BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Kardiovaskular Sistem kardiovaskular merupakan sistem peredaran darah yang melibatkan jantung dan pembuluh darah. Jantung memompakan darah keseluruh tubuh melalui pembuluh darah arteri dengan membawa senyawa yang diperlukan dalam proses metabolisme sel seperti oksigen dan nutrisi sedangkan pembuluh darah vena membawa kembali sisa metabolisme sel menuju jantung (Dipiro et.al, 2008). Penyakit sistem kadiovaskular merupakan semua penyakit yang menyerang jantung dan pembuluh darah meliputi hipertensi, stroke, angina pektoris, gangguan jantung, dan gangguan pada pembuluh darah arteri perifer. Penyakit ini menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas di negara maju dan berkembang. Penyakit kardiovaskular bertanggung jawab terhadap 10% dari seluruh kematian pada tahun 1900 namun prevalensi ini meningkat mendekati 40% kematian di negara maju dan sekitar 28% di negara miskin dan berkembang (WHO, 2011). Di Indonesia, penyakit kardiovaskular menduduki peringkat pertama penyebab kematian pada tahun 2000 dan 26,3% pada tahun 2001. Proporsi kematian meningkat dengan bertambahnya umur terutama pada usia 35 tahun keatas. Tingkat kematian akibat penyakit kardiovaskular lebih tinggi di daerah perkotaan (31%) dibandingkan pedesaan (23,7%) namun tidak berbeda berdasarkan jenis kelamin (Delima, dkk, 2009). Tekanan darah tinggi merupakan faktor resiko terbesar penyebab penyakit kardiovaskular dengan prevalensi 300000 kematian diantara 1500000 penduduk setiap tahunnya. 10 Universitas Sumatera Utara 2.2 Penatalaksanaan Penyakit Kardiovaskular Penatalaksanaan penyakit kardiovaskular bertujuan untuk menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas di masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui terapi farmakologi dan non farmakologi. Terapi non farmakologi dilakukan antara lain dengan cara olahraga dan diet sedangkan terapi farmakologi dapat dilaksanakan dengan pemberian obat modern atau obat tradisional sebagai terapi alternatif. Masyarakat menggunakan obat tradisional secara empiris. Namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan, hal ini telah dimanfaatkan oleh para peneliti agar menjadi fitoterapi. Bahan alam yang telah diuji efek farmakologinya terhadap sistem kardiovaskular antara lain efek vasorelaksasi, antihipertensi dan inotropik dari Saururus chinensis (Ryu et al., 2008), peningkatan aktivitas nitrookside, penurunan tekanan darah dan diuretik dari Cocoa (Corti et al., 2009), inotropik dan kronotropik efek dari Achillea millefolium pada isolat jantung katak (Niazdman dan Saberi, 2010), efek inotropik positif dari pericarf Punica granatum (Babu et.al., 2012), peningkatan kontraksi jantung katak oleh Terminalis arjuna (Verma et al., 2013), efek antihipertensi Caralluma tuberculata (Alamgerr et al., 2015) dan efek vasodilatasi dan peningkatan cardiac output dari Anamirta cocculus (Jijith et al., 2016). 2.3 Hipertensi Hipertensi adalah penyakit kardiovaskular yang paling sering terjadi. Prevalensi penyakit hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia. Peningkatan tekanan arteri menyebabkan perubahan patologis pada jaringan vaskular dan hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi merupakan penyebab utama stroke, gagal 11 Universitas Sumatera Utara jantung, insufiensi ginjal serta faktor resiko penyakit jantung koroner dan komplikasinya (Alamgeer et.al., 2015). Hipertensi merupakan penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah arteri. Tekanan darah adalah kekuatan yang dihasilkan aliran darah terhadap setiap satuan luas dari dinding pembuluh darah. Tekanan darah dinyatakan dalam milimeter air raksa (mmHg). Secara umum tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer total. Tekanan darah tidak hanya diatur oleh satu sistem pengatur tekanan darah melainkan oleh beberapa sistem yang saling berkaitan satu sama lain. Tekanan darah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tekanan darah sistol, diastol, rerata tekanan arteri, curah jantung, volume sekuncup, tahanan perifer total, denyut jantung, elastisitas pembuluh darah dan viskositas darah. Ada dua mekanisme pengaturan tekanan darah yaitu : a. Pengaturan tekanan darah jangka pendek, bekerja melalui saraf dengan pengaturan baroreseptor dan kemoreseptor pembuluh darah arteri. Hal ini melibatkan refleks neuronal susunan saraf pusat dan regulasi curah jantung. Sistem refleks neuronal mengatur tekanan darah melalui baroreseptor, yaitu reseptor yang mampu mendeteksi peregangan dinding pembuluh darah oleh peningkatan tekanan darah, sedangkan kemoreseptor adalah sensor yang mendeteksi perubahan PO2, PCO2 dan pH darah. (Dipiro, 2008). b. Pengaturan tekanan darah jangka panjang diperantarai oleh sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS) yaitu sistem endogen kompleks yang dipengaruhi oleh ginjal dan hati. Sistem ini berperan dalam pengaturan 12 Universitas Sumatera Utara keseimbangan elektrolit baik secara intraselular maupun ekstraselular, seperti ion Na+, K+ dan Cl- melalui pengaktifan atau penghambatan hormon (Gambar 2.1). Gambar 2.1 Sistem renin angiotensin aldosteron (Scanlon, 2007) Pada sistem RAAS, renin dilepaskan ke pembuluh darah sebagai respon terhadap sirkulasi tekanan darah sistemik. Enzim ini berfungsi mengkatalisis pelepasan hidrolitik dekapeptida angiotensin I dari ujung amino terminal angiotensinogen. Angiotensinogen akan memicu pelepasan angiotensin I ke pembuluh darah. Angiotensin I merupakan vasokonstriktor ringan tetapi tidak cukup kuat untuk menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna dalam fungsi sirkulasi. Selama beberapa waktu, angiotensin I akan berubah menjadi angiotensin II melalui bantuan enzim pengubah angiotensin (ACE = Angiotensin Converting Enzyme) di endotelium pembuluh paru-paru dan epitel pembuluh darah (Scanlon, 2007). Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat terhadap sistem sirkulasi. Angiotensin II berada dalam darah hanya selama 1 atau 2 menit, karena angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah yaitu angiotensinase. Angiotensin II akan berikatan dengan reseptornya yaitu AT(1), AT(2) dan AT(3). AT(1) merupakan reseptor angiotensin II yang 13 Universitas Sumatera Utara menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah melalui peningkatan efek saraf simpatis dan merangsang korteks adrenal untuk melepaskan aldosteron. AT(2) juga mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan pembuluh darah dan kontrol aliran darah. Aldosteron bekerja mempertahankan ion natrium dan klorida dan mengekskresikan kalium di ginjal. Jika natrium direabsorpsi maka akan diikuti masuknya air ke dalam pembuluh darah, yang menyebabkan volume darah meningkat sehingga tekanan darah meningkat (Dipiro, 2008). Tekanan darah normal terjadi jika tekanan darah sistol (TDS) kurang dari 120 mmHg dan tekanan darah diastol (TDD) kurang dari 80 mmHg. Peningkatan tekanan darah di atas batas normal yaitu 140 mmHg untuk TDS dan 90 mmHg untuk TDD secara persisten dinyatakan sebagai hipertensi. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC (Joint National Commitee) VII 2003 dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII (Dipiro, 2008). Klasifikasi Normal Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg) <120 <80 Pre Hipertensi 120-139 80-89 Stadium I 140-159 90-99 Stadium II ≥160 ≥100 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VIII tahun 2013 masih merujuk klasifikasi tekanan darah JNC VII. Tetapi, manajemen terapi hipertensi dalam JNC VIII lebih berdasarkan Evidence Based Medicine (EBM), komplikasi penyakit, ras dan riwayat penderita. Target tekanan darah pada managemen terapi hipertensi dalam JNC VIII bergantung pada komplikasi penyakit penderita. 14 Universitas Sumatera Utara Hipertensi berdasarkan etiologinya dapat diklasifikasikan menjadi : a. hipertensi primer (esensial), yaitu yang tidak diketahui penyebabnya. Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. b. hipertensi sekunder (non esensial) yaitu hipertensi yang diketahui penyebabnya. Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder akibat penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobat kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Wells, et.al. 2009). Hipertensi terjadi melalui beberapa mekanisme seperti meningkatnya aktivititas sistem saraf simpatis yang berhubungan dengan pertambahan umur dan kondisi stres, asupan garam tinggi, gangguan pada sistem renin-angiotensin sehingga meningkatkan produksi aldosteron, menurunnya kadar nitrit oksida (NO), dan meningkatnya viskositas darah (Wells, et al., 2009) (Gambar 2.2). 15 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.2 Patogenesis hipertensi (Dipiro, et al., 2008) 2.4 Terapi Hipertensi Tujuan utama pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner atau penyakit ginjal kronik. Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII adalah <140/90 mmHg untuk pasien dengan tanpa komplikasi, <130/80 mmHg untuk pasien dengan diabetes dan penyakit ginjal kronis (Dipiro, et al., 2008). Menurut JNC VIII (2013), target penurunan tekanan darah berbeda-beda pada pasien hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit dan ras penderita hipertensi (Gambar 2.3). Gambar 2.3 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi (Dipiro, et al., 2014) 16 Universitas Sumatera Utara Terapi non farmakologi merupakan bagian penting pengobatan semua pasien hipertensi. Pasien prehipertensi, tekanan darah dapat dikontrol dengan cara penurunan berat badan, membatasi asupan garam, memperbanyak olahraga dan mengurang konsumsi alkohol. Manajemen terapi pasien hipertensi stadium satu dan dua dilakukan dengan cara terapi non farmakologi dan obat antihipertensi. Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pengunaan obat tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah melebihi 20/10 mm Hg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus diperhatikan adalah risiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia (Wells,et.al. 2009) Komplikasi penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh hipertensi seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner, infark miokard dan stroke memiliki algoritma terapi yang berbeda. Pemilihan antihipertensi pada komplikasi hipertensi berdasarkan JNC VIII tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Terapi hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit Komplikasi Gagal jantung Post-MI PJK Diabetes Penyakit ginjal kronis Pencegahab Stroke berulang Kehamilan Pemilihan obat ACEi/ARB + BB + diuretik + Spironolakton ACEi/ARB + BB ACEi/ARB, BB, diuretik, CCB ACEi/ARB, CCB, diuretik ACEi/ARB ACEi, diuretik Labetolol (Pilihan utama),Nifedipin, metildopa 17 Universitas Sumatera Utara 2.5 Obat Antihipertensi Golongan obat antihipertensi adalah: a. Diuretik, adalah obat antihipertensi yang bekerja dengan meningkatkan pengeluaran urin (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Diuresis mempunyai dua pengertian, yaitu penambahan volume urine yang diproduksi dan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan edema sehingga mengubah keseimbangan cairan yang mengakibatkan volume cairan ekstrasel kembali normal (Tthambi, 2013). Hal ini menguntungkan dalam terapi gagal jantung, sirosis, nefrosi, hipertensi dan glaoukoma. Plasma darah yang masuk ke ginjal disaring dari kapiler glomerulus ke dalam kapsul Bowman. Filtrat mengandung glukosa, natrium bikarbonat, asam amino, dan zat organik lain, beserta elektrolit, seperti Na+, K+, dan Cl- (urin primer). Ginjal mengatur komposisi ion dan volume urine dengan reabsorpsi atau sekresi ion dan/atau air pada lima daerah fungsional sepanjang nefron, yaitu pada tubulus proksimal, ansa Henle, tubulus distal, dan duktus renalis rektus hingga diperoleh urin sesungguhnya melalui mekanisme berikut : i.Tubulus Renalis Kontortus Proksimal berada dalam korteks ginjal, hampir semua glukosa, bikarbonat, asam amino, dan metabolit lain diabsorpsi. Sekitar dua pertiga jumlah Na+, klorida dan air direabsorpsi untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit dan osmolaritas. 18 Universitas Sumatera Utara ii.Ansa Henle Pars Desendens merupakan tempat sisa filtrat yang isotonis menuju ke dalam medula ginjal. Osmolaritas meningkat sepanjang bagian desendens dari ansa Henle karena mekanisme arus balik. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi garam tiga kali lipat dalam cairan tubulus. iii. Ansa Henle Pars Asendens bersifat impermeable untuk air. Reabsopsi aktif ion-ion Na+, K+, dan Cl- dibantu oleh suatu kotransporter Na+/K+/2Cl-. Mg2+, dan Ca2+ memasuki cairan interstisial melalui saluran paraselular. Kira-kira 25-30% NaCl di tubulus kembali ke cairan interstisial untuk mempertahankan osmolaritas tinggi dari cairan. iv. Tubulus Renalis Kontortus Distal bersifat impermeable untuk air. Sekitar 10% dari NaCl yang disaring direabsorpsi melalui suatu transporter Na+/Cl-. Hormon paratiroid mengatur ekskresi Ca2+ pada bagian tubulus ini. v. Tubulus dan Duktus Renalis Rektus bertanggung jawab dalam pertukaran Na+/K+ , sekresi H+ dan reabsorpsi K+. Stimulasi reseptor aldosteron pada sel-sel utama menyebabkan reabsorpsi Na+ dan sekresi K+. Reseptor hormon antidiuretik (ADH, vasopresin) meningkatkan reabsorpsi air dari tubulus dan duktus renalis rektus. Aktivitas ini dibantu oleh cAMP (Dipiro, 2008). Diuretik dibagi menjadi dua golongan besar yaitu: (1) penghambat mekanisme transpor elektrolit di dalam tubulus ginjal, seperti diuretik kuat (loop diuretic), derivat thiazida, diuretik hemat kalium, dan inhibitor 19 Universitas Sumatera Utara karbonik anhidrase; dan (2) diuretik osmotik (Dipiro, 2008) (Gambar 2.4). Gambar 2.4 Tempat Kerja Diuretik (Kadzung, 2009) Diuretik dibagi menjadi empat golongan obat yaitu: i. Diuretik lengkungan (loof of henle), disebut juga diuretik kuat karena bekerja di ansa henle bagian asenden pada nefron ginjal. Golongan obat ini bekerja menghambat reabsorpsi ion Na+, K+ dan Cl- di ansa henle dan tubulus distal, mempengaruhi sistem co-transport ion Clyang menyebabkan meningkatnya ekskresi air. Obat-obat yang termasuk diuretik kuat adalah furosemida, asam etakrinat dan bumetamida. ii. Diuretik tiazid, yaitu obat lini pertama untuk mengobati hipertensi tanpa komplikasi. Diuretik ini bekerja menghambat reabsorpsi ion Na+ dan Cl- di tubulus distal. Efeknya lebih lemah dan lambat tetapi lebih lama dibanding diuretik kuat. Obat-obat yang termasuk diuretik tiazid adalah hidroklorotiazid, politiazid, indapamid, klortaridon dan siklotiazid. 20 Universitas Sumatera Utara iii. Diuretik osmotik, yaitu obat yang bekerja pada tiga tempat di nefron ginjal, yakni tubuli proksimal, ansa henle dan duktus koligentes. Golongan obat ini bekerja menghambat reabsorpsi Na dan air melalui daya osmotiknya. Obat-obat golongan diuretik osmotik adalah mannitol, sorbitol, gliserin, dan isosorbid. iv. Diuretik hemat kalium, dibagi dua berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu diuretik penghambat aldosteron dan penghambat saluran ion Na. Aldosteron menstimulasi reabsorpsi Na dan ekskresi K. Proses ini dihambat oleh diuretik penghambat aldosteron, yaitu: spironolakton dan eplerenon. Ketika direabsorpsi, Na akan masuk melalui kanal Na tetapi hal ini dihambat oleh penghambat saluran Na, yaitu: triamteren. v. Diuretik penghambat enzim karbonik anhidrase, golongan obat ini bekerja pada tubuli proksimal dengan cara menghambat reabsopsi bikarbonat melalui penghambatan enzim karbonik anhidrase. Enzim ini berfungsi meningkatkan ion hidrogen pada tubulus proksimal yang akan bertukar dengan ion natrium di lumen. Penghambatan enzim ini akan meningkatkan ekskresi natrium, kalium, bikarbonat dan air. Obat-obat dari golongan ini adalah asetazolamid dan diklorofenamid. Efek samping penggunaan hipomagnesia, diuretik antara lain hiperkalsemia, hiperurisemia, hipokalemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual (Junior, et.al. 2012). b. Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEi) menurunkan produksi angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin, dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis melalui penurunan curah jantung dan dilatasi 21 Universitas Sumatera Utara pembuluh arteri akibat berkurangnya jumlah angiotensin II di dalam darah. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah kaptopril, enalapril, ramipril, lisinoril. Golongan obat ini efektif digunakan sebagai terapi tunggal maupun terapi kombinasi dengan golongan diuretik, penghambat reseptor alfa dan antagonis kalsium. Efek samping dari golongan obat ini adalah gangguan fungsi ginjal, batuk kering, dan dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan gangguan ginjal kronis (Khan, 2007). c. Antagonis kalsium bekerja menurunkan tahanan vaskular dan menurunkan kalsium intraseluler. Ion kalsium di jantung mempengaruhi kontraktilitas otot jantung. Kelebihan ion ini akan menyebabkan kontraksi otot jantung meningkat sehingga akan meningkatkan tekanan darah. Antagonis kalsium bekerja menghambat ion kalsium di ekstrasel sehingga kontraktilitas jantung kembali normal. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah verapamil, diltiazem, nifedipin dan amlodipin. Penggunaan tunggal maupun kombinasi, obat ini efektif menurunkan tekanan darah. Untuk terapi hipertensi golongan obat ini sering dikombinasikan dengan ACEi, penyekat beta, dan penyekat alfa (Khan., 2007). d. Penghambat reseptor angiotensin (ARB) bekerja dengan cara menghambat ikatan antara angiotensin II dengan reseptornya . Golongan obat ini menghambat secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang terdapat di jaringan. AT1 memediasi efek angiotensin II yaitu vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan kontriksi arteriol eferen glomerulus. Penghambat 22 Universitas Sumatera Utara reseptor angiotensin tidak menghambat reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Jadi, efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh selama penggunaan obat ini. ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan ACEi karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEi. Sama halnya dengan ACEi, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik (Khan, 2007). e. Penghambat reseptor beta (β blocker) menurunkan tekanan darah melalui penurunan curah jantung akibat penurunan denyut jantung dan kontraktilitas. Mekanisme utama penghambat β adalah menghambat reseptor β1 pada otot jantung sehingga secara langsung akan menurunkan denyut jantung. Penghambat β dibedakan menjadi penghambat β selektif dan non selektif. Penghambat beta selektif hanya memblok reseptor β1 dan tidak memblok reseptor β2. Penghambat beta non selektif memblok kedua reseptor baik β1 maupun β2. Adrenoreseptor β1 dan β2 terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkosentrasi pada organ-organ dan jaringan tertentu. Reseptor β1 lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan reseptor β2 lebih banyak ditemukan pada paru-paru, liver, pankreas, dan otot halus arteri. Perangsangan reseptor β1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan pelepasan renin. Perangsangan reseptor β2 menghasilkan bronkodilatatasi dan vasodilatasi. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat β yang kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat β yang 23 Universitas Sumatera Utara nonselektif seperti propanolol, metoprolol dan asebutolol pada pasien asma, PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes (Khan, 2007). Penggunaan β blocker non selektif akan menyebabkan bronkospasme pada penderita asma karena pada saluran pernafasan terdapat reseptor β2 yang berfungsi sebagai vasodilator. Pada penderita diabetes, β blocker akan meningkatkan kadar glukosa darah melalui penghambatan reseptor β2 di hati. Penghambatan reseptor ini akan menstimulasi proses glukoneogenesis (Khan, 2007). Carvedilol dan nebivolol adalah β blocker generasi ketiga yang memiliki efek lain. Carvedilol adalah β blocker non selektif yang bekerja dengan cara menghambat reseptor β1, β2 dan α1 serta mempunyai efek antagonis kalsium sehingga efek antihipertensi yang ditimbulkan lebih kuat dibandingkan dengan β blocker lain. Nebivolol adalah β blocker selektif yang bekerja dengan cara menghambat reseptor β1 di jantung dan menstimulasi pelepasan vasodilator endogen di jantung, yakni nitrit oksida (Khan, 2007). f. Penghambat reseptor alfa (α blocker), merupakan obat yang menghambat reseptor α. Reseptor α terdiri dari α1 dan α2. Reseptor α1 terdapat di jantung sedangkan reseptor α2 terdapat di otak. Kedua reseptor ini memiliki peran yang berlawanan. Aktivasi dari reseptor α1 akan meningkatkan pelepasan senyawa katekolamin, yakni epinefrin, nor epinefrin dan dopamin yang akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah. Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penghambat reseptor α1 selektif. Obat-obat ini bekerja pada pembuluh darah perifer dan 24 Universitas Sumatera Utara menghambat pelepasan katekolamin pada sel otot jantung, menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Efek samping penghambat reseptor alfa adalah fenomena dosis pertama yang ditandai dengan pusing sementara atau pingsan dan palpitasi (Dipiro, et.al. 2008). g. Agonis α2 sentral, Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang reseptor α2 di presinap di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat vasomotor di otak. Penurunan aktivitas aimpatetik, bersamaan dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut jantung, cardiac output, tahanan perifer total, aktifitas plasma renin, dan refleks baroreseptor. Klonidin sering digunakan untuk hipertensi yang resisten, dan metildopa adalah obat lini pertama untuk hipertensi pada kehamilan. Penghentian agonis α2 sentral secara tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension, yaitu peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba. Efek ini diduga disebabkan oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin sewaktu klonidin diberhentikan tiba-tiba (Khan, 2007). 2.6 Nitrit Oksida (NO) Nitrit oksida (NO) merupakan endothelium-derived relaxing factor (EDRF), berfungsi sebagai vasodilator dan meningkatkan aliran darah (Cerielo, 2008). NO dibentuk dalam jaringan oleh L-arginine dengan bantuan enzim endothelial nitric oxide synthase (eNOS) dan kofaktor NADPH, oksigen (O2), serta tetrahydrobiopterin (BH4) menghasilkan L-citrulline serta nitrat dan nitrit sebagai metabolit antara NO. Apabila NO diperlukan kembali, nitrit dalam jaringan direduksi menjadi NO dikatalisis menjadi enzim xanthine oxidase (XO). Kadar 25 Universitas Sumatera Utara nitrat dan nitrit (NOx), relatif stabil didalam darah, sehingga dipakai sebagai indikator sintesis NO tubuh (Abdulazeez, et.al. 2015). Toksisitas NO sebagian berhubungan dengan oksidasi lanjut dari NO menjadi NO2. Selama terapi NO, sangat penting untuk mempertahankan pembentukan NO2 dalam kadar yang sangat rendah menggunakan filter dan scavenger yang tepat dan campuran gas kualitas tinggi. Dosis rendah NO selama penggunaan kronis menyebabkan inaktivasi surfaktan dan pembentukan peroksinitrit melalui interaksi dengan superoksida. Kemampuan NO untuk menginhibisi atau mengubah fungsi dari sejumlah protein yang mengandung besi dan heme menjadi penting untuk dilakukan investigasi lanjut mengenai potensial toksik dari NO dalam terapi. Pembentukan methemoglobinemia adalah komplikasi signifikan dari penghirupan NO dalam konsentrasi tinggi dan kematian telah dilaporkan akibat overdosis NO. Kadar methemoglobinemia dalam darah harus dimonitor selama penggunaan NO. NO dapat menginhibisi fungsi platelet dan telah menunjukkan peningkatan waktu perdarahan dalam beberapa studi. Pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri, NO berpotensi untuk memperparah fungsi ventrikel kiri dengan mendilatasi sirkulasi pulmonal dan meningkatkan aliran darah ke ventrikel kiri sehingga meningkatkan tekanan atrium kiri dan pembentukan edema pulmonal (Brunton, 2008). 2.7 Parameter Biokimia Darah Parameter biokimia darah merupakan parameter pengamatan yang dapat digunakan sebagai indikator penilaian terhadap keberhasilan terapi atau progresi dari suatu penyakit. Parameter biokimia yang dapat digunakan pada terapi penyakit kardiovaskular antara lain profil lipid, ALT, AST, ureum dan kreatinin. 26 Universitas Sumatera Utara a. Profil lipid merupakan pengukuran kadar lemak (lipid) dalam darah. Profil lipid terdiri dari: i. Kolesterol Total, yaitu jumlah total kandungan kolesterol dalam darah. Kolesterol dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan kesehatan sel-sel tetapi level yang terlalu tinggi akan meningkatkan risiko sakit jantung. Idealnya total kolesterol harus < 200 mg/dl (< 5,2 mmol/l). Faktor genetik juga berperan sebagai penentu kadar kolesterol, selain dari makanan yang dimakan. ii. Low density lipoprotein (LDL), menyebabkan akumulasi endapan lemak (plak) dalam arteri (proses aterosklerosis), sehingga aliran darah menyempit. Plak ini kadang-kadang bisa pecah dan menimbulkan masalah besar untuk jantung dan pembuluh darah. LDL ini adalah target utama dari berbagai obat penurun kolesterol. Target yang ingin dicapai adalah < 70 mg/dl untuk individu yang sudah memiliki penyakit kardiovaskular atau pasien yang berisiko sangat tinggi untuk terkena (misalnya: sindrom metabolik); 100 mg/dl untuk pasien yang beresiko tinggi (misalnya: pasien dengan beberapa faktor resiko sekaligus) dan < 130 mg/dl untuk individu yang berisiko rendah terkena PJK iii. High density lipoprotein (HDL), atau disebut juga kolesterol “baik” karena membantu membawa kolesterol dari aliran darah menuju ke hati untuk dimetabolisme. Idealnya level HDL harus diatas 40 mg/dl. Umumnya wanita memiliki level yang lebih tinggi daripada pria. Olahraga dapat membantu meningkatkan kadar HDL. 27 Universitas Sumatera Utara iv. Trigliserida, biasanya pada pasien yang gemuk atau pasien