Gangguan Somatisasi Disusun oleh: Sunny 102012325 A3 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510 Telp : (021) 5694-20 [email protected] Pendahuluan Latar belakang Gangguan somatisasi sudah dikenal sejak zaman mesir kuno. Nama awalnya untuk gangguan somatisasi adalah hysteria, suatu keadaan yang secara tidak tepat diperkirakan hanya mengenai wanita saja. Hysteria berasal dari bahasa Yunani “ Hysteria” yang diartikan sebagai rahim. Pada abad ke-17, Thomas syndenham menemukan bahwa faktor psikologis yang dinamakannya penderitaan yang mendahului (antecendent sorrow) adalah terlibat dalam patogenese gejala somatisasi. Ditahun 1859 Paul Briquet, seorang dokter Perancis mengamati banyaknya gejala dan sistem organ yang terlibat dalam perjalanan penyakit yang biasanya kronis. 1 Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani “soma” yang berarti tubuh. Dan gangguan somatoform adalah kelompok penyakit luas dan memiliki tanda serta gejala berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama. Gangguan ini mencakup interaksi pikiran– tubuh. Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukan adanya kaitan dengan keluhan pasien. Gangguan somatoform meliputi: Gangguan somatisasi (somatization disorder), Gangguan konversi (conversion disorder), Gangguan nyeri (pain disorder), Hipokondriasis (hypochondriasis), Gangguan dismorfik tubuh (body dysmorphic Disorder).1,2 Hipotesis Pasien tersebut menderita gangguan somatisasi. Sasaran pembelajaran 1. Mengetahui dan memahami maksud dari dilakukannya anamnesis. 2. Mengetahui dan memahami tata cara pemerikasaan fisik pada Gangguan somatisasi. 1 3. Mengetahui pemeriksaan penunjang apa saja yang dapat dilakukan pada Gangguan somatisasi. 4. Mengetahui dan memahami diagnosis kerja Gangguan somatisasi. 5. Mengetahui dan memahami diagnosis banding antara Gangguan somatisasi dengan penyakit lain yang mempunyai gejala yang hampir sama. 6. Mengetahui dan memahami etiologi Gangguan somatisasi. 7. Mengetahui dan memahami epidemiologi dari Gangguan somatisasi. 8. Mengetahui dan memahami patofisiologi dari Gangguan somatisasi. 9. Mengetahui dan memahami gejala-gelaja klinik dari Gangguan somatisasi. 10. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan medik dan non-medik dari Gangguan somatisasi. 11. Mengetahui dan memahami komplikasi apa saja yang dapat terjadi karena Gangguan somatisasi. 12. Mengetahui dan memahami pencegahan dari Gangguan somatisasi. 13. Mengetahui prognosis Gangguan somatisasi. 2 Isi Skenario 7 Seorang perempuan usia 51 tahun datang ke dokter dengan keluhan rasa tidak enak di perut, kembung, terasa naik ke atas sehingga pasien merasa sesak, keluhan lain rasa sakit di dada kiri kadang menyebar ke bagian kanan. Keluhan lain ada rasa pegal di leher dan kesemutan di tungkai atas sampai kedua belah kaki. Keluhan ini sudah berlangsung sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu dan sudah mendapat pengobatan dari beberapa dokter. Ditambahkan bahwa siklus menstruasi pasien normal. Pembahasan Prosedur Pemeriksaan Pemeriksaan psikiatrik lengkap berbeda dari pemeriksaan medik umum, dalam hal perhatian khusus yang diarahkan pada manifestasi fungsi mental, emosional dan perilaku. Pemeriksaan dilakukan untuk menyusun laporan tentang keadaan psikologik dan psikopatologik pasien. Kerangka umum pemeriksaan lengkap terdiri atas:2 1. Pemeriksaan tidak langsung (indirect examination) Anamnesis-keluhan tentang gangguan sekarang dan laporan pasien mengenai perkembangan tentang keluhannya itu, serta riwayat situasi hidup pasien. Keterangan mengenai pasien yang diperoleh dari pihak keluarga atau orang yang mengenalnya. 2. Pemeriksaan langsung (direct examination) Pemeriksaan fisik terutama status internus dan neurologik Pemeriksaan khusus psikik: penampilan umum, bidang emosi, bidang pikiran/ideasi, bidang motorik/perilaku. 