ANALISIS HUKUM TERHADAP PENERBITAN OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI) TESIS Oleh ELVIRA FITRIYANI PAKPAHAN 077005070/HK S C N PA A S K O L A H E A S A R JA SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 ANALISIS HUKUM TERHADAP PENERBITAN OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI) TESIS Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Oleh ELVIRA FITRIYANI PAKPAHAN 077005070/HK SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : ANALISIS HUKUM TERHADAP PENERBITAN OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI) : Elvira Fitriyani Pakpahan : 077005070 : Ilmu Hukum Menyetujui Komisi Pembimbing (Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum) Anggota Ketua Program Studi (Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota Direktur (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc) Tanggal lulus : 30 Juni 2009 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Telah diuji pada Tanggal 30 Juni 2009 PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Dr. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum 2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 ABSTRAK Kebijakan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla untuk menerbitkan ORI pada bulan juli 2006 dan dilanjutkan pada tahun 2008 merupakan salah satu kebijakan moneter yang dikeluarkan dalam rangka membiayai Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tidak lain merupakan bentuk lain dari Surat Utang Negara yang dijual secara ritel kepada publik, selain itu ORI juga merupakan salah satu potensi pembiayaan untuk mengurangi beban dan risiko keuangan negara di masa yang akan datang. Dengan tetap memperhatikan berbagai macam pertimbangan dan aspek-aspek terkait, baik aspek negatif maupun aspek positifnya. Mengingat, sejarah penerbitan obligasi negara (1950-an) pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno mengalami gagal bayar. Berkaitan dengan hal tersebut, maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana pengaturan penerbitan obligasi negara ritel dalam ketentuan hukum surat utang negara, serta kedudukan dan perlindungan hukum bagi pemegang obligasi negara ritel. Hal ini tidak lain adalah untuk mengetahui seberapa besar jaminan serta perlindungan hukum atas investasi yang telah ditanamkan dalam bentuk obligasi tersebut. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif analisis. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan (library researh). Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yakni primer, sekunder dan tersier. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaturan penerbitan ORI dalam ketentuan hukum Surat Utang Negara menjamin keberadaan obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Artinya pemerintah menjamin dan wajib membayar bunga dan pokok setiap SUN yang jatuh tempo. Kedudukan hukum bagi pemegang obligasi negara ritel pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kreditur konkuren pada perjanjian utang piutang yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan pembayarannya dari kreditur-kreditur lainnya apabila pemerintah wanprestasi. Perlindungan hukum bagi pemegang obligasi negara ritel adalah berdasarkan UU SUN dan berdasarkan perjanjian pinjam meminjam uang antara pemerintah dengan investor. Kata Kunci: Penerbitan, Obligasi Negara ritel. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 ABSTRACT Governance’s decision of President of Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla to publish the ORI at July 2006 and continued in the year 2008 representing one of monetary policy released in order to closing over General Revenues and Expenditure Budget (APBN) deficit which not dissimilar representing form is differ from Letter Owe the State sold by retail to public and as well as representing one of defrayal potency to lessen the burden and risk of state's finance in the future. Fixed pay attention to assorted of relevant aspect and consideration, goodness of negative aspect and also positive aspect. Considering, history of publication of state obligation (1950) at a period of Governance of President Soekarno experience of to fail payee. In relation to the above condition, hence becoming problems is how arrangement of publication of Obligation of State Retail in legal rule the owe letter of state, and also domicile and legal protection for handle of Obligation of State Retail. This matter none other than to know how big guarantee and also legal protection for investment which have been inculcated in the form of the obligation. This normative legal study analyzes the research problems through a legal principle approach and refers to the legal norms found in the legislation. To collect the data in this thesis conducted with the research having the character of descriptive analyze the. The secondary data used in this study were obtained through library research. As for secondary data obtained library research from consisted of by 3 substance punish namely primary, secondary and tertiary. The result of this study reveals that the arrangement of publication ORI in legal rule the Letter Owe the State guarantee the obligation existence published by Government Republic of Indonesia. Its meaning is governmental guarantee and obliged to pay the flower and fundamental each SUN which fall due. The legal statue for handle of Obligation of State Retail basically do not far differ from the concurrent creditor at agreement of receivable and liability which have no right to prioritize its payment from other creditor if government wanprestasi. The legal protection for handle of Obligation of State Retail is pursuant to UU SUN and pursuant to agreement of money loan between of government with investor. Keyword: Publication, Obligation of State Retail. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang maha pengasih dan maha penyayang atas ridhonya Penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI). Dalam penulisan tesis ini disadari sepenuhnya, bahwa penulisan karya tulis yang baik diperlukan pengetahuan dan pengalaman yang cukup yang didukung bahan dan materi yang cukup pula. Oleh sebab itu, dalam penyajian tesis ini masih jauh dari sempurna dan untuk itu dengan tangan terbuka diharapkan saran dan masukan yang membangun dari semua pihak demi perbaikan dan kesempurnaan tesis ini. Dalam penyelasaian tesis ini, mulai saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan segala kerendahaan hati dan ketulusan hati, diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH., Dr. T. Keizerina Devi A., SH., CN., M.Hum., Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., yang di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktu dan penuh perhatian untuk memberikan bimbingan, petunjuk dan mendorong semangat Penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Dan kepada Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH., dan Dr. Mahmul Siregar, SH., MHum, selaku dosen penguji yang telah banyak memberi masukan dan arahan. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Disampaikan juga rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada : 1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(k)., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister. 2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., atas kesempatan menjadi mahasiswi Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH, atas segala arahan dan dorongan yang diberikan selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Para dosen, staf pengajar dan seluruh pegawai di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam kesempatan yang berbahagia ini, dihaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua, ayah Dr. H. M. Effendi Pakpahan, SE, MM, dan ibu Rasmi Pohan yang telah melahirkan dan membesarkan dengan penuh kasih sayang, pengorbanan dan segala doa yang tiada terputus, yang tiada terbalaskan sampai kapanpun. Dan kepada bapak dan ibu mertua penulis Abdul Chair dan Suyati yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis. Ucapan terima kasih juga dipersembahkan kepada yang teristimewa, tersayang dan tercinta suami penulis Suryo Idhianto, ST yang telah setia dan sabar menemani dan terus memberikan motivasi, semangat dan dorongan kepada penulis. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Kepada kakak-kakak penulis, Erma Bahagia Pakpahan, SE, MM, dr. Emi Memori Pakpahan, Eka Lolita Eliyanti Pakpahan, SKM, Enni Halimahtussa’diah Pakpahan, S.pd, M.Pd, abang penulis Erizal Yusuf Pakpahan dan adik-adik penulis Emir Syarif Fatahillah Pakpahan, Edwin Dasaputra Pakpahan, dan Eki Miftah Akbar Pakpahan, terima kasih yang tak terhingga karena senantiasa memberikan semangat kepada penulis. Akhir kata, hanya dapat dimohon semoga segala sesuatu yang telah diberikan akan memperoleh balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT dan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Medan, Juni Penulis, 2009 Elvira Fitriyani Pakpahan Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 RIWAYAT HIDUP Nama : Elvira Fitriyani Pakpahan Tempat, Tanggal Lahir : Rantau Prapat, 04 Juli 1984 Jenis kelamin : Perempuan Agama : Islam Pendidikan : SD Negeri 112134 Rantau Prapat (1996) MTS Negeri Rantau Prapat (1999) MAL IAIN SU Medan (2002) Fakultas Syari’ah IAIN SU Medan (2006) Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU (2009) Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ……………………………………………………………………. i ABSTRACT …………………………………………………………………… ii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... vi DAFTAR ISI …………………………………………………………………. vii DAFTAR SKEMA ............................................................................................ ix BAB I : PENDAHULUAN …………………………………………………… 1 A. Latar Belakang ……………………………………………………. 1 B. Permasalahan ...........………………………………………………. 10 C. Tujuan Penelitian …………………………………………………. 10 D. Manfaat Penelitian ………………………………………………… 11 E. Keaslian Penelitian ……………………………………………….. 11 F. Kerangka Teori dan Konsepsi ……………………………………. 12 G. Metode Penelitian ………………………………………………… 20 1. Sifat Penelitian ………………………………………………… 21 2. Sumber Data ………………………………………………….. 21 3. Tekhnik Pengumpulan Data ………………………………….. 22 4. Alat Pengumpulan Data ………………………………………. 22 5. Analisis Data …………………………………………………. 23 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 BAB II : PENGATURAN PENERBITAN OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI) DALAM KETENTUAN HUKUM SURAT UTANG NEGARA ........ 24 A. Pengaturan Penerbitan Obligasi Negara Ritel .................................... 24 B. Karakteristik Obligasi ........................................................................ 33 1. Obligasi sebagai Surat Berharga ……………………………… 41 2. Obligasi sebagai Surat Pengakuan Hutang ……………………… 48 BAB III : KEDUDUKAN HUKUM PEMEGANG OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI) ................................................... 51 A. Peranan Obligasi Negara Ritel terhadap Ekonomi Nasional ............. 51 B. Mekanisme Transaksi Obligasi Negara Ritel ……………………… 63 C. Kedudukan Hukum bagi Pemegang Obligasi Negara Ritel (ORI) ...... 75 BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI) .......................... 81 A. Surat Utang Negara sebagai Sumber Pembiayaan Pembangunan Ekonomi................................................. 81 B. Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Obligasi Negara Ritel ..... 93 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 103 A. Kesimpulan ....................................................................................... 103 B. Saran ................................................................................................. 104 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 106 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 DAFTAR SKEMA No Judul Halaman 1 Skema Penerbitan ORI ............................................................. 65 2 Skema Perdagangan ORI di Pasar Sekunder ............................ 73 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia yang diamanatkan oleh konstitusi harus dilaksanakan dengan segenap potensi yang ada di masyarakat. Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang telah diamandemen menyebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pasal 2 ayat (1) UndangUndang (UU) No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa pembangunan harus diselenggarakan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kemandirian. Pembangunan ekonomi nasional harus diupayakan atas dasar kekuatan sendiri sehingga pembangunan tersebut dapat terlaksana secara berkelanjutan. 1 Dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan citacita dan tujuan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, maka perlu ditingkatkan kemampuan serta kemandirian untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional secara berkesinambungan dengan bertumpu pada kekuatan masyarakat. Selain itu jika diperhatikan tingkat pertumbuhan serta mobilisasi dana melalui pasar keuangan pada 1 Sumantoro, Hukum Ekonomi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), hlm. 5. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 saat ini, sesungguhnya telah merefleksikan upaya partisipasi masyarakat secara optimal dalam program pembiayaan pembangunan nasional melalui mekanisme pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Keberhasilan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan oleh adanya, (1) kemandirian bangsa untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional secara berkesinambungan dengan bertumpu pada kekuatan masyarakat, (2) partisipasi masyarakat secara optimal dalam program pembiayaan pembangunan nasional melalui mekanisme pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dapat dipertanggung jawabkan, (3) kepastian hukum kepada pemodal dan komitmen pemerintah untuk mengelola sektor keuangan yang transparan, professional, dan bertanggung jawab. 2 Pemerintah Indonesia telah beberapa kali menerbitkan Obligasi pemerintah yang sampai saat ini masih mendapatkan perhatian yang cukup besar dari para investor. Hal ini terbukti dengan selalu terjadinya oversubscribed 3 setiap kali obligasi pemerintah dijual di pasar perdana. Dilihat dari sisi kepemilikannya, sebagian obligasi pemerintah saat ini ternyata lebih banyak dimiliki oleh lembaga-lembaga 2 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara, Bagian Umum. 3 Indonesia Legal Center Publishing, Kamus Hukum, Cetakan kedua, (Jakarta: CV.Karya Gemilang, 2008). Oversubscribed (emisi laris) adalah istilah pertanggungan yang menjelaskan emisi saham/obligasi baru dengan lebih banyak pembeli dari pada saham/obligasi yang tersedia. Suatu emisi yang laris atau overbooked, seringkali melonjak harganya begitu saham/obligasinya dipasarkan. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 finansial dan hanya sedikit saja yang dimiliki oleh investor-investor individual. 4 Hal itu tidak bisa dipungkiri karena alasan munculnya obligasi negara pada tahun 1997 itu juga dipicu oleh upaya pemerintah merekapitalisasi industri perbankan yang dalam kondisi ‘kesulitan’. 5 Fenomena ini mendapat banyak tanggapan dari kalangan ekonom maupun birokrat. Ada dua kelompok pemikir yang memiliki dua pendapat yang berbeda mengenai fenomena ini. Kelompok pertama cenderung melihat hal ini sebagai suatu hal yang sangat wajar dan tidak perlu disiasati karena memang tujuan utama dari penerbitan obligasi tersebut adalah untuk mendapatkan dana segar dari investor domestik maupun internasional tanpa mempersoalkan siapa yang akan membeli obligasi tersebut. Kelompok kedua lebih melihat kepada distribusi kepemilikan obligasi sebagai hal yang tidak kalah pentingnya dari penyerapan obligasi itu sendiri. Kelompok ini cenderung berpendapat bahwa semakin terdistribusinya kepemilikan obligasi pemerintah semakin kuat pula posisi obligasi tersebut sebagai alat ukur investasi (investment benchmark) di Indonesia. Lebih jauh lagi, dengan meratanya kepemilikan obligasi oleh masyarakat menyiratkan kepedulian pemerintah dalam memberikan akses yang lebih luas bagi masyarakat terhadap asset-aset pemerintah. Dalam perkembangannya, hingga saat ini tekanan kelompok pemikir kedua menjadi cukup 4 Adi Cahyadi, Jalur Distribusi dan Promosi Surat Utang Negara Versi Retail : Kasus Pemerintah Daerah Khusus Hong Kong, Bunga Rampai Hasil Penelitian Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasioanal, (Jakarta: Bapekki, 2004), hlm. 96. 5 Suli Murwani, SUN Ritel Jangan Sampai Mengecewakan, http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=477&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&pared_id= 426074&patop_id=009. Diakses tanggal 9 Februari 2009. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 kuat dalam mendorong pemerintah untuk menerbitkan obligasi pemerintah dalam bentuk ritel yang pada akhirnya mengeluarkan Obligasi Negara Ritel (ORI) dengan nomor seri ORI-001. 6 Kebijakan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla untuk menerbitkan ORI pada bulan Juli 2006 dan dilanjutkan pada tahun 2008 merupakan salah satu kebijakan moneter yang dikeluarkan dalam rangka menutupi Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tidak lain merupakan bentuk lain dari Surat Utang Negara (SUN) 7 yang dijual secara ritel kepada publik, selain itu ORI juga merupakan salah satu potensi pembiayaan untuk mengurangi beban dan risiko keuangan negara di masa yang akan datang, dari pada terus-menerus mengandalkan ketergantungan bangsa akan hutang luar negeri yang terus menumpuk. Fakta yang ada saat ini menunjukkan bahwa penerbitan ORI seri ORI-001 tersebut disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat dan para pelaku bisnis di Indonesia. Target indikatif penjualan ORI seri ORI-001 sebesar Rp.2 triliun sudah tercapai dalam waktu yang sangat singkat, 8 bahkan sampai dengan tanggal 7 Agustus 2006 Departemen Keuangan telah menyerap seluruh pesanan ORI seri ORI-001 senilai Rp.3,283 triliun. Sebagian besar investor tersebut berdomisili di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, yakni sekitar 62,2 persen dari total pesanan, selebihnya tersebar di Daerah 6 Adi Cahyadi, op.cit., hlm. 97. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokok oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002, Pasal 1 butir 1. 8 Agus Supriyanto, Anne L Handayani, Pemesanan Obligasi Retail Capai Rp1,9 Triliun, (Jakarta: Tempo Interaktif), Kamis, 03 Agustus 2006. 7 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Sedangkan menurut data yang berasal dari Dirjen Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan, dari total 17.403 pesanan investor, sebanyak 23,83 persen berasal dari golongan Pegawai Swasta. Selebihnya, sebagian investornya adalah meliputi 17,03 persen berasal dari golongan ibu rumah tangga, golangan Wiraswasta sebesar 17,08 persen, golongan Pegawai Negeri Sipil sebesar 16,21 persen, golongan TNI dan Polri sebesar 0,63 persen, dan sisanya sebesar 25,22 persen adalah investor yang berasal dari berbagai golongan profesi. 9 Hal ini sesungguhnya telah merefleksikan bahwa kredibilitas pemerintah pada saat ini cukup menggembirakan, dimana masyarakat percaya sepenuhnya untuk melakukan investasi dalam bentuk obligasi tersebut. Selain itu, secara tidak langsung masyarakat juga telah ikut berperan serta dalam rangka membiayai pembangunan nasional. 10 Melihat sejarahnya, penerbitan ORI sebenarnya bukan hal yang baru bagi bangsa Indonesia, karena pada tahun 1950-an pemerintah pada masa Presiden Soekarno juga pernah menerbitkan ORI dengan bunga 3% per tahun. Obligasi ini juga diperdagangkan di bursa saham Jakarta, namun pembayaran obligasi ini menjadi kacau-balau karena pemerintah pada waktu itu tidak memiliki cukup uang. Harga obligasi ini juga menjadi sangat rendah sejak pemerintah melakukan kebijakan 9 Hendri Hartopo, Investor Jakarta Borong ORI-001, Penerbitan Obligasi Ritel Diupayakan Berkala, http://hendrihartopo.info/cetak.php?id=50. Diakses tanggal 09 February 2009. 10 Hendri Hartopo, Ibid., Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 devaluasi 11 atas rupiah pada tahun 1966, dimana nilai Rp. 1.000,00 dipangkas menjadi Rp. 1,00. 12 oleh karena itu pengambilan keputusan oleh pemerintah untuk menerbitkan ORI pada saat ini membutuhkan waktu yang tidak singkat. Penerbitan ORI tersebut tentunya juga telah memperhatikan berbagai macam pertimbangan dan aspek-aspek terkait, baik dari aspek negatif maupun aspek positifnya. Dari sisi hukum sendiri, hal ini tentunya sangat terkait langsung dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara yang dijadikan sebagai payung hukum bagi para investor dan juga beberapa Peraturan Perundangan pendukung lainnya. Pelaku pasar keuangan sangat berkepentingan terhadap informasi tentang arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tercermin dalam APBN, mengingat implikasi kebijakan tersebut terhadap minat dan kesempatan investasi di pasar keuangan domestik. Persepsi pasar akan sangat tergantung pada konsistensi tindakan pemerintah dalam menjalankan kebijakan tersebut. Di samping itu, para pemodal membutuhkan adanya kepastian hukum dan jaminan adanya pengelolaan pasar keuangan yang profesional dan berstandar internasional. Keberadaan Undang-Undang SUN dan peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana adalah untuk memberikan 11 Winardi, Kamus Istilah Ekonomi (Ensiklopedi Mini), (Jakarta: P.T.Bina Aksara, 1988), hlm.109. Devaluation (devaluasi) adalah menurunnya nilai mata uang suatu Negara terhadap emas dan/atau mata uang Negara lain. 12 Jasso Winarto, Analisis Pasar Modal Penerbitan ORI Bisa Gairahkan Investasi, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=150333. Diakses tgl 9 februari 2009. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 kepastian hukum kepada para pemodal atas komitmen pemerintah untuk memenuhi kewajiban keuangan serta penyelenggaraan manajemen Surat Utang Negara (SUN) secara lebih transparan, profesional dan lebih bertanggung jawab. Kepastian hukum bagi dunia usaha merupakan hal yang sangat penting pada saat ini karena setiap investor pada dasarnya menginginkan keamanan dari investasi yang telah dilakukannya. “Bagi dunia usaha yang sering menghadapi banyak tantangan dan risiko, adanya jaminan kepastian hukum amatlah penting. Adanya perangkat perundang-undangan yang jelas, transparan, ...., akan memberikan peluang bagi siapa saja anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan usaha...” 13 Selain itu, sejak tahun 2001 Pemerintah Indonesia melalui kementeriannya telah melakukan beberapa penelitian dan studi banding di beberapa Negara Maju dan Berkembang lainnya, di antaranya adalah Negara Jepang, Hongkong, Filiphina dan Negara-Negara lainnya yang dianggap telah berhasil menjual Obligasi Ritel Pemerintah (Ritail Government Bond), sebagai acuan Pemerintah dalam menjual Obligasi Negara Ritel di Indonesia. Secara umum Surat Utang Negara digolongkan sebagai investasi bebas resiko (risk free investment). Secara khusus digolongkannya Surat Utang Negara sebagai investasi bebas resiko dikaitkan dengan keberadaan jaminan dari pihak pemerintah untuk pembayaran kembali pokok beserta bunga pada saat jatuh tempo. Meskipun merupakan jaminan dari pihak pemerintah, hal itu tidak dapat disamakan dengan 13 Dody Rudianto, Pembangunan dan Perkembangan Bisnis di Indonesia, Perspektif Pembangunan Indonesia dalam Kajian Pemulihan Ekonomi, (Jakarta: Golden Trayon Press, 2002), hlm. 63. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 penanggung menurut KUHPerdata tetapi hanya merupakan janji/komitmen dari pemerintah untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya yang berkenaan dengan Surat Utang Negara. 14 Surat Utang Negara juga menjadi rujukan (benchmark) bagi instrumen surat Utang Negara lainnya yang diperdagangkan di pasar modal. 15 Pemerintah menyadari bahwa keberadaan Ritel Government Bond (RGB) di Indonesia sangat mendesak, hal ini dapat dilihat dari; (i) peran surat utang Negara (SUN) sebagai instrument pembiayaan dalam kebijakan keuangan Negara yang semakin meningkat, (ii) kebutuhan untuk meningkatkan kredibilitas SUN sebagai benchmark investasi di Indonesia melalui perluasan kepemilikan SUN di kalangan penduduk. 16 Kredibilitas pemerintah merupakan unsur yang sangat penting untuk menjadikan Obligasi Pemerintah sebagai benchmark bagi kegiatan investasi jangka panjang di Indonesia. Untuk mewujudkan benchmarking sebagaimana dimaksud tersebut antara lain diperlukan manajemen portofolio utang yang tepat, sehingga riskfree yang melekat pada Obligasi Pemerintah dapat diakui sepenuhnya oleh para investor. 17 Terlepas dari beberapa kepentingan Pemerintah untuk menutupi Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahunnya melalui penerbitan Surat 14 Jonker Sihombing, Investasi Asing Melalui Surat Utang Negara, (Bandung: P.T.Alumni, 2008), hlm.8. 15 Sapto Rahardjo, Panduan Investasi Obligasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.118. 16 Makmun, Sigit Setiawan, Belajar dari Pengalaman Jepang dalam Menerbitkan Obligasi Retail, Bunga Rampai Hasil Penelitian Badan Pengkaji Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional, (Jakarta: Bapekki, 2004), hlm. 32. 17 Ibid, hlm. 32-33. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Utang Negara (SUN) yang berupa Obligasi Negara Ritel (ORI) tersebut, yang dianggap perlu dan sangat penting bagi masyarakat saat ini adalah pengetahuan mengenai pengaturan penerbitan obligasi Negara ritel dalam ketentuan hukum surat utang negera di Indonesia serta tentang kedudukan dan perlindungan hukum bagi para pemegang obligasi Negara ritel. Hal ini tidak lain adalah untuk mengetahui seberapa besar jaminan keamanan serta perlindungan hukum atas investasi yang telah ditanamkan dalam bentuk Obligasi tersebut, karena tidak menutup kemungkinan kejadian gagal bayar Obligasi Negara pada masa pemerintahan Presiden Soekarno kembali terulang. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tesis dengan mengangkat judul “Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI)”. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI) dalam ketentuan hukum surat utang negara di Indonesia? 2. Bagaimanakah kedudukan hukum bagi pemegang Obligasi Negara Ritel (ORI)? 3. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pemegang Obligasi Negara Ritel (ORI)? C. Tujuan Penelitian Pada dasarnya tujuan penelitian adalah untuk mencari pemahaman yang benar tentang masalah yang dirumuskan. Lebih rinci tujuan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Penelitian ini dilakukan guna memperoleh informasi secara lebih detail mengenai pengaturan penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI) dalam ketentuan hukum surat utang negara di Indonesia. 2. Selain dasar hukumnya, penelitian ini juga bertujuan untuk memperoleh gambaran secara mendasar dan juga komprehensif tentunya mengenai kedudukan hukum bagi para pemegang Obligasi Negara ritel (ORI). 3. Mempelajari, meneliti dan menganalisis mengenai perlindungan hukum bagi pemegang Obligasi Negara Ritel (ORI). Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 D. Manfaat Penelitian Ditetapkannya permasalahan-permasalahan, maka diharapkan akan membawa sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis, sehubungan dengan itu, penelitian ini setidaknya bermanfaat untuk: 1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berpikir dalam memahami, mengerti dan mendalami permasalahan hukum, khususnya dalam hukum bisnis mengenai diterbitkannya Obligasi Negara Ritel. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan bagi penelitian lanjutan dan dapat memperkaya khazanah kepustakaan, khususnya dalam studi hukum bisnis. 2. Secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini bisa digunakan oleh masyarakat agar mulai berpikir mengenai aspek legalitas dan safety dari investasi yang ditanamkan selama ini, khususnya pada obligasi-obligasi milik pemerintah seperti halnya Obligasi Negara Ritel (ORI). E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi yang ada penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI) belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Walaupun ada beberapa kesamaan dalam membahas topik tentang obligasi, misalnya Penerapan Ketentuan Transparansi Prospektus Penjualan Obligasi PTPN III dan Prinsip Mudharabah Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 terhadap Obligasi dalam Pasar Modal Syariah. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya ini tentunya sangat berbeda dengan penelitian yang penulis tulis dalam penelitian ini baik pada pendekatan rumusan masalah maupun pendekatan topik penelitian. Sehingga penulisan penelitian ini dapat dikatakan asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat dipertanggung jawabkan. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukan ketidakbenarannya. 18 Kelangsungan perkembangan ilmu hukum senantiasa bergantung pada unsurunsur antara lain : metodologi, aktivitas penelitian imajinasi sosial dan juga sangat ditentukan oleh teori. 19 Pembangunan ekonomi sangat memerlukan sarana dan pranata hukum agar hasilnya benar-benar dapat mencapai tujuannya sesuai dengan yang direncanakan. 20 18 J.J.J.M.Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas (Jakarta: FE UI, 1996), hlm. 203. -Bandingkan M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung: CV Mandar Maju, 1994), hal.27. Menyebutkan bahwa ”Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.” 19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1982), hlm. 6. 20 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: P.T. Alumni,1991), hlm.30. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Hukum dan ekonomi merupakan dua sistem dari sistem kemasyarakatan yang saling berintegrasi satu sama lainnya. Teori hukum yang berkenaan dengan pembangunan ekonomi erat kaitannya dengan ajaran yang melihat adanya hubungan yang erat antara hukum dengan masyarakat. Roscue Pound Jurisprudence menyebutkan bahwa peranan hukum dalam pembangunan ekonomi adalah sebagai a tool of social engineering. 21 Pemikiran hukum sebagai a tool of social engineering selanjutnya dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai teori hukum yang sesuai dengan pembangunan di Indonesia, setelah disesuaikan dengan kondisi riil yang ada di masyarakat. Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sebenarnya telah hidup di masyarakat adat Indonesia di beberapa daerah jauh sebelumnya, hanya hal tersebut tidak pernah diangkat ke permukaan dan tidak memperoleh publikasi yang luas. 22 Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat didasarkan pada anggapan bahwa adanya keteraturan dan ketertiban dalam proses pembangunan merupakan sesuatu hal yang diinginkan dan dianggap perlu. 23 Hal ini berkaitan pula dengan hukum yang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana bagi pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan masyarakat ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan tersebut. Pada umumnya, pendapat yang menyatakan bahwa hukum 21 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan Karya Tulis, (Bandung: P.T. Alumni, 2002), hlm.14. Romli Atmasasmita menyebutkan fungsi hukum sebagai “a tool of beuraucratic and social engineering”, yang melihat fungsi hukum sebagai saran pembaharuan sekaligus dapat menciptakan harmonisasi antara elemen birokrasi dan elemen masyarakat ke dalam satu wadah. Lihat Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm.19-20. 22 Ibid., hlml.79-80. 23 Ibid, hlm.88. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 merupakan sarana pembaharuan dalam pembangunan nasional telah dapat diterima oleh sebagian besar kalangan di Indonesia pada saat ini. Satjipto Rahardjo menyitir kembali teori hukum pembangunan yang digagas oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan menyebutkan bahwa hukum dapat diterima sebagai sarana pembaharuan masyarakat didasarkan pada kenyataan bahwa hukum dapat digolongkan sebagai faktor penggerak awal, yakni yang memberikan dorongan pertama secara sistematis ke arah pembaharuan yang dimaksud. 24 Sebagai faktor penggerak awal, peranan hukum sedemikian strategis karena menjadi lokomotif yang menarik gerbong kereta bagi pembangunan di bidang-bidang lainnya. Kepastian hukum merupakan syarat untuk melahirkan ketertiban. Untuk mencapai ketertiban hukum diperlukan adanya keterarutan dalam masyarakat. Hukum diartikan sebagai tata hukum atas hukum positif tertulis. 25 Keberlakukan hukum di tengah masyarakat bukan lagi untuk mencapai keadilan semata, tetapi juga harus memberikan kepastian. Kepastian hukum diharapkan dapat menjadi pedoman, baik bagi masyarakat maupun bagi aparatur hukum dalam mengambil keputusan. 26 Sociological Jurisprudence: Eugen Ehrlich mengatakan, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Menunjukkan kompromi antara hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum dengan living law sebagai wujud penghargaan 24 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), hlm.99. Suhaidi, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, hlm. 8. 26 Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU. 25 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum. 27 Aktualisasi dari living law, hukum tidak dilihat dari wujud sebagai kaidah, melainkan hukum terdapat dalam masyarakat itu sendiri. Pada kenyataan hukum adalah kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books. a. Obligasi Perkataan Obligasi berasal dari bahasa Belanda “obligatie” yang secara harfiah berarti hutang atau kewajiban. Selain itu, obligasi masih dalam bahasa Belanda dapat berarti pula suatu hutang (schuldrief). Dalam pengertian surat hutang ini, obligasi dalam terminology hukum Belanda kerap disebut pula dengan istilah obligasi “obligatie lening”, yang berarti secarik bukti pinjaman uang yang dikeluarkan oleh suatu perseroan atau badan hukum lain yang dapat diperdagangkan dengan cara menyerahkan surat tersebut. Obligasi merupakan salah satu jenis efek. Di Indonesia yaitu dalam UndangUndang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, Efek didefenisikan sebagai berikut: ”Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti hutang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivative dari efek.” Dalam bahasa Inggris obligasi disebut dengan istilah ”bond”. Dalam Dictionary of Accounting, 28 bond diartikan sebagai ”a written contract evidencing a 27 Suhaidi, Op.cit., Estes, Ralph, Dictionary of Accounting, MIT Press, Massachussets, USA. Dalam A. Setiadi, Obligasi dalam Perspektif Hukum Indonesia, (Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.2. 28 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 long term, interest-bearing loan”. Sedangkan menurut Law Dictionary, 29 bond diartikan sebagai “evidence of debt”. Selain itu dalam kamus yang sama, bond dapat berarti pula: “Obligation of state its subdivision, or a private corporation, represented by certificate for principal and detachable coupons for current interest; includes all interest-bearing obligations of persons, firms or corporation”. Kedua pengertian bond di atas adalah sesuai dengan yang disebut dan dimaksud sebagai obligasi dalam penelitian ini. Di Negara-Negara Anglo-Amerika, bond termasuk dalam pengertian securities yang kurang lebih pengertiannya sama dengan effecten atau efek sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya. Namun demikian, hendaknya tidak terkecoh dengan istilah bond, sebab dalam bahasa Inggris, bond tidak selalu berarti obligasi seperti yang dimaksudkan di atas, tetapi dapat pula berarti ”a cash or property deposit made to guarantee performance”, jadi bond di sini bukanlah berarti suatu surat hutang lagi melainkan suatu “written instrument with sureties” yang dimaksudkan untuk “guaranteeing faithful performance of acts or duties”. Bond dalam pengertian yang terakhir ini misalnya ialah performance bond atau surety bond yang biasa digunakan sebagai jaminan atas pelaksanaan suatu pekerjaan seperti pekerjaan pemborongan. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tidak memberikan definisi mengenai obligasi, tetapi pengertian obligasi dapat ditemukan pada peraturan perundang-undangan lain yang menyatakan sebagai berikut: 29 Giffis, Steven H, Law Dictionary, Barron’s Educational Series Inc, Woodbury, 1975. dalam Ibid. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 “Obligasi ialah bukti hutang emiten yang mengandung janji pembayaran bunga atau janji lain serta pelunasan pokok pinjamannya dilakukan pada tanggal jatuh tempo, sekurang-kurangnya 3 tahun sejak tanggal emisi”. b. Perikatan Dasar Obligasi Pada prinsipnya, obligasi merupakan bukti atas suatu prestasi dari penerbit kepada pemegangnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antara penerbit dan pemegang obligasi terdapat suatu perikatan. Sehingga pada pihak penerbit timbul suatu kewajiban untuk melakukan suatu prestasi. 30 Dalam hal ini akan muncul pertanyaan mengenai bentuk perikatan yang terjadi antara penerbit dan pemegang obligasi. Dari uraian di atas, disinggung bahwa suatu hutang (schuld) atau suatu prestasi dapat ditimbulkan dari perikatan apa saja. Penjual mempunyai kewajiban berprestasi untuk menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli. Demikian pula si peminjam uang mempunyai kewajiban berprestasi untuk mengembalikan jumlah yang dipinjamnya kepada si kreditur. Di sini terlihat bahwa hutang dalam pengertian hukum sangatlah luas. Obligasi merupakan tanda bahwa seorang turut serta dalam meminjamkan uang kepada perseroan bersama-sama lain-lain orang secara menerima tanda piutang dari perseroan. 31 Dari pendapat Wirjono ini dapat dilihat bahwa hubungan antara penerbit dan pemegang obligasi adalah pinjam meminjam uang. 30 Setiadi, Obligasi dalam Perspektif Hukum Indonesia, (Bandung: P.T.Citra Aditya, 1996), hlm.7. 31 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkumpulan, Perseroan dan Koperasi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), hlm.70. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Penerbit meminjam uang kepada pemegang obligasi sehingga timbul kewajiban dari penerbit untuk mengembalikan uang yang dipinjamkannya kepada pemegang obligasi. Atas kewajiban atau prestasinya tersebut, penerbit menerbitkan surat yang disebut surat obligasi sebagai bukti atas prestasi yang wajib dilakukannya. c. Perikatan Pinjam Meminjam Uang Terhadap hubungan penerbit dan pemegang obligasi ini berlaku ketentuanketentuan Pasal 1754-1769 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang pinjam meminjam pada umumnya. Dalam Pasal 1754 KUH Perdata disebutkan bahwa pinjam meminjam ialah: “Persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”. Penafsiran ini kemudian diperkuat lagi oleh ketentuan Pasal 1765 KUH Perdata yang memperbolehkan pinjam meminjam (uang) dengan bunga, yaitu sebagai berikut: “adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau barang lain yang habis karena pemakaian”. Dengan demikian jelaslah bahwa dari segi yuridis perikatan dasar antara penerbit dan pemegang obligasi adalah perikatan pinjam meminjam uang atau hutang piutang. Pada perikatan obligasi, penerbit obligasi meminjamkan kepada para pemegang obligasi sejumlah uang, yaitu senilai nominal obligasi yang bersangkutan dan berjanji akan membayar sejumlah bunga serta mengembalikan uang tersebut pada saat jatuh tempo obligasi. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 2. Landasan Konsepsi Berikut ini adalah defenisi operasional dan istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: a. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. 32 b. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk pertama kali. 33 c. Obligasi Negara adalah Surat Utang Negara berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. 34 d. Obligasi Negara Ritel adalah Obligasi Negara yang dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia melalui agen penjualan.35 e. Agen Penjual adalah bank dan atau perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan Penjualan Obligasi Negara Ritel. 36 f. Pihak adalah individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia yang akan membeli Obligasi Negara Ritel. 37 32 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, Pasal 1 butir (1). Ibid., butir (2). 34 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana, Pasal 1 butir (1). 35 Ibid, Pasal 1 butir (4). 36 Ibid, butir (5). 37 Ibid, butir (6). 33 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 g. Penjatahan adalah penetapan alokasi Obligasi Negara Ritel yang diperoleh setiap pemesan sesuai dengan hasil penjualan Obligasi Negara Ritel.38 G. Metode Penelitian Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 39 Soerjono Soekanto mengatakan menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut: 1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan 3. Cara tertentu untuk melaksanakan prosedur 40 Istilah metode berasal dari bahasa Yunani dari asal kata Methodos yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. 41 Pengumpulan data dengan cara deskriptif dilakukan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 38 Ibid, butir (9). Jhony Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm.4. 40 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm.5. 41 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penellitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.16. 39 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, di mana jenis penelitian yang bertujuan melukiskan permasalahan hukum 42 yaitu penelitian ini hanya menggambarkan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.43 2. Sumber Data Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. 44 Dari sudut informasi, maka bahan pustaka dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut: 45 a. Bahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dan merupakan landasan utama untuk dipakai dalam rangka penelitian ini, yaitu Undang-Undang No.24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan objek penelitian. 42 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.16. Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.17. 44 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2004), hlm.122. 45 Soejono Soekanto dan Sri Manjui, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.13. 43 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 b. Bahan hukum sekunder, bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek telaah penelitian ini. c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan jurnal-jurnal ilmiah. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan karya ilmiah lainnya. 4. Alat Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumen. Pada tahap awal pengumpulan data dilakukan inventaris seluruh data dan atau dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan permasalahan yang telah ditetapkan. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 5. Analisis Data Analisis merupakan hal terpenting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, maka dilakukan pengklasifikasian data, kemudian data disusun secara sistematis untuk mempermudah proses analisa. Analisa data dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Selanjutnya ditarik suatu kesimpulan yang bersifat deduktif sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti. Menurut Lexy J. Moleong, analisa data kualitatif ini adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. 46 46 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.248. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 BAB II PENGATURAN PENERBITAN OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI) DALAM KETENTUAN SURAT UTANG NEGARA A. Pengaturan Penerbitan Obligasi Negara Ritel Pada tanggal 9 Agustus 2006, untuk pertama kalinya Pemerintah menerbitkan Obligasi Negara berbasis ritel, atau disebut sebagai Obligasi Negara Ritel (ORI) dengan seri ORI-001. ORI adalah Obligasi Negara yang dijual kepada individu atau perseorangan Warga Negara Indonesia melalui Agen Penjual di pasar perdana. Penerbitan ORI-001 merupakan salah satu upaya untuk melaksanakan Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun 2005 – 2009 yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 447/KMK.06/2005 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2005-2009. Di dalam dokumen strategi dimaksud ditetapkan bahwa pengembangan pasar sekunder SUN dilakukan antara lain dengan melakukan diversifikasi instrumen SUN melalui SUN Ritel yang mana hal ini sejalan pula dengan upaya memperluas basis investor. Penerbitan ORI merupakan langkah nyata Pemerintah dalam melaksanakan strategi dimaksud. Selain itu, ORI diterbitkan juga dalam rangka memberikan alternatif investasi yang cukup menguntungkan dan aman bagi investor individu, serta memberikan unsur pendidikan bagi investor individu untuk berinvestasi pada instrumen pasar modal seperti ORI. Selama ini investor individu umumnya menyimpan dananya pada instrumen investasi berupa tabungan atau deposito yang notabene instrumen pasar uang. Terlebih dengan belum pulihnya kepercayaan masyarakat umum pada industri reksadana. ORI001 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 jatuh tempo pada tanggal 9 Agustus 2009 atau memiliki umur 3 tahun, tingkat kuponnya 12,05% yang dibayar bulanan, dan dapat diperjualbelikan. 47 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara Untuk menjamin keberadaan Obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Surat Utang Negara (SUN), maka sejak tanggal 22 Oktober 2002 Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara. Pengesahan Undang-Undang tersebut menjadi hal yang sangat penting dan paling dinanti oleh para investor, baik oleh investor asing maupun investor domestik. Dasar pertimbangan Pemerintah pada saat menyusun dan mengesahkan undang-undang tersebut adalah dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan nasional guna mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dalam konteks kemandirian bangsa, potensi yang tersedia di dalam negeri harus dioptimalkan untuk melaksanakan kegiatan ekonomi dan membiayai kegiatan pembangunan. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah perlu diberikan peluang untuk meningkatkan akses yang dapat menggali potensi sumber pembiayaan pembangunan dan memperkuat basis pemodal domestik. Pembiayaan tersebut akan terjamin keamanannya apabila mobilisasi dana masyarakat disertai dengan 47 Laporan Pertanggung Jawaban Pengelolaan Surat Utang Negara Tahun 2006, Disampaikan sebagai bagian pertanggung jawaban pelaksanaan APBN Tahun 2006, hlm. 13-14. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 bekerjanya sistem keuangan, meliputi sistem perbankan, pasar uang dan pasar modal, yang efisien. Terciptanya keragaman dalam mobilisasi dana dapat menghasilkan sistem keuangan yang kuat dan memberikan alternatif bagi para pemodal (investor). Dalam kegiatan di pasar keuangan, peranan pasar SUN sangat strategis. Artinya, tingkat keuntungan (yield) dari SUN, sebagai instrumen keuangan yang bebas resiko, dipergunakan oleh para pelaku pasar sebagai acuan atau referensi dalam menentukan tingkat keuntungan suatu investasi atau aset keuangan lain. Dengan demikian, penerbitan SUN secara teratur dan terencana diperlukan untuk membentuk suatu tolak ukur yang dapat dipergunakan dalam menilai kewajaran suatu harga aset keuangan atau surat berharga. Adanya pasar keuangan yang efisien akan memberikan beberapa manfaat, antara lain: 48 a. Memberikan peluang dan partisipasi yang lebih besar kepada pemodal untuk melakukan diversifikasi portofolio investasinya. b. Membantu terciptanya suatu tata kelola yang baik (good governance) dikarenakan adanya tingkat transparansi informasi keuangan yang tinggi dalam pasar modal, dan c. Membantu terwujudnya suatu sistem keuangan yang stabil karena berkurangnya resiko sistemik (sytemic risk) akibat menurunnya ketergantungan pada modal yang berasal dari sistem perbankan. 48 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara, Bagian Umum. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Dari sisi mobilisasi dana masyarakat melalui mekanisme APBN, penggunaan SUN secara potensial dapat mengurangi ketergantungan pada pembiayaan luar negeri yang sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Di samping itu, pengelolaan SUN secara baik dan benar dapat mengurangi kerugian negara yang ditimbulkan oleh berbagai resiko keuangan dalam portofolio utang negara. Melalui mekanisme APBN, maka dengan sendirinya akan terselenggara sistem pengawasan langsung oleh publik. 49 Pelaku pasar keuangan sangat berkepentingan terhadap informasi tentang arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tercermin dalam APBN, mengingat implikasi kebijakan tersebut terhadap minat dan kesempatan investasi di pasar keuangan domestik. Persepsi pasar akan sangat tergantung pada konsistensi tindakan Pemerintah dalam menjalankan kebijakan tersebut. Di samping itu, para pemodal membutuhkan adanya kepastian hukum dan jaminan adanya pengelolaan pasar keuangan yang profesional dan berstandar internasional. Bertitik tolak dari pemikiran di atas maka diperlukan pasar SUN yang aktif dan likuid, baik di pasar perdana maupun di pasar sekunder. Dalam rangka mewujudkan pasar tersebut diperlukan langkah-langkah strategis untuk membangun infrastruktur, antara lain sistem penerbitan di pasar perdana, sistem perdagangan di pasar sekunder, sistem registrasi, kliring dan setelmen yang efisien, serta kerangka regulasi yang transparan dan adil. Prasyarat terpenting bagi terciptanya SUN adalah adanya kepercayaan pasar terhadap SUN yang diterbitkan oleh Pemerintah. Untuk itu, melalui Undang-Undang Nomor 49 Ibid., Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara, Pemerintah mengatur hal-hal sebagai berikut: 50 a. Transparansi pengelolaan SUN dalam kerangka kebijakan fiskal dan kebijakan pengembangan pasar SUN dengan mengatur lebih lanjut tentang tujuan penerbitan SUN. b. Kewenangan pemerintah untuk menerbitkan SUN yang didelegasikan kepada Menteri Keuangan, misalnya dalam menentukan persyaratan dan ketentuan (term and conditions) SUN. c. Kewenangan pemerintah untuk membayar semua kewajiban yang timbul dari penerbitan SUN tersebut secara penuh dan tepat waktu sampai berakhirnya kewajiban tersebut. d. Landasan hukum bagi pengaturan lebih lanjut atas tata cara dan mekanisme penerbitan SUN di pasar perdana maupun perdagangan SUN di pasar sekunder agar pemodal memperoleh kepastian untuk memiliki dan memperdagangkan SUN secara mudah dan aman. 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana Selain Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (SUN) yang dijadikan sebagai payung hukum oleh para investor, khusus mengenai Obligasi Negara Ritel, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengeluarkan 50 Ibid., Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana, yang ditetapkan pada tanggal 16 Mei 2006. Dalam rangka pengelolaan Surat Utang Negara (SUN) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang SUN, Menteri Keuangan dapat melakukan penjualan SUN melalui lelang dan/atau tanpa lelang. Penjualan SUN tanpa lelang dapat dilaksanakan dengan melakukan penjualan Obligasi Negara Ritel kepada masyarakat melalui agen penjual. Penerbitan Obligasi Negara Ritel akan memperluas basis SUN di masyarakat. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka dirasakan cukup penting bagi Menteri Keuangan untuk mengeluarkan Peraturan tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana sebagaimana tertuang melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana. Pihak ketiga yang sangat membantu pemasaran Obligasi Negara Ritel sebagaimana telah disebutkan di atas adalah agen penjual. Oleh karena itu dalam Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana telah diatur secara khusus mengenai penunjukan agen penjual yang dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: a. Penyampaian surat permintaan proposal (request for proposal) kepada Bank dan/atau Perusahaan Efek yang memiliki reputasi dan telah menunjukkan minatnya untuk menjadi Agen Penjual Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana. b. Penerimaan dan penelitian dokumen proposal dari calon Agen Penjual. c. Pemilihan calon Agen Penjual untuk ikut tahap presentasi. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 d. Presentasi dari calon Agen Penjual. e. Pemeringkatan Agen Penjual f. Penunjukan Agen Penjual Sedangkan dalam Pasal 6 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana, disebutkan bahwa untuk dapat ditunjuk menjadi Agen Penjual, Calon Agen Penjual harus: a. Menyampaikan proposal dan dokumen pendukungnya b. Memenuhi kriteria dan persyaratan yang ditetapkan, dan c. Lulus seleksi yang dilaksanakan oleh Panitia Seleksi Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b di atas, sekurangkurangnya meliputi: a. Memiliki kantor cabang minimal pada 5 (lima) kota di Indonesia. b. Memiliki rencana kerja, strategis, dan metodologi penjualan obligasi ritel c. Memiliki anggota tim yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman melakukan penjualan produk keuangan secara ritel. d. Memiliki dukungan teknologi sistem informasi yang terintegrasi ke kantor cabang. Selain pengaturan mengenai Agen Penjual, dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana juga diatur mengenai dokumen, ketentuan penjualan Obligasi Negara Ritel, Perjanjian Kerja antara Pemerintah dan Agen Penjual, penetapan hasil penjualan dan Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 penjatahan, setelmen serta biaya penjualan yang timbul dalam rangka pelaksanaan penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana. Pengaturan penerbitan Obligasi Negara Ritel sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2002 tentang SUN, pemerintah menjamin pembayaran bunga dan pokok surat utang negara pada saat jatuh temponya. Adanya jaminan dari pihak pemerintah dimaksudkan untuk menciptakan daya tarik bagi investor agar berinvestasi pada surat utang negara. Dengan adanya UU SUN tersebut, maka pemegang obligasi tidak perlu khawatir terjadi risiko gagal bayar (default risk). Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2002 tentang SUN dan Pasal 8 ayat (2), pemerintah wajib membayar bunga dan pokok setiap Surat Utang Negara pada saat jatuh tempo. Selain itu, teori Perjanjian (Overeenkomst Theorie) oleh Thol sangat tepat untuk menjelaskan dasar hukum yang mengikat antara pemerintah dengan investor (pemegang obligasi). Teori ini menyatakan bahwa yang menjadi dasar hukum mengikatnya surat berharga antara penerbit dan pemegang ialah suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum dua pihak, yaitu penerbit yang menandatangani dan pemegang pertama yang menerima surat berharga itu. Mengenai hal bahwa jika pemegang pertama mengalihkan surat itu kepada pemegang berikutnya maka penerbit tetap terikat di dalam perjanjian. 51 51 Joni Emirzon, Hukum Surat Berharga dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Prenhallindo, 2002), hlm.47. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Untuk kepentingan umum, surat utang negara harus selalu mencantumkan informasi yang material dan penting bagi calon investor, yakni: 52 a. Kupon: pendapatan tingkat suku bunga yang dibayarkan secara berkala oleh pemerintah kepada para pemegang obligasi. b. Prinsipal/Nilai Nominal: sejumlah nilai pokok yang akan dibayar pemerintah kepada investor pada saat jatuh tempo. c. Jatuh Tempo: periode akhir dari masa obligasi tersebut, di mana akan dilakukan pelunasan pokok/nominal obligasi. d. Tanggal Pembayaran Bunga: jadwal pembayaran kupon kepada pemegang obligasi yang waktu pembayarnnya telah disepakati sebelumnya. e. Perhitungan Pembayaran Bunga: metode perhitungan pembayaran bunga yang cukup terperinci dan dipahami secara jelas oleh investor. f. Hak Membeli Kembali (buy back): pihak pemerintah mempunyai hak untuk membeli kembali obligasi tersebut walaupun belum masuk periode jatuh tempo. Tentunya diperhitungkan pula berbagai biaya yang timbul. g. Pengalihan Kepemilikan: prosedur pengalihan kepemilikan surat utang negara diatur tata caranya secara resmi dan jelas apabila berpindah nama pemiliknya. Dalam UU SUN Pasal 20 sudah diatur mengenai peralihan, selain itu dalam Pasal 11 huruf h juga menyebutkan ketentuan tentang pengalihan kepemilikan. Dengan demikian obligasi negara ritel dapat dialihkan kepada orang lain. 52 Sapto Rahardjo, Panduan Investasi Obligasi, Cetakan kedua, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm.119. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 B. Karakteristik Obligasi Obligasi adalah surat tanda bukti bahwa investor pemegang obligasi memberikan pinjaman utang bagi emiten penerbit obligasi. Oleh karena itu, emiten obligasi akan memberikan kompensasi bagi investor pemegang obligasi, berupa kupon yang dibayarkan secara periodik terhadap investor. Dengan demikian, obligasi bisa dikatakan sebagai salah satu instrumen pasar modal yang memberikan pendapatan tetap (fixed income securities) bagi pemegangnya. Sebagai sekuritas pendapatan tetap, obligasi memberikan penghasilan secara rutin. Obligasi memiliki karakteristik sebagaimana karakteristik sekuritas pendapatan tetap (fixed income securities) lainnya, 53 yaitu: (1) surat berharga yang mempunyai kekuatan hukum, (2) memiliki jangka waktu tertentu atau masa jatuh tempo, (3) memberikan pendapatan tetap secara periodik, (4) ada nilai nominal. Penerbit (emiten) obligasi berkewajiban untuk membayarkan bunga dalam jumlah tertentu secara periodik selama obligasi belum jatuh tempo, dan juga melakukan pembayaran kembali nilai prinsipal obligasi tersebut pada saat jatuh tempo yang telah ditentukan. 54 Secara umum obligasi merupakan produk pengembangan dari surat utang jangka panjang. Prinsip utang jangka panjang dapat dicerminkan dari karakteristik atau struktur yang melekat pada sebuah obligasi. Pihak penerbit obligasi pada dasarnya melakukan pinjaman kepada pembeli obligasi yang diterbitkannya. 53 Eduardus Tandelilin, Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio, Edisi Pertama, (Yogyakarta: BPFE, 2001), hlm.135. Lihat juga dalam Dyah Ratih Sulistyastuti, Saham dan Obligasi, Ringkasan Teori dan Soal Jawab, (Yogyakarta: UAJY, 2002), hlm.51. 54 Robbert Ang, Buku Pintar Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Mediasoft Indonesia, 1997), hlm.82. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Pendapatan yang didapatkan oleh investor obligasi tersebut berbentuk tingkat suku bunga atau kupon. Selain aturan tersebut telah diatur pula perjanjian untuk melindungi kepentingan penerbit dan kepentingan investor obligasi tersebut. 55 Setiap obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah adalah obligasi tanpa jaminan (non-secured bond). Di Indonesia saat ini hanya obligasi Bank Indonesia yang dipasarkan di pasar internasional yang dimaksudkan untuk benchmark bagi obligasi BUMN dan perusahaan swasta nasional. 56 Adapun karakteristik umum yang tercantum pada sebuah obligasi yaitu meliputi: 57 1. Nilai Penerbitan Obligasi (jumlah pinjaman dana) Dalam penerbitan obligasi maka pihak emiten akan dengan jelas menyatakan berapa jumlah dana yang dibutuhkan melalui penjualan obligasi. Istilah yang ada yaitu dikenal dengan ”jumlah emisi obligasi”. Apabila perusahaan membutuhkan dana Rp. 400 Milyar maka dengan jumlah yang sama akan diterbitkan obligasi senilai dana tersebut. Penentuan besar kecilnya jumlah penerbitan obligasi berdasarkan kemampuan aliran kas perusahaan serta kinerja bisnisnya. 2. Jangka Waktu Obligasi Setiap obligasi mempunyai jangka waktu jatuh tempo (maturity). Masa jatuh tempo obligasi kebanyakan berjangka waktu 5 (lima) tahun. Untuk obligasi 55 Sapto Rahardjo, Op.cit., hlm.8. Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Cetakan ke-4, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm.186. 57 Op.cit., 56 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 pemerintah bisa berjangka waktu lebih dari 5 (lima) tahun sampai 10 (sepuluh) tahun. Semakin pendek jangka waktu obligasi maka akan semakin diminati oleh investor karena dianggap risikonya semakin kecil. Pada saat jatuh tempo pihak penerbit obligasi berkewajiban melunasi pembayaran pokok obligasi tersebut. 3. Tingkat Suku Bunga Untuk menarik investor membeli obligasi tersebut maka diberikan insentif berbentuk tingkat suku bunga yang menarik misalnya 17%, 18% per tahunnya. Penentuan tingkat suku bunga biasanya ditentukan dengan membandingkan tingkat suku bunga perbankan pada umumnya. Istilah tingkat suku bunga obligasi biasanya dikenal dengan nama kupon obligasi. Jenis kupon bisa berbentuk fixed rate dan variable rate untuk alternatif pilihan bagi investor. 4. Jadwal Pembayaran Suku Bunga Kewajiban pembayaran kupon (tingkat suku bunga obligasi) dilakukan secara periodik sesuai kesepakatan sebelumnya, bisa dilakukan triwulanan atau semesteran. Ketepatan waktu pembayaran kupon merupakan aspek penting dalam menjaga reputasi penerbit obligasi. 5. Jaminan Obligasi yang memberikan jaminan berbentuk aset perusahaan akan lebih mempunyai daya tarik bagi calon pembeli obligasi tersebut. Di dalam penerbitan obligasi sendiri kewajiban penyediaan jaminan tidak harus mutlak. Apabila memberikan jaminan berbentuk aset perusahaan ataupun tagihan piutang perusahaan dapat menjadi alternatif yang menarik investor. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Instrumen investasi untuk obligasi terdiri dari obligasi pemerintah dan obligasi swasta. Obligasi pemerintah (ORI) mempunyai karakteristik tersendiri yaitu hanya bisa dibeli individu walaupun setelah dilakukan lelang, kenyataannya kebanyakan ORI itu dimiliki oleh lembaga keuangan, milik pemerintah dan swasta. Sebenarnya pemerintah dapat mengubah kebijakan pengeluaran obligasi tersebut agar masyarakat dapat menikmati keuntungan sekaligus melakukan pengendalian terhadap keuangan pemerintah. Hal itu juga memperbaiki sistem keuangan dan menjalankan peranannya sebagai intermediary perbankan di Indonesia. 58 Kehadiran obligasi pemerintah merupakan bentuk instrumen utang pemerintah untuk menyerap dana yang ada di pasar domestik. Hal ini merupakan strategi pemerintah guna menutupi defisit anggaran negara.59 Obligasi di Indonesia diterbitkan oleh pemerintah, perusahaan milik pemerintah dan perusahaan swasta. Kupon obligasi secara umum dibayarkan setiap tiga bulan baik kupon yang tetap maupun yang mengambang. Investor di Indonesia lebih menyukai obligasi pemerintah dibandingkan dengan obligasi perusahaan swasta karena resikonya sangat kecil. Kecilnya resiko yang dimaksud yaitu resiko gagal bayar, sedangkan resiko tingkat bunga, resiko valuta asing masih tetap dimiliki oleh obligasi pemerintah tersebut. Bila obligasi perusahaan swasta dibandingkan dengan obligasi perusahaan pemerintah yang dikenal dengan BUMN maka obligasi yang dikeluarkan BUMN 58 Adler Haymans Manurung, Pengelolaan Portofolio Obligasi, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2007), hlm.8. 59 Sapto Rahardjo, Op.cit., hlm.111. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 lebih diminati oleh investor. Seringkali terjadi bahwa obligasi BUMN mencapai oversubcribe (emisi laris) jauh lebih tinggi dari obligasi perusahaan swasta. 60 Adapun karakteristik Obligasi Negara Ritel di Indonesia adalah: 61 1. Umum a. Dasar Hukum 1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara. 2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 Tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana. b. Bentuk ORI yang diterbitkan, bentuk ORI adalah tanpa warkat yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder. c. Nominal ORI, ORI diterbitkan dengan nilai nominal per unit sebesar Rp.1.000.000,00 (Satu Juta Rupiah). d. Batasan pemesanan pembelian ORI di pasar perdana, pemesanan pembelian ORI minimum 5 (lima) unit dan dengan kelipatan 5 (lima) unit. e. Jumlah indikatif ORI yang ditawarkan, jumlah indikatif ORI yang ditawarkan adalah Rp.2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) atau 2.000.000,00 (dua juta) unit. f. Agen Penjual, Perusahaan Efek: PT Danareksa Sekuritas; PT Trimegah Sekuritas, Tbk; PT Valbury Asia Sekuritas; Bank umum: Citibank N.A.; PT Bank Bukopin; 60 Adler Haymans Manurung, Dasar-Dasar Investasi Obligasi, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006), hlm.11. 61 Departemen Keuangan Republik Indonesia, Memorandum Informasi, (Jakarta, 2006) Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 PT Bank Danamon, Tbk; PT Bank Mandiri (Persero), Tbk; PT Bank Mega, Tbk; PT Bank NISP, Tbk; PT Bank Panin, Tbk; PT Bank Permata, Tbk. 2. Kupon ORI Kupon per unit adalah sebesar 12,05% (dua belas koma nol lima per seratus) per tahun yang dibayar setiap bulan. Kupon per unit yang dibayar setiap bulan adalah sebesar Rp.10.042,00 (sepuluh ribu empat puluh dua rupiah), berasal dari Rp.1.000.000 (satu juta rupiah) x 12,05% x 1/12. Pembayaran kupon pertama kali dilakukan pada tanggal 9 September 2006. pembayaran kupon kedua dan seterusnya dilakukan setiap tanggal 9, setiap bulan dan pembayaran terakhir dilakukan tanggal 9 Agustus 2009. Jumlah hari kupon (day count) untuk perhitungan kupon berjalan (accured interest) menggunakan basis jumlah hari kupon sebenarnya (actual per actual). Pembayaran kupon dilaksanakan di Indonesia dan akan dibayarkan kepada pemilik ORI yang tercatat pada tanggal pencatatan kepemilikan (record date) dengan mengkredit rekening dana pemilik ORI. Apabila pembayaran kupon bertepatan dengan hari dimana operasional sistem pembayaran tidak diselenggarakan oleh Bank Indonesia, maka pembayaran akan dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa kompensasi bunga. 