1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Bentuk data

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Penelitian
Bentuk data material yang sampai ke tangan arkeolog seperti artefak, ekofak,
fitur, dan data keruangan mengandung informasi untuk mengungkap peran
tinggalan tersebut ketika berada di konteks sistem (Schiffer, 2016: 22). Dari
berbagai macam data arkeologis tersebut, bukti tinggalan ekofak banyak
digunakan untuk merekonstruksi kondisi lingkungan tempat masyarakat itu
tinggal dan jarak dari sumber-sumber bahan makanan yang mereka eksploitasi
(Ashmore dan Sharer, 2010: 140). Meskipun eksploitasi manusia prasejarah
mencakup berbagai macam jenis flora dan fauna, namun sedikitnya tinggalan sisa
tumbuhan yang dapat terpreservasi membuat analisis terhadap fauna menjadi
pilihan yang cenderung lebih mudah digunakan untuk merekonstruksi cara hidup
manusia prasejarah. Melalui analisis fauna kita dapat mengetahui perjalanan
tafonomi suatu ekofak tertentu sejak dari konteks sistem hingga pada konteks
arkeologi (Shipman, 1981: 123).
Sistem subsistensi merupakan interaksi kompleks dari konsep-konsep budaya
seperti organisme apa saja yang dapat dikonsumsi, macam teknologi yang
dibutuhkan dalam upaya mencari hingga menghidangkan makanan, dan potensi
yang dimiliki lingkungan sekitar (Wing dan Brown, 1979: 1). Sebagai contoh, jika
penghuni lingkungan sabana cenderung mengembangkan teknologi berburu demi
memenuhi kebutuhan makanan mereka, maka penghuni daerah pesisir lebih
banyak mengembangkan teknologi menangkap ikan atau eksploitasi biota laut.
1
2
Beberapa faktor seperti fluktasi iklim dan level air laut berpengaruh terhadap
perubahan pemukiman dan pola adaptasi manusia. Peristiwa tersebut akan
menyebabkan perubahan dimensi lahan, yang juga berpengaruh terhadap
ketersediaan sumber alam. (Simanjuntak, 2006: 376-378).
Untuk memperoleh informasi dalam konteks lingkungan non-budaya, kajian
arkeologi lingkungan yang didalamnya meliputi banyak kepentingan seperti
paleoekologi, paleontologi, paleoekonomi, dan paleogeografi menjadi senjata
utama yang banyak digunakan (Reitz dkk, 2008: 3-5). Perubahan lingkungan
berimplikasi terhadap perubahan ekonomi yang memunculkan tuntutan adaptasi
dari populasi biotik yang menghuninya, baik yang bersifat mutasi biologis
maupun inovasi teknologis.
Demi mempertahankan eksistensinya pada strata rantai makanan, manusia
secara ‘ekonomis’ cenderung beradaptasi dan memanfaatkan sumberdaya yang
ada di sekitar lingkungan hidup mereka (Sharer dan Ashmore, 1979: 410).
Perubahan preferensi dalam eksploitasi sumber daya kelautan terkait dengan
perubahan level air laut selama masa penghunian salah satunya terdeteksi di
Leang Sarru, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Sejak masa awal hunian
diperkirakan sekitar 30 s.d 21 kya, varian molluska yang dieksploitasi meningkat
dan menurun sesuai keadaan lingkungan (Tanudirjo, 2001). Di bagian lain
Wallacea, Samper-Carro (2015) yang melakukan analisis terhadap strategi
subsistensi pada temuan dari Alor di Tron Bon Lei (21 kya) menemukan adanya
ketergantungan yang kuat pada sumber daya laut dan menunjukkan upaya
penangkapan ikan secara intensif. Indikasi serupa juga ditemukan di Pia Hudale,
3
Pulau Roti (Mahirta dkk, 2004) dan Golo, Pulau Gebe (Bellwood, 1998). Kail
ikan dengan konteks pertanggalan 16 s.d. 23 kya yang dibuat dari kerang
gastropoda (Trochus nilocitus) terungkap di ceruk hunian Jerimalai, Timor Leste.