3. Pemeriksaan tambahan, yang dilakukan apabila ada tambahan khusus untuk melaksanakan pemeriksaan itu seperti uji psikologik, elektroensefalografi, foto sinar tembus, CT scan, pemeriksaan zat kimia tubuh misalnya hormon, dll. Inti prosedur pemeriksaan psikiatrik adalah pemeriksaan khusus psikik (penampilan umum, bidang emosi-afek, pikiran ideasi, motorik perilaku) selanjutnya evaluasi data yang diperoleh harus dibuat dalam konteks keseluruhan data yang dihasilkan dari pemeriksaan lengkap.2 3 Data khusus psikiatrik yang dihasilkan dari suatu pemeriksaan psikiatrik adalah data perihal fungsi kejiwaan, yang diperoleh melalui observasi penampilan dan perilaku pasien, pengamatan interaksi antara dokter dan pasien, pengamatan interaksi antara pasien dan lingkungannya, dan pemahaman humanistik sang dokter mengenai pasien. “alat pemeriksaan” psikiatrik adalah kepribadian dokter sendiri. Pemeriksaan ini diarahkan, dan data diungkapkan dalam pembicaraan antara dokter dan pasien, yang disebut wawancara psikiatrik. Wawancara Psikiatrik Wawancara merupakan wadah utama pemeriksaan psikiatrik. Secara teknis sukar dipisahkan, misalnya antara anamnesis dan pemeriksaan khusus psikik dan antara bidangbidang khusus pemeriksaan psikik. Agar wawancara dapat menghasilkan data yang dapat diandalkan hendaknya senantiasa diusahakan untuk menciptakan dan memelihara hubungan yang optimal antara dokter dan pasien. Pemeriksa membuka percakapan dengan perkenalan yang dilanjutkan dengan pengambilan anamnesis yang terdiri atas keluhan utama, hal mengenai penyakit saat ini, riwayat lampau, riwayat keluarga. Anamnesis diambil dari pasien sendiri dan dapat dilakukan allo-anamnesis kepada keluarga, teman dan orang-orang sekitar yang berhubungan langsung dengan pasien.2 1. Identitas pasien Berupa nama, alamat, umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, bahasa, suku bangsa dan agama. Catat pula tempat dan situasi saat dilakukan wawancara terhadap pasien sumber informasi dan apakah gangguan yang dialami pasien adalah gangguan yang pertama kali dialami pasien. Tanyakan atau perlu diketahui apakah pasien datang sendiri dibawa oleh anggota keluarga atau dikonsultasikan oleh sejawat. 2. Riwayat psikiatrik A. Keluhan utama Tanyakan kepada pasien mengenai apa yang dirasakan, alasan berobat dan indikasi perawatan dan sejak kapan. B. Riwayat gangguan sekarang 4 Minta pasien secara kronologis onset gangguan kejiwaannya, perkembangan gejala, faktor-faktor yang mempengaruhi (stressor organobiologik, psikososial). Juga tanyakan mengenai dampak gangguan yang dialami terhadap pekerjaan, fungsi sosial dan kegiatan sehari-hari, pernah diobati/dirawat dimana sebelum dibawa ke RS, diberikan obat apa, bagaimana reaksinya, upayakan sedapat mungkin sampai di dapat kesan diagnosis sementara gangguan jiwa. C. Riwayat gangguan sebelumnya Gangguan psikiatrik Uraikan secara kronologis onset penyakit yang pertama kali, usia awitan, perkembangan gejala, faktor-faktor yang mempengaruhi (faktor organobiologik, psikososial), dampak gangguan pada fungsi pekerjaan, fungsi sosial dan kegiatan sehari-hari, pernah diobati/dirawat dimana, diberikan obat apa, bagaimana reaksinya, efek samping obat, kepatuhan pengobatan, upayakan sedapat mungkin sampai didapat kesan diagnosis gangguan jiwanya pada saat itu, hasil pengobatannya (efek terapeutiknya), gejala sisa, remisi parsial/remisi total, kegiatan setelah terapi. Gangguan medik Apa pasien pernah mengalami gangguan fisik/penyakit sebelumnya, diagnosis, terapi dan kondisi setelah terapi. Penggunaan zat psikoaktif Jika pasien mempunyai riwayat menggunakan zat psikoaktif, tanyakan jenis psikoaktif yang pertama kali digunakan, kapan, dosis, frekuensi, cara pemakaian, dampak penggunaannya, gejala putus zat, terapi, sembuh/masih menggunakan zat itu atau menambah /mengganti zat lain, pemakaian terakhir. Skema perjalanan gangguannya Mulai dari sakit yang pertama kali, gejalanya, stresornya, diagnosisnya, terapinya, lama sakitnya, hasil terapi, gejala sisa, kegiatan setelah terapi, demikian pula dengan sakit yang kedua, ketiga dan seterusnya. 