TINJAUAN PUSTAKA Artemisinin dan Turunnnnya Artemisinin, suatu seskuiterpena lakton tipe kadinan yang memiliki jembatan endoperoksida, adalah senyawa aktif yang berkhasiat antimalaria dan efektif terhadap parasit Plasmodium yang resisten terhadap klorokuin dan malaria serebral (Titulaer et al. 1990). Tinjauan oleh Edwards (1997), Bagchi et al. (1997), dan Kawamoto et al. (1998) menyebutkan bahwa turunan semi sintetik artemisinin (Gambar 1) yang banyak digunakan ialah artemether, arteether, dan artesunat, yaitu eter metil, eter etil, dan ester hemisuksinat dari dihidroartemisinin serta arteannuin Bydeoksiartemisinin, asarn artemisinat, dan sodium artelinat. Struktur Kimia Artemisinin Hasil analisis spektrum massa resolusi tinggi ( d z 282,1470 M.') dan analisis unsur (63,72% C; 7,86% H; dan 28,42% 0 ) menunjukkan bahwa rumus molekul artemisinin adalah C15Hz205(Zheng 1994). Analisis kristalografi sinar-X menunjukkan bahwa 15 atom karbon dan 5 atom oksigen dalam molekul artemisinin terangkai dalam empat cincin heterosiklik. Cincin A merupakan sikloheksana berkonformasi kursi. Cincin D adalah 6-lakton yang berperan terhadap bentuk pelekukan kursi. Cincin B dan C merupakan oksiheterosiklik jenuh. Data parameter struktural membuktikan bahwa cincin AID, A/B, dan CID semuanya terikat secara cis, sedangkan D/B secara trans (China Cooperative Research Group 1982). Gambar 2 menunjukkan hasil interpretasi struktur kimia artemisinin (Klayman 1993). Bicchi dan Rubiolo (1996) melaporkan bahwa artemisinin memiliki rangka karbon kadinan dengan massa relatif 282. THO? ,,llll~ q -. artemloW n art emisiten - - arteannuin B .- deoksbrtemidrin 4q W P HO' HOOC 0 0 HdOC am mkdBfenisinat a ~ ~mm # m t edemida albhol artemido leton H rnanru h A rrtaidtul R WJ artsmother r W$l$ rttetttrer N, oodiwm artelinate artsrunsts Ga~nbar1 . Berbagai senyawa ki~niaartemisinin dan turunannya hasil isolasi dari tanaman Arlemisia spp. (Brown 1994; Ferreira dan Janick 1996; Meslinick et al. 1996; Bagchi et al. 1997; Edwards 1997; Kawamoto et a/. 1998). Artemisinin memiliki struktur unik yang berbeda dengan senyawa antimalaria yang telah ada. Umumnya senyawa antimalaria memiliki cincin heterosiklik yang mengandung atom nitrogen (termasuk golongan alkaloid), seperti kuinin dan klorokuin (Meshnick et al. 1996). Namun artemisinin merupakan golongan seskuiterpena dengan gugus endoperoksida tanpa adanya atom nitrogen. Tinjauan oleh Meshnick et al. (1996) menduga bahwa kunci aktivitas antimalaria terletak pada gugus endoperoksida karena senyawa turunan yang tidak mempunyai gugus endoperoksida, seperti deoksiartemisinin, dihidrodeoksiartemisinin, artemisilakton, arteannuin A, arteannuin E, artemisinol, artemisia alkohol, dan artemisia keton ternyata tidak aktif. Bagchi et 'al. (1997) turut melaporkan bahwa uji toksisitas artemisinin dan arteether lebih tinggi dibandingkan senyawa turunan tanpa jembatan endoperoksida (arteannuin B dan asam artemisinat). Struktur cincin kompleks dari artemisinin.. tidak penting dan hanya jembatan endoperoksida yang dibutuhkan untuk aktivitas trioksan, fenosan 50F, tetrosan, dan diterpen peroksida (beberapa contoh peroksida organik) yang terbukti mempunyai aktivitas antimalaria. Mekanisme aksi artemisinin diduga melibatlcan dua tahap reaksi, yaitu aktivasi dan alkilasi. Artemisinin diaktivasi oleh besi molekuler untuk menghasilkan radikal bebas dan senyawa antara elektrofilik (pengalkilasi) melalui pemenggalan jembatan endoperoksida. Spesies reaktif tersebut akan bereaksi