Morbiditas dan Status Gizi Balita Penerima

advertisement
MORBIDITAS DAN STATUS GIZI BALITA PENERIMA MAKANAN
TAMBAHAN BISKUIT YANG DISUBSTITUSI TEPUNG IKAN LELE
DUMBO (Clarias gariepinus) DI KECAMATAN SUKALARANG
DAN CIBADAK, KABUPATEN SUKABUMI
MAYANG GALIH PUTRI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ABSTRACT
MAYANG GALIH PUTRI. Morbidity and Nutritional Status of Under Five Children
Receiving Supplementary Feeding with Biscuit Substituted with Catfish Flour in
Sukalarang and Cibadak Sub-district, District of Sukabumi. Under the guidance of
Sri Anna Marliyati.
Protein-Energy Malnutrition (PEM) among under five children is a nutrition
problem in Indonesia. The purpose of this research was to study morbidity and
nutritional status of under-five children before and after supplementary feeding
with biscuit substituted with catfish flour in Sukalarang and Cibadak sub-district,
district of Sukabumi. The samples of the study were children within the age range
12-60 months. A quasy experimental study design was implemented. Primary
and secondary data were colected in the study. Data was analyzed using
Microsoft Exel 2007 for windows and Statistical Program for Social Science
(SPSS) 16.0. Primary data includes the characteristics of the sample’s families
(families size, parental education, parental employment, and household income);
the characteristics of children under-five (age, sex, weight, height, energy
consumption, and protein consumption); the characteristic of environment,
morbidity, nutritional status, and parenting (feeding and health care pattern).
Weight for age (W/A), height for age (H/A) and weight for height (W/H) index
were used to measure children under-five nutritional status. The result showed
that supplementary feeding with biscuit substituted with catfish flour may
increased nutritional status. After intervention, 52,8% children under five were
normal (W/A). Based on analiysis showed that there were no corellation between
feeding care pattern with nutritional status (r=0,042, p>0,05), and health care
pattern with nutritional status (r=0,290, p>0,05). Many factors influenced
nutritional status, such as consumption and infection deseases. Samples T Test
analysis showed that was a difference on nutritional status (W/A) between after
and before intervention (p<0,05). There was no difference of morbidity between
after and before intervention (p>0,05).
Keywords: Protein-Enery Malnutrition, supplementary feeding, nutritional status,
morbidity, biscuit
RINGKASAN
MAYANG GALIH PUTRI. Morbiditas dan Status Gizi Balita Penerima Makanan
Tambahan Biskuit Yang Disubstitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias
gariepinus) di Kecamatan Sukalarang dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi.
Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI.
Masalah gizi kurang merupakan masalah multidimensi yang dipengaruhi
oleh berbagai faktor baik langsung maupun tidak langsung. Gizi kurang terjadi
karena defisiensi atau ketidakseimbangan energi (zat gizi). Gizi kurang dapat
menurunkan produktivitas kerja sehingga pendapatan menjadi rendah, miskin,
dan pangan tidak tersedia cukup. Selain itu gizi kurang mengakibatkan daya
tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah sehingga rentan terserang
penyakit (Suhardjo 2003). Balita merupakan kelompok usia yang rawan
terserang penyakit dan kekurangan zat gizi. Kurang Energi Protein (KEP) pada
bayi dan anak-anak sering dijumpai di negara - negara yang sedang
berkembang. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa biskuit yang
disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu
alternatif yang dapat dilakukan dalam upaya perbaikan gizi balita. Biskuit yang
disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) ini mengandung protein
tinggi sehingga dengan adanya pemberian biskuit tersebut diharapkan dapat
menambah asupan energi dan protein pada balita KEP.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat morbiditas dan
status gizi balita sebelum dan setelah intervensi Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) di
Kecamatan Sukalarang dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Adapun tujuan
khusus penelitian ini yaitu: (1) Mengetahui karakteristik sosial-ekonomi keluarga
balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus); (2) Mengetahui karakteristik kondisi lingkungan daerah tempat
tinggal balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus); (3) Mengetahui konsumsi pangan balita penerima PMT
biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus); (4)
Mengetahui pola asuh ibu (pola asuh makan dan kesehatan) dan tingkat
kepatuhan sasaran penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele
dumbo (Clarias gariepinus) terhadap pemberian makanan tambahan; (5)
Menganalisis hubungan antara pola pengasuhan ibu dengan status gizi balita
penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus); (6) Menganalisis hubungan antara tingkat morbiditas dengan status
gizi balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus); (7) Mengkaji perubahan tingkat morbiditas balita penerima
PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus); (8)
Mengkaji perubahan status gizi balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi
tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).
Desain penelitian ini menggunakan desain quasy experimental. Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan Maret – Juli 2011 yang dilakukan di dua kecamatan
yaitu, kecamatan Sukalarang dan kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi.
Penentuan puskesmas Sukalarang (kecamatan Sukalarang) dan puskesmas
Sekarwangi (kecamatan Cibadak) sebagai lokasi penelitian dilakukan secara
purposive berdasarkan pertimbangan bahwa kedua puskesmas tersebut
termasuk puskesmas yang diberi program PMT oleh pemerintah setempat.
Contoh dalam penelitian berjumlah 36 balita, dengan rincian 15 balita
(kecamatan Sukalarang) dan 22 balita (kecamatan Cibadak).
Lebih dari separuh jumlah contoh (75%) adalah balita perempuan.
Sebagian besar usia contoh termasuk dalam kategori 12 - 23 bulan (55,6%).
Berdasarkan jenjang pendidikan formal, sebagian besar orang tua contoh
berpendidikan SD atau sederajat (47,2% ayah dan 52,8% ibu). Sebagian besar
ayah contoh bekerja sebagai buruh non tani (41,7%). Sebagian besar ibu contoh
(86,1%) adalah tidak bekerja atau hanya berperan sebagai ibu rumah tangga.
Lebih dari separuh keluarga contoh tergolong dalam keluarga sedang yang terdiri
dari 5-7 orang dengan jumlah persentase sebesar 44,4 %. Sebagian besar
(80,6%) pendapatan keluarga contoh berada pada kisaran Rp. 66.680 – Rp.
260.115 perkapita/bulan. Berdasarkan garis kemiskinan yang telah ditetapkan
oleh BPS Propinsi Jawa Barat, diketahui sebanyak 64% keluarga contoh
termasuk dalam kategori miskin, yaitu pendapatan dibawah Rp. 191.985
perkapita/bulan.
Sebagian besar kondisi lingkungan tempat tinggal contoh berada pada
kategori sedang (52,8%). Dengan gambaran sebanyak 16,7% responden tidak
memiliki WC sendiri di dalam rumah sehingga menumpang di WC tetangga.
Lebih dari 50% responden (88,9%) mendapatkan air minum dari sumur tak
terlindung/ mata air tak terlindung. Kemudian sumur tak terlindung/mata air tak
terlindung juga merupakan sumber air untuk mandi dengan persentase sebesar
(94,4%).
Rata-rata konsumsi energi dan protein contoh sebelum intervensi
berturut-turut sebesar 972 ± 175 Kal dan 24 ± 7 gram. Setelah dilakukan
intervensi biskuit, rata-rata konsumsi energi dan protein contoh mengalami
peningkatan menjadi 1184 ± 131 Kal (energi) dan 34 ± 6 gram (protein).
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Paired Samples T Test,
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata Tingkat Kecukupan Energi
(TKE) dan Tingkat Kecukupan Protein (TKP) antara sebelum dan setelah
intervensi, hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar (p< 0,05).
Sebanyak 52,8% responden memiliki pola asuh makan dengan kategori
sedang. Lebih dari separuh responden (72,2%) menerapkan pola asuh hidup
sehat kategori sedang untuk anak balitanya. Berdasarkan pengamatan tingkat
kepatuhan responden dan balita terhadap pemberian makanan tambahan,
diketahui bahwa sebanyak 58,3% ibu balita (responden) termasuk dalam kategori
patuh.
Hasil uji statistik menggunakan uji korelasi rank spearman menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh makan dengan
status gizi balita (BB/U) (p>0,05 dan r=0,042). Selain pola asuh makan,
berdasarkan uji statistik dengan korelasi rank spearman diketahui juga bahwa
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh hidup sehat dengan
status gizi balita (BB/U) (p>0,05 dan r=0,290). Tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkat morbiditas dengan status gizi balita (p>0,05).
Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji Samples Paired T Test, diketahui
bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) rata-rata morbiditas contoh
antara sebelum dan setelah intervensi. Hasil uji statistik dengan uji Samples
Paired T Test juga menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) ratarata z-skor BB/U (status gizi) contoh antara sebelum dan setelah intervensi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan status gizi setelah dilakukan
intervensi dengan biskuit tinggi protein yang ditunjukkan dengan nilai z-skor yang
bertambah.
Kata kunci: pemberian makanan tambahan, status gizi balita, morbiditas, pola
asuh
MORBIDITAS DAN STATUS GIZI BALITA PENERIMA MAKANAN
TAMBAHAN BISKUIT YANG DISUBSTITUSI TEPUNG IKAN LELE
DUMBO (Clarias gariepinus) DI KECAMATAN SUKALARANG
DAN CIBADAK, KABUPATEN SUKABUMI
MAYANG GALIH PUTRI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
: Morbiditas
dan
Status
Gizi
Balita
Penerima
Makanan
Tambahan Biskuit Yang Disubstitusi Tepung Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus) di Kecamatan Sukalarang dan Cibadak,
Kabupaten Sukabumi
Nama
: Mayang Galih Putri
NIM
: I14070078
Disetujui
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si.
NIP. 19600205 198903 2 002
Diketahui
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS.
NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kemudahan dan kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Morbiditas dan Status Gizi Balita Penerima Makanan Tambahan Biskuit
Yang Disubstitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Kecamatan
Sukalarang dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi”. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Ayahanda Drs. Kukuh Taufiqul Malik, MM, Ibunda Siti Sarah,
Nenek tersayang Hj. Nani Rohani, Tegar Nuramadhan, Yulinar Khiyarunnisa
serta seluruh keluarga penulis atas kasih sayang, perhatian dan dukungan salam
bentuk materi maupun moral. Selain itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu, memberikan bimbingan, saran arahan, dan dukungan
kepada penulis dengan penuh kesabaran.
2. Leyli Amalia, S.TP, M.Si. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan, saran arahan, dan dukungan kepada penulis.
3. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si. sebagai dosen pemandu seminar dan dosen
penguji yang telah mengevaluasi hasil penelitian penulis dan memberikan
saran dalam penulisan skripsi ini.
4. Tim penelitian payung Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M.Sc, Dr. Ir. Sri Anna
Marliyati, M.Si. dan Leyli Amalia, S.TP, M.Si. yang telah mengijinkan penulis
ikut melakukan penelitian.
5. Sahabat “Prima”: Siti Hajar (ceu-ceu), Nesyi Febi (ayuk/emak), Devi Nur
(adhe), Devi Sandy (teteh), dan sahabat Luminaire (GM’44) atas segala
keceriaan, pengalaman dan persahabatan yang tidak terlupakan.
6. Semua sahabat “Cendrawasi“ terutama “Kamar geDe” (Nono chan/ Eno dan
Buret/ Rita) atas kasih sayang, dukungan dan semangat yang diberikan.
7. Ibu Ahli Gizi Puskesmas Sekarwangi (Bu Iis), Ahli Gizi Puskesmas
Sukalarang (Bu Neneng), Bu Lilis, Bu Ati, Bu Damaris, dan ibu-ibu kader
lainnya yang telah membantu penulis dalam proses pengambilan data.
8. Teman seperjuangan penelitian payung “PMT Biskuit yang Disubstitusi
Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarian gariepinus) di kabupaten Sukabumi tahun
2011”, Mbak Nana, Mbak Widya, dan Mas Dani.
9. Teman-teman enumerator atas segala motivasi, semangat, dan bantuannya
dalam pengambilan data di Sukabumi.
10. Keluarga besar Gizi Masyarakat: Gizi Masyarakat angkatan ’44, ’45, ’46, para
pengajar, staf TU atas segala bantuannya.
11. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, terimakasih
atas semua dukungan, bantuan dan doanya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis juga
berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua.
Bogor, November 2011
Mayang Galih Putri
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Kuningan,Jawa Barat pada tanggal 3 November 1989.
Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Drs. Kukuh
Taufiqul Malik, MM dan Ibu Siti Sarah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar
di SD Negeri 5 Kuningan pada tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan
pendidikan ke SMP Negeri 1 Kuningan dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan
selanjutnya ditempuh di SMA Negeri 1 Kuningan dan lulus pada tahun 2007.
Pada bulan Juli tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI IPB). Kemudian pada bulan Agustus
2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama penulis
mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif di organisasi mahasiswa daerah
(OMDA) Himpunan Mahasiswa Arya Kamuning (HIMARIKA), penulis pun
mengikuti
organisasi
kemahasiswaan
Himpunan
Mahasiswa
Ilmu
Gizi
(HIMAGIZI) di Club Peduli Pangan dan Gizi. Pada tahun 2009 penulis juga aktif
di organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekologi Manusia
(FEMA) menjadi staf divisi Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa dan
Kewirausahaan (PSDMK). Pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2010, penulis
melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Cisarua, Kabupaten
Sukabumi. Selain itu, penulis juga melaksanakan kegiatan Internship Dietetic (ID)
di RS. Ciawi, Bogor pada bulan April-Mei 2011. Penulis juga pernah menjadi
asisten praktikum mata kuliah Dietetik 1 dan 2 pada tahun 2011. Pada tahun
2011 juga penulis menyelesaikan tugas akhirnya dengan judul penelitian
“Morbiditas dan Status Gizi Balita Penerima Makanan Tambahan Biskuit Yang
Disubstitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Kecamatan
Sukalarang dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi”.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... vi
PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
Latar Belakang ................................................................................................. 1
Tujuan .............................................................................................................. 3
Hipotesis .......................................................................................................... 4
Kegunaan Penelitian ........................................................................................ 5
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6
Balita ................................................................................................................ 6
Masalah Gizi Makro Kurang Energi Protein (KEP) ........................................... 6
Status Gizi Balita .............................................................................................. 9
Pola Asuh ...................................................................................................... 12
Karakteristik Keluarga .................................................................................... 13
Konsumsi Pangan .......................................................................................... 15
Kebiasaan Makan .......................................................................................... 16
Kesehatan Lingkungan .................................................................................. 17
Program Pemberian Makanan Tambahan ...................................................... 18
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus sp) ........................................................ 18
Biskuit Tinggi Protein ..................................................................................... 19
KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................. 20
METODE PENELITIAN ..................................................................................... 23
Desain, Waktu dan Tempat ............................................................................ 23
Cara Pemilihan Contoh .................................................................................. 23
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................................ 25
Pengolahan dan Analisis Data ....................................................................... 27
Definisi Operasional ....................................................................................... 32
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 34
Keadaan Umum Tempat Penelitian ................................................................ 34
Program Pemberian Makanan Tambahan di Kabupaten Sukabumi ............... 35
Karakteristik Balita ......................................................................................... 35
Karakteristik Orang Tua Contoh ..................................................................... 36
Kondisi Lingkungan ........................................................................................ 40
Konsumsi Pangan Balita ................................................................................ 43
Pola Asuh ...................................................................................................... 49
Tingkat Kepatuhan Ibu dalam Program PMT .................................................. 56
Morbiditas Balita ............................................................................................ 58
Status Gizi Balita ............................................................................................ 60
Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Status Gizi Balita ....................................... 63
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 65
ii
Kesimpulan .................................................................................................... 65
Saran ............................................................................................................. 66
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 67
LAMPIRAN ........................................................................................................ 71
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Kebutuhan protein bayi dan anak balita (9/kg BB Sehari) ..................... 6
Tabel 2 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram) ......... 19
Tabel 3 Kandungan zat gizi dan energi biskuit komersial per takaran penyajian
(21,8 gram) ........................................................................................ 19
Tabel 4 Jenis dan cara pengumpulan data ...................................................... 26
Tabel 5 Cara pengelompokkan dan pengkategorian variabel........................... 30
Tabel 6 Sebaran balita berdasarkan jenis kelamin dan umur ........................... 36
Tabel 7 Sebaran orang tua contoh berdasarkan umur, pendidikan, dan
pekerjaan ........................................................................................... 36
Tabel 8 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar keluarga ....................... 39
Tabel 9 Sebaran pendapatan keluarga contoh (Rp/kapita) .............................. 39
Tabel 10 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori garis kemiskinan BPS
Propinsi Jawa Barat 2009 .................................................................. 40
Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan kondisi fisik rumah .......................... 41
Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan sumber air ...................................... 42
Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan sarana pembuangan....................... 42
Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan kategori kondisi lingkungan ............ 42
Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata konsumsi energi dan protein .. 44
Tabel 16 Rata-rata konsumsi energi dan protein contoh awal dan akhir intervensi
(konsumsi rumah) .............................................................................. 45
Tabel 17 Rata-rata konsumsi energi dan protein contoh awal dan akhir intervensi
(konsumsi rumah+biskuit PMT).......................................................... 45
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi pada
awal dan akhir intervensi ................................................................... 46
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan protein pada
awal dan akhir intervensi ................................................................... 47
Tabel 20 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein contoh sebelum dan
saat intervensi (dengan konsumsi biskuit PMT) ................................. 48
Tabel 21 Riwayat pemberian ASI ....................................................................... 49
Tabel 22 Cara memberikan makanan ................................................................ 51
Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan kategori pola asuh makan............... 51
Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat .......................... 52
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat .......................... 54
iv
Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat .......................... 55
Tabel 27 Sebaran responden berdasarkan kategori pola asuh hidup sehat ....... 56
Tabel 28 Jumlah keping biskuit tinggi protein yang dikonsumsi perhari ............. 57
Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit, frekuensi sakit, dan lama
sakit dalam tiga bulan terakhir ........................................................... 58
Tabel 30 Rata-rata morbiditas contoh pada awal dan akhir intervensi ............... 60
Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan indikator status gizi (BB/U, TB/U, dan
BB/TB) pada awal dan akhir intervensi .............................................. 61
Tabel 32 Rata-rata z-skor BB/U (status gizi) contoh pada awal dan akhir
intervensi ........................................................................................... 62
Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh makan dan status gizi (BB/U)
.......................................................................................................... 63
Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat dan status gizi ... 64
Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan tingkat morbiditas dan status gizi .......... 64
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian morbiditas dan status gizi balita
penerima makanan tambahan biskuit yang disubstitusi tepung ikan
lele dumbo (Clarias gariepinus) di kecamatan Sukalarang dan
Cibadak, kabupaten Sukabumi ........................................................ 22
Gambar 2 Kerangka pemilihan contoh .............................................................. 25
Gambar 3 Sebaran ibu berdasarkan tingkat kepatuhan dalam program PMT ... 56
Gambar 4 Rata-rata jumlah biskuit tinggi protein yang dikonsumsi oleh contoh
selama program PMT dilaksanakan (88 HMA) ................................ 57
Gambar 5 Rata-rata frekuensi sakit yang diderita contoh sebelum intervensi
bulan 0 dan selama intervensi (tiga bulan)....................................... 59
Gambar 6 Rata-rata lama kejadian sakit (morbiditas) yang diderita contoh selama
tiga bulan intervensi ......................................................................... 60
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Kuesioner penelitian ........................................................................ 72
Lampiran 2 Kuesioner recall konsumsi pangan .................................................. 76
Lampiran 3 Hasil uji statistik hubungan antar variabel ...................................... 77
Lampiran 4 Hasil uji statistik (uji beda Paired Samples T-Test) .......................... 77
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah gizi kurang merupakan masalah multidimensi yang dipengaruhi
oleh berbagai faktor baik langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor
penyebab masalah gizi ini bersumber atau berakar dari terjadinya krisis ekonomi,
politik dan sosial atau termasuk juga kejadian bencana alam. Gizi kurang terjadi
karena defisiensi atau ketidakseimbangan energi (zat gizi). Gizi kurang dapat
menurunkan produktivitas kerja sehingga pendapatan menjadi rendah, miskin,
dan pangan tidak tersedia cukup. Selain itu gizi kurang mengakibatkan daya
tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah sehingga rentan terserang
penyakit (Suhardjo 2003).
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas merupakan salah satu
faktor untuk meningkatkan pembangunan di suatu wilayah. Pembangunan akan
berjalan baik apabila didukung oleh masyarakat yang berkualitas. Berkaitan
dengan hal tersebut, untuk menciptakan SDM yang berkualitas, banyak faktor
yang harus diperhatikan, antara lain faktor pangan (zat gizi), kesehatan,
pendidikan, informasi, teknologi, dan jasa pelayanan lainnya seperti jasa
pelayanan kesehatan. Dari sekian banyak faktor tersebut, zat gizi memegang
peranan yang paling penting. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM,
khususnya generasi penerus bangsa (anak-anak). Permasalahan gizi utama di
Indonesia difokuskan pada 4 masalah, yaitu Kurang Energi Protein (KEP),
Kurang Zat Besi (anemia), Kurang Vitamin A (KVA), dan Gangguan Akibat
Kekurangan Yodium (GAKY) (Khomsan et al. 2009a).
Balita merupakan kelompok usia yang rawan terserang penyakit dan
kekurangan zat gizi. Kekurangan gizi pada usia balita akan berdampak negatif
bagi pertumbuhan balita tersebut karena akan mengakibatkan keterlambatan
pertumbuhan pada balita. Anak atau balita yang kekurangan makanan bergizi
akan tertinggal pertumbuhan fisik, mental dan intelektualnya. Gangguan
pertumbuhan ini selain menyebabkan tingginya angka kematian anak, juga
menyebabkan berkurangnya potensi belajar dan daya tahan tubuh terhadap
serangan penyakit. Anak yang menderita kekurangan gizi juga cenderung lebih
mudah menderita penyakit kronis dikemudian hari. Kurang Energi Protein (KEP)
pada bayi dan anak-anak sering dijumpai di negara - negara yang sedang
berkembang. Diare dan penyakit infeksi merupakan salah satu faktor yang
2
memegang peranan penting dalam menyebabkan gizi kurang pada balita selain
faktor pemberian air susu ibu (ASI) (Suhardjo 2003).
Menurut Soekirman (2000), KEP pada balita sangat berbeda sifatnya
dengan KEP pada orang dewasa. Faktor penyebab timbulnya gizi kurang pada
balita
lebih
kompleks
dibandingkan
pada
orang
dewasa.
Untuk
menanggulanginya diperlukan upaya penanggulangan yang menggunakan
pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak secara terintegrasi dengan cara
memperbaiki aspek lingkungan hidup anak seperti pola asuh, pendidikan ibu, air
bersih dan kesehatan lingkungan, mutu serta pelayanan kesehatan. Selain itu,
partisipasi aktif dari orang tua dan masyarakat setempat juga penting dalam
pencegahan dan penanggulangan masalah gizi kurang pada balita.
Periode kritis anak berada pada lima tahun pertama setelah kelahiran.
Jika pertumbuhan dan perkembangan anak pada periode ini optimal, maka anak
tersebut akan tumbuh menjadi seorang manusia yang berkualitas. Oleh karena
itu, target utama posyandu adalah balita, ditambah wanita hamil dan menyusui
(Khomsan et al. 2009a).
Menurut Adi (2010), untuk menanggulangi masalah gizi kurang pada
balita perlu adanya program peningkatan kesehatan masyarakat, pendidikan
(penyuluhan), dan perbaikan pola konsumsi. Peningkatan kesehatan masyarakat
dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pelayanan kesehatan dan kesehatan
lingkungan. Salah satu program untuk menanggulangi masalah gizi kurang dan
angka kesakitan pada balita yaitu dengan dilakukannya program intervensi
pemberian makanan tambahan (PMT) pada balita yang mengalami KEP.
Pemberian makanan tambahan ini diharapkan dapat membantu mengurangi
prevalensi gizi kurang.
Berdasarkan Riskesdas (2010), diketahui bahwa prevalensi gizi kurang di
propinsi Jawa Barat berdasarkan BB/U sebesar 9,9%. Sukabumi merupakan
salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil
penimbangan bulanan balita di kabupaten Sukabumi tahun 2010, diketahui
prevalensi balita gizi kurang sebesar 8,55%. Prevalensi ini lebih sedikit
dibandingkan prevalensi balita gizi kurang di provinsi Jawa Barat. Masalah gizi
kurang pada balita akan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup balita
tersebut di kemudian hari. Oleh sebab itu, masalah tersebut harus dapat segera
ditanggulangi.
3
Salah satu cara untuk dapat menanggulangi masalah gizi kurang pada
balita KEP yaitu dengan cara memberikan makanan tambahan (PMT).
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa biskuit yang disubstitusi tepung
ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu alternatif yang dapat
dilakukan dalam upaya perbaikan gizi balita. Studi mengenai efikasi pemberian
makanan tambahan tersebut telah dilakukan oleh Adi pada tahun 2010 dengan
hasil yang positif. Sebagai tindak lanjut dari studi tersebut Pemerintah Daerah
Kabupaten Sukabumi memberikan biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele
Dumbo (Clarias gariepinus) sebagai upaya untuk mengurangi prevalensi gizi
kurang dan gizi buruk serta memperbaiki status gizi balita gizi kurang dan gizi
buruk pada tahun 2011 di kabupaten Sukabumi. Biskuit yang disubstitusi tepung
ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) ini mengandung protein tinggi sehingga
dengan adanya pemberian biskuit tersebut diharapkan dapat menambah asupan
energi dan protein pada balita KEP.
Dalam perbaikan pola konsumsi pangan balita, pola asuh anak oleh ibu
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi anak balita.
Ibu sangat berperan penting dalam meningkatkan status gizi anak (balita). Pola
makan anak hampir sepenuhnya tergantung pada kemampuan ibu untuk
mentransfer pengetahuan gizi ke dalam sikap dan kebiasaan makan yang baik.
Tingkat kepatuhan orang tua (pengasuh) dalam memberikan biskuit (PMT) juga
sangat penting terhadap keberhasilan program Pemerintah Daerah kabupaten
Sukabumi dalam upaya memperbaiki status gizi dan tingkat morbiditas balita gizi
kurang di kabupaten Sukabumi.
Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik meneliti
perubahan morbiditas dan status gizi balita pada awal dan akhir intervensi
pemberian makanan tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele
Dumbo (Clarias gariepinus) oleh Pemda Kabupaten Sukabumi pada tahun 2011.
Daerah Sukabumi yang dijadikan lokasi penelitian ini merupakan daerah dataran
tinggi tepatnya yaitu di kecamatan Sukalarang dan kecamatan Cibadak,
kabupaten Sukabumi, provinsi Jawa Barat.
Tujuan
Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji morbiditas dan status
gizi balita pada awal dan akhir intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
4
biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) di
Kecamatan Sukalarang dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi.
Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui karakteristik sosial-ekonomi keluarga balita penerima PMT biskuit
yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).
2. Mengetahui karakteristik kondisi lingkungan daerah tempat tinggal balita
penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus).
3. Mengetahui konsumsi pangan balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi
tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).
4. Mengetahui pola asuh ibu (pola asuh makan dan kesehatan) dan tingkat
kepatuhan sasaran penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele
dumbo (Clarias gariepinus) terhadap pemberian makanan tambahan.
5. Menganalisis hubungan antara pola pengasuhan ibu dengan status gizi balita
penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus).
6. Menganalisis hubungan antara tingkat morbiditas dengan status gizi balita
penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus).
7. Mengkaji perubahan tingkat morbiditas balita penerima PMT biskuit yang
disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).
8. Mengkaji perubahan status gizi balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi
tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara pola pengasuhan ibu dengan status gizi balita.
2. Terdapat hubungan antara tingkat morbiditas dengan status gizi balita.
3. Terdapat perbedaan morbiditas balita antara sebelum dan setelah dilakukan
intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi
tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).
4. Terdapat perbedaan status gizi balita antara sebelum dan setelah dilakukan
intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi
tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).
5
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dapat membantu meningkatkan kesadaran, kepatuhan dan
pemahaman masyarakat khususnya ibu balita terhadap pentingnya memperbaiki
pola makan balita dan memperhatikan asupan zat gizinya agar mencukupi
kebutuhan gizi balita. Disamping itu juga dapat meningkatkan pemahaman
pengasuh (ibu) dalam hal perbaikan pola asuh terhadap anak balita dan juga
memperhatikan aspek kesehatan lingkungan. Partisipasi masyarakat lainnya juga
seperti kader sangat berperan terhadap kelancaran program intervensi
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele
Dumbo (Clarias gariepinus) untuk meningkatkan status gizi balita gizi kurang dan
gizi buruk.
Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah
setempat dalam upaya menanggulangi masalah gizi kurang dan gizi buruk pada
balita di Kabupaten Sukabumi. Dengan adanya penelitian ini diharapkan
pemerintah mengetahui efikasi (pengaruh) dari Pemberian Makanan Tambahan
PMT) biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus)
terhadap perbaikan morbiditas dan status gizi balita gizi kurang di Kabupaten
Sukabumi.
TINJAUAN PUSTAKA
Balita
Usia balita adalah periode penting dalam proses tumbuh kembang anak
yang merupakan pertumbuhan dasar anak. Pada usia balita, perkembangan
kemampuan berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosi, dan inteligensi
anak
berjalan
sangat
cepat.
Hal
tersebut
merupakan
landasan
bagi
perkembangan anak berikutnya. Balita termasuk ke dalam kelompok usia yang
berisiko tinggi terhadap penyakit. Kekurangan ataupun kelebihan zat gizi pada
balita dapat mempengaruhi status gizi dan status kesehatannya. Pemenuhan
kebutuhan zat gizi pada balita memang sangat penting untuk menunjang proses
tumbuh kembang (Marendra & Febry 2008). Kebutuhan protein bayi dan anak
balita disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kebutuhan protein bayi dan anak balita (9/kg BB Sehari)
Bayi: (Bulan)
<3
g/hari
2,40
BALITA (Tahun)
1
2
3-6
1,85
3
6-9
1,62
4
9-11
1,44
5
6
Sumber: Sediaoetama 2006
g/hari
1,27
1,19
1,12
1,06
1,01
0,98
Masalah Gizi Makro Kurang Energi Protein (KEP)
KEP merupakan salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makan
yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan
kesehatan dan infeksi yang berdampak pada penurunan status gizi. Manifestasi
dari KEP dalam diri penderita ditentukan dengan mengukur status gizi anak atau
orang yang menderita KEP. Jenis masalah gizi ini sering dijumpai di negaranegara miskin dan diderita oleh orang dewasa ataupun anak-anak. Saat ini
masalah KEP pada orang dewasa tidak sebesar masa lalu kecuali pada wanita di
daerah-daerah miskin. Namun, hingga tahun 2000 KEP pada anak usia di bawah
lima tahun (balita) masih menjadi masalah yang memprihatinkan (Soekirman
2000).
Menurut almatsier (2006), KEP pada anak-anak akan menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan, rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi,
dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan. Bayi sampai anak berusia di
bawah lima tahun (balita) serta ibu hamil dan menyusui merupakan golongan
yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk KEP. KEP pada balita sangat
7
berbeda sifatnya dengan KEP pada orang dewasa. KEP pada anak balita tidak
mudah dikenali oleh pemerintah atau masyarakat bahkan oleh keluarganya
sekalipun.
Terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak selalu didahului oleh
terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan seperti gizi buruk yang terjadi
pada orang dewasa. Meskipun pangan di pasaran melimpah tetapi mungkin saja
kasus gizi kurang dapat terjadi pada balita. KEP pada anak balita sering disebut
sebagai masalah kelaparan yang “tersembunyi” atau hidden hunger. Faktor
penyebab masalah gizi kurang pada anak balita bersifat lebih komplek
dibandingkan pada orang dewasa, maka diperlukan upaya penanggulangan
yang menggunakan pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak secara
terintegrasi. Tidak hanya memperbaiki aspek makanan tetapi juga harus
memperbaiki lingkungan hidup anak seperti pola pengasuhan, pendidikan ibu, air
bersih dan lingkungan, mutu pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Partisipasi
aktif orang tua dan masyarakat sangat diperlukan untuk pencegahan dan
penanggulangan balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk (Soekirman
2000).
Manifestasi Kurang Energi Protein (KEP) pada anak balita dalam jangka
pendek dan panjang dapat berupa rendahnya berat badan umur (underweight),
atau anak menjadi pendek (stunted) atau kurus (wasted). Untuk mengetahui
status gizi anak balita termasuk normal atau tidak (gizi kurang atau gizi lebih)
perlu dilakukan perbandingan antara ukuran antropometri anak (berat badan
atau tinggi badan) dengan baku internasional. Seorang anak dikatakan
mengalami gizi kurang jika berat badan atau tinggi badannya kurang dari -2
standar deviasi (SD). Anak balita dengan berat atau tingginya kurang dari -3 SD
maka tergolong status gizi buruk (Prosiding Lokakarya Nasional II 2006).
Berdasarkan penyebabnya, terdapat beberapa istilah dalam KEP, antara
lain adalah kwashiorkor dan marasmus dengan gejala dan tanda-tandanya
seperti yang diuraikan sebagai berikut: (Departemen Gizi dan Kesehatan
Masyarakat 2007)
Kwashiorkor (Kekurangan Protein)
Kwashiorkor merupakan salah satu masalah gizi dengan suatu keadaan
kekurangan protein baik secara kualitas maupun kuantitas ataupun keduaduanya yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perbaikan sel yang rusak.
8
Kekurangan protein ini biasanya menyerang anak-anak yang memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Anak yang disapih usia 1-4 tahun
2. Bertempat di daerah tropis atau sub tropis, dimana keadaan ekonomi,
sosial, dan budaya merupakan kombinasi faktor yang dapat menimbulkan
kekurangan protein pada anak-anak
3. Anak-anak
yang
sedang
dirawat
inap
karena
pembedahan
atu
hipermetabolik
Marasmus
Marasmus merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan protein
dan energi yang kronis. Berat badan yang sangat rendah merupakan
karakteristik dari marasmus. Berikut adalah gejala atau tanda-tanda marasmus:
1. Kurus kering
2. Tampak hanya tulang dan kulit
3. Otot dan lemak bawah kulit atropi (mengecil)
4. Wajah seperti tua
5. Berkerut dan keriput
6. Layu dan kering
7. Umumnya terjadi diare
Marasmus umumnya terjadi karena beberapa faktor di bawah ini:

