5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Manggis (Garcinia mangostana L.) Tanaman manggis (Garcinia mangostana L.) termasuk famili Guttiferae, merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggra (Nakasone dan Paull 1999). Terdapat 400 spesies dari genus Garcinia, 40 spesies diantaranya dapat dimakan dan 6 spesies diambil buahnya (Cox 1988). Manggis memiliki jumlah kromosom 2n=4x=90, di duga allotetraploid, menurut Richards (1990) merupakan hasil persilangan dari G. hombroniana ( 2n=2x=48) dan G. malaccensis (2n=2x=42). Tinggi tanaman manggis dapat mencapai 25 m dengan bentuk tajuk bervariasi dari bulat selindris hingga kerucut. Lebar tajuk merentang hingga 12 m. Diameter batang pohon dewasa dapat mencapai 60 cm dengan percabangan ke semua arah. Daunnya tunggal dan berpasangan di sisi ranting. Bentuk daun bulat panjang dengan ukuran panjang 13-26 cm dan lebar 6-12 cm. Helai daun kaku dan tebal memiliki tulang daun yang menonjol. Daun muda yang baru tumbuh berwarna coklat kemerahan, kemudian sesuai dengan umur pertumbuhannya berubah menjadi coklat kehijauan, hijau muda, lalu hijau tua (Tirtawinata et al. 2000). Manggis termasuk tanaman berumah dua (dioecious), yang ditemui hanya bunga betina sedangkan bunga jantannya mengalami rudimenter (Steenis 1975, Cox 1988, Richards 1990). Bunga manggis terletak di ujung ranting, memiliki tangkai bunga yang pendek dan tebal. Kelopak bunga dan mahkota masingmasing berjumlah empat, berwarna merah kekuningan disebelah dalam dan diluar berwarna hijau kemerahan. Kelopak bertahan pada dasar buah dan pada bagian ujungnya terdapat putik bunga yang jumlahnya merupakan jumlah segmen dari dalam buahnya. Bakal biji berjumlah 4 sampai 8 buah sesuai dengan banyaknya sel telur (Steenis 1975, Rismunandar 1986, Verheij 1991). Buah manggis termasuk buah berry, berdiameter 3.5 sampai 7 cm, bentuknya bulat, berwarna ungu kehitaman. Buah mengandung 1 sampai 3 biji yang besar, berwarna coklat (Stephen 1935). Kulit buah tebal 0.8 sampai 1 cm, mempunyai getah kuning yang pahit. Biji manggis dilapisi oleh aril yang lunak, berwarna putih, mengandung sari buah. 6 Biji manggis bersifat poliembrioni dan nutrisi ntuk perkembangan embrionya didukung oleh nusellus dan inti endosperm. Sekitar 10% dari biji yang berkecambah akan menumbuhkan lebih dari satu tunas dan masing-masing tunas akan tumbuh pada posisi yang berlainan dan masing-masing membawa perakarannya sendiri. 2.2 Apomiksis Tanaman Manggis Apomiksis merupakan perbanyakan aseksual melalui biji dimana biji terbentuk bukan merupakan hasil fertilisasi. Biji dari tanaman apomiksis apabila tidak mengalami mutasi mengandung embrio yang mempunyai konstitusi genetik yang sama dengan induknya. Pada tanaman apomiksis, gen untuk reproduksi seksual tidak berekspresi. Pada apomiksis fakultatif, sel nuselar tertentu mengalami reproduksi seksual, sel nuselar lain mengalami reproduksi aseksual sedangkan pada apomiksis obligat kejadian seksual dihambat (Koltunow 1993). Reproduksi apomiksis terdiri atas diplospory, apospory, dan adventitious embriony. Diplospory adalah pembentukan kantong embrio tidak tereduksi dari megaspore mother cell tanpa meiosis, sel telur berkembang secara partenogenetik menjadi embrio atau sel lain dari kantung embrio dipecah dan berkembang