3. Biaya dan Perpajakan a. Biaya pemesanan ORI di pasar perdana adalah biaya materi Rp.6.000,00 (enam ribu rupiah) untuk membuka rekening tabungan pada bank, biaya Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 materai Rp.6.000,00 (enam ribu rupiah) untuk membuka rekening surat berharga pada subregistry atau melalui partisipan/nasabah subregistry yang ditunjuk dan biaya transfer dana untuk menampung dana pemesanan ORI. Masing-masing agen penjual dapat membebaskan sebagian atau seluruh komponen biaya pemesanan sebagaimana tersebut di atas dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada nasabahnya. Masing-masing agen penjual dilarang untuk membebankan biaya pemesanan di luar ketiga komponen biaya tersebut dalam rangka pemesanan ORI di pasar perdana. Pada dasarnya investor dapat membuka rekening dana di bank umum dan rekening Surat Berharga di subregistry atau partisipan/nasabah subregistry yang dikehendaki. Namun mengingat pemesanan ORI dilakukan melalui agen penjual yang telah menjalin kerjasama dengan bank umum dan subregistry tertentu maka dalam rangka efisiensi biaya, pembukaan rekening dana dan surat berharga sebaiknya dilakukan melalui bank umum dan subregistry yang telah bekerjasama dengan agen penjual. Apabila investor membuka rekening surat berharga di Perusahaan Efek atau Bank Kustodian yang merupakan partisipan/nasabah subregistry, maka rekening surat berharga investor merupakan sub rekening dari partisipan/nasabah registry. Dalam rangka membantu pemerintah untuk memasarkan ORI kepada investor, masingmasing agen penjual akan memperoleh komisi (fee) atas hasil pemesanan yang dimenangkan oleh Pemerintah. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 b. Biaya penyimpanan dan transfer kupon/pokok ORI Biaya penyimpanan dari rekening surat berharga umumnya dikenakan untuk periode satu tahun dan besarannya disesuaikan dengan kebijakan masingmasing subregistry atau partisipan/nasabah subregistry. Besaran biaya transfer kupon dan pokok ORI disesuaikan dengan kebijakan masing-masing subregistry atau partisipan/nasabah subregistry. Masing-masing subregistry atau partisipan/nasabah subregistry dapat membebaskan biaya penyimpanan dari rekening surat berharga dan/atau biaya transfer kupon dan pokok dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada nasabahnya. c. Biaya transaksi di pasar sekunder Biaya transaksi ORI di pasar sekunder dapat berbeda-beda baik dengan mekanisme Bursa Efek maupun transaksi di luar Bursa Efek (over the counter). Biaya transaksi di pasar sekunder antara lain berupa biaya transfer surat berharga/dana dan biaya perantara pedagang. d. Biaya perpajakan Berlaku peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. 4. Pelunasan Pokok ORI Pelunasan pokok ORI dilakukan tanggal 9 Agustus 2009 sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap unit ORI yang dimiliki oleh pemilik ORI yang namanya tercatat dalam registry pada tanggal pencatatan kepemilikan (record date). Pembayaran pokok ORI dilaksanakan di Indonesia dan akan dibayarkan Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 kepada pemilik ORI yang tercatat pada tanggal pencatatan kepemilikan (record date) dengan mengkredit rekening dana pemilik ORI. Apabila pembayaran ORI tidak diselenggarakan oleh Bank Indonesia, maka pembayarannya akan dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa kompensasi bunga. 5. Pembelian Kembali (buy back) Pemerintah dapat membeli kembali ORI sebelum jatuh tempo pada harga yang ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan harga pasar di pasar sekunder (secondary market). Program buy back obligasi dilakukan untuk mengurangi eksposur jumlah obligasi yang beredar di pasar atau di tangan investor. Dengan melakukan pembelian kembali obligasi yang sudah diterbitkan, berarti pihak pemerintah mempunyai dana lebih dari sisa usaha yang dilakukan untuk membeli kembali obligasi sebelum jatuh tempo. Pemerintah yang melakukan buy back akan menghemat biaya bunga dan bisa mendapatkan untung bila harga obligasi di pasar sedang mengalami penurunan. 1. Obligasi Sebagai Surat Berharga Obligasi adalah surat berharga tanda pengakuan utang pada atau peminjam uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga tahun dengan memberikan bunga yang jumlah dan saat pembayarannya telah Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 ditentukan lebih dahulu oleh penerbitnya. Dalam defenisi tersebut dapat dirinci unsurunsur utama obligasi sebagai berikut: 62 a. Surat berharga, ini berarti pada obligasi itu tertulis sejumlah uang yang menjadi hak pemegang, hak tersebut dibuktikan dengan menguasai obligasi itu, dan obligasi itu dapat dipindah tangankan kepada pihak lain. b. Tanda pengakuan utang, ini berarti sama dengan aspek yang diatur dalam KUHD, setiap pemegang yang menunjukkan obligasi pada tanggal yang telah ditetapkan berhak menerima sejumlah uang seperti yang tertulis pada obligasi dan sejumlah bunga yang diperjanjikan penerbitnya. c. Bentuk tertentu, artinya memenuhi syarat-syarat formal seperti yang diatur oleh Undang-undang (KUHD). d. Jangka waktu tertentu, ini menunjukkan bahwa obligasi merupakan surat kredit, yang hanya dapat dilunasi setelah jangka waktu yang ditetapkan berakhir. e. Penerbit, setiap penerbit obligasi adalah badan hukum, yaitu perseroan terbatas yang bergerak di bidang usaha perbankan, lembaga keuangan non bank, atau usaha pembangunan vital. Dalam literatur-literatur 63 diketahui bahwa agar suatu surat dapat digolongkan sebagai surat berharga (waarde papier) harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: 62 Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat Berharga, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm 264. 63 Emmy Pangaribuan, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, (Yogyakarta: FH. Universitas Gadjah Mada, 1982), hlm.27. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 a. Berbentuk suatu akta atau surat 64 Akta atau surat dalam hukum perdata mempunyai peranan yang esensial. Akta atau surat merupakan salah satu alat bukti. Akta atau surat merupakan alat bukti utama dalam hukum perdata, yaitu sebagai alat bukti tertulis. 65 Dalam kaitannya dengan suatu perikatan, akta atau surat mempunyai fungsi sebagai alat bukti adanya suatu perikatan terutama adanya suatu hak. Dalam surat berharga, akta atau surat ini tidak hanya semata-mata sebagai suatu alat bukti, tetapi juga mempunyai fungsi mempermudah penagih hutang menuntut haknya terhadap penghutang di luar proses. Dengan kata lain, surat berharga adalah suatu surat legitimasi yang menunjuk pemegangnya sebagai orang yang berhak, khususnya di luar suatu proses. 66 b. Dapat diperdagangkan Surat berharga mempunyai sifat khusus yaitu bahwa dibuat untuk dapat diperdagangkan atau diperalihkan. Oleh karena itulah untuk memudahkan perdagangannya, surat berharga dibuat bersifat atas unjuk (aan toonder) atau atas pengganti (aan order). 67 Dengan adanya klausula-klausula tersebut pada surat berharga, menjadikan bahwa surat berharga yang bersangkutan dapat dengan mudah diperalihkan kepada orang lain. 68 64 Ibid.,hlm.28. Pasal 1866 KUHPerdata di mana bukti tertulis ditempatkan pada posisi utama. 66 Emmy Pangaribuan, Op.cit,.hlm.19. 67 Selain dibuat atas unjuk (aan toonder) atau atas pengganti (aan order), surat berharga mungkin juga dibuat atas nama (op naam) meskipun hal ini jarang sekali, kecuali biasanya pada saham dan beberapa surat berharga lainnya. Dalam Emmy Pangaribuan 68 Mengenai sifat mudah diperalihkannya surat-surat berharga yang bersifat atas unjuk (aan toonder) maupun atau pengganti (aan order) lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 613 KUHPerdata. 65 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 c. Diterbitkan berdasarkan suatu perikatan dasar tertentu Surat berharga harus diterbitkan atas dasar suatu perikatan yang disebut sebagai perikatan dasar (onderliggende rechtsverhoudingen). Adanya perikatan dasar merupakan unsur yang mutlak harus dipenuhi agar suatu surat dapat disebut surat berharga. Meskipun suatu surat berharga bersifat dapat diperdagangkan, tetapi apabila unsur adanya perikatan dasar, tidak terpenuhi, maka surat berharga tersebut tidak dapat dikatakan sebagai surat berharga menurut pengertian hukum. 69 Perikatan dasar (onderliggende rechtsverhoudingen) merupakan kuasa dari diterbitkannya surat berharga tersebut. Perikatan dasar merupakan perikatan yang melatar belakangi penerbitan surat berharga. Perikatan ini dapat berupa perikatan apa saja, yang penting adalah perikatan tersebut melahirkan suatu kewajiban berprestasi, terutama prestasi pembayaran sejumlah uang. Penerbitan surat berharga yang tidak didasarkan pada suatu kewajiban (prestasi) dari penerbit, tidak dapat dikatakan sebagai ”surat berharga”. d. Mempunyai nilai sebesar nilai perikatannya Surat berharga selalu mempunyai nilai sebesar nilai perikatan dasarnya. 70 Artinya nilai dari surat berharga adalah sama dengan nilai perikatan dasar yang melandasi penerbitan surat berharga tersebut. Obligasi diterbitkan sebagai bukti hutang (evidence of debt) yang dibuat oleh penerbitnya (emitennya). Obligasi diterbitkan dalam bentuk khusus dan tertulis. Dalam hal ini berarti obligasi memenuhi 69 70 Zevebergen, dalam Emmy Pangaribuan, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, Ibid., De Groot dan P.A. Stein, dalam Setiadi, Op.cit., hlm.16. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 syarat sebagai suatu akta atau surat. Obligasi biasanya diterbitkan atas unjuk (aan t sejoonder) atau atas nama. 71 Meskipun demikian khusus untuk obligasi atas nama, hal ini tidak berarti obligasi tersebut tidak dapat diperdagangkan terutama di pasar modal. Hanya saja pada obligasi atas nama, sifat dapat diperdagangkannya obligasi tersebut tidak seperti obligasi atas unjuk, dalam arti likuiditas obligasi atas nama tidak seperti likuiditas obligasi atas unjuk. Penerbitan obligasi merepresentasikan suatu pinjaman sejumlah uang. Pinjam meminjam ini merupakan perikatan dasar atau kuasa dari diterbitkannya obligasi. Sedangkan jumlah pinjaman dari penerbit biasanya adalah sama dengan yang tertera dalam surat obligasi yang bersangkutan. Dapat disimpulkan bahwa obligasi adalah termasuk dalam pengertian surat berharga. Dalam struktur pembagian surat berharga yang terdapat dalam KUHD, para sarjana 72 mengelompokkan surat berharga ke dalam tiga jenis, yaitu: a. Schuldvorderingspapieren, yaitu surat yang berisi suatu klaim atas sejumlah uang (vorderingsrechten tot voldoening van een geldsom), misalnya cek dan wesel. 71 Selama ini obligasi pada umumnya diterbitkan atas unjuk (aan toonder). Namun demikian dimungkinkan pada penerbitan obligasi atas nama. Dalam Emmy Pangaribuan, Op.cit., 72 De Groot dan P.A. Stein, dalam Setiadi, Obligasi dalam Perspektif Hukum Indonesia, Op.cit., hlm.17. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 b. Zakenrechtelijk papieren, yaitu surat-surat yang mempunyai sifat kebendaan. Ciri dari surat tipe ini adalah bahwa isi perikatan surat itu adalah bertujuan untuk penyerahan barang. 73 Misalnya konosemen dan ceel. c. Lidmaatschapspapieren atau surat-surat tanda keanggotaan. Ke dalam klasifikasi ini misalnya ialah surat saham. Saham membuktikan pemiliknya memiliki hak terhadap perseroan yang mengeluarkannya. Apabila dilihat klasifikasi surat berharga seperti diuraikan di atas, maka obligasi niscaya tidak termasuk dalam salah satu tipe tersebut. Namun demikian tidak perlu ragu lagi bahwa obligasi adalah termasuk sebagai suatu surat berharga. Pembagian surat berharga seperti tersebut di atas adalah menurut suatu ketentuan yang berasal dari abad ke-18. Pada saat itu perkembangan pasar modal belumlah sepesat sekarang. Di samping itu, perkembangan hukum surat berharga juga tidak begitu berarti dibandingkan seperti sekarang. Dalam Undang-Undang Pasar Modal Pasal 1 angka (5), secara tegas disebutkan bahwa efek merupakan surat berharga. Dan oleh karena obligasi merupakan salah satu jenis efek, maka obligasi juga merupakan surat berharga. Dewasa ini pengertian surat berharga telah meluas sedemikian rupa. Sekarang pengertian surat berharga tidak hanya meliputi wesel, promes, cek dan bentuk-bentuk surat berharga lain sebagaimana dalam KUHD, tetapi lebih banyak lagi jenisnya. Dewasa ini dikenal dua kategori besar pengelompokan surat-surat berharga, 74 yaitu: 73 74 Emmy Pangaribuan, Op.cit., hlm 35. Ibid., hlm 37. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 a. Surat Berharga Pasar Modal (Capital Market Securities), yaitu surat-surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal dan biasanya berjangka panjang. Dalam hal ini termasuk saham, obligasi, sekuritas kredit, klaim (right), warrant opsi dan sebagainya. Surat berharga pasar modal ini di Indonesia dan juga di Belanda, disebut juga dengan istilah efek (effecten). b. Surat Berharga Pasar Uang (Money Market Securities), yaitu merupakan suratsurat berharga yang diperdagangkan di pasar uang dan biasanya berjangka pendek. Dalam kelompok ini termasuk wesel, promes, sertifikat deposito dan sebagainya. Selain itu, dalam dunia bisnis dikenal pula surat hutang yang lain yang mirip obligasi, tetapi jangka waktunya lebih pendek, yaitu yang disebut sebagai commercial paper. 75 Surat berharga komersial adalah surat utang yang sangat praktis bagi kalangan perusahaan yang membutuhkan dana karena setelah diterbitkan instrumen ini cukup likuid dan mudah diperdagangkan. Surat utang jangka pendek ini mempunyai kisaran jatuh tempo sampai dnegan 270 hari. Tingkat suku bunganya berbentuk fixed rate dan menerapkan pola diskon di depan. Biasanya surat ini diterbitkan oleh perusahaan, bank, atau pihak yang membutuhkan dana kepada investor yang mempunyai kelebihan dana. Jenis mata uang penerbitan bisa berbentuk Rupiah atau US Dollar. Commercial paper tidak perlu tercatat di bursa seperti obligasi. Proses pemberian peringkat oleh lembaga rating tetap diperlukan untuk memberikan informasi yang transparan kepada calon investor. Biasanya metode 75 Setiadi, Op.cit., hlm.7. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 penerbitan dan penjualannya tidak harus melalui penawaran umum tetapi langsung kepada calon investor. 76 2. Obligasi Sebagai Surat Pengakuan Hutang Obligasi secara formal merupakan grup dari debt instrument yang merupakan kontrak dengan sejumlah pembayaran yang tetap dari yang mengeluarkan atau yang memegang obligasi tersebut. Pembayaran bisa dalam annually, semi annually, quaterly dan sebagainya. 77 Obligasi merupakan suatu bukti hutang. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia istilah surat pengakuan hutang antara lain dapat kita temukan dalam Undang-Undang Pasar Modal, yaitu dalam Pasal 1 angka (5). Namun, undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan istilah ini. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa: ”Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti hutang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek.” 78 Lebih lanjut, bahwa selain istilah surat pengakuan hutang dalam undangundang di atas, dalam peraturan lain dapat pula dijumpai istilah akta pengakuan hutang. 79 Ketentuan yang dimaksud adalah pasal 224 HIR. 80 Sayangnya HIR juga 76 Sapto Rahardjo, Op.cit., hlm.40. Ade Fatma Lubis, Pasar Modal, (Jakarta: FEUI, 2008), hlm.63. 78 Pasal 1 angka (5) Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal 79 Dalam pengertian antara akta dan surat adalah sama. Sehingga akta pengakuan hutang dan surat pengakuan hutang adalah sama pula pengertiannya. 80 Dalam teks asli Pasal 224 ini sebenarnya digunakan istilah schuldbrieven yang sebenarnya lebih tepat diterjemahkan sebagai surat hutang. Penerjemahan schuldbrieven menjadi surat pengakuan hutang ini lihat misalnya dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, 77 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan surat pengakuan hutang (schuldbrief) ini. Dalam perkembangannya, yurisprudensi menafsirkan surat pengakuan hutang ini sebagai suatu surat yang dalamnya terdapat pengakuan hutang ini sebagai suatu surat yang dalamnya terdapat pengakuan dari penerbit bahwa ia mengaku berhutang uang sejumlah tertentu dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu. 81 Dari penafsiran tersebut, timbul pertanyaan apakah pengakuan dari penerbit surat pengakuan hutang merupakan hal yang esensial yang tanpa adanya pengakuan tersebut dapat mengakibatkan bahwa suatu surat tidak dapat dikualifikasikan sebagai surat pengakuan hutang? HIR, sebenarnya merupakan saduran dari Reglement op Rechtvordering (Rv) yang merupakan hukum acara bagi orang Belanda dan golongan Eropa. Dan Pasal 224 HIR merupakan konkordan dari Pasal 440 Rv. Dalam Pasal 440 Rv. Tidak digunakan istilah surat pengakuan hutang (schuldbrieven), tetapi akten inhoudende de verplichting tot voldoening eener geldsom (akta yang memuat kewajiban pembayaran sejumlah uang). Sehingga kemudian oleh para sarjana pengertian surat pengakuan hutang (schuldbrieven) ditafsirkan secara umum yaitu sebagai suatu surat yang memuat kewajiban pembayaran sejumlah uang. Kalau melihat teks undang-undang dan sejarah dari ketentuan tersebut, sampai pada kesimpulan bahwa pengakuan penerbit dalam surat pengakuan hutang adalah tidak esensial. Dalam arti bahwa dalam surat pengakuan tidak perlu secara eksplisit Mahkamah Agung, 1994, hlm.140. lebih lanjut, surat pengakuan hutang yang dimaksud dalam pasal ini sebenarnya hanya dimaksudkan surat pengakuan hutang yang notarial (notariele schuddbrieven). 81 Ibid., Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 terdapat kata-kata bahwa penerbit mengaku berhutang, tetapi cukup kalau dalam surat tersebut tercantum kewajiban pembayaran sejumlah uang dari penerbit kepada pemegang surat pengakuan hutang tersebut. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa agar suatu surat dapat disebut sebagai suatu surat hutang maka harus dipenuhi dua unsur, yaitu berbentuk suatu akta atau surat dan pada surat tersebut tersirat suatu kewajiban pemenuhan pembayaran sejumlah uang tertentu pada saat tertentu oleh penerbitnya. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa obligasi adalah merupakan sebagai suatu surat hutang atau surat pengakuan hutang. 82 82 Setiadi, Op.cit., hlm.22. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 BAB III KEDUDUKAN HUKUM PEMEGANG OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI) A. Peranan Obligasi Negara Ritel terhadap Ekonomi Nasional 1. Pembangunan Ekonomi di Indonesia Pembangunan ekonomi merupakan salah satu dari keseluruhan aspek pembangunan nasional. Tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dalam suasana peri kehidupan berbangsa yang aman, tertib, dinamis, dan damai. 83 Hal ini bisa diwujudkan bila pertumbuhan ekonomi berlangsung secara berkelanjutan, stabilitas moneter dan sektor keuangan dapat terjaga, dan hasil peningkatan kegiatan perekonomian dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat secara berkeadilan. “Adapun pembangunan nasional itu sendiri pada hakikatnya merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedomannya.” 84 Sebagaimana diketahui bahwa dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, tugas untuk mensejahterakan rakyat tidaklah semata-mata terletak di pundak pemerintah saja tetapi terletak di pundak pemerintah dan masyarakat secara bersama- 83 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm.240-241. 84 Ibid., Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 sama. Masyarakat tidak boleh pasif dalam usaha untuk mencapai kesejahteraannya sendiri. Pembangunan ekonomi Indonesia harus dilaksanakan dengan segenap daya yang ada, baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 , yang berbunyi: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Dalam tataran perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari UUD 1945, kehendak untuk melaksanakan pembangunan nasional dengan segenap dana dan daya yang dimiliki digambarkan dengan lebih nyata. UU No. 25 tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) secara jelas menyebutkan bahwa pembangunan nasional di Indonesia merupakan upaya yang dilaksanakan oleh segenap komponen bangsa Indonesia dalam rangka mencapai tujuan bernegara. 85 Prinsip kebersamaan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional yang tercantum pada Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 tersebut harus dilihat dengan makna yang lebih luas, yakni bahwa untuk dapat mencapai kesejahteraan masyarakat, harus dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan segenap komponen yang ada di masyarakat. Segenap masyarakat Indonesia harus menyadari bahwa pemerintah mempunyai keterbatasan dana dan daya untuk melaksanakan pembangunan ekonomi karena pembangunan itu sendiri sangat kompleks, sehingga harus terdapat saling isi mengisi antara pemerintah dengan masyarakat untuk keberhasilan pembangunan ekonomi 85 UU No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, Lampiran Bab I Butir A, Alinea ke-5. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 nasional. Prinsip kebersamaan yang dikandung oleh Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 pada dasarnya meletakkan tanggung jawab pembangunan ekonomi nasional bukan hanya di pundak pemerintah saja, tetapi terletak bersama-sama di pundak pemerintah dan masyarakat. Pembangunan ekonomi Indonesia selalu mengikuti kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah yang berkuasa dari waktu ke waktu. Pada masa pemerintahan orde lama, Indonesia menerapkan kebijakan ekonomi yang tertutup (inward oriented). Prinsip berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) dan kebijakan untuk tidak menerima bantuan dari pihak luar mengakibatkan ekonomi nasional mengalami stagnasi. Pemerintah orde lama juga menetapkan kebijakan anti investasi asing dengan semboyan go to hell with your aid, dan bahkan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia. Nasionalisasi perusahaan asing ini mengakibatkan perekonomian nasional bertambah buruk karena pemerintah orde lama kurang memperhitungkan akibat yang akan ditimbulkannya. 