analisis hukum terhadap penerbitan obligasi negara ritel - USU-IR

advertisement
ANALISIS HUKUM TERHADAP PENERBITAN OBLIGASI NEGARA
RITEL (ORI)
TESIS
Oleh
ELVIRA FITRIYANI PAKPAHAN
077005070/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
ANALISIS HUKUM TERHADAP PENERBITAN OBLIGASI NEGARA
RITEL (ORI)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ELVIRA FITRIYANI PAKPAHAN
077005070/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Judul Tesis
Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
Program Studi
: ANALISIS HUKUM TERHADAP PENERBITAN
OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI)
: Elvira Fitriyani Pakpahan
: 077005070
: Ilmu Hukum
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
Ketua
(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum)
Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum)
Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus : 30 Juni 2009
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Telah diuji pada
Tanggal 30 Juni 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
: 1. Dr. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum
2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
4. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
ABSTRAK
Kebijakan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf
Kalla untuk menerbitkan ORI pada bulan juli 2006 dan dilanjutkan pada tahun 2008
merupakan salah satu kebijakan moneter yang dikeluarkan dalam rangka membiayai
Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tidak lain merupakan
bentuk lain dari Surat Utang Negara yang dijual secara ritel kepada publik, selain itu
ORI juga merupakan salah satu potensi pembiayaan untuk mengurangi beban dan
risiko keuangan negara di masa yang akan datang. Dengan tetap memperhatikan
berbagai macam pertimbangan dan aspek-aspek terkait, baik aspek negatif maupun
aspek positifnya. Mengingat, sejarah penerbitan obligasi negara (1950-an) pada masa
Pemerintahan Presiden Soekarno mengalami gagal bayar.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka yang menjadi permasalahan adalah
bagaimana pengaturan penerbitan obligasi negara ritel dalam ketentuan hukum surat
utang negara, serta kedudukan dan perlindungan hukum bagi pemegang obligasi
negara ritel. Hal ini tidak lain adalah untuk mengetahui seberapa besar jaminan serta
perlindungan hukum atas investasi yang telah ditanamkan dalam bentuk obligasi
tersebut.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah penelitian hukum
normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian
melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Untuk mengumpulkan
data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif analisis.
Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yang berasal dari
penelitian kepustakaan (library researh). Adapun data sekunder yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yakni primer, sekunder dan
tersier.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaturan penerbitan ORI
dalam ketentuan hukum Surat Utang Negara menjamin keberadaan obligasi yang
diterbitkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Artinya pemerintah menjamin dan
wajib membayar bunga dan pokok setiap SUN yang jatuh tempo. Kedudukan hukum
bagi pemegang obligasi negara ritel pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kreditur
konkuren pada perjanjian utang piutang yang tidak mempunyai hak untuk
didahulukan pembayarannya dari kreditur-kreditur lainnya apabila pemerintah
wanprestasi. Perlindungan hukum bagi pemegang obligasi negara ritel adalah
berdasarkan UU SUN dan berdasarkan perjanjian pinjam meminjam uang antara
pemerintah dengan investor.
Kata Kunci: Penerbitan, Obligasi Negara ritel.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
ABSTRACT
Governance’s decision of President of Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf
Kalla to publish the ORI at July 2006 and continued in the year 2008 representing
one of monetary policy released in order to closing over General Revenues and
Expenditure Budget (APBN) deficit which not dissimilar representing form is differ
from Letter Owe the State sold by retail to public and as well as representing one of
defrayal potency to lessen the burden and risk of state's finance in the future. Fixed
pay attention to assorted of relevant aspect and consideration, goodness of negative
aspect and also positive aspect. Considering, history of publication of state
obligation (1950) at a period of Governance of President Soekarno experience of to
fail payee.
In relation to the above condition, hence becoming problems is how
arrangement of publication of Obligation of State Retail in legal rule the owe letter of
state, and also domicile and legal protection for handle of Obligation of State Retail.
This matter none other than to know how big guarantee and also legal protection for
investment which have been inculcated in the form of the obligation.
This normative legal study analyzes the research problems through a legal
principle approach and refers to the legal norms found in the legislation. To collect
the data in this thesis conducted with the research having the character of descriptive
analyze the. The secondary data used in this study were obtained through library
research. As for secondary data obtained library research from consisted of by 3
substance punish namely primary, secondary and tertiary.
The result of this study reveals that the arrangement of publication ORI in
legal rule the Letter Owe the State guarantee the obligation existence published by
Government Republic of Indonesia. Its meaning is governmental guarantee and
obliged to pay the flower and fundamental each SUN which fall due. The legal statue
for handle of Obligation of State Retail basically do not far differ from the concurrent
creditor at agreement of receivable and liability which have no right to prioritize its
payment from other creditor if government wanprestasi. The legal protection for
handle of Obligation of State Retail is pursuant to UU SUN and pursuant to
agreement of money loan between of government with investor.
Keyword: Publication, Obligation of State Retail.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT
yang maha pengasih dan maha penyayang atas ridhonya Penulis dapat menyelesaikan
tesis dengan judul Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI).
Dalam penulisan tesis ini disadari sepenuhnya, bahwa penulisan karya tulis
yang baik diperlukan pengetahuan dan pengalaman yang cukup yang didukung bahan
dan materi yang cukup pula. Oleh sebab itu, dalam penyajian tesis ini masih jauh dari
sempurna dan untuk itu dengan tangan terbuka diharapkan saran dan masukan yang
membangun dari semua pihak demi perbaikan dan kesempurnaan tesis ini.
Dalam penyelasaian tesis ini, mulai saat pengajuan judul sampai penyusunan
tesis tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu dalam kesempatan ini dengan segala kerendahaan hati dan ketulusan hati,
diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat para
pembimbing : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH., Dr. T. Keizerina Devi A., SH.,
CN., M.Hum., Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., yang di tengah-tengah kesibukannya masih
tetap meluangkan waktu dan penuh perhatian untuk memberikan bimbingan, petunjuk
dan mendorong semangat Penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Dan kepada Prof.
Dr. Suhaidi, SH., MH., dan Dr. Mahmul Siregar, SH., MHum, selaku dosen penguji
yang telah banyak memberi masukan dan arahan.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Disampaikan juga rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H.,
Sp.A(k)., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan program magister.
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T.
Chairun Nisa B., M.Sc., atas kesempatan menjadi mahasiswi Program Magister
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH, atas segala arahan dan dorongan
yang diberikan selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister
Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Para dosen, staf pengajar dan seluruh pegawai di Program Studi Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan yang berbahagia ini, dihaturkan sembah sujud dan ucapan
terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua, ayah Dr. H. M. Effendi
Pakpahan, SE, MM, dan ibu Rasmi Pohan yang telah melahirkan dan membesarkan
dengan penuh kasih sayang, pengorbanan dan segala doa yang tiada terputus, yang
tiada terbalaskan sampai kapanpun. Dan kepada bapak dan ibu mertua penulis Abdul
Chair dan Suyati yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis.
Ucapan terima kasih juga dipersembahkan kepada yang teristimewa,
tersayang dan tercinta suami penulis Suryo Idhianto, ST yang telah setia dan sabar
menemani dan terus memberikan motivasi, semangat dan dorongan kepada penulis.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Kepada kakak-kakak penulis, Erma Bahagia Pakpahan, SE, MM, dr. Emi
Memori Pakpahan, Eka Lolita Eliyanti Pakpahan, SKM, Enni Halimahtussa’diah
Pakpahan, S.pd, M.Pd, abang penulis Erizal Yusuf Pakpahan dan adik-adik penulis
Emir Syarif Fatahillah Pakpahan, Edwin Dasaputra Pakpahan, dan Eki Miftah Akbar
Pakpahan, terima kasih yang tak terhingga karena senantiasa memberikan semangat
kepada penulis.
Akhir kata, hanya dapat dimohon semoga segala sesuatu yang telah diberikan
akan memperoleh balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT dan semoga tesis ini
dapat bermanfaat bagi semuanya.
Medan,
Juni
Penulis,
2009
Elvira Fitriyani Pakpahan
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Elvira Fitriyani Pakpahan
Tempat, Tanggal Lahir
: Rantau Prapat, 04 Juli 1984
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pendidikan
: SD Negeri 112134 Rantau Prapat (1996)
MTS Negeri Rantau Prapat (1999)
MAL IAIN SU Medan (2002)
Fakultas Syari’ah IAIN SU Medan (2006)
Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
USU (2009)
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK …………………………………………………………………….
i
ABSTRACT ……………………………………………………………………
ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ...........................................................................................
vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….
vii
DAFTAR SKEMA ............................................................................................
ix
BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………………………
1
A. Latar Belakang …………………………………………………….
1
B. Permasalahan ...........……………………………………………….
10
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………….
10
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………
11
E. Keaslian Penelitian ………………………………………………..
11
F. Kerangka Teori dan Konsepsi …………………………………….
12
G. Metode Penelitian …………………………………………………
20
1. Sifat Penelitian …………………………………………………
21
2. Sumber Data …………………………………………………..
21
3. Tekhnik Pengumpulan Data …………………………………..
22
4. Alat Pengumpulan Data ……………………………………….
22
5. Analisis Data ………………………………………………….
23
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
BAB II : PENGATURAN PENERBITAN OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI)
DALAM KETENTUAN HUKUM SURAT UTANG NEGARA ........ 24
A. Pengaturan Penerbitan Obligasi Negara Ritel ....................................
24
B. Karakteristik Obligasi ........................................................................
33
1. Obligasi sebagai Surat Berharga ………………………………
41
2. Obligasi sebagai Surat Pengakuan Hutang ……………………… 48
BAB III : KEDUDUKAN HUKUM PEMEGANG
OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI) ...................................................
51
A. Peranan Obligasi Negara Ritel terhadap Ekonomi Nasional .............
51
B. Mekanisme Transaksi Obligasi Negara Ritel ………………………
63
C. Kedudukan Hukum bagi Pemegang Obligasi Negara Ritel (ORI) ...... 75
BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PEMEGANG OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI) ..........................
81
A. Surat Utang Negara sebagai Sumber
Pembiayaan Pembangunan Ekonomi.................................................
81
B. Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Obligasi Negara Ritel .....
93
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................
103
A. Kesimpulan .......................................................................................
103
B. Saran .................................................................................................
104
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
106
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
DAFTAR SKEMA
No
Judul
Halaman
1
Skema Penerbitan ORI .............................................................
65
2
Skema Perdagangan ORI di Pasar Sekunder ............................
73
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi Indonesia yang diamanatkan oleh konstitusi harus
dilaksanakan dengan segenap potensi yang ada di masyarakat. Pasal 33 ayat (4)
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang telah diamandemen menyebutkan bahwa
perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pasal 2 ayat (1) UndangUndang (UU) No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional menyebutkan bahwa pembangunan harus diselenggarakan dengan tetap
memperhatikan prinsip-prinsip kemandirian. Pembangunan ekonomi nasional harus
diupayakan atas dasar kekuatan sendiri sehingga pembangunan tersebut dapat
terlaksana secara berkelanjutan. 1
Dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan citacita dan tujuan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia Tahun 1945, maka perlu ditingkatkan kemampuan serta
kemandirian
untuk
melaksanakan
pembangunan
ekonomi
nasional
secara
berkesinambungan dengan bertumpu pada kekuatan masyarakat. Selain itu jika
diperhatikan tingkat pertumbuhan serta mobilisasi dana melalui pasar keuangan pada
1
Sumantoro, Hukum Ekonomi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), hlm. 5.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
saat ini, sesungguhnya telah merefleksikan upaya partisipasi masyarakat secara
optimal dalam program pembiayaan pembangunan nasional melalui mekanisme
pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Keberhasilan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang
adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan oleh adanya, (1) kemandirian bangsa
untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional secara berkesinambungan
dengan bertumpu pada kekuatan masyarakat, (2) partisipasi masyarakat secara
optimal dalam program pembiayaan pembangunan nasional melalui mekanisme
pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dapat
dipertanggung jawabkan, (3) kepastian hukum kepada pemodal dan komitmen
pemerintah untuk mengelola sektor keuangan yang transparan, professional, dan
bertanggung jawab. 2
Pemerintah Indonesia telah beberapa kali menerbitkan Obligasi pemerintah
yang sampai saat ini masih mendapatkan perhatian yang cukup besar dari para
investor. Hal ini terbukti dengan selalu terjadinya oversubscribed 3 setiap kali obligasi
pemerintah dijual di pasar perdana. Dilihat dari sisi kepemilikannya, sebagian
obligasi pemerintah saat ini ternyata lebih banyak dimiliki oleh lembaga-lembaga
2
Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat
Utang Negara, Bagian Umum.
3
Indonesia Legal Center Publishing, Kamus Hukum, Cetakan kedua, (Jakarta: CV.Karya
Gemilang, 2008). Oversubscribed (emisi laris) adalah istilah pertanggungan yang menjelaskan emisi
saham/obligasi baru dengan lebih banyak pembeli dari pada saham/obligasi yang tersedia. Suatu emisi
yang laris atau overbooked, seringkali melonjak harganya begitu saham/obligasinya dipasarkan.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
finansial dan hanya sedikit saja yang dimiliki oleh investor-investor individual. 4 Hal
itu tidak bisa dipungkiri karena alasan munculnya obligasi negara pada tahun 1997 itu
juga dipicu oleh upaya pemerintah merekapitalisasi industri perbankan yang dalam
kondisi ‘kesulitan’. 5
Fenomena ini mendapat banyak tanggapan dari kalangan ekonom maupun
birokrat. Ada dua kelompok pemikir yang memiliki dua pendapat yang berbeda
mengenai fenomena ini. Kelompok pertama cenderung melihat hal ini sebagai suatu
hal yang sangat wajar dan tidak perlu disiasati karena memang tujuan utama dari
penerbitan obligasi tersebut adalah untuk mendapatkan dana segar dari investor
domestik maupun internasional tanpa mempersoalkan siapa yang akan membeli
obligasi tersebut.
Kelompok kedua lebih melihat kepada distribusi kepemilikan obligasi sebagai
hal yang tidak kalah pentingnya dari penyerapan obligasi itu sendiri. Kelompok ini
cenderung berpendapat bahwa semakin terdistribusinya kepemilikan obligasi
pemerintah semakin kuat pula posisi obligasi tersebut sebagai alat ukur investasi
(investment benchmark) di Indonesia. Lebih jauh lagi, dengan meratanya kepemilikan
obligasi oleh masyarakat menyiratkan kepedulian pemerintah dalam memberikan
akses yang lebih luas bagi masyarakat terhadap asset-aset pemerintah. Dalam
perkembangannya, hingga saat ini tekanan kelompok pemikir kedua menjadi cukup
4
Adi Cahyadi, Jalur Distribusi dan Promosi Surat Utang Negara Versi Retail : Kasus
Pemerintah Daerah Khusus Hong Kong, Bunga Rampai Hasil Penelitian Badan Pengkajian Ekonomi
Keuangan dan Kerjasama Internasioanal, (Jakarta: Bapekki, 2004), hlm. 96.
5
Suli Murwani, SUN Ritel Jangan Sampai Mengecewakan,
http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=477&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&pared_id=
426074&patop_id=009. Diakses tanggal 9 Februari 2009.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
kuat dalam mendorong pemerintah untuk menerbitkan obligasi pemerintah dalam
bentuk ritel yang pada akhirnya mengeluarkan Obligasi Negara Ritel (ORI) dengan
nomor seri ORI-001. 6
Kebijakan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf
Kalla untuk menerbitkan ORI pada bulan Juli 2006 dan dilanjutkan pada tahun 2008
merupakan salah satu kebijakan moneter yang dikeluarkan dalam rangka menutupi
Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tidak lain merupakan
bentuk lain dari Surat Utang Negara (SUN) 7 yang dijual secara ritel kepada publik,
selain itu ORI juga merupakan salah satu potensi pembiayaan untuk mengurangi
beban dan risiko keuangan negara di masa yang akan datang, dari pada terus-menerus
mengandalkan ketergantungan bangsa akan hutang luar negeri yang terus menumpuk.
Fakta yang ada saat ini menunjukkan bahwa penerbitan ORI seri ORI-001
tersebut disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat dan para pelaku bisnis di
Indonesia. Target indikatif penjualan ORI seri ORI-001 sebesar Rp.2 triliun sudah
tercapai dalam waktu yang sangat singkat, 8 bahkan sampai dengan tanggal 7 Agustus
2006 Departemen Keuangan telah menyerap seluruh pesanan ORI seri ORI-001
senilai Rp.3,283 triliun.
Sebagian besar investor tersebut berdomisili di Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta, yakni sekitar 62,2 persen dari total pesanan, selebihnya tersebar di Daerah
6
Adi Cahyadi, op.cit., hlm. 97.
Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata
uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokok oleh Negara Republik
Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002, Pasal 1 butir 1.
8
Agus Supriyanto, Anne L Handayani, Pemesanan Obligasi Retail Capai Rp1,9 Triliun,
(Jakarta: Tempo Interaktif), Kamis, 03 Agustus 2006.
7
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Sedangkan menurut data yang berasal
dari Dirjen Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan, dari total 17.403 pesanan
investor, sebanyak 23,83 persen berasal dari golongan Pegawai Swasta. Selebihnya,
sebagian investornya adalah meliputi 17,03 persen berasal dari golongan ibu rumah
tangga, golangan Wiraswasta sebesar 17,08 persen, golongan Pegawai Negeri Sipil
sebesar 16,21 persen, golongan TNI dan Polri sebesar 0,63 persen, dan sisanya
sebesar 25,22 persen adalah investor yang berasal dari berbagai golongan profesi. 9
Hal ini sesungguhnya telah merefleksikan bahwa kredibilitas pemerintah pada
saat ini cukup menggembirakan, dimana masyarakat percaya sepenuhnya untuk
melakukan investasi dalam bentuk obligasi tersebut. Selain itu, secara tidak langsung
masyarakat juga telah ikut berperan serta dalam rangka membiayai pembangunan
nasional. 10
Melihat sejarahnya, penerbitan ORI sebenarnya bukan hal yang baru bagi
bangsa Indonesia, karena pada tahun 1950-an pemerintah pada masa Presiden
Soekarno juga pernah menerbitkan ORI dengan bunga 3% per tahun. Obligasi ini
juga diperdagangkan di bursa saham Jakarta, namun pembayaran obligasi ini menjadi
kacau-balau karena pemerintah pada waktu itu tidak memiliki cukup uang. Harga
obligasi ini juga menjadi sangat rendah sejak pemerintah melakukan kebijakan
9
Hendri Hartopo, Investor Jakarta Borong ORI-001, Penerbitan Obligasi Ritel Diupayakan
Berkala, http://hendrihartopo.info/cetak.php?id=50. Diakses tanggal 09 February 2009.
10
Hendri Hartopo, Ibid.,
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
devaluasi 11 atas rupiah pada tahun 1966, dimana nilai Rp. 1.000,00 dipangkas
menjadi Rp. 1,00. 12 oleh karena itu pengambilan keputusan oleh pemerintah untuk
menerbitkan ORI pada saat ini membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Penerbitan ORI tersebut tentunya juga telah memperhatikan berbagai macam
pertimbangan dan aspek-aspek terkait, baik dari aspek negatif maupun aspek
positifnya. Dari sisi hukum sendiri, hal ini tentunya sangat terkait langsung dengan
keberadaan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara yang
dijadikan sebagai payung hukum bagi para investor dan juga beberapa Peraturan
Perundangan pendukung lainnya.
Pelaku pasar keuangan sangat berkepentingan terhadap informasi tentang arah
kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tercermin dalam APBN, mengingat
implikasi kebijakan tersebut terhadap minat dan kesempatan investasi di pasar
keuangan domestik. Persepsi pasar akan sangat tergantung pada konsistensi tindakan
pemerintah dalam menjalankan kebijakan tersebut. Di samping itu, para pemodal
membutuhkan adanya kepastian hukum dan jaminan adanya pengelolaan pasar
keuangan yang profesional dan berstandar internasional.
Keberadaan Undang-Undang SUN dan peraturan perundang-undangan
lainnya seperti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang
Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana adalah untuk memberikan
11
Winardi, Kamus Istilah Ekonomi (Ensiklopedi Mini), (Jakarta: P.T.Bina Aksara, 1988),
hlm.109. Devaluation (devaluasi) adalah menurunnya nilai mata uang suatu Negara terhadap emas
dan/atau mata uang Negara lain.
12
Jasso Winarto, Analisis Pasar Modal Penerbitan ORI Bisa Gairahkan Investasi,
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=150333. Diakses tgl 9 februari 2009.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
kepastian hukum kepada para pemodal atas komitmen pemerintah untuk memenuhi
kewajiban keuangan serta penyelenggaraan manajemen Surat Utang Negara (SUN)
secara lebih transparan, profesional dan lebih bertanggung jawab. Kepastian hukum
bagi dunia usaha merupakan hal yang sangat penting pada saat ini karena setiap
investor pada dasarnya menginginkan keamanan dari investasi yang telah
dilakukannya.
“Bagi dunia usaha yang sering menghadapi banyak tantangan dan risiko,
adanya jaminan kepastian hukum amatlah penting. Adanya perangkat
perundang-undangan yang jelas, transparan, ...., akan memberikan peluang
bagi siapa saja anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan usaha...” 13
Selain itu, sejak tahun 2001 Pemerintah Indonesia melalui kementeriannya
telah melakukan beberapa penelitian dan studi banding di beberapa Negara Maju dan
Berkembang lainnya, di antaranya adalah Negara Jepang, Hongkong, Filiphina dan
Negara-Negara lainnya yang dianggap telah berhasil menjual Obligasi Ritel
Pemerintah (Ritail Government Bond), sebagai acuan Pemerintah dalam menjual
Obligasi Negara Ritel di Indonesia.
