ANTIMIKROBA 1 TUBERKULOSTATIK DAN LEPROSTATIK 2 TUBERKULOSTATIK DAN LEPROSTATIK … • 1. Tuberkulostatik – Streptomisin – Isoniazid – Rifampisin – Etambutol – Pirazinamid – Asam paraamino salisilat – Sikloserin – Kanamisin – Kapreomisin – Etionamid • Pengobatan Tuberkulosis • • • • • • • 2. Leprostatik 2.1. Sulfon 2.2. Rifampisin 2.3. Klofazimin 2.4. Amitiozon 2.5. Obat-obat lain 2.6. Kemoterapi lepra 3 TUBERKULOSTATIK DAN LEPROSTATIK … • Tuberkulosis dan lepra disebabkan oleh kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dg kuman lain. Resistensi dan efek samping masih merupakan masalah utama dalam pengobatan tuberkulosis. Paduan obat mana yg paling baik juga masih diperdebatkan. • Pengobatan infeksi kuman tahan asam masih merupakan persoalan dan tantangan dalam bidang kemoterapi. Faktor yang mempersulit pengobatan ialah: 1) kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria, 2) kurangnya daya bakterisid obat yang ada, 3) timbulnya resistensi kuman terhadap obat, dan 4) masalah efek samping obat. • Tantangan ini lebih berat lagi dengan munculnya masaAlDS yang berkaitan erat dengan meningkatnya kejadian tuberkulosis. 4 TUBERKULOSTATIK • • • • Obat tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok: obat primer dan obat sekunder. Kelompok obat primer: – isoniazid, rifampisin, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid, – memperlihatkan efektivitas yg tinggi dg toksisitas yg dpt diterima. Sebagian besar penderita dpt disembuhkan dg obat-obat ini. Kelompok obat sekunder: – etionamid, paraaminosalisilat, sikloserin, amikasin, kapreomisin, dan kanamisin. 5 TUBERKULOSTATIK STREPTOMISIN • Streptomisin ialah antituberkulosis pertama yg secara klinik dinilai efektif. Namun sbg obat tunggal, bukan obat yg ideal. AKTIVITAS ANTIBAKTERI. • Streptomisin in vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid thd kuman tuberkulosis. • Mikobakterium atipik fotokromatogen, skotokromatogen, nonkromatogen dan spesies yg tumbuh cepat tdk peka thd streptomisin. • Adanya mikroorganisme yg hidup dlm abses atau kelenjar limfe regional serta hilangnya pengaruh obat setelah beberapa bulan pengobatan, mendukung konsep bhw kerja streptomisin in vivo ialah supresi, bukan eradikasi kuman tuberkulosis. 6 TUBERKULOSTATIK STREPTOMISIN RESISTENSI. • Dalam populasi yg besar selalu terdpt kuman yg resisten thd streptomisin. Resistensi ini mungkin disebabkan oleh mutasi yg terjadi secara kebetulan. Kemungkinan terjadi resistensi in vitro dan in vivo sama besar. Secara umum dikatakan bhw makin lama terapi dg streptomisin berlangsung, makin meningkat resistensinya. Pd beberapa penderita resistensi ini terjadi dlm satu bulan. Setelah 4 bulan, 80% kuman tuberkulosis tidak sensitif lagi. Bila kavitas tdk menutup atau sputum tdk menjadi steril dlm wkt 2-3 bulan, bakteri yg tertinggal telah resisten dan pengobatan tdk efektif lagi. Penggunaan streptomisin bersama antituberkulosis lain menghambat terjadinya resistensi. • Tetapi hal ini tidak mutlak, pada pengobatan jangka lama dapat juga terjadi resistensi kuman terhadap kedua obat itu. 7 TUBERKULOSTATIK STREPTOMISIN FARMAKOKINETIK. • Setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomisin berada dalam plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam eritrosit. Streptomisin kemudian menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Kirakira sepertiga streptomisin yang berada dalam plasma, terikat protein plasma. Streptomisin dieksresi melalui filtrasi glomerulus. Kira-kira 50-60% dosis streptomisin yang diberikan secara parenteral diekskresi dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Sebagian