86 Perekonomian Indonesia di masa orde lama semakin terisolasi dari rangkaian perdagangan dunia, dan pembangunan ekonomi Indonesia praktis tidak mengalami kemajuan karena ketiadaan sumber-sumber dana untuk membiayai kebutuhan pembangunan. Pemerintah orde baru diwarisi dengan kompleksnya permasalahan pembangunan ekonomi di antaranya utang luar negeri yang cukup besar, laju inflasi yang tinggi, serta buruknya kondisi prasarana dan infrastruktur yang dibutuhkan 86 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Internasional pada Nasionalisasi di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 1975), hlm.6. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 untuk mendukung pembangunan dimaksud. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah orde baru menetapkan langkah-langkah strategis jangka pendek dengan sasaran untuk menghidupkan kembali roda perekonomian. Salah satu langkah penting yang ditempuh pemerintah adalah mencairkan hubungan dengan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank yang sempat terputus pada masa pemerintahan sebelumnya. Pembangunan ekonomi di era reformasi tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004, yang ditujukan untuk membangun suatu sistem ekonomi kerakyatan dalam rangka penanggulangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sistem jaminan sosial, pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi. 87 Hal tersebut adalah sejalan dengan arah pembangunan nasional yang terkandung dalam UUD 1945 yang pada dasarnya sesuai dengan tujuan dari sebuah Negara kesejahteraan (welfare state). 2. Kebijakan Pemerintah dalam Hal Pengelolaan dan Pembiayaan Utang Negara Utang pada dasarnya adalah salah satu alternatif yang dilakukan karena berbagai alasan yang rasional. Dalam alasan-alasan yang rasional itu ada muatan urgensi dan ada pula muatan ekspansi. Muatan urgensi tersebut maksudnya adalah utang mungkin dipilih sebagai sumber pembiayaan karena derajat urgensi kebutuhan 87 UU No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004, Bab IV butir C, Program-program Pembangunan. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 yang membutuhkan penyelesaian segera. Sedangkan muatan ekspansi berarti utang dianggap sebagai alternatif pembiayaan yang melalui berbagai perhitungan teknis dan ekonomis dianggap dapat memberikan keuntungan. 88 Secara teoritis alasan negaranegara maju untuk menyetujui pemberian pinjaman untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di negara dunia ketiga termasuk Indonesia adalah untuk menciptakan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dan hal itu mungkin dapat dicapai jikalau proyek-proyek pembangunan tersebut telah diuji kelayakannya, baik dari aspek teknologi, komersil, keuangan, ekonomi makro, manajemen, maupun dari aspek dampak lingkungan. Dengan perkataan lain semua dana pinjaman dari luar negeri tersebut seyogianya dapat diukur efektivitas dan efisiensinya. Dengan prinsip kemandirian yang dianut dalam pelaksanaan pembangunan nasional, penerimaan yang berasal dari dalam negeri menduduki tempat yang sangat strategis karena merupakan sumber utama pembiayaan pembangunan, sedang pembiayaan yang berasal dari luar negeri merupakan sumber tambahan/pelengkap. Sesuai dengan prinsip kemandirian tersebut, dana yang didapatkan dari sumbersumber luar negeri tidak boleh dominan jumlahnya dibandingkan dengan dana yang didapatkan dari dalam negeri. Begitu pula halnya mengenai persyaratan dari danadana yang diperoleh dari luar negeri tidak boleh bersifat mengikat, karena hal tersebut 88 Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.101. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 tidak sejalan dan akan bertentangan dengan prinsip kemandirian dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang digariskan dalam UUD 1945. 89 Kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan dan pembiayaan hutang bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan dana pinjaman baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri serta menggerakkan pasar obligasi pemerintah (termasuk ORI). Sasaran yang dituju dalam program ini adalah: a. Tercapainya penyerapan pinjaman luar negeri yang maksimal sehingga dana pinjaman dapat digunakan tepat waktu. b. Adanya penyempurnaan strategi pinjaman pemerintah. c. Adanya penyempurnaan kebijakan pinjaman/hibah daerah yang sesuai dengan kemampuan fiskal daerah. d. Adanya penyempurnaan mekanisme penerusan pinjaman dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, serta e. Adanya penyempurnaan mekanisme sumber pembiayaan APBN melalui pengelolaan Surat Utang Negara (SUN) Kemudian dalam rangka mewujudkan tujuan dan sasaran sebagaimana dimaksud di atas, kegiatan pokok program ini dalam tahun 2005 dan 2006 adalah: 90 a. Pengamanan rencana penyerapan pinjaman luar negeri baik pinjaman program maupun pinjaman proyek. Pinjaman program utamanya diupayakan agar matrik kebijakan (policy matrix) yang sudah disepakati dapat dilaksanakan sesuai dengan 89 Muchtarudin Siregar, Pinjaman Luar Negeri dan Pembiayaan Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: FEUI, 1991), hlm. 2. 90 Cetak Biru Pembangunan Bidang Ekonomi, Bab IX, hlm.XI-44. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 perencanaan, sedangkan pinjaman proyek perlu lebih dimatangkan dalam kesiapan proyek baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. b. Penyempurnaan mekanisme penyaluran pinjaman dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sesuai dengan revisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. c. Pengamanan pipeline pinjaman luar negeri untuk mengamankan pembiayaan anggaran negara di tahun-tahun berikutnya melalui penyempurnaan strategi pinjaman pemerintah. d. Penyempurnaan rumusan kebijakan pinjaman daerah dan hibah yang disesuaikan dengan kemampuan fiskal masing-masing daerah. e. Perumusan kebijakan teknis, pembinaan, penatausahaan dan pemantauan pinjaman dan hibah luar negeri. f. Pengelolaan portofolio SUN melalui (1) pembayaran bunga dan pokok obligasi negara, (2) penerbitan SUN dalam mata uang rupiah dan mata uang asing, (3) pembelian kembali (buyback) obligasi negara, (4) restrukturisasi obligasi negara jenis Hedge Bond (HB), (5) debt switching, dan (6) konsolidasi data antara Pusat Manajemen Obligasi Negara (PMON), Ditjen Anggaran dan Bank Indonesia. g. Pengembangan pasar SUN melalui (1) pengembangan infrastruktur pasar retail obligasi negara, (2) memantau pola perdagangan SUN di pasar sekunder, (3) pengembangan yield curve dan penyusunan harga indikatif obligasi negara, (4) penerbitan publikasi secara berkala, (5) sosialisasi SUN, dan (6) mengelola website PMON. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 h. Pengembangan infrastruktur SUN melalui: (1) penyusunan rancangan peraturan pemerintah dan ketentuan pelaksanaan lainnya, (2) menyusun peraturan pelaksanaan dan review dokumen-dokumen hukum yang berkaitan dengan pengelolaan SUN, (3) penerbitan surat perbendaharaan negara (Treasury Bills), (4) kerangka manajemen resiko, (5) analisis metode non-lelang SUN (Issuance, buy back atau debt switching), (6) pengembangan SDM, dan (7) pengembangan akses informasi pasar finansial. i. Pengembangan dan pemeliharaan sistem informasi dan sistem pelaporan manajemen SUN melalui: (1) mengembangkan sistem informasi yang terpadu, (2) meningkatkan kapasitas server PMON sampai siap untuk transaksi online, (3) mengevaluasi kemungkinan penerapan penggunaan treasury management information system, dan (4) memelihara dan menyempurnakan sistem jaringan komputer. 3. Obligasi Negara Ritel (ORI) sebagai Instrumen Investasi guna Mendukung pembangunan Ekonomi Nasional Investasi dimaksudkan sebagai kegiatan pemanfaatan dana yang dimiliki dengan menanamkannya ke usaha/proyek baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan harapan akan mendapatkan sejumlah keuntungan dari investasi Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 tersebut di kemudian hari. 91 Lebih khusus Komaruddin memberikan pengertian investasi sebagai: 92 1. Suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi, atau suatu penyertaan lainnya. 2. Suatu tindakan membeli barang modal, dan 3. Pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi, dengan pendapatan di masa yang akan datang. Investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Dengan posisi semacam ini, investasi pada hakikatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dinamika dari investasi mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, mencerminkan marak lesunya pembangunan. Dalam upaya menumbuhkan perekonomian, setiap negara senantiasa berusaha menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi. 93 Investasi dimaksud akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB), dan apabila pertumbuhan investasi mengalami stagnasi, pada akhirnya akan mempengaruhi laju pertumbuhan PDB secara keseluruhan. Lebih rinci dapat disebutkan tentang manfaat investasi bagi pembangunan ekonomi, yaitu: 94 a. Investasi dapat menjadi salah satu alternatif untuk memecahkan kesulitan modal yang sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pembangunan nasional. 91 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan kedua, Edisi revisi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm.331. 92 Panji Anoraga, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), hlm.47. 93 Dumairy, Perekonomian Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm.132. 94 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm.10. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 b. Industri yang dibangun dengan investasi akan berkontribusi dalam perbaikan sarana dan prasarana, yang pada gilirannya akan menunjang pertumbuhan industri-industri turutan di wilayah sekitarnya. c. Investasi turut serta membantu pemerintah memecahkan masalah lapangan kerja, yakni akan menciptakan lowongan kerja untuk tenaga kerja terampil maupun untuk tenaga kerja yang tidak terampil. d. Investasi akan memperkenalkan teknologi dan pengetahuan baru yang bermanfaat bagi peningkatan keterampilan pekerja dan efisiensi produksi. e. Investasi akan memperbesar perolehan devisa yang didapatkan dari industri yang hasil produksinya sebagian besar ditujukan untuk ekspor. Secara teoritis pada tahun 1950 dan 1960-an, dalam semangat duet ekonomi Harrod-Domar 95 , utang luar negeri dipandang mempunyai dampak positif pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan tabungan masyarakat sebagai dampak lanjutannya. Alasannya, aliran utang luar negeri dapat meningkatkan investasi yang selanjutnya meningkatkan pendapatan dan tabungan domestik dan seterusnya. Secara teori, utang luar negeri justru menghasilkan dampak pengganda (multiplier efects) yang positif pada perekonomian nasional sebuah bangsa. Namun pada tahun 1970-an, dua ekonomi lainnya yaitu: Keith Griffin dan John Enos dalam bukunya Foreign Assistance: Objectives and Consequences membuktikan bahwa utang luar negeri berdampak negatif pada pertumbuhan. Mereka mengajukan bukti empiris bahwa utang luar negeri beralokasi negatif pada 95 Boediono, Teori Pertumbuhan Ekonomi, (Yogyakarta: BPFE, 1982), hlm.65. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 pertumbuhan ekonomi dan peningkatan tabungan masyarakat. Utang luar negeri telah membuat pemerintah meningkatkan pengeluaran yang mengurangi dorongan untuk meningkatkan penerimaan pajak dan sebagainya. Ekonom di era berikutnya juga melakukan studi mendukung kesimpulan Griffiin dan rekannya tersebut. 96 Pada saat ini Pemerintah Indonesia sudah mulai belajar untuk menghilangkan ketergantungan atas pinjaman luar negerinya yang belakangan ini semakin memberatkan saja. Salah satu kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia pada saat ini adalah dengan mengembangkan pasar obligasi pemerintah (Surat Utang Negara), khususnya dalam pasar retail. Perlu dikembangkannya pasar obligasi pemerintah adalah dengan alasan sebagai berikut: 97 a. Membangun struktur utang pemerintah yang berkesinambungan. Pasar sekunder yang berkembang akan mendukung upaya pemerintah untuk melakukan refinancing utang-utangnya secara sustainable sehingga utang domestik pemerintah pada masa yang akan datang bisa lebih seimbang jatuh temponya. b. Untuk mengurangi ketergantungan utang luar negeri. Pengembangan pasar obligasi pemerintah akan memberikan alternatif yang lebih fleksibel dalam mengkombinasikan utang domestik dan utang luar negeri dengan beban biaya yang paling rendah (minimum). Di samping itu obligasi yang likuid juga akan 96 Keith Griffin dan John Enos dalam makalah Umar Juoro, Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Pinjaman Luar Negeri. 97 Makmun, Pengelolaan utang Negara dan Pemulihan Ekonomi, Edisi Khusus, Departemen Keuangan, Republik Indonesia, (Jakarta: Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan kerjasama Internasional, 2005), hlm.13-14. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 mendukung uapaya pemerintah dalam mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negari dengan mengandalkan mobilisasi dana dari sumber domestik. c. Mendukung efektifitas Bank Sentral (central registry) dalam melaksanakan kebijakan moneter. Sebagai instrumen operasi pasar terbuka (OPT), Bank Indonesia selama ini hanya menggunakan SBI, karena belum adanya government securities. Padahal di beberapa negara, bank sentral telah menggunakan obligasi pemerintah sebagai instrumen OPT. Sebagai prasyarat instrumen OPT, obligasi ini harus tersedia dalam jumlah yang cukup, kesinambungan penerbitnya, dan juga likuid. Di samping itu juga perlu adanya koordinasi otoritas fiskal dan moneter agar price stability bisa tetap terjamin, fiskal sustainable tidak terancam, dan market principles tetap dapat berfungsi independen. Selain itu ada beberapa persyaratan yang diperlukan agar pasar obligasi dapat berkembang dengan baik di Indonesia, khususnya di pasar sekunder, hal-hal tersebut di antaranya adalah sebagai berikut: 98 a. Credit worthiness penerbit (pemerintah) khususnya dimata investor asing. b. Adanya perangkat hukum yang memadai untuk melindungi kepentingan investor. c. Basis investor yang luas (dari wholesale sampai dengan retail) d. Adanya sistem perpajakan yang memadai e. Adanya lembaga perantara yang memadai, dan f. Adanya dukungan sistem pembayaran yang efisien, aman dan cepat. 98 Ibid., Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Kebijakan penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI) oleh pemerintah, paling tidak telah memotivasi berkembangnya investor lokal individual yang sebenarnya mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Keberhasilan penjualan ORI seri 001 pada pertengahan tahun 2006 lalu kemudian dilanjutkan tahun 2008 lalu, telah membuktikan bahwa masyarakat mempunyai kesanggupan modal untuk ikut berperan serta dalam rangka mengembangkan pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Selain itu, jika pasar obligasi negara ritel (ORI) terus menerus dikembangkan oleh pemerintah hingga menjadi benchmark investasi lokal, maka sudah barang tentu akan berkorelasi negatif terhadap pinjaman luar negeri yang dimiliki oleh bangsa Indonesia saat ini. Artinya, secara perlahan pemerintah bisa mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri dari bangsa lain dengan jalan mengganti instrumen investasi yang lebih menguntungkan bangsa Indonesia dalam bentuk obligasi negara ritel (ORI). B. Mekanisme Transaksi Obligasi Negara Ritel 1. Pasar Perdana Pasar perdana (primary market) 99 mempunyai fungsi sebagai pasar penjualan emisi Obligasi Negara Ritel (ORI) pertama kali. Di dalam pasar perdana ini, pihak 99 Pasar Perdana (Primary Market) adalah pasar untuk emisi sekuritas baru, yang dibedakan dari pasar sekunder, yang memperdagangkan sekuritas yang sudah diterbitkan sebelumnya. Suatu pasar adalah primer bila hasil jual dari penjualan dinikmati oleh emiten dari sekuritas yang dijual. Istilah ini juga berlaku untuk pelelangan sekuritas pemerintah dan penjualan opsi dan futures pembukaan. Lihat dalam Daftar Istilah, Sapto Rahardjo, Op.cit., hlm. 232 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 emiten (dalam hal ini adalah pemerintah) akan melakukan penjualan terhadap ORI yang diterbitkannya. Penjualan ORI di pasar perdana merupakan tahap awal dari perdagangan obligasi. Karena tujuan penerbitan ORI adalah untuk personal investor, maka pada tahap ini ORI tersebut ditawarkan hanya kepada calon pembeli personal investor. Sama halnya dengan obligasi pada umumnya, harga pembelian ORI pada pasar perdana dibayarkan pada harga nominal 100 (par). 101 a. Proses Penerbitan ORI Dalam melakukan proses penerbitan SUN, perlu dilakukan konsultasi dengan Bank Indonesia dan harus mendapat persetujuan dari DPR. Untuk menyetujui penerbitan SUN, maka akan dievaluasi nilai bersih maksimal SUN dalam satu tahun anggaran serta pada saat pengesahan APBN. Kewajiban pemerintah yang paling penting adalah membayar bunga dan pokok utang saat jatuh tempo. Sedangkan dana pembayaran bunga dan pokok obligasi pemerintah disediakan di dalam APBN. 102 100 Harga Nominal (par) sama dengan nilai nominal atau nilai unjuk dari suatu sekuritas. Dalam Ibid., hlm. 231. 101 Ibid., hlm.162. 102 Ibid., hlm.113-114. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 5C 5D GOI 8 BI 9B 1 BES AGEN PENJUAL 10 10 3 5A 10 2 4 7 5B 9A 5E KSEI/SUBREG 6 9C KPEI INVESTOR Skema 1: Skema Penerbitan ORI 103 Penjelasan: 1. Government of Indonesian (GOI) melakukan penunjukan Agen Penjualan 2. Agen penjual melakukan pemasaran ke investor 3. Investor menyampaikan minat kepada agen penjual dengan menyetor dana tunai 4. Agen penjual menyampaikan semua minat pembelian investor ke pemerintah 5. a) Pemerintah memutuskan dan menyampaikan hasil penjatahan b) Agen penjual mentransfer dana sesuai dengan hasil penjatahan ke rekening pemerintah di Bank Indonesia c) Bank Indonesia menyampaikan hasil transfer dana dari agen penjual kepada pemerintah 103 Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara (DPSUN), Obligasi Negara Ritel Seri ORI001 Tahun 2006, www.dmo.or.id. Diakses Tanggal 20 April 2009. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 d) Pemerintah menyampaikan jumbo Obligasi Negara Ritel (ORI) ke Bank Indonesia untuk selanjutnya dilakukan setelmen e) Bank Indonesia mendistribusikan ORI ke Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) atau subregistry 6. KSEI/Subregistry menerima daftar hasil penjatahan dari agen penjual, dan membuat daftar kepemilikan ORI sesuai dengan hasil penjatahan dan hasil distribusi ORI dari Bank Indonesia 7. Agen penjual menyampaikan bukti kepemilikan dari KSEI/subregistry kepada investor yang mendapat penjatahan, dan mengembalikan sisa dana ke investor yang tidak mendapat penjatahan secara penuh dari pemerintah 8. Pemerintah mendaftarkan ORI ke Bursa Efek Surabaya (BES), karena efek obligasi diperdagangkan di sana 9. Proses pembayaran bunga dan pokok saat ORI jatuh tempo 10. Perdagangan ORI di pasar sekunder mengikuti mekanisme bursa b. Tata Cara Pemesanan Pembelian ORI di Pasar Perdana 104 1. Pemesanan yang Berhak Individu atau perseorangan Warga Negara Indonesia yang ditunjukkan dengan bukti identitas kartu tanda penduduk (KTP) atau surat izin mengemudi (SIM) yang masih berlaku. 104 Memorandum Informasi Obligasi Negara Republik Indonesia, Seri ORI-001, Bab IV, (Jakarta: Departemen Keuangan, 2006) Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 2. Prosedur pemesanan Pembelian ORI a) Mendatangi kantor pusat/cabang agen penjual yang siap untuk melayani pemesanan pembelian ORI b) Membuka rekening dana (jika diperlukan) pada salah satu bank umum dan rekening surat berharga (jika diperlukan) pada salah satu subregistry atau partisipan/Nasabah subregistry c) Menyediakan dana yang cukup sesuai jumlah pesanan untuk pembelian ORI melalui agen penjual d) Mengisi formulir pemesanan (FP-01) e) Menyampaikan formulir pemesanan (FP-01), fotocopy KTP/SIM, dan bukti setor (jika diperlukan) kepada agen penjual dan menerima tanda terima bukti penyerahan dokumen tersebut dan agen penjual. Pembukaan rekening dana di bank umum dimaksudkan untuk menampung dana tunai atas pembayaran kupon dan pokok ORI pada saat jatuh tempo. Pembukaan rekening surat berharga di subregistry atau partisipan/nasabah subregistry dimaksudkan untuk mencatat kepemilikan ORI atas nama investor. Setiap pemesanan pembelian bersifat mengikat dan tidak dapat dibatalkan, ditarik kembali atau diubah setelah akhir masa penawaran. 3. Masa Penawaran Masa penawaran ORI akan dimulai pada tanggal 17 Juli 2006 pukul 09.00 WIB dan ditutup pada tanggal 4 Agustus 2006 pukul 09.00 WIB. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 4. Jumlah Minimum Pemesanan ORI Setiap pemesanan pembelian yang diajukan berjumlah sekurang-kurangnya sebesar 5 (lima) unit atau sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan 5 (lima) unit atau sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) 5. Penjatahan ORI Seluruh pemesanan pembelian yang diterima sampai dengan akhir masa penwaran yang dilakukan sesuai dengan tata cara pemesanan pembelian yang ditelah ditetapkan akan diikut sertakan dalam proses penjatahan. Penjatahan akan dilakukan 1 (satu) hari kerja setelah akhir masa penawaran. Pemerintah berhak menentukan jumlah emisi sesuai dengan kebutuhannya. Pemesanan Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) sampai dengan Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) akan memperoleh penjatahan secara penuh. Pemesanan di atas Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) akan memperoleh penjatahan minimal Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Apabila target yang ditetapkan oleh pemerintah belum terpenuhi maka menggunakan penjatahan minimum berjenjang dengan kelipatan Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah). Namun, kemudian dirubah menjadi seluruh pemesanan pembelian yang diterima sampai dengan akhir masa penawaran yang dilakukan sesuai dengan tata cara pemesanan pembelian yang ditetapkan akan dikut sertakan dalam proses penjatahan. Pemesanan pembelian sekurang-kurangnya sebesar 5 (lima) unit atau Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pemesanan tidak Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 membatasi jumlah maksimum pemesanan ORI. Pemerintah berhak menentukan jumlah emisi ORI. Penjatahan akan dilakukan 1 (satu) hari kerja setelah akhir masa penawaran. 105 Dengan perubahan memorandum informasi tersebut, pemerintah menegaskan bahwa: 106 a. Pemerintah tidak membatasi jumlah maksimum pemesanan pembelian dari calon investor b. Pemerintah memberikan keleluasaan kepada masing-masing agen penjual untuk menentukan urutan prioritas pemesanan dari nasabahnya sampai dengan batas target penjualannya yang telah disampaikan kepada pemerintah, dengan tetap mengutamakan pemesanan pembelian sampai dengan Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). c. Pemerintah tetap berkomitmen untuk memberikan kepastian penjatahan sampai dengan Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 6. Pembayaran Pemesanan Pembelian ORI Pembayaran pemesanan oleh investor kepada agen penjual dilakukan sejak dibuka masa penawaran. 7. Distribusi ORI Pemerintah Republik Indonesia akan menerbitkan ORI secara global (jumbo) dan menyerahkan kepada Bank Indonesia untuk didistribusikan kepada 105 Siaran Pers, Biro Hubungan Masyarakat (Humas), Departemen Keuangan Republik Indonesia, Nomor 35/HMS/2006, 27 Juli 2006. 106 Ibid., Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 subregistry pada tanggal 9 Agustus 2006 yang akan diteruskan oleh masingmasing subregistry kepada pemesan. 8. Pencatatan ORI pada Bursa Efek Surabaya Pencatatan ORI pada Bursa Efek Surabaya akan dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2006 9. Lain-lain Agen Penjual berhak untuk menolak pemesanan pembelian yang tidak memenuhi syarat. c. Jadwal Proses Penjatahan ORI 1) Pada tanggal 4 agustus 2006 (di akhir masa penawaran), Agen Penjual menyampaikan seluruh pemesanan pembelian kepada pemerintah. 2) Pada tanggal penjatahan (7 Agustus 2006), pemerintah menetapkan hasil penjatahan kepada Agen Penjual. 3) Pada tanggal setelmen di pasar perdana (9 Agustus 2006) sampai dengan pukul 10:00 WIB, Agen Penjual menyetorkan dana ke rekening pemerintah Bank Indonesia Nomor 500.000003 atas nama Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran untuk pengelolaan Surat Utang Negera, sesuai dengan jumlah hasil penjatahan yang diperoleh. Pembayaran/transfer dana oleh Agen Penjual atau bank yang ditunjuk Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Agen Penjual ke rekening pemerintah di Bank Indonesia dilakukan melalui sistem BI-RTGS. 4) Pada tanggal setelmen di pasar perdana (9 Agustus 2006) sampai dengan pukul 14:00 WIB, Bank Indonesia mendistribusikan ORI kepada masingmasing subregistry yang telah ditunjuk oleh agen penjual sesuai hasil penjatahan. 5) Pada tanggal setelmen di pasar perdana (9 Agustus 2006), subregistry menyampaikan konfirmasi kepemilikan ORI secara langsung kepada investor atau melalui agen penjual dengan memuat informasi sekurangkurangnya sebagaimana contoh lampiran. Konfirmasi kepemilikan ORI diterima oleh investor selambat-lambatnya pada tanggal 16 Agustus 2006. d. Kekurangan dan Kelebihan Pemesanan Pembelian yang Diterima Menteri Keuangan berhak menerbitkan jumlah ORI lebih rendah atau lebih tinggi dari target indikatif yang ditawarkan. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 2. Pasar Sekunder Pasar sekunder (secondary market) 107 adalah tempat dimana dilakukan transaksi jual dan beli produk sekuritas setelah diterbitkan melalui pasar perdana. Produk yang diperjual belikan, misalnya obligasi (termasuk Obligasi Negara Ritel), akan saling ditawarkan antara investor jual dengan calon investor beli. Pihak perantara investor-investor tersebut adalah broker atau dealer perusahaan sekuritas atau perbankan. Pembayaran pembelian obligasi tersebut bisa masuk langsung ke pihak penjual obligasi. Kalau harga pasar obligasi tersebut naik, pihak penjual akan mendapatkan spread margin. Pihak broker atau dealer obligasi akan mendapatkan imbalan dari transaksi di pasar sekunder dengan mendapatkan fee transaksi atau bisa juga mendapatkan spread dari harga jual dan harga beli yang direalisasi. Persaingan antara broker atau dealer obligasi di pasar sekunder sedemikian ketat sehinggga seringkali produk yang diperjual belikan telah melewati tangan beberapa broker. Hal ini sering membuat proses transaksi obligasi di pasar sekunder berjalan cukup lamban. Sebagai contoh, perdagangan obligasi di pasar perdana antara pihak penjual dan pembeli jelas sekali prosedur tahapan penjualannya, juga alokasi penjatahan sampai pembayaran pokok obligasi dan fee transaksinya. Ini sangat berbeda sekali dengan kondisi yang ada di pasar sekunder. Besaran fee atau komisinya tidak seragam, tergantung dari kepentingan pihak pembeli dan penjual. 107 Pasar Sekunder (secondary market) adalah bursa dan pasar paralel tempat sekuritas diperjualbelikan sesudah pertama kali diterbitkan, dan dilaksanakan di pasar primer. Lihat dalam Daftar Istilah, Sapto Rahardjo, Op.cit., hlm.235 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Sebagai sarana pendukung dalam melakukan transaksi obligasi di pasar sekunder, pihak Bursa Efek Surabaya (BES) memberikan fasilitas infrastruktur sistem perdagangan yang disebut OTC-FIS (over the counter-Fixed Income services), yang menyajikan informasi perdagangan dan data-data yang terkait dengan pasar obligasi, seperti informasi rating, aksi korporasi, jadwal RUPO (Rapat Umum Pemegang Obligasi), dan beberapa informasi penting lainnya. 108 Pada umumnya, semakin berkembang sebuah pasar obligasi semakin banyak transaksi obligasi di pasar sekunder. Semakin maju sebuah pasar obligasi semakin banyak transaksi yang berlangsung di bursa. 109 PE PE Investor Jual AP PE/BANK BURSA OTC Investor Beli AP PE/BANK Skema 2: Skema Perdagangan ORI di Pasar Sekunder 110 108 Sapto rahardjo, Ibid., hlm.163-164. Jaka E. Cahyana, Langkah taktis Metodis Berinvestasi di Obligasi, (Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2004), hlm.312. 110 DPSUN, Ibid., www.dmo.or.id. Diakses Tanggal 20 April 2009. 109 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 a. Penjelasan Proses Pembelian ORI di Pasar Sekunder 1) Nasabah datang kepada bank umum atau Perusahaan Efek (PE) untuk mendapatkan pelayanan dalam rangka pembelian ORI di pasar sekunder. 2) Nasabah membuka rekening surat berharga pada perusahaan efek dengan mengisi formulir pembukaan rekening yang antara lain mewajibkan penyebutan nomor rekening tabungan yang sudah dimiliki pada salah satu bank umum. 3) Nasabah mengisi formulir pemesanan pembelian dengan antara lain menyebutkan nomor rekening surat berharga, nomor rekening tabungan, harga beli (dinyatakan dalam persen, dengan dua angka di belakang koma), dan jumlah nominal pembelian (minimal Rp.5.000.000,00 dengan kelipatan Rp.5.000.000,00). 4) Perusahaan efek menyampaikan minat beli nasabah ke Bursa Efek Surabaya (BES) untuk mendapatkan nasabah lain yang bermaksud menjual ORI pada harga yang sesuai dengan permintaan nasabah yang berminat membeli. 5) Dalam hal terjadi kesesuaian harga antara nasabah pembeli dan nasabah penjual, maka transaksi pembelian diselesaikan melalui mekanisme bursa yang melibatkan PT. Bursa Efek Surabaya (BES), PT. Kliring Penjamin Efek Indonesia (KPEI), PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan Perusahaan Efek (PE). 6) Jumlah dana yang harus dibayar oleh nasabah pembeli adalah sejumlah harga ORI ditambah dengan bunga berjalan. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 b. Penjelasan Proses Penjualan ORI di Pasar Sekunder 1) Nasabah datang kepada bank umum atau Perusahaan Efek (PE) untuk mendapatkan pelayanan dalam rangka penjualan ORI di pasar sekunder. 2) Nasabah mengisi formulir pemesanan penjualan dengan antara lain menyebutkan nomor rekening surat berharga, nomor rekening tabungan, harga beli (dinyatakan dalam persen, dengan dua angka di belakang koma), dan jumlah nominal pembelian (minimal Rp.5.000.000,00 dengan kelipatan Rp.5.000.000,00). 3) Perusahaan efek menyampaikan minat beli nasabah ke Bursa Efek Surabaya (BES) untuk mendapatkan nasabah lain yang bermaksud menjual ORI pada harga yang sesuai dengan permintaan nasabah yang berminat menjual. 4) dalam hal terjadi kesesuaian harga antara nasabah penjual dan nasabah pembeli, maka transaksi penjualan diselesaikan melalui mekanisme bursa yang melibatkan PT. Bursa Efek Surabaya (BES), PT. Kliring Penjamin Efek Indonesia (KPEI), PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan Perusahaan Efek (PE). 5) Jumlah dana yang akan diterima oleh nasabah penjual adalah sejumlah harga ORI (clean price) ditambah dengan bunga berjalan setelah memperhitungkan pajak dan biaya transaksi. C. Kedudukan Hukum bagi Pemegang Obligasi Negara Ritel (ORI) Penjaminan dari sudut hukum perdata sangat erat kaitannya dengan sebuah penanggungan. Pada dasarnya, suatu penanggungan merupakan persetujuan, bahwa untuk kepentingan dari kreditor seseorang/pihak ketiga berjanji dan mengikatkan diri Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 untuk memenuhi kewajiban debitor manakala debitor tidak memenuhi kewajibankewajibannya kepada kreditor. 111 Dengan perkataan lain, diadakannya sebuah penanggungan untuk lebih meyakinkan dan memperkuat kedudukan kreditur manakala pada saatnya debitor tidak dapat menunaikan kewajiban-kewajibannya. 112 Penanggungan yang disebutkan di atas mirip dengan keberadaan jaminan dari pihak pemerintah atas Obligasi Negara Ritel yang terdapat pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, meskipun tidak dapat dipersamakan dengan itu. Ketentuan yang termuat pada Pasal 1 UU NO. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara menyebutkan bahwa: Surat utang negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang ...... yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya. Keberadaan jaminan dari pihak pemerintah dalam UU tersebut, pada dasarnya ditujukan agar surat utang negara lebih diminati oleh masyarakat. Pemerintah tidak ingin pengalaman atas obligasi negara yang mengecewakan masyarakat pada tahun 1950-1960-an 113 terulang kembali dan mempengaruhi minat masyarakat pada surat utang negara. Oleh karena itu, dibuatlah klausula jaminan dari pihak pemerintah agar surat utang negara diminati oleh masyarakat dan pemasarannya tidak menghadapi kendala. Adanya jaminan dari pihak pemerintah untuk membayar kembali semua kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan obligasi negara membuat 111 Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan kesepuluh, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm.164. 112 M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Cetakan ke-2, (Bandung: P.T Alumni, 1986), hlm.315. 113 Heru Soepraptomo, Segi-segi Hukum Obligasi, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23, No. 1, Tahun 2004,hlm.46. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 investor lebih memilih investasi pada obligasi negara dibandingkan dengan investasi berpendapatan tetap lainnya. Pada umumnya, keberadaan suatu penjaminan dihubungkan dengan adanya suatu back-up yang dapat dijadikan sebagai sumber perlunasan kewajiban dimaksud pada waktu jatuh temponya. Back-up tersebut dapat berupa bank garansi ataupun dana tunai yang dibangun tersendiri yang disebut sebagai sinking-fund. Jika wujud dari back-up tersebut direalisasikan dalam bentuk sinking-fund, dananya harus benarbenar disisihkan secara berkala, dicatat secara terpisah dari dana-dana lainnya, serta disimpan dalam suatu rekening tersendiri (escrow account) yang dibuka khusus untuk itu. Apabila dilihat lebih teliti, jaminan dari pihak pemerintah yang terdapat pada Pasal 1 UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara sebenarnya hanya didukung oleh adanya ketentuan bahwa angsuran pokok dan bunga surat utang negara akan dimasukkan sebagai pos-pos pengeluaran dalam APBN setiap tahunnya. 114 Jaminan dari pihak pemerintah yang hanya didukung oleh sebatas dimasukkannya pembayaran bunga dan pokok surat utang negara ke dalam pos-pos pengeluaran seperti ini sebenarnya sangat lemah, karena apabila kondisi keuangan pemerintah mengalami kesulitan pemerintah tidak dapat menghindarkan diri dari solusi mengeluarkan surat utang baru untuk menggantikan surat utang yang lama yang telah jatuh tempo (paper paid by paper). Pengalaman menunjukkan bahwa dalam melunasi surat utang negara yang akan jatuh tempo, pemerintah sering mencari penyelesaian 114 Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No.24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 dengan cara melakukan reprofiling maupun cara lain yang sebenarnya hanya memperpanjang jangka waktu surat utang negara. 115 Dari isi Pasal 1 UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara secara jelas kelihatan bahwa tidak terdapat orang ataupun badan lain yang menjadi penanggung (guarantor) untuk pembayaran kembali surat utang negara tersebut pada saat jatuh temponya apabila pemerintah tidak dapat menepati janji-janjinya. Dengan tujuan untuk membangun kepercayaan investor pada surat utang negara, pembuat undang-undang telah mempergunakan istilah penjaminan sebagaimana yang dimuat pada Pasal 1 UU No. 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara. Undang-undang tersebut telah menempatkan pemerintah sebagai pihak yang berutang sekaligus menjadi penjamin bagi dirinya sendiri untuk pelunasan utang-utangnya. Ditinjau dari segi hukum perikatan, kedudukan dari pihak penjamin dengan pihak yang dijamin tidak boleh berada di dalam satu tangan/orang. 116 Penerbitan surat utang negara merupakan perbuatan hukum perdata, sehingga harus tunduk dan harus sesuai dengan aturan-aturan menurut hukum perdata. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meluruskan pengertian jaminan dari pihak pemerintah yang tercantum pada Pasal 1 UU No. 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara tersebut. Apabila peraturan perundang-undangan tidak jelas ataupun tidak lengkap, diperlukan upaya untuk melengkapinya dengan cara melakukan penemuan hukum 115 Djoko Retnadi, dkk, Obligasi Rekapitulasi Perbankan, Geneologi, Masalah dan Solusi, (Jakarta: Masyarakat Profesional Madani, 2005)hlm.118-119. 116 Subekti, Op.cit., hlm.165. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 (rechtsvinding). 117 Ketidakpastian penggunaan klausula jaminan dari pihak pemerintah yang tercantum pada Pasal 1 UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara membuat untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) yang berkenaan dengan jaminan dari pihak pemerintah dimaksud. Apabila diperhatikan secara keseluruhan isi UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, tidak ditemukan adanya penunjukan pihak ketiga sebagai penanggung dari utang pemerintah berkenaan dengan surat utang negara yang diterbitkan pemerintah. Demikian pula halnya pemerintah tidak melakukan tindakan hukum untuk memastikan bahwa akan selalu cukup tersedia dana pelunasan pada waktunya untuk membayar kewajiban surat utang negara yang telah jatuh tempo. Yang dilakukan oleh pemerintah hanyalah sebatas memasukkan pos-pos pembayaran bunga dan pokok surat utang negara yang akan jatuh tempo pada APBN setiap tahunnya, sebagaimana tercantum pada Pasal 8 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Apabila penerimaan negara pada satu tahun anggaran tidak mencapai target sehingga tidak terdapat kepastian bahwa pemerintah tidak akan mengorbankan pembayaran kewajiban atas obligasi negara, dan mendahulukan pengeluaran-pengeluaran yang sangat mendesak seperti pembayaran gaji pegawai, perbaikan sarana dan prasarana vital, dan lain-lain. Dengan demikian jaminan dari pihak pemerintah yang hanya sebagai sebuah janji adalah bahwa kedudukan investor/pemegang obligasi pada dasarnya tidak jauh 117 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Cetakan kedua, (Yogyakarta: Liberty, 2001), hlm. 26. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 berbeda dengan kreditur konkuren pada perjanjian utang piutang yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan pembayarannya dari kreditur-kreditur lainnya apabila pemerintah wan prestasi. Meskipun kedudukan hukum pemerintah sama dengan badan hukum perdata lainnya dalam transaksi perdata, hendaknya diantisipasi bahwa menggugat pemerintah tidak semudah menggugat rakyat biasa dan langkahlangkah untuk menggugat pemerintah merupakan salah satu bagian yang paling sulit dari hukum perdata dan hukum administrasi negara. 118 Pengalaman yang lalu telah menunjukkan bahwa investor yang membeli obligasi negara yang diterbitkan oleh pemerintah pada tahun 1950-1959 tidak dapat berbuat banyak sehubungan dengan menurunnya daya beli dari obligasi yang dimiliki, dan hanya dapat menunggu sampai obligasi jatuh tempo. Tidak berusaha untuk melakukan gugatan hukum kepada pemerintah karena menyadari bahwa menggugat pemerintah berkenaan dengan itu akan menghabiskan waktu dan biaya. Klausula jaminan dari pihak pemerintah hanya sebagai janji dari pemerintah untuk membayar kewajiban-kewajibannya pada waktunya telah memperkuat argumentasi bahwa Teori Perjanjian (Overeenkomst Theorie) sangat tepat untuk menjelaskan dasar hukum yang mengikat antara pemerintah dengan investor obligasi negara ritel. 118 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.284. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI) C. Surat Utang Negara sebagai Sumber Pembiayaan Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah dibiayai dari berbagai sumber penerimaan, baik penerimaan yang bersumber dari dalam negeri maupun penerimaan yang bersumber dari luar negeri. Pajak merupakan komponen terbesar dari sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pembangunan ekonomi di maksud. 119 Dalam praktik sering terjadi bahwa penerimaan pemerintah pada saat-saat tertentu tidak mencukupi untuk membiayai pengeluaran yang harus dilaksanakan pada periode dimaksud. Demikian pula hanya pemerintah sering harus melakukan pengeluaran tambahan yang tidak dapat ditangguhkan dan sebelumnya tidak dianggarkan, seperti halnya pengeluaran pemerintah untuk mengatasi banjir, bencana alam, serta pengeluaran-pengeluaran mendesak lainnya. Untuk menutupi hal-hal seperti ini pemerintah terpaksa harus meminjam dari sumber-sumber yang tersedia. Sejak diberlakukannya UU No.3 Tahun 2004 juncto UU No.23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak diperkenankan lagi memberikan pinjaman ataupun kredit talangan kepada pemerintah sehingga satu-satunya alternatif 119 Departemen Keuangan RI, RAPBN Tahun 2007, www.depkeu.go.id, Diakses Tanggal 20 April 2009. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 yang tersedia untuk tempat meminjam uang bagi pemerintah adalah dari masyarakat luas. 120 Dalam melakukan perbuatan hukum berupa meminjam uang dari masyarakat, kedudukan pemerintah adalah sejajar dengan orang perseorangan atau badan hukum perdata lainnya. Meskipun pemerintah merupakan badan hukum publik, pemerintah tidak mempunyai hak-hak istimewa dalam hal meminjam uang tersebut. Oleh karena itu, pemerintah tunduk kepada aturan-aturan perdata dalam perbuatan hukum pinjam meminjam uang. Pemerintah harus memenuhi janji-janjinya yang berkenaan dengan perjanjian pinjam-meminjam tersebut seperti membayar kewajiban bunga dan pokok pada waktunya, dan apabila pemerintah tidak melaksanakan janji-janjinya dengan baik akan digolongkan sebagai perbuatan wan prestasi/ingkar janji. Sebagaimana halnya dengan badan hukum perdata lainnya, pemerintah dapat dituntut di depan pengadilan dalam hal melakukan perbuatan wan prestasi/ingkar janji. 121 Pemerintah dapat meminjam uang dari masyarakat dengan cara mengeluarkan surat utang. Karena penerbitan surat utang dirasakan sudah merupakan hal yang rutin dan berkesinambungan sehingga perlu pengaturannya melalui ketentuan perundangundangan yang jelas, pemerintah bersama-sama dengan DPR telah mengeluarkan UU No.24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Nagara. Pasal 1ayat (1) UU No 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara menyebutkan bahwa: 120 Fachry Ali , Politik Bank Sentral, Posisi Gubernur Bank Indonesia dalam Mempertahankan Independensi, (Jakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usahbba Indonesia, 2003), hlm.76. 121 Jonker Sihombing, Op.cit., hlm.232. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 ”Surat utang Negara adalah Surat berharga yang berupa Surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya”. Pasal 4 UU NO.24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara tersebut menyebutkan bahwa surat utang Negara ditebitkan untuk maksud: 1. Membiayai defisit APBN 2. Menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran, dan 3. Mengelola portofolio utang negara Keseluruhan dari realisasi penerbitan surat utang Negara yang disebutkan pada Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara tersebut di atas akan tercatat dan tercemin pada APBN setiap tahunnya. Karena sebagian besar dari APBN diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan ekonomi, penerbitan Obligasi Negara Ritel merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan pembangunan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari anggaran belanja pemerintah pusat pada APBN-P Tahun 2007 yang tercatat sebesar Rp.493.880 miliar (empat ratus sembilan puluh tiga triliun dan delapan ratus delapan puluh miliar rupiah), dan sebesar Rp.393.968 miliar (tiga ratus sembilan puluh tiga triliun dan sembilan ratus enam puluh delapan miliar rupiah) atau 79,80% dari padanya dialokasikan untuk pengeluaran yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi seperti pembayaran berbagai jenis subsidi, bantuan sosial, bantuan lainnya, pengeluaran untuk belanja barang dan modal, serta Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 pembayaran bunga utang pemerintah. 