Pada deposit yang lebih tua juga ditemukan ekofak tulang ikan laut dalam yang
berasal dari konteks hunian 42 kya (O’Connor dkk, 2011., O’Connor, 2012).
Kepulauan Indonesia dengan sejarah pembentukannya yang panjang, terdiri
dari dua landas benua Sunda dan Sahul dengan jajaran pulau-pulau diataranya.
Taburan pulau yang disebut Wallacea ini tidak pernah terhubung dengan jalur
darat sejak masa Quaternary (Voris, 2000., Sathiamurthy dan Voris, 2006).
Kondisi ekologi diantara ketiga area tersebut juga berlainan satu sama lain yang
menyebabkan berkembangnya pola subsistensi yang berbeda. Sebagai contoh,
perbedaan akan ketersediaan sumber daya alam berdampak pula pada inovasi
teknologi perburuan yang akan disesuaikan dengan bahan yang tersedia dan jenis
fauna yang menjadi pilihan konsumsi. Morfologi lingkungan tempat hidup mereka
juga akan berdampak pada pola hunian yang dianggap memenuhi kriteria yang
mereka butuhkan untuk bertahan hidup.
Banyaknya pulau yang tersebar di Wallacea yang banyak berbatasan dengan
perairan sempit, menuntut akan adanya teknologi maritim yang cukup tinggi
untuk menyokong subsistensi manusia pendukungnya
(Bowdler, 1977).
Kenyataan akan tingginya teknologi kelautan ini membuka kemungkinan bahwa
kolonisasi paling awal migrasi manusia dari Sunda ke Sahul dilakukan oleh para
pendukung budaya maritim yang hidup di pesisir dan baru kemudian merambah
ke sungai-sungai besar (O’Connor dkk, 2011). Sangat memungkinkan jika
4
kelompok yang sudah terbiasa dengan area pesisir, laut, dan lingkungan rawa
yang memiliki teknologi yang layak, pengetahuan, dan kemauan untuk berlayar
lepas pantai lah yang melakukan pelayaran, bukan masyarakat pedalaman yang
pergi berlayar karena alasan terdesak populasi maupun ketersediaan makanan
(Latinis, 2000: 48).
Ketinggian air laut juga menjadi faktor penentu dalam tren kehidupan pesisir.
Chappell (1993: 46., 2000: 89-90) berpendapat bahwa level air laut yang tinggi
akan memunculkan karang, laguna, rawa pantai, dan muara sehingga mendukung
kehidupan maritim. Oleh karena itu, lebih memungkinkan bahwa budaya maritim
banyak diadopsi ketika level air laut tinggi dan stabil. Di sisi lain, Simanjuntak
(2006: 372) berargumentasi bahwa naiknya air laut akan menenggelamkan
beberapa bagian pulau, sehingga memaksa manusia dan hewan yang telah
kehilangan sebagian wilayah mereka untuk berpindah ke tempat baru yang
memiliki sumber daya yang lebih banyak. Sebaliknya, turunnya level air laut
memungkinkan manusia dan hewan untuk berpindah dan mengeksploitasi area
pesisir yang baru. Kecenderungan tersebut memang sangat memungkinkan,
namun bukti arkeologis menunjukkan bahwa proses migrasi juga terjadi ketika
level air laut tinggi sekalipun (Mahirta, 2003: 4-5., O’Connell, Allen, and
Hawkes, 2010: 9) .
