File - Bimas Kristen Yogyakarta

advertisement
Renungan: KASIH Vs KEMUNAFIKAN (Denny Teguh
Sutandio)
Diambil dai: http://www.akupercaya.com/renungan-harian/17549-renungan-kasih-vs-kemunafikandenny-teguh-sutandio.html
“Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang
baik.”
(Rm. 12:9)
Surat Roma adalah salah satu kitab di dalam Alkitab yang paling berpengaruh di
dalam sejarah gereja. Bapa Gereja Augustinus bertobat setelah membaca surat ini.
Begitu juga reformator, Dr. Martin Luther kembali menemukan kebenaran bahwa
manusia dibenarkan melalui iman pun ketika dia menyelidiki Surat Roma. Surat ini
ditulis oleh Rasul Paulus kira-kira pada tahun 55 atau 56 Masehi. (The Wycliffe Bible
Commentary Vol. 3, 2008, hlm. 509) Surat ini ditujukan kepada orang Yahudi dan
Yunani yang tinggal di Roma dan berisikan dasar-dasar iman Kristen tentang Allah,
kesucian-Nya, dosa manusia, keselamatan di dalam Kristus, pengudusan, dan
kehidupan Kristen sebagai aplikasi doktrin yang telah mereka pelajari. Biasanya surat
ini dibagi menjadi 2 bagian pembahasan, yaitu: pembahasan doktrin (Rm. 1 s/d 11)
dan pembahasan aplikasi dari doktrin (Rm. 12 s/d 16). Pada bagian pertama yaitu di
Roma 1 s/d 11, Rasul Paulus membahas doktrin dosa dan keselamatan dengan
menelusuri Perjanjian Lama dan diakhiri dengan suatu kesimpulan final bahwa segala
sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah, bagi Dia kemuliaan selamalamanya (Rm. 11:36). Kesimpulan tersebut merupakan kesimpulan tentang sangat
agungnya keselamatan yang telah Allah berikan bagi umat-Nya dan tentu saja
kesimpulan ini juga berlaku bagi seluruh kehidupan Kristen yang seharusnya
memusatkan hidup mereka pada anugerah dan kemuliaan-Nya. Oleh karena itulah,
konsep bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah diimplikasikan oleh Paulus
di dalam seluruh aspek kehidupan Kristen sehari-hari. Implikasi ini dimulai dari konsep
ibadah sejati yang menyeluruh yang berpusat pada Allah di Roma 12:1-2. Di dalam
ibadah tersebut, kita sebenarnya sedang melayani Allah. Oleh karena itu, kemudian, ia
mengimplikasikan konsep kemuliaan Allah di dalam pelayanan yang saling
melengkapi di dalam Kerajaan Allah di Roma 12:3-8. Di dalam pelayanan pun, salah
satu unsur yang perlu diperhatikan adalah kasih. Tanpa kasih, tidak mungkin ada
orang yang mau melayani. Tanpa kasih pula, pelayanan kita tidak akan benar-benar
memuliakan-Nya, karena pelayanan kita akan dikuasai oleh semangat kompetisi dan
keegoisan. Karena alasan itulah, Paulus menjelaskan ulang konsep kasih yang
berpusat kepada Allah mulai ayat 9 s/d 20. Pada kali ini, kita tidak akan membahas
keduabelas ayat tersebut, namun hanya mengkhususkannya di ayat 9 sebagai bahan
renungan kita tentang kemunafikan, lalu bagaimana kita bisa keluar dari kemunafikan
kita dengan kembali kepada kasih yang berpusat pada Allah.
Bukan suatu kebetulan, Rasul Paulus mendefinisikan tentang kasih dengan
mengaitkannya pertama-tama dengan kepura-puraan atau kemunafikan. Di ayat 9, ia
mengajar, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah
yang baik.” Di dalam terjemahan Yunani, kata “hendaklah” tidak ditemukan, namun di
dalam beberapa terjemahan Inggris, kata ini diterjemahkan let (=biarlah) dan ada juga
terjemahan Inggris lain yang tidak menerjemahkannya. Dr. John Gill di dalam
tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkan bahwa ayat ini adalah
berupa nasihat/dorongan (exhortation). Tentunya karena ini merupakan
nasihat/dorongan, maka ini bukan paksaan. Lalu, setelah “hendaklah”, Paulus
menyambung dengan kata “kasih.” Kasih apakah yang Paulus maksudkan? Bahasa
Indonesia tidak jelas mendefinisikannya, begitu juga bahasa Inggris. Ketika kita
menyelidiki bahasa Yunaninya, kata yang dipergunakan adalah agapē yang berarti
unconditional love (kasih yang tidak bersyarat) dan jenis kasih ini adalah kasih yang
tertinggi yang hanya pantas diperuntukkan untuk kasih Allah bagi umat-Nya.