Masalah sosial yang kurang menguntungkan

Kemiskinan

Infeksi

Mikroorganisme pathogen penyebab diare

Kecepatan pertumbuhan yang melambat

Tidak ada dermatitis atau depigmentasi

Tidak ada edema

Tumbuh kerdil serta mental dan emosi terganggu

Tidur gelisah, apatis dan merengus

Menarik diri dari lingkungan

Suhu tubuh subnormal karena tidak memiliki lemak subkutan yang
menjaga agar tetap hangat

Aktivitas metabolisme minimal

Jantung melemah
9
Status Gizi Balita
Status gizi merupakan keadaan kesehatan seseorang atau sekelompok
orang yang disebabkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi
makanan. Status gizi seseorang atau sekelompok orang dapat digunakan untuk
mengetahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut kondisi gizinya
baik atau sebaliknya (Nasoetion & Riyadi 1994). Menurut Suhardjo (1989c),
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi adalah berat bayi lahir
rendah, kembar, banyak anak dalam keluarga, jarak kelahiran yang pendek,
penyapihan dini, pemberian makanan tambahan tertentu terlalu dini atau
terlambat, sering terkena infeksi, ibu yang buta huruf diantara ibu yang
berpendidikan, kemiskinan, dan anak-anak yang orang tuanya tidak lengkap.
Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi makanan,
antropometri, biokimia, dan klinis. Berat badan menurut umur (BB/U) dianggap
tidak informatif bila tidak disertai dengan informasi tinggi badan menurut umur
(TB/U). Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan
penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil
pengukuran tinggi dan berat badan yang akurat akan menjadi tidak berarti jika
penentuan umur tidak tepat (Riyadi 2003).
Pemantauan status gizi
balita
BB/U
dan TB/U lebih
tepat
bila
menggunakan baku WHO-NCHS dan dihitung berdasarkan skor simpangan baku
(z-score). Keuntungan penggunaan z-score adalah hasil hitungan telah
dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap
kelompok umur dan indeks antropometri. Penentuan prevalensi dengan cara zscore lebih akurat dibandingkan cara persen terhadap median yang memberi
hasil sangat bervariasi, baik menurut kelompok umur maupun masing-masing
indeks. Nilai keadaan gizi anak dibagi menjadi empat kategori, yaitu baik,
sedang, kurang, dan buruk (Gibson 1993 diacu dalam Khomsan et al. 2009).
Pertumbuhan fisik sering dijadikan indikator untuk mengukur status gizi
baik individu maupun populasi. Anak yang menderita kekurangan gizi akan
berpenampilan lebih pendek dengan berat badan lebih rendah dibandingkan
teman-teman sebayanya yang sehat dan bergizi baik. Laju pertambahan berat
akan lebih banyak terpengaruh pada kondisi kurang gizi dibandingkan tinggi
badan. Oleh sebab itu, penurunan berat badan paling sering digunakan untuk
menapis anak-anak yang mengalami gizi kurang. Jika defisiensi gizi berlangsung
lama dan parah, maka pertumbuhan tinggi badan akan terpengaruh. Selain itu
10
juga proses pendewasaan akan terganggu. Apabila seorang anak mengalami
defisiensi protein (meskipun konsumsi energinya cukup), anak tersebut tetap
akan mengalami pertumbuhan tinggi badan yang terhambat (Khomsan 2002).
Status gizi anak dapat diketahui melalui pengukuran antropometri. Kata
antropometri berasal dari bahasa Latin antropos yang berarti manusia (human
being) (Soekirman 2000). Secara umum antropometri dapat diartikan sebagai
ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh
antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di
bawah kulit (Supariasa et al. 2002).
Status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai
umur (U) secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat
merupakan kombinasi antara ketiganya. Masing-masing indikator memiliki
maknanya sendiri-sendiri. Kombinasi antara BB dan U membentuk indikator BB
menurut U yang disimbolkan dengan “BB/U”,kombinasi antara TB dan U
membentuk indikator TB menurut U yang disimbolkan dengan “TB/U”, dan
kombinasi BB dan TB membentuk indikator BB menurut TB atau disimbolkan
dengan “BB/TB” (Soekirman 2000).
Metode antropometri termasuk pengukuran dimensi fisik dan komposisi
tubuh (WHO 1995). Pengukuran antropometri memiliki keuntungan tambahan
dalam menyediakan informasi mengenai sejarah status gizi pada masa lampau.
Pengukuran ini dapat dilakukan dengan
mudah, cepat, dan menggunakan
peralatan yang sudah distandarisasi (Gibson 2005). Antropometri umumnya
digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan asupan
energi dan protein. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik
dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah cairan dalam tubuh
(Supariasa et al. 2002).
Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat
diukur) karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat
badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh TB. Indikator TB/U
menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan
secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000).
11
Indikator BB/U
Indikator BB/U dapat normal, lebih rendah, atau lebih tinggi setelah
dibandingkan dengan standar WHO. Status gizi tergolong baik jika BB/U normal,
BB/U rendah dapat diartikan status gizi tersebut tergolong gizi kurang atau buruk.
Sedangkan BB/U tinggi digolongkan sebagai status gizi lebih. Baik status gizi
kurang maupun lebih, kedua-duanya memiliki resiko yang tidak baik bagi
kesehatan. Status gizi kurang yang diukur dengan indikator BB/U dalam ilmu gizi
digolongkan ke dalam kelompok “berat badan rendah” (BBR) atau underweight.
Menurut tingkat keparahannya, BBR dikelompokkan ke dalam kategori BBR
tingkat ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). BBR tingkat berat
atau sangat berat (berat badan sangat rendah = BBSR) sering disebut sebagai
status gizi buruk. Gizi buruk pada anak-anak di masyarakat dikenal dengan
marasmus dan kwashiorkor (Soekirman 2000).
Indikator TB/U
Indikator TB/U dapat dinyatakan normal, kurang, dan tinggi menurut
standar WHO. Menurut WHO, bagi anak yang memilki TB kurang maka
dikategorikan sebagai stunted (pendek tidak sesuai dengan umur). Tingkat
keparahannya dapat digolongkan ringan, sedang, dan berat atau buruk. Hasil
pengukuran TB/U menggambarkan status gizi masa lalu. Seorang anak yang
tergolong stunted kemungkinan keadaan gizi masa lalu kurang atau tidak baik
(Soekirman 2000).
Berbeda dengan BBR yang diukur dengan BB/U yang mungkin dapat
diperbaiki dalam waktu pendek, baik pada anak ataupun pada dewasa. Stunted
pada orang dewasa tidak lagi dapat dipulihkan. Kemungkinan untuk memulihkan
pada anak balita dengan cara menormalkan pertumbuhan linier (pertumbuhan
berat badan mengikuti pertumbuhan tinggi badan dengan percepatan tertentu)
dan mengejar pertumbuhan potensial (petumbuhan tinggi badan menurut
keturunan genetik dalam lingkungan yang ideal) masih dapat dilakukan.
Sedangkan pada anak usia sekolah sampai remaja kemungkinan menormalkan
pertumbuhan linier masih ada, tetapi kemungkiannya kecil untuk dapat catch-up
growth (Soekirman 2000).
Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan
bertambahnya umur. Pertambahan tinggi atau panjang badan relatif kurang
sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu yang singkat. Pengaruh kurang gizi
terhadap pertumbuhan tinggi badan baru dapat dilihat dalam waktu yang cukup
12
lama. Oleh sebab itu indikator TB/U menggambarkan status gzizi masa lampau
(Soekirman 2000).
Indikator BB/TB
Pengukuran antropometri yang terbaik adalah menggunakan indikator
BB/TB. Ukuran ini menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan
spesifik, Seseorang dengan BB/TB kurang dikategorikan sebagai “kurus” atau
“wasted”. Berat badan behubungan linier dengan tinggi badan. Dalam kondisi
normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan
pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan yang normal akan
proposional dengan tinggi badan. Indikator BB/TB ini diperkenalkan pertama kali
oleh Jellife pada tahun 1966 dan merupakan indikator yang baik untuk menilai
status gizi saat kini, terutama jika data umur yang akurat sulit untuk diperoleh.
Oleh sebab itu, indikator BB/TB merupakan indikator yang independen terhadap
umur (Soekirman 2000).
Pola Asuh
Proses pengasuhan adalah suatu proses interaksi, penyesuaian orang
tua, pemenuhan tanggung jawab orang tua untuk memenuhi kebutuhan anak
serta perlindungan terhadap anak. Pengasuhan memiliki beberapa pola yang
menunjukkan adanya hubungan dengan aspek tertentu, mengikuti kebutuhan
anak akan kebutuhan fisik dan non-fisik, agar anak dapat hidup normal dan
mandiri di masa mendatang. Pola asuh terdiri dari pola asuh makan, pola asuh
kesehatan, dan pola asuh psikososial. Status gizi anak tidak hanya dipengaruhi
oleh sistem sosial budaya, kualitas interaksi ibu anak yang dilihat dari aspek
praktik pengasuhan, praktik pemberian makan serta perawatan kesehatan
(Hastuti 2008).
Pola Asuh Makan
Pola asuh makan merupakan praktik yang diterapkan ibu khususnya yang
berkaitan dengan situasi dan cara makan, sehingga dapat memberikan suasana
yang menyenangkan bagi anak pada situasi makan (Tambingon 1999 dalam
Khairunnisak 2004). Tujuan memberi makan pada anak adalah untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi yang cukup demi kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan,
aktivitas pertumbuhan dan perkembangan.
Keadaan lingkungan dan sikap keluarga merupakan pertimbangan yang
penting dalam pemberian makan kepada anak. Pada masa perkembangan anak,
keluarga dapat membantu anak mencapai sikap normal dan berminat terhadap
13
makanan tanpa adanya suatu kecemasan dan kekhawatiran mengenai
makan.Pola asuh makan yang baik, dalam arti secara kuantitatif maupun
kualitatif yang tepat pada masa balita sangat dianjurkan. Praktik pemberian
makan pada anak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesehatan dan status
gizi. Kemampuan seorang ibu untuk memperkenalkan makanan baru pada anak
memiliki pengaruh yang besar terhadap daya terima dan
kesukaan anak
terhadap suatu makanan (Khomsan et.al 2009b). Peran ibu sangat penting
terhadap masalah kesehatan. Jika anak mulai diberi makanan tambahan, anak
memiliki risiko terkena infeksi dan kekurangan gizi. Jika anak mulai
mengkonsumsi
makanan
pelengkap
dan
atau
makanan
buatan,
maka
penyimpanan makanan dan higienitasnya perlu diperhatikan (Pramuditya 2010).
Pola Asuh Kesehatan
Pengasuhan kesehatan merupakan tugas orang tua anak agar anak
selalu berada pada kondisi terbebas dari penyakit serta dapat beraktivitas rutin
selayaknya individu normal. Usaha preventif yang dilakukan orang tua untuk
membentuk kesehatan anak adalah dengan membiasakan pola hidup sehat,
melalui penanaman kebiasaan hidup bersih dan teratur. Kebisaan tersebut
antara lain: mandi, keramas rambut, menggosok gigi, menggunting kuku,
mencuci tangan sebelum makan, dan sebagainya. Aspek kesehatan juga
mencakup upaya kuratif yang dibelanjakan orang tua untuk memberikan
pengobatan dan perawatan kesehatan anak (Hastuti 2008).
Karakteristik Keluarga
Keluarga sebagai kelompok inti dari masyarakat merupakan lingkungan
alami hasil pertumbuhan dan perkembangan anak, perlu terus diberdayakan
sehingga menjadi lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak.
Menurut Megawangi (2004) keluarga adalah tempat pertama dan utama dimana
seseorang anak dididik dan dibesarkan. Fungsi keluarga utama dalam resolusi
majelis umum PBB adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan
mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar
dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan
kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera.
Umur Orangtua
Orang tua khususnya ibu yang terlalu muda
(<20 tahun) cenderung
kurang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam mengasuh
anak sehingga pada umumnya orang tua tersebut merawat dan mengasuh anak
14
berdasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda
juga lebih cenderung menjadikan ibu lebih memperhatikan kepentingannya
sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kualitas dan kuantitas
pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, pada ibu yang memiliki usia
yang telah matang (dewasa) akan cenderung menerima perannya dengan
sepenuh hati (Hurlock 1998).
Pendidikan Orangtua
Setiap orang memiliki tingkat pendidikan yang berbeda-beda, dari segi
kuantitas maupun kualitas. Tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan
mempengaruhi dan membentuk cara, pola dan kerangka berpikir, persepsi,
pemahaman dan kepribadian. Tingkat pendidikan baik secara langsung maupun
tidak langsung akan mempengaruhi pola konsumsi antar anggota keluarga
(Gunarsa & Gunarsa 1995).
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan
perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang
atau
masyarakat
untuk
menyerap
informasi
dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya
dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan
wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Angka melek huruf merupakan salah
satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Atmarita & Fallah 2004).
Pekerjaan Orangtua
Semakin bertambah luasnya lapangan kerja maka semakin mendorong
banyaknya kaum wanita yang bekerja, terutama di sektor swasta. Di satu sisi, hal
tersebut berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain
berdampak negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian
terhadap pemberian makan anak menjadi kurang, sehingga cenderung dapat
menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk
terhadap tumbuh kembang dan perkembangan otak anak (Mulyani 1990).
Besar Keluarga
Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata
pada masing-masing keluarga. Pada suatu keluarga, terutama keluarga miskin
akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan makanannya jika jumlah
keluarganya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar
mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut,
15
tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar
tersebut (Suhardjo 2003).
Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling
rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga, dan anak yang
paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Hal ini
disebabkan karena semakin bertambah besar jumlah keluarga, maka pangan
untuk setiap anak berkurang dan banyak orangtua tidak menyadari bahwa anakanak yang sangat muda memerlukan pangan yang relatif lebih banyak
dibandingkan anak-anak yang lebih tua (Suhardjo 2003).
Pendapatan Keluarga
Menurut
Suhardjo
(1989a),
dengan
meningkatnya
pendapatan
seseorang, maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan.
Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin
lebih beragamnya konsumsi pangan. Rendahnya pendapatan merupakan
rintangan yang menyebabkan orang-orang tidak mampu membeli pangan dalam
jumlah yang dibutuhkan.
Ada pula keluarga yang sebenarnya mempunyai penghasilan cukup
namun sebagian anaknya berstatus kurang gizi. Pada umumnya tingkat
pendapatan naik, maka jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik,
tetapi mutu makanan tidak selalu membaik (Suhardjo 2003).
Konsumsi Pangan
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh
setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi.
Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang cukup lama akan berakibat
buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada
berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, iklim, dan aktivitas fisik
(Almatsier 2006).
Menurut Notoatmodjo (1993) perilaku terhadap makanan adalah respon
seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku
makan ini meliputi pengetahuan, sikap dan praktek terhadap makanan serta
unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (zat gizi). Praktek atau konsumsi
pangan seseorang tercermin dari pola konsumsi pangannya. Pola konsumsi
pangan adalah susunan beragam pangan yang biasa dikonsumsi oleh keluarga
atau masyarakat dalam hidangannya sehari-hari. Pola konsumsi pangan ini
disusun berdasarkan jenis makanan , frekuensi makan, dan jumlah yang
16
dimakan. Pengukuran praktek konsumsi iini dapat dilakukan dengan cara
wawancara terhadap responden tentang makanan yang dikonsumsi (Suhardjo
1989).
Kebiasaan Makan
Menurut Khumaidi (1989), kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia
atau kelompok manusia dalam memenuhi akan makan yang meliputi sikap,
kepercayaan atau pemilihan makanan. Kebiasaan makan adalah suatu istilah
untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan
makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang,
pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan (misalnya
pantangan), distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap
makanan (misalnya suka atau tidak suka) dan cara pemilihan bahan makanan
yang hendak dimakan. Meningkatnya pendapatan perorangan menyebabkan
terjadinya perubahan dalam susunan makanan, akan tetapi pengeluaran uang
yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi
pangan (Suhardjo 1989b).
Pengelolaan atau penyediaan makanan dalam keluarga pada umumnya
dikoordinir oleh ibu. Ibu yang mempunyai pengetahuan gizi dan berkesadaran
gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan yang sehat sedini mungkin
kepada anaknya (Suhardjo 1989b). Tingkat pengetahuan gizi ibu berhubungan
dengan tingkat pendidikan formal ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal
ibu akan semakin luas wawasan berfikirnya sehingga akan lebih banyak
informasi zat gizi yang dapat diserapnya. Dengan demikian akan semakin baik
ibu tersebut memilih bahan makanan yang bergizi untuk dikonsumsi keluarganya
(Soewondo dan Sadli 1989 dalam Khomsan et al. 2009).
Menurut Suhardjo (1989b), adat kebiasaan yang berhubungan dengan
makanan di antaranya adalah jumlah makanan yang dikonsumsi, waktu makan,
makan bersama, jajan, dan adanya prioritas makanan tertentu terhadap anggota
keluarga. Kepercayaan, kebiasaan makan pantangan dan suka atau tidak suka
terhadap makanan tertentu merupakan unsur budaya yang memiliki hubungan
langsung dengan kebiasaan makan.
Frekuensi pemberian makanan pertama pada anak cukup dua kali sehari,
sebanyak satu atau dua sendok teh penuh. Seiring tumbuh-kembangnya,
kebutuhan bayi akan meningkat. Apabila bayi telah menyukai makanan baru
tersebut, maka ia akan mengonsumsi 3-6 sendok besar penuh setiap kali makan.
17
Menurut Arisman (2007), terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan
dalam memberikan makanan sapihan. Pemberian makanan padat pertama harus
bertekstur sangat halus dan licin agar bayi perlahan-lahan dapat menerima
makanan dengan tekstur yang lebih kasar. Apabila bayi sudah tumbuh gigi, maka
dapat diberikan bubur saring, sedangkan bagi bayi yang telah pandai
mengunyah makanan dapat diberikan makanan cincang. Dalam pemberian
makanan, sebaiknya makanan tidak dicampur agar bayi dapat membedakan
tekstur dan rasa makanan.
Kesehatan Lingkungan
Kesehatan
lingkungan
merupakan
segala
usaha
pengendalian/
pengawasan kondisi lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan
atau dapat menimbulkan kerugian bagi perkembangan fisik, kesehatan, dan daya
tahan hidup manusia.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia baik
berupa benda maupun suatu keadaan yang dapat berpengaruh terhadap
kesehatan
dan
kesejahteraan
seseorang
atau
sekelompok
masyarakat.
Lingkungan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, antara lain: (Widyati dan
Yuliarsih 2002)