Pantai utara Timor Leste berbatasan langsung dengan garis pantai yang curam,
faktor tersebut ditambah dengan keberadaan saluran air laut dalam yang melewati
ujung timur pulau sehingga menghasilkan kondisi ideal untuk berburu ikan yang
hidup di laut dalam (O’Connor, 2013). Kondisi Pulau Kisar yang juga identik
5
dengan tebing-tebing curam di sisi selatan dan berbatasan dengan perairan dalam
(Major dkk, 2013: 151) membuat upaya eksploitasi laut yang mereka terapkan
kurang lebih akan seragam dengan Pulau Timor.
Sebelum Timor Leste memisahkan diri dari Indonesia, mereka kerap
melakukan kunjungan kerabat ke pulau Kisar dengan menggunakan kapal
sederhana. Pemeliharaan hubungan antara dua pulau ini dapat ditemukan di
sejarah lisan, bahasa, dan nama tempat yang digunakan bersama (O’Connor,
2013). Keterkaitan budaya antara keduanya bukan tidak mungkin terjadi sejak
ribuan tahun silam. Penemuan kail ikan di Timor yang telah digunakan sejak masa
Plestosen Akhir menunjukkan bukti budaya maritim yang kompleks di Wallacea
dan khususnya di area perairan tersebut (O’Connor dkk, 2011).
Hingga saat ini belum pernah ada tulisan menyangkut penelitian arkeologi di
Kisar. Dalam lingkup Wallacea, penelitian lebih banyak dilakukan di Sulawesi
dan beberapa pulau kecil di sekitarnya seperti Halmahera dan Talaud.
Sebelumnya, perhatian arkeolog di kepulauan Sunda Kecil tersita pada fenomena
Homo Floresiensis di Liang Bua, Flores dan co-eksistensinya dengan stegodon
kerdil yang menyebar dari Flores, Timor, Maluku, hingga Sulawesi (Morwood
dkk, 2007., van den Bergh dkk, 2009). Jajaran pulau di Wallacea terbukti menjadi
area yang menarik untuk dikaji dan melihat dinamika evolusi budaya yang yang
berkembang di dalamnya sesuai kondisi lingkungan dan biodiversitas faunanya.
Kisar merupakan salah satu pulau terdekat dengan Timor dengan kondisi
geografi yang relatif seragam. Pulau ini merupakan bagian dari busur luar dari
kepulauan Banda yang didominasi oleh daratan kapur. Layaknya pulau-pulau
6
kecil yang ada di sekitarnya, Kisar terbentuk dari pertemuan lempeng
Australasian dan Eurasian (Trainor, 2013). Dari penemuan lukisan cadas dan hasil
ekskavasi yang telah dilakukan, diketahui bahwa pulau ini juga telah dihuni
manusia sejak masa prasejarah, dan diperkirakan dalam kurun waktu yang tidak
jauh berbeda dengan Timor. Dari ukuran pulau yang relatif kecil dan jarak satu
pulau dengan pulau yang lain memungkinkan untuk mobilisasi, membuat Kisar
layak mendapat perhatian demi mengungkap strategi subsistensi yang telah
mereka lakukan.
I.2. Rumusan Masalah
Sesuai penjelasan yang telah dipaparkan tersebut, maka dirasa perlu untuk
menjawab pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa sajakah jenis sumber daya fauna yang dimanfaatkan oleh penghuni Gua
Here Sorot Entapa (HSE), Pulau Kisar, Indonesia?
2. Apakah terjadi perubahan dalam pemilihan sumber daya fauna oleh
komunitas pendukung gua selama masa prasejarah, dan apakah hal tersebut
berkorelasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi?
I.3. Tujuan Penelitian
Hasil penelitian ini akan menjelaskan jenis fauna yang menjadi pilihan dan
perubahan preferensi makanan manusia penghuni Gua Here Sorot Entapa (HSE)
dari masa ke masa dalam kaitannya dengan perubahan lingkungan. Kesimpulan
yang dihasilkan juga akan memberikan gambaran pola subsistensi di Pulau Kisar
dan situs-situs prasejarah di sekitarnya yang memiliki karakteristik serupa.