diabetes. Makanan tinggi karbohidrat (gula sederhana) atau alkohol dapat menaikkan trigliserida secara bermakna. Idealnya level trigliserida harus < 150 mg/dl (1,7 mmol/L). American Heart Association (AHA) merekomendasikan bahwa level trigliserida untuk kesehatan jantung “optimal” adalah 100 mg/dl (1,1 mmol/l) (Anonim, 2012). Indikator terjadinya aterogenik ditentukan berdasarkan parameter rasio resiko kardiak, koefisien aterogenik dan indeks aterogenik dalam plasma. Rasio resiko kardiak merupakan perbandingan antara total kolesterol dengan HDL. Koefisien aterogenik merupakan perbandingan selisah total kolesterol dan HDL dengan HDL sedangkan indeks aterogenik merupakan logaritma perbandingan trigliserida dengan HDL (Ikewuchi, et.al. 2013; Echegoyen, et.al. 2015) b. Aspartat transminase dan Alanin transminase Aspartat transminase (AST) dan Alanin transminase (ALT) merupakan biomarker kerusakan hati. AST terdapat di hati, otak, otot rangka dan jantung. ALT lebih banyak dijumpai di hati dan sedikit di otot rangka dan jantung. Hepatosit yang rusak mengeluarkan komponen dari dalam sel termasuk ALT dan AST ke luar sel. Enzim yang dilepaskan akhirnya masuk ke sirkulasi dan meningkatkan kadar AST dan ALT. 80% aktivitas AST di hati manusia berasal dari isoenzim di mitokondria, sedangkan sirkulasi AST pada manusia normal berasal dari isoenzim di sitoplasma. Peningkatan AST yang tinggi terjadi ketika nekrosis di jaringan hati sudah meluas, sehingga lebih dikaitkan dengan infark miokard. AST terdapat di mitokondria dan sitoplasma sel, sedangkan ALT hanya terdapat di sitoplasma . Tingkat 28 Universitas Sumatera Utara kenaikan AST dan ALT dikelompokkan menjadi tinggi, sedang dan ringan. Peningkatan yang tinggi (>20 kali lipat hingga mencapai >1000 IU/L) menandakan hepatitis virus berat, nekrosis yang diinduksi obat dan toksin lain serta syok sirkular. Peningkatan sedang (3-20 kali lipat) biasanya terjadi pada hepatitis akut, hepatitis neonatus, hepatitis kronik, hepatitis autoimun, hepatitis yang diinduksi obat dan gangguan saluran empedu akut. Peningkatan ALT lebih besar dibandingkan AST kecuali pada hepatitis kronik, bahkan AST bisa mencapai nilai normal pada 75% penderita hepatitis akut dalam waktu 8 minggu sejak timbulnya penyakit. Peningkatan ringan (13 kali lipat) biasanya dijumpai pada hepatitis neonatus yg disebabkan sepsis, perlemakan hati, sirosis, hepatitis steatotik non alkohol, toksisitas obat, olahraga berlebihan dan beberapa gangguan hati lain (Thapa dan Walia, 2007). c. Kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN) Kreatinin merupakan produk penguraian keratin. Kreatin disintesis di hati dan terdapat di otot rangka dalam bentuk kreatin fosfat. Kreatin fosfat diubah menjadi kreatin dengan katalisasi enzim kreatin kinase, selanjutnya difiltrasi oleh glomerulus untuk diekskrasikan melalui urin. Kreatin darah meningkat jika fungsi ginjal menurun, sehingga kreatinin merupakan biomarker yang sensitif pada penyakit ginjal dibandingkan BUN. Rasio BUN/kreatinin normal adalah 12-20. Jika kadar BUN meningkat dan kreatinin serum tetap normal, kemungkinan terjadi uremia non-renal; dan jika keduanya meningkat, diduga terjadi kerusakan ginjal. Rasio BUN/kreatinin rendah dengan kreatinin normal dijumpai pada uremia prarenal, diet tinggi protein, perdarahan saluran 29 Universitas Sumatera Utara cerna, keadaan katabolik. Rasio BUN/kreatinin tinggi dengan kreatinin tinggi dijumpai pada azotemia prarenal dengan penyakit ginjal, gagal ginjal, azotemia pascarenal. 2.8 Metode Pengukuran Tekanan darah Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu invasif dan non invasif. Pengukuran tekanan darah secara invasif merupakan metode pengukuran tekanan darah langsung pada pembuluh darah arteri. Metode pengukuran ini memerlukan suatu teknik keahlian untuk memasukkan barometer pada pembuluh darah arteri. Namun, metode ini menunjukan hasil yang lebih akurat. Pengukuran tekanan darah secara noninvasif adalah mengukur tekanan darah secara tidak langsung yaitu dengan menggunakan instrumen analisis yang dapat mengukur tekanan darah tikus melalui ekor. Tekanan darah diukur melalui cuff yang memiliki sensor cahaya. Sensor akan membaca aliran tekanan darah yang melewati pangkal ekor secara dinamis akibat penekanan terhadap pembuluh darah oleh pompa yang tersedia pada alat. Nilai tekanan darah akan terbaca melalui interpretasi grafik (oscillograph) yang berbentuk kerucut. Faktor-faktor yang harus diperhatikan selama pengukuran tekanan darah secara noninvasif adalah kondisi lingkungan yang tenang, nyaman dan suhu (Malkoff, 2005). 2.9 Gagal Jantung Kongestif Gagal jantung kongestif (GJK) adalah keadaan di mana jantung tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen tubuh secara adekuat karena fungsi pompa sentral jantung mengalami gangguan. Hal ini terjadi karena lemahya otot ventrikel akibat 30 Universitas Sumatera Utara serangan jantung atau infeksi (miokarditis) atau akibat gangguan mekanis, yaitu kegagalan pengisian ventrikel atau memompakan darah ke seluruh tubuh. Gagal jantung dapat diklasifikasikan sebagai berikut : (1) gagal jantung ventrikel kiri, (2) gagal jantung ventrikel kanan, dan (3) gagal jantung kongestif (kombinasi pertama dan kedua). Manifestasi klinis GJK berupa keletihan, intoleransi eksesais, susah bernafas, orthopnea, edema dan asites (Dipiro, 2008). Progresivitas gagal jantung dipengaruhi oleh mekanisme neurohomonal yaitu: a. Aktivasi sistem saraf simpatis, terjadi bersamaan dengan berkurangnya tonus parasimpatik. Pada keadaan ini, terjadi penurunan inhibisi refleks baroreseptor arterial atau kardiopulmoner. Reseptor ini berfungsi menurunkan tekanan darah. Di sisi lain terjadi peningkatan eksitasi kemoreseptor perifer nonbarorefleks dan metaboreseptor otot yang menyebabkan penurunan denyut jantung dan peningkatan resistensi vaskuler perifer. Peningkatan tonus simpatis mengakibatkan peningkatan kadar norepinefrin, yaitu neurotransmiter adrenergik yang poten, di sirkulasi sedangkan ambilan-kembali norepinefrin dari ujung saraf berkurang. Meskipun demikian, pada gagal jantung stadium lanjut akan terjadi penurunan norepinefrin miokard karena mekanisme yang masih belum diketahui (Wells, et.al., 2009). Peningkatan aktivasi reseptor simpatis β-adrenergik meningkatkan denyut jantung dan kekuatan kontraksi miokard yang berakibat peningkatan curah jantung. Peningkatan aktivitas ini menyebabkan stimulasi reseptor αadrenergik miokard sehingga inotropik positif dan