Lingkungan Biologis
Lingkungan yang terdiri dari semua makhluk hidup, baik tumbuhtumbuhan, hewan, maupun mikroorganisme yang berada di sekitar
manusia.

Lingkungan Fisik
Lingkungan yang terdiri dari benda-benda tak hidup, tetapi berhubungan
dengan kehidupan atau kelangsungan hidup manusia.

Lingkungan Sosial Budaya
Lingkungan sosial budaya adalah interaksi antara manusia dengan
makhluk
sesamanya.
Lingkungan
sosial
budaya
ini
merupakan
lingkungan yang erat dengan masalah kesehatan dan harus dilihat dari
kehidupan masyarakat secara luas.
Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002), kesehatan ligkungan ,mencakup
aspek yang sangat luas, meliputi hampir semua aspek kehidupan manusia.
Pentingnya lingkungan yang sehat akan berpengaruh terhadap sikap dan
perilaku manusia. Berikut di bawah ini merupakan ruang lingkup kesehatan
lingkungan yang terdiri dari:
18
1. Penyediaan air minum
2. Pengolahan air limbah dan pengendalian pencemaran air
3. Pengolahan sampah padat
4. Pengendalian vektor (perantara penyakit)
5. Pencegahan atau pengendalian pencemaran tanah oleh kotoran manusia
6. Sanitasi makanan dan minuman
7. Pengendalian kebisingan
8. Kesehatan kerja dan pencegahan kecelakaan
9. Perumahan dan pemukiman
10. Pengawasan terhadap tempat-tempat rekreasi umum dan pariwisata.
Program Pemberian Makanan Tambahan
Balita merupakan kelompok usia yang rawan mengalami kekurangan zat
gizi, seperti KEP. Kejadian gizi kurang pada balita tidak selalu didahului dengan
terjadinya bencana kekurangan pangan dan kelaparan sehingga diperlukan
pendekatan dalam upaya penanggulangannya, salah satunya yaitu dengan cara
perbaikan gizi dari aspek makanan (Khomsan 2004).
Program pemberian makanan menyediakan makanan gratis bagi
seseorang yang membutuhkan. Makanan yang diberikan dapat berasal dari
pemerintah dalam negeri, pemerintah luar negeri, ataupun dari organisasi di luar
pemerintahan. Pemberian makanan tambahan ini merupakan salah satu cara
untuk membantu keluarga yang masih kekurangan pangan (miskin). Terdapat
beberapa tipe dalam program pemberian makanan, yaitu: pemberian makanan
pada kelompok “at risk”/ rawan gizi kurang (balita, anak-anak, ibu hamil, dan
menyusui), institutional feeding (pada anak sekolah), dan emergency feeding.
Tujuan adanya pemberian makanan tambahan ini adalah untuk meningkatkan
asupan makanan dan memperbaiki gizi pada ibu-ibu dan anak-anak yang paling
berisiko mengalami gizi kurang (King & Burgess 1995).
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus sp)
Terdapat berbagai jenis ikan yang dibudidayakan di Indonesia, salah
satunya adalah ikan lele. Ikan lele yang banyak dibudidayakan dan dijumpai
dipasaran saat ini adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) (Mahyuddin 2007).
Bentuk tubuh ikan lele memanjang dan tidak bersisik sehingga memiliki kulit yang
licin. Bentuk kepala ikan lele ini pipih dengan tulang kepala yang keras sebagai
batok kepala, sesuai dengan kelas familinya yaitu Clariidae. Di sekitar mulut lele
dumbo terdapat nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam yang
19
terdapat kumis di setiap mandibula. Sirip punggu, sirip ekor, dan sirip dubur
merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip
ganda (Suyanto 1999).
Biskuit Tinggi Protein
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit merupakan sejenis
makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan
lain dengan melalui proses pemanasan dan percetakan. Biskuit diproses dengan
pemanggangan hingga kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah
dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif
lama. Berdasarkan penelitian Mervina (2009), kandungan energi dan protein
biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo berturut-turut sebesar 480 Kal
dan 18,8 gram (bb) per 100 gram biskuit. Agar dapat memenuhi 20% AKG
protein, maka balita harus mengonsumsi biskuit sebanyak 4 keping (50 gram
biskuit). Kandungan gizi per takaran penyajian dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram)
Energi & Zat Gizi
Energi (kkal)
Protein (gram)
Karbohidrat (gram)
Lemak (gram)
Jumlah per sajian
240
9.8
26.9
10.6
Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolate protein kedelai memiliki
kontribusi yang cukup terhadap pemenuhan zat gizi, terutama protein dan energi.
Kontribusi protein yang dapat diberikan sebesar 25.12% dan 39.20% dari AKG
berdasarkan perhitungan AKG yang didasarkan pada kecukupan energi dan
protein pada balita usia 1-3 tahun dan usia 4-6 tahun (WNPG 2004), sehingga
dapat dikatakan biskuit ini menjadi makanan tambahan untuk balita yang tinggi
protein (Mervina 2009).
Jika dibandingkan dengan biskuit untuk bayi yang dijual di pasaran,
biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolate protein kedelai mengandung
protein yang lebih tinggi dibandingkan biskuit komersial yang ada. Kandungan
zat gizi dan energi biskuit komersial per takaran penyajian 2 keping (21,8 gram)
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Kandungan zat gizi dan energi biskuit komersial per takaran penyajian
(21,8 gram)
Energi & Zat Gizi
Energi (kkal)
Protein (gram)
Karbohidrat (gram)
Lemak (gram)
Jumlah per sajian
90
2
17
1,5
KERANGKA PEMIKIRAN
Status gizi masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor yang komplek dan
saling berhubungan satu dengan lainnya. Pada tingkat rumah tangga, status gizi
dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga untuk menyediakan makanan yang
cukup baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, pola asuh anak, pengetahuan
gizi, dan faktor sosio-budaya lainnya. Hal ini menunjukkan adanya hubungan erat
antara konsumsi pangan dengan status gizi dan kesehatan masyarakat.
Banyaknya status gizi kurang mencerminkan masalah yang besar pada
sumberdaya manusia di Indonesia (Khomsan et al. 2009).
Menurut Suhardjo (2003), kekurangan zat gizi dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Salah satunya yaitu konsumsi pangan yang kurang baik dari
segi kuantitas maupun kualitas. Konsumsi pangan dan pola pengasuhan yang
diperoleh seorang anak sangat menentukan status gizi anak tersebut. Semakin
baik konsumsi pangan baik dari segi kuantitas maupun kualitas dan semakin baik
pola pengasuhan yang diterima oleh seorang anak maka status gizinya akan
semakin baik. Pada masa anak-anak, status gizi secara langsung berpengaruh
terhadap imunitas, perkembangan kognitif, pertumbuhan, dan stamina tubuh
(Hardinsyah 2007).
Bayi, anak-anak balita, ibu hamil, dan ibu menyusui merupakan golongan
yang rawan gizi. Pada bayi, protein merupakan bagian penting selama masa
pertumbuhan dan masa perkembangannya. Kekurangan gizi pada masa-masa
ini akan menyebabkan terganggunya pembentukan saraf dan simpul-simpul saraf
sehingga akan mengakibatkan terjadinya retardasi mental yang tidak dapat
diperbaiki kembali. Selain itu juga, kekurangan energi dan protein pada masa
anak-anak menyebabkan pertumbuhan terlambat dan perkembangan anak
terganggu (Suhardjo 2003). Periode kritis anak berada pada lima tahun pertama
setelah kelahiran. Jika pertumbuhan dan perkembangan anak pada periode ini
optimal, maka dia akan tumbuh menjadi manusia yang berkualitas (Khomsan et
al. 2009). Oleh sebab itu, sebaiknya asupan zat gizi pada anak-anak terutama
balita harus diperhatikan agar dapat memenuhi kebutuhan gizi balita.
Dalam rangka menanggulangi masalah kekurangan gizi pada balita yang
mengalami gizi kurang (KEP), perlu adanya upaya untuk meningkatkan dan
memperbaiki status gizinya. Salah satunya yaitu dengan cara melakukan
program intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Pemberian makanan
tambahan ini betujuan untuk memperbaiki konsumsi pangan balita dan
21
meningkatkan status gizi serta mengurangi morbiditas pada balita gizi kurang
(KEP). Jenis PMT yang diberikan adalah biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele
Dumbo (Clarias gariepinus). Biskuit ini mengandung protein tinggi sehingga
dapat menjadi solusi untuk menurunkan prevalensi gizi kurang (KEP) pada balita.
Menurut Adi (2010), selain dipengaruhi oleh pemberian makanan
tambahan berupa biskuit, kecukupan konsumsi gizi balita juga ditentukan oleh
konsumsi pangan harian baik dari segi jumlah dan jenis makanannya. Konsumsi
pangan harian balita secara langsung dipengaruhi oleh ketersediaan pangan
keluarga dan pola asuh, secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh kondisi
sosial ekonomi keluarga. Oleh karena itu, pola pengasuhan memiliki peranan
yang penting terhadap status gizi balita.
Status gizi balita dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu terhadap gizi dan kesehatan. Karakteristik
sosial ekonomi keluarga akan mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan perilaku
gizi ibu. Pola asuh dan kesehatan lingkungan juga secara tidak langsung
mempengaruhi status gizi balita. Namun, dalam penelitian ini variabel-variabel
seperti pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu balita KEP tidak diteliti. Variabelvariabel yang diteliti pada penelitian ini yaitu karakteristik sosial-ekonomi
keluarga balita gizi kurang dan gizi buruk, pola pengasuhan, kondisi lingkungan,
konsumsi pangan balita, tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi biskuit PMT
yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus), morbiditas, dan
status gizi balita. Kerangkan pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.
22
Karakteristik sosial-ekonomi
keluarga:
 Pendidikan
 Pekerjaan
 Pendapatan
 Besarnya keluarga
Pengetahuan, sikap,
dan praktik ibu
contoh
Ketersediaan
Pangan
Kondisi
Lingkungan
Pola Asuh
Tingkat kepatuhan
Konsumsi harian
Konsumsi biskuit
PMT
Konsumsi pangan balita
(Tingkat Kecukupan E dan P)
Status Gizi Balita
Gambar 1
Keterangan:
Morbiditas
(Penyakit dan infeksi)
Kerangka pemikiran penelitian morbiditas dan status gizi balita
penerima makanan tambahan biskuit yang disubstitusi tepung ikan
lele dumbo (Clarias gariepinus) di kecamatan Sukalarang dan
Cibadak, kabupaten Sukabumi
= variabel yang diteliti
= variabel yang tidak diteliti
= hubungan yang diteliti
= hubungan yang tidak diteliti
METODE PENELITIAN
Desain, Waktu dan Tempat
Penelitian mengenai Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang
disubstitusi tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada balita gizi kurang
dan
gizi
buruk
(KEP)
dilakukan
dengan
menggunakan
desain
quasy
experimental. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Juli 2011 yang
dilakukan di dua kecamatan yaitu, kecamatan Sukalarang dan kecamatan
Cibadak, Kabupaten Sukabumi.
Cara Pemilihan Contoh
Penentuan
puskesmas
Sukalarang
dan
puskesmas
Sekarwangi
(kecamatan Cibadak) sebagai lokasi penelitian dilakukan secara purposive
berdasarkan pertimbangan bahwa kedua puskesmas tersebut termasuk
puskesmas yang diberi biskuit sebagai makanan tambahan oleh pemerintah
setempat. Selain itu juga kedua puskesmas tersebut merupakan puskesmas
yang berada di daerah dataran tinggi di kabupaten Sukabumi. Penelitian ini
merupakan bagian dari penelitian payung mengenai program intervensi
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung Ikan Lele
Dumbo (Clarias gariepinus) pada balita gizi kurang dan gizi buruk (KEP) di
beberapa puskesmas di Kabupaten Sukabumi. Terdapat 10 puskesmas dari 10
kecamatan yang dijadikan lokasi penelitian payung ini.
Cara pemilihan lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan data dari
Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi. Pemilihan 10 puskesmas ini didasarkan
pada data jumlah balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk (KEP) di
daerah tersebut. Namun, dalam penelitian payung lokasi penelitian dibagi-bagi
ke dalam beberapa wilayah berdasarkan dataran tinggi, dataran sedang, dan
dataran rendah. Pada penelitian ini hanya mengambil beberapa lokasi yang
berada di dataran tinggi, yaitu kecamatan Sukalarang dan kecamatan Cibadak.
Penarikan contoh juga dilakukan secara purposive dengan kriteria inklusi
sebagai berikut:
1. Balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk (KEP), dicirikan dengan tidak
bertambahnya berat badan selama 3 kali penimbangan
2. Balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk (KEP) yang diberi makanan
tambahan biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias
gariepinus) dan mengonsumsi biskuit tersebut selama 3 bulan berturut-turut
24
3. Balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk (KEP) yang tinggal di daerah
dataran tinggi
4. Ibu dari balita gizi kurang dan gizi buruk (KEP) bersedia mengikuti penelitian
ini selama 3 bulan dan bersedia diwawancarai
Pada penelitian ini, salah jenis pertama ( ) ditetapkan sebesar 5%, power
test sebesar 1-
(80%), dan peningkatan Z-skor (BB/U) setelah intervensi
sebesar � . Rumus untuk menghitung perkiraan besar contoh berdasarkan
perhitungan menggunakan rumus Steel dan Torrie (1991):
�
Keterangan :
n
= besar sampel
= suatu nilai sehingga P( Z > z ) = 1 normal
, Z adalah peubah acak
baku
= suatu nilai sehingga P( Z > z ) = 1- , Z adalah peubah acak normal
baku
�
= 1,2 (perkiraan standar deviasi status gizi (BB/U) berdasarkan
�
= 1 (Peningkatan z-skor (BB/U) yang diharapkan setelah intervensi)
penelitian Pramuditya 2010)
Berdasarkan perhitungan dalam rumus matematis tersebut, dengan nilai
Z1- = 1,96 dan nilai Z1- = 0,842 dapat ditentukan nilai n = 22,61 dibulatkan
menjadi 23 sebagai batas minimal dari besar contoh yang disyaratkan. Data dari
puskesmas Sekarwangi dan Sukalarang, menunjukkan bahwa balita penerima
program PMT berjumlah 37 balita dengan rincian 15 balita dari puskesmas
Sukalarang dan 22 balita dari puskesmas Sekarwangi. Total balita yang
menerima PMT berupa biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus) dari kedua kecamatan tersebut berjumlah 37 balita, tetapi yang
memenuhi kriteria contoh dan berpartisipasi dalam penelitian ini hingga akhir
hanya berjumlah 36 balita. Satu balita mengalami drop out dikarenakan tidak
memenuhi salah satu kriteria inklusi penelitian. Sebanyak 21 balita adalah
penerima PMT biskuit di kecamatan Cibadak dan 15 balita penerima PMT biskuit
di kecamatan Sukalarang (Gambar 2).
25
Kabupaten Sukabumi
purposive
Kecamatan Cibadak
Kecamatan Sukalarang
Penerima Program Pemberian Makanan Tambahan Biskuit
22 balita
15 balita
Memenuhi kriteria sebagai contoh
21 balita
15 balita
36 balita
Gambar 2 Kerangka pemilihan contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner dan
wawancara secara langsung dengan ibu balita yang mengalami gizi kurang dan
gizi buruk (KEP) dan melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan balita
yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk. Data sekunder diperoleh dari
puskesmas setempat dan Dinas Kesehatan kabupaten Sukabumi.
Data primer yang diperoleh meliputi karakteristik contoh dan keluarga
contoh yang terdiri dari identitas contoh (nama, jenis kelamin, umur, urutan
anak), identitas keluarga contoh, data sosial ekonomi keluarga contoh
(pendapatan keluarga contoh, pendidikan, pekerjaan orang tua, jumlah anggota
keluarga, dan pengetahuan gizi dan kesehatan), data tingkat kepatuhan
konsumsi makanan tambahan biskuit, data konsumsi makanan, dan kejadian
sakit (morbiditas). Data-data tersebut diperoleh dari ibu balita (contoh) melalui
wawancara secara langsung menggunakan kuesioner.
Selain itu diambil pula data antropometri balita yang terdiri dari berat
badan (BB) dan tinggi badan (TB). Pengukuran antropometri yang meliputi BB
26
dan TB merupakan data dasar yang diambil sebanyak 2 kali selama penelitian
berlangsung. Data dasar tersebut diambil pada awal penelitian dan akhir
peneltitian (baseline and endline) untuk melihat adanya perbedaan status gizi
balita pada awal intervensi dan akhir intervensi diberikan.
Data sekunder meliputi profil/ gambaran umum wilayah kabupaten
Sukabumi yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, gambaran
umum daerah penelitian yang didapatkan dari kantor kecamatan atau
puskesmas setempat, catatan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi mengenai
data puskesmas di daerah penelitan, data jumlah balita gizi kurang dan gizi
buruk (KEP) di desa yang terkait penelitian, dan data-data dari instansi terkait
yang diperlukan untuk mendukung penelitian. Jenis dan cara pengumpulan data
secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jenis dan cara pengumpulan data
Jenis
data
Data
1
Karakteristik/ identitas
contoh (balita):
 Nama
 Jenis kelamin
 Umur
 Urutan anak, dll
Karakteristik sosial ekonomi
keluarga contoh:
 Pendapatan
 Pendidikan orang
tua
 Pekerjaan orang
tua
 Jumlah anggota
keluarga
Pengukuran antropometri:
 Berat badan
 Tinggi badan
Kondisi Lingkungan
Primer
Wawancara dengan ibu
balita menggunakan
kuesioner
Primer
Wawancara dengan ibu
balita menggunakan
kuesioner
Awal dan akhir
Primer
Penimbangan secara
langsung
Awal dan akhir
(2 kali)
Primer
Awal dan akhir
5
Pola asuh makan dan hidup
sehat
Primer
Wawancara dengan ibu
balita menggunakan
kuesioner
Wawancara dengan ibu
balita menggunakan
kuesioner
6
Konsumsi pangan balita
 Kuantitas
Primer
Metode food recall 2x24
jam
Awal dan akhir
(2 kali)
2
3
4
Cara Pengumpulan Data
Waktu
Pengumpulan
Data
Awal dan akhir
No
Awal dan akhir
27
No
7
Jenis
data
Data
Tingkat kepatuhan
konsumsi makanan
tambahan biskuit:
Primer
Cara Pengumpulan Data
Wawancara dengan ibu
balita dan pencatatan
harian oleh petugas
kesehatan.
Waktu
Pengumpulan
Data
Setiap minggu
selama 3 bulan