Secara umum Surat Utang Negara digolongkan sebagai investasi bebas resiko
(risk free investment). Secara khusus digolongkannya Surat Utang Negara sebagai
investasi bebas resiko dikaitkan dengan keberadaan jaminan dari pihak pemerintah
untuk pembayaran kembali pokok beserta bunga pada saat jatuh tempo. Meskipun
merupakan jaminan dari pihak pemerintah, hal itu tidak dapat disamakan dengan
13
Dody Rudianto, Pembangunan dan Perkembangan Bisnis di Indonesia, Perspektif
Pembangunan Indonesia dalam Kajian Pemulihan Ekonomi, (Jakarta: Golden Trayon Press, 2002),
hlm. 63.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
penanggung menurut KUHPerdata tetapi hanya merupakan janji/komitmen dari
pemerintah untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya yang berkenaan dengan Surat
Utang Negara. 14 Surat Utang Negara juga menjadi rujukan (benchmark) bagi
instrumen surat Utang Negara lainnya yang diperdagangkan di pasar modal. 15
Pemerintah menyadari bahwa keberadaan Ritel Government Bond (RGB) di
Indonesia sangat mendesak, hal ini dapat dilihat dari; (i) peran surat utang Negara
(SUN) sebagai instrument pembiayaan dalam kebijakan keuangan Negara yang
semakin meningkat, (ii) kebutuhan untuk meningkatkan kredibilitas SUN sebagai
benchmark investasi di Indonesia melalui perluasan kepemilikan SUN di kalangan
penduduk. 16
Kredibilitas pemerintah merupakan unsur yang sangat penting untuk
menjadikan Obligasi Pemerintah sebagai benchmark bagi kegiatan investasi jangka
panjang di Indonesia. Untuk mewujudkan benchmarking sebagaimana dimaksud
tersebut antara lain diperlukan manajemen portofolio utang yang tepat, sehingga riskfree yang melekat pada Obligasi Pemerintah dapat diakui sepenuhnya oleh para
investor. 17
Terlepas dari beberapa kepentingan Pemerintah untuk menutupi Defisit
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahunnya melalui penerbitan Surat
14
Jonker Sihombing, Investasi Asing Melalui Surat Utang Negara, (Bandung: P.T.Alumni,
2008), hlm.8.
15
Sapto Rahardjo, Panduan Investasi Obligasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003),
hlm.118.
16
Makmun, Sigit Setiawan, Belajar dari Pengalaman Jepang dalam Menerbitkan Obligasi
Retail, Bunga Rampai Hasil Penelitian Badan Pengkaji Ekonomi Keuangan dan Kerjasama
Internasional, (Jakarta: Bapekki, 2004), hlm. 32.
17
Ibid, hlm. 32-33.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Utang Negara (SUN) yang berupa Obligasi Negara Ritel (ORI) tersebut, yang
dianggap perlu dan sangat penting bagi masyarakat saat ini adalah pengetahuan
mengenai pengaturan penerbitan obligasi Negara ritel dalam ketentuan hukum surat
utang negera di Indonesia serta tentang kedudukan dan perlindungan hukum bagi para
pemegang obligasi Negara ritel. Hal ini tidak lain adalah untuk mengetahui seberapa
besar jaminan keamanan serta perlindungan hukum atas investasi yang telah
ditanamkan dalam bentuk Obligasi tersebut, karena tidak menutup kemungkinan
kejadian gagal bayar Obligasi Negara pada masa pemerintahan Presiden Soekarno
kembali terulang.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tesis
dengan mengangkat judul “Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara
Ritel (ORI)”.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI) dalam
ketentuan hukum surat utang negara di Indonesia?
2. Bagaimanakah kedudukan hukum bagi pemegang Obligasi Negara Ritel (ORI)?
3. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pemegang Obligasi Negara Ritel (ORI)?
C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya tujuan penelitian adalah untuk mencari pemahaman yang benar
tentang masalah yang dirumuskan. Lebih rinci tujuan penelitian dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Penelitian ini dilakukan guna memperoleh informasi secara lebih detail mengenai
pengaturan penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI) dalam ketentuan hukum surat
utang negara di Indonesia.
2. Selain dasar hukumnya, penelitian ini juga bertujuan untuk memperoleh
gambaran secara mendasar dan juga komprehensif tentunya mengenai kedudukan
hukum bagi para pemegang Obligasi Negara ritel (ORI).
3. Mempelajari, meneliti dan menganalisis mengenai perlindungan hukum bagi
pemegang Obligasi Negara Ritel (ORI).
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
D. Manfaat Penelitian
Ditetapkannya permasalahan-permasalahan, maka diharapkan akan membawa
sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis, sehubungan dengan itu,
penelitian ini setidaknya bermanfaat untuk:
1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma
berpikir dalam memahami, mengerti dan mendalami permasalahan hukum,
khususnya dalam hukum bisnis mengenai diterbitkannya Obligasi Negara Ritel.
Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan bagi
penelitian lanjutan dan dapat memperkaya khazanah kepustakaan, khususnya
dalam studi hukum bisnis.
2. Secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini bisa digunakan oleh masyarakat
agar mulai berpikir mengenai aspek legalitas dan safety dari investasi yang
ditanamkan selama ini, khususnya pada obligasi-obligasi milik pemerintah seperti
halnya Obligasi Negara Ritel (ORI).
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi
yang ada penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara,
penelitian dengan judul Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel
(ORI) belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Walaupun ada beberapa
kesamaan dalam membahas topik tentang obligasi, misalnya Penerapan Ketentuan
Transparansi Prospektus Penjualan Obligasi PTPN III dan Prinsip Mudharabah
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
terhadap Obligasi dalam Pasar Modal Syariah. Penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya ini tentunya sangat berbeda dengan penelitian yang penulis tulis dalam
penelitian ini baik pada pendekatan rumusan masalah maupun pendekatan topik
penelitian. Sehingga penulisan penelitian ini dapat dikatakan asli dan keaslian secara
akademis keilmuan dapat dipertanggung jawabkan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukan ketidakbenarannya. 18
Kelangsungan perkembangan ilmu hukum senantiasa bergantung pada unsurunsur antara lain : metodologi, aktivitas penelitian imajinasi sosial dan juga sangat
ditentukan oleh teori. 19
Pembangunan ekonomi sangat memerlukan sarana dan pranata hukum agar
hasilnya benar-benar dapat mencapai tujuannya sesuai dengan yang direncanakan. 20
18
J.J.J.M.Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas (Jakarta: FE UI, 1996), hlm. 203.
-Bandingkan M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung: CV Mandar Maju,
1994), hal.27. Menyebutkan bahwa ”Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala
yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana
pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum
merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu
penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat
dinyatakan benar.”
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1982), hlm. 6.
20
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: P.T.
Alumni,1991), hlm.30.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Hukum dan ekonomi merupakan dua sistem dari sistem kemasyarakatan yang saling
berintegrasi satu sama lainnya. Teori hukum yang berkenaan dengan pembangunan
ekonomi erat kaitannya dengan ajaran yang melihat adanya hubungan yang erat
antara hukum dengan masyarakat. Roscue Pound Jurisprudence menyebutkan bahwa
peranan hukum dalam pembangunan ekonomi adalah sebagai a tool of social
engineering. 21
Pemikiran hukum sebagai a tool of social engineering selanjutnya
dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai teori hukum yang sesuai
dengan pembangunan di Indonesia, setelah disesuaikan dengan kondisi riil yang ada
di masyarakat. Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sebenarnya telah
hidup di masyarakat adat Indonesia di beberapa daerah jauh sebelumnya, hanya hal
tersebut tidak pernah diangkat ke permukaan dan tidak memperoleh publikasi yang
luas. 22 Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat didasarkan pada anggapan
bahwa adanya keteraturan dan ketertiban dalam proses pembangunan merupakan
sesuatu hal yang diinginkan dan dianggap perlu. 23 Hal ini berkaitan pula dengan
hukum yang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana bagi pembangunan
dalam arti penyalur arah kegiatan masyarakat ke arah yang dikehendaki oleh
pembangunan tersebut. Pada umumnya, pendapat yang menyatakan bahwa hukum
21
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan Karya
Tulis, (Bandung: P.T. Alumni, 2002), hlm.14. Romli Atmasasmita menyebutkan fungsi hukum sebagai
“a tool of beuraucratic and social engineering”, yang melihat fungsi hukum sebagai saran
pembaharuan sekaligus dapat menciptakan harmonisasi antara elemen birokrasi dan elemen
masyarakat ke dalam satu wadah. Lihat Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis,
(Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm.19-20.
22
Ibid., hlml.79-80.
23
Ibid, hlm.88.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
merupakan sarana pembaharuan dalam pembangunan nasional telah dapat diterima
oleh sebagian besar kalangan di Indonesia pada saat ini. Satjipto Rahardjo menyitir
kembali teori hukum pembangunan yang digagas oleh Mochtar Kusumaatmadja
dengan menyebutkan bahwa hukum dapat diterima sebagai sarana pembaharuan
masyarakat didasarkan pada kenyataan bahwa hukum dapat digolongkan sebagai
faktor penggerak awal, yakni yang memberikan dorongan pertama secara sistematis
ke arah pembaharuan yang dimaksud. 24 Sebagai faktor penggerak awal, peranan
hukum sedemikian strategis karena menjadi lokomotif yang menarik gerbong kereta
bagi pembangunan di bidang-bidang lainnya.
Kepastian hukum merupakan syarat untuk melahirkan ketertiban. Untuk
mencapai ketertiban hukum diperlukan adanya keterarutan dalam masyarakat. Hukum
diartikan sebagai tata hukum atas hukum positif tertulis. 25 Keberlakukan hukum di
tengah masyarakat bukan lagi untuk mencapai keadilan semata, tetapi juga harus
memberikan kepastian. Kepastian hukum diharapkan dapat menjadi pedoman, baik
bagi masyarakat maupun bagi aparatur hukum dalam mengambil keputusan. 26
Sociological Jurisprudence: Eugen Ehrlich mengatakan, hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Menunjukkan kompromi antara hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat
hukum demi adanya kepastian hukum dengan living law sebagai wujud penghargaan
24
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), hlm.99.
Suhaidi, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
USU, hlm. 8.
26
Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana USU.
25
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum. 27 Aktualisasi
dari living law, hukum tidak dilihat dari wujud sebagai kaidah, melainkan hukum
terdapat dalam masyarakat itu sendiri. Pada kenyataan hukum adalah kemauan
publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books.
a. Obligasi
Perkataan Obligasi berasal dari bahasa Belanda “obligatie” yang secara
harfiah berarti hutang atau kewajiban. Selain itu, obligasi masih dalam bahasa
Belanda dapat berarti pula suatu hutang (schuldrief). Dalam pengertian surat hutang
ini, obligasi dalam terminology hukum Belanda kerap disebut pula dengan istilah
obligasi “obligatie lening”, yang berarti secarik bukti pinjaman uang yang
dikeluarkan oleh suatu perseroan atau badan hukum lain yang dapat diperdagangkan
dengan cara menyerahkan surat tersebut.
Obligasi merupakan salah satu jenis efek. Di Indonesia yaitu dalam UndangUndang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, Efek didefenisikan sebagai
berikut:
”Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan hutang, surat berharga
komersial, saham, obligasi, tanda bukti hutang, unit penyertaan kontrak
investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivative dari
efek.”
Dalam bahasa Inggris obligasi disebut dengan istilah ”bond”. Dalam
Dictionary of Accounting, 28 bond diartikan sebagai ”a written contract evidencing a
27
Suhaidi, Op.cit.,
Estes, Ralph, Dictionary of Accounting, MIT Press, Massachussets, USA. Dalam A.
Setiadi, Obligasi dalam Perspektif Hukum Indonesia, (Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.2.
28
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
long term, interest-bearing loan”. Sedangkan menurut Law Dictionary, 29 bond
diartikan sebagai “evidence of debt”. Selain itu dalam kamus yang sama, bond dapat
berarti pula:
“Obligation of state its subdivision, or a private corporation, represented by
certificate for principal and detachable coupons for current interest; includes
all interest-bearing obligations of persons, firms or corporation”.
Kedua pengertian bond di atas adalah sesuai dengan yang disebut dan
dimaksud sebagai obligasi dalam penelitian ini. Di Negara-Negara Anglo-Amerika,
bond termasuk dalam pengertian securities yang kurang lebih pengertiannya sama
dengan effecten atau efek sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.
Namun demikian, hendaknya tidak terkecoh dengan istilah bond, sebab dalam
bahasa Inggris, bond tidak selalu berarti obligasi seperti yang dimaksudkan di atas,
tetapi dapat pula berarti ”a cash or property deposit made to guarantee
performance”, jadi bond di sini bukanlah berarti suatu surat hutang lagi melainkan
suatu “written instrument with sureties” yang dimaksudkan untuk “guaranteeing
faithful performance of acts or duties”. Bond dalam pengertian yang terakhir ini
misalnya ialah performance bond atau surety bond yang biasa digunakan sebagai
jaminan atas pelaksanaan suatu pekerjaan seperti pekerjaan pemborongan.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tidak memberikan
definisi mengenai obligasi, tetapi pengertian obligasi dapat ditemukan pada peraturan
perundang-undangan lain yang menyatakan sebagai berikut:
29
Giffis, Steven H, Law Dictionary, Barron’s Educational Series Inc, Woodbury, 1975. dalam
Ibid.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
“Obligasi ialah bukti hutang emiten yang mengandung janji pembayaran
bunga atau janji lain serta pelunasan pokok pinjamannya dilakukan pada
tanggal jatuh tempo, sekurang-kurangnya 3 tahun sejak tanggal emisi”.
b. Perikatan Dasar Obligasi
Pada prinsipnya, obligasi merupakan bukti atas suatu prestasi dari penerbit
kepada pemegangnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antara penerbit
dan pemegang obligasi terdapat suatu perikatan. Sehingga pada pihak penerbit timbul
suatu kewajiban untuk melakukan suatu prestasi. 30 Dalam hal ini akan muncul
pertanyaan mengenai bentuk perikatan yang terjadi antara penerbit dan pemegang
obligasi.
Dari uraian di atas, disinggung bahwa suatu hutang (schuld) atau suatu
prestasi dapat ditimbulkan dari perikatan apa saja. Penjual mempunyai kewajiban
berprestasi untuk menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli. Demikian
pula si peminjam uang mempunyai kewajiban berprestasi untuk mengembalikan
jumlah yang dipinjamnya kepada si kreditur. Di sini terlihat bahwa hutang dalam
pengertian hukum sangatlah luas.
Obligasi merupakan tanda bahwa seorang turut serta dalam meminjamkan
uang kepada perseroan bersama-sama lain-lain orang secara menerima tanda piutang
dari perseroan. 31 Dari pendapat Wirjono ini dapat dilihat bahwa hubungan antara
penerbit dan pemegang obligasi adalah pinjam meminjam uang.
30
Setiadi, Obligasi dalam Perspektif Hukum Indonesia, (Bandung: P.T.Citra Aditya, 1996),
hlm.7.
31
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkumpulan, Perseroan dan Koperasi, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1985), hlm.70.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Penerbit meminjam uang kepada pemegang obligasi sehingga timbul
kewajiban dari penerbit untuk mengembalikan uang yang dipinjamkannya kepada
pemegang obligasi. Atas kewajiban atau prestasinya tersebut, penerbit menerbitkan
surat yang disebut surat obligasi sebagai bukti atas prestasi yang wajib dilakukannya.
c. Perikatan Pinjam Meminjam Uang
Terhadap hubungan penerbit dan pemegang obligasi ini berlaku ketentuanketentuan Pasal 1754-1769 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
tentang pinjam meminjam pada umumnya. Dalam Pasal 1754 KUH Perdata
disebutkan bahwa pinjam meminjam ialah:
“Persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang
lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian,
dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Penafsiran ini kemudian diperkuat lagi oleh ketentuan Pasal 1765 KUH
Perdata yang memperbolehkan pinjam meminjam (uang) dengan bunga, yaitu sebagai
berikut:
“adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau
barang lain yang habis karena pemakaian”.
Dengan demikian jelaslah bahwa dari segi yuridis perikatan dasar antara
penerbit dan pemegang obligasi adalah perikatan pinjam meminjam uang atau hutang
piutang. Pada perikatan obligasi, penerbit obligasi meminjamkan kepada para
pemegang obligasi sejumlah uang, yaitu senilai nominal obligasi yang bersangkutan
dan berjanji akan membayar sejumlah bunga serta mengembalikan uang tersebut pada
saat jatuh tempo obligasi.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
2. Landasan Konsepsi
Berikut ini adalah defenisi operasional dan istilah-istilah yang dipakai dalam
penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
a. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang
dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga
dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. 32
b. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara
untuk pertama kali. 33
c. Obligasi Negara adalah Surat Utang Negara berjangka waktu lebih dari 12 (dua
belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2002 tentang Surat Utang Negara. 34
d. Obligasi Negara Ritel adalah Obligasi Negara yang dijual kepada individu atau
orang perseorangan Warga Negara Indonesia melalui agen penjualan.35
e. Agen Penjual adalah bank dan atau perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan untuk melaksanakan Penjualan Obligasi Negara Ritel. 36
f. Pihak adalah individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia yang
akan membeli Obligasi Negara Ritel. 37
32
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, Pasal 1 butir (1).
Ibid., butir (2).
34
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara
Ritel di Pasar Perdana, Pasal 1 butir (1).
35
Ibid, Pasal 1 butir (4).
36
Ibid, butir (5).
37
Ibid, butir (6).
33
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
g. Penjatahan adalah penetapan alokasi Obligasi Negara Ritel yang diperoleh setiap
pemesan sesuai dengan hasil penjualan Obligasi Negara Ritel.38
G. Metode Penelitian
Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya. 39
Soerjono
Soekanto
mengatakan
menurut
kebiasaan
metode
dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan
3. Cara tertentu untuk melaksanakan prosedur 40
Istilah metode berasal dari bahasa Yunani dari asal kata Methodos yang
berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut
cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan. 41
Pengumpulan data dengan cara deskriptif dilakukan pendekatan yuridis
normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian
melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
38
Ibid, butir (9).
Jhony Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2005), hlm.4.
40
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm.5.
41
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penellitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997),
hlm.16.
39
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, di mana jenis penelitian yang
bertujuan
melukiskan
permasalahan
hukum 42
yaitu
penelitian
ini
hanya
menggambarkan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi kerangka
studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara
langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.43
2. Sumber Data
Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder.
Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas sehingga meliputi
surat-surat pribadi, buku-buku harian, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh pemerintah. 44 Dari sudut informasi, maka bahan pustaka dapat
dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut: 45
a. Bahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang mengikat dari sudut norma
dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dan merupakan
landasan utama untuk dipakai dalam rangka penelitian ini, yaitu Undang-Undang
No.24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara dan peraturan-peraturan lain
yang berkaitan dengan objek penelitian.
42
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.16.
Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan
Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.17.
44
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Adytia Bakti,
2004), hlm.122.
45
Soejono Soekanto dan Sri Manjui, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.13.
43
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
b. Bahan hukum sekunder, bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya,
bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang
relevan dengan objek telaah penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang
berupa kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan jurnal-jurnal ilmiah.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau
doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang
berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini, yang dapat berupa peraturan
perundang-undangan, buku-buku, dan karya ilmiah lainnya.
4. Alat Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data yang dilakukan dengan studi
dokumen. Pada tahap awal pengumpulan data dilakukan inventaris seluruh data dan
atau dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan
pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan permasalahan yang telah
ditetapkan.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
5. Analisis Data
Analisis merupakan hal terpenting dalam suatu penelitian dalam rangka
memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Setelah diperoleh data
sekunder yakni berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tertier, maka dilakukan pengklasifikasian data, kemudian data disusun secara
sistematis untuk mempermudah proses analisa. Analisa data dilakukan dengan
pendekatan kualitatif. Selanjutnya ditarik suatu kesimpulan yang bersifat deduktif
sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Menurut Lexy J. Moleong, analisa data kualitatif ini adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan
kepada orang lain. 46
46
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006),
hlm.248.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
BAB II
PENGATURAN PENERBITAN OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI)
DALAM KETENTUAN SURAT UTANG NEGARA
A. Pengaturan Penerbitan Obligasi Negara Ritel
Pada tanggal 9 Agustus 2006, untuk pertama kalinya Pemerintah menerbitkan
Obligasi Negara berbasis ritel, atau disebut sebagai Obligasi Negara Ritel (ORI)
dengan seri ORI-001. ORI adalah Obligasi Negara yang dijual kepada individu atau
perseorangan Warga Negara Indonesia melalui Agen Penjual di pasar perdana.
Penerbitan ORI-001 merupakan salah satu upaya untuk melaksanakan Strategi
Pengelolaan Utang Negara tahun 2005 – 2009 yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 447/KMK.06/2005 tentang
Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2005-2009. Di dalam dokumen strategi
dimaksud ditetapkan bahwa pengembangan pasar sekunder SUN dilakukan antara
lain dengan melakukan diversifikasi instrumen SUN melalui SUN Ritel yang mana
hal ini sejalan pula dengan upaya memperluas basis investor. Penerbitan ORI
merupakan langkah nyata Pemerintah dalam melaksanakan strategi dimaksud. Selain
itu, ORI diterbitkan juga dalam rangka memberikan alternatif investasi yang cukup
menguntungkan dan aman bagi investor individu, serta memberikan unsur pendidikan
bagi investor individu untuk berinvestasi pada instrumen pasar modal seperti ORI.
Selama ini investor individu umumnya menyimpan dananya pada instrumen investasi
berupa tabungan atau deposito yang notabene instrumen pasar uang. Terlebih dengan
belum pulihnya kepercayaan masyarakat umum pada industri reksadana. ORI001
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
jatuh tempo pada tanggal 9 Agustus 2009 atau memiliki umur 3 tahun, tingkat
kuponnya 12,05% yang dibayar bulanan, dan dapat diperjualbelikan. 47
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara
Untuk menjamin keberadaan Obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Surat Utang Negara (SUN), maka
sejak tanggal 22 Oktober 2002 Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara. Pengesahan Undang-Undang
tersebut menjadi hal yang sangat penting dan paling dinanti oleh para investor, baik
oleh investor asing maupun investor domestik. Dasar pertimbangan Pemerintah pada
saat menyusun dan mengesahkan undang-undang tersebut adalah dalam rangka
mendukung keberhasilan pembangunan nasional guna mewujudkan masyarakat yang
adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945.
Dalam konteks kemandirian bangsa, potensi yang tersedia di dalam negeri
harus dioptimalkan untuk melaksanakan kegiatan ekonomi dan membiayai kegiatan
pembangunan. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah perlu diberikan peluang
untuk meningkatkan akses yang dapat menggali potensi sumber pembiayaan
pembangunan dan memperkuat basis pemodal domestik. Pembiayaan tersebut akan
terjamin keamanannya apabila mobilisasi dana masyarakat disertai dengan
47
Laporan Pertanggung Jawaban Pengelolaan Surat Utang Negara Tahun 2006,
Disampaikan sebagai bagian pertanggung jawaban pelaksanaan APBN Tahun 2006, hlm. 13-14.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
bekerjanya sistem keuangan, meliputi sistem perbankan, pasar uang dan pasar modal,
yang efisien. Terciptanya keragaman dalam mobilisasi dana dapat menghasilkan
sistem keuangan yang kuat dan memberikan alternatif bagi para pemodal (investor).