5 D. Riwayat kehidupan pribadi Riwayat perkembangan fisik Riwayat perkembangan kepribadian Riwayat pendidikan Riwayat pekerjaan Kehidupan beragama Riwayat kehidupan psikoseksual dan perkawinan E. Riwayat keluarga F. Situasi kehidupan sosial sekarang 3. Status mental A. Deskripsi umum a. Penampilan Deskripsikan apa yang tampak: sikap, cara berpakaian, dadanan, make up, postur tubuh, rambut, jenggot, kumis, kebersihan diri, tampak lebih tua/muda/sesuai usia, dll. b. Kesadaran i. Kesadaran neurologik/sensorium: compos mentis, apatis, somnolen, sopor, sopor-coma, coma, delirium. ii. Kesadaran psikiatrik(kualitas kesadaran): Tampak terganggu Tampak tidak terganggu Perilaku dan aktivitas psikomotor seperti tenang, gelisah, cemas, katatonia, stereotipi, hiperaktivitas, kompulsi, menarik diri, pada saat sebelum, saat dan setelah wawancara. c. Sikap terhadap pemeriksa Apakah pasien bersikap kooperatif, indeferen, apatis, curiga, antisosial, bermusuhan, pasif, aktif, ambivalen, tegang, seduktif, dll. d. Kualitas berbicara Cara bicara: spontan/tidak, cepat/lambat, keras/lemah, lancar, tersendat, gagap, dramatik, monoton, sambil menggerutu/bergumam, dll. 6 Gangguan bicara: afasia, disartria/pelo, latah(ekolalia), dll. B. Alam perasaan (emosi) Emosi yang bersifat menetap (musimnya emosi), berlangsung lama, internal, yang dapat dikemukakan pasien, dan memengaruhi persepsi/perilaku seseorang tentang dunia sekitarnya, secara obyektif dapat dilihat dari cara bicaranya, banyak/sedikit pembicaraannya.2 Pemeriksaan Fisik Dari anamnesis dapat diperoleh hal-hal tertentu yang perlu diperiksa secara khusus atau lebih mendalam pada pemeriksaan fisik. Apabila pemeriksaan fisik sudah dilakukan sebelumnya, dapat ditentukan pemeriksaan fisik tambahan lainnya yang masih perlu. Penampilan dan perilaku umum: Apakah pasien terlihat rapih atau lusuh; apakah sikapnya tegang, santai, kaku, tak peduli; apakah ia banyak bicara atau sedikit; nada suara lembut atau keras, terbata-bata atau lancer. Kesadaran: Nilai kesadaran pasien, keadaan sadar yang baik yakni compos mentis, kesadaran menurun , sopor, somnolen, koma. Ekspresi Tanda-tanda vital Gangguan Somatisasi Gangguan somatisasi banyak dicirikan dengan gejala-gejala somatik yang banyak tidak dapat dijelaskan berdasarkan pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Keluhan yang diutarakan pasien sangat melimpah dan meliputi berbagai sistem organ seperti gastrointestinal, seksual saraf dengan keluhan nyeri. Gangguan ini bersifat kronis berkaitan dengan stresor psikologis yang bermakna, menimbulkan hendaya dibidang sosial dan okupasi, serta adanya perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan. Dikenal juga dengan briquet’s syndrome.3 Keluhan yang paling sering biasanya berhubungan dengan sistem organ gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, bertahak, mual dan muntah ) dan keluhan pada kulit seperti rasa gatal, terbakar, kesemutan, baal dan pedih. Pasien juga sering mengeluhkan rasa sakit di berbagai organ atau sistem tubuh, misalnya persendian, tulang belakang, dada atau nyeri saat berhubungan badan. Kadang juga terdapat keluhan disfungsi seksual dan gangguan haid.4 7 Epidemiologi Prevalensi sepanjang hidup gangguan pada populasi diperkirakan adalah 0,1 – 0,2% walaupun beberapa kelompok penelitian percaya bahwa angka sesungguhnya mungkin mendekati 0,5 %. Wanita dengan gangguan somatisasi melebihi jumlah laki – laki sebesar 520 kali, walupun perkiraan tertinggi mungkin karena kecenderungan awal yang tidak mendiagnosis ganguan somatisasi pada laki-laki. Namum demikian, dengan rasio wanita berbanding laki-laki adalah 5 berbanding 1, prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi pada wanita dipopulasi umum adalah 1 atau 2 persen. Gangguan somatisasi didefinisikan dimulai sebelum usia 30 tahun, tetapi seringkali mulai usia belasan tahun (remaja). 