dengan merusak protein membran parasit. Sifat Fisiko-Kimia Artemisinin Artemisinin merupakan kristal jarum dengan sistem kristal ortorombik (Chan et a1 1997), [ a ] " ~+66,3 dengan densitas 1,30 g/cm3. Beberapa literatur menunjukkan kisaran titik leleh yang bervariasi, antara lain 156-157 OC (QACRG 1979), 153-154 OC (Klayman et al. 1984), 150-152 OC (Acton et al. 1986), dan 154 OC (ElSohly et al. 1990). Senyawa seskuiterpena ini larut dalam pelarut aprotik, seperti kloroform, aseton, etil eter, dan etil asetat, tetapi sedikit larut dalarn pelarut air dan minyak (Klayman 1985). Tinjauan oleh Geldre et al. (1997) menyatakan bahwa studi stabilitas termal menunjukkan stabilitas artemisinin sampai 150 OC, tetapi akan terdegradasi menjadi beberapa produk bila dipanaskan pada 180-200 'c. Tinjauan oleh Kohler et al. (1997) dan Brown (1994) menyebutkan beberapa metode analisis artemisinin, di antaranya dengan uji kromatografi cair kinerja tinggi dengan deteksi ultra violet dan elektro kimia (HPLC-UVIEC), kromatografi lapis tipis (TLC), kromatografi gas (GC), enzimatis (enzymeimmunoassay), resonansi magnetik inti proton dan karbon ('H - I3cNMR), dan spektroskopi massa resolusi tinggi (MSIMS). Analisis artemisinin cukup sulit dilakukan karena beberapa faktor. Senyawa ini relatif tidak stabil, kandungan di dalam tanaman rendah, dan senyawa lain di dalam ekstrak kasar dapat mengganggu pendeteksiannya. Identifikasi dengan TLC tidak dapat diandalkan karena penampakan noda molekul kurang jelas. Hal ini disebabkan kurangnya gugus kromofor pada artemisinin dan kurang kuatnya interaksi molekul dengan silika gel. Sementara itu, adanya konstituen yang terserap pada panjang gelombang 2 10 nm dalain identifikasi menggunakan HPLC-UV n~enyebabkan puncak artemisinin tidak tampak (Geldre et al. 1997). . Perkenlbangan Mctode Isolasi Artemisinin Berbagai metode isolasi arten~isininterus diteliti dan dikembangkan. Hal ini disebabkan kandungan arten~isininyung rendah dalam tanaman (< 0,13%) (Chan et al. 1995) sehingga dibutuhkan sumber lain (seperti dari mikroorganisme endofit) untuk dapat menghasilkan artemisinin dengan rendemen tinggi. Pada tahun 1972, QACRG melakukan isolasi artemisinin dari A. annua yang tumbuh di Cina. Kimiawan Cina yang tergabung dalam QACRG tersebut hanya mengatakan bahwa pelarut yang digunakan adalah dietil eter, tanpa menjelaskan prosedurnya dengan rinci. Klayman et al. (1984) melakukan penelitian secara menyeluruh mengenai isolasi artemisinin dari A. annua yang tumbuh di Washington, D.C. Pelarut yang digunakan adalah berbagai pelarut organik bertitik didih rendah, seperti dikloro metana, kloroform, dietil eter, petroleum eter, dan dimetil keton. Hasil seleksi menunjukkan bahwa jenis pelarut petroleum eter (td. 30-60 OC) dinilai paling baik untuk kepentingan tersebut. Sementara fraksinasi dilakukan dengan metode kromatografi kolom menggunakan fase gerak 7,5% etil asetatlkloroform. Ekstraksi daun A. annua menghasilkan 0,06% artemisinin (153-154 OC). Namun metode ini masih memiliki kelemahan karena artemisinin yang dihasilkan masih terkotori oleh -1 0% artemisiten, sehingga perlu pemurnian lebih lanjut dengan metode HPLC. Acton et al. (1986) menyarankan penggunaan Ito multilayer coil separator- extractor untuk fraksinasi dan pemurnian artemisinin. Penggunaan radas Ito ini diketahui lebih praktis dan ekonomis dibandingkan dengan HPLC. Sementara ekstraksi dari A. annua yang tumbuh di Silver Spring, MD, Amerika Serikat ! menghasilkan 0,07% artemisinin murni (1 50-152 