Dalam kegiatan di pasar keuangan, peranan pasar SUN sangat strategis.
Artinya, tingkat keuntungan (yield) dari SUN, sebagai instrumen keuangan yang
bebas resiko, dipergunakan oleh para pelaku pasar sebagai acuan atau referensi dalam
menentukan tingkat keuntungan suatu investasi atau aset keuangan lain. Dengan
demikian, penerbitan SUN secara teratur dan terencana diperlukan untuk membentuk
suatu tolak ukur yang dapat dipergunakan dalam menilai kewajaran suatu harga aset
keuangan atau surat berharga.
Adanya pasar keuangan yang efisien akan memberikan beberapa manfaat,
antara lain: 48
a. Memberikan peluang dan partisipasi yang lebih besar kepada pemodal untuk
melakukan diversifikasi portofolio investasinya.
b. Membantu terciptanya suatu tata kelola yang baik (good governance) dikarenakan
adanya tingkat transparansi informasi keuangan yang tinggi dalam pasar modal,
dan
c. Membantu terwujudnya suatu sistem keuangan yang stabil karena berkurangnya
resiko sistemik (sytemic risk) akibat menurunnya ketergantungan pada modal
yang berasal dari sistem perbankan.
48
Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat
Utang Negara, Bagian Umum.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Dari sisi mobilisasi dana masyarakat melalui mekanisme APBN, penggunaan
SUN secara potensial dapat mengurangi ketergantungan pada pembiayaan luar negeri
yang sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Di samping itu, pengelolaan SUN
secara baik dan benar dapat mengurangi kerugian negara yang ditimbulkan oleh
berbagai resiko keuangan dalam portofolio utang negara. Melalui mekanisme APBN,
maka dengan sendirinya akan terselenggara sistem pengawasan langsung oleh
publik. 49
Pelaku pasar keuangan sangat berkepentingan terhadap informasi tentang arah
kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tercermin dalam APBN, mengingat
implikasi kebijakan tersebut terhadap minat dan kesempatan investasi di pasar
keuangan domestik. Persepsi pasar akan sangat tergantung pada konsistensi tindakan
Pemerintah dalam menjalankan kebijakan tersebut. Di samping itu, para pemodal
membutuhkan adanya kepastian hukum dan jaminan adanya pengelolaan pasar
keuangan yang profesional dan berstandar internasional. Bertitik tolak dari pemikiran
di atas maka diperlukan pasar SUN yang aktif dan likuid, baik di pasar perdana
maupun di pasar sekunder. Dalam rangka mewujudkan pasar tersebut diperlukan
langkah-langkah strategis untuk membangun infrastruktur, antara lain sistem
penerbitan di pasar perdana, sistem perdagangan di pasar sekunder, sistem registrasi,
kliring dan setelmen yang efisien, serta kerangka regulasi yang transparan dan adil.
Prasyarat terpenting bagi terciptanya SUN adalah adanya kepercayaan pasar terhadap
SUN yang diterbitkan oleh Pemerintah. Untuk itu, melalui Undang-Undang Nomor
49
Ibid.,
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara, Pemerintah mengatur hal-hal sebagai
berikut: 50
a. Transparansi pengelolaan SUN dalam kerangka kebijakan fiskal dan kebijakan
pengembangan pasar SUN dengan mengatur lebih lanjut tentang tujuan
penerbitan SUN.
b. Kewenangan pemerintah untuk menerbitkan SUN yang didelegasikan kepada
Menteri Keuangan, misalnya dalam menentukan persyaratan dan ketentuan (term
and conditions) SUN.
c. Kewenangan pemerintah untuk membayar semua kewajiban yang timbul dari
penerbitan SUN tersebut secara penuh dan tepat waktu sampai berakhirnya
kewajiban tersebut.
d. Landasan hukum bagi pengaturan lebih lanjut atas tata cara dan mekanisme
penerbitan SUN di pasar perdana maupun perdagangan SUN di pasar sekunder
agar pemodal memperoleh kepastian untuk memiliki dan memperdagangkan SUN
secara mudah dan aman.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi
Negara Ritel di Pasar Perdana
Selain Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara
(SUN) yang dijadikan sebagai payung hukum oleh para investor, khusus mengenai
Obligasi Negara Ritel, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengeluarkan
50
Ibid.,
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi
Negara Ritel di Pasar Perdana, yang ditetapkan pada tanggal 16 Mei 2006.
Dalam rangka pengelolaan Surat Utang Negara (SUN) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang SUN, Menteri
Keuangan dapat melakukan penjualan SUN melalui lelang dan/atau tanpa lelang.
Penjualan SUN tanpa lelang dapat dilaksanakan dengan melakukan penjualan
Obligasi Negara Ritel kepada masyarakat melalui agen penjual. Penerbitan Obligasi
Negara Ritel akan memperluas basis SUN di masyarakat. Berdasarkan alasan-alasan
tersebut di atas, maka dirasakan cukup penting bagi Menteri Keuangan untuk
mengeluarkan Peraturan tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana
sebagaimana
tertuang
melalui
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana.
Pihak ketiga yang sangat membantu pemasaran Obligasi Negara Ritel
sebagaimana telah disebutkan di atas adalah agen penjual. Oleh karena itu dalam
Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan
Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana telah diatur secara khusus mengenai
penunjukan agen penjual yang dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a. Penyampaian surat permintaan proposal (request for proposal) kepada Bank
dan/atau Perusahaan Efek yang memiliki reputasi dan telah menunjukkan
minatnya untuk menjadi Agen Penjual Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana.
b. Penerimaan dan penelitian dokumen proposal dari calon Agen Penjual.
c. Pemilihan calon Agen Penjual untuk ikut tahap presentasi.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
d. Presentasi dari calon Agen Penjual.
e. Pemeringkatan Agen Penjual
f. Penunjukan Agen Penjual
Sedangkan dalam Pasal 6 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor
36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana,
disebutkan bahwa untuk dapat ditunjuk menjadi Agen Penjual, Calon Agen Penjual
harus:
a. Menyampaikan proposal dan dokumen pendukungnya
b. Memenuhi kriteria dan persyaratan yang ditetapkan, dan
c. Lulus seleksi yang dilaksanakan oleh Panitia Seleksi
Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b di atas, sekurangkurangnya meliputi:
a. Memiliki kantor cabang minimal pada 5 (lima) kota di Indonesia.
b. Memiliki rencana kerja, strategis, dan metodologi penjualan obligasi ritel
c. Memiliki anggota tim yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman melakukan
penjualan produk keuangan secara ritel.
d. Memiliki dukungan teknologi sistem informasi yang terintegrasi ke kantor
cabang.
Selain pengaturan mengenai Agen Penjual, dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar
Perdana juga diatur mengenai dokumen, ketentuan penjualan Obligasi Negara Ritel,
Perjanjian Kerja antara Pemerintah dan Agen Penjual, penetapan hasil penjualan dan
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
penjatahan, setelmen serta biaya penjualan yang timbul dalam rangka pelaksanaan
penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana.
Pengaturan penerbitan Obligasi Negara Ritel sebagaimana tercantum pada
Pasal 1 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2002 tentang SUN, pemerintah menjamin
pembayaran bunga dan pokok surat utang negara pada saat jatuh temponya. Adanya
jaminan dari pihak pemerintah dimaksudkan untuk menciptakan daya tarik bagi
investor agar berinvestasi pada surat utang negara. Dengan adanya UU SUN tersebut,
maka pemegang obligasi tidak perlu khawatir terjadi risiko gagal bayar (default risk).
Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2002 tentang SUN dan Pasal 8 ayat
(2), pemerintah wajib membayar bunga dan pokok setiap Surat Utang Negara pada
saat jatuh tempo.
Selain itu, teori Perjanjian (Overeenkomst Theorie) oleh Thol sangat tepat
untuk menjelaskan dasar hukum yang mengikat antara pemerintah dengan investor
(pemegang obligasi). Teori ini menyatakan bahwa yang menjadi dasar hukum
mengikatnya surat berharga antara penerbit dan pemegang ialah suatu perjanjian yang
merupakan perbuatan hukum dua pihak, yaitu penerbit yang menandatangani dan
pemegang pertama yang menerima surat berharga itu. Mengenai hal bahwa jika
pemegang pertama mengalihkan surat itu kepada pemegang berikutnya maka penerbit
tetap terikat di dalam perjanjian. 51
51
Joni Emirzon, Hukum Surat Berharga dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta:
Prenhallindo, 2002), hlm.47.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Untuk kepentingan umum, surat utang negara harus selalu mencantumkan
informasi yang material dan penting bagi calon investor, yakni: 52
a. Kupon: pendapatan tingkat suku bunga yang dibayarkan secara berkala oleh
pemerintah kepada para pemegang obligasi.
b. Prinsipal/Nilai Nominal: sejumlah nilai pokok yang akan dibayar pemerintah
kepada investor pada saat jatuh tempo.
c. Jatuh Tempo: periode akhir dari masa obligasi tersebut, di mana akan dilakukan
pelunasan pokok/nominal obligasi.
d. Tanggal Pembayaran Bunga: jadwal pembayaran kupon kepada pemegang
obligasi yang waktu pembayarnnya telah disepakati sebelumnya.
e. Perhitungan Pembayaran Bunga: metode perhitungan pembayaran bunga yang
cukup terperinci dan dipahami secara jelas oleh investor.
f. Hak Membeli Kembali (buy back): pihak pemerintah mempunyai hak untuk
membeli kembali obligasi tersebut walaupun belum masuk periode jatuh tempo.
Tentunya diperhitungkan pula berbagai biaya yang timbul.
g. Pengalihan Kepemilikan: prosedur pengalihan kepemilikan surat utang negara
diatur tata caranya secara resmi dan jelas apabila berpindah nama pemiliknya.
Dalam UU SUN Pasal 20 sudah diatur mengenai peralihan, selain itu dalam
Pasal 11 huruf h juga menyebutkan ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.
Dengan demikian obligasi negara ritel dapat dialihkan kepada orang lain.
52
Sapto Rahardjo, Panduan Investasi Obligasi, Cetakan kedua, (Jakarta: PT.Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hlm.119.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
B. Karakteristik Obligasi
Obligasi adalah surat tanda bukti bahwa investor pemegang obligasi
memberikan pinjaman utang bagi emiten penerbit obligasi. Oleh karena itu, emiten
obligasi akan memberikan kompensasi bagi investor pemegang obligasi, berupa
kupon yang dibayarkan secara periodik terhadap investor. Dengan demikian, obligasi
bisa dikatakan sebagai salah satu instrumen pasar modal yang memberikan
pendapatan tetap (fixed income securities) bagi pemegangnya. Sebagai sekuritas
pendapatan tetap, obligasi memberikan penghasilan secara rutin. Obligasi memiliki
karakteristik sebagaimana karakteristik sekuritas pendapatan tetap (fixed income
securities) lainnya, 53 yaitu: (1) surat berharga yang mempunyai kekuatan hukum, (2)
memiliki jangka waktu tertentu atau masa jatuh tempo, (3) memberikan pendapatan
tetap secara periodik, (4) ada nilai nominal. Penerbit (emiten) obligasi berkewajiban
untuk membayarkan bunga dalam jumlah tertentu secara periodik selama obligasi
belum jatuh tempo, dan juga melakukan pembayaran kembali nilai prinsipal obligasi
tersebut pada saat jatuh tempo yang telah ditentukan. 54
Secara umum obligasi merupakan produk pengembangan dari surat utang
jangka panjang. Prinsip utang jangka panjang dapat dicerminkan dari karakteristik
atau struktur yang melekat pada sebuah obligasi. Pihak penerbit obligasi pada
dasarnya melakukan pinjaman kepada pembeli obligasi yang diterbitkannya.
53
Eduardus Tandelilin, Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio, Edisi Pertama,
(Yogyakarta: BPFE, 2001), hlm.135. Lihat juga dalam Dyah Ratih Sulistyastuti, Saham dan Obligasi,
Ringkasan Teori dan Soal Jawab, (Yogyakarta: UAJY, 2002), hlm.51.
54
Robbert Ang, Buku Pintar Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Mediasoft Indonesia, 1997),
hlm.82.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Pendapatan yang didapatkan oleh investor obligasi tersebut berbentuk tingkat suku
bunga atau kupon. Selain aturan tersebut telah diatur pula perjanjian untuk
melindungi kepentingan penerbit dan kepentingan investor obligasi tersebut. 55 Setiap
obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah adalah obligasi tanpa jaminan (non-secured
bond). Di Indonesia saat ini hanya obligasi Bank Indonesia yang dipasarkan di pasar
internasional yang dimaksudkan untuk benchmark bagi obligasi BUMN dan
perusahaan swasta nasional. 56
Adapun karakteristik umum yang tercantum pada sebuah obligasi yaitu
meliputi: 57
1. Nilai Penerbitan Obligasi (jumlah pinjaman dana)
Dalam penerbitan obligasi maka pihak emiten akan dengan jelas menyatakan
berapa jumlah dana yang dibutuhkan melalui penjualan obligasi. Istilah yang ada
yaitu dikenal dengan ”jumlah emisi obligasi”. Apabila perusahaan membutuhkan
dana Rp. 400 Milyar maka dengan jumlah yang sama akan diterbitkan obligasi
senilai dana tersebut. Penentuan besar kecilnya jumlah penerbitan obligasi
berdasarkan kemampuan aliran kas perusahaan serta kinerja bisnisnya.
2. Jangka Waktu Obligasi
Setiap obligasi mempunyai jangka waktu jatuh tempo (maturity). Masa jatuh
tempo obligasi kebanyakan berjangka waktu 5 (lima) tahun. Untuk obligasi
55
Sapto Rahardjo, Op.cit., hlm.8.
Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Cetakan ke-4,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm.186.
57
Op.cit.,
56
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
pemerintah bisa berjangka waktu lebih dari 5 (lima) tahun sampai 10 (sepuluh)
tahun. Semakin pendek jangka waktu obligasi maka akan semakin diminati oleh
investor karena dianggap risikonya semakin kecil. Pada saat jatuh tempo pihak
penerbit obligasi berkewajiban melunasi pembayaran pokok obligasi tersebut.
3. Tingkat Suku Bunga
Untuk menarik investor membeli obligasi tersebut maka diberikan insentif
berbentuk tingkat suku bunga yang menarik misalnya 17%, 18% per tahunnya.
Penentuan tingkat suku bunga biasanya ditentukan dengan membandingkan
tingkat suku bunga perbankan pada umumnya. Istilah tingkat suku bunga obligasi
biasanya dikenal dengan nama kupon obligasi. Jenis kupon bisa berbentuk fixed
rate dan variable rate untuk alternatif pilihan bagi investor.
4. Jadwal Pembayaran Suku Bunga
Kewajiban pembayaran kupon (tingkat suku bunga obligasi) dilakukan secara
periodik sesuai kesepakatan sebelumnya, bisa dilakukan triwulanan atau
semesteran. Ketepatan waktu pembayaran kupon merupakan aspek penting dalam
menjaga reputasi penerbit obligasi.
5. Jaminan
Obligasi yang memberikan jaminan berbentuk aset perusahaan akan lebih
mempunyai daya tarik bagi calon pembeli obligasi tersebut. Di dalam penerbitan
obligasi sendiri kewajiban penyediaan jaminan tidak harus mutlak. Apabila
memberikan jaminan berbentuk aset perusahaan ataupun tagihan piutang
perusahaan dapat menjadi alternatif yang menarik investor.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Instrumen investasi untuk obligasi terdiri dari obligasi pemerintah dan
obligasi swasta. Obligasi pemerintah (ORI) mempunyai karakteristik tersendiri yaitu
hanya bisa dibeli individu walaupun setelah dilakukan lelang, kenyataannya
kebanyakan ORI itu dimiliki oleh lembaga keuangan, milik pemerintah dan swasta.
Sebenarnya pemerintah dapat mengubah kebijakan pengeluaran obligasi tersebut agar
masyarakat dapat menikmati keuntungan sekaligus melakukan pengendalian terhadap
keuangan pemerintah. Hal itu juga memperbaiki sistem keuangan dan menjalankan
peranannya sebagai intermediary perbankan di Indonesia. 58
Kehadiran obligasi pemerintah merupakan bentuk instrumen utang pemerintah
untuk menyerap dana yang ada di pasar domestik. Hal ini merupakan strategi
pemerintah guna menutupi defisit anggaran negara.59 Obligasi di Indonesia
diterbitkan oleh pemerintah, perusahaan milik pemerintah dan perusahaan swasta.
Kupon obligasi secara umum dibayarkan setiap tiga bulan baik kupon yang tetap
maupun yang mengambang. Investor di Indonesia lebih menyukai obligasi
pemerintah dibandingkan dengan obligasi perusahaan swasta karena resikonya sangat
kecil. Kecilnya resiko yang dimaksud yaitu resiko gagal bayar, sedangkan resiko
tingkat bunga, resiko valuta asing masih tetap dimiliki oleh obligasi pemerintah
tersebut. Bila obligasi perusahaan swasta dibandingkan dengan obligasi perusahaan
pemerintah yang dikenal dengan BUMN maka obligasi yang dikeluarkan BUMN
58
Adler Haymans Manurung, Pengelolaan Portofolio Obligasi, (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2007), hlm.8.
59
Sapto Rahardjo, Op.cit., hlm.111.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
lebih diminati oleh investor. Seringkali terjadi bahwa obligasi BUMN mencapai
oversubcribe (emisi laris) jauh lebih tinggi dari obligasi perusahaan swasta. 60
Adapun karakteristik Obligasi Negara Ritel di Indonesia adalah: 61
1. Umum
a. Dasar Hukum
1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara.
2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 Tentang Penjualan
Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana.
b. Bentuk ORI yang diterbitkan, bentuk ORI adalah tanpa warkat yang dapat
diperdagangkan di pasar sekunder.
c. Nominal ORI, ORI diterbitkan dengan nilai nominal per unit sebesar
Rp.1.000.000,00 (Satu Juta Rupiah).
d. Batasan pemesanan pembelian ORI di pasar perdana, pemesanan pembelian ORI
minimum 5 (lima) unit dan dengan kelipatan 5 (lima) unit.
e. Jumlah indikatif ORI yang ditawarkan, jumlah indikatif ORI yang ditawarkan
adalah Rp.2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) atau 2.000.000,00 (dua juta)
unit.
f. Agen Penjual, Perusahaan Efek: PT Danareksa Sekuritas; PT Trimegah Sekuritas,
Tbk; PT Valbury Asia Sekuritas; Bank umum: Citibank N.A.; PT Bank Bukopin;
60
Adler Haymans Manurung, Dasar-Dasar Investasi Obligasi, (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2006), hlm.11.
61
Departemen Keuangan Republik Indonesia, Memorandum Informasi, (Jakarta, 2006)
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
PT Bank Danamon, Tbk; PT Bank Mandiri (Persero), Tbk; PT Bank Mega, Tbk;
PT Bank NISP, Tbk; PT Bank Panin, Tbk; PT Bank Permata, Tbk.
2. Kupon ORI
Kupon per unit adalah sebesar 12,05% (dua belas koma nol lima per seratus)
per tahun yang dibayar setiap bulan. Kupon per unit yang dibayar setiap bulan adalah
sebesar Rp.10.042,00 (sepuluh ribu empat puluh dua rupiah), berasal dari
Rp.1.000.000 (satu juta rupiah) x 12,05% x 1/12. Pembayaran kupon pertama kali
dilakukan pada tanggal 9 September 2006. pembayaran kupon kedua dan seterusnya
dilakukan setiap tanggal 9, setiap bulan dan pembayaran terakhir dilakukan tanggal 9
Agustus 2009. Jumlah hari kupon (day count) untuk perhitungan kupon berjalan
(accured interest) menggunakan basis jumlah hari kupon sebenarnya (actual per
actual). Pembayaran kupon dilaksanakan di Indonesia dan akan dibayarkan kepada
pemilik ORI yang tercatat pada tanggal pencatatan kepemilikan (record date) dengan
mengkredit rekening dana pemilik ORI. Apabila pembayaran kupon bertepatan
dengan hari dimana operasional sistem pembayaran tidak diselenggarakan oleh Bank
Indonesia, maka pembayaran akan dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa
kompensasi bunga.
3. Biaya dan Perpajakan
a. Biaya pemesanan ORI di pasar perdana adalah biaya materi Rp.6.000,00
(enam ribu rupiah) untuk membuka rekening tabungan pada bank, biaya
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
materai Rp.6.000,00 (enam ribu rupiah) untuk membuka rekening surat
berharga pada subregistry atau melalui partisipan/nasabah subregistry yang
ditunjuk dan biaya transfer dana untuk menampung dana pemesanan ORI.
Masing-masing agen penjual dapat membebaskan sebagian atau seluruh
komponen biaya pemesanan sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
meningkatkan kualitas pelayanan kepada nasabahnya. Masing-masing agen
penjual dilarang untuk membebankan biaya pemesanan di luar ketiga
komponen biaya tersebut dalam rangka pemesanan ORI di pasar perdana.
