 Ibu memberikan kolostrum kepada anak Anda selama beberapa hari setelah melahirkan Jawaban Kadang Skor Sering/Ya 74 D2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9 D10 D11 D12 D13 D14 D15 Ibu memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan kepada anak Ibu memberikan madu/ the/ pisang/ sejenisnya pada bayi tak lama setelah usia 6 bulan Ibu memberikan MP-ASI pada anak setelah usia 6 bulan Ibu memberikan ASI pada anak sampai usia 2 tahun Anak makan 3 kali sehari Ibu memberikan buah setiap hari kepada anak Ibu memberikan sayur setiap hari kepada anak Anak telat/ tidak teratur makan Konsumsi protein hewani (telur/ ikan/ unggas/ daging) anak Konsumsi protein nabati (tempe/ tahu/ oncom/ kacang) anak Ibu menyediakan menu makanan lengkap: nasi, lauk pauk (hewani dan nabati), sayur, dan buah Anak mengonsumsi nasi dan sayur saja, atau nasi dan lauk saja Ibu menyuapi anak yang sedang tidak nafsu makan Ibu membujuk anak bila sedang tidak mau makan E. POLA ASUH KESEHATAN Ceklis sesuai jawaban responden No Pertanyaan Hampir tidak pernah/ tidak E1 E2 E3 E4 E5 Ibu mengajak anak ke Posyandu tiap bulan Anak Anda memiliki KMS/ Buku KIA yang berisi penuh Anak Anda menerima kapsul vitamin A Anak Anda menerima imunisasi lengkap mencakup : (cek dengan data di KMS/ Buku KIA) a. BCG b. DPT 1 c. DPT 2 d. DPT 3 e. Polio f. Campak g. Hepatitis (1-2 tahun) : Ibu membiasakan cuci tangan sebelum memberi makan anak (2-5 tahun): Ibu membiasakan anak Jawaban Kadang Skor Sering/Ya 75 No Pertanyaan Hampir tidak pernah/ tidak E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 Jawaban Kadang Skor Sering/Ya mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan (1-2 tahun) : Ibu membiasakan cuci tangan dengan sabun setelah membersihkan BAB (buang air besar) anak (2-5 tahun): Ibu membiasakan anak mencuci tangan dengan sabun setelah BAB Ibu mencuci bersih mainan yang sering dipegang oleh anak Ibu memeriksa dan menggunting kuku anak seminggu sekali Ibu membolehkan anak bermain di lantai kotor/ tanah Ibu mencuci rambut/ keramas anak minimal 2 kali seminggu Ibu memeriksa kebersihan telinga anak Ibu menyediakan sandal/ alas kaki untuk digunakan anak ketika keluar rumah Ibu mengingatkan/ menyuruh anak memakai alas kaki ketika keluar rumah Ibu mengajak anak melakukan aktivitas fisik seminggu sekali F. MORBIDITAS Masalah kesehatan Penyakit yang pernah diderita 1 bulan terakhir Penyakit yang sedang diderita Jenis penyakit/keluhan/alergi ISPA Diare Campak Demam Cacar ISPA Diare Campak Demam Cacar *) Modifikasi dari kuesioner Pramuditya 2010 Frekuensi sakit Lama sakit 76 Lampiran 2 Kuesioner recall konsumsi pangan KONSUMSI PANGAN BALITA Nama responden : Nama balita : Jenis kelamin balita : L/P Umur balita : Berat badan balita : Tinggi badan balita : Pola konsumsi makan secara kuantitatif (Recall 2 x 24 jam) Hari ke- Waktu makan Pagi Selingan 1 Siang Selingan 2 Malam Menu makanan Bahan makanan Kode pangan URT Gram Keterangan 77 Lampiran 3 Hasil uji statistik hubungan antar variabel No 1 2 3 Variabel yang dihubungkan Pola asuh makan dengan status gizi Pola asuh hidup sehat dengan status gizi Tingkat morbiditas dengan status gizi Nilai r (Spearman) 0,042 0,290 Nilai Sig. (2 tailed) 0,806 0,086 -0,078 0,653 Lampiran 4 Hasil uji statistik (uji beda Paired Samples T-Test) No 1 2 3 4 Variabel yang diuji beda Tingkat kecukupan energi (TKE) awal dan akhir intervensi Tingkat kecukupan protein (TKP) awal dan akhir intervensi Rata-rata morbiditas awal dan akhir intervensi Rata-rata z-skor BB/U awal dan akhir intervensi Keterangan: *Significant at the p<0,05 **Significant at the p<0,01 Sig. (2 tailed) 0,000** 0,000** 0,639 0,000**