menjadi embrio. Apospory merupakan mekanisme dimana kantung embrio tidak tereduksi muncul dari sel somatik pada nusellus atau integumen. Pada adventitious embriony , embrio terbentuk dari sel nusellus atau integumen dengan inti diploid dan tidak melalui generasi gametofit (Ramulu et al. 1995). Biji manggis merupakan biji apomiksis dan sering disebut sebagai agamospermi, diproduksi melalui tunas adventif proembrio dan jaringan ovular, berwarna coklat, pipih, tidak memiliki endosperm dan permukaannya ditutupi jaringan pembuluh (Lim 1984, Richards 1990). Reproduksi apomiksis, menurut den Nijs dan van Dijk (1993) menyatakan bahwa dalam reproduksi apomiksis, biji terbentuk tanpa reduksi jumlah kromosom dan fertilisasi terjadi melalui reproduksi aseksual. Horn (1940), menyatakan bahwa apomiksis terjadi dengan cara embrio yang berkembang membentuk biji bukan berasal dari hasil penyerbukan, tetapi berasal dari sel epithellium dari ovari. Menurut Mansyah (2002), tidak terlihat adanya serbuk sari pada berbagai tingkat perkembangan bunga secara visual dengan menggunakan lup. Karakter agamospermy pada 7 Garcinia dicirikan oleh pembentukan biji tanpa pengaruh organ jantan, pembentukan embrio yang berjalan cepat sebelum terjadinya anthesis, terbentuknya proembrio adventitious dari nucellar atau integumen, terbentuknya beberapa kecambah dari satu biji atau jarang/tidak diperoleh tanaman jantan (den Nijs dan van Dijk 1993). Tanaman manggis termasuk apomiksis obligat, sehingga perbaikan genetik tidak dapat dilakukan dengan persilangan (Lim 1984, Richards 1990, Asker dan Jerling 1992). 2.3 Keragaman Manggis Selama ini diketahui bahwa tanaman manggis memiliki keragaman genetik sempit karena mempunyai mekanisme reproduksi secara apomiksis (Horn 1940, Cox 1976, Verheij 1991). Manggis menurut Richards (1990) dikategorikan sebagai agamospermy obligat dengan reproduksi melalui sel adventif proembrio jaringan ovular. Menurut Koltunow (1993), biji fertil yang dihasilkan dari reproduksi apomiktik mengandung embrio dengan konstitusi genetik yang sama dengan tetua betina, apabila tidak mengalami mutasi. Pada reproduksi apomiksis, biji terbentuk tanpa reduksi jumlah kromosom dan fertilisasi sehingga keturunannya akan identik dengan induknya (den Nijs dan van Dijk 1993). Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa manggis memiliki variasi baik secara morfologi maupun genetik. Berdasarkan pengamatan Mansyah et al. (2002) pada populasi manggis di Sumatera Barat menunjukkan adanya variasi morfologi seperti panjang daun, bobot buah, tebal kulit buah, total padatan terlarut (TPT). Penelitian Mansyah et al. (2002) tersebut diperkuat oleh penelitian menggunakan RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) menunjukkan bahwa adanya variasi genetik berdasarkan hasil analisis RAPD menurut Mansyah et al. (2008), 14 dari 18 progeni tidak menunjukkan kesamaan dengan induknya. Begitu juga dengan Ramage et al. (2004) melaporkan berdasarkan studi RAF (Randomly Amplified DNA Fingerprinting) terhadap 37 asesi tanaman manggis, 70% menunjukkan tidak adanya variasi. 