besar jumlah ini diekskresi dalam waktu 12 jam. Masa paruh obat ini pada orang dewasa normal antara 2-3 jam, dan dapat sangat memanjang pada gagal ginjal. Ototoksisitas lebih sering terjadi 8 pada penderita yang fungsi ginjalnya terganggu. TUBERKULOSTATIK STREPTOMISIN EFEK NONTERAPI. • Reaksi hipersensitivitas biasanya terjadi dalam mingguminggu pertama pengobatan. Streptomisin bersifat neurotoksik pada saraf kranial ke VIII, bila diberikan dlm dosis besar dan jangka lama. Walaupun dmk beberapa penderita yg baru mendpt dosis total 10-12 gram dpt mengalami gangguan tsb. Dianjurkan utk melakukan pemeriksaan audiometri basal dan berkala pd mereka yg mendpt streptomisin. Seperti aminoglikosida lainnya, obat ini juga bersifat nefrotoksik. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas ini sangat tinggi kejadiannya pd kelompok usia di atas 65 tahun, oleh karena itu obat tdk boleh diberikan pd kelompok usia tsb. Efek samping lain ialah reaksi anafilaktik, agranulositosis, anemia aplastik, dan demam obat. Belum ada data tentang efek teratogenik, tetapi pemberian obat pada trimester pertama kehamilan tidak dianjurkan. Selain itu dosis total tdk boleh melebihi 20 gram dlm 5 bulan terakhir kehamilan untuk mencegah ketulian pada bayi. 9 TUBERKULOSTATIK ISONIAZID • Isoniazid atau isonikotinil hidrazid, disingkat dg INH, hanya satu derivatnya yg diketahui menghambat pembelahan kuman tuberkulosis, yakni iproniazid, tetapi terlalu toksik utk manusia. EFEK ANTIBAKTERI. • Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid dengan KHM sekitar 0,025-0,05 m/ml. • Pembelahan kuman masih berlangsung 2 sampai 3 kali sebelum dihambat sama sekali. • Mikroorganisme yg sedang "istirahat" mulai lagi dg pembelahan biasa bila kontaknya dg obat dihentikan. Di antara mikobakteria atipik biasanya hanya M. kansasii yg peka thd isoniazid, tetapi sensitivitasnya harus selalu diuji secara in vitro karena kuman ini memerlukan kadar hambat yg lebih tinggi. • Pada uji hewan, ternyata aktivitas isoniazid lebih kuat dibandingkan streptomisin. • Isoniazid dapat menembus ke dalam sel dengan mudah. 10 TUBERKULOSTATIK ISONIAZID MEKANISME KERJA. • Mekanisme kerja isoniazid belum diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis yang diajukan, di antaranya efek pada lemak, biosintesis asam nukleat, dan glikolisis. • Ada pendapat bahwa efek utamanya ialah menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium. • Isoniazid kdr rendah mencegah perpanjangan rantai as. lemak yg sangat panjang yg merupakan btk awal molekul as. mikolat. • Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jml lemak yg terekstraksi oleh metanol dr mikobakterium. • Hanya kuman peka yang menyerap obat ke dlm selnya, dan ambilan ini merupakan proses aktif. 11 TUBERKULOSTATIK ISONIAZID RESISTENSI. • Petunjuk yang ada memberikan kesan bahwa mekanisme terjadinya resistensi berhubungan dengan kegagalan obat mencapai kuman atau kuman tidak menyerap obat. • Pengobatan dg INH ini juga dapat menyebabkan timbulnya strain baru yang resisten. Perubahan sifat dari sensitif menjadi resisten biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah pengobatan dimulai. • Waktu yang diperlukan untuk timbulnya resistensi berbeda pada kasus yang berlainan. 