8
Jumlah yang
diberikan
 Jumlah yang
dikonsumsi
 Jumlah sisa
 Siapa yang
mengonsumsi
 Alasan tidak
mengonsumsi
Morbiditas
Primer
9
Status gizi
Primer

Dicatat dalam
form isian
Wawancara dengan ibu
balita menggunakan
kuesioner
Pengukuran antropometri
(BB dan TB)
Awal dan akhir
(2 kali)
Awal dan akhir
(2 kali)
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh tersebut selanjutnya diolah dan dianalisis secara
deskriptif sengan menggunakan program SPSS versi 16,0 for Windows.
Pengolahan data meliputi editing, coding, dan entry data yang dilakukan secara
manual dan menggunakan program computer Microsoft Excel. Semua data yang
diperoleh dikumpulkan, dikelompokan kemudian ditabulasikan dan dianalisis
secara statistik analitik dan deskriptif. Analisis deskriptif disajikan dalam bentuk
distribusi frekuensi, persentase, nilai minimum dan maksimum, nilai rata-rata dan
standar deviasi. Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
korelasi Spearman dan uji t dengan menggunakan Paired Samples T Test.
Data konsumsi pangan diperoleh secara kuantitatif. Secara kuantitatif
konsumsi pangan diperoleh dengan metode recall 2 x 24 jam. Recall dilakukan
secara berulang sebanyak 2 kali, yaitu pada saat awal sebelum intervensi dan
saat akhir dilakukan intervensi. Selanjutnya dilakukan perhitungan kandungan
gizi pangan yang dikonsumsi balita. Tingkat konsumsi pangan balita dihitung
setelah kandungan zat gizi pangan yang dikonsumsi telah diketahui. Berikut di
bawah ini rumus untuk menghitung kandungan zat gizi pangan dan tingkat
konsumsi zat gizi.
28
Kandungan Zat Gizi Pangan
KGij =
�
x Gij x
Keterangan:
KGij
= jumlah zat gizi I dari setiap jenis pangan j
Bij
= berat pangan j dalam gram
Gij
= kandungan zat gizi I dari pangan j
BDDj
= persen jumlah pangan j yang dimakan
Tingkat Kecukupan Zat Gizi
TKGi =
x 100%
Keterangan :
TKGi = tingkat kecukupan zat gizi i
Ki
= konsumsi zat gizi i
AKGi = kecukupan zat gizi I yang dianjurkan
Perhitungan tingkat kecukupan zat gizi khusus untuk energi dan protein
memperhitungkan berat badan aktual contoh yang dibandingkan berat badan
anak balita standar yang terdapat pada AKG. Klasifikasi tingkat kecukupan
energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah: (a) defisit
tingkat berat (<70% AKG); (b) defisit tingkat sedang (70-79% AKG); (c) defisit
tingkat ringan (80-89% AKG); (d) normal (90-119% AKG); dan (e) kelebihan
(≥120% AKG).
Tingkat kepatuhan dicatat dalam form pemantauan yang berisi
banyaknya biskuit yang dibagikan kepada balita per minggu, biskuit yang
dikonsumsi oleh balita per hari dan sisa yang tidak dikonsumsi. Data kepatuhan
dicatat oleh petugas kesehatan selama intervensi berlangsung. Tingkat
kepatuhan dihitung dengan dengan cara menjumlahkan semua biskuit yang
dikonsumsi balita selama 88 hari makan anak (HMA) dibagi jumlah biskuit yang
seharusnya dikonsumsi oleh balita selama 88 hari kemudian dikalikan 100%.
Pengelompokkan tingkat kepatuhan dibagi menjadi tiga, yaitu rendah (jika
kepatuhan < 50%), cukup (jika kepatuhan 50-70%), dan tinggi (kepatuhan ≥70%)
(Adi 2010).
Status gizi diukur dengan menggunakan metode antropometri (BB dan
TB) yang didasarkan umur setiap bulan. Pengukuran ini dilakukan sebanyak dua
29
kali, dimulai sebelum intervensi dan setelah intervensi. Hasil dari pengukuran
tersebut disajikan dalam bentuk indeks antropometri (BB/TB, BB/U, dan TB/U)
berupa nilai terstandar (Z skor). Status gizi dikategorikan menurut Z-skor dengan
software WHO Antro 2005. Pengkategorian status gizi anak balita berdasarkan
Z-skor dengan menggunakan baku antropometri WHO (2005) untuk indikator
BB/U, TB/U, dan BB/TB adalah sebagai berikut :
Indikator BB/U

Gizi Buruk
Z-skor < - 3,0

Gizi Kurang
Z-skor ≥ - 3,0 s/d Z-skor < - 2,0

Gizi Baik
Z-skor ≥ - 2,0 s/d Z-skor ≤ 2,0

Gizi Lebih
Z-skor > 2,0
Indikator TB/U

Sangat pendek
Z-skor < - 3,0

Pendek
Z-skor ≥ -3,0 s/d Z-skor < -2,0

Normal
Z-skor ≥ -2,0
Indikator BB/TB

Sangat kurus
Z-skor < - 3,0

Kurus
Z-skor ≥ - 3,0 s/d Z-skor < - 2,0

Normal
Z-skor ≥ - 2,0 s/d Z-skor ≤ 2,0

Gemuk
Z-skor > 2,0
Morbiditas atau angka kesakitan dapat diperoleh dengan wawancara
secara langsung dengan ibu balita. Data morbiditas ini dihitung berdasarkan
kejadian sakit (frekuensi dan lama sakit) yang dialami selama intervensi, sebelum
intervensi, dan setelah intervensi untuk mengetahui apakah ada perbedaan
kejadian sakit antara pada awal dan akhir intervensi. Kemudian data kejadian
sakit tersebut dihitung dengan menjumlahkan frekuensi terjadinya penyakit
infeksi (ISPA, demam, diare, cacar, dan campak) pada data baseline (bulan 0),
bulan ke-1, bulan ke-2, dan bulan ke-3 selama intervensi.
Pola asuh yang diamati dalam penelitian ini adalah pola asuh makan dan
pola asuh hidup sehat. Pola asuh diukur dengan penilaian pola asuh yang
ditentukan oleh pengkategorian dari jawaban responden. Responden yang
menjawab tidak diberi nilai 0, nilai 1 untuk responden yang menjawab kadangkadang, dan nilai 2 bagi responden yang menjawa ya. Selanjutnya dari masingmasing item pertanyaan dibuat ke dalam bentuk tabel sebaran frekuensi yang
terdiri dari jumlah (n) dan persentasenya. Total skor yang diperoleh kemudian
30
dipersentasekan dengan total skor seharusnya dan
hasilnya dikelompokkan
menjadi 3 kategori, yaitu kurang (<60%), sedang (60-80%), dan baik (>80%).
Kondisi lingkungan diukur dengan penilaian kondisi lingkungan yang
ditentukan oleh bobot skor dari setiap jawaban pertanyaan, yaitu 3 (untuk
jawaban yang paling sesuai), 2 (untuk jawaban yang sesuai), dan 1 (untuk
jawaban yang kurang sesuai). Selanjutnya dari masing-masing item pertanyaan
dibuat ke dalam bentuk tabel sebaran frekuensi yang terdiri dari jumlah (n) dan
persentasenya. Total skor yang diperoleh dikelompokkan menjadi 3 kategori,
yaitu kurang (< 60%), sedang (60-80%), dan baik (>80%) (Khomsan 2000). Cara
pengelompokan dan pengkategorian variabel disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Cara pengelompokkan dan pengkategorian variabel
No
1
2
Variabel
Karakteristik/ identitas contoh (balita):
 Nama
 Jenis kelamin

Umur balita (WHO 2006)

Urutan anak, dll
Kategori Pengukuran
1) Laki-laki
2) Perempuan
1)
2)
3)
4)
12-23 bulan
24-35 bulan
36-47 bulan
48-60 bulan
-
Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh:

Umur orang tua (Papalia and Olds
1986)

Pendapatan (BPS 2009)

Pendidikan orang tua
0)
1)
2)
3)
4)
Tidak sekolah
SD/ sederajat
SMP/ sederajat
SMA/ sederajat
PT

Pekerjaan orang tua
0)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Tidak bekerja
Petani
Pedagang
Buruh tani
Buruh non tani
PNS/ ABRI/ Polisi
Jasa (tukang ojeg, tukang
cukur, calo, dsb)
1) Remaja (< 20 tahun)
2) Dewasa awal (20-40
tahun)
3) Dewasa tengah (41-65
tahun)
4) Dewasa lanjut (>65 tahun)
Berdasarkan garis kemiskinan
provinsi Jawa Barat tahun 2009:
1. Miskin (Rp. < 191.985)
2. Tidak miskin (≥191.985)
31
No

Variabel
Kategori Pengukuran
7) Ibu rumah tangga (IRT)
8) Lainnya
Besar keluarga (BKKBN 1998)
1) Keluarga kecil (≤ 4 orang)
2) Keluarga sedang (5-6
orang)
3) Keluarga besar (≥ 7
orang)
3
Pengukuran antropometri:
 Berat badan
 Tinggi badan
4
Kondisi Lingkungan (kondisi rumah, sumber
air minum, sarana pembuangan sampah dan
air limbah)
5
Pola asuh makan
 Riwayat pemberian ASI
 Cara memberikan makan
…..kg
….cm
1) Kurang ( <60%)
2) Sedang ( 60-80%)
3) Baik (>80%)
1) Rendah (<60%)
2) Sedang (60-80%)
3) Baik (>80%)
6
Pola asuh hidup sehat (mandi, sikat gigi, cuci
tangan, keramas, gunting kuku, dan
menggunakan alas kaki)
7
Konsumsi pangan balita
 Recall 2 x 24 jam
8
Tingkat kepatuhan konsumsi makanan
tambahan biskuit
1) Kurang patuh (<50%)
2) Cukup patuh (50-75%)
3) Patuh (≥75%)
9
Morbiditas (Kejadian sakit)
0 = Tidak sakit 1 bulan
terakhir
1 = Sakit 1 bulan terakhir
10
1) Rendah (<60%)
2) Sedang (60-80%)
3) Baik (>80%)
Klasifikasi tingkat kecukupan:
1) Desifit tingkat berat
(<70% AKG)
2) Defisit tingkat sedang (7079% AKG)
3) Defisit tingkat ringan (8089% AKG)
4) Normal/ cukup (90-119%
AKG)
5) Kelebihan (≥120% AKG)