8 2.4 Analisis Keragaman Keragaman tanaman secara umum dapat didekati dari morfologi dan molekuler. Penanda morfologi merupakan wujud nyata dari keragaman fenotipik. Namun penanda ini memiliki kelemahan karena dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Pedoman yang digunakan untuk analisis morfologi pada manggis yaitu berdasarkan deskriptor manggis yang dikeluarkan oleh IPGRI 2003. Keterbatasan penanda morfologi adalah hanya mampu membedakan keragaman secara fenotipik untuk itu diperlukan penanda lainnya yang diharapkan memberikan hasil yang lebih akurat. Penanda molekuler langsung berintegrasi dengan genetik dan menggambarkan keadaan genom yang sesungguhnya. Dasar dari penanda ini adalah polimorfisme protein atau DNA. Terdapat berbagai penanda DNA yang telah digunakan untuk analisis keragaman manggis seperti RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), SSR (Simple Sequence Repeats), ISSR (Inter Simple Sequence Repeats), RAF (Randomly Amplified DNA Fingerprinting), dan analisis isoenzim. Menurut Tanskley (1983) penanda molekuler dapat mendeteksi variasi genetik pada tingkat jaringan atau seluler dan polimorfismenya tidak dipengaruhi oleh lingkungan. 2.4.1 Penanda RAPD Penanda RAPD merupakan dominan marker yang dapat diaplikasikan pada sejumlah besar sampel dengan cara relatif sederhana, cepat, dan murah. Penanda ini memiliki panjang primer 10 bp, yang dapat menempel secara acak pada situs target homolognya dalam genom. Kelemahan teknik ini adalah reprodusibilitas yang rendah (Jones et al. 1997). Kelemahan ini dapat diatasi dengan membuat reaksi dan kondisinya sehomogen mungkin, skrining primer, memilah pita-pita fragmen DNA yang jelas, menggunakan suhu annealing yang optimal, dan penambahan 1-2 basa pada primer untuk mempertinggi spesifikasi penempelan DNA (Tanaka dan Taniguchi 2002). 9 2.4.2 Penanda SSR Teknik SSR digunakan sebagai penanda karena mudah dan relatif murah (pada tahapan setelah ditemukan primer spesifiknya), keberadaannya melimpah dan tersebar di seluruh genom tanaman, dan dengan sampel dalam jumlah sedikit, mencukupi untuk amplifikasi dengan PCR (Ribaut et al. 2002). Salah satu teknik yang memanfaatkan mikrosatelit adalah Sequence-tagged microsatellite sites (STMSs) atau sequence-tagged sites (STS) (Puspendra et al. 2002). Keuntungan STMSs adalah menggunakan sepasang primer yang sudah didisain khusus untuk masing-masing spesies dan penanda ini bersifat ko-dominan (Puspendra et al. 2002, Hiu liu 1998). Penanda STMS memungkinkan mendapat derajat polimorfisme dan variasi yang tinggi karena sekuen DNA mikrosatelit dapat mengandung urutan basa dengan panjang berbeda-beda pada genom populasi. Bentuk berulangnya yang umum adalah dinukleotida. Frekuensinya cukup tinggi dalam genom dan lebih mudah dideteksi dibandingkan mikrosatelit dengan tridan tetranukleotida (Hiu Liu 1998, Scotti et al. 2002). Variasi dapat terjadi dalam ukuran panjang mikrosatelit pada lokus-lokus individu yang spesifik, sehingga penanda ini berpeluang polialelik pada individu dengan tingkat mutasi tinggi atau menyerbuk bebas menjadikan penanda ini mempunyai manfaat banyak dalam pemuliaan (Puspendra et al. 2002). 