12 TUBERKULOSTATIK ISONIAZID FARMAKOKINETIK. • Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1 -2 jam setelah pemberian oral. Di hati, isoniazid terutama mengalami asetilasi, dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa paruhnya. • Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Obat terdapat dengan kadar yang cukup dalam cairan pleura dan cairan asites. Kadar dalam cairan serebrospinal kira-kira 20% kadar dalam cairan plasma. Isoniazid mudah mencapai material kaseosa. Kadar obat ini pada mulanya lebih tinggi dalam plasma dan otot daripada dalam jaringan yang terinfeksi, tetapi kemudian obat tertinggal lama di jaringan yg terinfeksi dlm jml yg lbh dr cukup sbg bakteriostatik. • Antara 75-95% isoniazid diekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit. 13 TUBERKULOSTATIK ISONIAZID EPEK NONTERAPI. • Reaksi hipersensitivitas mengakibatkan demam, berbagai kelainan kulit berbentuk morbiliform, makulopapular, dan urtikaria. Reaksi hematologik dapat juga terjadi seperti agranulositosis, trombositopenia, dan anemia. Vaskulitis yang berhubungan dengan antibodi antinuklear dapat terjadi selama pengobatan, tetapi menghilang bila pemberian obat dihentikan. Gejala artritis seperti sakit sendi juga dapat terjadi. • Neuritis perifer paling banyak terjadi dengan dosis isoniazid 6 mg/kg BB/hari. Bila penderita tidak diberi piridoksin frekuensinya mendekati 2%. • Isoniazid dapat mencetuskan terjadinya kejang pada pasien dengan riwayat kejang. Neuritis optik dengan atropi dapat juga terjadi. 14 TUBERKULOSTATIK ISONIAZID STATUS DALAM PENGOBATAN. • Isoniazid masih tetap merupakan obat yg sangat penting utk mengobati semua tipe tuberkulosis. Efek nonterapi dpt dicegah dg pemberian piridoksin dan pengawasan yg cermat pd penderita. Utk tujuan terapi, obat ini hrs digunakan bersama obat lain; untuk tujuan pencegahan dpt diberikan tunggal. SEDIAAN DAN POSOLOGI. • Isoniazid terdpt dlm btk tablet 50, 100, 300 dan 400 mg serta sirup 10 mg/ml. Dlm tablet kadang-kadang ditambahkan vitamin B6. Isoniazid biasanya diberikan dlm dosis tunggal per oral tiap hr. Dosis umumnya 5 mg/kg BB, maks. 300 mg/hari. Utk tuberkulosis berat dpt diberikan 10 mg/kg BB, maksimum 600 mg/hari, tetapi tdk ada bukti bhw dosis dmk besar ini lbh efektif. Anak di bawah 4 th dosisnya 10 mg/kg BB/hari. Isoniazid juga dpt diberikan secara intermiten 2 kali seminggu dg dosis 15 mg/kg BB/hari. Piridoksin harus diberikan dg dosis 10 mg/hari. 15 TUBERKULOSTATIK RIFAMPISIN • • • Rifampisin adl derivat semisintetik rifamisin B yaitu salah satu anggota ketompok antibiotik makrosiklik yg disbt rifamisin. Kelompok ini dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Obat ini merupakan ion zwitter, larut dlm pelarut organik dan air yg pH nya asam. AKTIVITAS ANTIBAKTERI. • Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman grampositif dan gram-negatif. Thd kuman gram-negatif kerjanya lbh lemah dp tetrasiklin, kloramfenikol, kanamisin, dan kolistin. • Dpt menghhambat pertumbuhan beberapa jenis virus. • In vitro, rifampisin dalam kadar 0,005-0,2 g/ml dpt menghambat pertumbuhan M. tuberkulosis. • In vivo, rifampisin meningkatkan aktivitas streptomisin dan isoniazid thd M. tuberculosis, tetapi tdk bersifat aditif thd 16 etambutol. TUBERKULOSTATIK ISONIAZID Mekanisme kerja • Rifampisin terutama aktif thd sel yg sedang bertumbuh. • Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase dr mikobakteria dan mikroorganisme lain dg menekan mula terbtknya (bukan pemanjangan) rantai dlm sintesis RNA. • Inti RNA Polymerase dr berbagai sel eukariotik tdk mengikat rifampisin dan sintesis RNAnya tdk dipengaruhi. • Rifampisin dpt menghambat sintesis RNA mitokondria mamalia tetapi diperlukan kadar yg lbh tinggi dp kdr utk penghambatan pd kuman. 