Dari penjelasan di atas, kita belajar bahwa kasih agapē ini BUKAN suatu keharusan
yang memaksa, tetapi suatu nasihat yang membebaskan. Mengapa demikian? Karena
kasih dan mengasihi (konteks: agapē) merupakan suatu hal yang keluar dari hati yang
terdalam. Allah mengasihi manusia dengan kasih agapē dan kasih ini telah
ditunjukkan-Nya dengan sempurna melalui karya penebusan Kristus di kayu salib.
Kasih agapē tersebut keluar dari hati Allah yang terdalam dan termurni. Seorang
Kristen yang telah dikasihi dan ditebus-Nya seharusnya merespons kasih-Nya tersebut
dengan mengasihi Allah dan sesama dengan kasih yang tak bersyarat atau kasih yang
murni. Jangan pernah memaksa seseorang untuk mengasihi orang lain apalagi
memaksa seseorang mengasihi Allah, karena itu tidak akan berguna apa-apa, bahkan
mungkin sekali orang yang kita paksa untuk mengasihi itu memiliki kasih yang purapura. Oleh karena itu, maka Paulus melanjutkan, “kasih itu jangan pura-pura!”
Pernyataan “jangan pura-pura” memiliki beragam arti di dalam terjemahan Inggris
maupun bahasa Yunaninya. English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “Let
love be genuine.” (=biarlah kasih itu sungguh-sungguh) International Standard Version
(ISV) menerjemahkannya, “Your love must be without hypocrisy.” (=Kasihmu harus
tanpa kemunafikan.) King James Version (KJV) menerjemahkannya, “Let love be
without dissimulation.” (=Biarlah kasih itu tanpa topeng/berpura-pura.) New
International Version (NIV) menerjemahkannya, “Love must be sincere.” (=Kasih harus
tulus.) Terjemahan Indonesia dari teks Yunaninya adalah “Kasih itu bukan yang
berpura-pura.” (Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia, 2006,
hlm. 864) Dari beragam terjemahan ini, kita mendapatkan penjelasan bahwa kasih itu
tidak boleh berpura-pura atau kasih itu tidak boleh munafik. Apa itu munafik?
Mengapa dikontraskan dengan kasih? Mari kita menyelidikinya.
Menurut NIV Spirit of the Reformation Study Bible, kata “munafik” yang diterjemahkan
dalam bahasa Inggris sebagai hyprocrisy berasal dari kata hypocrites (aktor) di dalam
drama Yunani kuno yang menggunakan topeng. Dengan kata lain, si hipokrites/aktor
yang bermain dalam drama ini menggunakan topeng. Nah, melalui ayat ini, Paulus
hendak mengajar jemaat Roma dan kita bahwa kasih agapē bukanlah kasih yang
bertopeng seperti demikian. Ketika kita berbicara mengenai topeng, kita sebenarnya
berbicara mengenai kepalsuan. Di dalam dunia yang kita hidupi ini, sudah terlalu
banyak kepalsuan yang kita tonton dan perhatikan. Mulai dari film, drama, dll, kita
menjumpai beraneka ragam kepalsuan. Tidak jarang di dalam dunia realitas, kita
menjumpai kepalsuan ini bahkan di dalam diri banyak orang Kristen. Mereka aktif ke
gereja, suka menghadiri seminar dan acara-acara rohani, namun mereka hidup di
dalam kepalsuan. Atau dengan kata lain, mereka bermuka dua. Di hadapan semua
orang, orang seperti ini bisa kelihatan baik, alim, dll, tetapi ketika tidak ada orang yang
memperhatikan, ia bisa berlaku sebaliknya. Di hadapan orang tertentu, ia bisa
menyanjung orang tersebut, namun sayangnya, ketika orang tertentu itu telah pergi, ia
bisa mengata-ngatai orang tertentu kepada orang lain. Ya, hidup di dalam topeng
berarti hidup di dalam kepalsuan dan hidup di dalam kepalsuan ditandai dengan
bermuka dua. Tetapi, pertanyaan selanjutnya adalah mengapa bisa demikian?