7
I.4. Tinjauan Pustaka
Ekskavasi arkeologis di Lene Hara, Timor yang dilakuan oleh Sue O’Connor,
Matthew Spriggs, dan Peter Veth (2002) membuka wacana akan tingginya
kebudayaan maritim di Wallacea terutama di kepulauan Sunda Kecil. Masih di
situs yang sama, terungkap teknologi penangkapan ikan yang hidup di laut dalam
telah berkembang sejak 42 kya (O’Connor dkk, 2011). Situs hunian Pia Hudale di
Pulau Roti juga mengungkap tinggalan ekofak hewan laut maupun darat sejak
masa Plestosen Akhir. Meskipun tidak ditemukan tinggalan hewan darat
berukuran sedang hingga besar, namun eksploitasi pada sumber daya kelautan di
sana menjangkau jarak yang cukup jauh sekitar 3-5 km (Mahirta dkk, 2004).
Ketergantungan akan sumber daya kelautan juga ditemukan di Alor dalam
penelitian Samper-Carro (2015) yang melakukan analisis fauna khusus pada
temuan tulang ikan di Tron Bon Lei. Namun perubahan pola konsumsi yang
terjadi dari masa ke masa belum banyak dilakukan dalam penelitian-penelitian
tersebut, terutama pada perbandingannya terhadap perubahan lingkungan dan
korelasinya dengan ketersediaan sumberdaya makanan dan preferensi masyarakat
prasejarah.
I.5. Objek Penelitian
Pada Mei 2015, Australian National University yang berkolaborasi dengan
Universitas Gadjah Mada dan Balai Arkeologi Ambon mengadakan survei
arkeologi di Pulau Kisar. Kisar merupakan pulau kecil yang berada di Selat Wetar
dan masuk ke dalam wilayah Kabupaten Maluku Barat Daya. Secara resmi pulau
ini terdaftar sebagai salah satu dari 92 pulau terluar Indonesia. Pulau yang
8
terdekat dengan Kisar ialah Leti, Moa, dan Timor. Hasil survei tersebut
mengidentifikasi akan adanya potensi arkeologi berdasarkan pada lukisan dinding
dan temuan permukaan di beberapa gua hunian di sana. Sebagai tindak lanjut dari
temuan tersebut, kegiatan ekskavasi diselenggarakan pada Oktober 2015 salah
satunya di Gua Here Sorot Entapa yang terletak di Pantai Wosi/Posi, Dusun
Kiomanumere, Desa Wonreli.
Gambar 1. Lokasi Pulau Kisar diantara pulau-pulau lain di Kepulauan Sunda Kecil
(Anderson, 2013)
Gambar 2. Foto udara Pulau Kisar diambil dari googleearth pada
Agustus 2016. Warna merah menunjukkan letak situs.
9
Gambar 3. Foto udara situs Here Sorot Entapa yang menunjukkan
jarak situs dengan garis pantai. Diambil dari googleearth pada
Agustus 2016.
Gua HSE merupakan gua hunian yang memiliki mulut gua dan ruang di
dalamnya. Sebagian besar lukisan dinding berada di area mulut gua. Dari bentuk
teras karang yang bertingkat di sepanjang area pesisir sekitar gua, diperkirakan
bahwa gua ini terbentuk oleh pengangkatan teras batuan karst yang berjalan
sejajar dengan garis pantai. Gua ini menghadap ke selatan dan kurang lebih berada
22 m di atas permukaan laut dan berjarak sekitar 100 m dari garis pantai saat ini.
Dari sana kita dapat melihat ujung timur Pulau Timor dengan mata telanjang.
Hingga kini masyarakat masih kerap mencari ikan dan biota laut lainnya di
seputar pesisir pantai dengan peralatan sederhana.