17 TUBERKULOSTATIK ISONIAZID FARMAKOKINETIK. • Pemberian rifampisin per oral menghasilkan kdr puncak dlm plasma setelah 2-4 jam; dosis tunggal sebesar 600 mg menghasilkan kdr sekitar 7 g/ml. Asam para-amino salisilat dpt memperlambat absorpsi rifampisin, shg kadar terapi rifampisin dlm plasma tdk tercapai. Bila rifampisin harus digunakan bersama asam para amino salisilat, maka pemberian kedua sediaan harus berjarak waktu 8-12 jam. • Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat diekskresi melalui empedu dan kmd mengalami sirkulasi enterohepatik. • Obat ini cepat mengalami deasetilasi, shg dlm waktu 6 jam hampir semua obat yg berada dlm empedu berbtk deasetil rifampisin, yg mempunyai aktivitas antibakteri penuh. • Rifampisin menyebabkan induksi metabolisme, shg walaupun bioavailabilitasnya tinggi, eliminasinya meningkat pd pemberian berulang. 18 • Rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh. TUBERKULOSTATIK ISONIAZID INTERAKSI OBAT. • Pemberian PAS bersama rifampisin akan menghambat absorpsi rifampisin sehingga kadarnya dalam darah tidak cukup. Rifampisin merupakan pemacu metabolisme obat yang cukup kuat, sehingga berbagai obat hipoglikemik oral, kortikosteroid, dan kontrasepsi oral akan berkurang efektivitasnya bila diberikan bersama rifampisin. • Mungkin dapat terjadi kehamilan pada pemberian bersama kontrasepsi oral, Rifampisin mungkin juga menganggu metabolisme vitamin D sehingga dapat menimbulkan kelainan tulang berupa osteomalasia. STATUS DALAM PENGOBATAN. • Rifampisin merupakan obat yang sangat efektif untuk pengobatan tuberkulosis dan sering digunakan bersama isoniazid untuk terapi tuberkulosis jangka pendek. 19 TUBERKULOSTATIK ETAMBUTOL AKTIVITAS ANTIBAKTERI. • Hampir semua galur M. tuberculosis dan M. kansasii sensitif thd etambutol. Etambutol tidak efektif untuk kuman lain. Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman tuberkulosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati. Karena itu obat ini hanya aktif terhadap sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik. • Efektivitas pada hewan coba sama dengan isoniazid. In vivo, sukar menciptakan resistensi thd etambutol dan timbulnya pun lambat, tetapi resistensi ini timbul bila etambutol digunakan tungggal. 20 TUBERKULOSTATIK ETAMBUTOL … FARMAKOKINETIK. • Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dlm plasma dicapai dlm wkt 2-4 jam setelah pemberian. Dosis tunggal 15 mg/kg BB menghasilkan kdr dlm plasma sekitar 5 mg/ml pd 2-4 jam. • Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol dalam eritrosit 1-2 kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit dapat berperan sebagai depot etambutol yg kmd melepaskannya sedikit demi sedikit ke dalam plasma. • Dlm wkt 24 jam, 50% etambutol yg diberikan diekskresi dlm btk asal melalui urin, 10% sbg metabolit, berupa derivat aldehid dan asam karboksilat. Bersihan ginjal utk etambutol kira-kira 8,6 ml/menit/kg menandakan bhw obat ini selain mengalami filtrasi glomerulus juga disekresi melalui tubuli. • Etambutol tdk dpt menembus sawar darah otak, tetapi pd meningitis tuberkulosa dpt ditemukan kdr terapi dlm cairan 21 otak. TUBERKULOSTATIK ETAMBUTOL … STATUS DALAM PENGOBATAN. • Etambutol telah berhasil digunakan dalam pengobatan tuberkulosis dan menggantikan tempat asam para amino salisilat karena tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya serta dapat diterima dalam terapi. • Manfaatnya yang utama dalam paduan terapi tuberkulosis ialah mencegah timbulnya resistensi kuman thd antituberkulosis lain. SEDIAAN DAN POSOLOGI. • Di Indonesia etambutol tdp dlm btk tablet 250 mg dan 500 mg. • Dosis biasanya 15 mg/kg BB, diberikan sekali sehari. • Ada pula yang menggunakan dosis 25 mg/kg BB selama 60 hari pertama, kmd diturunkan menjadi 15 mg/kg BB. • Pd penderita dg gangguan fungsi ginjal dosisnya perlu disesuaikan karena etambutol terakumutasi dlm badan. 