122 Dari rangkaian data-data yang digambarkan tersebut dapat terlihat bahwa penerbitan ORI pada dasarnya dimaksudkan sebagai alternatif untuk membiayai pembangunan ekonomi Indonesia. Pemanfaatan obligasi pemerintah untuk membiayai pembangunan ekonomi merupakan hal yang biasa ditempuh oleh berbagai negara di dunia, termasuk oleh pemerintah Amerika Serikat sendiri. Pemerintah Amerika Serikat mempergunakan instrumen treasury bill dan treasury note/bond untuk membiayai kekurangan dalam anggaran belanja. 123 Penerbitan surat utang Negara sebagai alternatif untuk membiayai pembangunan ekonomi tidak dapat disebutkan sebagai gambaran dari ketidakmampuan pemerintah memobilisasi sumber-sumber utama pembiayaan pembangunan, karena fungsi dari Obligasi Negara Ritel dalam hal ini semata-mata hanya menjembatani kekurangan dalam pembiayaan pembangunan. Asas kemandirian dalam pembiayaan pembangunan nasional tidak menafikan bahwa sebahagian dari pembiayaan pembangunan nasional diperoleh dari pinjaman. Sepanjang jumlah pinjaman tersebut terukur dan berada pada batas rambu-rambu yang telah ditetapkan serta persyaratannya tidak membuat pemerintah menjadi kehilangan kebebasan dalam menentukan arah dan prioritas-prioritas pembangunan, fungsi pinjaman tersebut hanya sebagai pelengkap. Yang perlu mendapat perhatian pemerintah adalah pemanfaatannya harus sesuai dengan peruntukannya dan harus dilihat kemampuan keuangan pemerintah karena obligasi tersebut harus dibayar 122 Data sekunder dari APBN-P RI Tahun 2007-2008, www.anggaran.depkeu.go.id, Diakses Tanggal 20 April 2009. 123 www.whitehouse.gov/omb/budget/fy2006/tables.html. Diakses Tanggal 20 April 2009. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 kembali pada waktunya. Oleh karena itu, pemerintah harus memperhitungkan dengan cermat tentang kemampuan untuk mengembalikan utang tersebut di kemudian hari agar tidak terjadi wan prestasi/cedera janji, dan penerbitannya harus melalui persetujuan dari otoritas yang berwenang. Untuk menjaga agar keseluruhan utang pemerintah dapat dikelola dengan baik dan tidak mengakibatkan ketidakmampuan pembayarannya di kemudian hari, pemerintah melalui PP No. 23 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah membatasi jumlah kumulatif sebesar 60% (enam puluh per seratus) dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun yang bersangkutan. 124 Ke dalam jumlah pinjaman pemerintah pusat termasuk pinjaman yang bersumber dari dalam negeri dan yang bersumber dari luar negeri dengan jangka waktu lebih dari satu tahun. 125 Dengan demikian, penerbitan surat utang negara yang dimaksudkan untuk membiayai pembangunan ekonomi nasional telah diberikan rambu-rambunya secara umum pada PP No.23 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tersebut. Agar obligasi negara lebih diminati masyarakat luas sehingga makin dapat difungsikan peranannya sebagai alternatif sumber pembiayaan pembangunan ekonomi, pemerintah telah menjadikan obligasi negara sebagai instrumen yang 124 Pasal 4 ayat (2) PP No.23 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD, serta jumlah kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 125 Pasal 1 ayat (5) PP No. 23 Tahun 2003 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 diperdagangkan di pasar modal Indonesia. 126 Meskipun terdapat beberapa pengecualian dalam penerbitan obligasi negara seperti tidak diwajibkan untuk menyampaikan pernyataan pendaftaran (filling registration statement) ke BapepamLK, tetapi pengecualian seperti ini merupakan hal yang umum berlaku di hampir semua negara. Sebagaimana halnya dengan obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah yang selalu menjadi rujukan untuk berinvestasi di instrumen berpendapatan tetap, 127 obligasi negara menjadi acuan berinvestasi pada instrumen surat utang di pasar modal Indonesia. Dengan tercatat dan diperdagangkan di pasar modal, seluruh masyarakat akan dapat memiliki obligasi negara dengan cara membelinya di pasar perdana maupun di pasar sekunder sesuai dengan yang diinginkan. Pasar modal dalam hal ini menjembatani kebutuhan masyarakat sebagai unit pemilik dana dengan pemerintah sebagai unit yang membutuhkan dana untuk membiayai kegiatan pembangunan ekonomi nasional. Melalui pembelian obligasi negara, seluruh anggota masyarakat secara tidak langsung telah ikut serta membiayai pembangunan ekonomi Indonesia. Pada setiap penerbitan obligasi negara terkandung di dalamnya 2 (dua) aspek kebijakan, yakni kebijakan fiskal (fiscal policy) dan kebijakan moneter (monetery policy). Aspek kebijakan fiskal berkaitan dengan tujuan penerbitan obligasi negara yang dimaksudkan untuk membiayai defisit APBN. Oleh karena itu, aspek ini sangat besar peranannya dalam membiayai pembangunan ekonomi nasional yang digariskan 126 Melalui Surat Menteri Keuangan ke Direksi Bursa Efek Surabaya No. S20/KMK.017/2001 Tanggal 19 Januari 2001, pemerintah telah memintakan agar surat utang Negara tersebut dicatatkan (listing) di Bursa Efek Surabaya 127 Jorge Castellanos, dalam Jonker Sihombing, Op.cit., hlm. 236. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 oleh pemerintah. Aspek kebijakan fiskal tersebut lebih menekankan pada peranan obligasi negara yang harus mampu menjembatani kebutuhan pembiayaan pembangunan ekonomi dengan maksud agar pembangunan ekonomi dapat terlaksana sesuai dengan yang direncanakan. Di pihak lain, aspek kebijakan moneter melihat sejauh mana implikasi penerbitan obligasi negara terhadap volume uang yang beredar. 128 Dengan penerbitan obligasi negara, akan terjadi pengurangan volume uang yang beredar di masyarakat karena untuk membeli obligasi negara dan akan masuk ke rekening pemerintah di Bank Indonesia. Sebaliknya, apabila terjadi pelunasan surat utang negara akan menambah uang yang beredar di masyarakat, karena pemerintah akan menyuntikkan uang ke masyarakat melalui Bank Indonesia untuk pembayaran kembali kewajiban-kewajibannya yang berkaitan dengan obligasi negara tersebut. Aspek kebijakan moneter berkaitan erat dengan aspek kebijakan fiskal karena terciptanya stabilitas moneter akan mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi, dan pada gilirannya akan menciptakan keteraturan dan ketertiban dalam pengelolaan keuangan negara. Sebagaimana diketahui, adanya ketertiban dan keteraturan di masyarakat merupakan tujuan pokok dari hukum. 129 Di antara kedua aspek kebijakan yang melekat pada penerbitan obligasi negara sebagaimana yang disebutkan di atas, aspek kebijakan fiskal merupakan pertimbangan utama karena tujuan penerbitan obligasi negara adalah untuk 128 Uang yang beredar terdiri dari M1, M2, dan M3. M1 mencakup uang kartal (uang kertas) dan simpanan yang dapat ditarik setiap saat. M2 adalah M1 ditambah deposito dan tabungan (quasy money). M3 adalah M2 ditambah obligasi dan lain-lain. Dalam Jonker Sihombing, Ibid., hlm. 237. 129 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit., hlm. 3. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 membiayai pembangunan ekonomi yang tercermin pada APBN. 130 Penerbitan obligasi negara utamanya tidaklah dimaksudkan untuk meramaikan pasar modal Indonesia dengan menambah instrumen yang dapat diperdagangkan di bursa, ataupun tidak dimaksudkan agar pasar modal Indonesia menjadi lebih dipercaya oleh investor. Bahwa pasar modal Indonesia memetik manfaat dari kehadiran instrumen obligasi negara memang merupakan kenyataan, dan oleh karena itu kehadiran obligasi negara akan meningkatkan likuiditas pasar modal. Selain meningkatkan likuiditas pasar modal secara keseluruhan, obligasi negara juga menjadi acuan (brenchmark) berinvestasi di pasar modal. 131 Namun, apabila terdapat faktor-faktor negatif pada obligasi negara akan dapat meruntuhkan kredibilitas pasar modal Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus memenuhi janji-janjinya yang berkenaan dengan obligasi negara yang diterbitkannya, dan menghidarkan diri dari perbuatan cedera janji/wan prestasi. Apabila pemerintah wan prestasi, investor akan menjauhi instrumen obligasi negara, dan hal seperti ini akan mempengaruhi keberhasilan pembangunan ekonomi nasional karena alternatif sumber dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi di masa-masa mendatang menjadi semakin langka. Sebagaimana telah disebutkan di atas, fungsi utama dari penerbitan obligasi negara dimaksudkan untuk membiayai pembangunan ekonomi dan aspek kebijakan fiskal menjadi pertimbangan yang utama. Namun, agar penerbitannya dapat memberikan manfaat yang maksimal terhadap pembangunan ekonomi, harus 130 131 Lihat Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara. Sapto Rahardjo, Op.cit., hlm.118. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 dilakukan secara terkoordinasi dengan Bank Indonesia yang mengelola kebijakan moneter. Perlunya koordinasi antara kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter adalah untuk menetapkan dan mencapai target-target moneter dan defisit APBN secara konsisten dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil. 132 Adanya kewajiban untuk berkoordinasi pada setiap penerbitan obligasi negara telah pula diamanatkan oleh UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara yang di dalam Pasal 6 menyebutkan: ”Dalam hal pemerintah akan menerbitkan surat utang negara untuk tujuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4, Menteri terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia” UU No. 3 Tahun 2004 juncto UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia pada Pasal 55 juga telah mengamanatkan perlunya koordinasi dimaksud, yang di dalam pasal 55 menyebutkan: Ayat (1) Ayat (2) : Dalam hal pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia. : Bank Indonesia dapat menbantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Karena menyadari pentingnya keberhasilan obligasi negara untuk membiayai pembangunan ekonomi dan di pihak lain masyarakat masih merasa dikecewakan oleh obligasi negara yang diterbitkan oleh pemerintah pada tahun 1950-an, 133 sehingga pemerintah berusaha untuk membangun kepercayaan masyarakat pada instrumen 132 Dono Iskandar, Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia, dalam Heru Subiyantoro dan Singgig Riphat, Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, (Jakarta: Kompas, 2004), hlm.94. 133 Heru Supraptomo, Op.cit., hlm.49. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 obligasi negara tersebut. Upaya yang ditempuh pemerintah untuk membangun kepercayaan masyarakat dengan menciptakan klausula jaminan dari pihak pemerintah pada surat utang negara. Pasal 1 ayat (1) UU No.24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara menyebutkan bahwa: ”Surat utang negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya” Adanya klausula jaminan dari pihak pemerintah telah mampu meningkatkan penjualan obligasi negara, sebagaimana tercermin dari peningkatan jumlah obligasi negara yang beredar dari tahun ke tahun. Pada khir tahun 2002 jumlah surat utang negara yang beredar tercatat sebesar Rp.394,06 triliun (tiga ratus sembilan puluh empat triliun dan enam puluh milyar rupiah), yang keseluruhannya merupakan sisa ex obligasi rekapitulasi perbankan yang diterbitkan pemerintah secara private placement pada tahun 1998/1999. 134 Pada akhir tahun 2006 jumlah surat utang negara yang beredar tersebut meningkat menjadi Rp.418,75 triliun (empat ratus delapan belas triliun dan tujuh ratus lima puluh milyar rupiah), dan pada akhir bulan oktober 2007 telah mencapai Rp.472,41 triliun (empat ratus tujuh puluh dua triliun dan empat ratus sepuluh milyar rupiah). Meskipun minat masyarakat terhadap obligasi negara cenderung meningkat, pemerintah tidak menerbitkan obligasi dimaksud berdasarkan tendensi minat 134 Data sekunder dari Direktorat Jendral Pengelolaan Utang, Departemen Keuangan RI, UU No.24 Tahun 2002 diundangkan pada tanggal 22 Oktober 2002, dan pengaruhnya terhadap surat utang negara yang beredar baru mulai efektif pada tahun 2003. www.dmo.or.id. Diakses Tanggal 20 April 2009. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 masyarakat, tetapi lebih didasarkan pada kebutuhan anggaran pembangunan yang tercermin dari proyeksi defisit APBN. Volume obligasi negara yang diterbitkan dari waktu ke waktu akan ditentukan oleh besarnya tambahan kebutuhan pembiayaan pembangunan nasional yang diperlukan oleh pemerintah. Apabila di satu pihak minat masyarakat pada obligasi negara cukup besar sedang di pihak lain pasokan obligasi negara yang diterbitkan oleh pemerintah relatif terbatas, hal tersebut akan berpengaruh positif karena akan mengakibatkan harga obligasi negara di pasar sekunder menjadi lebih baik dan pada gilirannya akan menciptakan kepercayaan masyarakat pada instrumen obligasi negara. Setiap penerbitan obligasi negara yang dilakukan pemerintah pada dasarnya telah memenuhi unsur-unsur: 135 a. Authorized, karena penerbitannya telah mendapatkan persetujuan dari parlemen lebih dahulu, sebagaimana yang berlaku umum di sebagian besar negara-negara maju. Setiap penerbitan obligasi negara harus mendapat persetujuan DPR, dan Bagian Penjelasan dari Pasal 7 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara menyebutkan bahwa persetujuan dimaksud mencakup untuk semua pembayaran kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagaimana akibat penerbitan obligasi negara. b. Responsible, karena penatausahaan dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang mempunyai pengalaman yang luas, fasilitas jaringan dan infrastruktur, dan personalia 135 yang baik serta trampil untuk melaksanakan Jonker Sihombing, Op.cit., hlm.243. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 kegiatan penatausahaan dan lelang obliges negara. Penatausahaan obligasi negara yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia dewasa ini telah sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh BIS-CPSS yang menjadi acuan bagi setelmen surat-surat utang pemerintah di kebanyakan negara. c. Accountable, karena penggunaan hasil penerbitan obligasi negara setiap tahunnya dipertanggung jawabkan oleh pemerintah ke DPR. Pasal 16 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2002 menyebutkan bahwa pemerintah membuat pertanggung jawaban atas pengelolaan surat utang negara, yang disampaikan sebagai bagian dari pertanggung jawaban pelaksanaan APBN tahun berjalan. d. Fairness, karena metode penerbitannya dilakukan secara lelang, dan penyimpanannya dilakukan secara ganda (dual ownership), dan penitipan utama (central registry) yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia mengikuti ketentuan yang berlaku umum dikebanyakan negara. Dengan demikian, meskipun penerbitan obligasi negara dikecualikan dari asas keterbukaan (transparansi) dalam arti tidak menyampaikan pernyataan pendaftaran (filling registration statement) ke Bapepam-LK, tetapi untuk setiap penerbitan obligasi negara pada dasarnya telah sesuai dengan prinsip good corporate governance. Asas keterbukaan yang tidak dipenuhi dalam penerbitan obligasi negara semata-mata hanya karena tidak diwajibkan untuk menyampaikan pernyataan pendaftaran ke Bapepam-LK, dan hal ini berlaku umum untuk emisi surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah di kebanyakan negara. Meskipun demikian, mengenai rencana penerbitan obligasi negara telah memenuhi asas keterbukaan, Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 karena penerbitannya harus mendapatkan persetujuan dimaksud, pemerintah harus menyampaikan data-data pendukung yang dapat meyakinkan DPR. Data-data yang dipersiapkan oleh pemerintah pada waktu pengajuan penerbitan obligasi negara maupun data-data pertanggung jawaban penggunaan obligasi negara kepada DPR memang dimaksudkan untuk konsumsi DPR sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. D. Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Obligasi Negara Ritel Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan mengenai perjanjian sebagai berikut: ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” Suatu perjanjian merupakan peristiwa seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 136 Pada setiap penerbitan surat utang negara terkandung di dalamnya perjanjian yang menciptakan hak dan kewajiban bagi mereka yang terlibat dalam perjanjian dimaksud. Perjanjian tersebut tercipta di antara pemerintah sebagai penerbit dengan pemegang obligasi negara sebagai investor. Perjanjian antara pemerintah dengan investor tersebut dapat dipersamakan dengan perjanjian yang terjadi di antara seorang yang berutang (debitor) dengan seorang atau beberapa orang yang berpiutang (kreditor). Pada saat terjadi penerbitan obligasi negara di pasar perdana, pemerintah mengakui berutang/meminjam uang dari investor yang menjadi kreditor melalui mekanisme 136 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-19, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm.1. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 lelang, mengikuti aturan yang ada di pasar modal. Jika terjadi transaksi lelang obligasi negara di pasar perdana, pada dasarnya telah terjadi suatu perjanjian pinjam meminjam antara pemerintah di satu pihak dengan investor di pihak yang lainnya. Pemerintah mengikat diri dalam sebuah perjanjian pinjam meminjam uang dengan sedemikian banyak investor yang membeli obligasi negara dimaksud. Obligasi negara yang diterbitkan oleh pemerintah menjadi wadah dari perjanjian pinjam meminjam tersebut, dan hakikatnya dari adanya perjanjian antara debitor dengan kreditor dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (1) UU No.24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara yang menyebutkan bahwa surat utang negara merupakan surat pengakuan utang. Dengan adanya perjanjian pinjam meminjam uang antara pemerintah dengan investor melalui sarana obligasi negara, investor mempunyai hak tagih kepada pemerintah sebagai debitor pada saat angsuran pokok maupun bunga obligasi negara jatuh tempo. Tagihan yang diwujudkan dalam bentuk surat berharga, akta atau kertas tagihan maupun catatan elektronis mengenai adanya tagihan tersebut memberikan legitimasi kepada pemegangnya sebagai pemilik. 137 Selain perjanjian antara pemerintah dengan investor berkenaan dengan penerbitan obligasi negara, unsur perjanjian terdapat pula antara pemerintah di satu pihak dengan Bank Indonesia di pihak lainnya. Adanya unsur perjanjian tersebut dapat dilihat pada Pasal 12 sampai dengan Pasal 14 UU No. 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Pemerintah menunjuk Bank Indonesia sebagai agen 137 Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Hutang, cetakan ke-2, (Bandung: PT. Alumni 1999), hlm.2. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 penyelenggara lelang di pasar perdana, agen pembayar bunga dan pokok, serta pelaksana kegiatan penatausahaan obligasi negara. Dengan penyerahan tugas keagenan ke Bank Indonesia tersebut mempunyai makna bahwa antara pemerintah dengan Bank Indonesia telah tercapai suatu perjanjian, Bank Indonesia telah menyetujui untuk melaksanakan tugas-tugas yang diperjanjikan tersebut dengan sebaik-baiknya. 138 Perjanjian antara pemerintah dengan Bank Indonesia untuk pelaksanaan tugas keagenan tersebut memberikan perlindungan hukum bagi investor atau pemegang obligasi karena segala kepentingannya yang berkaitan dengan penatausahaan, penyimpanan, dan pembayaran kembali pokok dan bunga obligasi negara akan dilakukan oleh institusi yang tertib administrasinya terjaga dengan baik. Tugas keagenan yang disandang Bank Indonesia menempatkan Bank Indonesia tersebut sebagai lembaga yang sangat penting dalam keberhasilan penerbitan dan perdagangan obligasi negara. Selanjutnya adanya perjanjian Perwaliamanatan yang merupakan suatu perjanjian yang dibuat antara emiten (penerbit) dengan Wali Amanat yang mengikat terhadap investor pemegang obligasi. Obligasi adalah surat utang yang harus dibayar, yang juga merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban pemenuhan kewajiban pembayaran utang yang lahir dari penerbitan obligasi berdasarkan perjanjian Perwaliamanatan menurut Pasal 1131 KUHPerdata dijamin oleh seluruh harta kekayaan emiten (penerbit). Selain itu Wali Amanat dalam hal tidak ada jaminan kebendaan, Wali amanat merupakan pemegang hak gugatan perorangan dan 138 Jonker Sihombing, Op.cit, hlm 247. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 satu-satunya pelaksana hak gugatan perorangan yang dimiliki seluruh investor pemegang obligasi. Dalam hal ini, benda yang dimiliki Wali Amanat adalah hak gugatan perorangan yang kewenangannya berdasarkan UUPM dan Perjanjian Perwaliamanatan diserahkan kepada Wali Amanat. Tidak ada seorang investor pun yang dapat melaksanakan hak gugatan perorangan tersebut. Dengan demikian, berdasarkan pada perjanjian Perwaliamanatan, investor pemegang obligasi tidaklah dapat secara langsung berhubungan dengan emiten (penerbit), oleh karena setiap investor pemegang obligasi hanyalah memiliki bagian-bagian dari surat utang global atau jumbo yang diwakili oleh Wali Amanat. Setiap tindakan investor pemegang obligasi adalah tindakan bersama dari seluruh investor pemegang obligasi tersebut, yang dilaksankan oleh Wali Amanat berdasarkan pada perintah atau amanat Rapat Umum Pemegang Obligasi. Selama dan sepanjang Wali Amanat melaksanakan tugas dan kewajibannya kepada investor dan hak-haknya terhadap pemerintah, maka seluruh hak dan kepentingan investor pemegang obligasi akan terlindungi dalam hukum. Perlindungan dalam bentuk jaminan pemenuhan pembayaran obligasi (sebagai utang) akan lebih terjamin, manakala obligasi tersebut dijamin dengan suatu penanggungan utang menurut Pasal 1820 KUHPerdata dengan pelepasan hak istimewa, atau jaminan pembayaran menurut Pasal 1316 KUHPerdata, atau pemberian jaminan kebendaan. 