Ekskavasi dilakukan dengan menggali dua lubang yang masing-masing
memiliki lebar 1x1 m yang disebut HSE-A dan HSE-B. HSE-A berada di sisi
timur; dekat dengan dinding gua, sedangkan HSE-B terletak tepat di selasar mulut
gua. Proses penggalian dilakukan dengan metode spit per 5 cm. HSE-A mencapai
kedalaman 26 spit (130 cm) dan 25 spit (125 cm) untuk HSE-B. Ekskavasi pada
kedua lubang dihentikan setelah mencapai lapisan budaya steril berupa pasir
10
pantai dan karang yang secara langsung berada di bawah lapisan deposit budaya.
Tanah hasil galian setiap spitnya ditimbang untuk mengetahui volume sedimen
yang telah digali. Sedimen hasil ekskavasi melalui dua proses pengayakan.
Pertama diayak secara kering lalu kemudian secara basah dengan lubang ayakan
sebesar 1.5 mm untuk menjaga agar deposit yang berukuran kecil tidak hilang.
Deposit kemudian diklasifikasikan sesuai kategorinya seperti; tulang, kerang,
kepiting, bulu babi, sisa tumbuhan, arang, alat batu, karang, oker, tembikar, dan
artefak lainnya seperti kail dan manik-manik.
I.6. Ruang Lingkup Penelitan
Penelitian ini menggunakan data dari hasil penggalian kotak HSE-B di Gua
Here Sorot Entapa, Pulau Kisar. Data primer didapat dari analisis fauna yang
dilakukan pada ekofak fauna dari seluruh spit kotak HSE-B. Analisis fauna
dilakukan hingga tahap taksonomi yang berbeda pada setiap jenis hewan (lihat
tabel 1). Tujuan dilakukannya identifikasi adalah untuk mengetahui habitat hidup
hewan tersebut sehingga dapat diperkirakan bentuk usaha manusia pendukungnya
dalam mencari makanan. Bentuk ekosistem yang menjadi dasar acuan yakni (1)
perairan laut dalam, (2) pesisir, dan (3) daratan.
Kondisi lingkungan akan diketahui dari data sekunder melalui perbandingan
stratigrafi, perubahan level air laut melalui kajian pustaka, dan pertanggalan
radiokarbon yang dilakukan oleh Prof. Sue O’Connor. Pada situs yang sama
dilakukan juga analisis microplant oleh Alifah dari Balai Arkeologi Yogyakarta
sekaligus mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada dan analisis kerang oleh Yuni
Suniarti, mahasiswa S1 dari Universitas Gadjah Mada.
11
I.7. Metode Penelitian

Pengumpulan Data
Dalam rangka menyusun skripsi ini, digunakan data dari hasil ekskavasi di Gua
Here Sorot Entapa. Penulis terlibat secara langsung dalam proses ekskavasi.
Temuan zooarkeologi dari setiap spit dari hasil ekskavasi di lubang HSE-B akan
diklasifikasikan
sesuai
jenisnya
seperti;
kerang
(Mollusca),
kepiting
(Malacostraca), bulu babi (Echinodermata) dan berbagai macam tulang. Seluruh
deposit temuan tulang di setiap spit dari hasil ekskavasi akan diklasifikasikan
berdasarkan taksonomi seperti; ikan bertulang keras (Arctinopterygii), ikan
bertulang rawan (Elasmobranchii), penyu (Testudines), ular (Serpentes), kadal
kecil squamata (Lacertilia), burung (Aves), kelelawar (Chiroptera), tikus
(Rodentia), celurut (Eulipotyphla) dan beberapa jenis mamalia yang belum dapat
diidentifikasi. Seluruh temuan hewan tersebut diasumsikan merupakan sisa
makanan manusia berdasarkan asosiasinya yang berada dalam konteks budaya
seperti arang, tembikar, artefak batu, manik-manik, dan kail. Selain itu, variasi
warna
tulang
juga
menunjukkan
aktivitas
pembakaran
oleh
manusia
pendukungnya.