Pada dasarnya investor dapat membuka rekening dana di bank umum dan
rekening Surat Berharga di subregistry atau partisipan/nasabah subregistry
yang dikehendaki. Namun mengingat pemesanan ORI dilakukan melalui agen
penjual yang telah menjalin kerjasama dengan bank umum dan subregistry
tertentu maka dalam rangka efisiensi biaya, pembukaan rekening dana dan
surat berharga sebaiknya dilakukan melalui bank umum dan subregistry yang
telah bekerjasama dengan agen penjual. Apabila investor membuka rekening
surat berharga di Perusahaan Efek atau Bank Kustodian yang merupakan
partisipan/nasabah subregistry, maka rekening surat berharga investor
merupakan sub rekening dari partisipan/nasabah registry. Dalam rangka
membantu pemerintah untuk memasarkan ORI kepada investor, masingmasing agen penjual akan memperoleh komisi (fee) atas hasil pemesanan
yang dimenangkan oleh Pemerintah.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
b. Biaya penyimpanan dan transfer kupon/pokok ORI
Biaya penyimpanan dari rekening surat berharga umumnya dikenakan untuk
periode satu tahun dan besarannya disesuaikan dengan kebijakan masingmasing subregistry atau partisipan/nasabah subregistry. Besaran biaya transfer
kupon dan pokok ORI disesuaikan dengan kebijakan masing-masing
subregistry atau partisipan/nasabah subregistry. Masing-masing subregistry
atau partisipan/nasabah subregistry dapat membebaskan biaya penyimpanan
dari rekening surat berharga dan/atau biaya transfer kupon dan pokok dalam
rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada nasabahnya.
c. Biaya transaksi di pasar sekunder
Biaya transaksi ORI di pasar sekunder dapat berbeda-beda baik dengan
mekanisme Bursa Efek maupun transaksi di luar Bursa Efek (over the
counter). Biaya transaksi di pasar sekunder antara lain berupa biaya transfer
surat berharga/dana dan biaya perantara pedagang.
d. Biaya perpajakan
Berlaku peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
4. Pelunasan Pokok ORI
Pelunasan pokok ORI dilakukan tanggal 9 Agustus 2009 sebesar Rp.1.000.000,00
(satu juta rupiah) untuk setiap unit ORI yang dimiliki oleh pemilik ORI yang
namanya tercatat dalam registry pada tanggal pencatatan kepemilikan (record
date). Pembayaran pokok ORI dilaksanakan di Indonesia dan akan dibayarkan
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
kepada pemilik ORI yang tercatat pada tanggal pencatatan kepemilikan (record
date) dengan mengkredit rekening dana pemilik ORI. Apabila pembayaran ORI
tidak diselenggarakan oleh Bank Indonesia, maka pembayarannya akan dilakukan
pada hari kerja berikutnya tanpa kompensasi bunga.
5. Pembelian Kembali (buy back)
Pemerintah dapat membeli kembali ORI sebelum jatuh tempo pada harga yang
ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan harga pasar di pasar
sekunder (secondary market). Program buy back obligasi dilakukan untuk
mengurangi eksposur jumlah obligasi yang beredar di pasar atau di tangan
investor. Dengan melakukan pembelian kembali obligasi yang sudah diterbitkan,
berarti pihak pemerintah mempunyai dana lebih dari sisa usaha yang dilakukan
untuk membeli kembali obligasi sebelum jatuh tempo. Pemerintah yang
melakukan buy back akan menghemat biaya bunga dan bisa mendapatkan untung
bila harga obligasi di pasar sedang mengalami penurunan.
1.
Obligasi Sebagai Surat Berharga
Obligasi adalah surat berharga tanda pengakuan utang pada atau peminjam
uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya
tiga tahun dengan memberikan bunga yang jumlah dan saat pembayarannya telah
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
ditentukan lebih dahulu oleh penerbitnya. Dalam defenisi tersebut dapat dirinci unsurunsur utama obligasi sebagai berikut: 62
a. Surat berharga, ini berarti pada obligasi itu tertulis sejumlah uang yang menjadi
hak pemegang, hak tersebut dibuktikan dengan menguasai obligasi itu, dan
obligasi itu dapat dipindah tangankan kepada pihak lain.
b. Tanda pengakuan utang, ini berarti sama dengan aspek yang diatur dalam KUHD,
setiap pemegang yang menunjukkan obligasi pada tanggal yang telah ditetapkan
berhak menerima sejumlah uang seperti yang tertulis pada obligasi dan sejumlah
bunga yang diperjanjikan penerbitnya.
c. Bentuk tertentu, artinya memenuhi syarat-syarat formal seperti yang diatur oleh
Undang-undang (KUHD).
d. Jangka waktu tertentu, ini menunjukkan bahwa obligasi merupakan surat kredit,
yang hanya dapat dilunasi setelah jangka waktu yang ditetapkan berakhir.
e. Penerbit, setiap penerbit obligasi adalah badan hukum, yaitu perseroan terbatas
yang bergerak di bidang usaha perbankan, lembaga keuangan non bank, atau
usaha pembangunan vital.
Dalam literatur-literatur 63 diketahui bahwa agar suatu surat dapat digolongkan
sebagai surat berharga (waarde papier) harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
62
Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat Berharga, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2003), hlm 264.
63
Emmy Pangaribuan, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, (Yogyakarta: FH. Universitas
Gadjah Mada, 1982), hlm.27.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
a. Berbentuk suatu akta atau surat 64
Akta atau surat dalam hukum perdata mempunyai peranan yang esensial. Akta
atau surat merupakan salah satu alat bukti. Akta atau surat merupakan alat bukti
utama dalam hukum perdata, yaitu sebagai alat bukti tertulis. 65 Dalam kaitannya
dengan suatu perikatan, akta atau surat mempunyai fungsi sebagai alat bukti adanya
suatu perikatan terutama adanya suatu hak. Dalam surat berharga, akta atau surat ini
tidak hanya semata-mata sebagai suatu alat bukti, tetapi juga mempunyai fungsi
mempermudah penagih hutang menuntut haknya terhadap penghutang di luar proses.
Dengan kata lain, surat berharga adalah suatu surat legitimasi yang menunjuk
pemegangnya sebagai orang yang berhak, khususnya di luar suatu proses. 66
b. Dapat diperdagangkan
Surat berharga mempunyai sifat khusus yaitu bahwa dibuat untuk dapat
diperdagangkan atau diperalihkan. Oleh karena itulah untuk memudahkan
perdagangannya, surat berharga dibuat bersifat atas unjuk (aan toonder) atau atas
pengganti (aan order). 67 Dengan adanya klausula-klausula tersebut pada surat
berharga, menjadikan bahwa surat berharga yang bersangkutan dapat dengan mudah
diperalihkan kepada orang lain. 68
64
Ibid.,hlm.28.
Pasal 1866 KUHPerdata di mana bukti tertulis ditempatkan pada posisi utama.
66
Emmy Pangaribuan, Op.cit,.hlm.19.
67
Selain dibuat atas unjuk (aan toonder) atau atas pengganti (aan order), surat berharga
mungkin juga dibuat atas nama (op naam) meskipun hal ini jarang sekali, kecuali biasanya pada saham
dan beberapa surat berharga lainnya. Dalam Emmy Pangaribuan
68
Mengenai sifat mudah diperalihkannya surat-surat berharga yang bersifat atas unjuk (aan
toonder) maupun atau pengganti (aan order) lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 613 KUHPerdata.
65
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
c. Diterbitkan berdasarkan suatu perikatan dasar tertentu
Surat berharga harus diterbitkan atas dasar suatu perikatan yang disebut
sebagai perikatan dasar (onderliggende rechtsverhoudingen). Adanya perikatan dasar
merupakan unsur yang mutlak harus dipenuhi agar suatu surat dapat disebut surat
berharga. Meskipun suatu surat berharga bersifat dapat diperdagangkan, tetapi apabila
unsur adanya perikatan dasar, tidak terpenuhi, maka surat berharga tersebut tidak
dapat dikatakan sebagai surat berharga menurut pengertian hukum. 69
Perikatan dasar (onderliggende rechtsverhoudingen) merupakan kuasa dari
diterbitkannya surat berharga tersebut. Perikatan dasar merupakan perikatan yang
melatar belakangi penerbitan surat berharga. Perikatan ini dapat berupa perikatan apa
saja, yang penting adalah perikatan tersebut melahirkan suatu kewajiban berprestasi,
terutama prestasi pembayaran sejumlah uang. Penerbitan surat berharga yang tidak
didasarkan pada suatu kewajiban (prestasi) dari penerbit, tidak dapat dikatakan
sebagai ”surat berharga”.
d. Mempunyai nilai sebesar nilai perikatannya
Surat berharga selalu mempunyai nilai sebesar nilai perikatan dasarnya. 70
Artinya nilai dari surat berharga adalah sama dengan nilai perikatan dasar yang
melandasi penerbitan surat berharga tersebut. Obligasi diterbitkan sebagai bukti
hutang (evidence of debt) yang dibuat oleh penerbitnya (emitennya). Obligasi
diterbitkan dalam bentuk khusus dan tertulis. Dalam hal ini berarti obligasi memenuhi
69
70
Zevebergen, dalam Emmy Pangaribuan, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, Ibid.,
De Groot dan P.A. Stein, dalam Setiadi, Op.cit., hlm.16.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
syarat sebagai suatu akta atau surat. Obligasi biasanya diterbitkan atas unjuk (aan t
sejoonder) atau atas nama. 71 Meskipun demikian khusus untuk obligasi atas nama,
hal ini tidak berarti obligasi tersebut tidak dapat diperdagangkan terutama di pasar
modal. Hanya saja pada obligasi atas nama, sifat dapat diperdagangkannya obligasi
tersebut tidak seperti obligasi atas unjuk, dalam arti likuiditas obligasi atas nama
tidak seperti likuiditas obligasi atas unjuk.
Penerbitan obligasi merepresentasikan suatu pinjaman sejumlah uang. Pinjam
meminjam ini merupakan perikatan dasar atau kuasa dari diterbitkannya obligasi.
Sedangkan jumlah pinjaman dari penerbit biasanya adalah sama dengan yang tertera
dalam surat obligasi yang bersangkutan. Dapat disimpulkan bahwa obligasi adalah
termasuk dalam pengertian surat berharga. Dalam struktur pembagian surat berharga
yang terdapat dalam KUHD, para sarjana 72 mengelompokkan surat berharga ke
dalam tiga jenis, yaitu:
a.
Schuldvorderingspapieren, yaitu surat yang berisi suatu klaim atas sejumlah
uang (vorderingsrechten tot voldoening van een geldsom), misalnya cek dan
wesel.
71
Selama ini obligasi pada umumnya diterbitkan atas unjuk (aan toonder). Namun demikian
dimungkinkan pada penerbitan obligasi atas nama. Dalam Emmy Pangaribuan, Op.cit.,
72
De Groot dan P.A. Stein, dalam Setiadi, Obligasi dalam Perspektif Hukum Indonesia,
Op.cit., hlm.17.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
b.
Zakenrechtelijk papieren, yaitu surat-surat yang mempunyai sifat kebendaan.
Ciri dari surat tipe ini adalah bahwa isi perikatan surat itu adalah bertujuan untuk
penyerahan barang. 73 Misalnya konosemen dan ceel.
c.
Lidmaatschapspapieren atau surat-surat tanda keanggotaan. Ke dalam klasifikasi
ini misalnya ialah surat saham. Saham membuktikan pemiliknya memiliki hak
terhadap perseroan yang mengeluarkannya.
Apabila dilihat klasifikasi surat berharga seperti diuraikan di atas, maka
obligasi niscaya tidak termasuk dalam salah satu tipe tersebut. Namun demikian tidak
perlu ragu lagi bahwa obligasi adalah termasuk sebagai suatu surat berharga.
Pembagian surat berharga seperti tersebut di atas adalah menurut suatu ketentuan
yang berasal dari abad ke-18. Pada saat itu perkembangan pasar modal belumlah
sepesat sekarang. Di samping itu, perkembangan hukum surat berharga juga tidak
begitu berarti dibandingkan seperti sekarang.
Dalam Undang-Undang Pasar Modal Pasal 1 angka (5), secara tegas
disebutkan bahwa efek merupakan surat berharga. Dan oleh karena obligasi
merupakan salah satu jenis efek, maka obligasi juga merupakan surat berharga.
Dewasa ini pengertian surat berharga telah meluas sedemikian rupa. Sekarang
pengertian surat berharga tidak hanya meliputi wesel, promes, cek dan bentuk-bentuk
surat berharga lain sebagaimana dalam KUHD, tetapi lebih banyak lagi jenisnya.
Dewasa ini dikenal dua kategori besar pengelompokan surat-surat berharga, 74 yaitu:
73
74
Emmy Pangaribuan, Op.cit., hlm 35.
Ibid., hlm 37.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
a.
Surat Berharga Pasar Modal (Capital Market Securities), yaitu surat-surat
berharga yang diperdagangkan di pasar modal dan biasanya berjangka panjang.
Dalam hal ini termasuk saham, obligasi, sekuritas kredit, klaim (right), warrant
opsi dan sebagainya. Surat berharga pasar modal ini di Indonesia dan juga di
Belanda, disebut juga dengan istilah efek (effecten).
b.
Surat Berharga Pasar Uang (Money Market Securities), yaitu merupakan suratsurat berharga yang diperdagangkan di pasar uang dan biasanya berjangka
pendek. Dalam kelompok ini termasuk wesel, promes, sertifikat deposito dan
sebagainya.
Selain itu, dalam dunia bisnis dikenal pula surat hutang yang lain yang mirip
obligasi, tetapi jangka waktunya lebih pendek, yaitu yang disebut sebagai commercial
paper. 75 Surat berharga komersial adalah surat utang yang sangat praktis bagi
kalangan perusahaan yang membutuhkan dana karena setelah diterbitkan instrumen
ini cukup likuid dan mudah diperdagangkan. Surat utang jangka pendek ini
mempunyai kisaran jatuh tempo sampai dnegan 270 hari. Tingkat suku bunganya
berbentuk fixed rate dan menerapkan pola diskon di depan. Biasanya surat ini
diterbitkan oleh perusahaan, bank, atau pihak yang membutuhkan dana kepada
investor yang mempunyai kelebihan dana. Jenis mata uang penerbitan bisa berbentuk
Rupiah atau US Dollar. Commercial paper tidak perlu tercatat di bursa seperti
obligasi. Proses pemberian peringkat oleh lembaga rating tetap diperlukan untuk
memberikan informasi yang transparan kepada calon investor. Biasanya metode
75
Setiadi, Op.cit., hlm.7.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
penerbitan dan penjualannya tidak harus melalui penawaran umum tetapi langsung
kepada calon investor. 76
2.
Obligasi Sebagai Surat Pengakuan Hutang
Obligasi secara formal merupakan grup dari debt instrument yang merupakan
kontrak dengan sejumlah pembayaran yang tetap dari yang mengeluarkan atau yang
memegang obligasi tersebut. Pembayaran bisa dalam annually, semi annually,
quaterly dan sebagainya. 77 Obligasi merupakan suatu bukti hutang. Dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia istilah surat pengakuan hutang antara lain dapat kita
temukan dalam Undang-Undang Pasar Modal, yaitu dalam Pasal 1 angka (5). Namun,
undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang
dimaksud dengan istilah ini. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa:
”Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan hutang, surat berharga
komersial, saham, obligasi, tanda bukti hutang, unit penyertaan kontrak
investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari
efek.” 78
Lebih lanjut, bahwa selain istilah surat pengakuan hutang dalam undangundang di atas, dalam peraturan lain dapat pula dijumpai istilah akta pengakuan
hutang. 79 Ketentuan yang dimaksud adalah pasal 224 HIR. 80 Sayangnya HIR juga
76
Sapto Rahardjo, Op.cit., hlm.40.
Ade Fatma Lubis, Pasar Modal, (Jakarta: FEUI, 2008), hlm.63.
78
Pasal 1 angka (5) Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
79
Dalam pengertian antara akta dan surat adalah sama. Sehingga akta pengakuan hutang dan
surat pengakuan hutang adalah sama pula pengertiannya.
80
Dalam teks asli Pasal 224 ini sebenarnya digunakan istilah schuldbrieven yang sebenarnya
lebih tepat diterjemahkan sebagai surat hutang. Penerjemahan schuldbrieven menjadi surat pengakuan
hutang ini lihat misalnya dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II,
77
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan surat pengakuan hutang
(schuldbrief) ini. Dalam perkembangannya, yurisprudensi menafsirkan surat
pengakuan hutang ini sebagai suatu surat yang dalamnya terdapat pengakuan hutang
ini sebagai suatu surat yang dalamnya terdapat pengakuan dari penerbit bahwa ia
mengaku berhutang uang sejumlah tertentu dan ia berjanji akan mengembalikan uang
itu dalam waktu tertentu. 81
Dari penafsiran tersebut, timbul pertanyaan apakah pengakuan dari penerbit
surat pengakuan hutang merupakan hal yang esensial yang tanpa adanya pengakuan
tersebut dapat mengakibatkan bahwa suatu surat tidak dapat dikualifikasikan sebagai
surat pengakuan hutang? HIR, sebenarnya merupakan saduran dari Reglement op
Rechtvordering (Rv) yang merupakan hukum acara bagi orang Belanda dan golongan
Eropa. Dan Pasal 224 HIR merupakan konkordan dari Pasal 440 Rv. Dalam Pasal
440 Rv. Tidak digunakan istilah surat pengakuan hutang (schuldbrieven), tetapi akten
inhoudende de verplichting tot voldoening eener geldsom (akta yang memuat
kewajiban pembayaran sejumlah uang). Sehingga kemudian oleh para sarjana
pengertian surat pengakuan hutang (schuldbrieven) ditafsirkan secara umum yaitu
sebagai suatu surat yang memuat kewajiban pembayaran sejumlah uang. Kalau
melihat teks undang-undang dan sejarah dari ketentuan tersebut, sampai pada
kesimpulan bahwa pengakuan penerbit dalam surat pengakuan hutang adalah tidak
esensial. Dalam arti bahwa dalam surat pengakuan tidak perlu secara eksplisit
Mahkamah Agung, 1994, hlm.140. lebih lanjut, surat pengakuan hutang yang dimaksud dalam pasal
ini sebenarnya hanya dimaksudkan surat pengakuan hutang yang notarial (notariele schuddbrieven).
81
Ibid.,
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
terdapat kata-kata bahwa penerbit mengaku berhutang, tetapi cukup kalau dalam surat
tersebut tercantum kewajiban pembayaran sejumlah uang dari penerbit kepada
pemegang surat pengakuan hutang tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa agar suatu surat
dapat disebut sebagai suatu surat hutang maka harus dipenuhi dua unsur, yaitu
berbentuk suatu akta atau surat dan pada surat tersebut tersirat suatu kewajiban
pemenuhan pembayaran sejumlah uang tertentu pada saat tertentu oleh penerbitnya.
Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa obligasi adalah merupakan sebagai suatu surat
hutang atau surat pengakuan hutang. 82
82
Setiadi, Op.cit., hlm.22.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
BAB III
KEDUDUKAN HUKUM PEMEGANG OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI)
A. Peranan Obligasi Negara Ritel terhadap Ekonomi Nasional
1. Pembangunan Ekonomi di Indonesia
Pembangunan ekonomi merupakan salah satu dari keseluruhan aspek
pembangunan nasional. Tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka,
berdaulat, bersatu, dalam suasana peri kehidupan berbangsa yang aman, tertib,
dinamis, dan damai. 83 Hal ini bisa diwujudkan bila pertumbuhan ekonomi
berlangsung secara berkelanjutan, stabilitas moneter dan sektor keuangan dapat
terjaga, dan hasil peningkatan kegiatan perekonomian dapat dinikmati oleh seluruh
masyarakat secara berkeadilan.
“Adapun pembangunan nasional itu sendiri pada hakikatnya merupakan
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan
pedomannya.” 84
Sebagaimana diketahui bahwa dalam pembangunan ekonomi di Indonesia,
tugas untuk mensejahterakan rakyat tidaklah semata-mata terletak di pundak
pemerintah saja tetapi terletak di pundak pemerintah dan masyarakat secara bersama-
83
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm.240-241.
84
Ibid.,
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
sama. Masyarakat tidak boleh pasif dalam usaha untuk mencapai kesejahteraannya
sendiri. Pembangunan ekonomi Indonesia harus dilaksanakan dengan segenap daya
yang ada, baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun yang dimiliki oleh masyarakat.
Hal ini dapat dilihat pada Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 , yang berbunyi:
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Dalam tataran perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari UUD
1945, kehendak untuk melaksanakan pembangunan nasional dengan segenap dana
dan daya yang dimiliki digambarkan dengan lebih nyata. UU No. 25 tahun 2000
Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) secara jelas menyebutkan
bahwa pembangunan nasional di Indonesia merupakan upaya yang dilaksanakan oleh
segenap komponen bangsa Indonesia dalam rangka mencapai tujuan bernegara. 85
Prinsip kebersamaan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional yang tercantum
pada Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 tersebut harus dilihat dengan makna yang lebih
luas, yakni bahwa untuk dapat mencapai kesejahteraan masyarakat, harus dilakukan
secara bersama-sama dengan melibatkan segenap komponen yang ada di masyarakat.
Segenap masyarakat Indonesia harus menyadari bahwa pemerintah mempunyai
keterbatasan dana dan daya untuk melaksanakan pembangunan ekonomi karena
pembangunan itu sendiri sangat kompleks, sehingga harus terdapat saling isi mengisi
antara pemerintah dengan masyarakat untuk keberhasilan pembangunan ekonomi
85
UU No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun
2000-2004, Lampiran Bab I Butir A, Alinea ke-5.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
nasional. Prinsip kebersamaan yang dikandung oleh Pasal 33 ayat (4) UUD 1945
pada dasarnya meletakkan tanggung jawab pembangunan ekonomi nasional bukan
hanya di pundak pemerintah saja, tetapi terletak bersama-sama di pundak pemerintah
dan masyarakat.
Pembangunan ekonomi Indonesia selalu mengikuti kebijakan yang ditempuh
oleh pemerintah yang berkuasa dari waktu ke waktu. Pada masa pemerintahan orde
lama, Indonesia menerapkan kebijakan ekonomi yang tertutup (inward oriented).
Prinsip berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) dan kebijakan untuk tidak menerima
bantuan dari pihak luar mengakibatkan ekonomi nasional mengalami stagnasi.
Pemerintah orde lama juga menetapkan kebijakan anti investasi asing dengan
semboyan go to hell with your aid, dan bahkan melakukan nasionalisasi terhadap
perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia. Nasionalisasi perusahaan asing
ini mengakibatkan perekonomian nasional bertambah buruk karena pemerintah orde
lama kurang memperhitungkan akibat yang akan ditimbulkannya. 86 Perekonomian
Indonesia di masa orde lama semakin terisolasi dari rangkaian perdagangan dunia,
dan pembangunan ekonomi Indonesia praktis tidak mengalami kemajuan karena
ketiadaan sumber-sumber dana untuk membiayai kebutuhan pembangunan.
Pemerintah
orde
baru
diwarisi
dengan
kompleksnya
permasalahan
pembangunan ekonomi di antaranya utang luar negeri yang cukup besar, laju inflasi
yang tinggi, serta buruknya kondisi prasarana dan infrastruktur yang dibutuhkan
86
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Internasional pada Nasionalisasi di Indonesia,
(Bandung: PT. Alumni, 1975), hlm.6.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
untuk mendukung pembangunan dimaksud. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah
orde baru menetapkan langkah-langkah strategis jangka pendek dengan sasaran untuk
menghidupkan kembali roda perekonomian. Salah satu langkah penting yang
ditempuh pemerintah adalah mencairkan hubungan dengan International Monetary
Fund (IMF) dan World Bank yang sempat terputus pada masa pemerintahan
sebelumnya.