1,3 Etiologi a. Faktor Psikososial Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Secara psikososial gejala gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang bertujuan untuk menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimpulkan perasaan.Pengajaran orang tua, contoh orang tua, dan budaya dapat mengakibatkan pasien terbiasa menggunakan somatisasi.3 b. Faktor Biologis Data genetik menunjukan bahwa gangguan somatisasi memiliki komponen genetic. Gangguan cendrung menurun pada kelurga dan terjadi pada 10-20% wanita turunan pertama sedangkan saudara laki-lakinya cenderung menjadi penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial. Pada kembar monozigot transmisi terjadi 29% sedangkan dizigot 10%.1 Pada penelitian sitokin, suatu area studi ilmu neurologi dasar dapat relevan dengan gangguan somatisasi dan somatoform lainnya. Sitokin ini molekul pembawa pesan yang digunakan sistem imun untuk berkomunikasi didalam dirinya sendiri dan dengan sistem saraf , termasuk otak. Sejumlah studi melaporkan adanya penurunan metabolism lobus frontalis dan hemisfer nondominan.1 Gambaran Klinis 8 Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan riwayat medik yang panjang dan rumit. Gejala-gejala umum yang sering dikeluhkan adalah mual, muntah (bukan karena kehamilan), sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkai, nafas pendek (bukan pada olahraga), amnesia, komplikasi kehamilan dan menstruasi adalah gejala yang lazim ditemui. Seringkali pasien beranggapan dirinya menderita sakit sepanjang hidupnya. Gejala pseudoneurologik sering dianggap gangguan neurologic namun tidak patognomonik. Misalnya gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa ada gumpalan ditenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi raba atau sakit, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan atau kehilangan kesadaran bukan karena pingsan.1,3 Selama perjalanan penyakit, penderita gangguan somatisasi mengeluhkan sekurangkurangnya empat gejala nyeri yaitu dua gejala gastrointestinal, satu gejala seksual dan satu gejala neurologis yang tidak dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorium. Penderitaan psikologik dan masalah interpersonal menonjol, dengan cemas dan depresi merupakan gejala psikiatri yang paling sering muncul. Ancaman sering bunuh diri sering dilakukan, namun bunuh diri aktual sangat jarang. Biasanya pasien mengungkapkan keluhannya secara dramatik, dengan muatan emosi dan berlebihan. Pasien-pasien ini biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus penghargaan dan pujian, dan manipulatif.3 Diagnosis Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM IV TR memberi syarat awitan gejala sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus memenuhi minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala pseudoneurologik, serta tak satupun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorik. Berikut kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM IV TR. 1 a) Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian pengobatan atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.1 b) Kombinasi dari gejala-gejala yang tidak terjelaskan, yang terjadi kapanpun selama perjalanan dari gangguan, yang semuanya harus dipenuhi. Gejala-gejala yang dimaksud antara lain 1,3,5: 9 i. 4 gejala nyeri (melibatkan minimal 4 lokasi atau fungsi yang berbeda meliputi kepala dan leher, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, dan saat berkemih) ii. 2 gejala gastrointestinal selain nyeri (meliputi mual, kembung, muntah, diare, dan intoleransi makanan) iii. Satu