Ada beberapa alasan mengapa orang (bahkan banyak orang “Kristen”) munafik:
1. Tidak Rendah Hati
Seorang Kristen yang munafik pertama-tama harus diragukan status Kekristenannya.
Dengan kata lain, apakah benar seorang Kristen yang munafik benar-benar seorang
pengikut Kristus sejati ataukah sebenarnya orang “Kristen” palsu (meminjam istilah
Pdt. Dr. Stephen Tong, anak setan yang masih indekos di dalam gereja)? Dengan
mengatakan hal ini, saya TIDAK bermaksud langsung menghakimi bahwa orang
“Kristen” munafik pasti bukan anak Tuhan sejati. Mungkin sekali ada orang Kristen
sungguh-sungguh yang munafik, tetapi jikalau itu pun ada, kemunafikan itu tidak akan
berlangsung lama, karena Roh Kudus akan terus-menerus memurnikan hidupnya.
Kembali, mengapa saya bisa berkata bahwa orang “Kristen” munafik adalah orang
“Kristen” palsu? Mari kita lihat perbedaannya. Orang Kristen yang sungguh-sungguh
adalah orang Kristen yang rendah hati. Orang disebut Kristen BUKAN dilihat dari
seberapa dia aktif ke gereja atau mengikuti acara rohani, tetapi dilihat dari sampai
seberapa rendah hatinya ia di hadapan Allah dan kebenaran firman-Nya. Kerendahan
hati itu ditunjukkan dengan keterbukaan hatinya untuk mau dikoreksi oleh firman dan
otomatis berkomitmen menjalankan firman Tuhan tersebut di dalam setiap aspek
kehidupannya. Saya menyebutnya sebagai: TAAT DI DALAM PROSES PENGUDUSAN
ROH KUDUS. Artinya, kerendahan hati membuahkan sikap taat dan itu bisa
dimungkinkan melalui pencerahan dan pengudusan yang Roh Kudus kerjakan di
dalam hati umat pilihan-Nya. Sedangkan orang “Kristen” palsu adalah orang yang tidak
rendah hati, namun sombong. Kesombongannya itu mengakibatkan ia dengan
mudahnya mengkritik bahkan menghakimi beberapa khotbah dan pengajaran firman
yang bertanggungjawab hanya karena itu tidak cocok dengan dirinya (bukan karena
tidak sesuai dengan Alkitab). Atau mungkin sekali ia meng“amin”i semua khotbah dan
pengajaran yang didengarnya, namun sayang ia TIDAK mau rendah hati mengoreksi
kesalahan dan mengaplikasi khotbah tersebut. Jangan heran, khususnya, seorang
muda Kristen (bahkan mungkin anak majelis/tua-tua/hamba Tuhan) bisa dengan
mudahnya meng“amin”i khotbah yang mengajar bahwa carilah pasangan hidup yang
seiman, namun secara praktik hidup, ia dengan mudahnya menjalin hubungan dekat
dengan lawan jenis yang berbeda iman (dengan alasan: “cocok” dengan lawan jenis
tersebut). Bagaimana dengan kita? Jangan menuduh orang lain munafik, tetapi
introspeksi diri kita masing-masing terlebih dahulu, masihkah kita munafik? Jika ya,
berhati-hati dan bertobatlah.