Pembangunan ekonomi di era reformasi tertuang dalam UU No. 25 Tahun
2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004,
yang ditujukan untuk membangun suatu sistem ekonomi kerakyatan dalam rangka
penanggulangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sistem
jaminan sosial, pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi. 87 Hal tersebut
adalah sejalan dengan arah pembangunan nasional yang terkandung dalam UUD
1945 yang pada dasarnya sesuai dengan tujuan dari sebuah Negara kesejahteraan
(welfare state).
2. Kebijakan Pemerintah dalam Hal Pengelolaan dan Pembiayaan Utang Negara
Utang pada dasarnya adalah salah satu alternatif yang dilakukan karena
berbagai alasan yang rasional. Dalam alasan-alasan yang rasional itu ada muatan
urgensi dan ada pula muatan ekspansi. Muatan urgensi tersebut maksudnya adalah
utang mungkin dipilih sebagai sumber pembiayaan karena derajat urgensi kebutuhan
87
UU No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun
2000-2004, Bab IV butir C, Program-program Pembangunan.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
yang membutuhkan penyelesaian segera. Sedangkan muatan ekspansi berarti utang
dianggap sebagai alternatif pembiayaan yang melalui berbagai perhitungan teknis dan
ekonomis dianggap dapat memberikan keuntungan. 88 Secara teoritis alasan negaranegara maju untuk menyetujui pemberian pinjaman untuk membiayai proyek-proyek
pembangunan di negara dunia ketiga termasuk Indonesia adalah untuk menciptakan
lapangan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dan
hal itu mungkin dapat dicapai jikalau proyek-proyek pembangunan tersebut telah
diuji kelayakannya, baik dari aspek teknologi, komersil, keuangan, ekonomi makro,
manajemen, maupun dari aspek dampak lingkungan. Dengan perkataan lain semua
dana pinjaman dari luar negeri tersebut seyogianya dapat diukur efektivitas dan
efisiensinya.
Dengan prinsip kemandirian yang dianut dalam pelaksanaan pembangunan
nasional, penerimaan yang berasal dari dalam negeri menduduki tempat yang sangat
strategis karena merupakan sumber utama pembiayaan pembangunan, sedang
pembiayaan yang berasal dari luar negeri merupakan sumber tambahan/pelengkap.
Sesuai dengan prinsip kemandirian tersebut, dana yang didapatkan dari sumbersumber luar negeri tidak boleh dominan jumlahnya dibandingkan dengan dana yang
didapatkan dari dalam negeri. Begitu pula halnya mengenai persyaratan dari danadana yang diperoleh dari luar negeri tidak boleh bersifat mengikat, karena hal tersebut
88
Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang
Luar Negeri, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.101.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
tidak sejalan dan akan bertentangan dengan prinsip kemandirian dalam pelaksanaan
pembangunan nasional yang digariskan dalam UUD 1945. 89
Kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan dan pembiayaan hutang
bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan dana pinjaman baik yang berasal dari
dalam maupun luar negeri serta menggerakkan pasar obligasi pemerintah (termasuk
ORI). Sasaran yang dituju dalam program ini adalah:
a. Tercapainya penyerapan pinjaman luar negeri yang maksimal sehingga dana
pinjaman dapat digunakan tepat waktu.
b. Adanya penyempurnaan strategi pinjaman pemerintah.
c. Adanya penyempurnaan kebijakan pinjaman/hibah daerah yang sesuai dengan
kemampuan fiskal daerah.
d. Adanya penyempurnaan mekanisme penerusan pinjaman dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah, serta
e. Adanya penyempurnaan mekanisme sumber pembiayaan APBN melalui
pengelolaan Surat Utang Negara (SUN)
Kemudian dalam rangka mewujudkan tujuan dan sasaran sebagaimana
dimaksud di atas, kegiatan pokok program ini dalam tahun 2005 dan 2006 adalah: 90
a. Pengamanan rencana penyerapan pinjaman luar negeri baik pinjaman program
maupun pinjaman proyek. Pinjaman program utamanya diupayakan agar matrik
kebijakan (policy matrix) yang sudah disepakati dapat dilaksanakan sesuai dengan
89
Muchtarudin Siregar, Pinjaman Luar Negeri dan Pembiayaan Pembangunan di Indonesia,
(Jakarta: FEUI, 1991), hlm. 2.
90
Cetak Biru Pembangunan Bidang Ekonomi, Bab IX, hlm.XI-44.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
perencanaan, sedangkan pinjaman proyek perlu lebih dimatangkan dalam
kesiapan proyek baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
b. Penyempurnaan mekanisme penyaluran pinjaman dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah sesuai dengan revisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999.
c. Pengamanan pipeline pinjaman luar negeri untuk mengamankan pembiayaan
anggaran negara di tahun-tahun berikutnya melalui penyempurnaan strategi
pinjaman pemerintah.
d. Penyempurnaan rumusan kebijakan pinjaman daerah dan hibah yang disesuaikan
dengan kemampuan fiskal masing-masing daerah.
e. Perumusan kebijakan teknis, pembinaan, penatausahaan dan pemantauan
pinjaman dan hibah luar negeri.
f. Pengelolaan portofolio SUN melalui (1) pembayaran bunga dan pokok obligasi
negara, (2) penerbitan SUN dalam mata uang rupiah dan mata uang asing, (3)
pembelian kembali (buyback) obligasi negara, (4) restrukturisasi obligasi negara
jenis Hedge Bond (HB), (5) debt switching, dan (6) konsolidasi data antara Pusat
Manajemen Obligasi Negara (PMON), Ditjen Anggaran dan Bank Indonesia.
g. Pengembangan pasar SUN melalui (1) pengembangan infrastruktur pasar retail
obligasi negara, (2) memantau pola perdagangan SUN di pasar sekunder, (3)
pengembangan yield curve dan penyusunan harga indikatif obligasi negara, (4)
penerbitan publikasi secara berkala, (5) sosialisasi SUN, dan (6) mengelola
website PMON.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
h. Pengembangan infrastruktur SUN melalui: (1) penyusunan rancangan peraturan
pemerintah dan ketentuan pelaksanaan lainnya, (2) menyusun peraturan
pelaksanaan dan review dokumen-dokumen hukum yang berkaitan dengan
pengelolaan SUN, (3) penerbitan surat perbendaharaan negara (Treasury Bills),
(4) kerangka manajemen resiko, (5) analisis metode non-lelang SUN (Issuance,
buy back atau debt switching), (6) pengembangan SDM, dan (7) pengembangan
akses informasi pasar finansial.
i. Pengembangan dan pemeliharaan sistem informasi dan sistem pelaporan
manajemen SUN melalui: (1) mengembangkan sistem informasi yang terpadu, (2)
meningkatkan kapasitas server PMON sampai siap untuk transaksi online, (3)
mengevaluasi kemungkinan penerapan penggunaan treasury management
information system, dan (4) memelihara dan menyempurnakan sistem jaringan
komputer.
3. Obligasi Negara Ritel (ORI) sebagai Instrumen Investasi guna Mendukung
pembangunan Ekonomi Nasional
Investasi dimaksudkan sebagai kegiatan pemanfaatan dana yang dimiliki
dengan menanamkannya ke usaha/proyek baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan harapan akan mendapatkan sejumlah keuntungan dari investasi
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
tersebut di kemudian hari. 91 Lebih khusus Komaruddin memberikan pengertian
investasi sebagai: 92
1. Suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi, atau suatu penyertaan lainnya.
2. Suatu tindakan membeli barang modal, dan
3. Pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi, dengan pendapatan di masa yang
akan datang.
Investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Dengan posisi semacam
ini, investasi pada hakikatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan
ekonomi. Dinamika dari investasi mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan
ekonomi, mencerminkan marak lesunya pembangunan. Dalam upaya menumbuhkan
perekonomian, setiap negara senantiasa berusaha menciptakan iklim yang dapat
menggairahkan investasi. 93
Investasi dimaksud akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB), dan
apabila
pertumbuhan
investasi
mengalami
stagnasi,
pada
akhirnya
akan
mempengaruhi laju pertumbuhan PDB secara keseluruhan. Lebih rinci dapat
disebutkan tentang manfaat investasi bagi pembangunan ekonomi, yaitu: 94
a. Investasi dapat menjadi salah satu alternatif untuk memecahkan kesulitan modal
yang sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
91
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan kedua, Edisi revisi,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm.331.
92
Panji Anoraga, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1994), hlm.47.
93
Dumairy, Perekonomian Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm.132.
94
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004),
hlm.10.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
b. Industri yang dibangun dengan investasi akan berkontribusi dalam perbaikan
sarana dan prasarana, yang pada gilirannya akan menunjang
pertumbuhan
industri-industri turutan di wilayah sekitarnya.
c. Investasi turut serta membantu pemerintah memecahkan masalah lapangan kerja,
yakni akan menciptakan lowongan kerja untuk tenaga kerja terampil maupun
untuk tenaga kerja yang tidak terampil.
d. Investasi akan memperkenalkan teknologi dan pengetahuan baru yang bermanfaat
bagi peningkatan keterampilan pekerja dan efisiensi produksi.
e. Investasi akan memperbesar perolehan devisa yang didapatkan dari industri yang
hasil produksinya sebagian besar ditujukan untuk ekspor.
Secara teoritis pada tahun 1950 dan 1960-an, dalam semangat duet ekonomi
Harrod-Domar 95 , utang luar negeri dipandang mempunyai dampak positif pada
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan tabungan masyarakat sebagai dampak
lanjutannya. Alasannya, aliran utang luar negeri dapat meningkatkan investasi yang
selanjutnya meningkatkan pendapatan dan tabungan domestik dan seterusnya. Secara
teori, utang luar negeri justru menghasilkan dampak pengganda (multiplier efects)
yang positif pada perekonomian nasional sebuah bangsa.
Namun pada tahun 1970-an, dua ekonomi lainnya yaitu: Keith Griffin dan
John Enos dalam bukunya Foreign Assistance: Objectives and Consequences
membuktikan bahwa utang luar negeri berdampak negatif pada pertumbuhan. Mereka
mengajukan bukti empiris bahwa utang luar negeri beralokasi negatif pada
95
Boediono, Teori Pertumbuhan Ekonomi, (Yogyakarta: BPFE, 1982), hlm.65.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan tabungan masyarakat. Utang luar negeri telah
membuat pemerintah meningkatkan pengeluaran yang mengurangi dorongan untuk
meningkatkan penerimaan pajak dan sebagainya. Ekonom di era berikutnya juga
melakukan studi mendukung kesimpulan Griffiin dan rekannya tersebut. 96
Pada saat ini Pemerintah Indonesia sudah mulai belajar untuk menghilangkan
ketergantungan atas pinjaman luar negerinya yang belakangan ini semakin
memberatkan saja. Salah satu kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia
pada saat ini adalah dengan mengembangkan pasar obligasi pemerintah (Surat Utang
Negara), khususnya dalam pasar retail. Perlu dikembangkannya pasar obligasi
pemerintah adalah dengan alasan sebagai berikut: 97
a. Membangun struktur utang pemerintah yang berkesinambungan. Pasar sekunder
yang berkembang akan mendukung upaya pemerintah untuk melakukan refinancing utang-utangnya secara sustainable sehingga utang domestik pemerintah
pada masa yang akan datang bisa lebih seimbang jatuh temponya.
b. Untuk mengurangi ketergantungan utang luar negeri. Pengembangan pasar
obligasi pemerintah akan memberikan alternatif yang lebih fleksibel dalam
mengkombinasikan utang domestik dan utang luar negeri dengan beban biaya
yang paling rendah (minimum). Di samping itu obligasi yang likuid juga akan
96
Keith Griffin dan John Enos dalam makalah Umar Juoro, Pertumbuhan Ekonomi, Investasi
dan Pinjaman Luar Negeri.
97
Makmun, Pengelolaan utang Negara dan Pemulihan Ekonomi, Edisi Khusus, Departemen
Keuangan, Republik Indonesia, (Jakarta: Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan kerjasama
Internasional, 2005), hlm.13-14.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
mendukung uapaya pemerintah dalam mengurangi ketergantungan terhadap utang
luar negari dengan mengandalkan mobilisasi dana dari sumber domestik.
c. Mendukung efektifitas Bank Sentral (central registry) dalam melaksanakan
kebijakan moneter. Sebagai instrumen operasi pasar terbuka (OPT), Bank
Indonesia selama ini hanya menggunakan SBI, karena belum adanya government
securities. Padahal di beberapa negara, bank sentral telah menggunakan obligasi
pemerintah sebagai instrumen OPT. Sebagai prasyarat instrumen OPT, obligasi
ini harus tersedia dalam jumlah yang cukup, kesinambungan penerbitnya, dan
juga likuid. Di samping itu juga perlu adanya koordinasi otoritas fiskal dan
moneter agar price stability bisa tetap terjamin, fiskal sustainable tidak terancam,
dan market principles tetap dapat berfungsi independen.
Selain itu ada beberapa persyaratan yang diperlukan agar pasar obligasi dapat
berkembang dengan baik di Indonesia, khususnya di pasar sekunder, hal-hal tersebut
di antaranya adalah sebagai berikut: 98
a. Credit worthiness penerbit (pemerintah) khususnya dimata investor asing.
b. Adanya perangkat hukum yang memadai untuk melindungi kepentingan investor.
c. Basis investor yang luas (dari wholesale sampai dengan retail)
d. Adanya sistem perpajakan yang memadai
e. Adanya lembaga perantara yang memadai, dan
f. Adanya dukungan sistem pembayaran yang efisien, aman dan cepat.
98
Ibid.,
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Kebijakan penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI) oleh pemerintah, paling
tidak telah memotivasi berkembangnya investor lokal individual yang sebenarnya
mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Keberhasilan
penjualan ORI seri 001 pada pertengahan tahun 2006 lalu kemudian dilanjutkan tahun
2008 lalu, telah membuktikan bahwa masyarakat mempunyai kesanggupan modal
untuk ikut berperan serta dalam rangka mengembangkan pembangunan ekonomi
nasional yang berkelanjutan.
Selain itu, jika pasar obligasi negara ritel (ORI) terus menerus dikembangkan
oleh pemerintah hingga menjadi benchmark investasi lokal, maka sudah barang tentu
akan berkorelasi negatif terhadap pinjaman luar negeri yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia saat ini. Artinya, secara perlahan pemerintah bisa mengurangi
ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri dari bangsa lain dengan jalan
mengganti instrumen investasi yang lebih menguntungkan bangsa Indonesia dalam
bentuk obligasi negara ritel (ORI).
B. Mekanisme Transaksi Obligasi Negara Ritel
1. Pasar Perdana
Pasar perdana (primary market) 99 mempunyai fungsi sebagai pasar penjualan
emisi Obligasi Negara Ritel (ORI) pertama kali. Di dalam pasar perdana ini, pihak
99
Pasar Perdana (Primary Market) adalah pasar untuk emisi sekuritas baru, yang dibedakan
dari pasar sekunder, yang memperdagangkan sekuritas yang sudah diterbitkan sebelumnya. Suatu
pasar adalah primer bila hasil jual dari penjualan dinikmati oleh emiten dari sekuritas yang dijual.
Istilah ini juga berlaku untuk pelelangan sekuritas pemerintah dan penjualan opsi dan futures
pembukaan. Lihat dalam Daftar Istilah, Sapto Rahardjo, Op.cit., hlm. 232
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
emiten (dalam hal ini adalah pemerintah) akan melakukan penjualan terhadap ORI
yang diterbitkannya. Penjualan ORI di pasar perdana merupakan tahap awal dari
perdagangan obligasi. Karena tujuan penerbitan ORI adalah untuk personal investor,
maka pada tahap ini ORI tersebut ditawarkan hanya kepada calon pembeli personal
investor. Sama halnya dengan obligasi pada umumnya, harga pembelian ORI pada
pasar perdana dibayarkan pada harga nominal 100 (par). 101
a. Proses Penerbitan ORI
Dalam melakukan proses penerbitan SUN, perlu dilakukan konsultasi dengan
Bank Indonesia dan harus mendapat persetujuan dari DPR. Untuk menyetujui
penerbitan SUN, maka akan dievaluasi nilai bersih maksimal SUN dalam satu tahun
anggaran serta pada saat pengesahan APBN. Kewajiban pemerintah yang paling
penting adalah membayar bunga dan pokok utang saat jatuh tempo. Sedangkan dana
pembayaran bunga dan pokok obligasi pemerintah disediakan di dalam APBN. 102
100
Harga Nominal (par) sama dengan nilai nominal atau nilai unjuk dari suatu sekuritas.
Dalam Ibid., hlm. 231.
101
Ibid., hlm.162.
102
Ibid., hlm.113-114.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
5C
5D
GOI
8
BI
9B
1
BES
AGEN
PENJUAL
10
10
3 5A
10
2
4
7
5B
9A
5E
KSEI/SUBREG
6
9C
KPEI
INVESTOR
Skema 1: Skema Penerbitan ORI 103
Penjelasan:
1. Government of Indonesian (GOI) melakukan penunjukan Agen Penjualan
2. Agen penjual melakukan pemasaran ke investor
3. Investor menyampaikan minat kepada agen penjual dengan menyetor dana
tunai
4. Agen penjual menyampaikan semua minat pembelian investor ke pemerintah
5. a) Pemerintah memutuskan dan menyampaikan hasil penjatahan
b) Agen penjual mentransfer dana sesuai dengan hasil penjatahan ke rekening
pemerintah di Bank Indonesia
c) Bank Indonesia menyampaikan hasil transfer dana dari agen penjual kepada
pemerintah
103
Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara (DPSUN), Obligasi Negara Ritel Seri ORI001
Tahun 2006, www.dmo.or.id. Diakses Tanggal 20 April 2009.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
d) Pemerintah menyampaikan jumbo Obligasi Negara Ritel (ORI) ke Bank
Indonesia untuk selanjutnya dilakukan setelmen
e) Bank Indonesia mendistribusikan ORI ke Kustodian Sentral Efek Indonesia
(KSEI) atau subregistry
6. KSEI/Subregistry menerima daftar hasil penjatahan dari agen penjual, dan
membuat daftar kepemilikan ORI sesuai dengan hasil penjatahan dan hasil
distribusi ORI dari Bank Indonesia
7. Agen penjual menyampaikan bukti kepemilikan dari KSEI/subregistry kepada
investor yang mendapat penjatahan, dan mengembalikan sisa dana ke investor
yang tidak mendapat penjatahan secara penuh dari pemerintah
8. Pemerintah mendaftarkan ORI ke Bursa Efek Surabaya (BES), karena efek
obligasi diperdagangkan di sana
9. Proses pembayaran bunga dan pokok saat ORI jatuh tempo
10. Perdagangan ORI di pasar sekunder mengikuti mekanisme bursa
b. Tata Cara Pemesanan Pembelian ORI di Pasar Perdana 104
1. Pemesanan yang Berhak
Individu atau perseorangan Warga Negara Indonesia yang ditunjukkan dengan
bukti identitas kartu tanda penduduk (KTP) atau surat izin mengemudi (SIM)
yang masih berlaku.
104
Memorandum Informasi Obligasi Negara Republik Indonesia, Seri ORI-001, Bab IV,
(Jakarta: Departemen Keuangan, 2006)
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
2. Prosedur pemesanan Pembelian ORI
a) Mendatangi kantor pusat/cabang agen penjual yang siap untuk melayani
pemesanan pembelian ORI
b) Membuka rekening dana (jika diperlukan) pada salah satu bank umum dan
rekening surat berharga (jika diperlukan) pada salah satu subregistry atau
partisipan/Nasabah subregistry
c) Menyediakan dana yang cukup sesuai jumlah pesanan untuk pembelian ORI
melalui agen penjual
d) Mengisi formulir pemesanan (FP-01)
e) Menyampaikan formulir pemesanan (FP-01), fotocopy KTP/SIM, dan bukti
setor (jika diperlukan) kepada agen penjual dan menerima tanda terima bukti
penyerahan dokumen tersebut dan agen penjual.
Pembukaan rekening dana di bank umum dimaksudkan untuk menampung
dana tunai atas pembayaran kupon dan pokok ORI pada saat jatuh tempo.
Pembukaan rekening surat berharga di subregistry atau partisipan/nasabah
subregistry dimaksudkan untuk mencatat kepemilikan ORI atas nama
investor. Setiap pemesanan pembelian bersifat mengikat dan tidak dapat
dibatalkan, ditarik kembali atau diubah setelah akhir masa penawaran.
3. Masa Penawaran
Masa penawaran ORI akan dimulai pada tanggal 17 Juli 2006 pukul 09.00
WIB dan ditutup pada tanggal 4 Agustus 2006 pukul 09.00 WIB.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
4. Jumlah Minimum Pemesanan ORI
Setiap pemesanan pembelian yang diajukan berjumlah sekurang-kurangnya
sebesar 5 (lima) unit atau sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan
selebihnya dengan kelipatan 5 (lima) unit atau sebesar Rp.5.000.000,00 (lima
juta rupiah)
5. Penjatahan ORI
Seluruh pemesanan pembelian yang diterima sampai dengan akhir masa
penwaran yang dilakukan sesuai dengan tata cara pemesanan pembelian yang
ditelah ditetapkan akan diikut sertakan dalam proses penjatahan. Penjatahan
akan dilakukan 1 (satu) hari kerja setelah akhir masa penawaran. Pemerintah
berhak menentukan jumlah emisi sesuai dengan kebutuhannya. Pemesanan
Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) sampai dengan Rp.50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) akan memperoleh penjatahan secara penuh. Pemesanan di
atas Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) akan memperoleh penjatahan
minimal Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Apabila target yang
ditetapkan oleh pemerintah belum terpenuhi maka menggunakan penjatahan
minimum berjenjang dengan kelipatan Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Namun, kemudian dirubah menjadi seluruh pemesanan pembelian yang
diterima sampai dengan akhir masa penawaran yang dilakukan sesuai dengan
tata cara pemesanan pembelian yang ditetapkan akan dikut sertakan dalam
proses penjatahan. Pemesanan pembelian sekurang-kurangnya sebesar 5
(lima) unit atau Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pemesanan tidak
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
membatasi
jumlah
maksimum
pemesanan
ORI.