22 TUBERKULOSTATIK PIRAZINAMID • • Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang telah dibuat sintetiknya. Obat ini tidak larut dalam air. AKTIVITAS ANTIBAKTERI. • Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam. • In vitro, pertumbuhan kuman tuberkulosis dalam monosit dihambat sempurna pada kadar pirazinamid 12,5 g/ml. 23 TUBERKULOSTATIK PIRAZINAMID … FARMAKOKINETIK. • Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. • Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 g/ml pada dua jam setelah pemberian obat. • Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus. Asam pirazinoat yang aktif kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoatyang merupakan metabolit utama. • Masa paruh eliminasi obat ini antara 10-16 jam. 24 TUBERKULOSTATIK PIRAZINAMID … STATUS DALAM PENGOBATAN. • Pirazinamid beberapa tahun yang lalu masih merupakan obat sekunder yang digunakan bila ada resistensi atau kontraindikasi terhadap obat primer. • Sejak pengobatan tuberkulosis menggunakan paduan pengobatan jangka pendek, kedudukan pirazinamid berubah menjadi obat primer, obat ini lebih aktif pada suasana asam dan merupakan bakterisid yang kuat untuk bakteri tahan asam yang berada dalam set makrofag. • Kini, bersama INH dan rifampisin, pirazinamid merupakan obat yg penting utk diberikan pd awal pengobatan tuberkulosis. 25 TUBERKULOSTATIK ASAM PARA AMINOSALISILAT • Sebelum diternukan etambutol, para-amino salisilat (PAS) merupakan obat yang sering dikombinasikan dengan anti tuberkulosis lain. AKTIVITAS ANTIBAKTERI. • Obat ini bersifat bakteriostatik. In vitro sebagian besar strain M. tuberculosis sensitif thd PAS dg kadar 1 g/ml. Aktivitas antimikroba PAS sangat spesifik thd M. tuberculosis saja. MEKANISME KERJA. • PAS mempunyai rumus molekul yang mirip dengan asam para aminobenzoat (PABA), Mekanisme kerjanya sangat mirip dengan sulfonamid. Karena sulfonamid tidak efektif terhadap M. tuberculosis dan PAS tidak efektif terhadap kuman yang sensitif terhadap sulfonamid, maka ada kemungkinan bahwa enzim yang bertanggung jawab untuk biosintesis folat pada berbagai macam mikroba bersifat spesifik. RESISTENSI. 26 • Secara umum resistensi in vitro terhadap PAS lebih sukar TUBERKULOSTATIK SIKLOSERIN • Sikloserin merpkan antibiotik yg dihasilkan oleh Streptomyces orchidaceus, dan sekarang dapat dibuat secara sintetik. KIMIA. • Sikloserin berupa bubuk putih atau kekuningan, agak pahit, dan higroskopis. Obat ini larut dalam air sampai 100 mg/ml pada 25°C, stabil dlm larutan alkalis, tetapi cepat dirusak dlm larutan netral atau asam. AKTIVITAS ANTIBAKTERI. • In vitro, sikloserin menghambat pertumbuhan M. tuberculosis pada kadar 5-20 ug/ml melalui penghambatan sintesis dinding sel. Jenis-jenis yang sudah resisten terhadap streptomisin, PAS, INH, pirazinamid, dan viomisin mungkin masih sensitif thd sikloserin. • In vivo terlihat bahwa khasiat sikloserin berbeda pada berbagai spesies, tetapi efeknya paling nyata pada manusia. 27 TUBERKULOSTATIK ASAM PARA AMINOSALISILAT … FARMAKOKINETIK. • Setelah pemberian oral absorpsinya baik: kadar puncak dalam darah dicapai 4-8 jam setelah pemberian obat. Dengan dosis 20 mg/kg BB diperoleh kadar dalam darah sebesar 20-35 ng/ml pada anak-anak. Dengan dosis 750 mg tiap 6 jam pada orang dewasa akan diperoleh kadar lebih dan 50 ug/ml. • Distribus! dan difusi ke seluruh cairan dan jaringan tubuh baik sekali. Sawar darah otak dapat dilintasi dengan baik. Karena obat ini terkonsentrasi di urin, tidak diperlukan dosis besar untuk mengobati tuberkulosis saluran kemih. • Ekskresi maksimal tercapai dalam 2-6 jam setelah pemberian obat dan 50% diekskresi melalui urin dalam bentuk utuh selama 12 jam pertama. Bila ada insufisiensi ginjal, terjadi akumulasi obat dalam tubuh sehingga memperbesar kemungkinan reaksi toksik. 