Frekuensi sakit

Dianalisis berdasarkan
rata-rata standar deviasi

Lama sakit

Dianalisis berdasarkan
rata-rata standar deviasi
Status gizi (BB/U)
1) Gizi Buruk (Z-skor < - 3,0)
2) Gizi Kurang (Z-skor ≥ 3,0 s/d Z-skor < - 2,0)
3) Gizi Baik (Z-skor ≥ - 2,0
s/d Z-skor ≤ 2,0)
4) Gizi Lebih (Z-skor > 2,0)
32
No
Variabel
Status gizi (TB/U)
Status gizi (BB/TB)
Kategori Pengukuran
1) Sangat pendek (Z-skor < 3,0)
2) Pendek (Z-skor ≥ - 3,0 s/d
Z-skor < - 2,0)
3) Normal (Z-skor ≥ - 2,0)
1) Sangat kurus (Z-skor < 3,0)
2) Kurus (Z-skor ≥ - 3,0 s/d
Z-skor < - 2,0)
3) Normal (Z-skor ≥ - 2.0 s/d
Z-skor ≤ 2,0)
4) Gemuk (Z-skor > 2,0)
Definisi Operasional
Contoh adalah balita baik berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan berada
dalam rentang usia (12-60 bulan) yang memiliki status gizi kurang dan
gizi buruk berdasarkan BB/U dengan nilai Z-skor <-3,0 atau Z-skor ≥ 3,0 s/d Z-skor < - 2,0 dan diberikan intervensi PMT biskuit yang
disubstitusi tepung ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) selama 88
hari.
Ibu Balita adalah ibu yang memiliki anak balita yang menjadi contoh dalam
penelitian.
Biskuit PMT adalah produk makanan kering (biskuit) yang disubstitusi dengan
menggunakan tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) sehingga
mengandung protein yang tinggi.
Tingkat kepatuhan adalah tingkat kesadaran dan kepatuhan ibu balita dalam
memberikan biskuit PMT pada balita gizi kurang atau gizi buruk
selama 88 hari berturut-turut setiap harinya.
Pola pengasuhan adalah kepedulian orang tua (ibu) dalam memberikan asuhan
dalam memperhatikan asupan konsumsi gizi balita dan kondisi
kesehatan lingkungan sekitar.
Tingkat Pendidikan
adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh
orang tua contoh
Pendapatan Keluarga Contoh adalah pendapatan keluarga contoh dalam satu
bulan, yang dinyatakan dalam Rp/kapita/bulan.
Pendapatan Per Kapita adalah jumlah penerimaan ayah dan ibu setiap bulan
dalam rupiah dibagi dengan banyaknya anggota keluarga.
Konsumsi pangan adalah semua makanan baik makanan harian maupun
makanan tambahan (biskuit PMT) yang dikonsumsi contoh.
33
Status gizi balita adalah kondisi tubuh balita (contoh) yang ditentukan
berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB dengan menggunakan baku
antropometri WHO 2005.
Morbiditas adalah suatu kejadian penyakit infeksi (ISPA, demam, diare, cacar,
dan campak) (frekuensi dan lama sakit) yang pernah diderita oleh
contoh selama penelitian berlangsung.
Kejadian sakit adalah lamanya sakit infeksi yang pernah diderita oleh balita
(contoh) selama penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Tempat Penelitian
Kondisi Geografis
Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu kabupaten yang berada di
wilayah Propinsi Jawa Barat dengan jarak tempuh 96 km dari ibukota Propinsi
Jawa Barat (Bandung) dan 119 km dari ibukota Negara (Jakarta). Secara
geografis wilayah Kabupaten Sukabumi terletak diantara 60 57’ – 70 25’ Lintang
Selatan dan 1040 49’ – 1070 00’ Bujur Timur dan mempunyai luas daerah 4.128
km2 dan 14,39% dari luas Jawa Barat atau 3,01 % dari luas Pulau Jawa. Secara
administratif Kabupaten Sukabumi berbatasan secara langsung dengan wilayah
Kota Sukabumi yang dikelilingi beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten
Sukabumi. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Sukabumi dan Kadudampit di
sebelah utara, kecamatan Cisaat di sebelah barat, Kecamatan Nyalindung di
sebelah selatan, dan Kecamatan Sukaraja di sebelah Timur. Kabupaten
Sukabumi sejak tahun 2006 terdiri dari 47 Kecamatan, 345 desa, 3 kelurahan,
2996 rukun warga dan 11.499 rukun tangga. Wilayah Kabupaten Sukabumi
berada pada ketinggian berkisar antara 0 – 2960 meter, dengan bentuk
topografis wilayah pada umumnya meliputi permukaan yang bergelombang di
daerah selatan dan bergunung di daerah bagian utara dan tengah (BPS 2010).
Kepadatan Penduduk
Berdasarkan hasil Survey Sosial Ekonomi Daerah (SUSEDA) pada akhir
tahun 2007, penduduk kabupaten Sukabumi sebanyak 2.258.253 jiwa. Jumlah
penduduk tersebut terus meningkat hingga pada tahun 2008. Kepadatan
penduduk tersebut meningkat menjadi 2,405.777 jiwa yang terdiri dari 1.205.368
laki-laki dan 1.200.409 perempuan dengan kepadatan penduduk 582,39 orang
per km persegi.
Sarana Kesehatan Masyarakat
Fasilitas kesehatan di Sukabumi meliputi 3 unit rumah sakit, 57 unit
Puskesmas Inpres, 3044 Posyandu, 73 unit Puskesmas Keliling, dan 94 unit
Puskesmas pembantu.
Jumlah puskesmas di Kabupaten Sukabumi sampai dengan akhir tahun
2009 adalah sebanyak 58 unit, dengan rincian jumlah puskesmas perawatan 5
unit dan puskesmas non perawatan sebanyak 53 unit. Salah satu indikator yang
digunakan untuk mengetahui keterjangkauan penduduk terhadap puskesmas
adalah rasio puskesmas per 100.000 penduduk. Rasio puskesmas terhadap
35
100.000 penduduk tahun 2009 adalah 1 : 2,36 artinya setiap 100.000 penduduk
dilayani 2 - 3 puskesmas. Selain itu rasio puskesmas terhadap kecamatan pada
tahun 2009 adalah 1,23 yang artinya setiap 1 kecamatan mempunyai rata-rata 1
puskesmas. Terdapat 11 Kecamatan yang memiliki 2 puskesmas dalam 1
kecamatan
antara
lain
:
Kecamatan
Ciemas,
Surade,
Tegalbuleud,
Palabuhanratu, Nyalindung, Sukaraja, Cisaat, Gunungguruh, Cibadak, Nagrak
dan Cicurug (Dinkes 2010).
Program Pemberian Makanan Tambahan di Kabupaten Sukabumi
Program pemberian makanan tambahan di Kabupaten Sukabumi ini
merupakan program kerjasama antara Institut Pertanian Bogor dengan Dinas
Kesehatan Kabupaten Sukabumi dan home industry PT Saad’s Bakery & Cake
Tanggerang. Program ini berlangsung selama tiga bulan (88 hari), dimulai dari
bulan Maret hingga Juli 2011. Terdapat 10 kecamatan yang menjadi cakupan
program PMT, yaitu kecamatan Sukalarang, Cibadak, Citarik, Nyalindung,
Kadudampit, Pelabuhan Ratu, Warungkiara, Bantargadung, Simpenan, dan
Cikidang. Total balita yang memperoleh makanan tambahan biskuit tinggi protein
berjumlah 180 balita yang tersebar di sepuluh kecamatan di kabupaten
Sukabumi. Biskuit tinggi protein ini diberikan kepada anak dengan status gizi
kurang yang berasal dari keluarga kuang mampu. Harga jual biskuit tinggi protein
tersebut berkisar Rp. 2.800/ bungkus.
Jenis makanan tambahan yang diberikan dalam program intervensi ini
berupa biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo. Biskuit tersebut telah
melalui uji organoleptik terlebih dahulu agar dapat diterima oleh anak balita.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mervina (2009), hasil uji penerimaan
terhadap balita sasaran sebanyak 86,7 % balita menyatakan suka terhadap
biskuit ini dan sekitar 6,7 % balita merasa tidak suka. Berdasarkan hasil uji
penerimaan ini maka dapat disimpulkan bahwa formula biskuit ini dapat diterima
sebagai makanan tambahan untuk anak kecil.
Karakteristik Balita
Jenis Kelamin dan Umur Balita
Usia balita adalah periode penting dalam proses tumbuh kembang anak
yang merupakan pertumbuhan dasar anak. Pada usia balita, perkembangan
kemampuan berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosi, dan inteligensi
anak berjalan sangat cepat. Balita termasuk ke dalam kelompok usia yang
berisiko tinggi terhadap penyakit (Marendra & Febry 2008). Berdasarkan jenis
36
kelamin, balita yang menjadi contoh dalam penelitian ini terdiri laki-laki (25%) dan
perempuan (75%). Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase balita terbesar
berada pada rentang usia 12 – 23 bulan (55,6%). Sisanya masing-masing
sebesar 16,7% berada pada rentang usia 24-35 bulan dan 36-47 bulan.
Persentase terkecil terdapat pada rentang usia 48-60 bulan, yaitu sebesar 11,1
%. Rata-rata usia contoh 27,14 bulan dengan standar deviasi 13,85 bulan. Usia
contoh minimum 12 bulan sedangkan usia maksimum 58 bulan.
Tabel 6 Sebaran balita berdasarkan jenis kelamin dan umur
Karakteristik Anak Balita
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
Umur (bulan)
12 – 23
24 – 35
36 – 47
48 – 60
Total
n
%
9
27
36
25
75
100
20
6
6
4
36
55.6
16.7
16.7
11.1
100
Karakteristik Orang Tua Contoh
Umur Orang Tua
Sebanyak 36 keluarga contoh ikut berpartisipasi dalam penelitian ini.
Umur merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktifitas
seseorang (Khomsan 2007). Umur ayah dan ibu contoh dalam penelitian ini
sebagian besar tergolong dalam golongan dewasa awal berkisar antara 20 – 40
tahun. Rata-rata umur ayah contoh adalah 36 tahun dengan standar deviasi 7,7
tahun, sedangkan rata-rata umur ibu contoh adalah 30,3 tahun dengan standar
deviasi 6,9 tahun. Persentase terbesar umur ayah balita berada pada rentang
usia 20 – 40 tahun yaitu sebesar 63,9 %, begitu pula persentase terbesar pada
ibu balita yaitu sebesar 88,9 % pada usia 20 – 40 tahun (dewasa awal) (Tabel 7).
Tabel 7 Sebaran orang tua contoh berdasarkan umur, pendidikan, dan pekerjaan
Karakteristik Keluarga Contoh
Umur (tahun)
Remaja
Dewasa awal (20-40 tahun)
Dewasa akhir (41-65 tahun)
Dewasa lanjut (>65 tahun)
Total
n
Ayah
%
0
23
13
0
0
63.9
36.1
0
n
1
32
3
0
Ibu
%
2.8
88.9
8.3
0
37
Tabel 7 (Lanjutan)
Karakteristik Keluarga Contoh
Tingkat pendidikan
Tidak sekolah
SD/ sederajat
SMP/ sederajat
SMA/ sederajat
Perguruan Tinggi
Total
Jenis Pekerjaan
Tidak bekerja
Petani
Pedagang
Buruh tani
Buruh non tani
PNS/ABRI/Polisi
Jasa (tukang ojek, tukang cukur, calo,dsb)
Ibu rumah tangga
Lainnya
Total
n
Ayah
%
n
Ibu
%
1
17
12
6
0
36
2.8
47.2
33.3
16.7
0
100
0
19
16
1
0
36
0
52.8
44.4
2.8
0
100
0
1
3
4
15
0
6
0
7
36
0
2.8
8.3
11.1
41.7
0
16.7
0
19.4
100
0
0
1
1
2
0
1
31
0
36
0
0
2.8
2.8
5.6
0
2.8
86.1
0
100
Pendidikan Orang Tua
Pendidikan
merupakan
salah
satu
faktor
paling
penting
yang
berhubungan langsung terhadap pola asuh gizi dalam keluarga, khususnya
pendidikan ibu. Gunarsa dan Gunarsa (1995) menyatakan bahwa tingkat
pendidikan orang tua baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi komunikasi antara orang tua dan anak di dalam lingkungan
keluarga. Berdasarkan jenjang pendidikan formal, sebagian besar orang tua
contoh baik ayah maupun ibu hanya menyelesaikan pendidikan formal sampai
tingkat SD/sederajat. Persentase tingkat pendidikan ayah yang menyelesaikan
pendidikan hanya sampai tingkat SD/sederajat sebanyak 47,2 %, sedangkan ibu
contoh yang hanya menyelesaikan pendidikan formal sampai tingkat SD/
sederajat sebanyak 52,8%. Sisanya ada yang menyelesaikan sampai tingkat
SMP/ sederajat, ayah (33,3%) dan ibu (44,4%) (Tabel 7).
Berdasarkan Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa orang tua contoh baik
ibu maupun ayah memiliki tingkat pendidikan yang rendah, terlihat dari sebagian
besar berada pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan
perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempermudah
seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam
perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam kesehatan dan gizi
(Atmarita & Fallah 2004). Semakin tinggi tingkat pendidikan yang telah dicapai
orang tua diduga akan semakin baik pemahaman kesehatan dan gizi yang
38
diterapkan di dalam keluarga. Pendidikan yang baik akan mempengaruhi sikap
gizi seseorang (Rodiah 2010). Oleh karena itu, diduga orang tua yang tingkat
pendidikannya rendah cenderung akan sulit dalam memahami sikap gizi dan
kesehatan yang baik sehingga butuh penjelasan lebih dalam agar dapat
dipahami oleh orang tua.
Pekerjaan Orang Tua
Sebanyak 41,7 % ayah contoh bekerja sebagai buruh non tani. Sisanya
bekerja sebagai petani (2,8%), butuh tani (11,1%), pedagang (8,3%), jasa
(16,7%), dan lainnya (19,4%) sebagai karyawan kantor. Ibu balita dalam
penelitian ini sebagian besar hanya seorang ibu rumah tangga. Dapat dilihat dari
Tabel 6 di atas bahwa persentase terbesar 86,1 % pekerjaan ibu balita sebagai
ibu rumah tangga. Sisanya ada yang bekerja sebagai buruh tani (2,8%), buruh
non tani (buruh pabrik) (5,6%), pedagang (2,8%), dan jasa (2,8%). Status
pekerjaan ibu mempengaruhi kuantitas dan kualitas waktu ibu dengan anak
(Meirita et al. 2000).
Besar Keluarga
Besar keluarga ditentukan dengan cara mendata jumlah anggota
keluarga. Ukuran besarnya keluarga berkaitan erat dengan kejadian masalah gizi
dan kesehatan. Menurut Tussodiyah (2010), jumlah anggota keluarga memiliki
andil dalam permasalahan gizi. Semakin banyak jumlah anggota keluarga dalam
suatu rumah tangga maka akan semakin rendah alokasi pendapatan dari setiap
anggota keluarga untuk menyediakan makanan dan pelayanan kesehatan jika
dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki jumlah anggota keluarga yang
lebih sedikit. Oleh karena itu, rumah tangga yang memiliki jumlah anggota
keluarga yang lebih banyak cenderung memiliki risiko masalah gizi kurang.
Jumlah anggota keluarga contoh berkisar antara 4-9 orang dengan ratarata 5,56 orang dan standar deviasi 1,46 orang. Pada Tabel 8 di bawah
menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh tergolong dalam keluarga
sedang yang terdiri dari 5-6 orang dengan jumlah persentase sebesar 44,4%.
Persentase terkecil
terdapat pada golongan keluarga besar yang anggota
keluarganya terdiri dari 7 orang atau lebih.
keluarga besar sekitar 25%.
Jumlah persentase golongan
39
Tabel 8 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar keluarga
Karakteristik Keluarga Contoh
Besar keluarga
Kecil (≤ 4 orang)
Sedang (5 – 6 orang)
Besar (≥ 7 orang)
Total
n
%
11
16
9
36
30.6
44.4
25.0
100
Pendapatan Keluarga
Pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas
konsumsi pangan. Pendapatan keluarga merupakan penjumlahan dari masingmasing pendapatan anggota keluarga yang bekerja. Menurut Sajogyo (1994)
dalam Rodiah (2010), rendahnya pendapatan merupakan kendala yang
menyebabkan seseorang tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu
gizi baik dan beragam.
Pendapatan
rata-rata
keluarga
contoh
adalah
Rp.
163.397
perkapita/bulan dengan pendapatan minimal Rp. 40.000 perkapita/bulan dan
pendapatan maksimal sebesar Rp. 437.500 perkapita/bulan. Pendapatan
keluarga contoh dikategorikan menjadi tiga, yaitu kurang dari Rp. 66.680
perkapita/bulan, Rp. 66.680–260.115 perkapita/bulan, dan lebih dari Rp. 260.115
perkapita/bulan. Sebagian besar (80,6%) pendapatan keluarga contoh berada
pada kisaran Rp. 66.680–260.115 perkapita/bulan. Sebanyak 2,8% keluarga
contoh yang memiliki pendapatan kurang dari Rp. 66.680 perkapita/bulan dan
sisanya (16,7%) memiliki pendapatan lebih dari Rp. 260.115 perkapita/bulan
(Tabel 9).
Tabel 9 Sebaran pendapatan keluarga contoh (Rp/kapita)
Pendapatan keluarga contohh
<Rp.66.680
Rp.66.680-Rp.260.115
>Rp.260.115
Total
Standar deviasi
n
1
29
6
36
%
2.8
80.6
16.7
100
12 ± 14.9
Pendapatan seseorang atau keluarga akan menentukan daya beli
terhadap pangan (Harper et al. 1986). Menurut Arinta (2010), tingkat pendapatan
yang tinggi dapat memberikan peluang yang lebih besar bagi anggota keluarga
dalam memilih pangan yang lebih baik berdasarkan jumlah dan jenisnya. Jika
pangan yang tersedia cukup baik dalam segi kuantitas maupun kualitasnya maka
orang cenderung mengonsumsi makanan dengan menu yang bergizi dan
seimbang sesuai dengan PUGS.
40
BPS Propinsi Jawa Barat (2009) menetapkan garis kemiskinan sebesar
Rp.191.985 perkapita/bulan. Berdasarkan garis kemiskinan yang telah ditetapkan
oleh BPS Propinsi Jawa Barat tersebut maka diketahui bahwa sebanyak 64%
keluarga contoh dalam penelitian ini termasuk dalam kategori miskin, yaitu
pendapatan dibawah Rp. 191.985 perkapita/bulan (Tabel 10).
Tabel 10 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori garis kemiskinan BPS
Propinsi Jawa Barat 2009
Pendapatan
Miskin
Tidak Miskin
Total
n
23
13
36
%
64
36
100
Kondisi Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu variabel yang kerap mendapat
perhatian khusus dalam menilai kondisi kesehatan masyarakat. Lingkungan
bersama dengan faktor perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik menentukan
baik buruknya status derajat kesehatan masyarakat (Dinkes 2010). Pentingnya
lingkungan yang sehat akan menentukan sikap dan perilaku manusia. Kondisi
lingkungan yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari kondisi fisik rumah, sumber
air, sarana pembuangan limbah dan sampah.
Kondisi fisik rumah yang diteliti meliputi dinding, lantai, atap, jendela,
jamban, dan kamar mandi. Sebagian besar responden (52,8%) memiliki rumah
dengan dinding tembok. Akan tetapi masih terdapat sebanyak 27,8% responden
memiliki rumah dengan dinding bilik/kayu. Sisanya sebanyak 19,4% memiliki
rumah dengan dinding setengah tembok (Tabel 11). Selain dinding, lantai rumah
responden juga diamati. Lantai rumah harus mudah dibersihkan misalnya lantai
yang terbuat dari keramik, teraso, tegel atau semen, dan kayu atau bambu
(Latifah et al. 2002 dalam Tussodiyah 2010). Lebih dari separuh responden
(72,2%) memiliki lantai dari semen/pelur/kayu. Sisanya masing-masing 13.9%
memiliki lantai rumah dari ubin/keramik dan tanah. Lantai tanah tidak memenuhi
syarat kesehatan karena dapat menjadi sumber penyakit seperti cacing dan
bakteri penyebab sakit perut (Tussodiyah 2010). Selain itu, sebagian besar
(75%) responden menggunakan beton/ genteng sebagai atap rumah. Sebanyak
69,4% responden memiliki WC sendiri di dalam rumah, sisanya sebanyak 16,7%
responden tidak memiliki WC sendiri di dalam rumah sehingga menumpang di
WC tetangga. Menurut Tussodiyah (2010), jendela merupakan ventilasi udara
yang berfungsi sebagai tempat pertukaran udara agar di dalam rumah tetap
bersih dan segar. Sebagian responden (50%) memiliki rumah yang dilengkapi
41
jendela yang dapat terbuka, sisanya sebanyak 25% responden memiliki jendela
tetapi tidak terbuka (tertutup) (Tabel 11). Responden yang memiliki jendela
terbuka dapat menghirup udara yang segar di dalam rumahnya karena udara
dapat leluasa keluar masuk ruangan, sedangkan responden yang memiliki
jendela tetapi tertutup kurang dapat menghirup udara segar sepertii responden
yang memiliki jendela terbuka. Meskipun terdapat jendela tetapi jendela tersebut
tidak dapat berfungsi dengan baik. Jendela tersebut tidak dapat dibuka sehingga
udara tidak dapat leluasa keluar masuk ke dalam rumah. Jendela hanya
berfungsi untuk menerangi ruangan ketika siang hari tetapi tidak berfungsi
sebagai tempat pertukaran udara di dalam rumah.
Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan kondisi fisik rumah
Dinding
Lantai
Atap
Kepemilikan WC
Ventilasi udara dan jendela
Kondisi fisik rumah
a.tembok
b.½ tembok
c.bilik/papan/ kayu
a.ubin/keramik
b.semen/pelur/kayu
c.tanah
a.beton/genteng
n
19
7
10
5
26
5
27
%
52,8
19,4
27,8
13,5
72,8
13,7
75
b.asbes/seng/kayu
c.ijuk/daun/jerami/lainnya
a. ya, ada
b.tidak ada, menumpang WC tetangga
c.tidak ada, WC umum
a.ada, terbuka
b. ada, tertutup
c. tidak ada
9
0
25
6
5
18
9
9
25
0
69,4
16,7
13,9
50
25
25
Air sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup di dunia. Kebutuhan air
bersifat mutlak. Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari air. Sumber air yang
diteliti dalam penelitian ini adalah sumber air untuk minum dan sumber air untuk
mandi. Sebagian besar responden (88,9%) mendapatkan air minum dari sumur
tak terlindung/ mata air tak terlindung (Tabel 12). Hanya sekitar 8,3% responden
yang mendapat sumber air minum dari PAM/ air ledeng/ sumur terlindung/mata
air terlindung. Kemudian sumur tak terlindung/mata air tak terlindung juga
merupakan sumber air untuk mandi dengan persentase sebesar (94,4%).
Sisanya sebanyak 5,6% responden memperoleh sumber air untuk mandi berasal
dari air PAM/ ledeng/ sumur terlindungi/ mata air terlindungi. Air sumur harus
dilindungi terhadap bahaya pengotoran dan pencemaran agar memenuhi syarat
kesehatan sebagai air rumah tangga. Sumber air minum sering menjadi sumber
pencemar pada penyakit water borne (Tussodiyah 2010). Oleh karena itu sumber
air minum harus memenuhi syarat kesehatan.
42
Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan sumber air
Sumber air minum
Sumber air mandi
Sumber air
a.PAM/ledeng/sumur terlindung/ mata air terlindung
b.sumur tak terlindung/mata air tak terlindung
c. air sungai/ air hujan/lainnya
a.PAM/ledeng/sumur terlindung/ mata air terlindung
b. sumur tak terlindung/mata air tak terlindung
c. air sungai/air hujan/lainnya
n
3
32
1
2
34
0
%
8,3
88,9
2,8
5,6
94,4
0
Kondisi lingkungan yang diteliti dalam penelitian ini selanjutnya adalah
sarana pembuangan sampah dan air limbah. Pembuangan sampah dan air
limbah yang tidak pada tempatnya akan menimbulkan berbagai penyakit dan
gangguan kesehatan. Berdasarkan Tabel 13, hanya sekitar 38,9% responden
yang membuang sampah pada tempat sampah tertutup/ kantong plastik/ TPS.
Sampah merupakan segala sesuatu yang sudah tidak terpakai lagi sehingga
harus dibuang. Terdapat hubungan antara sampah dengan penyakit-penyakit
yang ditulari oleh tikus, lalat, dan nyamuk. Diperlukan adanya pengaturan
pembuangan sampah agar tidak membahayakan kesehatan manusia. Sebanyak
50% responden membuang air limbah rumah tangga mereka ke selokan/ got
tertutup. Sisanya sebanyak 36,1% responden membuang air limbah ke saluran
air/pembuangn/ got terbuka. Hanya sekitar 13,9% responden membuang air
limbah rumah tangganya ke pekarangan/ sungai/ lainnya
Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan sarana pembuangan
Tempat buang sampah
Tempat pembuangan air
limbah
Sarana pembuangan
a.Tempat sampah tertutup/kantong
plastik/TPS
b.Tempat sampah terbuka
c.Pekarangan/ sungai/jalanan/lainnya
a. selokan/got tertutup
b. saluran air/pembuangan/got terbuka
c. pekarangan/ sungai/ lainnya
n
14
%
38,9
14
8
18
13
5
38,9
22,2
50
36,1
13,9
Pada penelitian ini kondisi lingkungan dikategorikan menjadi tiga kategori.
Kategori rendah yaitu bila persentase kondisi lingkungan <60%, kategori sedang
bila persentase berada pada rentang 60-80%, dan kategori baik bila persentase
kondisi lingkungan >80%. Sebaran contoh berdasarkan kategori kondisi
lingkungan disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan kategori kondisi lingkungan
Kondisi Lingkungan
Rendah
Sedang
Baik
Total
n
4
19
13
36
%
11,1
52,8
36,1
100
43
Berdasarkan tabel 14 dapat diketahui bahwa sebanyak 36,1 % responden
memiliki kondisi lingkungan dengan kategori baik.
Sebanyak 52,8 % berada
pada kategori sedang, dan hanya sekitar 11,1 % responden memiliki kondisi
lingkungan yang rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan
kondisi lingkungan responden masih belum cukup baik, karena hanya sekitar
36,1% (<50%) tergolong kondisi yang baik, sisanya kondisi lingkungan masih
tergolong sedang dan rendah. Meskipun persentase responden yang termasuk
dalam kategori kondisi lingkungan sedang lebih besar dibandingkan kategori