2. Tidak Suka Kebenaran
Orang “Kristen” bisa munafik mungkin sekali karena ia tidak suka Kebenaran. Kalau di
poin pertama, orang “Kristen” munafik saya sebut sebagai “Kristen” palsu yang tidak
rendah hati, maka di poin kedua, sikap tidak rendah hati ini menghasilkan suatu sikap
yang tidak suka Kebenaran. Mengapa ia tidak suka Kebenaran? Karena baginya,
pertama, Kebenaran itu idealisme yang terlalu tinggi dan di awang-awang serta tidak
mungkin diwujudnyatakan dalam kehidupan dunia ini. Tidak heran, karena pikiran ini,
maka orang “Kristen” munafik bisa hidup mendua hati. Jika di gereja, ia akan
meng“amin”i khotbah yang mengajarkan tentang pentingnya hidup kudus, jujur, taat,
setia, dll, tetapi setelah keluar gereja, ia kembali ke hidup aslinya yang tidak karuan,
gemar berdusta, dll. Benarkah kebenaran itu hanya idealisme kosong dan tidak bisa
diwujudnyatakan? TIDAK! Yang kita perlukan bukan bagaimana menghidupi
Kebenaran itu dalam waktu singkat, namun yang kita perlukan adalah bersediakah
kita dengan rendah hati taat menghidupi Kebenaran itu? Dan ketaatan itu BUKAN
suatu proyek singkat, namun proyek yang membutuhkan waktu yang sangat lama,
karena ketaatan itu adalah sebuah PROSES.
Kedua, Kebenaran itu tidak enak dan perlu bayar harga untuk itu. Tuhan Yesus sudah
mengajar hal demikian, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal
dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mat. 16:24; bdk. 10:38) Rasul Paulus
juga mengajar hal serupa kepada anak rohaninya, Timotius di dalam 2 Timotius 3:12,
“Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan
menderita aniaya,” Tidak ada bagian Alkitab yang mengajarkan bahwa ikut Kristus
pasti kaya, sukses, berkelimpahan, makmur, selalu sehat, bahkan tidak pernah digigit
nyamuk. Itu jelas bukan ajaran Alkitab! Namun, sayangnya, begitu banyak orang
“Kristen” dengan mudahnya ditipu oleh ajaran-ajaran yang tidak bertanggungjawab
demikian. Sehingga jangan heran orang “Kristen” demikian hidup mendua hati. Jika di
gereja, ia bisa dengan bangganya mengaku diri “Kristen”, namun ketika bahaya
mengancam nyawanya, mungkin sekali ia menyangkal imannya dan mengatakan
bahwa dirinya bukan Kristen. Itu yang sering saya dengar pada beberapa atau bahkan
banyak orang Kristen ketika berhadapan dengan bahaya nyawa pada kerusuhan Mei
1998. Sungguh mengerikan kemunafikan demikian. Terhadap orang “Kristen”
demikian, Tuhan Yesus berfirman, “Setiap orang yang mengakui Aku di depan
manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi
barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di
depan Bapa-Ku yang di sorga."” (Mat. 10:32-33)
3. Melihat Kemunafikan Orang “Kristen” Lainnya
Alasan ketiga orang “Kristen” bisa munafik adalah karena ia sendiri melihat orang
“Kristen” lainnya munafik. Jika ada orang “Kristen” lain atau bahkan beberapa
pemimpin gereja munafik, orang “Kristen” ini akan langsung mengambil sikap serupa.
Lalu, kalau orang ini ditanya oleh orang lain mengapa dia munafik, dia akan
berargumentasi bahwa dia bersikap munafik karena orang lain bahkan pemimpin
gereja munafik. Berarti, kemunafikan dirinya lebih disebabkan oleh pihak
luar/eksternal, ketimbang internal. Jika hal demikian yang terjadi, maka orang yang
munafik ini sudah berdosa dobel. Pertama, dia munafik. Kedua, dia munafik dan
menyalahkan orang lain munafik yang mempengaruhi sikapnya yang munafik. Jadi,
istilahnya, dia tidak mau disalahkan (karena sikapnya yang munafik) dan dengan
mudahnya menyalahkan orang lain, padahal orang Kristen bertugas menjadi saksi
Kristus yang mempengaruhi dunia luar, bukan dipengaruhi oleh dunia luar.
Di sisi lain, ini juga menjadi teguran bagi orang Kristen yang sungguh-sungguh namun
masih hidup di dalam kemunafikan. Kalau kita sungguh-sungguh mengaku telah
beriman kepada Kristus, seharusnya kita tidak lagi hidup munafik dan kita terusmenerus berkomitmen untuk menjadi garam dan terang bagi dunia sekitar, sehingga
melalui sikap kita, orang lain bahkan orang Kristen lain diberkati dan memuliakan
Tuhan. Ini juga menjadi teguran bagi saya pribadi.