OC). Kohler et al. (1997) melaporkan teknik isolasi terbaru dengan mengekstraksi artemisinin berikut prekursornya (asam arternisinat) dari A. unnua menggunakan supercritical carbon dioxide (S 0 D). Produk Biotransformasi dan Potensi Mikroorganisme Endofit Beberapa cara sintesis artemisinin telah dilaporkan, namm akibat molekul yang agak kompleks maka senyawa ini tidak mungkin disintesis secara kimia dengan cara yang murah. Vandenberghe et al. (1995) menambahkan bahwa herba A. annua tetap merupakan sumber yang praktis bagi senyawa antimalaria ini. Salah satu pendekatannya ialah meningkatkan kadar atau produktivitas biosintesis artemisinin melalui rekayasa genetika. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila proses enzimatik yang mengatur jalur biosintesis artemisinin diketahui, sehingga jalur ini dapat dikendalikan. Prekursor utama seskuiterpena, farnesil pirofosfat, disintesis dari asam mevalonat. Farnesil pirofosfat dapat bersiklikasi menghasilkan antara lain rangka germakran dan kadinan. Setelah oksidasi, dihasilkan asam artemisinat (asam artenuat). Telah disarankan oleh Nair dan Basile (1993) bahwa asam artemisinat ini dapat mengalami biokonversi menjadi arteannuin B, dan selanjutnya via artemisiten menjadi artemisinin. Beberapa galur fungi diketahui berperan dalam hidroksilasi mikrobial senyawa seskuiterpena. Adanya gugus hidroksil tunggal di dalam senyawa artemisinin membatasi jumlah dan macam turunan yang diproduksi. Hidroksilasi mikrobial dapat memungkinkan preparasi senyawa-senyawa baru turunan artemisinin yang lebih beragam dengan aktivitas antimalarianya. Penentuan suatu metode mikrobial yang dapat mengintroduksikan suatu gugus hidroksil ke dalam salah satu metil yang tidak teraktivasi atau gugus metilen perlu diperhatikan (Ziffer et al. 1992). Hufford et al. (1995) melaporkan bahwa arteether yang diperoleh dari . dihidroartemisinin, suatu hasil reduksi artemisinin dengan NaBH4, mengalami metabolisme oleh mikrooorganisme Cunninghamella elegans ATCC 9245 menghasilkan la-hidroksiarteether dan 9P-hidroksiarteether yang dapat dipisahkan dari kultur C. elegans, , metabolit dapat dipisahkan dari kultur fermentasi Streptomyces lavendular L 105. Produksi metabolit sekunder ini dapat dilakukan dengan beberapa cara. Psopagasi kultur miksoorganisme yang potensial dapat dilakukan sehingga diperoleh hasil yang serupa ckstraksi dari hihir ~ ~ n a m abahkan n dengan rendemen yang lebih besar dan waktu yang lebih singkat. Produksinya dapat pula dilakukan secara langsung, yaitu dengan menyiapkan kultur contoh yang dilanjutkan dengan kultur dalam fermentor. Beberapa galur mikroorganisme endofit digunakan untuk mengintroduksi gugus hidroksil ke dalam senyawa artemisinin dan berbagai turunannya. (1992) menggunakan spesies fungi Beauveria sulfurescens Ziffer et al. dalam proses biotransformasinya sehingga dihasilkan senyawa intermediet atau prekursor untuk sintesis senyawa turunan lebih lanjut. Produksi turunan artemisinin melalui hidroksilasi mikrobial pada kondisi preservasi jembatan endoperoksida diperlukan untuk aktivitas antimalaria. Turunanturunan artemisinin yang terhidroksilasi tersebut dapat digunakan untuk menghasilkan alternatif artemisinin yang berguna. Produk turunan disiapkan dengan mereduksi lakton menjadi suatu ketal yang memiliki gugus hidroksil (Ziffer et al. 1992). Tinjauan oleh Kawamoto et al. (1998) menyebutkan bahwa spesies fungi Mucor mucedo dan Aspergillus flavipes dilaporkan dapat menghasilkan epimerik 3hidroksi asam artemisinat.