lainnya, tetapi hal tersebut tidak dapat dikatakan bahwa kondisi lingkungan
contoh sudah cukup baik, karena berdasarkan pengamatan secara langsung
terlihat bahwa kondisi lingkungan yang masih kurang baik dicirikan dengan masih
terdapat keluarga contoh yang tidak memiliki jamban (wc) pribadi di rumahnya,
lantai rumah yang masih berbahan dasar tanah, jendela yang
tidak terbuka
sehingga tidak terjadi pertukaran udara di dalam rumah dan menyebabkan
ruangan menjadi lembab, serta sumber air minum yang berasal dari sumur/ mata
air yang tidak terlindungi.
Konsumsi Pangan Balita
Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan
gizi yang menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisme,
memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan (Harper et al.1986).
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok hidup manusia. Penilaian
konsumsi pangan dapat dipakai untuk menentukan jumlah dan sumber zat gizi
yang dimakan. Hal ini dapat membantu mengetahui apakah persediaan zat gizi
dalam tubuh cukup atau kurang. Rendahnya mutu bahan pangan yang
dikonsumsi dan jumlah makanan yang tidak cukup dapat menyebabkan berbagai
masalah diantaranya adalah: pertumbuhan badan terganggu, gangguan pada
perkembangan mental dan kecerdasan, timbulnya berbagai macam penyakit,
angka kematian bayi dan anak yang tinggi serta menurunnya produktivitas kerja.
Konsumsi pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan
secara kompleks, seperti tersedianya bahan pangan, status ekonomi dan sosial
budaya serta gangguan kesehatan. Pada penelitian ini, untuk mengetahui
konsumsi pangan balita dilakukan survei konsumsi pangan dengan metode recall
2 x 24 jam. Recall dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada awal intervensi dan
akhir intervensi dilakukan. Recall konsumsi pangan balita dilakukan untuk
mengetahui seberapa banyak jumlah asupan makanan yang dikonsumsi balita
44
dan
apakah
asupan
makanannya
tersebut
sudah
mencukupi
tingkat
kecukupannya ataukah belum mencukupi. Berdasarkan hasil recall konsumsi
pangan contoh, diketahui bahwa konsumsi energi contoh pada awal intervensi
berkisar antara 684 - 1546 Kal, sedangkan konsumsi protein berkisar antara 1246 gram. Pada akhir intervensi konsumsi energi dan protein contoh mengalami
peningkatan, konsumsi contoh pada akhir intervensi berkisar antara 916 - 1422
Kal, sedangkan konsumsi protein berkisar antara 24 - 45 gram. Rata-rata
konsumsi energi dan protein contoh secara rinci disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata konsumsi energi dan protein
Awal
Intervensi
Energi
(Kal)
Protein
(gram)
Akhir Intervensi
972 ± 147
Konsumsi
Rumah
981 ± 176
Konsumsi
Biskuit PMT
199 ± 38
Konsumsi Total
(Rumah+Biskuit PMT)
1184 ± 131
24 ± 7
26 ± 7
8±2
34 ± 6
Berdasarkan Tabel 15, dapat diketahui bawha pada awal intervensi ratarata konsumsi energi contoh sebesar 972 ± 147 Kal dan konsumsi protein
sebesar 24 ± 7 gram. Pada akhir intervensi, konsumsi pangan harian contoh
yang hanya berasal dari rumah mengalami peningkatan tetapi peningkatan
tersebut tidak terlalu signifikan, berbeda halnya jika dibandingkan dengan ratarata konsumsi contoh ditambah dengan konsumsi biskuit PMT. Rata-rata
konsumsi energi dan protein contoh yang hanya berasal dari rumah berturut-turut
pada akhir intervensi adalah sebesar 981 ± 176 Kal (energi) dan 26 ± 7 gram
(protein), sedangkan rata-rata konsumsi contoh yang berasal dari makanan
rumah ditambah konsumsi biskuit yaitu sebesar 1184 ± 131 Kal (energi) dan 34 ±
6 gram (protein). Dengan melihat data tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya
konsumsi biskuit PMT menambah asupan energi dan protein pada contoh.
Meskipun rata-rata konsumsi contoh yang hanya berasal dari rumah pada akhir
intervensi lebih besar dibandingkan rata-rata konsumsi contoh yang hanya
berasal dari rumah pada awal intervensi, tetapi perbedaannya tidak terlalu jauh.
Peningkatan konsumsi pangan yang hanya berasal dari rumah pada akhir
intervensi diduga karena uang jajan yang biasa diberikan kepada contoh
digunakan oleh ibu contoh untuk membeli pangan yang lebih bermanfaat seperti
membeli sayuran dan pangan sumber protein sehingga konsumsi pangan
keluarga menjadi lebih baik.
45
Hasil uji Paired Samples T test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
yang nyata antara rata-rata konsumsi energi contoh yang berasal dari rumah
pada awal dan akhir intervensi (Tabel 16). Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai
signifikansi sebesar 0,148 (p>0,05). Hal serupa juga terjadi pada rata-rata
konsumsi protein, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata konsumsi
protein contoh yang berasal dari rumah pada awal dan akhir intervensi dengan
nilai signifikansi sebesar 0,703 (p>0,05). Terlihat bahwa terjadi peningkatan ratarata konsumsi energi dan protein contoh, tetapi peningkatan tersebut tidak terlalu
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok sosial ekonomi rendah
cenderung tidak ada perubahan konsumsi dari waktu ke waktu.
Tabel 16 Rata-rata konsumsi energi dan protein contoh awal dan akhir intervensi
(konsumsi rumah)
Energi (Kal)
Protein (gram)
Awal intervensi
972 ± 147
24 ± 7
Akhir intervensi
981 ± 176
26 ± 7
p
0,148
0,703
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Paired Samples T
Test, menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata antara rata-rata konsumsi
energi contoh (konsumsi rumah + biskuit PMT) pada awal dan akhir intervensi,
hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) (Tabel 17).
Hal serupa juga terjadi pada rata-rata konsumsi protein, terdapat perbedaan
yang nyata antara rata-rata konsumsi protein contoh pada awal dan akhir
intervensi dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Terlihat bahwa terjadi
peningkatan rata-rata konsumsi energi dan protein contoh pada akhir intervensi
dengan adanya konsumsi biskuit PMT yaitu menjadi 1184 Kal (energi) dan 34
gram (protein).
Tabel 17 Rata-rata konsumsi energi dan protein contoh awal dan akhir intervensi
(konsumsi rumah+biskuit PMT)
Energi (Kal)
Protein (gram)
Awal intervensi
972 ± 147
24 ± 7
Akhir intervensi
1184 ± 131
34 ± 6
p
0,000
0,000
Tingkat kecukupan energi contoh dibagi menjadi lima kategori yaitu,
defisit tingkat berat, defisit tingkat sedang,defisit tingkat ringan, normal/ cukup,
dan diatas tingkat kecukupan (Depkes 1996). Berdasarkan hasil recall makan
contoh selama 2x24 jam yang dilakukan pada awal intervensi, dapat diketahui
bahwa lebih dari lima puluh persen contoh (55,6%) tingkat kecukupan energinya
tergolong dalam kategori normal/ cukup. Sisanya terlihat bahwa sepertiga contoh
balita masih tergolong dalam kategori defisit. Masing-masing sebanyak 11,1%
tingkat kecukupan energinya tergolong defisit tingkat berat dan sedang. Contoh
46
yang tergolong tingkat kecukupan energinya defisit tingkat ringan sebanyak
13,9%, sedangkan yang berada diatas tingkat kecukupan hanya sebanyak 3
orang (8,3%). Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi
pada awal dan akhir intervensi disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi pada
awal dan akhir intervensi
Tingkat Kecukupan Energi
Defisit Tingkat Berat (<70%)
Defisit Tingkat Sedang (70-79%)
Defisit Tingkat Ringan (80-89%)
Normal/cukup (90-119%)
Diatas Tingkat Kecukupan (≥120%)
Total
Awal Intervensi
n
%
4
11,1
4
11,1
5
13,9
55,6
20
3
8,3
36
100
Akhir Intervensi
n
%
0
0
2
5,6
4
11,1
44,4
16
14
38,9
36
100
Recall konsumsi pangan contoh dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada
awal dan akhir intervensi. Pada akhir intervensi tingkat kecukupan energi contoh
mengalami peningkatan. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan adanya
pemberian biskuit tinggi protein yang mengandung energi dan protein cukup
tinggi sehingga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap tingkat
kecukupan energi dan protein contoh. Berdasarkan Tabel 18, diketahui bahwa
tingkat kecukupan energi contoh dengan adanya tambahan konsumsi biskuit
PMT yang tergolong normal/ cukup sebanyak 44,4% dan sebanyak 38,9%
contoh tingkat kecukupan energinya berlebih (berada diatas tingkat kecukupan).
Jika dibandingkan dengan tingkat kecukupan energi pada awal intervensi maka
akan terlihat adanya peningkatan yang terjadi. Pada awal intervensi masih
terdapat contoh yang mengalami defisit tingkat berat, tetapi pada akhir intervensi
sudah tidak terdapat contoh yang mengalami defisit tingkat berat. Namun, masih
terdapat contoh yang mengalami defisit tingkat sedang (5,6%) dan ringan
(11,1%).
Adanya intervensi biskuit PMT meniadakan contoh yang mengalami
defisit tingkat berat. Selain itu juga menurunkan persentase contoh yang
mengalami defisit tingkat sedang, ringan, dan normal masing-masing sebesar
50%, 20%, dan 20%. Jika biskuit PMT tidak diperhitungkan dalam penentuan
konsumsi contoh, maka terjadi peningkatan persentase contoh yang mengalami
defisit tingkat berat sebesar 25%, meningkatkan persentase contoh yang
mengalami defisit tingkat sedang sebesar 50%, menurunkan persentase contoh
yang mengalami defisit tingkat ringan sebesar 60%. Selain itu juga, tanpa
adanya konsumsi biskuit PMT, dapat terjadi peningkatan persentase contoh yang
47
berada dalam kategori diatas tingkat kecukupan yaitu sebesar 133,3%.
Peningkatan tersebut diduga karena konsumsi pangan harian contoh yang hanya
berasal dari rumah juga meningkat, meskipun peningkatannya tidak terlalu jauh.
Konsumsi pangan memang meningkat, tetapi bertambahnya konsumsi pangan
dari segi kuantitas belum tentu seimbang dengan kualitas konsumsi pangannya.
Protein memiliki fungsi penting bagi tubuh yaitu untuk pertumbuhan dan
pemeliharaan,
pembentukan
ikatan-ikatan
esensial
tubuh,
mengatur
keseimbangan air, mengangkut zat-zat gizi dan sebagai sumber energi
(Almatsier 2006). Kekurangan protein pada usia balita akan menyebabkan
masalah gizi, yaitu kwashiorkor. Oleh karena itu tingkat kecukupan protein harus
tercukupi. Berdasarkan Tabel 19, diketahui bahwa sebanyak 27,8% contoh
tingkat kecukupan proteinnya tergolong normal/ cukup. Terlihat pula bahwa lebih
dari 50% contoh balita masih tergolong dalam kategori defisit, terdapat sembilan
orang contoh (25%) tergolong dalam kategori defisit tingkat berat, 16,7% contoh
berada dalam kategori defisit tingkat sedang, dan sisanya sebanyak 13,9 %
contoh mengalami defisit tingkat ringan. Contoh yang memiliki tingkat kecukupan
proteinnya diatas tingkat kecukupan hanya sebanyak enam orang, yaitu sekitar
16,7%. Secara keseluruhan tingkat kecukupan protein contoh pada awal
intervensi banyak yang masih mengalami defisit, baik defisit tingkat berat,
sedang, dan ringan. Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan
protein pada awal dan akhir intervensi disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan protein pada
awal dan akhir intervensi
Tingkat Kecukupan Protein
Defisit Tingkat Berat (<70%)
Defisit Tingkat Sedang (70-79%)
Defisit Tingkat Ringan (80-89%)
Normal/cukup (90-119%)
Diatas Tingkat Kecukupan (>120%)
Total
Awal Intervensi
n
%
9
25
6
16,7
5
13,9
27,8
10
6
16,6
36
100
Akhir Intervensi
n
%
0
0
2
5,6
2
5,6
11
30,6
58,2
21
36
100
Tingkat kecukupan protein contoh pada akhir intervensi juga mengalami
peningkatan dari awal intervensi. Dalam setiap keping
biskuit tinggi protein
mengandung 2,45 gram protein. Pada akhir intervensi, contoh maksimal diberi
empat keping biskuit tinggi protein setiap harinya sehingga jika contoh
mengkonsumsi satu bungkus biskuit tinggi protein yang yang terdiri dari empat
keping biskuit maka sebanyak 9,8 gram protein yang dikonsumsi contoh berasal
dari biskuit tersebut.
48
Lebih dari separuh contoh (58,3%) berada dalam kategori diatas tingkat
kecukupan. Contoh yang tingkat kecukupan proteinnya berada dalam kategori
normal sebanyak 30,6%. Sisanya masing-masing 5,6% berada pada kategori
defisit tingkat sedang dan defisit tingkat ringan. Adanya pemberian makanan
tambahan berupa biskuit tinggi protein memberikan kontribusi yang cukup
banyak terhadap tingkat kecukupan protein contoh. Apabila dibandingkan
dengan tingkat kecukupan protein contoh pada awal intervensi, masih banyak
contoh yang mengalami defisit tingkat berat.
Adanya intervensi biskuit PMT meniadakan contoh yang mengalami
defisit tingkat berat. Selain itu juga menurunkan persentase contoh yang
mengalami defisit tingkat sedang dan ringan masing-masing sebesar 66,6% dan
60%. Selain itu juga dengan adanya intervensi biskuit PMT dapat meningkatkan
persentase contoh yang tergolong dalam kategori normal sebesar 10%. Terlihat
bahwa setelah dilaksanakannya intervensi berupa biskuit tinggi protein, tingkat
kecukupan protein contoh mengalami peningkatan dan hal ini berdampak positif
sebagai upaya meningkatkan status gizi balita.
Tabel 20 menunjukkan rata-rata Tingkat Kecukupan Energi (TKE) contoh
pada awal intervensi adalah 94% dengan standar deviasi 20%. Tingkat
Kecukupan Energi tersebut pada akhir intervensi meningkat, sehingga rataratanya menjadi 118% dengan standar deviasi 29%. Hal ini juga terjadi pada
rata-rata Tingkat Kecukupan Protein (TKP) contoh, pada awal intervensi rata-rata
TKP adalah 91% dengan standar deviasi 31%. Pada akhir intervensi, rata-rata
Tingkat Kecukupan Protein (TKP) contoh meningkat menjadi 135 ± 43%.
Tabel 20 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein contoh pada awal dan
akhir intervensi (dengan konsumsi biskuit PMT)
Tingkat Kecukupan Energi
Tingkat Kecukupan Protein
Awal intervensi
94 ± 20%
91 ± 31%
Akhir intervensi
118 ± 29%
135 ± 43%
p
0,000
0,000
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Paired Samples T
Test, menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata antara Tingkat Kecukupan
Energi (TKE) pada awal dan akhir intervensi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Hal serupa juga terjadi pada Tingkat
Kecukupan Protein (TKP), terdapat perbedaan yang nyata antara awal dan akhir
intervensi dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Terlihat bahwa terjadi
peningkatan rata-rata tingkat kecukupan energi (TKE) dan tingkat kecukupan
49
protein (TKP) pada akhir intervensi masing-masing menjadi 118 ± 29% dan 135 ±
43% (Tabel 20).
Pola Asuh
Pola asuh adalah praktek di rumah tangga yang diwujudkan dengan
tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk
kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan anak (WKNPG 2000).
Pola merupakan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal
kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, dan
memberi kasih sayang. Pada penelitian ini, pola asuh yang akan dibahas yaitu
pula asuh makan dan pola asuh hidup sehat.
Pola Asuh Makan
ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa memberikan makanan
tambahan apapun pada bayi yang berusia 0-6 bulan. Lebih dari lima puluh
persen (55,6%) balita yang diberikan ASI eksklusif (Tabel 21). Hal ini
menunjukkan bahwa masih terdapat hampir separuhnya
balita yang tidak
diberikan ASI eksklusif. Masalah gangguan pertumbuhan mulai muncul pada usia
antara 1-6 bulan. Masalah pertumbuhan pada usia ini diduga kuat berkaitan
dengan praktek pemberian ASI. Oleh karena itu, perlu adanya penyuluhan yang
intensif dalam rangka promosi praktek pemberian ASI yang sehat (WKNPG
2000).
Tabel 21 Riwayat pemberian ASI
Riwayat pemberian ASI
Anak diberi ASI eksklusif (ASI saja hingga 6 bulan)
Anak mendapatkan kolostrum
ASI diberikan sampai usia 2 tahun
Anak mulai diberikan MPASI setelah usia 6 bulan
Anak diberi madu/teh/pisang setelah usia 6 bulan
Ya
n
20
28
22
20
22
%
55,6
77,8
61,1
55,6
61,1
Tidak
n
%
16 44,4
8 22,2
14 38,9
16 44,4
14 39,9
Data pada Tabel 21 menunjukkan bahwa sekitar 77,8% balita
mendapatkan kolostrum. Sisanya sebesar 22,2 % balita yang tidak diberikan
kolostrum. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, responden tidak
memberikan kolostrum dikarenakan tidak mengetahui manfaat kolostrum
tersebut dan adanya mitos bahwa kolostrum tidak baik diberikan kepada bayi,
sehingga kolostrum tersebut dibuang. Kolostrum merupakan cairan ASI yang
berwarna keruh kekuningan dan kental yang pertama dikeluarkan ibu beberapa
hari setelah melahirkan. Kolostrum tersebut mengandung banyak zat-zat gizi
yang sangat baik untuk bayi. Kandungan zat gizi yang terdapat dalam kolostrum
50
tidak terdapat pada susu lain, misalnya pada susu formula. Oleh karena itu,
kolostrum sebaiknya diberikan langsung kepada bayi setelah dilahirkan.
Berdasarkan Tabel 21, diketahui bahwa lebih dari separuh contoh
(61,1%) balita yang diberi ASI hingga usia 2 tahun. Sebesar 38,9 % balita tidak
diberi ASI hingga 2 tahun dikarenakan alasan ibu yang bekerja sehingga anak
hanya diberikan susu formula saja. Menurut Suhardjo (1989), ASI merupakan
makanan yang paling cocok untuk bayi serta memiliki nilai yang paling tinggi
dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat oleh manusia ataupun susu
lainnya. Oleh karena itu sebaiknya balita diberikan ASI hingga usia 2 tahun
ditambah dengan makanan tambahan untuk memenuhi kebutuhan gizinya.
Pemberian MP ASI setelah bayi berusia 6 bulan harus diperhatikan konsistensi
dan jenis makanannya. Sebanyak 55,6% balita setelah usia 6 bulan diberi MP
ASI. Selain itu juga terdapat 61,1 % balita setelah usia 6 bulan yang diberikan
madu/teh/pisang.
Aspek riwayat pemberian ASI pada balita yang memiliki skor terendah
adalah kurangnya balita yang diberi ASI eksklusif. Praktek pemberian ASI
eksklusif yang masih rendah tersebut diduga dikarenakan pengetahuan dan
pemahaman ibu balita mengenai pentingnya ASI eksklusif masih kurang,
sehingga diperlukan adanya penyuluhan kepada ibu balita mengenai pentingnya
pemberian ASI eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan. Pemberian makanan
tambahan sebaiknya diberikan setelah bayi berusia enam bulan (Muchtadi 2002).
Hal tersebut dikarenakan pencernaan bayi masih rentan sehingga membutuhkan
proses bertahap untuk memberikan makanan yang disesuaikan dengan
konsistensi dan jenis makanannya.
ASI merupakan zat yang sempurna untuk pertumbuhan bayi serta
mempercepat perkembangan berat badan. Lamanya balita diberi ASI yang
terbaik adalah sampai usia 24 bulan. Sejak lahir sampai usia enam bulan
sebaiknya hanya diberi ASI saja, setelah enam bulan bayi mulai dapat diberikan
makanan tambahan pendamping ASI sampai usia 2 tahun, setelah usia tersebut
balita sudah siap disapih.
Tabel 22 adalah sebaran contoh berdasarkan cara memberikan makanan
kepada balita contoh. Lebih dari separuh contoh (61,1%) terkadang makan tiga
kali sehari. Sebanyak 22,2% contoh makan tiga kali dalam sehari, sedangkan
sisanya 16,7% contoh tidak makan tiga kali sehari. Sebesar 83,3% contoh diberi
buah setiap hari, sedangkan sisanya masing-masing sebesar 8,3% contoh tidak
51
diberikan buah setiap harinya. Kebiasaan mengonsumsi sayur contoh masih
rendah, hampir separuh contoh (± 40-50%) tidak mengonsumsi sayur setiap
harinya. Pada aspek konsumsi protein hewani dan nabati contoh, lebih dari
separuh contoh (69,4%) dan (55,6%) tidak pernah atau kadang-kadang
mengonsumsi protein hewani dan nabati.
Sebanyak 55,6% ibu contoh menyediakan makanan dengan menu
lengkap dan sebanyak 63,9 % contoh hanya mengonsumsi lauk dan sayur saja
,atau nasi dan lauk saja. Berdasarkan aspek cara membentuk situasi makan,
lebih dari lima puluh persen (63,9%) ibu menyuapi contoh yang tidak nafsu
makan dan sekitar 72,2 % ibu membujuk contoh bila sedang tidak mau makan
(Tabel 22).
Tabel 22 Cara memberikan makanan
n
8
3
15
1
9
15
6
3
%
22.2
8.3
41.7
2.8
25
41.7
16.7
8.3
Kadangkadang
n
%
61.1
22
83.3
30
17
47.2
15
41.7
69.4
25
20
55.6
10
27.8
10
27.8
23
26
63.9
72.2
10
7
Ya
Cara memberikan makanan
Anak makan 3 kali sehari
Ibu memberikan buah setiap hari kepada anak
Ibu memberikan sayur setiap hari kepada anak
Anak telat/ tidak teratur makan
Konsumsi protein hewani anak
Konsumsi protein nabati anak
Ibu menyediakan makanan dengan menu lengkap
Anak mengonsumsi lauk dan sayur saja, atau
nasi dan lauk saja
Cara membentuk situasi makan
Ibu menyuapi anak yang tidak nafsu makan
Ibu membujuk anak bila sedang tidak mau
makan
27.8
19.4
Tidak
n
6
3
4
20
2
1
20
23
%
16.7
8.3
11.1
55.6
5.6
2.8
55.6
63.9
3
3
8.3
8.3
Berdasarkan Tabel 23, diketahui bahwa sebesar 52,8% responden
memiliki pola asuh makan yang sedang. Hanya sebesar 2,8% responden
memiliki pola asuh makan yang baik. Sisanya sekitar 44,4% responden memiliki
pola asuh makan yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya ibu
balita yang menerapkan pola asuh makan dengan baik. Perlu adanya upaya
untuk meningkatkan pemahaman ibu balita terhadap pentingnya pola asuh
makan balita yang baik sehingga dapat membantu mengurangi terjadinya gizi
buruk pada balita.
Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan kategori pola asuh makan
Kategori Pola Asuh Makan
Rendah
Sedang
Baik
Total
n
16
19
1
36
%
44,4
52,8
2,8
100
52
Pola Asuh Hidup Sehat
Pola asuh hidup sehat yang diteliti dalam penelitian ini diukur dengan 14
pertanyaan meliputi sering atau tidaknya mengunjungi posyandu setiap bulan,
kepemilikan KMS yang terisi penuh, penerimaan vitamin A, imunisasi yang
lengkap serta penanaman kebiasaan hidup bersih dan teratur seperti mandi,
keramas, gosok gigi, gunting kuku, dan mencuci tangan. Menurut Tussodiyah
(2010), perawatan kesehatan adalah bentuk perilaku ibu dalam menerapkan pola
hidup sehat pada anak sehingga anak selalu berada dalam kondisi terbebas dari
penyakit dan dapat beraktivitas rutin selayaknya individu normal.
Berdasarkan Tabel 24, dapat diketahui bahwa sebanyak 72,2%
responden selalu mengajak anak balitanya mengunjungi posyandu setiap bulan
untuk melakukan penimbangan. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi ibu balita
terhadap posyandu sudah cukup baik, terlihat dari lebih dari 50% ibu balita yang
rutin membawa anak balitanya mengunjungi posyandu setiap bulan. Hanya
sekitar 27,8% responden menjawab kadang-kadang mengajak anak balitanya ke
posyandu setiap bulan. Penimbangan dilakukan untuk memantau pertumbuhan
dan perkembangan balita sehingga dapat diketahui dan dipantau status gizi
balita tersebut setiap bulannya.
Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat
Pola asuh hidup sehat
Ibu mengajak anak ke posyandu setiap bulan
Total
Anak memiliki KMS yang berisi penuh
Total
Anak menerima kapsul vitamin A
Total
Anak mendapatkan imunisasi yang lengkap
Total
Frekuensi
Sering/Ya
Kadang-kadang
Penuh
Tidak penuh
Ya
Kadang-kadang
Tidak pernah
Ya
Belum lengkap
n
26
10
36
28
8
36
35
1
0
36
15
21
36
%
72.2
27.8