2.4.3 Penanda ISSR Penanda ISSR merupakan marker yang berkembang lebih akhir dibanding RAPD, RFLP, dan SSR (Staub et al. 1996, Gupta dan Varshney 2000). Kelemahan dari teknik seperti RAPD mempunyai reprodusibilitas yang rendah, AFLP memerlukan biaya yang tinggi, SSR memerlukan desain primer yang khusus. Teknik ISSR mengatasi kelemahan diatas (Zietkiewiez et al. 1994, Gupta et al. 1994, Wu et al. 1994, Meyer et al. 1993). Teknik ini digunakan untuk studi filogenetik, mempelajari keragaman genetik, penanda DNA, pemetaan genom. Metode ini menggunakan SSR sebagai primer yang digunakan untuk mengamplifikasi terutama diantara daerah SSR. Mikrosatelit atau SSR merupakan short tandem repeatss (STRs) atau variable number of tandem repeats ( VNTRs) yang terdiri 1-4 basa yang tersebar diseluruh genom tanaman eukariot (Tautz dan 10 Renz 1984). Inter Simple Sequence Repeats (ISSR) merupakan bagian mikrosatelit yang tidak mengkode protein (non koding region) sedangkan SSR merupakan merupakan daerah yang mengkode protein (Sudarsono 2008, komunikasi pribadi). Teknik ISSR berdasarkan metode PCR (Gambar 3), mengamplifikasi DNA di antara daerah mikrosatelit dengan arah berlawanan. Penanda ini biasanya memiliki panjang primer 16-25 bp, biasanya menggunakan perulangan basa seperti di, tri, atau tetra nukleotida. Primer yang digunakan bisa Un-anchored (Gupta et al. 1994, Meyer et al. 1993, Wu et al. 1994) atau primer Anchored primer posisi 3’ atau 5’ (Zietkiewiez et al. 1994). Gambar 3 Skema ISSR dengan PCR. Skema primer tunggal (AG)8, unanchored (a), anchored pada 3’ (b), anchored pada 5’ (c) dengan DNA target (TC)n 11 Keunggulan dari penggunaan ISSR seperti mudah digunakan, cepat, murah, dan menurut Lenham dan Brennan (1999) lebih polimorfisme jika dibandingkan dengan RAPD. Rata-rata polimorfisme per primer untuk ISSR 6.5 lebih tinggi jika dibandingkan dengan RAPD hanya sebesar 2.0. Selain itu ISSR lebih reproducible jika dibandingkan penanda RAPD (Qian et al. 2001). Penanda ISSR telah banyak digunakan untuk mempelajari polimorfisme DNA tanaman jati di India (Narayanan et al. 2007). Penanda ISSR juga diketahui telah dapat memetakan peta keterpautan genetik pada tanaman Catharanthus roseus (Gupta et al. 2002). 2.4.4 Penanda AFLP Teknik AFLP merupakan penggabungan dari RFLP dan RAPD, berdasarkan pada amplifikasi PCR selektif fragmen restriksi dari pemotongan total DNA genomic. Teknik ini meliputi tiga tahapan, yaitu : (1) restriksi DNA dan ligasi adapter oligonukleotida, (2) amplifikasi selektif set fragmen restriksi, dan (3) analisis gel dari fragmen restriksi. AFLP marker merupakan marker dominan. Kemampuan teknik AFLP lebih tinggi dalam mendeteksi jumlah lokuslokus polimorfik jika dibandingkan dengan RFLP dan RAPD (Powell et al. 1996), efisiensi diskriminasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan RAPD dan ISSR (Archak et al. 2003), dan menghasilkan reprodusibilitas yang tinggi (Jones et al. 1997). Menurut Vos et al. (1995), teknik ini bisa memberikan informasi genetik yang lebih akurat. Kegunaan penanda ini antara lain: pemetaan genom tanaman, marker assisted selection (MAS), menguji kebenaran suatu tipe. Rata-rata jumlah pita yang diamplifikasi per sampel per pasangan primer adalah 10-50. 