28 TUBERKULOSTATIK KANAMISIN • Obat ini termasuk golongan aminoglikosida dan bersifat bakterisid dengan menghambat sintesis protein mikroba. Efeknya pada M. tuberculosis hanyalah bersifat supresif. FARMAKOKINETIK. • Pada pemberian im obat ini diserap dengan cepat dan sempurna. Kanamisin sukar masuk ke cairan otak, tetapi pada peradangan kadarnya naik sampai 43% kadar dalam plasma. Metabolismenya dapat diabalkan, ekskresinya melalui ginjal kira- kira 90% dan dalam bentuk utuh. Masa paruh eliminasi obat ini sekitar 2 jam. STATUS DALAM PENGOBATAN. • Obat ini pernah digunakan sebagai antituberkulosis sekunder, tetapi karena ototoksisitasnya dan karena telah ada obat lain yang lebih balk, kini telah ditinggalkan. 29 TUBERKULOSTATIK KAPREOMISIN • Kapreomisin adalah suatu antituberkulosis polipeptida yang dihasilkan juga oleh Streptomyces sp. Obat ini terutama digunakan pada infeksi paru oleh M. tuberculosis yang resisten terhadap antituberkulosis primer. Dibandingkan dengan kanamisin, kapreomisin kurang toksik dan efek bakteriostatiknya lebih besar. Efektivitasnya hampir sama dengan streptomisin, dan karena tak ada resistensi silang dengan streptomisin, obat ini dapat digunakan untuk kuman yang telah resisten terhadap streptomisin. STATUS DALAM PENGOBATAN. • Kapreomisin hanya digunakan dalam kombinasi dengan antituberkulosis lain. Dalam kombinasi dengan etambutol dan INH, obat ini terbukti bermanfaat dalam terapi tuberkulosis yang gagal diobati. Kapreomisin tidak tersedia di Indonesia. 30 TUBERKULOSTATIK ETIONAMID • Etionamid merupakan turunan tioisonikotinamid. Zat ini berwarna kuning dan tidak larut dalam air. AKTIVITAS ANTIBAKTERI. • In vitro, etionamid menghambat pertumbuhan M. tuberculosis jenis human pada kadar 0,6-2,5 ng/ml. Basil yang sudah resisten thd tuberkulostatik lain masih sensitif thd etionamid. • FARMAKOKINETIK. • Pada pemberian per oral etionamid mudah diabsorpsi. Kadar puncak tercapai dalam 3 jam dan kadar terapi bertahan selama 12 jam. Distribusi cepat, luas, dan merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Ekskresi berlangsung cepat dan terutama dalam bentuk metabotitnya, hanya 1 % dalam bentuk aktif. STATUS DALAM PENGOBATAN. • Etionamid merupakan antituberkulosis sekunder yang harus dikombinasi dg antituberkulosis lain bila obat primer tdk efektif 31 lagi atau dikontraindikasikan. TUBERKULOSTATIK PENGOBATAN TUBERKULOSIS • • • • • • • • • • Tuberkulosis dapat menyerang beberapa organ tubuh, di antaranya paru-paru, ginjal, tulang, dan usus. Pembahasan di sini diarahkan terutama terhadap pengobatan tuberkulosis paru. Tujuan pengobatan tuberkulosis ialah memusnahkan basil tuberkulosis dengan cepat dan mencegah kambuh. Idealnya pengobatan untuk menghasilkan pemeriksaan sputum negatif baik pada uji hapusan dahak maupun biakan kuman, dan hasil ini tetap negatif untuk selama-lamanya. pemilihan obat, resistensi, paduan terapi, paduan terapi tuberkulosis pada penderita defisiensi imun, efek samping, pengobatan pencegahan, terapi kortikosteroid pada tuberkulosis, dan 32 penilaian hasil pengobatan. TUBERKULOSTATIK PENGOBATAN TUBERKULOSIS • • • • • PEMILIHAN OBAT. Ada dua prinsip pengobatan tuberkulosis, yaitu paling sedikit menggunakan dua obat, dan pengobatan harus berlangsung setidaknya 3-6 bulan setelah sputum negatif untuk tujuan sterilisasi lesi dan mencegah kambuh. Hanya basil yang sedang membelah yang dapat dibunuh oleh antituberkulosis. Mycobacterium tuberculosis bersifat aerob obligat, karenanya frekuensi pembelahan dan aktivitas metabolismenya bervariasi tergantung kadar oksigen di tempat hidupnya. Selain itu, basil ini juga dipengaruhi oleh pH hngkungan sekitarnya. 