Jika kita telah mengerti alasan kemunafikan, lalu bagaimana orang Kristen bisa keluar
dari sikap hidup munafik? Kembali ke ayat 9a, Paulus mengatakan bahwa KASIH itu
TIDAK MUNAFIK. Berarti jalan keluar dari sikap hidup kemunafikan adalah kembali
kepada KASIH AGAPE! Di dalam kasih, tidak ada kemunafikan. Artinya, di dalam kasih,
selain harus ada Kebenaran, juga ada kemurnian, ketulusan, kejujuran, dan kesetiaan.
Rasul Paulus juga mengajar hal serupa kepada Timotius di dalam 1 Timotius 1:5
tentang pentingnya nasihat di ayat 3-4, “Tujuan nasihat itu ialah kasih yang timbul dari
hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas.” Kata
“kasih” di ayat 5 ini di dalam KJV diterjemahkan charity (=amal/kebajikan) dan bahasa
Yunaninya JUGA menggunakan kata agapē. “Hati yang suci” di ayat 5 ini diterjemahkan
oleh KJV sebagai, “pure heart” (=hati yang bersih/murni) dan kata Yunani untuk pure
ini adalah katharos yang berarti bersih, jernih/jelas (clean, clear). Lalu, bagaimana kita
memiliki kasih agapē yang murni tersebut?
Di ayat 9b, Paulus menjelaskan bahwa di dalam kasih agapē yang murni tersebut
terkandung dua sikap:
1. Membenci yang Jahat
Di ayat 9b, bagian pertama, Paulus mengajar, “Jauhilah yang jahat” Kalau kita
memperhatikan terjemahan Indonesia ini, seolah-olah kita mendapatkan gambaran
bahwa kasih yang murni itu hanya MENJAUHI yang jahat. Terjemahan Indonesia ini
kurang tepat artinya dan cenderung masih terlalu lembut bahasanya. Jika kita
membandingkan terjemahan Indonesia ini dengan terjemahan Inggris dan teks asli
Yunaninya, kita mendapatkan pengertian yang lebih tegas dan jelas. Analytical-Literal
Translation (ALT), 1889 Darby Bible, English Majority Text Version (EMTV), ESV, ISV, KJV,
Revised Version (RV), 1833 Webster Bible, 1898 Young’s Literal Translation (YLT)
menerjemahkan “jauhilah” ini dengan kata abhor (=sangat membenci). Terjemahan
lain untuk kata “jauhilah” ini adalah hate (=membenci) dan terjemahan ini dipakai oleh
James Murdock New Testament, 1965 Bible in Basic English (BBE), Bishops’ Bible
1568, God’s Word, Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), dan NIV. Kata Yunani yang
dipakai di sini adalah apostugeō dan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam
Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia diterjemahkan, “Bencilah.” Dan di dalam
struktur bahasa Yunani, kata ini menggunakan bentuk aktif dan present. Dari studi
kata ini, kita mendapatkan penjelasan bahwa kasih yang murni adalah kasih yang
MEMBENCI kejahatan secara aktif dan sekarang. Artinya:
Pertama, kasih bukan hanya MENJAUHI kejahatan (bukan hanya mengenai jauh atau
dekat), tetapi kasih yang murni adalah kasih yang benar-benar MEMBENCI kejahatan.
Kasih yang membenci kejahatan artinya kasih yang TIDAK mau melihat kejahatan
sedikitpun. Hal ini sangat berbeda total dari konsep dunia tentang kasih. Dunia kita
(tidak jarang termasuk banyak orang Kristen di dalamnya) mendefinisikan kasih
sebagai tindakan yang mengasihi kejahatan bahkan bersuka di dalam kejahatan
tersebut. Tidak heran, free-sex, dianggap sah, normal, bahkan para pelakunya bersuka
di dalam tindakan-tindakan tersebut. Namun, Alkitab memiliki definisi yang teragung
mengenai kasih yang murni, yaitu kasih yang membenci kejahatan. Atau saya berani
menafsirkan: KASIH yang MURNI adalah KASIH yang JIJIK terhadap kenajisan.