vasokonstriksi arteri perifer. Meskipun norepinefrin meningkatkan kontraksi dan relaksasi serta 31 Universitas Sumatera Utara mempertahankan tekanan darah, hal ini justru menyebabkan kebutuhan energi miokard akan bertambah sehingga memperburuk iskemik saat distribusi oksigen terbatas. Peningkatan arus adrenergik dari sistem saraf pusat akan menyebabkan takikardi ventrikular atau sudden cardiac death (Wells, et.al., 2009). Peningkatan tonus simpatis renal juga menyebabkan vasokonstriksi sehingga aliran darah ginjal berkurang, seiring dengan peningkatan reabsorpsi Natrium dan air di tubular ginjal. Hal ini akan merangsang pelepasan arginin vasopressin (AVP) dari hipofisis posterior untuk mengurangi ekskresi air yang akan memperburuk vasokonstriksi perifer. Angiotensin II menstimulasi pusat haus di otak dan menyebabkan pelepasan AVP dan aldosteron, yang keduanya menyebabkan disregulasi homeostasis garam dan air. Pada pasien gagal jantung terjadi peningkatan PGE dan PGI, serta pelepasan atrial natriuretic peptide (ANP) dan brain natriuretic peptide (BNP) akibat terjadi regangan miokard dan peningkatan asupan Natrium. Kedua enzim ini berperan meningkatkan ekskresi air dan garam serta menghambat pelepasan renin-aldosteron (counter-regulatory). Efek ANP dan BNP terhadap ginjal makin berkurang pada kondisi meningkatnya derajat gagal jantung (Wells, et.al., 2009). b. Aktivasi sistem renin-angiotensin (RAS) pada gagal jantung terjadi akibat hipoperfusi renal, penurunan filtrasi Natrium ketika mencapai makula densa, dan peningkatan stimulasi simpatik di ginjal sehingga renin dilepaskan dari apparatus jukstaglomerular. Angiotensin II akan meningkatkan efeknya setelah berikatan dengan reseptor AT dan AT. AT 32 Universitas Sumatera Utara banyak berlokasi pada saraf miokard sementara AT pada fibroblas dan interstitial. Aktivasi reseptor AT menyebabkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron, dan pelepasan katekolamin; sementara aktivasi reseptor AT menyebabkan vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.Angiotensin II berperan mempertahankan homeostasis sirkulasi dalam jangka pendek. Meskipun demikian, ekspresi berlebihan angiotensin II menyebabkan fibrosis pada hati, ginjal, dan organ lainnya. Angiotensin II juga dapat memperburuk aktivasi neurohormonal dengan meningkatkan pelepasan norepinefrin dari ujung saraf simpatis. Selain itu, terjadi pula stimulasi korteks adrenal untuk memproduksi aldosteron yang juga berperan dalam mempertahankan homeostasis jangka pendek dengan mempengaruhi reabsorpsi Natrium pada tubulus distal ginjal. Meskipun demikian, ekspresi aldosteron berlebihan menyebabkan hipertrofi dan fibrosis vaskuler serta miokard yang menyebabkan berkurangnya compliance vaskuler dan meningkatkan kekakuan ventrikel. Aldosteron berlebihan juga menyebabkan disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, serta inhibisi ambilan norepinefrin, yang semuanya akan memperburuk gagal jantung (Wells, et.al., 2009). Gagal jantung kongestif (GJK) dapat disebabkan oleh gangguan kemampuan otot jantung berkontraksi atau meningkatnya beban kerja dari jantung. Penyebab dasar gagal jantung kongestif antara lain arteriosklerosis, penyakit hipertensi, penyakit katup jantung, kardiomiopati yang melebar. Tujuan terapi untuk gagal jantung kongestif adalah meningkatkan curah jantung. Tiga golongan obat 33 Universitas Sumatera Utara menunjukkan efektivitas klinis dalam mengurangi gejala-gejala dan memperpanjang kehidupan: 1) vasodilator yang mengurangi beban miocard; 2) obat diuretik yang menurunkan cairan ekstraseluler dan; 3) obat-obat inotropik yang meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung (Dipiro, 2008). a. Vasodilator Pada gagal jantung kongestif, gangguan fungsi kontraksi jantung diperberat oleh peningkatan kompensasi pada preload dan afterload. Preload adalah volume darah yang mengisi ventrikel selama diastole. Peningkatan preload menyebabkan pengisian jantung berlebihan. Afterload adalah tekanan yang harus diatasi jantung ketika memompa darah ke sistem atrial. Peningkatan afterload menyebabkan jantung bekerja lebih kuat memompa darah ke sistem arterial. Vasodilatasi berguna untuk mengurangi preload dan afterload yang berlebihan. Dilatasi pembuluh darah vena menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan kapasitas vena; dilator arterial menurunkan resistensi arteriol sistemik dan menurunkan afterload. Vasodilator akan memperbaiki keseimbangan kardiovaskular (Wells, et.al.,2009). Inhibitor ACE merupakan obat pilihan untuk gagal jantung kongestif dan lebih baik dibandingkan vasodilator lain. Obat ini menghambat enzim pengubah angiotensin I membentuk vasokonstriksor kuat angiotensin II. Obat-obat ini juga menghilangkan kecepatan inaktivasi bradikinin. Vasodilatasi terjadi akibat berkurangnya angiotensin II dan peningkatan bradikinin. Dengan mengurangi kadar angiotensin II dalam sirkulasi, inhibitor ACE juga mengurangi sekresi aldosteron, menyebabkan penurunan retensi 34 Universitas Sumatera Utara natrium dan garam. Inhibitor ACE bekerja pada jantung dengan menurunkan resistensi vaskular, vena dan tekanan darah, dan peningkatan curah jantung. Obat ini juga menghambat peningkatan epinerfrin akibat hipertensinogen II dan aldosteron dalam GJK (Khan, 2009). Dilatasi pembuluh vena menyebabkan penurunan preload jantung dengan meningkatan kapasitas vena; dilator arterial mengurangi retensi sistem arteriolar dan menurunkan afterload. Nitrat diberikan untuk pasien GJK. Jika pasien intoleransi terhadap inhibitor ACE, biasanya digunakan kombinasi hidralzin dan isosorbit dinitrat. Amlodipin dan felodipin mempunyai efek inotropik negatif dibanding dengan penyekat kanal kalsium, dan menurunkan aktivitas saraf simpatik (Dipiro, 2008). b. Diuretik Diuretik akan mengurangi kongesti pulmonal dan edema perifer. Diuretik bekerja mengurangi gejala volume berlebihan, termasuk ortopnea dan dispnea noktural paroksimal. Diuretik menurunkan volume plasma dan selanjutnya menurunkan venous return ke jantung (preload) sehingga mengurangi beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen. Diuretik juga menurunkan afterload dengan mengurangi volume plasma sehingga menurunkan tekanan darah (Khan, et.al.2009). Pada fungsi ginjal yang normal, golongan tiazid adalah obat pilihan untuk gagal jantung. Obat golongan ini meningkatkan ekskresi Na + dan Cl- melalui urine. Secara sekunder terjadi pengeluaran K+ akan membahayakan penderita yang juga mendapat