gejala seksual (kehilangan keinginan seksual, disfungsi seksual, mens ireguler, perdarahan mens yang berlebihan, muntah-muntah selama hamil) iv. Satu gejala pseudoneurologik yang bukan nyeri (meliputi gangguan keseimbangan, kelemahan, kesulitan menelan, afonia, retensi urin, halusinasi,kehilagan sensasi sakit dan raba, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang, disosiasi, dan kehilangan kesadaran) c) Salah satu dari: 1. Setelah penelusuran yang sesuai, tiap gejala pada kriteria B tak dapat sepenuhnya dijelaskan sebagai akibat kondisi medik umum atau merupakan efek langsung dari zat, karena medikasi) 2. Apabila terdapat kondisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau hendaya sosial atau pekerjaan yang diakibatkannya melebihi daripada yang diharapkan berdasarkan riwayat, penemuan fisik dan laboratorium d) Gejala-gejalanya tidak dibuat secara sengaja atau berpura-pura. Diagnosis gangguan somatisasi menurut PPDGJ III pedoman diagnostik. Diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut5: a) Adanya keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik yang sudah belangsung sedikitnya 2 tahun b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya c) Terdapat disabilitas dalam fungsinya dimasyarakat dan keluarga yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya yang tampak dari perilakunya. Perjalanan penyakit Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosisnya dtegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah dimuali saat remaja. Masalah menstruasi biasanya merupakan keluhan paling dini yang muncul pada wanita. Periode keluhan yang ringan berlangsung 9-12 bulan, sedangkan gejala yang berat pengembangan dari keluhan10 keluhan baru berlangsung selama 6-9 bulan. Sebelum setahun biasanya pasien sudah mencari pertolongan medis. Adanya tekanan peningkatan tekanan kehidupan mengakibatkan eksaserbasi gejala-gejala somatik.3 Tatalaksana Non-Farmakoterapi I. Etiologi fisik gangguan somatisasi tidak diketahui. Oleh karena itu, pendekatan untuk tatalaksana pasien yang mengalami gangguan tersebut adalah dengan mencari dasar gangguan jiwa yang dialami pasien. Gangguan cemas dan depresi merupakan dua diagnosis yang biasanya mendasari gangguan somatisasi. Walaupun untuk keadaan saat ini keluhan depresi dan cemas sering ditemukan sudah tidak lagi memenuhi kriteria diagnosis, namun biasanya dari riwayat pasien ditemukan adanya suatu gangguan depresi dan cemas di masa lalu. Tata laksana pasien dengan kondisi somatisasi sebenarnya lebih bertumpu pada upaya psikoterapi dan psikoedukasi. Tiga pilar utama dalam penanganan kasus somatisasi: a. Hubungan dokter pasien yang kuat di antara keduanya b. Edukasi pasien tentang sebab dan asal mula keluhan somatik c. Dukungan dan bantuan yang menenangkan pasien Fokus utama hubungan antara dokter dan pasien adalah bahwa dokter (psikiater) percaya bahwa gejala dan penderitaan yang dialami pasien adalah benar. Kepercayaan terhadap pasien akan memperlihatkan bahwa dokter mempunyai minat terhadap kondisi pasien dan niat yang tinggi untuk membantu masalahnya.6 II. Edukasi pasien. Keluhan somatik adalah keluhan yang dikenal di dalam dunia medis. Untuk itu dokter yang menangani pasien seperti ini perlu mempunyai pengetahuan yang cukup tentang konsep biopsikososial, patofisiologi gangguan kejiwaan, neuropsikiatri, ilmu perilaku, dan psikoneuroimunologi sebagai salah satu cabang ilmu terbaru yang mendukung penjelasan tentang faktor stress psikososial dan hubungannya dengan terjadinya keluhan somatik pasien.6 III. Langkah ketiga adalah selalu memberikan kepastian kepada pasien. Pasien dengan gangguan somatisasi seringkali tetap selalu memperhatikan tentang 11 keluhan somatiknya dari waktu ke waktu. Suatu waktu dalam masa kehidupannya, keluhan somatiknya akan berulang dan inilah saat dokter diuji dalam memberikan