Pemerintah
berhak
menentukan jumlah emisi ORI. Penjatahan akan dilakukan 1 (satu) hari kerja
setelah akhir masa penawaran. 105
Dengan perubahan memorandum informasi tersebut, pemerintah menegaskan
bahwa: 106
a. Pemerintah tidak membatasi jumlah maksimum pemesanan pembelian
dari calon investor
b. Pemerintah memberikan keleluasaan kepada masing-masing agen penjual
untuk menentukan urutan prioritas pemesanan dari nasabahnya sampai
dengan batas target penjualannya yang telah disampaikan kepada
pemerintah, dengan tetap mengutamakan pemesanan pembelian sampai
dengan Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
c. Pemerintah tetap berkomitmen untuk memberikan kepastian penjatahan
sampai dengan Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
6. Pembayaran Pemesanan Pembelian ORI
Pembayaran pemesanan oleh investor kepada agen penjual dilakukan sejak
dibuka masa penawaran.
7. Distribusi ORI
Pemerintah Republik Indonesia akan menerbitkan ORI secara global (jumbo)
dan menyerahkan kepada Bank Indonesia untuk didistribusikan kepada
105
Siaran Pers, Biro Hubungan Masyarakat (Humas), Departemen Keuangan Republik
Indonesia, Nomor 35/HMS/2006, 27 Juli 2006.
106
Ibid.,
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
subregistry pada tanggal 9 Agustus 2006 yang akan diteruskan oleh masingmasing subregistry kepada pemesan.
8. Pencatatan ORI pada Bursa Efek Surabaya
Pencatatan ORI pada Bursa Efek Surabaya akan dilakukan pada tanggal 10
Agustus 2006
9. Lain-lain
Agen Penjual berhak untuk menolak pemesanan pembelian yang tidak
memenuhi syarat.
c. Jadwal Proses Penjatahan ORI
1) Pada tanggal 4 agustus 2006 (di akhir masa penawaran), Agen Penjual
menyampaikan seluruh pemesanan pembelian kepada pemerintah.
2) Pada tanggal penjatahan (7 Agustus 2006), pemerintah menetapkan hasil
penjatahan kepada Agen Penjual.
3) Pada tanggal setelmen di pasar perdana (9 Agustus 2006) sampai dengan
pukul 10:00 WIB, Agen Penjual menyetorkan dana ke rekening
pemerintah Bank Indonesia Nomor 500.000003 atas nama Menteri
Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran untuk pengelolaan Surat Utang
Negera, sesuai dengan jumlah hasil penjatahan yang diperoleh.
Pembayaran/transfer dana oleh Agen Penjual atau bank yang ditunjuk
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Agen Penjual ke rekening pemerintah di Bank Indonesia dilakukan
melalui sistem BI-RTGS.
4) Pada tanggal setelmen di pasar perdana (9 Agustus 2006) sampai dengan
pukul 14:00 WIB, Bank Indonesia mendistribusikan ORI kepada masingmasing subregistry yang telah ditunjuk oleh agen penjual sesuai hasil
penjatahan.
5) Pada tanggal setelmen di pasar perdana (9 Agustus 2006), subregistry
menyampaikan konfirmasi kepemilikan ORI secara langsung kepada
investor atau melalui agen penjual dengan memuat informasi sekurangkurangnya sebagaimana contoh lampiran. Konfirmasi kepemilikan ORI
diterima oleh investor selambat-lambatnya pada tanggal 16 Agustus 2006.
d. Kekurangan dan Kelebihan Pemesanan Pembelian yang Diterima
Menteri Keuangan berhak menerbitkan jumlah ORI lebih rendah atau lebih
tinggi dari target indikatif yang ditawarkan.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
2. Pasar Sekunder
Pasar sekunder (secondary market) 107 adalah tempat dimana dilakukan
transaksi jual dan beli produk sekuritas setelah diterbitkan melalui pasar perdana.
Produk yang diperjual belikan, misalnya obligasi (termasuk Obligasi Negara Ritel),
akan saling ditawarkan antara investor jual dengan calon investor beli. Pihak
perantara investor-investor tersebut adalah broker atau dealer perusahaan sekuritas
atau perbankan. Pembayaran pembelian obligasi tersebut bisa masuk langsung ke
pihak penjual obligasi. Kalau harga pasar obligasi tersebut naik, pihak penjual akan
mendapatkan spread margin.
Pihak broker atau dealer obligasi akan mendapatkan imbalan dari transaksi di
pasar sekunder dengan mendapatkan fee transaksi atau bisa juga mendapatkan spread
dari harga jual dan harga beli yang direalisasi. Persaingan antara broker atau dealer
obligasi di pasar sekunder sedemikian ketat sehinggga seringkali produk yang
diperjual belikan telah melewati tangan beberapa broker. Hal ini sering membuat
proses transaksi obligasi di pasar sekunder berjalan cukup lamban.
Sebagai contoh, perdagangan obligasi di pasar perdana antara pihak penjual
dan pembeli jelas sekali prosedur tahapan penjualannya, juga alokasi penjatahan
sampai pembayaran pokok obligasi dan fee transaksinya. Ini sangat berbeda sekali
dengan kondisi yang ada di pasar sekunder. Besaran fee atau komisinya tidak
seragam, tergantung dari kepentingan pihak pembeli dan penjual.
107
Pasar Sekunder (secondary market) adalah bursa dan pasar paralel tempat sekuritas
diperjualbelikan sesudah pertama kali diterbitkan, dan dilaksanakan di pasar primer. Lihat dalam
Daftar Istilah, Sapto Rahardjo, Op.cit., hlm.235
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Sebagai sarana pendukung dalam melakukan transaksi obligasi di pasar
sekunder, pihak Bursa Efek Surabaya (BES) memberikan fasilitas infrastruktur sistem
perdagangan yang disebut OTC-FIS (over the counter-Fixed Income services), yang
menyajikan informasi perdagangan dan data-data yang terkait dengan pasar obligasi,
seperti informasi rating, aksi korporasi, jadwal RUPO (Rapat Umum Pemegang
Obligasi), dan beberapa informasi penting lainnya. 108 Pada umumnya, semakin
berkembang sebuah pasar obligasi semakin banyak transaksi obligasi di pasar
sekunder. Semakin maju sebuah pasar obligasi semakin banyak transaksi yang
berlangsung di bursa. 109
PE
PE
Investor
Jual
AP
PE/BANK
BURSA
OTC
Investor
Beli
AP
PE/BANK
Skema 2: Skema Perdagangan ORI di Pasar Sekunder 110
108
Sapto rahardjo, Ibid., hlm.163-164.
Jaka E. Cahyana, Langkah taktis Metodis Berinvestasi di Obligasi, (Jakarta: PT.Elex
Media Komputindo, 2004), hlm.312.
110
DPSUN, Ibid., www.dmo.or.id. Diakses Tanggal 20 April 2009.
109
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
a. Penjelasan Proses Pembelian ORI di Pasar Sekunder
1) Nasabah datang kepada bank umum atau Perusahaan Efek (PE) untuk
mendapatkan pelayanan dalam rangka pembelian ORI di pasar sekunder.
2) Nasabah membuka rekening surat berharga pada perusahaan efek dengan mengisi
formulir pembukaan rekening yang antara lain mewajibkan penyebutan nomor
rekening tabungan yang sudah dimiliki pada salah satu bank umum.
3) Nasabah mengisi formulir pemesanan pembelian dengan antara lain menyebutkan
nomor rekening surat berharga, nomor rekening tabungan, harga beli (dinyatakan
dalam persen, dengan dua angka di belakang koma), dan jumlah nominal
pembelian (minimal Rp.5.000.000,00 dengan kelipatan Rp.5.000.000,00).
4) Perusahaan efek menyampaikan minat beli nasabah ke Bursa Efek Surabaya
(BES) untuk mendapatkan nasabah lain yang bermaksud menjual ORI pada harga
yang sesuai dengan permintaan nasabah yang berminat membeli.
5) Dalam hal terjadi kesesuaian harga antara nasabah pembeli dan nasabah penjual,
maka transaksi pembelian diselesaikan melalui mekanisme bursa yang melibatkan
PT. Bursa Efek Surabaya (BES), PT. Kliring Penjamin Efek Indonesia (KPEI),
PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan Perusahaan Efek (PE).
6) Jumlah dana yang harus dibayar oleh nasabah pembeli adalah sejumlah harga ORI
ditambah dengan bunga berjalan.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
b. Penjelasan Proses Penjualan ORI di Pasar Sekunder
1) Nasabah datang kepada bank umum atau Perusahaan Efek (PE) untuk
mendapatkan pelayanan dalam rangka penjualan ORI di pasar sekunder.
2) Nasabah mengisi formulir pemesanan penjualan dengan antara lain menyebutkan
nomor rekening surat berharga, nomor rekening tabungan, harga beli (dinyatakan
dalam persen, dengan dua angka di belakang koma), dan jumlah nominal
pembelian (minimal Rp.5.000.000,00 dengan kelipatan Rp.5.000.000,00).
3) Perusahaan efek menyampaikan minat beli nasabah ke Bursa Efek Surabaya
(BES) untuk mendapatkan nasabah lain yang bermaksud menjual ORI pada harga
yang sesuai dengan permintaan nasabah yang berminat menjual.
4) dalam hal terjadi kesesuaian harga antara nasabah penjual dan nasabah pembeli,
maka transaksi penjualan diselesaikan melalui mekanisme bursa yang melibatkan
PT. Bursa Efek Surabaya (BES), PT. Kliring Penjamin Efek Indonesia (KPEI),
PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan Perusahaan Efek (PE).
5) Jumlah dana yang akan diterima oleh nasabah penjual adalah sejumlah harga ORI
(clean price) ditambah dengan bunga berjalan setelah memperhitungkan pajak
dan biaya transaksi.
C.
Kedudukan Hukum bagi Pemegang Obligasi Negara Ritel (ORI)
Penjaminan dari sudut hukum perdata sangat erat kaitannya dengan sebuah
penanggungan. Pada dasarnya, suatu penanggungan merupakan persetujuan, bahwa
untuk kepentingan dari kreditor seseorang/pihak ketiga berjanji dan mengikatkan diri
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
untuk memenuhi kewajiban debitor manakala debitor tidak memenuhi kewajibankewajibannya kepada kreditor. 111 Dengan perkataan lain, diadakannya sebuah
penanggungan untuk lebih meyakinkan dan memperkuat kedudukan kreditur
manakala pada saatnya debitor tidak dapat menunaikan kewajiban-kewajibannya. 112
Penanggungan yang disebutkan di atas mirip dengan keberadaan jaminan dari
pihak pemerintah atas Obligasi Negara Ritel yang terdapat pada Undang-Undang No.
24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, meskipun tidak dapat dipersamakan
dengan itu. Ketentuan yang termuat pada Pasal 1 UU NO. 24 Tahun 2002 tentang
Surat Utang Negara menyebutkan bahwa:
Surat utang negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang
...... yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik
Indonesia sesuai dengan masa berlakunya.
Keberadaan jaminan dari pihak pemerintah dalam UU tersebut, pada dasarnya
ditujukan agar surat utang negara lebih diminati oleh masyarakat. Pemerintah tidak
ingin pengalaman atas obligasi negara yang mengecewakan masyarakat pada tahun
1950-1960-an 113 terulang kembali dan mempengaruhi minat masyarakat pada surat
utang negara. Oleh karena itu, dibuatlah klausula jaminan dari pihak pemerintah agar
surat utang negara diminati oleh masyarakat dan pemasarannya tidak menghadapi
kendala. Adanya jaminan dari pihak pemerintah untuk membayar kembali semua
kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan obligasi negara membuat
111
Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan kesepuluh, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995),
hlm.164.
112
M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Cetakan ke-2, (Bandung: P.T Alumni,
1986), hlm.315.
113
Heru Soepraptomo, Segi-segi Hukum Obligasi, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23, No. 1,
Tahun 2004,hlm.46.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
investor lebih memilih investasi pada obligasi negara dibandingkan dengan investasi
berpendapatan tetap lainnya.
Pada umumnya, keberadaan suatu penjaminan dihubungkan dengan adanya
suatu back-up yang dapat dijadikan sebagai sumber perlunasan kewajiban dimaksud
pada waktu jatuh temponya. Back-up tersebut dapat berupa bank garansi ataupun
dana tunai yang dibangun tersendiri yang disebut sebagai sinking-fund. Jika wujud
dari back-up tersebut direalisasikan dalam bentuk sinking-fund, dananya harus benarbenar disisihkan secara berkala, dicatat secara terpisah dari dana-dana lainnya, serta
disimpan dalam suatu rekening tersendiri (escrow account) yang dibuka khusus untuk
itu.
Apabila dilihat lebih teliti, jaminan dari pihak pemerintah yang terdapat pada
Pasal 1 UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara sebenarnya hanya
didukung oleh adanya ketentuan bahwa angsuran pokok dan bunga surat utang negara
akan dimasukkan sebagai pos-pos pengeluaran dalam APBN setiap tahunnya. 114
Jaminan dari pihak pemerintah yang hanya didukung oleh sebatas dimasukkannya
pembayaran bunga dan pokok surat utang negara ke dalam pos-pos pengeluaran
seperti ini sebenarnya sangat lemah, karena apabila kondisi keuangan pemerintah
mengalami kesulitan pemerintah tidak dapat menghindarkan diri dari solusi
mengeluarkan surat utang baru untuk menggantikan surat utang yang lama yang telah
jatuh tempo (paper paid by paper). Pengalaman menunjukkan bahwa dalam melunasi
surat utang negara yang akan jatuh tempo, pemerintah sering mencari penyelesaian
114
Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No.24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
dengan cara melakukan reprofiling maupun cara lain yang sebenarnya hanya
memperpanjang jangka waktu surat utang negara. 115
Dari isi Pasal 1 UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara secara
jelas kelihatan bahwa tidak terdapat orang ataupun badan lain yang menjadi
penanggung (guarantor) untuk pembayaran kembali surat utang negara tersebut pada
saat jatuh temponya apabila pemerintah tidak dapat menepati janji-janjinya. Dengan
tujuan untuk membangun kepercayaan investor pada surat utang negara, pembuat
undang-undang telah mempergunakan istilah penjaminan sebagaimana yang dimuat
pada Pasal 1 UU No. 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara. Undang-undang
tersebut telah menempatkan pemerintah sebagai pihak yang berutang sekaligus
menjadi penjamin bagi dirinya sendiri untuk pelunasan utang-utangnya. Ditinjau dari
segi hukum perikatan, kedudukan dari pihak penjamin dengan pihak yang dijamin
tidak boleh berada di dalam satu tangan/orang. 116 Penerbitan surat utang negara
merupakan perbuatan hukum perdata, sehingga harus tunduk dan harus sesuai dengan
aturan-aturan menurut hukum perdata. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk
meluruskan pengertian jaminan dari pihak pemerintah yang tercantum pada Pasal 1
UU No. 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara tersebut.
Apabila peraturan perundang-undangan tidak jelas ataupun tidak lengkap,
diperlukan upaya untuk melengkapinya dengan cara melakukan penemuan hukum
115
Djoko Retnadi, dkk, Obligasi Rekapitulasi Perbankan, Geneologi, Masalah dan Solusi,
(Jakarta: Masyarakat Profesional Madani, 2005)hlm.118-119.
116
Subekti, Op.cit., hlm.165.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
(rechtsvinding). 117
Ketidakpastian penggunaan klausula jaminan dari pihak
pemerintah yang tercantum pada Pasal 1 UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara membuat untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) yang berkenaan
dengan jaminan dari pihak pemerintah dimaksud.
Apabila diperhatikan secara keseluruhan isi UU No. 24 Tahun 2002 tentang
Surat Utang Negara, tidak ditemukan adanya penunjukan pihak ketiga sebagai
penanggung dari utang pemerintah berkenaan dengan surat utang negara yang
diterbitkan pemerintah. Demikian pula halnya pemerintah tidak melakukan tindakan
hukum untuk memastikan bahwa akan selalu cukup tersedia dana pelunasan pada
waktunya untuk membayar kewajiban surat utang negara yang telah jatuh tempo.
Yang dilakukan oleh pemerintah hanyalah sebatas memasukkan pos-pos pembayaran
bunga dan pokok surat utang negara yang akan jatuh tempo pada APBN setiap
tahunnya, sebagaimana tercantum pada Pasal 8 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2002
tentang Surat Utang Negara. Apabila penerimaan negara pada satu tahun anggaran
tidak mencapai target sehingga tidak terdapat kepastian bahwa pemerintah tidak akan
mengorbankan pembayaran kewajiban atas obligasi negara, dan mendahulukan
pengeluaran-pengeluaran yang sangat mendesak seperti pembayaran gaji pegawai,
perbaikan sarana dan prasarana vital, dan lain-lain.
Dengan demikian jaminan dari pihak pemerintah yang hanya sebagai sebuah
janji adalah bahwa kedudukan investor/pemegang obligasi pada dasarnya tidak jauh
117
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Cetakan kedua,
(Yogyakarta: Liberty, 2001), hlm. 26.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
berbeda dengan kreditur konkuren pada perjanjian utang piutang yang tidak
mempunyai hak untuk didahulukan pembayarannya dari kreditur-kreditur lainnya
apabila pemerintah wan prestasi. Meskipun kedudukan hukum pemerintah sama
dengan badan hukum perdata lainnya dalam transaksi perdata, hendaknya diantisipasi
bahwa menggugat pemerintah tidak semudah menggugat rakyat biasa dan langkahlangkah untuk menggugat pemerintah merupakan salah satu bagian yang paling sulit
dari hukum perdata dan hukum administrasi negara. 118 Pengalaman yang lalu telah
menunjukkan bahwa investor yang membeli obligasi negara yang diterbitkan oleh
pemerintah pada tahun 1950-1959 tidak dapat berbuat banyak sehubungan dengan
menurunnya daya beli dari obligasi yang dimiliki, dan hanya dapat menunggu sampai
obligasi jatuh tempo. Tidak berusaha untuk melakukan gugatan hukum kepada
pemerintah karena menyadari bahwa menggugat pemerintah berkenaan dengan itu
akan menghabiskan waktu dan biaya. Klausula jaminan dari pihak pemerintah hanya
sebagai janji dari pemerintah untuk membayar kewajiban-kewajibannya pada
waktunya telah memperkuat argumentasi bahwa Teori Perjanjian (Overeenkomst
Theorie) sangat tepat untuk menjelaskan dasar hukum yang mengikat antara
pemerintah dengan investor obligasi negara ritel.
118
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
hlm.284.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG
OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI)
C. Surat Utang Negara sebagai Sumber Pembiayaan Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah dibiayai dari
berbagai sumber penerimaan, baik penerimaan yang bersumber dari dalam negeri
maupun penerimaan yang bersumber dari luar negeri. Pajak merupakan komponen
terbesar dari sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pembangunan
ekonomi di maksud. 119 Dalam praktik sering terjadi bahwa penerimaan pemerintah
pada saat-saat tertentu tidak mencukupi untuk membiayai pengeluaran yang harus
dilaksanakan pada periode dimaksud. Demikian pula hanya pemerintah sering harus
melakukan pengeluaran tambahan yang tidak dapat ditangguhkan dan sebelumnya
tidak dianggarkan, seperti halnya pengeluaran pemerintah untuk mengatasi banjir,
bencana alam, serta pengeluaran-pengeluaran mendesak lainnya. Untuk menutupi
hal-hal seperti ini pemerintah terpaksa harus meminjam dari sumber-sumber yang
tersedia. Sejak diberlakukannya UU No.3 Tahun 2004 juncto UU No.23 Tahun 1999
Tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak diperkenankan lagi memberikan
pinjaman ataupun kredit talangan kepada pemerintah sehingga satu-satunya alternatif
119
Departemen Keuangan RI, RAPBN Tahun 2007, www.depkeu.go.id, Diakses Tanggal 20
April 2009.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
yang tersedia untuk tempat meminjam uang bagi pemerintah adalah dari masyarakat
luas. 120
Dalam melakukan perbuatan hukum berupa meminjam uang dari masyarakat,
kedudukan pemerintah adalah sejajar dengan orang perseorangan atau badan hukum
perdata lainnya. Meskipun pemerintah merupakan badan hukum publik, pemerintah
tidak mempunyai hak-hak istimewa dalam hal meminjam uang tersebut. Oleh karena
itu, pemerintah tunduk kepada aturan-aturan perdata dalam perbuatan hukum pinjam
meminjam uang. Pemerintah harus memenuhi janji-janjinya yang berkenaan dengan
perjanjian pinjam-meminjam tersebut seperti membayar kewajiban bunga dan pokok
pada waktunya, dan apabila pemerintah tidak melaksanakan janji-janjinya dengan
baik akan digolongkan sebagai perbuatan wan prestasi/ingkar janji. Sebagaimana
halnya dengan badan hukum perdata lainnya, pemerintah dapat dituntut di depan
pengadilan dalam hal melakukan perbuatan wan prestasi/ingkar janji. 121
Pemerintah dapat meminjam uang dari masyarakat dengan cara mengeluarkan
surat utang. Karena penerbitan surat utang dirasakan sudah merupakan hal yang rutin
dan berkesinambungan sehingga perlu pengaturannya melalui ketentuan perundangundangan yang jelas, pemerintah bersama-sama dengan DPR telah mengeluarkan UU
No.24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Nagara. Pasal 1ayat (1) UU No 24 Tahun
2002 tentang Surat Utang Negara menyebutkan bahwa:
120
Fachry Ali , Politik Bank Sentral, Posisi Gubernur Bank Indonesia dalam
Mempertahankan Independensi, (Jakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usahbba
Indonesia, 2003), hlm.76.
121
Jonker Sihombing, Op.cit., hlm.232.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
”Surat utang Negara adalah Surat berharga yang berupa Surat pengakuan
utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran
bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa
berlakunya”.