digitalis sebab bisa terjadi hipokalemia, karena jantung akan lebih rentan terhadap digitalis sehingga akan mudah terjadi keracunan 35 Universitas Sumatera Utara digitalis. Dalam hal ini perlu pemeriksaan elektrolit secara berkala. Pasien juga harus diberikan sediaan mengandung kalium (KCl) (Dipiro, 2007). c. Glikosida Jantung Glikosida jantung bekerja memperbaik isistem sirkulasi, mengurangi edema yang sering dihubungkan dengan GJK dan membantu sekresi renal. Struktur glikosida jantung terdiri dari dua bagian. Bagian gula (glikon) dan bagian non gula (aglikon) (Mehana, 2008). Pada bagian aglikon terdapat inti steroid berupa siklopenantren dan cincin lakton. Sedangkan pada bagian glikon terdapat gugus gula seperti D-glucose, D-digitoxose, Lrhamnose, dan D-cymarose (Gambar 2.5) ( Mehana, 2008). O O cincin lakton OH CH3 H H CH 3 H H OH CH3 O H O O H OH H O H H H (R) H O H H (S) CH3 H (S) O H H (S) CH 3 H OH (S) H OH OH bagian gula (glikon) bagian non gula (aglikon) Gambar 2.5. Rumus struktur Glikosida jantung (Melero, et al., 2000) Glikosida jantung digunakan pada terapi gagal jantung karena efek inotropik positif untuk miokardium yang lemah dan khasiatnya dalam mengendalikan laju respons ventrikel terhadap fibrilasi atrium. Glikosida jantung juga memodulasi aktivasi sistem saraf simpatik, suatu mekanisme tambahan yang mungkin berperan penting terhadap khasiatnya untuk gagal jantung (Mehana, 2008). Obat-obat yang bekerja sebagai glikosida jantung antara lain: 36 Universitas Sumatera Utara i. Digoxin Glikosida jantung mempunyai mekanisme kerja penghambatan Na+/K+ ATPase yang merupakan inhibitor transport aktif Na+ dan K+ yang kuat dan sangat selektif untuk melintasi membran sel, dengan cara berikatan pada suatu tempat khusus pada sisi ekstrasitoplasma di sub unit α pada Na+/K+-ATPase, sejenis enzim “pompa Na” dalam sel. Pengikatan glikosida jantung dengan Na+/K+-ATPase dan penghambatan pompa ion dalam sel ini bersifat reversible dan dihantarkan secara entropik. Obat-obatan ini khususnya berikatan dengan enzim tersebut setelah fosforilasi pada suatu β-aspartat di sisi sitoplasma pada sub unit α dan menstabilkan konformasi ini. K+ eksternal menyebabkan defosforilasi enzim tersebut sebagai tahap awal translokasi aktif kation ini ke dalam sitosol, sehingga menurunkan afinitas enzim tersebut untuk mengikat glikosida jantung (Weis, et al., 2005; Melero, et al., 2000). Inotropik positif (peningkatan daya kontraksi) yang diinduksikan oleh glikosida jantung adalah karena kemampuannya menghambat secara langsung ikatan antara membran dan Na+/K+-ATPase. Akibat hambatan tersebut terjadi peningkatan Ca2+ intrasel dan memperpanjang slow inward Ca2+ selama berlangsung potensial aksi. Digitalis pada konsentrasi terapeutik pengaruhnya tidak secara langsung terhadap protein kontraktil jantung. Begitu juga efek inotropik positif digitalis bukan disebabkan tindakannya terhadap mekanisme intraseluler yang menyediakan energi kimia untuk proses kontraksi tersebut. Hidrolisis ATP oleh enzim Na+/K+-ATPase adalah suatu pengaruh yang disebut 37 Universitas Sumatera Utara Na+ pump, yaitu sistem yang terdapat di dalam sarkolema serat jantung yang secara aktif mengekstrusi Na+ dan memindahkan K+ ke dalam serat jantung. Glikosida jantung secara spesifik berikatan dengan Na+/K+-ATPase untuk menghambat aktivitasnya. Dengan demikian tranpor aktif kedua kation monovalen tadi akan terganggu. Akibatnya secara perlahan-lahan terjadi peningkatan Na+ intraseluler dan secara perlahan pula penurunan K+. Digitalis pada konsentrasi terapeutik, perubahan keluar masuk kedua kation tersebut sangat kecil. Peningkatan Na+ inilah yang secara krusial menghasilkan inotropik positif akibat pemberian digitalis. Hal ini adalah karena Ca2+ yang terdapat di dalam intraseluler dipertukarkan dengan Na+ intraseluler oleh sistem transport yang dikendalikan oleh konsentrasi gradient dan potensial trans membran. Apabila Na+ meningkat akibat inhibisi pump oleh digitalis, maka pertukaran Na-ekstraseluler untuk Ca2+ intraseluler diperkecil, dan Ca2+ ditingkatkan (sebelum dan selama kontraksi). Akibat dari peristiwa itu terjadilah peningkatan simpanan Ca2+ di dalam retikulum sarkoplasma (RS), pada setiap potensial aksi pembebasan Ca2+ dalam jumlah besar akan terjadi untuk mengaktifkan alat-alat kontraktil yang terdapat di dalam serat otot jantung (Dipiro,2008). ii. Agonis β-adrenergik Stimuli β-adrenergik memperbaiki kemampuan otot jantung dengan efek inotropik spesifik dalam fase dilatasi. Dobutamin adalah obat inotropik yang paling banyak digunakan selain digitalis. Dobutamin menyebabkan peningkatan siklik-AMP intrasel yang menyebabkan 38 Universitas Sumatera Utara aktivasi protein kinase. Saluran kalsium lambat merupakan tempat penting fosforilasi protein kinase. Jika difosforilasi, masuknya ion kalsium ke dalam sel miokard meningkat, sehingga meningkatkan pula kontraksi (Wells, et.al. 2009). Dobutamin meningkatkan kontraksi miokard tanpa meningkatkan frekuensi denyut jantung pada dosis sedang, sedangkan dosis yang lebih tinggi meningkatkan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Secara kimia dobutamin mirip dengan dopamin, tetapi mempunyai gugus aromatik sebagai pengganti gugus amino. Katekolamin sintetik ini terutama bekerja pada β1-adrenoreseptor, sedikit mempengaruhi β2reseptor dan α serta tidak mempengaruhi reseptor dopamin (Wells, et.al. 2009). iii Inhibitor fosfodiesterase Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah amiron dan miliron sebagai inhibitor fosfodiesterase yang memacu peningkatan konsentrasi siklik-AMP intrasel, dan meningkatkan kontraktilitas otot jantung atau bersifat inotropik positif. Akhir-akhir ini, hasil uji klinis menunjukkan bahwa obat-obat ini tidak dapat menurunkan angka kematian mendadak dan tidak dapat memperpanjang masa hidup penderita gagal jantung kongestif (Khan, 2007). 2.10 Uraian Tumbuhan Uraian tumbuhan meliputi sistematika tumbuhan, nama daerah, nama asing, morfologi tumbuhan, kandungan dan khasiat tumbuhan. 39 Universitas Sumatera Utara 2.10.1 Sistematika Tumbuhan Sistematika tumbuhan puguntano adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Scrophulariales Famili : Scrophulariaceae Genus : Picria Spesies : Picria felterrae Sinonim : Curanga amara Vahl., Curanga amara Juss., Curania amara R&S., Gratiola amara Roxb., Curanga fel-terrae Merr., dan Torenia cardiosepala Benth. (Anonim, 2009). 