dukungan kepastian tentang keadaan yang sebenarnya. Hubungan yang kuat antara dokter dan pasien menjadi hal yang sangat penting untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pasien. Pasien harus diberikan pemahaman bahwa segala hal yang dianggap sebagai faktor penyebab kondisinya telah dinilai. Tujuan jangka panjangnya adalah mengubah diskusi pasien mengenai keluhannya menjadi diskusi tentang kehidupan pasien seharihari.6 Farmakoterapi Gangguan cemas dan depresi. Gangguan cemas yang paling sering dialami oleh pasien dengan keluhan somatik adalah gangguan panik dan gangguan cemas menyeluruh. Hampir semua gejala kecemasan melibatkan sistem saraf otonom sehingga menimbulkan gejala khas, seperti palpitasi, nafas pendek, mual atau perasaan tidak nyaman di perut, serta mulut kering. Hal tersebut yang membuat dokter memberikan obat anti cemas golongan benzodiazepin ketika menemukan kasus keluhan somatik di tempat praktiknya. a) Obat golongan benzodiazepine Sangat efektif mengatasi cemas. Efeknya yang beragam tergantung jenis obat. Namun, penggunaan obat tersebut banyak menimbulkan penyalahgunaan, toleransi, dan ketergantungan. Hal itu disebabkan oleh penggunaan benzodiazepin dalam jangka waktu panjang, tanpa dosis yang tepat dan tanpa pengawasan dokter. Beberapa obat golongan benzodiazepin yang sering digunakan dalam pengobatan keluhan cemas adalah alprazolam, clonazepam, lorazepam, dan diazepam. Alprazolam dan clonazepam telah lama dipakai sebagai obat untuk gangguan panik karena efektif dan cepat mengatasi gejala serangan panik. Dosis alprazolam yang digunakan untuk pengobatan gangguan cemas panik lebih besar daripada pengobatan gangguan cemas menyeluruh. Rentang dosis yang biasa digunakan dalam praktik sehari-hari adalah 0,5mg sampai 1,5 mg untuk kondisi gangguan panik dengan dosis terbagi.6 b) Obat golongan trisiklik Efektif untuk mengobati gangguan cemas panik. Imipramin adalah salah satu obat dari golongan trisiklik yang merupakan pilihan utama. Namun, obat 12 tersebut sulit ditemukan selain harganya yang agak tinggi. Selain imipramin, terdapat beberapa obat golongan trisiklik lain; Amitriptilin dapat digunakan dengan dosis antara 12,5-50 mg. Obat tersebut merupakan antidepresan trisiklik yang sangat murah dan banyak terdapat di pusat pelayanan primer di Indonesia.6 Rujuk Psikiatri Merujuk pasien kepada dokter ahli jiwa. Untuk mendapatkan penatalaksanaan yang lebih tepat. Prognosis Gangguan somatisasi cenderung bersifat kronis dan berfluktuasi. Remisi total jarang tercapai. Dengan tatalaksana yang tepat maka distress dapat dikurangi namun tidak dapat sama sekali dihilangkan. Diagnosis Banding a. Hipokondriasis Hipokondriasis didefinisikan sebagai orang yang berpreokupasi dengan ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius. Pasien dengan hipokondriasis memiliki interpretasi yang tidak realistis maupun akurat tentang gejala atau sensasi fisik, meskipun tidak ditemukan penyebab medis. Preokupasi pasien menimbulkan penderitaan bagi dirinya dan mengganggu kemampuannya untuk berfungsi secara baik dibidang sosial, interpersonal maupun pekerjaan.3 Epidemiologi , prevalensi hipokondriasis 4-6% dari populasi pasien medik umum, dan kemungkinan tertinggi adalah 15%. Awitan dari gejala dapat terjadi pada segala usia, namun yang tersering adalah usia 20-30 tahun. Angka kejadian tak dipengaruhi oleh strata sosial, pendidikan maupun perkawinan, namun bersifat sementara saja. 1,3 Etiologi hipokondriasis disebabkan pasien memiliki skema kognitif yang salah.Pasien menginterpretasikan sensasi fisik yang mereka rasakan secara berlebihan.Sebagai contoh, seseorang secara normal mempersepsikan sebagai rasa kembung, oleh pasien hipokokndriasis menambah dan memperbesar sensasi somatic yang dialaminya. Menurut teori psikodinamik hipokondriasis terjadi karena permusuhan dan agresi