Pasal 4 UU NO.24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara tersebut
menyebutkan bahwa surat utang Negara ditebitkan untuk maksud:
1. Membiayai defisit APBN
2. Menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas
penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun
anggaran, dan
3. Mengelola portofolio utang negara
Keseluruhan dari realisasi penerbitan surat utang Negara yang disebutkan
pada Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara tersebut di atas
akan tercatat dan tercemin pada APBN setiap tahunnya. Karena sebagian besar dari
APBN diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan ekonomi, penerbitan Obligasi
Negara Ritel merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan pembangunan
ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari anggaran belanja pemerintah pusat pada APBN-P
Tahun 2007 yang tercatat sebesar Rp.493.880 miliar (empat ratus sembilan puluh tiga
triliun dan delapan ratus delapan puluh miliar rupiah), dan sebesar Rp.393.968 miliar
(tiga ratus sembilan puluh tiga triliun dan sembilan ratus enam puluh delapan miliar
rupiah) atau 79,80% dari padanya dialokasikan untuk pengeluaran yang berkaitan
dengan pembangunan ekonomi seperti pembayaran berbagai jenis subsidi, bantuan
sosial, bantuan lainnya, pengeluaran untuk belanja barang dan modal, serta
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
pembayaran bunga utang pemerintah. 122 Dari rangkaian data-data yang digambarkan
tersebut dapat terlihat bahwa penerbitan ORI pada dasarnya dimaksudkan sebagai
alternatif untuk membiayai pembangunan ekonomi Indonesia.
Pemanfaatan obligasi pemerintah untuk membiayai pembangunan ekonomi
merupakan hal yang biasa ditempuh oleh berbagai negara di dunia, termasuk oleh
pemerintah Amerika Serikat sendiri. Pemerintah Amerika Serikat mempergunakan
instrumen treasury bill dan treasury note/bond untuk membiayai kekurangan dalam
anggaran belanja. 123 Penerbitan surat utang Negara sebagai alternatif untuk
membiayai pembangunan ekonomi tidak dapat disebutkan sebagai gambaran dari
ketidakmampuan pemerintah memobilisasi sumber-sumber utama pembiayaan
pembangunan, karena fungsi dari Obligasi Negara Ritel dalam hal ini semata-mata
hanya
menjembatani
kekurangan
dalam
pembiayaan
pembangunan.
Asas
kemandirian dalam pembiayaan pembangunan nasional tidak menafikan bahwa
sebahagian dari pembiayaan pembangunan nasional diperoleh dari pinjaman.
Sepanjang jumlah pinjaman tersebut terukur dan berada pada batas rambu-rambu
yang telah ditetapkan serta persyaratannya tidak membuat pemerintah menjadi
kehilangan kebebasan dalam menentukan arah dan prioritas-prioritas pembangunan,
fungsi pinjaman tersebut hanya sebagai pelengkap. Yang perlu mendapat perhatian
pemerintah adalah pemanfaatannya harus sesuai dengan peruntukannya dan harus
dilihat kemampuan keuangan pemerintah karena obligasi tersebut harus dibayar
122
Data sekunder dari APBN-P RI Tahun 2007-2008, www.anggaran.depkeu.go.id, Diakses
Tanggal 20 April 2009.
123
www.whitehouse.gov/omb/budget/fy2006/tables.html. Diakses Tanggal 20 April 2009.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
kembali pada waktunya. Oleh karena itu, pemerintah harus memperhitungkan dengan
cermat tentang kemampuan untuk mengembalikan utang tersebut di kemudian hari
agar tidak terjadi wan prestasi/cedera janji, dan penerbitannya harus melalui
persetujuan dari otoritas yang berwenang.
Untuk menjaga agar keseluruhan utang pemerintah dapat dikelola dengan baik
dan tidak mengakibatkan ketidakmampuan pembayarannya di kemudian hari,
pemerintah melalui PP No. 23 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif
Defisit APBN dan APBD serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah telah membatasi jumlah kumulatif sebesar 60% (enam puluh per
seratus) dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun yang bersangkutan. 124 Ke
dalam jumlah pinjaman pemerintah pusat termasuk pinjaman yang bersumber dari
dalam negeri dan yang bersumber dari luar negeri dengan jangka waktu lebih dari
satu tahun. 125 Dengan demikian, penerbitan surat utang negara yang dimaksudkan
untuk membiayai pembangunan ekonomi nasional telah diberikan rambu-rambunya
secara umum pada PP No.23 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif
Defisit APBN dan APBD serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah tersebut.
Agar obligasi negara lebih diminati masyarakat luas sehingga makin dapat
difungsikan peranannya sebagai alternatif sumber pembiayaan pembangunan
ekonomi, pemerintah telah menjadikan obligasi negara sebagai instrumen yang
124
Pasal 4 ayat (2) PP No.23 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit
APBN dan APBD, serta jumlah kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
125
Pasal 1 ayat (5) PP No. 23 Tahun 2003
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
diperdagangkan di pasar modal Indonesia. 126 Meskipun terdapat beberapa
pengecualian dalam penerbitan obligasi negara seperti tidak diwajibkan untuk
menyampaikan pernyataan pendaftaran (filling registration statement) ke BapepamLK, tetapi pengecualian seperti ini merupakan hal yang umum berlaku di hampir
semua negara. Sebagaimana halnya dengan obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah
yang selalu menjadi rujukan untuk berinvestasi di instrumen berpendapatan tetap, 127
obligasi negara menjadi acuan berinvestasi pada instrumen surat utang di pasar modal
Indonesia. Dengan tercatat dan diperdagangkan di pasar modal, seluruh masyarakat
akan dapat memiliki obligasi negara dengan cara membelinya di pasar perdana
maupun di pasar sekunder sesuai dengan yang diinginkan. Pasar modal dalam hal ini
menjembatani kebutuhan masyarakat sebagai unit pemilik dana dengan pemerintah
sebagai unit yang membutuhkan dana untuk membiayai kegiatan pembangunan
ekonomi nasional. Melalui pembelian obligasi negara, seluruh anggota masyarakat
secara tidak langsung telah ikut serta membiayai pembangunan ekonomi Indonesia.
Pada setiap penerbitan obligasi negara terkandung di dalamnya 2 (dua) aspek
kebijakan, yakni kebijakan fiskal (fiscal policy) dan kebijakan moneter (monetery
policy). Aspek kebijakan fiskal berkaitan dengan tujuan penerbitan obligasi negara
yang dimaksudkan untuk membiayai defisit APBN. Oleh karena itu, aspek ini sangat
besar peranannya dalam membiayai pembangunan ekonomi nasional yang digariskan
126
Melalui Surat Menteri Keuangan ke Direksi Bursa Efek Surabaya No. S20/KMK.017/2001 Tanggal 19 Januari 2001, pemerintah telah memintakan agar surat utang Negara
tersebut dicatatkan (listing) di Bursa Efek Surabaya
127
Jorge Castellanos, dalam Jonker Sihombing, Op.cit., hlm. 236.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
oleh pemerintah. Aspek kebijakan fiskal tersebut lebih menekankan pada peranan
obligasi negara yang harus mampu menjembatani kebutuhan pembiayaan
pembangunan ekonomi dengan maksud agar pembangunan ekonomi dapat terlaksana
sesuai dengan yang direncanakan. Di pihak lain, aspek kebijakan moneter melihat
sejauh mana implikasi penerbitan obligasi negara terhadap volume uang yang
beredar. 128 Dengan penerbitan obligasi negara, akan terjadi pengurangan volume
uang yang beredar di masyarakat karena untuk membeli obligasi negara dan akan
masuk ke rekening pemerintah di Bank Indonesia. Sebaliknya, apabila terjadi
pelunasan surat utang negara akan menambah uang yang beredar di masyarakat,
karena pemerintah akan menyuntikkan uang ke masyarakat melalui Bank Indonesia
untuk pembayaran kembali kewajiban-kewajibannya yang berkaitan dengan obligasi
negara tersebut. Aspek kebijakan moneter berkaitan erat dengan aspek kebijakan
fiskal karena terciptanya stabilitas moneter akan mendukung keberhasilan
pembangunan ekonomi, dan pada gilirannya akan menciptakan keteraturan dan
ketertiban dalam pengelolaan keuangan negara. Sebagaimana diketahui, adanya
ketertiban dan keteraturan di masyarakat merupakan tujuan pokok dari hukum. 129
Di antara kedua aspek kebijakan yang melekat pada penerbitan obligasi
negara sebagaimana yang disebutkan di atas, aspek kebijakan fiskal merupakan
pertimbangan utama karena tujuan penerbitan obligasi negara adalah untuk
128
Uang yang beredar terdiri dari M1, M2, dan M3. M1 mencakup uang kartal (uang kertas)
dan simpanan yang dapat ditarik setiap saat. M2 adalah M1 ditambah deposito dan tabungan (quasy
money). M3 adalah M2 ditambah obligasi dan lain-lain. Dalam Jonker Sihombing, Ibid., hlm. 237.
129
Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit., hlm. 3.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
membiayai pembangunan ekonomi yang tercermin pada APBN. 130 Penerbitan
obligasi negara utamanya tidaklah dimaksudkan untuk meramaikan pasar modal
Indonesia dengan menambah instrumen yang dapat diperdagangkan di bursa, ataupun
tidak dimaksudkan agar pasar modal Indonesia menjadi lebih dipercaya oleh investor.
Bahwa pasar modal Indonesia memetik manfaat dari kehadiran instrumen obligasi
negara memang merupakan kenyataan, dan oleh karena itu kehadiran obligasi negara
akan meningkatkan likuiditas pasar modal. Selain meningkatkan likuiditas pasar
modal secara keseluruhan, obligasi negara juga menjadi acuan (brenchmark)
berinvestasi di pasar modal. 131 Namun, apabila terdapat faktor-faktor negatif pada
obligasi negara akan dapat meruntuhkan kredibilitas pasar modal Indonesia. Oleh
karena itu, pemerintah harus memenuhi janji-janjinya yang berkenaan dengan
obligasi negara yang diterbitkannya, dan menghidarkan diri dari perbuatan cedera
janji/wan prestasi. Apabila pemerintah wan prestasi, investor akan menjauhi
instrumen obligasi negara, dan hal seperti ini akan mempengaruhi keberhasilan
pembangunan ekonomi nasional karena alternatif sumber dana untuk pembiayaan
pembangunan ekonomi di masa-masa mendatang menjadi semakin langka.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, fungsi utama dari penerbitan obligasi
negara dimaksudkan untuk membiayai pembangunan ekonomi dan aspek kebijakan
fiskal menjadi pertimbangan yang utama. Namun, agar penerbitannya dapat
memberikan manfaat yang maksimal terhadap pembangunan ekonomi, harus
130
131
Lihat Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara.
Sapto Rahardjo, Op.cit., hlm.118.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
dilakukan secara terkoordinasi dengan Bank Indonesia yang mengelola kebijakan
moneter. Perlunya koordinasi antara kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter
adalah untuk menetapkan dan mencapai target-target moneter dan defisit APBN
secara konsisten dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang cukup tinggi
dan stabil. 132
Adanya kewajiban untuk berkoordinasi pada setiap penerbitan obligasi negara
telah pula diamanatkan oleh UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara
yang di dalam Pasal 6 menyebutkan:
”Dalam hal pemerintah akan menerbitkan surat utang negara untuk tujuan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 4, Menteri terlebih dahulu berkonsultasi
dengan Bank Indonesia”
UU No. 3 Tahun 2004 juncto UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia pada Pasal 55 juga telah mengamanatkan perlunya koordinasi dimaksud,
yang di dalam pasal 55 menyebutkan:
Ayat (1)
Ayat (2)
: Dalam hal pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara,
pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia.
: Bank Indonesia dapat menbantu penerbitan surat-surat utang negara yang
diterbitkan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Karena menyadari pentingnya keberhasilan obligasi negara untuk membiayai
pembangunan ekonomi dan di pihak lain masyarakat masih merasa dikecewakan oleh
obligasi negara yang diterbitkan oleh pemerintah pada tahun 1950-an, 133 sehingga
pemerintah berusaha untuk membangun kepercayaan masyarakat pada instrumen
132
Dono Iskandar, Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia, dalam Heru
Subiyantoro dan Singgig Riphat, Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, (Jakarta:
Kompas, 2004), hlm.94.
133
Heru Supraptomo, Op.cit., hlm.49.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
obligasi negara tersebut. Upaya yang ditempuh pemerintah untuk membangun
kepercayaan masyarakat dengan menciptakan klausula jaminan dari pihak pemerintah
pada surat utang negara. Pasal 1 ayat (1) UU No.24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara menyebutkan bahwa:
”Surat utang negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang
dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran
bunga dan pokoknya oleh negara Republik Indonesia sesuai dengan masa
berlakunya”
Adanya klausula jaminan dari pihak pemerintah telah mampu meningkatkan
penjualan obligasi negara, sebagaimana tercermin dari peningkatan jumlah obligasi
negara yang beredar dari tahun ke tahun. Pada khir tahun 2002 jumlah surat utang
negara yang beredar tercatat sebesar Rp.394,06 triliun (tiga ratus sembilan puluh
empat triliun dan enam puluh milyar rupiah), yang keseluruhannya merupakan sisa ex
obligasi rekapitulasi perbankan yang diterbitkan pemerintah secara private placement
pada tahun 1998/1999. 134 Pada akhir tahun 2006 jumlah surat utang negara yang
beredar tersebut meningkat menjadi Rp.418,75 triliun (empat ratus delapan belas
triliun dan tujuh ratus lima puluh milyar rupiah), dan pada akhir bulan oktober 2007
telah mencapai Rp.472,41 triliun (empat ratus tujuh puluh dua triliun dan empat ratus
sepuluh milyar rupiah).
Meskipun minat masyarakat terhadap obligasi negara cenderung meningkat,
pemerintah tidak menerbitkan obligasi dimaksud berdasarkan tendensi minat
134
Data sekunder dari Direktorat Jendral Pengelolaan Utang, Departemen Keuangan RI, UU
No.24 Tahun 2002 diundangkan pada tanggal 22 Oktober 2002, dan pengaruhnya terhadap surat
utang negara yang beredar baru mulai efektif pada tahun 2003. www.dmo.or.id. Diakses Tanggal 20
April 2009.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
masyarakat, tetapi lebih didasarkan pada kebutuhan anggaran pembangunan yang
tercermin dari proyeksi defisit APBN. Volume obligasi negara yang diterbitkan dari
waktu ke waktu akan ditentukan oleh besarnya tambahan kebutuhan pembiayaan
pembangunan nasional yang diperlukan oleh pemerintah. Apabila di satu pihak minat
masyarakat pada obligasi negara cukup besar sedang di pihak lain pasokan obligasi
negara yang diterbitkan oleh pemerintah relatif terbatas, hal tersebut akan
berpengaruh positif karena akan mengakibatkan harga obligasi negara di pasar
sekunder menjadi lebih baik dan pada gilirannya akan menciptakan kepercayaan
masyarakat pada instrumen obligasi negara.
Setiap penerbitan obligasi negara yang dilakukan pemerintah pada dasarnya
telah memenuhi unsur-unsur: 135
a. Authorized, karena penerbitannya telah mendapatkan persetujuan dari
parlemen lebih dahulu, sebagaimana yang berlaku umum di sebagian besar
negara-negara maju. Setiap penerbitan obligasi negara harus mendapat
persetujuan DPR, dan Bagian Penjelasan dari Pasal 7 ayat (1) UU No. 24
Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara menyebutkan bahwa persetujuan
dimaksud mencakup untuk semua pembayaran kewajiban bunga dan pokok
yang timbul sebagaimana akibat penerbitan obligasi negara.
b. Responsible, karena penatausahaan dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang
mempunyai pengalaman yang luas, fasilitas jaringan dan infrastruktur, dan
personalia
135
yang
baik
serta
trampil
untuk
melaksanakan
Jonker Sihombing, Op.cit., hlm.243.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
kegiatan
penatausahaan dan lelang obliges negara. Penatausahaan obligasi negara yang
dilaksanakan oleh Bank Indonesia dewasa ini telah sesuai dengan aturan yang
dikeluarkan oleh BIS-CPSS yang menjadi acuan bagi setelmen surat-surat
utang pemerintah di kebanyakan negara.
c. Accountable, karena penggunaan hasil penerbitan obligasi negara setiap
tahunnya dipertanggung jawabkan oleh pemerintah ke DPR. Pasal 16 ayat (1)
dan (2) UU No. 24 Tahun 2002 menyebutkan bahwa pemerintah membuat
pertanggung jawaban atas pengelolaan surat utang negara, yang disampaikan
sebagai bagian dari pertanggung jawaban pelaksanaan APBN tahun berjalan.
d. Fairness, karena metode penerbitannya dilakukan secara lelang, dan
penyimpanannya dilakukan secara ganda (dual ownership), dan penitipan
utama (central registry) yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia mengikuti
ketentuan yang berlaku umum dikebanyakan negara.
Dengan demikian, meskipun penerbitan obligasi negara dikecualikan dari asas
keterbukaan (transparansi) dalam arti tidak menyampaikan pernyataan pendaftaran
(filling registration statement) ke Bapepam-LK, tetapi untuk setiap penerbitan
obligasi negara pada dasarnya telah sesuai dengan prinsip good corporate
governance. Asas keterbukaan yang tidak dipenuhi dalam penerbitan obligasi negara
semata-mata hanya karena tidak diwajibkan untuk menyampaikan pernyataan
pendaftaran ke Bapepam-LK, dan hal ini berlaku umum untuk emisi surat berharga
yang diterbitkan oleh pemerintah di kebanyakan negara. Meskipun demikian,
mengenai rencana penerbitan obligasi negara telah memenuhi asas keterbukaan,
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
karena penerbitannya harus mendapatkan persetujuan dimaksud, pemerintah harus
menyampaikan data-data pendukung yang dapat meyakinkan DPR. Data-data yang
dipersiapkan oleh pemerintah pada waktu pengajuan penerbitan obligasi negara
maupun data-data pertanggung jawaban penggunaan obligasi negara kepada DPR
memang dimaksudkan untuk konsumsi DPR sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
D. Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Obligasi Negara Ritel
Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan mengenai perjanjian sebagai berikut:
”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Suatu perjanjian merupakan peristiwa seorang berjanji kepada seorang yang
lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 136 Pada setiap
penerbitan surat utang negara terkandung di dalamnya perjanjian yang menciptakan
hak dan kewajiban bagi mereka yang terlibat dalam perjanjian dimaksud. Perjanjian
tersebut tercipta di antara pemerintah sebagai penerbit dengan pemegang obligasi
negara sebagai investor. Perjanjian antara pemerintah dengan investor tersebut dapat
dipersamakan dengan perjanjian yang terjadi di antara seorang yang berutang
(debitor) dengan seorang atau beberapa orang yang berpiutang (kreditor). Pada saat
terjadi penerbitan obligasi negara di pasar perdana, pemerintah mengakui
berutang/meminjam uang dari investor yang menjadi kreditor melalui mekanisme
136
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-19, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm.1.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
lelang, mengikuti aturan yang ada di pasar modal. Jika terjadi transaksi lelang
obligasi negara di pasar perdana, pada dasarnya telah terjadi suatu perjanjian pinjam
meminjam antara pemerintah di satu pihak dengan investor di pihak yang lainnya.
Pemerintah mengikat diri dalam sebuah perjanjian pinjam meminjam uang dengan
sedemikian banyak investor yang membeli obligasi negara dimaksud. Obligasi negara
yang diterbitkan oleh pemerintah menjadi wadah dari perjanjian pinjam meminjam
tersebut, dan hakikatnya dari adanya perjanjian antara debitor dengan kreditor dapat
dilihat pada Pasal 1 ayat (1) UU No.24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara
yang menyebutkan bahwa surat utang negara merupakan surat pengakuan utang.
Dengan adanya perjanjian pinjam meminjam uang antara pemerintah dengan
investor melalui sarana obligasi negara, investor mempunyai hak tagih kepada
pemerintah sebagai debitor pada saat angsuran pokok maupun bunga obligasi negara
jatuh tempo. Tagihan yang diwujudkan dalam bentuk surat berharga, akta atau kertas
tagihan maupun catatan elektronis mengenai adanya tagihan tersebut memberikan
legitimasi kepada pemegangnya sebagai pemilik. 137
Selain perjanjian antara pemerintah dengan investor berkenaan dengan
penerbitan obligasi negara, unsur perjanjian terdapat pula antara pemerintah di satu
pihak dengan Bank Indonesia di pihak lainnya. Adanya unsur perjanjian tersebut
dapat dilihat pada Pasal 12 sampai dengan Pasal 14 UU No. 24 tahun 2002 tentang
Surat Utang Negara. Pemerintah menunjuk Bank Indonesia sebagai agen
137
Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Hutang, cetakan ke-2,
(Bandung: PT. Alumni 1999), hlm.2.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
penyelenggara lelang di pasar perdana, agen pembayar bunga dan pokok, serta
pelaksana kegiatan penatausahaan obligasi negara. Dengan penyerahan tugas
keagenan ke Bank Indonesia tersebut mempunyai makna bahwa antara pemerintah
dengan Bank Indonesia telah tercapai suatu perjanjian, Bank Indonesia telah
menyetujui untuk melaksanakan tugas-tugas yang diperjanjikan tersebut dengan
sebaik-baiknya. 138 Perjanjian antara pemerintah dengan Bank Indonesia untuk
pelaksanaan tugas keagenan tersebut memberikan perlindungan hukum bagi investor
atau pemegang obligasi karena segala kepentingannya yang berkaitan dengan
penatausahaan, penyimpanan, dan pembayaran kembali pokok dan bunga obligasi
negara akan dilakukan oleh institusi yang tertib administrasinya terjaga dengan baik.
Tugas keagenan yang disandang Bank Indonesia menempatkan Bank Indonesia
tersebut sebagai lembaga yang sangat penting dalam keberhasilan penerbitan dan
perdagangan obligasi negara.