100
77.8
22,2
100
97.2
2.8
0
100
41.7
58.3
100
Sebanyak 77,8% responden juga menjawab bahwa KMS anak balitanya
terisi penuh/ lengkap, sedangkan sisanya 22,2% menjawab tidak penuh. Dari
aspek penerimaan kapsul vitamin A, sebanyak 97,2% anak balita (contoh) sudah
menerima kapsul vitamin A. Imunisasi yang diberikan kepada contoh belum
lengkap seluruhnya. Terdapat 41,7% contoh yang telah menerima imunisasi
lengkap. Sisanya sebanyak 58,3% contoh belum menerima imunisasi secara
lengkap. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa balita contoh yang masih berusia
53
di bawah dua tahun sehingga imunisasi yang diberikan belum seluruhnya
diberikan.
Kebiasaan mencuci tangan harus diawali sedini mungkin dan dimulai dari
rumah. Mencuci tangan merupakan langkah yang cukup penting untuk
mencegah penyebaran penyakit, khususnya penyakit yang menular. Balita
merupakan kelompok yang rawan dan rentan terhadap penyakit sehingga
kebersihan lingkungan dan kebersihan diri harus diperhatikan. Lebih dari lima
puluh persen (63,9%) responden membiasakan anak balitanya untuk mencuci
tangan
dengan
sabun
sebelum
makan.
Sebanyak
80,6%
responden
membiasakan mencuci tangan dengan sabun setelah BAB. Hal ini menunjukkan
bahwa sebagian besar responden telah memiliki kebiasaan mencuci tangan yang
sudah cukup baik (Tabel 25).
Kebersihan mainan anak juga perlu diperhatikan. Biasanya anak balita
memiliki kebiasaan buruk yaitu memasukan mainan ke dalam mulutnya sehingga
mainan tersebut sebaiknya sering dicuci agar tetap bersih. Sebanyak 47,2%
responden kadang-kadang mencuci mainan anaknya, hanya sekitar 22,2%
responden yang selalu mencuci bersih mainan anaknya. Hal tersebut bukan
dikarenakan pemahaman ibu balita terhadap pentingnya kebersihan mainan
masih rendah, tetapi karena tidak semua anak balita yang menjadi contoh dalam
penelitian ini memiliki mainan sehingga hanya sedikit (22,2% atau 8 orang) ibu
balita (responden) yang menjawab selalu mencuci bersih mainan anaknya (Tabel
25).
Lebih dari separuh responden (66,7%) menggunting kuku anaknya setiap
satu minggu sekali. Anak balita yang sudah mulai main di tanah dan sudah dapat
bermain di luar rumahnya sendiri merupakan salah satu kondisi yang
menyebabkan
anak
balita
tersebut
rawan
gizi
dan
rawan
kesehatan
(Notoatmodjo 2007).
Sebanyak 52,8% responden terkadang membolehkan anak balitanya
bermain tanah. Kondisi tersebut sebenarnya kurang baik bagi kondisi kesehatan
dan gizi anak, tetapi karena terkadang anak menangis ketika dilarang bermain
yang disukainya sehingga ibu balita terkadang membolehkan anaknya bermain
di tanah. Hal ini juga terkait dengan pendidikan ibu yang rendah sehingga kurang
memahami pentingnya gizi dan kesehatan, khususnya dalam hal menjaga
kesehatan anak sehingga masih memperbolehkan anaknya bermain tanah.
(Tabel 25).
54
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat
Pola asuh hidup sehat
Membiasakan mencuci tangan dengan sabun sebelum
makan
Total
Membiasakan mencuci tangan dengan sabun setelah BAB
Total
Ibu mencuci bersih mainan anak
Total
Ibu menggunting kuku anak 1 minggu sekali
Total
Ibu membolehkan anak bermain tanah
Total
Frekuensi
Sering/Ya
n
23
%
63,9
Kadangkadang
Tidak pernah
11
30,6
2
36
29
5
5,6
100
80,6
13,9
2
36
8
17
5,6
100
22,2
47,2
11
36
24
12
30,6
100
66,7
33,3
0
36
7
19
0
100
19,4
52,8
10
36
27,8
100
Sering/Ya
Kadangkadang
Tidak pernah
Sering/Ya
Kadangkadang
Tidak pernah
Sering/Ya
Kadangkadang
Tidak pernah
Sering/Ya
Kadangkadang
Tidak pernah
Pola asuh hidup sehat tidak hanya dilakukan secara preventif
(pencegahan) saja, tetapi juga dapat dilakukan secara kuratif. Secara preventif
dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan seperti
yang telah dibahas pada tabel di atas. Kebiasaan ibu dalam menjaga kebersihan
tubuh anak balita juga diamati dalam penelitian ini. Menjaga kebersihan tubuh
penting dalam memelihara kesehatan, terutama dalam menjaga kesehatan anak
balita yang rentan terserang penyakit. Aspek yang diamati meliputi kebiasaan ibu
mencuci rambut anak dalam satu minggu, memeriksa kebersihan telinga anak,
menyediakan dan menyuruh anak menggunakan alas kaki ketika keluar rumah,
serta mengajak anak balita melakukan olahraga.
Sebanyak 77,8% responden mencuci rambut anak minimal 2 kali dalam
seminggu. Selain itu juga sebanyak 77,8% responden memeriksa kebersihan
telingan anak dan membersihkannya. Anak balita yang sudah dapat bermain ke
luar rumah perlu diberikan alas kaki ketika bermain keluar sehingga penyediaan
alas kaki untuk anak perlu diperhatikan. Lebih dari lima puluh persen (83,3%)
responden telah menyediakan alas kaki untuk anaknya dan menyuruh anaknya
untuk membiasakan menggunakan alas kaki ketika keluar rumah (Tabel 26).
55
Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat
Pola asuh hidup sehat
Ibu mencuci rambut anak minimal 2 x/minggu
Total
Ibu memeriksa kebersihan telinga anak
Total
Ibu menyediakan alas kaki untuk digunakan anak ketika
keluar rumah
Frekuensi
Sering/Ya
Kadangkadang
Tidak pernah
n
28
7
%
77,8
19,4
1
2.8
Sering/Ya
Kadangkadang
Tidak pernah
28
8
77,8
22,2
0
36
30
0
100
83,3
5
13,9
1
36
30
5
2,8
100
83,3
13,9
1
36
2,8
100
Sering/Ya
Kadangkadang
Tidak pernah
Total
Ibu menyuruh anak memakai alas kaki ketika keluar rumah
Sering/Ya
Kadangkadang
Tidak pernah
Total
Berdasarkan definisi atau kriteria tentang pola asuh hidup sehat, lebih
dari separuh responden (72,2%) menerapkan pola asuh hidup sehat kategori
sedang untuk anak balitanya. Sisanya sekitar 25% responden memiliki pola asuh
hidup sehat dengan kategori baik (Tabel 27). Aspek yang memiliki persentase
tertinggi yaitu pada anak yang diberikan kapsul vitamin A. Sebanyak 97,2%
contoh balita telah mendapatkan kapsul vitamin A (Tabel 24). Hal tersebut
dikarenakan pada bulan Febuari dan Agustus selalu diadakan pemberian kapsul
vitamin A pada balita di posyandu, sehingga biasanya pada bulan-bulan tersebut
terdapat banyak ibu balita yang membawa anak balitanya untuk mengunjungi
posyandu. Secara keseluruhan pola asuh hidup sehat responden tergolong
dalam kategori sedang. Dikatakan sedang, karena masih terdapat responden
yang memiliki pola asuh hidup sehat kurang baik, seperti masih terdapat
responden yang membiarkan anaknya bermain tanah dan masih terdapat pula
responden yang jarang mencuci mainan anaknya jika memang memiliki mainan
seperti boneka dan mobil-mobilan. Bila anak dibiarkan bermain tanah,
dikhawatirkan anak tersebut akan mudah tertular bibit penyakit sehingga mudah
sakit. Oleh karena itu, sebaiknya ada penyuluhan mengenai pentingnya pola
asuh hidup sehat bagi ibu balita dalam merawat anak balitanya agar pola asuh
ibu, khususnya dalam hal menjaga kebersihan dan kesehatan anak menjadi lebih
baik sehingga kejadian sakit pada balita dapat dihindarkan.
56
Tabel 27 Sebaran responden berdasarkan kategori pola asuh hidup sehat
Kategori Pola Asuh Hidup Sehat
Rendah (<60%)
Sedang (60-80%)
Baik (>80%)
Total
n
1
26
9
36
%
2,8
72,2
25
100
Tingkat Kepatuhan Ibu dalam Program PMT
Jumlah biskuit yang seharusnya dikonsumsi oleh setiap balita perhari
adalah satu bungkus. Tiap bungkus biskuit berisi empat keping biskuit yang
memiliki berat total 50 gram. Tingkat kepatuhan ibu dalam Program Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) diukur dengan cara membandingkan biskuit yang
telah dikonsumsi dengan biskuit yang seharusnya dikonsumsi oleh contoh.
Tingkat kepatuhan dikatakan kurang bila dalam waktu 88 Hari Makan Anak
(HMA) rata-rata biskuit yang dimakan <50 % (<2 keping biskuit tinggi protein
perhari), dikatakan cukup patuh jika rata-rata biskuit yang dikonsumsi sebanyak
50%≤x<75% (2-3 keping biskuit tinggi protein perhari) dan dikatakan patuh
apabila rata-rata biskuit yang dikonsumsi ≥75 % (≥3 keping biskuit tinggi protein
perhari). Berikut disajikan persentase sebaran tingkat kepatuhan ibu contoh
dalam program PMT (Gambar 3).
58.3
60
50
40
30
20
10
0
38.9
2.78
Kurang patuh
(<50%)
Cukup patuh
(50-74%)
Patuh (≥75%)
Persentase Tingkat Kepatuhan
Gambar 3 Sebaran ibu berdasarkan tingkat kepatuhan dalam program PMT
Gambar 3 menunjukkan bahwa sebanyak 58,3% ibu balita (responden)
termasuk dalam kategori patuh, 38,9% responden tergolong dalam kategori
cukup patuh, dan sisanya sebanyak 2,78% responden kurang patuh dalam
program ini.
Lebih dari 50% balita mengkonsumsi biskuit tinggi protein dengan ratarata ≥3 keping perhari dari awal hingga akhir intervensi (58,3%). Sebanyak 14
balita telah mengonsumsi biskuit tinggi protein dengan rata-rata 2 - 3 keping
57
perhari, dan hanya satu balita yang mengonsumsi biskuit tinggi protein dengan
rata-rata <2 keping perhari (Tabel 28).
Tabel 28 Jumlah keping biskuit tinggi protein yang dikonsumsi perhari
Jumlah Keping Biskuit yang Dikonsumsi
< 2 keping/hari
2-3 keping/hari
≥3 keping /hari
Total
n
1
14
21
36
%
2,78
38,9
58,3
100
Biskuit tinggi protein diberikan sebanyak empat keping perhari kepada
contoh. Dari total jumlah biskuit tinggi protein yang diberikan perhari tersebut
dikategorikan menjadi <2 keping/hari, 2 - 3 keping /hari, dan >3 keping /hari.
Pengkategorian tersebut juga digunakan untuk mengetahui tingkat kepatuhan
responden dan contoh dalam mengikuti program pemberian makanan tambahan.
Gambar 4 menunjukkan rata-rata jumlah biskut tinggi protein yang
dikonsumsi oleh balita selama proram dilaksanakan. Pemantauan konsumsi
biskuit tinggi protein dilakukan selama 88 hari. Secara umum terjadi penurunan
dari bulan kedua hingga bulan ketiga pemberian biskuit. Hal ini juga berarti
terjadi penurunan tingkat kepatuhan ibu dari bulan kedua hingga bulan ketiga.
Pada bulan pertama dan bulan kedua, rata-rata konsumsi biskuit sama setiap
harinya, yaitu sebanyak 3,3 keping perhari, sedangkan pada bulan ketiga ratarata konsumsi biskuit mengalami penurunan menjadi 3,1 keping perhari. Hal
tersebut diduga dikarenakan contoh yang sudah merasa bosan mengkonsumsi
biskuit tinggi protein sehingga konsumsi biskuit tersebut berkurang tiap harinya.
Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak adanya variasi rasa biskuit.
3.35
3.3
3.25
RATA-RATA
KONSUMSI
BISKUIT
PERHARI
3.2
3.15
3.1
3.05
3
Bulan I
Bulan II
Bulan III
Gambar 4 Rata-rata jumlah biskuit tinggi protein yang dikonsumsi oleh contoh
selama program PMT dilaksanakan (88 HMA)
58
Morbiditas Balita
Morbiditas merupakan angka kesakitan contoh selama tiga bulan
intervensi. Selama intervensi tersebut dapat diketahui berapa kali contoh
menderita penyakit infeksi. Morbiditas diketahui berdasarkan kejadian sakit
(frekuensi dan lama sakit) selama intervensi. Morbiditas yang diteliti meliputi data
beberapa penyakit infeksi seperti ISPA, demam, hepatitis, DBD, diare, dan
campak.
Kondisi kesehatan anak berpengaruh terhadap selera makan dan
pemanfaatan zat gizi di dalam tubuh. Gizi dan kesehatan memiliki hubungan
yang erat (Hartoyo et al. 2003). Apabila anak kondisi kesehatannya terganggu
dan sakit maka akan menyebabkan nafsu makan anak menurun sehingga
konsumsi pangan anak tersebut juga menurun. Faktor utama yang berdampak
terhadap pertumbuhan anak balita adalah kekurangan asupan gizi dan penyakit
infeksi. Berdasarkan hasil penelitian, jenis penyakit infeksi yang sering diderita
oleh contoh adalah ISPA, demam, dan diare. Sebaran contoh berdasarkan jenis
penyakit, frekuensi sakit dan lama sakit disajikan pada Tabel 29.
Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit, frekuensi sakit, dan lama
sakit dalam tiga bulan terakhir
Riwayat Kesehatan
n
Frekuensi
Rendah (1-3 kali)
(>3 kali)
Lama sakit
1-3 hari
4-7 hari
>7 hari
ISPA
%
Diare
n %
Demam
n
%
Cacar
n
%
Campak
n
%
18
0
51,4
0
3
1
8,3
2,8
7
0
19,4
0
5
0
13,9
0
2
0
5,6
0
5
4
9
13,9
11,1
25
1
0
3
2,8
0
8,3
2
1
4
5,6
2.8
11,1
0
2
3
0
5,6
8,3
0
2
0
0
5,6
0
Secara umum diketahui bahwa jenis penyakit yang sering dialami oleh
sebagian besar contoh adalah ISPA dengan frekuensi 1 hingga 3 kali (51,4%)
dengan lama sakit lebih dari tujuh hari (25%). Pada umumnya saat contoh
mengalami ISPA biasanya juga disertai dengan demam. Penyakit yang jarang
sekali diderita oleh contoh dalam tiga bulan terakhir ini adalah campak.
Sebanyak 5,6% contoh menderita penyakit campak dengan frekuensi 1-3 kali
dan lama sakit selama 4 hingga 7 hari (Tabel 29).
Gambar 5 menunjukkan bahwa balita yang menjadi contoh dalam
penelitian ini mengalami kejadian sakit dengan rata-rata frekuensi sakit berada
pada rentang 0,3 – 0,5 kali selama tiga bulan. Rata-rata frekuensi kejadian sakit
tertinggi terjadi pada bulan 0 (awal intervensi) yaitu sebanyak 0,5 kali, sedangkan
59
rata-rata frekuensi kejadian sakit terendah terjadi pada bulan ke-3 intervensi (0,3
kali).
Berdasarkan Gambar 5, selama tiga bulan intervensi frekuensi kejadian
sakit semakin menurun tiap bulannya. Pada bulan 0 (awal intervensi), contoh
mengalami sakit dengan rata-rata frekuensi 0,5 kali dengan standar deviasi 0,8
kali. Pada bulan ke-1 intervensi terjadi penurunan frekuensi sakit menjadi 0,4 kali
dengan standar deviasi 0,6 kali. Rata-rata frekuensi kejadian sakit pada bulan
ke-2 tetap sama dengan bulan ke-1 yaitu 0,4 kali dengan standar deviasi 0,5 kali.
Pada bulan ke-3 intervensi terjadi penurunan yaitu menjadi 0,3 kali. Selama tiga
bulan intervensi, rata-rata penyakit yang diderita oleh contoh adalah demam,
ISPA (batuk dan flu), dan diare. Namun, dari ketiga penyakit tersebut, penyakit
yang sering diderita oleh contoh yaitu demam dan ISPA.
0.6
0.5
0.4
0.3
Rata-rata Frekuensi
Sakit (kali)
0.2
0.1
0
Bulan 0
Gambar 5
Bulan I
Bulan II
Bulan III
Rata-rata frekuensi sakit yang diderita contoh sebelum intervensi
bulan 0 dan selama intervensi (tiga bulan)
Total lamanya kejadian sakit (morbiditas) diperoleh dengan cara
mengalikan frekuensi sakit (kali) dengan lamanya sakit (hari). Dari total lamanya
kejadian sakit kemudian dirata-ratakan sehingga diperoleh rata-rata lama
kejadian sakit (rata-rata morbiditas). Hasil rata-rata lamanya kejadian sakit setiap
bulannya dibandingkan antara awal, dan akhir intervensi. Berdasarkan Gambar
6, rata-rata kejadian sakit (rata-rata morbiditas) pada bulan 0 (sebelum
intervensi) yaitu selama 1,7 ± 3,2 hari, sedangkan rata-rata kejadian sakit pada
bulan ke – I intervensi yaitu selama 2 ± 2,7 hari. Pada bulan ke-1 intervensi ini
terjadi rata-rata kejadian sakit (morbiditas) terlama. Pada bulan ke-2 intervensi
rata-rata kejadian sakit (morbiditas) mengalami penurunan kembali menjadi 1,8 ±
2,5 hari. Terlihat bahwa terjadi kenaikan lamanya kejadian sakit pada bulan
sebelum intervensi ke bulan pertama intervensi. Selama intervensi rata-rata lama
kejadian sakit mengalami fluktuasi (naik-turun), tetapi fluktuasi tersebut tidak
60
terlalu berbeda. Pada akhir intervensi rata-rata lamanya kejadian sakit
mengalami penurunan menjadi 1,4 hari dengan standar deviasi 2,4 hari.
2.5
2
1.5
2
1.8
1.7
1.4
1
Rata-rata Lamanya
Kejadian Sakit/
morbiditas (Hari)
0.5
0
Bulan 0
Gambar 6
Bulan I
Bulan II
Bulan III
Rata-rata lama kejadian sakit (morbiditas) yang diderita contoh
selama tiga bulan intervensi
Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji Samples Paired T Test, diketahui
bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) rata-rata morbiditas contoh
antara sebelum dan setelah intervensi. Rata-rata morbiditas sebelum intervensi
adalah 1,7 ± 3,2 hari, sedangkan setelah dilakukan intervensi rata-rata morbiditas
menjadi 1,4 ± 2,4 hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi penurunan
tingkat morbiditas setelah dilakukan intervensi dengan biskuit tinggi protein yang
ditunjukkan dengan nilai rata-rata morbiditas yang tidak terlalu berbeda jauh
(Tabel 30).
Tabel 30 Rata-rata morbiditas contoh pada awal dan akhir intervensi
Awal intervensi
Akhir intervensi
Rata-rata morbiditas
1,7 ± 3,2
1,4 ± 2,4
p
0,639
Status Gizi Balita
Indikator antropometri yang biasa digunakan untuk menilai status gizi
balita adalah berat badan terhadap umur (BB/U), tinggi badan terhadap umur
(TB/U), dan berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Dari beberapa macam
indikator antropometri tersebut, indikator berat badan terhadap umur (BB/U) lebih
sering dan paling umum digunakan (Aritonang 2000). Status gizi balita
berdasarkan standar baku antropometri WHO 2005 dengan indikator BB/U
dikategorikan menjadi 4 kategori yaitu gizi buruk (z-skor < -3,0), gizi kurang (-3,0
< z-skor < -2), gizi baik (-2 < z-skor < 2,0), dan gizi lebih (z-skor > 2,0).
Program intervensi pemberian makanan tambahan berupa biskuit tinggi
protein yang berlangsung selama tiga bulan bertujuan untuk membantu
meningkatkan status gizi balita (contoh) yang memiliki status gizi kurang dan
buruk agar status gizinya menjadi baik. Menurut Aritonang (2000), perubahan
61
yang dapat dilihat dari hasil suatu intervensi pemberian makanan tambahan
adalah kenaikan berat badan. Apabila anak sehat dan makanannya baik, maka
berat badan dan tinggi badan anak akan bertambah. Berat badan akan lebih
berpengaruh terhadap suatu intervensi jangka pendek dibandingkan tinggi
badan.
Berdasarkan indikator BB/U pada awal intervensi diketahui bahwa lebih
dari separuh contoh (63,9%) termasuk dalam kategori gizi kurang. Sisanya
sebanyak 36,1% contoh termasuk dalam status gizi buruk. Intervensi dapat
meningkatkan status gizi contoh, terlihat pada awal intervensi tidak ada contoh
yang status gizinya baik tetapi pada akhir intervensi terdapat contoh yang status
gizinya berada dalam kategori gizi baik sebesar 52,8%. Selain itu juga
persentase contoh yang berada dalam kategori gizi buruk dan gizi kurang
menurun. Persentase contoh yang mengalami gizi buruk menurun dari 36,1%
menjadi 2,8% dan persentase contoh yang mengalami gizi kurang menurun dari
63,9% menjadi 44,4% (Tabel 31).
Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan indikator status gizi (BB/U, TB/U, dan
BB/TB) pada awal dan akhir intervensi
Status Gizi Balita
Status Gizi (BB/U)
Gizi buruk (z-skor < -3,0)
Gizi kurang (-3,0 < z-skor < -2,0)
Gizi baik (-2,0 < z-skor < 2,0)
Total
Status Gizi (TB/U)
Sangat pendek (z-skor < -3,0)
Pendek (-3,0 < z-skor < -2,0)
Normal (z-skor ≥ -2,0)
Total
Status Gizi (BB/TB)
Sangat kurus (z-skor < -3,0)
Kurus (-3,0 < z-skor < -2,0)
Normal (-2,0 < z-skor < 2,0)
Total
Awal Intervensi
n
%
Akhir Intervensi
n
%
13
23
0
36
36,1
63,9
0
100
1
16
19
36
2,8
44,4
52,8
100
15
13
8
36
41,7
36,1
22,2
100
6
19
11
36
16,7
52,8
30,6
100
2
13
21
36
5,6
36,1
58,3
100
0
1
35
36
0
2,8
97,2
100
Berdasarkan indikator TB/U pada awal intervensi diketahui bahwa
sebanyak 41,7 % contoh termasuk dalam kategori sangat pendek. Sebanyak
35,1 % contoh tergolong dalam kategori pendek dan sisanya tergolong dalam
kategori normal (22,2%). Menurut Aritonang (2000), indikator TB/U merupakan
indikator yang baik untuk mengetahui kekurangan gizi pada masa lampau.
Penggunaan indikator TB/U dalam suatu intervensi harus disertai dengan
indikator lain, seperti BB/U, karena perubahan TB tidak banyak terjadi dalam
waktu singkat dan ini menjadi kekurangan dari indikator TB/U. Intervensi dapat
62
meningkatkan status gizi contoh, terlihat terjadi peningkatan persentase contoh
yang berada dalam status gizi normal dari 22,2% menjadi 30,6%. Hal ini juga
terjadi pada contoh yang mengalami status gizi pendek. Persentase contoh yang
berada dalam kategori pendek meningkat dari 36,1% menjadi 52,8%. Intervensi
juga mampu menurunkan persentase contoh yang berada dalam kategori status
gizi sangat pendek. Pada awal intervensi persentase contoh yang memiliki status
gizi sangat pendek sebesar 41,7%, tetapi pada akhir intervensi persentasenya
berkurang menjadi 16,7% (Tabel 31).
Selain kedua indikator sebelumnya, indikator BB/TB juga biasa digunakan
dengan indikator lainnya. Indikator BB/TB lebih menggambarkan keadaan kurang
gizi akut pada waktu sekarang meskipun tidak dapat menggambarkan status gizi
masa
lampau.
Indikator
BB/TB
merupakan indikator
yang
baik
untuk
mendapatkan proporsi tubuh yang normal, dan untuk membedakan anak yang
kurus atau gemuk (Aritonang 2000). Berdasarkan indikator BB/TB pada awal
intervensi, dapat diketahui bahwa terdapat lebih dari separuh contoh (58,3%)
termasuk dalam kategori normal. Sisanya sebanyak 36,1% contoh termasuk
dalam kategori kurus dan sangat kurus (5,6%). Intervensi dapat meniadakan
contoh yang memiliki status gizi sangat kurus dan menurunkan persentase
contoh yang memiliki status gizi kurus dari 36,1% menjadi 2,8%. Selain itu juga
intervensi dapat meningkatkan status gizi contoh yang berada dalam kategori
normal, persentase meningkat dari 58,3% menjadi 97,2%. Secara keseluruhan
dapat disimpulkan bahwa setelah dilakukan intervensi pemberian makanan
tambahan biskuit tinggi protein, status gizi contoh mengalami peningkatan
Tabel 32
Rata-rata z-skor BB/U (status gizi) contoh pada awal dan akhir
intervensi
Awal intervensi
Akhir intervensi
Rata-rata z-skor BB/U
-2,89 ± 0,48
-1,77 ± 0,84
p
0,000
Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji Samples Paired T Test, diketahui
bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) rata-rata z-skor BB/U (status
gizi) contoh antara awal dan akhir intervensi. Rata-rata z-skor BB/U pada awal
intervensi adalah -2,89 ± 0,48, sedangkan pada akhir intervensi rata-rata nilai zskor menjadi -1,77 ± 0,84. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
secara nyata nilai z-skor BB/U (status gizi) setelah dilakukan intervensi dengan
biskuit tinggi protein.(Tabel 32).
63
Hubungan Pola Asuh Ibu (Pola Asuh Makan dan Pola Asuh Hidup Sehat)
dengan Status Gizi Balita
Tabel 33 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pola asuh makan
dan status gizi contoh pada awal intervensi. Sebanyak 33,3% contoh memiliki
status gizi kurang serta pola asuh makan yang rendah. Selain itu juga terdapat
11,1% contoh yang memiliki status gizi buruk dengan pola asuh makan yang
masih rendah, hanya satu orang yang status gizinya kurang dengan pola asuh
yang baik.
Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh makan dan status gizi (BB/U)
Pola Asuh Makan
Rendah
Sedang
Baik
Total
Status Gizi Balita
Gizi Buruk Gizi Kurang
n
%
n
%
11,1 12
33,3
4
9
25
10
27,8
2,8
0
0
1
13 36,1 23
63,9
Total
n
16
19
1
36
%
44,4
52,8
2,8
100
Hasil uji statistik menggunakan uji korelasi rank spearman menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh makan dengan
status gizi balita contoh (BB/U) pada awal intervensi (p>0,05 dan r=0,042). Hal ini
sejalan dengan penelitian Pramuditya (2010) yang menyatakan bahwa antara
pola asuh makan dengan status gizi balita tidak terdapat hubungan yang
signifikan. Hal ini diduga karena status gizi tidak hanya dipengaruhi oleh pola