33 TUBERKULOSTATIK PENGOBATAN TUBERKULOSIS • • • • Ada hipotesis yang menyatakan bahwa kuman tuberkulosis yang berkembang dalam lesi dapat dibedakan atas 3 kelompok berdasarkan tempat basil berada. Pertama, basil yang berada dalam kavitas (lesi rongga) dan aktif membelah karena tekanan oksigen dalam kavitas ini tinggi dan suasananya netral atau agak basa. Kedua, basil yang berada dalam lesi berkiju tertutup dan membelah secara lambat atau intermiten (berselang) karena tekanan oksigen di sini rendah dan suasananya netral. Kelompok ketiga adalah basil yang berada dalam sel makrofag yang suasananya asam. Basil di sini relatif lambat membelah. Kemudian ada bukti bahwa efektivitas antituberkulosis berbeda tergantung dari kecepatan pembelahan populasi basil dan pH lingkungannya. Inilah yang mendasari pengobatan tuberkulosis dalam dua puluh tahun terakhir ini 34 TUBERKULOSTATIK PENGOBATAN TUBERKULOSIS • • Pengobatan tuberkulosis paru-paru hampir selalu menggunakan tiga obat INH, rifampisin, dan pirazinamid pada dua bulan pertama selama tidak ada resistensi terhadap satu atau lebih antituberkulosis primer ini. Isoniazid dan rifampisin adalah dua obat yang sangat kuat dan bersifat bakterisid untuk basil ekstrasel, intrasel (dalam makrofag), dan basil dalam jaringan yang berkiju. tetapi, rifampisin dan pirazinamid lebih aktif pada basil dalam sel (makrofag) dan dalam jaringan berkiju daripada isoniazid (lihat tabel). 35 LEPROSTATIK • Penyakit lepra di Indonesia cukup banyak dan niernerlukan perhatian yang serius. Dalam bab ini akan dibahas antilepra golongan sulfon, rifampisin, klofazimin, amitiozon dan obatobat lain, serta masalah pengobalan lepra. 1. SULFON • Golongan sulfon merupakan derivat 4.4' diamino difenil sulfon (DDS, dapson) yang memiliki sifat farmakologi yang sama. Banyak senyawa yang telah dikembangkan, tetapi secara klinis hanya dapson dan sulfokson yang bermanfaat. AKTIVITAS IN VITRO DAN IN VIVO. • Aktivitas sulfon terhadap basil lepra secara in vitro tidak dapat diukur mengingat basil ini belum dapat dibiakkan dalam media buatan. Terhadap basil tuberkulosis obat ini bersifat bakteriostatik; dapson dapat menghambat pertumbuhan basil pd kadar 10 mg/ml. Penelitian pada hewan coba menunjukkan bhw sulfon bersifat bakteriostatik dengan KHM sebesar 0.02 mg/ml. 36 Resistensi dapat terjadi selama pengobatan berlangsung. LEPROSTATIK 2. RIFAMPISIN • Farmakologi obat ini telah ditinjau sebagai antitlJberkulosis. Pada hewan coba, antibiotik ini cepat mengadakan sterilisasi kaki mencit yang diinfeksi dengan M. leprae dan tampaknya mempunyai efek bakterisid. Walaupun obat ini mampu menembus sel dan saraf, dalam pengobatan yang berlangsung lama masih saja diternukan kuman hidup. • Beberapa pasien yang makan obat ini selama 10 tahun tidak timbul masalah, tetapi resistensi timbul dalam waktu 34 tahun. Atas dasar inilah penggunaan rifampisin pada penyakit lepra hanya dianjurkan dalam kombinasi dengan obat lain. Kini di beberapa negara sedang dicoba penggunaan rifampisin bersama dapson untuk M. leprae yang sensitif terhadap dapson, serta kombinasi rifampisin dengan klofazimin atau etionamid untuk M. leprae yang resisten terhadap dapson. 