Mengapa kita bisa membenci alias jijik terhadap kejahatan/kenajisan? Karena kita
adalah anak-anak Allah yang mengasihi kesucian hidup sebagaimana yang Allah
sendiri perintahkan melalui Rasul Petrus, “Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan
jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi
hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang
kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku
kudus.” (1Ptr. 1:14-16)
Kedua, kasih yang MEMBENCI kejahatan dilakukan secara AKTIF. Kasih yang
membenci kejahatan bukan dilakukan secara pasif, yaitu menunggu sampai kejahatan
itu benar-benar mencobai kita. TIDAK! Justru, kita secara AKTIF membenci kejahatan
baik kejahatan itu PASIF maupun AKTIF mencobai kita. Berarti, ada suatu langkah
MAJU dan BERANI di dalam sikap kita dalam MEMBENCI kejahatan. Hal ini sama
seperti yang dipaparkan oleh Rasul Petrus ketika berbicara mengenai si setan,
“Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa
yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan
iman yang teguh, sebab kamu tahu, bahwa semua saudaramu di seluruh dunia
menanggung penderitaan yang sama.” (1Ptr. 5:8-9) Kata “sadarlah”, “berjaga-jagalah”,
dan “lawanlah” di dalam kedua ayat ini (8-9) di dalam struktur bahasa Yunani
menggunakan bentuk AKTIF. Berarti, kita bukan diperintahkan PASIF terhadap
kejahatan/setan, tetapi AKTIF. Dengan kata lain, mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen
Tong, kita sebagai orang Kristen yang beres TIDAK dipanggil hanya untuk menjawab
tantangan/serangan zaman/setan, tetapi untuk MENANTANG zaman agar kembali
kepada Kebenaran!
Lalu, bagaimana kita mewujudnyatakan kasih yang membenci kejahatan secara aktif
ini? Caranya adalah dengan TIDAK terikat pada kejahatan atau apa pun yang jahat
yang memisahkan kita dari Allah dan juga kita menegur sesama saudara seiman atau
orang lain agar tidak terikat juga. Berarti: Pertama, kita memberlakukan “membenci
kejahatan” itu pada diri kita sendiri terlebih dahulu. Kita membenci kejahatan dengan
TIDAK terikat pada kejahatan apa pun yang memisahkan kita dari Allah. Caranya
adalah, seperti yang dipaparkan Paulus di ayat-ayat sebelumnya (Rm. 12:1-2), kita
mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan
yang berkenan kepada Allah yang ditandai dengan pembaharuan akal budi kita. Ketika
kita mempersembahkan tubuh kita untuk dipakai bagi kemuliaan-Nya (melalui
pembaharuan akal budi kita), maka pada saat yang sama, melalui proses pengudusan
yang Roh Kudus kerjakan, kita tidak akan lagi terikat pada kejahatan yang
mendukakan hati-Nya. Berarti fokus kepada Allah mengakibatkan kita tidak lagi
berfokus kepada hal-hal yang jahat. Kedua, kita pun dipanggil untuk menyadarkan
sesama saudara seiman/orang lain agar mereka juga tidak terikat. Berarti kita bukan
hidup egois yang hanya memperhatikan kepentingan kita, tetapi kita juga mengingat
orang lain akan bahaya kejahatan itu. Bagaimana kita dapat menyadarkan mereka?
Caranya adalah dengan menegur mereka agar mereka juga tidak terikat pada
kejahatan. Di dalam Alkitab, Paulus menegur Petrus yang munafik (Gal. 2:11-14). Jelas
tujuan teguran itu BUKAN untuk mempermalukan Petrus atau membuktikan Paulus
lebih hebat dan rohani ketimbang Petrus, tetapi motivasi dan tujuannya agar Petrus
bertobat dari kemunafikan itu dan kembali kepada jalan yang benar. Berarti di dalam
suatu teguran, yang diperhatikan adalah isi teguran beserta motivasi, cara, dan tujuan
yang beres. Kepada Timotius yang ditugasi Paulus untuk melayani jemaat bersama,
Paulus menasihatkan Timotius, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak
baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala
kesabaran dan pengajaran.” (2Tim. 4:2) Selain memberitakan firman, di dalam
pelayanan, Paulus juga mengingatkan Timotius untuk tidak lupa menegur jemaat.