Proses identifikasi yang dilakukan oleh penulis menggunakan referensi koleksi
tulang di Department of Archaeology and Natural History di Australian National
University dan dilakukan di bawah bimbingan Dr. Stuart Hawkins (ANU).
Seluruh temuan yang sudah disortir kemudian ditimbang untuk mengetahui berat
masing-masing jenis fragmen tulang hewan di setiap spitnya.
12

Pengolahan dan Analisis Data
Hasil penimbangan fauna yang didapat akan dikomparasikan secara statistik
untuk menentukan perubahan kuantitas dari masa ke masa. Untuk mengurangi
bias, perbandingan persentase dibagi menjadi tiga jenis:
1. Persentase berat mutlak
2. Persentase berat relatif
3. Persentase subsistensi relatif.
Persentase berat mutlak ialah berat bersih ekofak fauna, sedangkan persentase
berat relatif didapat dengan perhitungan dari berat salah satu fauna dibandingkan
dengan berat seluruh deposit (ekofak, artefak, tanah, bebatuan, dan karang). Hal
ini untuk menanggulangi perbedaan volume tanah yang digali di tiap spit.
Sebagai contoh:
Persentase berat relatif= 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑖𝑡
𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑑𝑒𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑖𝑡
x 100%
Persentase subsistensi relatif didapat dari berat salah satu fauna dibandingkan
dengan berat seluruh ekofak (kerang, bulu babi, kepiting, dan tulang). Sebagai
contoh:
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑖𝑡
Persentase subsistensi relatif= 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡
𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑒𝑘𝑜𝑓𝑎𝑘 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑖𝑡
x 100%
Dari data statistik yang didapat akan diketahui perubahan pola sumber bahan
makanan berupa binatang yang mereka konsumsi. Untuk kepentingan proses
analisis, binatang yang sudah diidentifikasi akan diklasifikasikan sesuai
habitatnya sebagai berikut:
1. Hewan laut, mencakup segala jenis ikan dan penyu.
2. Hewan darat, mencakup segala jenis mamalia darat, reptil, dan burung.
13
3. Hewan pesisir, mencakup kerang, teritip, kepiting, dan bulu babi.
Pertanggalan radiokarbon pada sampel arang dan kerang akan dapat digunakan
untuk memberikan dasar acuan perubahan lingkungan yang terjadi pada masanya.
Berbagai macam faktor seperti kontur pulau, kelembaban, iklim, temperatur,
hingga jarak gua dari garis pantai akan memberikan indikasi akan ketersediaan
sumber daya fauna yang dapat dimanfaatkan. Dari usaha tersebut diharapkan
perubahan pola diet fauna yang dilakukan oleh masyarakat pendukung HSE dapat
diperkirakan korelasinya dengan perubahan lingkungan.

Penarikan Kesimpulan
Dengan mengetahui perubahan pemilihan makanan yang terjadi pada penghuni
Gua Here Sorot Entapa dan hubungannya dengan perubahan lingkungan, kita
akan memahami pola subsistensi masyarakat pendukung gua ini secara khusus
dan Pulau Kisar secara umum. Data yang ada dapat diperbandingkan dengan
situs-situs lain yang ada di Wallacea maupun situs-situs lain yang memiliki
karakteristik serupa. Strategi subsistensi yang mereka lakukan juga dapat
dikaitkan dengan teknologi yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup maupun
pola migrasi dalam usaha penyebrangan dari Sunda ke Sahul.
14
BAGAN ALIR
Rumusan Permasalahan
Pengumpulan Data
Analisis Fauna
Laut
Darat
Permasala
Permasala
han
han
Data Lingkungan
Pesisir
Pertanggalan
Radiokarbon
Stratigrafi
Level Air
Laut dan
Oxygen
Isotope
Identifikasi Taksonomi
Analisis Perubahan Lingkungan
Perubahan Pola Diet
Perubahan Kondisi Lingkungan
Rekonstruksi Pola Subsistensi
Download