12 III. 3.1 METODOLOGI Bahan Tanaman Sampel tanaman manggis berasal dari Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta. Sampel terdiri dari tiga generasi masing-masing berjumlah satu pohon (Gambar 4). Daun dan buah diambil pada bagian ujung cabang pohon manggis yang berasal dari cabang yang berbeda dengan pengambilan sampel berdasarkan ketinggian tanaman setengah ke bawah (1) dan setengah ke atas (2) dan masing-masing ketinggian dibagi menjadi empat sektor (utara, timur, selatan, barat). Biji dari buah (Gambar 5) kemudian dikecambahkan (P2’, P3’, P4). Umur sampel pohon induk manggis P1 ± 180 tahun, P2 ( ± 150) tahun adalah anak pohon induk P1, dan P3 (± 120) tahun adalah anak pohon induk P2 (berdasarkan komunikasi dengan petani manggis Wanayasa dan perhitungan rata-rata pertumbuhan lingkar batang pohon pertahun). P2 P1 Gambar 4 P3 Lokasi pengambilan sampel pohon induk manggis di Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta (Sumber: http://maps.google.com). 13 B B U 2 S U 1 S T T Dikecambahkan pada tahun 1809 P1 U 2 S U B Dikecambahkan pada tahun 1959 B 1 T Dikecambahkan pada tahun 2009 T S P2' P2 B Dikecambahkan pada tahun 1979 B U 2 S U 1 T Dikecambahkan pada tahun 2009 T S P3 P3' Dikecambahkan pada tahun 2009 P4 Gambar 5 Metode pengambilan sampel daun dan buah manggis Wanayasa antar generasi berdasarkan ketinggian pohon (atas, bawah) dan pembagian sektor (utara, timur, selatan, barat). Keterangan : P1=Pohon induk tunggal yang dikecambahkan ± 180 tahun yang lalu, P2=Progeni dari P1 yang dikecambahkan ± 150 tahun yang lalu, P3= Progeni dari P2 yang dikecambahkan ± 120 tahun yang lalu 1=bawah, 2=atas U=Utara, T=Timur, S=Selatan, B=Barat, P1U1=Sampel diambil dari pohon induk P1 bagian utara bawah, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah P1U2= Sampel diambil dari pohon induk P1 bagian utara atas,T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas P2U1= Sampel diambil dari pohon induk P2 bagian utara bawah, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah P2U2= Sampel diambil dari pohon induk P2 bagian utara atas,T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas P3U1= Sampel diambil dari pohon induk P3 bagian utara bawah, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah P3U2= Sampel diambil dari pohon induk P3 bagian utara atas,T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas 14 P2’=Progeni dari P1 yang dikecambahkan saat ini, P3’=Progeni dari P2 yang dikecambahkan saat ini, P4=Progeni dari P3 yang dikecambahkan saat ini P2’U1=Progeni P1 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian bawah yang kemudian dikecambahkan saat ini, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah, P2’U2=Progeni P1 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian atas yang kemudian dikecambahkan saat ini, T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas, P3’U1=Progeni dari P2 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian bawah yang kemudian dikecambahkan saat ini, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah, P3’U2=Progeni dari P2 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian atas yang kemudian dikecambahkan saat ini, T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas, P4U1=Progeni dari P3 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian bawah yang kemudian dikecambahkan saat ini, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah P4U2=Progeni dari P3 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian atas yang kemudian dikecambahkan saat ini, T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas 3.2 Prosedur Penelitian 3.2.1 Analisis Morfologi Pengamatan karakter morfologi pohon induk manggis dilakukan pada bulan Pebruari – Mei 2009 di Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta dan di greenhouse PKBT IPB untuk pengamatan seedling. Hal-hal yang diamati meliputi 61 karakter morfologi seperti pohon, buah, biji, dan seedling (Tabel Lampiran 1) berdasarkan panduan diskriptor manggis (IPGRI 2003). Data morfologi hasil pengamatan kemudian diskoring. 