139 139 Gunawan Widjaja dan Jono, Penerbitan Obligasi dan Peran Serta Tanggung Jawab Wali Amanat dalam Pasar Modal, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm.118-119. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Konsep dasar dari diadakannya hubungan keagenan adalah untuk memungkinkan seseorang atau satu pihak melakukan perluasan aktivitasnya melalui tindakan ataupun jasa orang lain. KUHPerdata maupun KUHD tidak secara tegas mengatur mengenai perjanjian keagenan. Yang lebih mirip dengan tugas keagenan adalah pekerjaan yang dilakukan oleh makelar dan komisioner sebagaimana yang dimuat pada Pasal 62 sampai dengan Pasal 73 serta Pasal 76 sampai dengan Pasal 85a KUHD. Meskipun demikian, sifat-sifat yang terdapat pada kegiatan makelar 140 dan komisioner 141 tidak dapat dipersamakan dengan kegiatan keagenan. Perjanjian keagenan merupakan perwujudan dari kebebasan berkontrak yang terdapat pada KUHPerdata. Kebebasan berkontrak ini menjadi dasar untuk mengisi kekosongan dalam bidang hukum perjanjian yang bersifat terbuka, dengan maksud agar hukum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat mengikuti dinamika pembangunan ekonomi dan dapat menjadi sarana pembaharuan (a tool of social engineeging). 142 Hubungan keagenan selalu diawali dengan perjanjian, dan dari isi perjanjian dapat diketahui tindakan apa yang dapat dilakukan oleh agen terhadap pihak ketiga dalam mewakili prinsipal. Tugas keagenan yang dipegang oleh Bank Indonesia yang berkaitan dengan obligasi negara lebih bersifat khusus, dan 140 Makelar adalah orang yang pekerjaannya menjadi perantara dalam transaksi dagang antara seseorang dengan pihak ketiga, dan makelar tidak mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama salah satu pihak dalam transaksi tersebut. I Ketut Oka Setiawan, Lembaga Keagenan dalam Perdagangan dan Pengaturannya di Indonesia, (Jakarta: Ind Hill Co, 1996), hlm.12. 141 Komisioner adalah orang yang melaksanakan transaksi dagang berdasarkan sebuah kuasa, dan untuk tindakannya tersebut dia menerima komisi sebagai imbalannya. Ibid., Lihat juga Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis, dalam Persepsi Manusia Modern, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm.131. 142 Muchtar Kusumaatmadja, Op.cit., Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 sebagaimana kegiatan keagenan pada umumnya, Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas-tugasnya bertindak untuk dan atas nama pemerintah. Melihat sifatnya yang sangat khusus sebagaimana yang disebutkan di atas, tugas keagenan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia tidak tepat apabila digolongkan ke dalam kegiatan makelar atau komisioner yang diatur dalam KUHD, tetapi lebih tepat digolongkan sebagai pemberian kuasa sebagaimana yang diatur pada Pasal 1792 KUHPerdata. Dengan dasar pemikiran yang disebutkan di atas, sebuah pemberian kuasa akan melahirkan perwakilan yaitu adanya seseorang yang mewakili orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dapat terjadi karena adanya suatu perjanjian ataupun karena undang-undang, 143 dan kuasa yang diterima oleh Bank Indonesia diberikan oleh undang-undang sebagaimana tercantum pada Pasal 12 sampai dengan Pasal 14 UU No.24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Walaupun sulit dibayangkan, pemerintah akan menolak membayar kembali para pemegang obligasi negara ritel, mengingat perbuatan ini pasti akan menurunkan kepercayaan publik kepada ORI, sebab salah satu yang membuat banyak investor tertarik membeli obligasi negara ritel adalah kepastian pembayaran kembali oleh negara. Karena itulah walaupun ORI tidak memiliki underlying asset, namun hal ini tidak mengurangi kepercayaan publik untuk membelinya. Apalagi UU SUN sudah mengatur bahwa dana untuk membayar pemegang obligasi negara akan disisihkan dalam APBN setiap tahunnya sampai berakhirnya kewajiban pembayaran. 143 Subekti, Aneka Perjanjian, Op.cit., hlm.141. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Sekecil apapun, resiko gagal bayar dan penolakan pemerintah untuk melakukan pembayaran tetap ada. Apalagi sudah ada perkara di mana pemerintah pasang badan dan menolak pembayaran kewajibannya berdasarkan perintah pengadilan (Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 07/Pdt.G/PN.SBY tanggal 14 September 1999 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur No. 112/B/PDT/2000/ PT.SBY tanggal 6 Juni 2000 jo. Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 3939 K/PDT/2001 tanggal 24 Januari 2003 jo. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 161 PK/ PDT/2004 tanggal 31 Januari 2007). 144 Pemegang SUN tidak memiliki kepastian memperoleh pembayaran selain jaminan dari pemerintah yang belum tentu dilaksanakan. Hal ini penting untuk dipikirkan agar tidak ada investor SUN yang mengakhiri hidupnya karena uang investasi mereka tidak kembali, sebagaimana dilakukan seorang nasabah korban reksadana fiktif Bank Century. Menggugat, mungkin saja tidak ada gunanya, karena pemerintah dapat saja pasang badan untuk tidak membayar. Berharap pada itikad baik pemerintah. Rasanya demi kepastian hukum dan keadilan bagi investor, itikad baik saja belum cukup. Menjual kembali ataupun membuat perjanjian anjak piutang tagihan terhadap obligasi negara, jelas tidak menyelesaikan masalah, setidaknya dalam jangka panjang. Pengaturan bahwa aset negara tidak dapat disita tidak boleh diberlakukan secara kaku. Benar, aset-aset negara yang bernilai vital bagi kelangsungan negara dan bernilai sejarah seperti Gelora Bung Karno memang tidak boleh disita dengan alasan 144 Hendra Setiawan Boen, Aset Penjaminan SBSN Dan UU Kebendaan Negara, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21664&cl=Kolom, Diakses Tanggal 20 April 2009. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 apapun, namun selama aset itu hanya memiliki nilai ekonomis semata, rasanya tidak ada alasan lain mengapa aset negara yang demikian tidak boleh disita. Dapat diatur bahwa pengadilan dapat memberikan perintah kepada pemerintah untuk memasukkan uang pembayaran di dalam APBN, atau menjual dan/atau melelang sendiri aset-aset yang dijaminkan tersebut. Sekiranya pemerintah tetap menolak melakukannya, maka pengadilan dapat melakukan penyitaan dan melelang aset-aset tersebut. Ketentuan seperti ini dapat menjamin supremasi putusan pengadilan terhadap pemerintah, bahwa pengadilan mempunyai kedudukan yang seimbang dengan eksekutif dan bernegara. Seandainya pemerintah dibiarkan tidak tunduk terhadap putusan pengadilan, hal ini tentu akan merusak tatanan hukum yang ada dan menjadi preseden buruk bagi kehidupan bernegara. Dalam cakupan lebih luas, ketentuan seperti ini dapat melindungi semua warga negara terhadap tirani negara. Bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama dalam hukum, termasuk negara itu sendiri. Memang benar, negara membuat peraturan perundang-undangan, namun setelah peraturan perundang-undangan itu berlaku, maka negara akan menjadi pihak yang tunduk kepadanya. Demikian pula terhadap putusan lembaga peradilan yang bersumber dari konstitusi sendiri. 145 Yang paling penting harus diingat adalah bahwa selama ini larangan penyitaan terhadap aset negara sudah berlaku limitatif. Sudah sering terjadi aparat penegak hukum, dengan alasan mengamankan aset negara, baik KPK maupun Kejaksaan Agung Republik Indonesia melakukan penyitaan terhadap aset negara 145 Ibid., Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 yang diduga merupakan hasil tindak pidana. Misalnya penyitaan terhadap rekening PT SMP, salah satu tersangka kasus dugaan tindak pidana SISMINBAKUM). Dengan demikian aset negara dapat disita apabila memiliki alasan yang tepat. Rasanya penyitaan terhadap aset negara oleh perintah pengadilan karena pemerintah melakukan ingkar janji atau menolak memberikan hak warga negaranya, juga merupakan alasan yang tepat, karena memperlihatkan semua yang hidup di bawah Konstitusi Republik Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, sekalipun negara ataupun pemerintah. Jargon di industri pasar modal, my word is my bond, memiliki makna pentingnya memenuhi janji-janji yang diucapkan. Jika janji itu diingkari, musnah sudah kredibilitas. Meski ORI yang dimiliki negara memiliki tingkat kepercayaan tinggi karena yang menjamin negara, namun perlindungan investor ini juga terkait dengan harga yang wajar dan adil saat diperdagangkan. Perlindungan investor itu, antara lain menyangkut transparansi harga obligasi. Berdasarkan informasi Manajemen PT Bursa Efek Surabaya, pembentukan harga obligasi yang ada di bursa saat ini belum sempurna karena baru sekitar 50% pelaku pasar yang melaporkan transaksinya ke BEI. Pelaporannya pun terlambat karena laporan transaksi obligasi itu baru diberikan saat pembayaran (setlement) yang pelaksanaannya setelah beberapa hari transaksi, sehingga harganya sudah berubah. 146 Kembali merujuk kepada UU SUN Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2), yang menyatakan pemerintah menjamin dan wajib membayar bunga dan pokok obligasi, 146 Suli Murwani, SUN Ritel Jangan Sampai Mengecewakan, http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=477&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&pared_id= 426074&patop_id=O09. Diakses Tanggal 20 April 2009. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 pada dasarnya merupakan perlindungan hukum bagi pemegang obligasi. Dalam Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4), dalam hal pembayaran kewajiban bunga dan pokok melebihi perkiraan dana, maka Menteri Keuangan melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada DPR dalam pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan analisis pada Bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pengaturan penerbitan ORI dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara menjamin keberadaan Obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Artinya pemerintah wajib membayar bunga dan pokok setiap Surat Utang Negara jatuh tempo. Adanya jaminan dari pihak pemerintah dimaksudkan untuk menciptakan daya tarik bagi investor agar berinvestasi pada surat utang negara. Dengan adanya UU SUN tersebut, maka pemegang obligasi tidak perlu khawatir terjadi risiko gagal bayar (default risk). Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2002 tentang SUN dan Pasal 8 ayat (2), pemerintah wajib membayar bunga dan pokok setiap Surat Utang Negara pada saat jatuh tempo. 2. Kedudukan hukum pemegang Obligasi Negara Ritel pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kreditur konkuren pada perjanjian utang piutang yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan pembayarannya dari kreditur-kreditur lainnya apabila pemerintah wan prestasi. Karena jaminan dari pihak pemerintah untuk membayar bunga dan pokok surat utang negara sebagaimana tercantum Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 pada Pasal 1 UU No. 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara pada dasarnya ditujukan agar surat utang negara lebih diminati oleh masyarakat. 3. Perlindungan hukum pemegang Obligasi Negara Ritel adalah berdasarkan UU SUN dan berdasarkan perjanjian pinjam meminjam uang antara pemerintah dengan investor, investor mempunyai hak tagih kepada pemerintah sebagai debitor pada saat angsuran pokok maupun bunga obligasi negara jatuh tempo telah memberikan legitimasi kepada pemegang obligasi. Selanjutnya berdasarkan perjanjian antara pemerintah dengan Bank Indonesia untuk pelaksanaan tugas keagenan telah memberikan perlindungan hukum bagi investor atau pemegang obligasi karena segala kepentingannya yang berkaitan dengan penatausahaan, penyimpanan, dan pembayaran kembali pokok dan bunga obligasi negara akan dilakukan oleh institusi yang tertib administrasinya terjaga dengan baik. B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut: 1. Apabila peraturan perundang-undangan tidak jelas ataupun tidak lengkap seperti ketidakpastian penggunaan klausula jaminan dari pihak pemerintah yang tercantum pada Pasal 1 UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, maka diperlukan upaya untuk melengkapinya dengan cara melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) yang berkenaan dengan jaminan dari pihak pemerintah dimaksud. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 2. Pemerintah bersama-sama dengan DPR perlu segera melakukan revisi atas klausula penjaminan yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara karena hal tersebut dapat ditafsirkan investor sebagai penanggungan dalam penerbitan obligasi Negara ritel yang merupakan transaksi perdata. Untuk mencegah tuntutan perdata atas obligasi Negara yang mungkin akan timbul di kemudian hari, revisi di maksud hendaknya mendapatkan prioritas dan dilakukan pada kesempatan pertama. 3. Mengenai perlindungan hukum terhadap pemegang obligasi, rasanya tidaklah cukup berpatokan dari kata jaminan dari pemerintah. Karena sekecil apapun, resiko gagal bayar dan penolakan pemerintah untuk melakukan pembayaran tetap ada. Maka sebaiknya pengadilan dapat membuat perintah yang dapat menjamin supremasi putusan pengadilan terhadap pemerintah, agar tidak ada investor Obligasi Negara Ritel yang mengakhiri hidupnya karena uang investasi mereka tidak kembali, sebagaimana dilakukan seorang nasabah korban reksadana fiktif Bank Century. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 DAFTAR PUSTAKA Buku Ali, Fachry , Politik Bank Sentral, Posisi Gubernur Bank Indonesia dalam Mempertahankan Independensi, Jakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usahbba Indonesia, 2003 Ang, Robbert, Buku Pintar Pasar Modal Indonesia, Jakarta: Mediasoft Indonesia, 1997 Anoraga, Panji, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, Jakarta: Pustaka Jaya, 1994 Basri, Yuswar Zainul dan Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005 Boediono, Teori Pertumbuhan Ekonomi, (Yogyakarta: BPFE, 1982), hlm.65. Cahyadi, Adi, Jalur Distribusi dan Promosi Surat Utang Negara Versi Retail: Kasus Pemerintah Daerah Khusus Hong Kong, Bunga Rampai Hasil Penelitian Badan Pengakajian Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional, Jakarta: Bapekki, 2004 Cahyana, Jaka E., Langkah taktis Metodis Berinvestasi di Obligasi, Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2004 Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999 Dumairy, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1996 Elijana, Proses Mengajukan Permohonan Pailit terhadap Guarantor dan Holding Company, dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: PT. Alumni, 2001 Gautama, Sudargo, Segi-segi Hukum Internasional pada Nasionalisasi di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 1975 Harahap, M.Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Cetakan ke-2, Bandung: P.T Alumni, 1986 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Hartono, Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: P.T.Alumni, 1991 HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006 Ibrahim, Jhony, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2005 Ibrahim, Johannes dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis, dalam Persepsi Manusia Modern, Bandung: Refika Aditama, 2004 Ilmar, Aminuddin, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004 Indonesia Legal Center Publishing, Kamus Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta: CV.Karya Gemilang, 2008 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1997 Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan Karya Tulis, Bandung: P.T.Alumni, 2002 Lubis, Ade Fatma, Pasar Modal, Jakarta: FEUI, 2008 Manurung, Adler Haymans, Dasar-Dasar Investasi Obligasi, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006 ----------------------------, Pengelolaan Portofolio Obligasi, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2007 Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Cetakan kedua, Yogyakarta: Liberty, 2001 Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 2006 Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan kedua, Edisi revisi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002 -----------------------------, Hukum Dagang tentang Surat Berharga, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 ----------------------------, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Adytia Bakti, 2004 Nasarudin, Irsan dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Cetakan ke4, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007 Nasution, Bismar dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkumpulan, Perseroan dan Koperasi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1985 Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980 Rahardjo, Sapto, Panduan Investasi Obligasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003 ----------, Sapto, Panduan Investasi Obligasi, Cetakan kedua, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004 Retnadi, Djoko, dkk, Obligasi Rekapitulasi Perbankan, Geneologi, Masalah dan Solusi, Jakarta: Masyarakat Profesional Madani, 2005 Rudianto, Dody, Pembangunan dan Perkembangan Bisnis di Indonesia, Perspektif Pembangunan Indonesia dalam Kajian Pemulihan Ekonomi, Jakarta: Golden Trayon Press, 2002 Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Hutang, cetakan ke-2, Bandung: PT. Alumni 1999 Setiadi, A., Obligasi dalam Perspektif Hukum Indonesia, Bandung: P.T.Citra Aditya, 1996 Setiawan, I Ketut Oka, Lembaga Keagenan dalam Perdagangan dan Pengaturannya di Indonesia, Jakarta: Ind Hill Co, 1996 Sigit Setiawan, Makmun, Belajar dari Pengalaman Jepang dalam Menerbitkan Obligasi Retail, Bunga Rampai Hasil Penelitian Badan Pengkaji Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional, Jakarta: Bapekki, 2004 -----------------------------, Pengelolaan utang Negara dan Pemulihan Ekonomi, Edisi Khusus, Departemen Keuangan, Republik Indonesia, Jakarta: Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan kerjasama Internasional, 2005 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Sihombing, Jonker, Investasi Asing Melalui Surat Utang Negara di Pasar Modal, Bandung: P.T.Alumni, 2008 Siregar, Muchtarudin, Pinjaman Luar Negeri dan Pembiayaan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: FEUI, 1991 Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan kesepuluh, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995 ---------, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-19, Jakarta: Intermasa, 2002 Subiyantoro, Heru dan Singgig Riphat, Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, Jakarta: Kompas, 2004 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1982 ................. dan Sri Manjui, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995 Suhaidi, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU Sulistyastuti, Dyah Ratih, Saham dan Obligasi, Ringkasan Teori dan Soal Jawab, Yogyakarta: UAJY, 2002 Sumantoro, Hukum Ekonomi, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986 Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Gramedia, 1997 Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Medan: pustaka bangsa Press, 2003 Tandelilin, Eduardus, Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio, Edisi Pertama, Yogyakarta: BPFE, 2001 Pangaribuan, Emmy, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, Yogyakarta: FH. Universitas Gadjah Mada, 1982 Widjaja, Gunawan dan Jono, Penerbitan Obligasi dan Peran Serta Tanggung Jawab Wali Amanat dalam Pasar Modal, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006 Winardi, Kamus Istilah Ekonomi (Eksiklopedi Mini), Jakarta: P.T.Bina Aksara, 1998 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Wuisman, J.J.J.M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Jakarta: FE UI, 1996 Surat Kabar/Majalah/Makalah dan Jurnal Agus Supriyanto, Anne L Handayani, Pemesanan Obligasi Retail Capai Rp. 1,9 Triliun, Jakarta: Tempo Interaktif, Kamis, 03 Agustus 2006 Cetak Biru Pembangunan Bidang Ekonomi, Bab IX, hlm.XI-44. Keith Griffin dan John Enos dalam makalah Umar Juoro, Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Pinjaman Luar Negeri. Memorandum Informasi Obligasi Negara Republik Indonesia, Seri ORI-001, Bab IV, Jakarta: Departemen Keuangan, 2006 Soepraptomo, Heru, Segi-segi Hukum Obligasi, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23, No. 1, Tahun 2004,hlm.46. Siaran Pers, Biro Hubungan Masyarakat (Humas), Departemen Keuangan Republik Indonesia, Nomor 35/HMS/2006, 27 Juli 2006. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 Tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana PP No.23 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD, serta jumlah kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Surat Menteri Keuangan ke Direksi Bursa Efek Surabaya No. S-20/KMK.017/2001 Tanggal 19 Januari 2001 Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008 Situs Internet http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=477&_dad=portal30&_schema=PORT AL30&pared_id=426074&patop_id=009 http://hendrihartopo.info/cetak.php?id=50 http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=150333 http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21664&cl=Kolom www.anggaran.depkeu.go.id www.depkeu.go.id, www.whitehouse.gov/omb/budget/fy2006/tables.html. www.dmo.or.id. Elvira Fitriyani Pakpahan : Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), 2009 USU Repository © 2008