37 LEPROSTATIK 3. KLOFAZIMIN • Klofazimin merupakan turunan fenazin yang efektif terhadap basil lepra. Kedudukan obat ini sekarang ialah sebagai pengganti dalam kombinasi dengan rifampisin bila basil lepra sudah resisten terhadap dapson. • Obat ini tidak saja efektif untuk lepra jenis lepromatosis, tetapi juga memiliki efek antiradang sehingga dapat mencegah timbulnya eritema nodosum. • Pada pemberian oral, obat ini diserap dan ditimbun dalam jaringan tubuh. Keadaan ini memungkinkan pemberian obat secara berkala dengan jarak waktu antar dosis 2 minggu atau lebih. Efek bakterisid klofazimin baru terlihat setelah 50 hari terapi. Dosis klofazimin untuk segala bentuk lepra ialah 100 mg sehari. 38 LEPROSTATIK 4. AMITIOZON • Obat turunan tiosemikarbazon ini lebih efektif terhadap lepra jenis tuberkuloid dibandingkan terhadap jenis lepromatosis. Resistensi dapat terjadi selama pengobatan sehingga pada tahun kedua pengobatan perbaikan melambat dan pada tahun ketiga penyakit mungkin kambuh. Karena itu amitiozon dianjurkan penggunaannya bila dapson tidak dapat diterima penderita. • Efek samping yang paling sering terjadi ialah anoreksia, mual, dan muntah. Anemia karena depresi sumsum tulang terlihat pada sebagian besar pasien. Leukopenia dan agranulositosis dapat terjadi, tetapi yang berat keadaannya terdapat pada 0,5% pasien. Anemia hemolitik akut dapat terjadi dengan dosis tinggi. Ruam kulit dan albuminuria tidak jarang pula terlihat. Kejadian ikterus cukup tinggi dan gejala ini menandakan obat bersifat hepatotoksik tetapi sifatnya rreversibel. • Amitiozon mudah diserap melalui saluran cerna dan ekskresinya melalui urin. 39 LEPROSTATIK 6. PENGOBATAN LEPRA • Pengobatan lepra juga mengalami perubahan mengikuti suksesnya pengobatan tuberkulosis dengan paduan terapi jangka pendek. • Di masa lalu pengobatan lepra biasanya dengan obat tunggal, kini banyak diusahakan pengobatan minimal dengan dua obat, dan rifampisin juga merupakan komponen yang penting. • Untuk mengerti pengobatan lepra, perlu dipahami bentuk klinik penyakit tersebut. • Dikenal dua macam pembagian penyakit lepra menurut bentuk kliniknya. 40 LEPROSTATIK • • KLASIFIKASI. Madrid membagi penyakit ini menjadi 4 tipe yaitu tipe indeterminate, tuberkuloid, borderline, dan lepromatosa, sedangkan Ridley dan Jopling membaginya menjadi 6 tipe yaitu tipe indeterminate (tipe 1), tuberkuloid (tipe TT), borderline tuberculoid (tipe BT), borderline atau midborderline (tipe BB), borderline lepromatosa (tipe BL), dan lepromatosa (tipe LL). Lepra tipe indeterminate merupakan bentuk permulaan penyakit lepra yang memperlihatkan bermacam bentuk makula hipopigmentasi. Sekitar 75% lesi ini sembuh spontan, yang lain mungkin menetap sebagai tipe indeterminate atau berkembang menjadi bentuk-bentuk tuberkuloid, borderline untuk seterusnya menjadi bentuk lepromatosa. 41 LEPROSTATIK PEMILIHAN OBAT. • Dapson atau DDS merupakan obat terpilih untuk semua tipe penyakit lepra. Obat ini digunakan baik pada terapi obat tunggal maupun kombinasi. • Bila terjadi resistensi terhadap DDS, atau reaksi alergi, baru digunakan obat lain. Klofazimin yang beberapa tahun lalu hanya digunakan untuk menggantikan DDS, kini digunakan bersama DDS untuk lepra tipe multibasiler dan rifampisin merupakan komponen penting dalam terapi kombinasi baik pada lepra tipe pausibasiler maupun multibasiler. • Selain itu pada reaksi lepra juga digunakan kortikosteroid untuk efek anti inflamasinya, juga digunakan klorokuin untuk efek anti inflamasinya. • Talidomid digunakan untuk reaksi eritema nodosum leprosum, untuk reaksi reversal obat ini tidak bermanfaat. 42 Selanjtnya … 43