asuh makan, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti ketersediaan
pangan, konsumsi pangan harian (baik secara kualitas maupun kuantitas),
penyakit infeksi, dan kesehatan lingkungan. Selain itu juga status gizi
dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu terhadap gizi dan
kesehatan (Suhardjo 1989).
Tabel 34 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup
sehat dan status gizi. Sebanyak 41,7% contoh yang berstatus gizi kurang
memiliki pola asuh hidup sehat yang sedang, tetapi masih terdapat contoh yang
memiliki pola asuh hidup sehat yang baik namun berstatus gizi kurang (22,2%).
Berdasarkan uji statistik dengan korelasi rank spearman diketahui bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh hidup sehat dengan status
gizi balita (BB/U) pada awal intervensi (p>0,05 dan r=0,290). Hal ini sejalan
dengan penelitian Pramuditya (2010) yang menyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara pola asuh hidup sehat dengan status gizi balita.
Pola asuh hidup sehat erat hubungannya dengan status kesehatan anak, tetapi
tidak berhubungan secara langsung dengan status gizi anak.
64
Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh hidup sehat dan status gizi
Pola Asuh Hidup Sehat
Rendah
Sedang
Baik
Total
Status Gizi Balita
Gizi Buruk Gizi Kurang
n
%
n
%
0
1
2,8
0
41,7
11 30,6 15
22,2
1
2,8
8
13 36,1 23
63,9
Total
n
1
26
9
36
%
2,8
72,2
25
100
Hubungan Tingkat Morbiditas dengan Status Gizi Balita
Tabel 35 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan tingkat morbiditas
dan status gizi contoh pada akhir intervensi. Tingkat morbiditas dikategorikan
menjadi rendah (<4 hari), sedang (5-7 hari), dan tinggi (≥8 hari) (Sugiono 2009).
Sebanyak 30,6% contoh memiliki status gizi kurang serta tingkat morbiditas yang
rendah. Selain itu juga terdapat 2,8% contoh yang memiliki status gizi buruk
dengan tingkat morbiditas yang rendah. Sebanyak 41,7% contoh yang berstatus
gizi baik dengan tingkat morbiditas yang rendah.
Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan tingkat morbiditas dan status gizi
Tingkat Morbiditas
Rendah
Sedang
Total
Status Gizi Balita
Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi
n
%
n
%
n
2,8
30,6 15
1
11
0
0
5
13,9
4
1
2,8
16
44,5 19
Total
Baik
%
41,7
11,1
52,8
n
27
9
36
%
75
25
100
Hasil uji statistik menggunakan uji korelasi rank spearman menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat morbiditas dengan
status gizi balita contoh (BB/U) pada akhir intervensi (p>0,05 dan r=-0,078). Hal
ini sejalan dengan penelitian Herdhiati (2010) yang menyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan yang nyata antara tingkat morbiditas dengan status gizi. Hal
ini diduga karena banyak faktor yang ikut berpengaruh terhadap kejadian
penyakit (morbiditas), salah satunya adalah sanitasi lingkungan. Berdasarkan
konsep segitiga penyakit Bloom, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi
kesehatan seseorang, yaitu (1) penyebab penyakit (agent), (2) manusia sebagai
tuan rumah (host), dan (3) aspek lingkungan (environment). Gangguan
keseimbangan antara ketiga faktor tersebut akan menyebabkan timbulnya suatu
penyakit.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Lebih dari separuh jumlah contoh (75%) adalah balita perempuan. Usia
contoh berkisar antara 12-60 bulan. Sebagian besar usia contoh termasuk dalam
kategori 12 - 23 bulan (55,6%). Berdasarkan jenjang pendidikan formal, sebagian
besar orang tua contoh berpendidikan SD atau sederajat (47,2% ayah dan
52,8% ibu). Sebanyak 41,7% ayah contoh bekerja sebagai buruh non tani.
Sebagian besar ibu contoh (86,1%) adalah tidak bekerja atau hanya berperan
sebagai ibu rumah tangga. Lebih dari separuh keluarga contoh tergolong dalam
keluarga sedang yang terdiri dari 5-7 orang dengan jumlah persentase sebesar
44,4 %. Sebagian besar (80,6%) pendapatan keluarga contoh berada pada
kisaran Rp. 66.680 – Rp. 260.115 perkapita/bulan. Berdasarkan garis kemiskinan
yang telah ditetapkan oleh BPS Propinsi Jawa Barat, diketahui sebanyak 64%
keluarga contoh termasuk dalam kategori miskin, yaitu pendapatan dibawah Rp.
191.985 perkapita/bulan.
Sebagian besar kondisi lingkungan tempat tinggal contoh berada pada
kategori sedang (52,8%). Dengan gambaran bahwa lebih dari separuh
responden (72,2%) memiliki lantai dari semen/pelur/kayu. Selain itu, sebagian
besar (75%) responden menggunakan beton/ genteng sebagai atap rumah.
Sebanyak 16,7% responden tidak memiliki WC sendiri di dalam rumah sehingga
menumpang di WC tetangga. Sebagian responden (50%) memiliki rumah yang
dilengkapi jendela yang dapat terbuka. Lebih dari 50% responden (88,9%)
mendapatkan air minum dari sumur tak terlindung/ mata air tak terlindung.
Kemudian sumur tak terlindung/mata air tak terlindung juga merupakan sumber
air untuk mandi dengan persentase sebesar (94,4%). Hanya sekitar 38,9%
responden yang membuang sampah pada tempat sampah tertutup/ kantong
plastik/ TPS. Sebanyak 36,1% responden membuang air limbah ke saluran
air/pembuangan/ got terbuka.
Rata-rata konsumsi energi dan protein pada awal intervensi berturut-turut
sebesar 972 ± 147 Kal dan 24 ± 7 gram. Pada akhir intervensi biskuit yang
disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), rata-rata konsumsi
energi dan protein contoh mengalami peningkatan menjadi 1184 ± 131 Kal
(energi) dan 34 ± 6 gram (protein). Intervensi biskuit PMT meningkatkan secara
nyata konsumsi energi dan protein balita gizi kurang dan gizi buruk (p<0,05).
Sebanyak 52,8% responden memiliki pola asuh makan dengan kategori sedang.
66
Lebih dari separuh responden (72,2%) menerapkan pola asuh hidup sehat
kategori sedang untuk anak balitanya. Berdasarkan pengamatan tingkat
kepatuhan responden dan balita terhadap pemberian makanan tambahan,
diketahui bahwa sebanyak 58,3% ibu balita (responden) termasuk dalam kategori
patuh.
Pola asuh (pola asuh makan dan hidup sehat) tidak berhubungan secara
nyata dengan status gizi balita (BB/U) pada awal intervensi (p>0,05). Tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat morbiditas dengan status gizi
balita (p>0,05). Rata-rata morbiditas sebelum intervensi adalah 1,7 ± 3,2 hari,
sedangkan setelah dilakukan intervensi rata-rata morbiditas menjadi 1,4 ± 2,4
hari. Tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) rata-rata morbiditas contoh
pada awal dan akhir intervensi. Rata-rata z-skor BB/U pada awal intervensi
adalah -2,89 ± 0,48, sedangkan pada akhir dilakukan intervensi rata-rata nilai zskor menjadi -1,77 ± 0,84. Pemberian biskuit PMT dapat meningkatkan secara
nyata status gizi balita berdasarkan indikator BB/U (p<0,05).
Saran
Pola asuh ibu dalam memberikan makanan dan menjaga kesehatan
anak balitanya harus ditingkatkan dan diperbaiki. Oleh karena itu, perlu adanya
penyuluhan mengenai pola asuh ibu (pola asuh makan dan hidup sehat) bagi ibu
balita agar pengetahuan, sikap, dan praktik ibu terhadap gizi dan kesehatan
meningkat dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu
juga masih terdapat keluarga contoh yang memiliki kondisi lingkungan tempat
tinggal dalam kategori rendah, sehingga perlu adanya upaya dalam memperbaiki
kondisi lingkungan keluarga contoh. Hal yang masih perlu diperbaiki yaitu
dengan cara meningkatkan kesadaran keluarga contoh dalam penyediaan
jamban sehat, adanya ventilasi udara yang terbuka di dalam rumah, dan
kesadaran keluarga contoh dalam membuang sampah pada tempatnya.
Adanya program pemberian biskuit PMT tinggi protein memberikan
peningkatan terhadap status gizi balita (BB/U). Oleh karena itu, program ini
sebaiknya terus dilanjutkan dalam upaya menanggulangi masalah KEP pada
balita. Selain itu, Ibu balita perlu meningkatkan asupan makanan yang bergizi
bagi anak balitanya untuk proses pertumbuhan dan perkembangan. Sebaiknya
konsumsi biskuit yang diberi kepada anak balita KEP disertai dengan konsumsi
pangan harian yang beragam dan berimbang agar kebutuhan zat gizi balita
terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Adi A.C. 2010. Efikasi pemberian makanan tambahan (PMT) biskuit disubstitusi
dengan tepung protein ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), isolate
protein kedelai dan probiotik Enterococcus faecium IS-27526 yang
dimikroenkapsulasi pada balita (2-5 tahun) berat badan rendah
[disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Almatsier S. 2006. Prisip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Arinta FR. 2010. Partisipasi ibu dan kader dalam program pemberian makanan
tambahan pemulihan (PMT-P) kaitannya dengan tingkat kepatuhan ibu
balita [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Arisman. 2007. Buku Ajar Ilmu Gizi. Di dalam: Widyastuti P, editor. Gizi Dalam
Daur Kehidupan. Jakarta: Buku Kedokteran, EGC.
Aritonang I. 2000. Pemantauan Pertumbuhan Balita. Petunjuk Praktis Menilai
Status Gizi & Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius.
Atmarita, Fallah T.S. 2004. Analisis Situasi Pangan dan Kesehatan Masyarakat.
Di Dalam Widyakarya Pangan dan Gizi VIII, Jakarta, 17-19 Mei 2004.
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan
Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta : Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Berita resmi statistik Provinsi Jawa Barat.
Edisi No. 27/07/32/th.XI [terhubung berkala]. www.jabar.bps.go.id [11
April 2011].
[BPS] Badan Pusat Statistik Jawa Barat. .2010. Jawa barat dalam angka.
http://regionalinvestment.com/newsipid/displayprofil.php?ia=3202.
[17 Agustus 2011].
[Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat]. 2007. Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1996. Pedoman Praktis
Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta: Depkes RI.
_______________________________________________. 2010. Laporan Riset
Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.
[Dinkes] Dinas Kesehatan. 2010. Profil kesehatan kabupaten sukabumi.
http://119.252.111.2:8080/documents/14243/33079/Profil+Kesehatan+K
abupaten+Sukabumi.pdf. [18 Agustus 2011].
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment. New York: Oxford
University Press.
68
Gunarsa SD, Gunarsa YS. 1995. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Gusthianza J. 2010. Studi efikasi pemberian mi instan yang diperkaya red palm
oil (RPO) terhadap peningkatan kadar retinol serum dan respon imun
anak sekolah dasar 7-9 tahun [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Hardinsyah. 2007. Inovasi Gizi dan Pengembangan Modal Sosial bagi
Peningkatan Kualitas Manusia dan Pengentasan Kemiskinan. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Harper LJ, Deaton BJ, Driskel JA. 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Suhardjo,
penerjemah. Jakarta: Erlangga.
Hartoyo et al. 2003. Pengembangan Model Tumbuh Kembang Anak Terpadu.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Hastuti D. 2008. Pengasuhan: Teori dan Prinsip serta Aplikasinya di Indonesia.
Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Hurlock EB. 1998. Perkembangan Anak Edisi ke-6. M. Tjandra dan Zarkasih,
penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Child Development.
Khiarunnisak I. 2004. Hubungan kualitas asuh dan periilaku hidup sehat dengan
status gizi dan kesehatan anak usia 3-5 tahun pada keluarga miskin di
kecamatan Bogor Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi [Diktat mata kuliah].
Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
___________. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Bogor: Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
___________. 2004. Peran Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta: PT.
Grasindo.
Khomsan A., Anwar F., Riyadi H., Sukandar D., & Mudjajanto ES. 2007. Studi
Implementasi Program Gizi: Pemanfaatan, Cakupan, Keefektivan, dan
Dampak Terhadap Status Gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
_________________________________________________________. 2009a.
Studi Peningkatan Pengetahuan Gizi Ibu dan Kader Posyandu serta
Perbaikan Gizi Balita. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
_________________________________________________________. 2009b.
Studi Implementasi Program Gizi: Pemanfaatan, Cakupan, Keefektifan,
dan Dampak Terhadap Status Gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor dan
Nestle Foundation.
69
Khumaidi M. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
King FS, Burgess A. 1995. Nutrition for Developing Countries. New York: Oxford
University Press.
LIPI. 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Mahyuddin K. 2007. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Marendra Z, Febry AB. 2008. Buku Pintar Menu Balita. Jakarta: PT. Wahyu
Media.
Megawangi
R. 2004. Pendidikan Karakter ; Solusi Yang Tepat untuk
Membangun Bangsa. Jakarta : Indonesia Heritage Fondation.
Meirita, Hastuti D, Sunarti E. 2000. Hubungan kualitas dan kuantitas asuh
dengan status gizi anak bawah lima tahun di Desa Rancamaya, Kota
Bogor. Media Gizi dan Keluarga XXIV (2): 23-27.
Mervina. 2009. Formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus) dan isolate protein kedelai (Glycine max) sebagai
makanan potensial untuk anak balita gizi kurang [skripsi]. Bogor:
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Muchtadi. 2002. GIZI UNTUK BAYI: ASI, Susu Formula dan Makanan
Tambahan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Mulyani S. 1990. Penelitian Gizi dan Kesehatan. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Gizi.
Nasoetion A, Riyadi H. 1994. Gizi Terapan. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat
dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : PT.
Rineka Cipta.
Papalia DE dan Old. 1986. Human Development. USA: Mc. Draw-Hill.
Pramuditya SW. 2010. Kaitan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu
serta pola asuh dengan perilaku keluarga sadar gizi dan status gizi
anak[skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Riyadi H. 2003. Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri ( Method of
Anthropometric Nutritional Assessment). Bogor: Departemen Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
70
Rodiah D. 2010. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Gizi Seimbang Anak Sekolah
di SDN Gunung Gede Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit. Jakarta:
Dewan Standarisasi Nasional.
Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid I.
Jakarta:PT. Dian Rakyat.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional.
Sugiono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV. Alvabeta.
Suhardjo. 1989a. Petunjuk Laboratorium: Pemberian Makanan Pada Bayi dan
Anak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Antar
Universitas, Institut Pertanian Bogor.
_______. 1989b. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
_______. 1989c. Berbagai Cara Pendidikan Gizi Petunjuk Laboratorium. Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
_______. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
_______. 2008. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Supariasa DN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran, EGC.
Suyanto SR. 1999. Budidaya Ikan Lele. Jakarta: Penerbit Swadaya
Tussodiyah W. 2010. Pola asuh, kondisi lingkungan, dan status kesehatan balita
bawah garis merah (BGM) di kabupaten sukabumi [skripsi]. Bogor:
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Widyati R dan Yuliarsih. 2002. Higiene & Sanitasi Umum dan Perhotelan.
Jakarta: PT. Grasindo.
Winarno F.G. 1987. Gizi dan Makanan Bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta:
Pustaka Harapan.
[WKNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. 2000. Peran Pola Asuh
Anak: Pemanfaatan Hasil Studi Penyimpangan Positif Untuk Program
Gizi. LIPI.
LAMPIRAN
72
Lampiran 1 Kuesioner penelitian
MORBIDITAS DAN STATUS GIZI BALITA PENERIMA MAKANAN
TAMBAHAN BISKUIT YANG DISUBSTITUSI TEPUNG IKAN LELE
DUMBO (Clarias gariepinus) DI KECAMATAN SUKALARANG DAN
CIBADAK, KABUPATEN SUKABUMI*)
1. Enumerator
: _________________________
2. Nama Ibu Balita
: _________________________
3. Nama Suami
: _________________________
4. Nomor Rumah/RT/RW
: ____/____ /_____
5. Kecamatan
: 1. Sukalarang
6. No HP/Telp Rumah
: __________________________
7. Tanggal/Jam Wawancara
: __________________________
2. Cibadak
A. KARAKTERISTIK/ IDENTITAS BALITA
1
2
3
4
5
6
Nama anak balita
Jenis kelamin (lingkari jawaban ! )
Tanggal lahir (harus terisi)
Usia anak balita (bulan)
Anak ke Berat badan/ Tinggi badan
…………………………………………………
1. Laki-laki
2. Perempuan
……………………….
................................ (isi dalam bulan)
…….....
……………kg / ………….cm
B. BIODATA DAN KARAKTERISTIK SOSIAL-EKONOMI KELUARGA
No
(1)
Nama
(2)
Posisi
dalam
keluarga
(3)
Umur
(4)
Thn
(B41)
Jenis
Kelamin
(5)
Pendidikan
terakhir
(6)
Pekerjaan
(7)
Penghasilan
/bulan
(8)
Bln
(B42)
Kode :
(3) Posisi di Keluarga
1=suami (ayah), 2=istri (ibu) , 3=anak, 4= saudara
lainnya, 5= kakek/nenek, 6=lainnya sebutkan
4) Umur
1 Dalam tahun 2 dalam bulan (tidak tahu = 777)
(5) Jenis Kelamin
1=laki-laki, 2=perempuan
(6) Pendidikan Terakhir
0= TS 1=SD 2=SMP 3=SMA 4=PT
(7) Pekerjaan
Kode: 0=Tidak Bekerja, 1=Petani, 2=Pedagang,
3=Buruh tani, 4=Buruh non tani, 5=PNS/ABRI/Polisi,
73
6=Jasa (tukang ojek, tukang cukur, calo, dan
sebagainya), 7=Ibu rumah tangga (IRT), 8=lainnya,
sebutkan, 9=N/A
(8) Penghasilan/ bulan
1=<Rp.500.000
2=Rp500.000-1.000.000
3.≥ Rp.1.000.000- 2.500.000
4. ≥Rp. 2.500.000
C. KONDISI LINGKUNGAN
1. Kondisi rumah:
 Berbahan dasar apakah dinding rumah yang Anda dan keluarga tempati?
a. tembok
b. ½ tembok
c. bilik/papan/ kayu
 Jenis lantai rumah yang Anda dan keluarga tempati?
a. ubin/keramik
b. semen/pelur/kayu
c.tanah
 Jenis atap dari rumah yang Anda dan keluarga tempati ?
a. beton/genteng
b. asbes/seng/kayu
c.ijuk/daun/jerami/lainnya
 Apakah Anda memiliki WC pribadi di rumah ?
a. ya, ada
b. tidak ada, menumpang WC tetangga
c.tidak ada, WC umum
 Apakah terdapat ventilasi udara dan jendela di rumah Anda?
a. ada, terbuka
b. ada, tertutup
c. Tidak ada
2. Sumber air minum
 Berasal darimanakah air yang Anda gunakan untuk minum ?
a. PAM/ledeng/sumur terlindung
b. sumur tak terlindung/mata air tak terlindung
c. air sungai/ air hujan/lainnya
3. Sumber air mandi
 Berasal darimanakah air yang Anda gunakan untuk minum ?
a. PAM/ledeng/sumur terlindung/mata air terlindung
b. sumur tak terlindung/mata air tak terlindung
c. air sungai/ air hujan/lainnya
4.. Sarana pembuangan sampah dan air limbah
 Jika Anda ingin membuang sampah, kemanakah Anda biasanya
membuang sampah?
a. Tempat sampah tertutup/kantong plastik/TPS
b. Tempat sampah terbuka
c. Pekarangan/ sungai/jalanan/lainnya
 Kemanakah jalur air limbah dari rumah Anda dibuang?
a. selokan/got tertutup/saluran air
b. saluran air/pembuangan/got terbuka
c. pekarangan/ sungai/ lainnya
D. POLA ASUH MAKAN
Ceklis sesuai jawaban responden
No
Pertanyaan
Tidak
pernah/
tidak
D1
Ibu memberikan kolostrum kepada
anak Anda selama beberapa hari
setelah melahirkan
Jawaban
Kadang
Skor
Sering/Ya
74
D2
D3
D4
D5
D6
D7
D8
D9
D10
D11
D12
D13
D14
D15
Ibu memberikan ASI eksklusif selama 6
bulan kepada anak
Ibu memberikan madu/ the/ pisang/
sejenisnya pada bayi tak lama setelah
usia 6 bulan
Ibu memberikan MP-ASI pada anak
setelah usia 6 bulan
Ibu memberikan ASI pada anak sampai
usia 2 tahun
Anak makan 3 kali sehari
Ibu memberikan buah setiap hari
kepada anak
Ibu memberikan sayur setiap hari
kepada anak
Anak telat/ tidak teratur makan
Konsumsi protein hewani (telur/ ikan/
unggas/ daging) anak
Konsumsi protein nabati (tempe/ tahu/
oncom/ kacang) anak
Ibu menyediakan menu makanan
lengkap: nasi, lauk pauk (hewani dan
nabati), sayur, dan buah
Anak mengonsumsi nasi dan sayur
saja, atau nasi dan lauk saja
Ibu menyuapi anak yang sedang tidak
nafsu makan
Ibu membujuk anak bila sedang tidak
mau makan
E. POLA ASUH KESEHATAN
Ceklis sesuai jawaban responden
No
Pertanyaan
Hampir
tidak
pernah/
tidak
E1
E2
E3
E4
E5
Ibu mengajak anak ke Posyandu tiap
bulan
Anak Anda memiliki KMS/ Buku KIA
yang berisi penuh
Anak Anda menerima kapsul vitamin A
Anak Anda menerima imunisasi
lengkap mencakup : (cek dengan data
di KMS/ Buku KIA)
a. BCG
b. DPT 1
c. DPT 2
d. DPT 3
e. Polio
f. Campak
g. Hepatitis
(1-2 tahun) : Ibu membiasakan cuci
tangan sebelum memberi makan anak
(2-5 tahun): Ibu membiasakan anak
Jawaban
Kadang
Skor
Sering/Ya
75
No
Pertanyaan
Hampir
tidak
pernah/
tidak
E6
E7
E8
E9
E10
E11
E12
E13
E14
Jawaban
Kadang
Skor
Sering/Ya
mencuci tangan dengan sabun
sebelum dan sesudah makan
(1-2 tahun) : Ibu membiasakan cuci
tangan dengan sabun setelah
membersihkan BAB (buang air besar)
anak
(2-5 tahun): Ibu membiasakan anak
mencuci tangan dengan sabun setelah
BAB
Ibu mencuci bersih mainan yang sering
dipegang oleh anak
Ibu memeriksa dan menggunting kuku
anak seminggu sekali
Ibu membolehkan anak bermain di
lantai kotor/ tanah
Ibu mencuci rambut/ keramas anak
minimal 2 kali seminggu
Ibu memeriksa kebersihan telinga anak
Ibu menyediakan sandal/ alas kaki
untuk digunakan anak ketika keluar
rumah
Ibu mengingatkan/ menyuruh anak
memakai alas kaki ketika keluar rumah
Ibu mengajak anak melakukan aktivitas
fisik seminggu sekali
F. MORBIDITAS
Masalah kesehatan
Penyakit yang pernah diderita 1
bulan terakhir
Penyakit yang sedang diderita
Jenis
penyakit/keluhan/alergi
ISPA
Diare
Campak
Demam
Cacar
ISPA
Diare
Campak
Demam
Cacar
*) Modifikasi dari kuesioner Pramuditya 2010
Frekuensi
sakit
Lama
sakit
76
Lampiran 2 Kuesioner recall konsumsi pangan
KONSUMSI PANGAN BALITA
Nama responden
:
Nama balita
:
Jenis kelamin balita : L/P
Umur balita
:
Berat badan balita
:
Tinggi badan balita :
 Pola konsumsi makan secara kuantitatif (Recall 2 x 24 jam)
Hari
ke-
Waktu
makan
Pagi
Selingan 1
Siang
Selingan 2
Malam
Menu
makanan
Bahan
makanan
Kode
pangan
URT
Gram
Keterangan
77
Lampiran 3 Hasil uji statistik hubungan antar variabel
No
1
2
3
Variabel yang dihubungkan
Pola asuh makan dengan status gizi
Pola asuh hidup sehat dengan status
gizi
Tingkat morbiditas dengan status gizi
Nilai r
(Spearman)
0,042
0,290
Nilai Sig. (2
tailed)
0,806
0,086
-0,078
0,653
Lampiran 4 Hasil uji statistik (uji beda Paired Samples T-Test)
No
1
2
3
4
Variabel yang diuji beda
Tingkat kecukupan energi (TKE) awal dan akhir intervensi
Tingkat kecukupan protein (TKP) awal dan akhir intervensi
Rata-rata morbiditas awal dan akhir intervensi
Rata-rata z-skor BB/U awal dan akhir intervensi
Keterangan:
*Significant at the p<0,05
**Significant at the p<0,01
Sig. (2 tailed)
0,000**
0,000**
0,639
0,000**
Download