Berarti, teguran tetap diperlukan bagi orang Kristen/jemaat agar mereka juga
bertobat. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menegur diri kita sendiri dan orang
lain demi pertumbuhan masing-masing anggota tubuh Kristus ke arah Kristus?
Ingatlah, jangan sungkan-sungkan menegur dan biarkan Roh Kudus sendiri yang
bekerja di dalam teguran itu untuk menyadarkan kita maupun orang lain.
2. Melekat Pada yang Baik
Bukan hanya membenci kejahatan, kasih yang murni juga melekat pada yang baik.
Terjemahan Indonesia, “lakukanlah yang baik.” Kata “lakukanlah” di dalam KJV
diterjemahkan cleave (=berpegang erat/setia pada). Di dalam NIV dan ISV
diterjemahkan cling (=mendekat/menempel) dan terjemahan Indonesia dari teks
Yunaninya adalah bergabunglah dengan (yang baik). Kedua bagian ini, yaitu membenci
yang jahat dan melekat pada yang baik saling berkaitan. Kasih yang murni adalah
kasih yang MEMBENCI yang jahat dan sekaligus setelah itu langsung MELEKAT pada
yang baik. Apa arti “baik” di dalam bagian ini? Kata “baik” dalam ayat 9b ini dalam
bahasa Yunaninya agathos berarti good, well (baik, bagus). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di
dalam Konkordansi Perjanjian Barunya menerjemahkan agathos sebagai baik, baik
hati, jujur, berguna. Jika kita membaca kembali ayat-ayat sebelumnya, yaitu di ayat 2,
maka kita mendapatkan penjelasan utuh tentang konsep baik di dalam ayat 9b ini. Di
Roma 12:2, Paulus mengajarkan, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini,
tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan
manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang
sempurna.” Kata “baik” di ayat 2 ini dalam bahasa Yunani sama dengan kata “baik” di
ayat 9b. Berarti, BAIK bukan hanya BAIK secara standar moral saja, tetapi BAIK
dikaitkan dengan: kehendak Allah, berkenan kepada Allah (menyenangkan Allah), dan
sempurna. Dengan kata lain, melekat pada/bergabung dengan yang baik berarti
bergabung dengan yang baik, berguna, berkenan kepada Allah, menyenangkan-Nya,
dan sempurna. Setelah bergabung, tentu orang Kristen dituntut untuk menjalankannya.
Berarti, makna bergabung, bukan hanya sekadar bergabung seperti bergabung di
dalam sebuah anggota kelompok, tetapi juga berpartisipasi di dalamnya.
Bergabung dengan/melekat pada yang baik ini di dalam struktur bahasa Yunaninya
menggunakan bentuk PASIF. Mengapa PASIF? Karena posisi kita yang bergabung
dengan kebaikan itu BUKAN posisi aktif yang berasal dari diri kita, tetapi PASIF, karena
Allah yang menarik kita kepada kebaikan itu. Inilah bedanya theologi yang
menekankan kedaulatan dan anugerah Allah vs theologi yang terlalu menekankan
tanggung jawab manusia. Theologi yang berpusat pada Allah adalah theologi yang
melihat segala sesuatu dari perspektif anugerah dan kedaulatan Allah yang membawa
manusia mengenal kebenaran dan kebaikan, sedangkan theologi yang berpusat pada
manusia selalu melihat kehebatan manusia yang secara aktif mencari Allah dan
melekat pada kebenaran dan kebaikan secara sendiri. Kembali, ketika kita bisa
melekat pada yang baik itu terjadi karena anugerah Allah yang begitu agung, karena
tanpa anugerah-Nya, kita tidak mungkin menyukai apa yang benar dan baik.
Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda memiliki kasih yang murni yang:
MEMBENCI kejahatan dan MELEKAT pada yang baik demi hormat dan kemuliaan
nama-Nya? Jika belum, sudah saatnya Anda bertobat dan kembali kepada-Nya. Jika
sudah, teruslah perbaharuilah komitmen Anda di hadapan-Nya dan jangan lupa untuk
mengingatkan orang lain/saudara seiman lain supaya mereka juga memiliki kasih
yang murni. Kiranya Tuhan memberkati komitmen hati kita dan pelayanan kita di
hadapan-Nya. Amin. Soli DEO Gloria.
Download