Selanjutnya adanya perjanjian Perwaliamanatan yang merupakan suatu
perjanjian yang dibuat antara emiten (penerbit) dengan Wali Amanat yang mengikat
terhadap investor pemegang obligasi. Obligasi adalah surat utang yang harus dibayar,
yang juga merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban pemenuhan
kewajiban pembayaran utang yang lahir dari penerbitan obligasi berdasarkan
perjanjian Perwaliamanatan menurut Pasal 1131 KUHPerdata dijamin oleh seluruh
harta kekayaan emiten (penerbit). Selain itu Wali Amanat dalam hal tidak ada
jaminan kebendaan, Wali amanat merupakan pemegang hak gugatan perorangan dan
138
Jonker Sihombing, Op.cit, hlm 247.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
satu-satunya pelaksana hak gugatan perorangan yang dimiliki seluruh investor
pemegang obligasi. Dalam hal ini, benda yang dimiliki Wali Amanat adalah hak
gugatan perorangan yang kewenangannya berdasarkan UUPM dan Perjanjian
Perwaliamanatan diserahkan kepada Wali Amanat. Tidak ada seorang investor pun
yang dapat melaksanakan hak gugatan perorangan tersebut. Dengan demikian,
berdasarkan pada perjanjian Perwaliamanatan, investor pemegang obligasi tidaklah
dapat secara langsung berhubungan dengan emiten (penerbit), oleh karena setiap
investor pemegang obligasi hanyalah memiliki bagian-bagian dari surat utang global
atau jumbo yang diwakili oleh Wali Amanat. Setiap tindakan investor pemegang
obligasi adalah tindakan bersama dari seluruh investor pemegang obligasi tersebut,
yang dilaksankan oleh Wali Amanat berdasarkan pada perintah atau amanat Rapat
Umum Pemegang Obligasi. Selama dan sepanjang Wali Amanat melaksanakan tugas
dan kewajibannya kepada investor dan hak-haknya terhadap pemerintah, maka
seluruh hak dan kepentingan investor pemegang obligasi akan terlindungi dalam
hukum. Perlindungan dalam bentuk jaminan pemenuhan pembayaran obligasi
(sebagai utang) akan lebih terjamin, manakala obligasi tersebut dijamin dengan suatu
penanggungan utang menurut Pasal 1820 KUHPerdata dengan pelepasan hak
istimewa, atau jaminan pembayaran menurut Pasal 1316 KUHPerdata, atau
pemberian jaminan kebendaan. 139
139
Gunawan Widjaja dan Jono, Penerbitan Obligasi dan Peran Serta Tanggung Jawab Wali
Amanat dalam Pasar Modal, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006), hlm.118-119.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Konsep
dasar
dari
diadakannya
hubungan
keagenan
adalah
untuk
memungkinkan seseorang atau satu pihak melakukan perluasan aktivitasnya melalui
tindakan ataupun jasa orang lain. KUHPerdata maupun KUHD tidak secara tegas
mengatur mengenai perjanjian keagenan. Yang lebih mirip dengan tugas keagenan
adalah pekerjaan yang dilakukan oleh makelar dan komisioner sebagaimana yang
dimuat pada Pasal 62 sampai dengan Pasal 73 serta Pasal 76 sampai dengan Pasal 85a
KUHD. Meskipun demikian, sifat-sifat yang terdapat pada kegiatan makelar 140 dan
komisioner 141 tidak dapat dipersamakan dengan kegiatan keagenan.
Perjanjian keagenan merupakan perwujudan dari kebebasan berkontrak yang
terdapat pada KUHPerdata. Kebebasan berkontrak ini menjadi dasar untuk mengisi
kekosongan dalam bidang hukum perjanjian yang bersifat terbuka, dengan maksud
agar
hukum
dapat
memenuhi
kebutuhan
masyarakat
mengikuti
dinamika
pembangunan ekonomi dan dapat menjadi sarana pembaharuan (a tool of social
engineeging). 142 Hubungan keagenan selalu diawali dengan perjanjian, dan dari isi
perjanjian dapat diketahui tindakan apa yang dapat dilakukan oleh agen terhadap
pihak ketiga dalam mewakili prinsipal. Tugas keagenan yang dipegang oleh Bank
Indonesia yang berkaitan dengan obligasi negara lebih bersifat khusus, dan
140
Makelar adalah orang yang pekerjaannya menjadi perantara dalam transaksi dagang antara
seseorang dengan pihak ketiga, dan makelar tidak mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas
nama salah satu pihak dalam transaksi tersebut. I Ketut Oka Setiawan, Lembaga Keagenan dalam
Perdagangan dan Pengaturannya di Indonesia, (Jakarta: Ind Hill Co, 1996), hlm.12.
141
Komisioner adalah orang yang melaksanakan transaksi dagang berdasarkan sebuah kuasa,
dan untuk tindakannya tersebut dia menerima komisi sebagai imbalannya. Ibid., Lihat juga Johannes
Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis, dalam Persepsi Manusia Modern, (Bandung: Refika
Aditama, 2004), hlm.131.
142
Muchtar Kusumaatmadja, Op.cit.,
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
sebagaimana
kegiatan
keagenan
pada
umumnya,
Bank
Indonesia
dalam
melaksanakan tugas-tugasnya bertindak untuk dan atas nama pemerintah.
Melihat sifatnya yang sangat khusus sebagaimana yang disebutkan di atas,
tugas keagenan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia tidak tepat apabila
digolongkan ke dalam kegiatan makelar atau komisioner yang diatur dalam KUHD,
tetapi lebih tepat digolongkan sebagai pemberian kuasa sebagaimana yang diatur
pada Pasal 1792 KUHPerdata. Dengan dasar pemikiran yang disebutkan di atas,
sebuah pemberian kuasa akan melahirkan perwakilan yaitu adanya seseorang yang
mewakili orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dapat terjadi
karena adanya suatu perjanjian ataupun karena undang-undang, 143 dan kuasa yang
diterima oleh Bank Indonesia diberikan oleh undang-undang sebagaimana tercantum
pada Pasal 12 sampai dengan Pasal 14 UU No.24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara.
Walaupun sulit dibayangkan, pemerintah akan menolak membayar kembali
para pemegang obligasi negara ritel, mengingat perbuatan ini pasti akan menurunkan
kepercayaan publik kepada ORI, sebab salah satu yang membuat banyak investor
tertarik membeli obligasi negara ritel adalah kepastian pembayaran kembali oleh
negara. Karena itulah walaupun ORI tidak memiliki underlying asset, namun hal ini
tidak mengurangi kepercayaan publik untuk membelinya. Apalagi UU SUN sudah
mengatur bahwa dana untuk membayar pemegang obligasi negara akan disisihkan
dalam APBN setiap tahunnya sampai berakhirnya kewajiban pembayaran.
143
Subekti, Aneka Perjanjian, Op.cit., hlm.141.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Sekecil apapun, resiko gagal bayar dan penolakan pemerintah untuk
melakukan pembayaran tetap ada. Apalagi sudah ada perkara di mana pemerintah
pasang badan dan menolak pembayaran kewajibannya berdasarkan perintah
pengadilan (Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 07/Pdt.G/PN.SBY tanggal 14
September 1999 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur No. 112/B/PDT/2000/
PT.SBY tanggal 6 Juni 2000 jo. Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 3939
K/PDT/2001 tanggal 24 Januari 2003 jo. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah
Agung No. 161 PK/ PDT/2004 tanggal 31 Januari 2007). 144 Pemegang SUN tidak
memiliki kepastian memperoleh pembayaran selain jaminan dari pemerintah yang
belum tentu dilaksanakan. Hal ini penting untuk dipikirkan agar tidak ada investor
SUN yang mengakhiri hidupnya karena uang investasi mereka tidak kembali,
sebagaimana dilakukan seorang nasabah korban reksadana fiktif Bank Century.
Menggugat, mungkin saja tidak ada gunanya, karena pemerintah dapat saja
pasang badan untuk tidak membayar. Berharap pada itikad baik pemerintah. Rasanya
demi kepastian hukum dan keadilan bagi investor, itikad baik saja belum cukup.
Menjual kembali ataupun membuat perjanjian anjak piutang tagihan terhadap obligasi
negara,
jelas
tidak
menyelesaikan
masalah,
setidaknya
dalam
jangka
panjang. Pengaturan bahwa aset negara tidak dapat disita tidak boleh diberlakukan
secara kaku. Benar, aset-aset negara yang bernilai vital bagi kelangsungan negara dan
bernilai sejarah seperti Gelora Bung Karno memang tidak boleh disita dengan alasan
144
Hendra Setiawan Boen, Aset Penjaminan SBSN Dan UU Kebendaan Negara,
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21664&cl=Kolom, Diakses Tanggal 20 April 2009.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
apapun, namun selama aset itu hanya memiliki nilai ekonomis semata, rasanya tidak
ada alasan lain mengapa aset negara yang demikian tidak boleh disita.
Dapat diatur bahwa pengadilan dapat memberikan perintah kepada
pemerintah untuk memasukkan uang pembayaran di dalam APBN, atau menjual
dan/atau melelang sendiri aset-aset yang dijaminkan tersebut. Sekiranya pemerintah
tetap menolak melakukannya, maka pengadilan dapat melakukan penyitaan dan
melelang aset-aset tersebut. Ketentuan seperti ini dapat menjamin supremasi putusan
pengadilan terhadap pemerintah, bahwa pengadilan mempunyai kedudukan yang
seimbang dengan eksekutif dan bernegara. Seandainya pemerintah dibiarkan tidak
tunduk terhadap putusan pengadilan, hal ini tentu akan merusak tatanan hukum yang
ada dan menjadi preseden buruk bagi kehidupan bernegara. Dalam cakupan lebih
luas, ketentuan seperti ini dapat melindungi semua warga negara terhadap tirani
negara. Bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama dalam hukum, termasuk
negara itu sendiri. Memang benar, negara membuat peraturan perundang-undangan,
namun setelah peraturan perundang-undangan itu berlaku, maka negara akan menjadi
pihak yang tunduk kepadanya. Demikian pula terhadap putusan lembaga peradilan
yang bersumber dari konstitusi sendiri. 145
Yang paling penting harus diingat adalah bahwa selama ini larangan
penyitaan terhadap aset negara sudah berlaku limitatif. Sudah sering terjadi aparat
penegak hukum, dengan alasan mengamankan aset negara, baik KPK maupun
Kejaksaan Agung Republik Indonesia melakukan penyitaan terhadap aset negara
145
Ibid.,
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
yang diduga merupakan hasil tindak pidana. Misalnya penyitaan terhadap rekening
PT SMP, salah satu tersangka kasus dugaan tindak pidana SISMINBAKUM).
Dengan demikian aset negara dapat disita apabila memiliki alasan yang tepat.
Rasanya penyitaan terhadap aset negara oleh perintah pengadilan karena pemerintah
melakukan ingkar janji atau menolak memberikan hak warga negaranya, juga
merupakan alasan yang tepat, karena memperlihatkan semua yang hidup di bawah
Konstitusi Republik Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum,
sekalipun negara ataupun pemerintah. Jargon di industri pasar modal, my word is my
bond, memiliki makna pentingnya memenuhi janji-janji yang diucapkan. Jika janji itu
diingkari, musnah sudah kredibilitas. Meski ORI yang dimiliki negara memiliki
tingkat kepercayaan tinggi karena yang menjamin negara, namun perlindungan
investor ini juga terkait dengan harga yang wajar dan adil saat diperdagangkan.
Perlindungan investor itu, antara lain menyangkut transparansi harga obligasi.
Berdasarkan informasi Manajemen PT Bursa Efek Surabaya, pembentukan harga
obligasi yang ada di bursa saat ini belum sempurna karena baru sekitar 50% pelaku
pasar yang melaporkan transaksinya ke BEI. Pelaporannya pun terlambat karena
laporan transaksi obligasi itu baru diberikan saat pembayaran (setlement) yang
pelaksanaannya setelah beberapa hari transaksi, sehingga harganya sudah berubah. 146
Kembali merujuk kepada UU SUN Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2), yang
menyatakan pemerintah menjamin dan wajib membayar bunga dan pokok obligasi,
146
Suli Murwani, SUN Ritel Jangan Sampai Mengecewakan,
http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=477&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&pared_id=
426074&patop_id=O09. Diakses Tanggal 20 April 2009.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
pada dasarnya merupakan perlindungan hukum bagi pemegang obligasi. Dalam Pasal
8 ayat (3) dan ayat (4), dalam hal pembayaran kewajiban bunga dan pokok melebihi
perkiraan dana, maka Menteri Keuangan melakukan pembayaran dan menyampaikan
realisasi pembayaran tersebut kepada DPR dalam pembahasan Perubahan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis pada Bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.
Pengaturan penerbitan ORI dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002
Tentang Surat Utang Negara menjamin keberadaan Obligasi yang diterbitkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia. Artinya pemerintah wajib membayar
bunga dan pokok setiap Surat Utang Negara jatuh tempo. Adanya jaminan dari
pihak pemerintah dimaksudkan untuk menciptakan daya tarik bagi investor agar
berinvestasi pada surat utang negara. Dengan adanya UU SUN tersebut, maka
pemegang obligasi tidak perlu khawatir terjadi risiko gagal bayar (default risk).
Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2002 tentang SUN dan Pasal 8
ayat (2), pemerintah wajib membayar bunga dan pokok setiap Surat Utang
Negara pada saat jatuh tempo.
2.
Kedudukan hukum pemegang Obligasi Negara Ritel pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan kreditur konkuren pada perjanjian utang piutang yang tidak
mempunyai hak untuk didahulukan pembayarannya dari kreditur-kreditur
lainnya apabila pemerintah wan prestasi. Karena jaminan dari pihak pemerintah
untuk membayar bunga dan pokok surat utang negara sebagaimana tercantum
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
pada Pasal 1 UU No. 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara pada dasarnya
ditujukan agar surat utang negara lebih diminati oleh masyarakat.
3.
Perlindungan hukum pemegang Obligasi Negara Ritel adalah berdasarkan UU
SUN dan berdasarkan perjanjian pinjam meminjam uang antara pemerintah
dengan investor, investor mempunyai hak tagih kepada pemerintah sebagai
debitor pada saat angsuran pokok maupun bunga obligasi negara jatuh tempo
telah
memberikan
legitimasi
kepada
pemegang
obligasi.
Selanjutnya
berdasarkan perjanjian antara pemerintah dengan Bank Indonesia untuk
pelaksanaan tugas keagenan telah memberikan perlindungan hukum bagi
investor atau pemegang obligasi karena segala kepentingannya yang berkaitan
dengan penatausahaan, penyimpanan, dan pembayaran kembali pokok dan
bunga obligasi negara akan dilakukan oleh institusi yang tertib administrasinya
terjaga dengan baik.
B.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut:
1.
Apabila peraturan perundang-undangan tidak jelas ataupun tidak lengkap seperti
ketidakpastian penggunaan klausula jaminan dari pihak pemerintah yang
tercantum pada Pasal 1 UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara,
maka diperlukan upaya untuk melengkapinya dengan cara melakukan
penemuan hukum (rechtsvinding) yang berkenaan dengan jaminan dari pihak
pemerintah dimaksud.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
2.
Pemerintah bersama-sama dengan DPR perlu segera melakukan revisi atas
klausula penjaminan yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 24 Tahun
2002 tentang Surat Utang Negara karena hal tersebut dapat ditafsirkan investor
sebagai penanggungan dalam penerbitan obligasi Negara ritel yang merupakan
transaksi perdata. Untuk mencegah tuntutan perdata atas obligasi Negara yang
mungkin akan timbul di kemudian hari, revisi di maksud hendaknya
mendapatkan prioritas dan dilakukan pada kesempatan pertama.
3.
Mengenai perlindungan hukum terhadap pemegang obligasi, rasanya tidaklah
cukup berpatokan dari kata jaminan dari pemerintah. Karena sekecil apapun,
resiko gagal bayar dan penolakan pemerintah untuk melakukan pembayaran
tetap ada. Maka sebaiknya pengadilan dapat membuat perintah yang dapat
menjamin supremasi putusan pengadilan terhadap pemerintah, agar tidak ada
investor Obligasi Negara Ritel yang mengakhiri hidupnya karena uang investasi
mereka tidak kembali, sebagaimana dilakukan seorang nasabah korban
reksadana fiktif Bank Century.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Fachry , Politik Bank Sentral, Posisi Gubernur Bank Indonesia dalam
Mempertahankan Independensi, Jakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan
Etika Usahbba Indonesia, 2003
Ang, Robbert, Buku Pintar Pasar Modal Indonesia, Jakarta: Mediasoft Indonesia,
1997
Anoraga, Panji, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, Jakarta:
Pustaka Jaya, 1994
Basri, Yuswar Zainul dan Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan
Utang Luar Negeri, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Boediono, Teori Pertumbuhan Ekonomi, (Yogyakarta: BPFE, 1982), hlm.65.
Cahyadi, Adi, Jalur Distribusi dan Promosi Surat Utang Negara Versi Retail: Kasus
Pemerintah Daerah Khusus Hong Kong, Bunga Rampai Hasil Penelitian
Badan Pengakajian Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional, Jakarta:
Bapekki, 2004
Cahyana, Jaka E., Langkah taktis Metodis Berinvestasi di Obligasi, Jakarta: PT.Elex
Media Komputindo, 2004
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999
Dumairy, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1996
Elijana, Proses Mengajukan Permohonan Pailit terhadap Guarantor dan Holding
Company, dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: PT. Alumni, 2001
Gautama, Sudargo, Segi-segi Hukum Internasional pada Nasionalisasi di Indonesia,
Bandung: PT. Alumni, 1975
Harahap, M.Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Cetakan ke-2, Bandung: P.T
Alumni, 1986
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Hartono, Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung:
P.T.Alumni, 1991
HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
Ibrahim, Jhony, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, 2005
Ibrahim, Johannes dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis, dalam Persepsi Manusia
Modern, Bandung: Refika Aditama, 2004
Ilmar, Aminuddin, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,
2004
Indonesia Legal Center Publishing, Kamus Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta:
CV.Karya Gemilang, 2008
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1997
Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan
Karya Tulis, Bandung: P.T.Alumni, 2002
Lubis, Ade Fatma, Pasar Modal, Jakarta: FEUI, 2008
Manurung, Adler Haymans, Dasar-Dasar Investasi Obligasi, Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo, 2006
----------------------------, Pengelolaan Portofolio Obligasi, Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2007
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Cetakan kedua,
Yogyakarta: Liberty, 2001
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya,
2006
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan kedua, Edisi revisi,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002
-----------------------------, Hukum Dagang tentang Surat Berharga, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2003
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
----------------------------, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Adytia Bakti,
2004
Nasarudin, Irsan dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Cetakan ke4, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007
Nasution, Bismar dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi
Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkumpulan, Perseroan dan Koperasi, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1985
Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980
Rahardjo, Sapto, Panduan Investasi Obligasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2003
----------, Sapto, Panduan Investasi Obligasi, Cetakan kedua, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2004
Retnadi, Djoko, dkk, Obligasi Rekapitulasi Perbankan, Geneologi, Masalah dan
Solusi, Jakarta: Masyarakat Profesional Madani, 2005
Rudianto, Dody, Pembangunan dan Perkembangan Bisnis di Indonesia, Perspektif
Pembangunan Indonesia dalam Kajian Pemulihan Ekonomi, Jakarta: Golden
Trayon Press, 2002
Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Hutang, cetakan
ke-2, Bandung: PT. Alumni 1999
Setiadi, A., Obligasi dalam Perspektif Hukum Indonesia, Bandung: P.T.Citra Aditya,
1996
Setiawan, I Ketut Oka, Lembaga Keagenan dalam Perdagangan dan Pengaturannya
di Indonesia, Jakarta: Ind Hill Co, 1996
Sigit Setiawan, Makmun, Belajar dari Pengalaman Jepang dalam Menerbitkan
Obligasi Retail, Bunga Rampai Hasil Penelitian Badan Pengkaji Ekonomi
Keuangan dan Kerjasama Internasional, Jakarta: Bapekki, 2004
-----------------------------, Pengelolaan utang Negara dan Pemulihan Ekonomi, Edisi
Khusus, Departemen Keuangan, Republik Indonesia, Jakarta: Badan
Pengkajian Ekonomi Keuangan dan kerjasama Internasional, 2005
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Sihombing, Jonker, Investasi Asing Melalui Surat Utang Negara di Pasar Modal,
Bandung: P.T.Alumni, 2008
Siregar, Muchtarudin, Pinjaman Luar Negeri dan Pembiayaan Pembangunan di
Indonesia, Jakarta: FEUI, 1991
Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan kesepuluh, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995
---------, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-19, Jakarta: Intermasa, 2002
Subiyantoro, Heru dan Singgig Riphat, Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep, dan
Implementasi, Jakarta: Kompas, 2004
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1982
................. dan Sri Manjui, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
Suhaidi, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana USU
Sulistyastuti, Dyah Ratih, Saham dan Obligasi, Ringkasan Teori dan Soal Jawab,
Yogyakarta: UAJY, 2002
Sumantoro, Hukum Ekonomi, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Gramedia, 1997
Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan
Pemukiman Berkelanjutan, Medan: pustaka bangsa Press, 2003
Tandelilin, Eduardus, Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio, Edisi Pertama,
Yogyakarta: BPFE, 2001
Pangaribuan, Emmy, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, Yogyakarta: FH.
Universitas Gadjah Mada, 1982
Widjaja, Gunawan dan Jono, Penerbitan Obligasi dan Peran Serta Tanggung Jawab
Wali Amanat dalam Pasar Modal, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006
Winardi, Kamus Istilah Ekonomi (Eksiklopedi Mini), Jakarta: P.T.Bina Aksara, 1998
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Wuisman, J.J.J.M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Jakarta: FE UI, 1996
Surat Kabar/Majalah/Makalah dan Jurnal
Agus Supriyanto, Anne L Handayani, Pemesanan Obligasi Retail Capai Rp. 1,9
Triliun, Jakarta: Tempo Interaktif, Kamis, 03 Agustus 2006
Cetak Biru Pembangunan Bidang Ekonomi, Bab IX, hlm.XI-44.
Keith Griffin dan John Enos dalam makalah Umar Juoro, Pertumbuhan Ekonomi,
Investasi dan Pinjaman Luar Negeri.
Memorandum Informasi Obligasi Negara Republik Indonesia, Seri ORI-001, Bab IV,
Jakarta: Departemen Keuangan, 2006
Soepraptomo, Heru, Segi-segi Hukum Obligasi, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23,
No. 1, Tahun 2004,hlm.46.
Siaran Pers, Biro Hubungan Masyarakat (Humas), Departemen Keuangan Republik
Indonesia, Nomor 35/HMS/2006, 27 Juli 2006.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 Tentang Penjualan Obligasi
Negara Ritel di Pasar Perdana
PP No.23 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan
APBD, serta jumlah kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
Surat Menteri Keuangan ke Direksi Bursa Efek Surabaya No. S-20/KMK.017/2001
Tanggal 19 Januari 2001
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Situs Internet
http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=477&_dad=portal30&_schema=PORT
AL30&pared_id=426074&patop_id=009
http://hendrihartopo.info/cetak.php?id=50
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=150333
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21664&cl=Kolom
www.anggaran.depkeu.go.id
www.depkeu.go.id,
www.whitehouse.gov/omb/budget/fy2006/tables.html.
www.dmo.or.id.
Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009
USU Repository © 2008
Download