dipindahkan ke dalam bentuk somatik melalui mekanisme 13 repression dan displacement kedalam keluahan somatic.Kemarahan yang dimaksud berasal dari kejadian penolakan dan ketidakpuasan di masa lalu. Selain kemarahan, dapat juga penyebabnya adalah rasa bersalah dan gejala timbul karena pasien ingin menebus kesalahannya melalui penderitaan somatik.3 Gambaran klinis. Pasien hipokondriasis yakin bahwa mereka menderita penyakit serius yang belum bisa didetaksi, dan mereka sulit diyakinkan yang sebaliknya. Mereka mempertahankan keyakinan bahwa dirinya mengidap suatu penyakit, dan dengan berjalannya waktu keyakinanya beraslih ke penyakit lain. Keyakinannya bertahan meskipun hasil laboratorium negative. Jinaknya perjalanan penyakit yang dicurigai, dan penentraman dari dokter. Meskipun demikian peyakinan tersebut tidak sampai bertaraf waham. Hipokondriasis seringkali disertai dengan gejala depresi, atau berkomerbid dengan gangguan depresi atau gangguan cemas.3 Meskipun DSM-IV-TR menyebutkan bahwa gangguan ini harus sudah berlangsung sekurangnya 6 bulan, keadaan hipokondriakal sesaat dapat saja terjadi setelah adanya tekanan yang berat misalnya kematian atau penyakit serius yang diderita seseorang yang bermakna bagi pasien. Keadaan ini yang berlangsung kurang dari 6 bulan harus didiagnosa sebagai gangguan somatoform yang tak tergolongkan. Kondisi hipokondriasis sesaat sebagai respon terhadap tekanan biasanya hilang bila tekanan tidak ada lagi, tetapi bisa menjadi kronik bila diperkuat oleh orang dalam sistem pasien atau oleh profesi kesehatan. Diagnosis berdasarkan DSM-IV, kriteria diagnosis hipokondriasis adalah sebagai berikut1,3,5,8: a. Preokupasi dengan ketakutan atau ide bahwa seseorang mempunyai penyakit serius berdasarkan interpretasi yang salah terhadap gejala-gejala tubuh b. Preokupasi menetap meskipun telah dilakukan evaluasi medik dan penentraman c. Keyakinan pada kriteria A tidak mempunyai intensitas seperti waham d. Preokupasi menimbulkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau hendaya dlaam bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya e. Lamanya gangguan sekurangnya 6 bulan f. Preokupasi bukan disebabkan gangguan cemas menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif, gangguan panic Perjalanan penyakit hipokondriasis biasanya episodik, yang durasinya setiap episode berkisar antara bulan-tahun.Dapat terjadi periode tenang di antara episodeepisode. 14 Hipokondriasis cenderung menjadi kronis dengan periode remisi dan eksaserbasi yang dipicu stres. Prognosis yang baik berkaitan dengan status sosial ekonomi yang tinggi, pengobatan terhadap cemas dan depresi yang responsif, onset gejala mendadak, tidak ada gangguan kepribadian, dan tidak ada gangguan medis non-psikiatrik yang terkait. Bila yang menderita hipokondriasis adalah anak-anak maka akan membaik saat remaja atau dewasa awal.3 b. Depresi Sebelum membahas lebih lanjut tentang gangguan depresi, lebih dahulu dipahami apa yang dimaksud dengan emosi dan mood dan mengapa kedua tanda tersebut harus dipahami. Dalam pembahasan emosi tercakup antara lain afek, mood, emosi yang lain dan gangguan psikologi yang berhubungan dengan mood. Oleh karena bagian ini membahas tentang gangguan depresi, maka pembahasan dibatasi pada emosi dan mood.7 Emosi merupakan kompleksitas perasaan yang meliputi psikis, somatik dan perilaku yang berhubungan dengan afek dan mood. Dalam buku yang lain emosi biasanya sinonim dengan afek, yaitu suasana perasaan hati seorang individu. Mungkin lebih tepat menggunakan kata emosi untuk perasaan yang dihayati secara sadar, sedangkan kata afek dirujukan pada dorongan yang lebih mendalam yang mendasari kehidupan perasaan yang sadar maupun nirsadar. Mood merupakan subjektivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat diutarakan oleh pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai contoh adalah depresi, elasi dan marah. Pasien dengan keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetatif. Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.1 Kreteria diagnostik pasien depresi Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energi adalah gejala utama dari depresi. º Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih atau kehilangan minat selama 2 minggu atau ditambah 4 karteria berikut ini.2,8 - Tidur insomnia atau hipersomnia hamper setiap hari - Menurunnya minat dan kesenagan terhadap kegiatan sepanjang waktu - Perasaan bersalah berlebihan atau rasa tidak berharga - Kehilangan energy - Konsentrasi dan kemampuan berpikir menurun, sulit membuat - keputusan Selera makan menurun atau bertambah 15 - Timbul pikiran bunuh diri berulang kali c. Gangguan Cemas Gangguan cemas merupakan kondisi gangguan ditandai dengan kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan dan tidak rasional bahkan terkadang tidak realistic terhadap berbagai peristiwa sehari-hari. Kecemasan yang dirasakan sulit untuk dikendalikan dan berhubungan dengan gejala-gejala somatic seperti tegang otot, iritabilitas, kesulitan tidur, kegelisahan, sehingga menimbulkan penderitaan yang bermakna dalam fungsi sosial dan pekerjaan.9 Gambaran klinis kecemasan sifat berlebihan dan mempengaruhi aspek kehidupan pasien. Ketegangan motorik bermanifestasi sebagai gemetaran, kelehan, sakit kepala.Hiperaktivitas otonom timbul pernapasan pendek, berkeringat, palpitasi, disertai gejala gangguan pencernaan. Pasien datang kedokter umum dengan keluhan somatic atau karena gelisah spesifik seperti diare kronik. Kriteria diagnostic cemas menurut DSM IV-TR : Kecemasan atau kekhawatiran timbul berlebihan hampir setiap hari dan terjadi sekurangnya 6 bulan penderita sulit mengendalikan kekhawatirannya. Kecemasan dan khawatirnya disertai 3 atau lebih dari 6 gejala berikut: kegelisahan; merasa mudah lelah; sulit berkonsentrasi dan pikiran jadi kosong; iritabilitas; ketegangan otot; gangguan tidur. 9 16 PENUTUP Kesimpulan Dokter harus menggunakan pendekatan biopsikososial dalam tata laksana pasien walaupun bukan pasien dengan kondisi gangguan jiwa. Untuk diagnosis gangguan somatoform berdasarkan DSM IV-TR terdapat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu gejala seksual, dan satu gejala neurologis semu, yang pemeriksaan fisik atau laboratorium tidak adekuat. Tatalaksana pasien dengan gangguan somatisasi berlangsung secara menyeluruh baik dari segi farmakoterapi dan psikoterapi. Daftar Pustaka 1. Kaplan HI, Sadock BJ. Buku ajar psikistri klinis. Edisi ke-2. Jakarta: EGC, 2010. Hal. 268-70. 2. Utama H. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Hal. 265-68. 3. Hadisukanto G. Ganngguan somatoform. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, penyunting. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI, 2010. Hal. 265-79. 4. Zubaidah S. Gangguan somatoform. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 2009. Hal.10. 5. Maslim, R. Diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, 2003. Hal.84. 6. Andri. Konsep biopsikososial pada keluhan psikosomatik. J Indon Med Assoc September 2011; 61(9):377-79. 7. Ismail RI, Siste K. Gangguan depresi.Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, penyunting. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI, 2010. Hal.265-79.209-19. 8. Kaplan MD, Harlod I, Benjamin J, Sadock. Ilmu kedokteran jiwa darurat. Jakarta: Penerbit Widya Medika, 1998. Hal. 227-31. 9. Redayani P. Gangguan cemas. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, penyunting. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI, 2010. Hal.231-33. 10. Elvira S, Kusumadewi I. Gangguan panik. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, penyunting. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI, 2010. Hal.235-39. 17