2.10.2 Nama Daerah dan Asing Puguntano memiliki nama daerah, yaitu Puguntanoh, Puguntana, pagontanoh (Dairi), tamah raheut (Sunda), daun kukurang (Maluku), papaita (Ternate). Beberapa negara menyebut tumbuhan ini sebagai hempedu tanah, gelumak susu, rumput kerak nasi (Malaysia), sagai-uak (Filipina), kong saden (Laos) dan thanh (Vietnam) (Anonim, 2009). 2.10.3 Morfologi Tumbuhan Puguntano (Picria fel-terrae Lour.) merupakan herba tahunan famili Scrophulariaceae, memiliki tinggi lebih dari 40 cm. Batang tumbuhan ini bercabang jarang, tegak (erectus) atau melata (repens), segiempat (quadrangularis), berakar di buku-buku, berbulu halus yang padat (villosus). Daun 40 Universitas Sumatera Utara tunggal, berhadapan folia opposita), bundar telur (ovatus), pangkal daun berbentuk baji (acutus) sampai bundar (obtusus), ujung daun agak melancip (acutus), tepi daun beringgitan (crenatus), dan berbulu halus. Bunga berbentuk tandan (racemus) di ujung batang, jumlah bunga 2-16, daun gagang kecil, lanset, mahkota bunga (corolla) seperti tabung (tubulosus), berbibir rangkap (bilabialis), gundul bagian luar, bagian dalam ada kelenjar bulu, bibir atas berwarna coklat kemerah-merahan, bibir bagian bawah berwarna putih. Buah berbentuk kapsul lonjong (capsula), padat, berkatup dua, dengan beberapa biji. Biji membulat, dengan diameter sekitar 0.6 mm (Globinmed, 2007) (Gambar 2.6). Gambar 2.6 Tumbuhan Puguntano (Picria fel-terrae Lour.) 2.10.4 Khasiat Tumbuhan Air rebusan puguntano digunakan oleh masyarakat Maluku dan Filipina sebagai obat cacing untuk anak-anak, mengobati kolik (mulas mendadak dan hebat) serta malaria. Tapel daun dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia untuk menyembuhkan gatal-gatal dan penyakit kulit lainnya. Rebusan dari daun bersama daun kaki kuda digunakan untuk mengatasi batuk dan rasa sesak di dada. Maserasi daun dengan alkohol digunakan sebagai tonik (Anonim, 2009). Aktivitas tumbuhan ini yang sudah terbukti secara ilmiah adalah analgetik (Zhou, et.al. 2006), aktivitas antioksidan (Thuan, 2007), efek imunomodulator 41 Universitas Sumatera Utara (Dalimunthe, 2010), penghambat asetilkolinesterase (Wen, et.al., 2013), antiasma (Harahap,2013), antidiabetes (Sitorus, 2014), penghambat siklus sel dan apoptosis (Furqon, et.al., 2014) aktivitas antelmentik (Patilaya and Husori, 2015), antiinflamasi (Shi, et.al., 2016). 2.10.5 Kandungan Tumbuhan Puguntano mengandung beberapa senyawa utama yaitu triterpen, feniletanoid glikosida dan flavonoid glukoronida (He et. al., 2016) (Tabel 2.3). Tabel 2.3 Senyawa Kimia Picria felterrae Lour Golongan glikosida cucurbitasin steroid fenilpropanoid glikosida Picfeltarraenone glikosida (triterpenoid) Nama senyawa Picfeltarraenin 1A Picfeltarraenin 1B Picfeltarraenin IV Picfeltarraenin VI Struktur picfeltarraegenin I 3-O-betaD-xylopyranoside β-sitosterol Daucosterol 1-O-3,4-(dihydroxyphenyl) ethyl-β-D-apiofuranosyl-(14)α-L-rharmnopyranosyl-(13)-4-O-caffeoyl-b-Dglucopyranoside Picfeltarraenone I Picfeltarraenin XI feniletanoid glikosida triterpenoid 3,11,22-trioxo-16alphahydroxy-(20S,24)-epoxycucurbit-5,23-diene 3,11,22-trioxo-16alphahydroxy-(20S,24)-epoxycucurbit-5,23-diene-2beta-Obeta-D-glucopyranoside Picfeosides A Picfeosides B Picfeosides C Wiedemannioside Acteoside Acteoside isomer Cis Acteoside Isomer Cis Acteoside Picfeltarraegenin VII Picfeltarraenin X Picfeltarraegenin VI 42 Universitas Sumatera Utara Picfeltarraenins VI Picfeltarraenins VII flavonoid Apigenin 7-O-b-glucuronide glucoronide Luteolin 7-O-b-glucuronide Apigenin 7-O-b-(2”-O-arhamnosyl) glucuronide (Wang, et.al., 1995; Huang, et.al. 1998; Huang, et.al. 1999; Zaoa, et.al. 2005; Zaob,et.al. 2005; Zao,et.al., 2006; Huang, et,al. 2010). 2.11 Ekstraksi Ekstraksi merupakan proses penarikan kandungan kimia dari suatu bahan tumbuhan dengan pelarut cair (Ditjen POM, 2000). Hasil dari ekstraksi disebut ekstrak yaitu sediaan yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995). Ada tiga jenis ekstrak yang dikenal yaitu ekstrak cair (extractum liquidum), ekstrak kental (extractum spissum) dan ekstrak kering (extractum siccum). Ekstrak cair bersifat encer dan dapat dituang, ekstrak kental tidak dapat dituang dan ekstrak kering dapat diserbuk. Farmakope Indonesia menetapkan bahwa cairan penyari adalah air, etanol, dan etanol-air atau eter (Ditjen POM, 1986). Klasifikasi metode ekstraksi berdasarkan jenis pelarut yang digunakan menurut Ditjen POM yaitu: a. Cara dingin Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari: i. Maserasi, yaitu proses pengekstraksi simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur 43 Universitas Sumatera Utara ruangan. Proses perendaman dilakukan selama 5 hari dengan pelarut sesuai sehingga lebih dari 95% zat terlarut terekstraksi Cairan yang diperoleh disebut maserat. Maserat diuapkan pelarutnya sampai diperoleh ekstrak. Metode maserasi dilakukan untuk ekstraksi bahan tumbuhan lunak seperti daun dan bunga. ii. Perkolasi, yaitu ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, perendaman antara, perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) sampai diperoleh ekstrak. Metode perkolasi digunakan untuk ekstraksi bahan tumbuhan yang keras seperti biji, korteks, dan kayu. Metode maserasi dan perkolasi merupakan metode ekstraksi yang paling dimudah dibandingkan metode lainnya terutama untuk bahan tumbuhan yang belum pernah diekstraksi. Hal ini disebabkan karena ekstraksi dilakukan pada suhu ruangan sehingga mencegah terbentuknya senyawa artifak akibat peruraian oleh panas. Pelarut dalam metode maserasi dan perkolasi menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel melarutkan senyawa-senyawa yang diekstraksi. Zat-zat terlarut akan dibawa ke luar dari sel berdasarkan perbedaan konsentrasi (gradient concentration) antara di luar dan dalam sel. b. Cara panas Ekstraksi cara panas digunakan jika sudah diketahui bahan/senyawanya tidak terurai oleh pemanasan. Metode ekstraksi terdiri dari: 44 Universitas Sumatera Utara i. Refluks, adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. ii. Sokletasi, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus (soxhlet apparatus) sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. iii. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (40-50oC). iv. Infundasi, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC selama waktu tertentu (15-20 menit) sehingga diperoleh infusum. v. Dekoktasi, adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air. Hasil dekoktasi disebut decoctum (Ditjen POM, 2000). 45 Universitas Sumatera Utara