3.2.2 Analisis Molekuler dengan Teknik ISSR Analisis molekuler dengan teknik ISSR 41 sampel daun manggis Wanayasa terdiri atas 24 sampel daun pohon induk tiga generasi dan 17 sampel seedling dari pohon induk dilakukan di Laboratorium Molekuler PKBT IPB pada bulan Maret – September 2009. Analisis ini terdiri dari tiga tahap yaitu: (1) isolasi DNA, (2) pemilihan primer, dan (3) amplifikasi dan elektroforesis. 3.2.2.1 Isolasi DNA Isolasi DNA dilakukan mengikuti prosedur CTAB oleh Doyle dan Doyle (1987) dengan beberapa modifikasi. Percobaan menggunakan sampel daun sekitar 0.15 mg. Daun digerus pada mortar yang diberi pasir kuarsa dan 0.6-0.8 ml buffer ekstraksi (10% CTAB; 0.5 M EDTA (pH 8.0); 1 M Tris-HCl (pH 8.0), 5 M NaCl; 1% β-mercaptoethanol) dan kemudian divorteks agar homogen. Campuran selanjutnya diinkubasi di dalam waterbath pada suhu 65oC selama 1 jam, lalu dikocok. 15 Pemurnian DNA dilakukan dengan penambahan 0.6-0.7 ml buffer purifikasi/buffer CIA (Chloform : Isoamil Alcohol = 24:1 v/v), dan pemisahan fraksi di dalam campuran dilakukan dengan sentrifuse 11000 rpm selama 10 menit. Fase cair (supernatan) yang diperoleh dipindahkan ke microtube streril yang baru lalu ditambahkan 500-600 µl 2-propanol dingin, diinkubasi 4 0C selama 30 menit. Fase cair dibuang dan fase padat/pelet dikeringkan selama ± 1 jam. Selanjutnya pelet dilarutkan dalam 100 µl TE (1 M tris-HCl (pH 8.0); 0.5 M EDTA (pH 8.0); Aquades). 3.2.2.2 Pemilihan Primer. Seleksi primer bertujuan untuk menyeleksi primer yang dapat menghasilkan pola pita yang polimorfik. Sebanyak 10 primer digunakan dalam mengamplifikasi DNA (Tabel 1). Primer-primer tersebut berasal dari hasil optimasi 14 primer. Tabel 1 Daftar 10 primer yang digunakan dalam analisis ISSR TM (oC) No. Primer Sekuen 5’-3’ TM(oC) (AC)8-TT 52 6. PKBT 7 (GA)9-A 52 PKBT 3 (AG)8-T 46 7. PKBT 9 (GA)9-T 52 3. PKBT 4 (AG)8-AA 52 8. PKBT 11 (GT)9-C 54 4. PKBT 5 (AG)8TA 48 9. ISSRED 14 (GACA)4 54 5. PKBT 6 (AG)8TT 48 10. ISSRED 18 (GGAT)4 48 No. Primer Sekuen 5’-3’ 1. PKBT 2 2. 3.2.2.3 Amplifikasi dan Elektroforesis Komposisi reaksi PCR terdiri dari DNA sampel 1 l, PCR mix 6 l, air bebas ion 5 l, primer 0.5 l. Total 12.5 l. Amplifikasi DNA menggunakan mesin PCR. Denaturasi awal (pra PCR) pada suhu 94ºC selama 4 menit sebanyak satu siklus, dilanjutkan dengan 35 siklus yang terdiri dari denaturasi pada 94ºC selama 30 detik, anneling (penempelan primer) pada suhu 46-58ºC (tergantung jenis primer) selama 30 detik, dan extension pada 72ºC selama 1 menit. Setelah selesai 35 siklus selanjutnya diakhiri dengan final extension pada 72ºC selama 5 menit sebanyak satu siklus. Pendinginan 4ºC. Hasil dari reaksi kemudian dielektroforesis pada agarose gel pada konsentrasi 1.4%. Gel kemudian diwarnai 16 dengan 1% Ethidium bromide selama ± 3 menit. Hasil elektroforesis diamati dibawah UV transiluminator untuk melihat pola pita yang dihasilkan. 3.2.3 Analisis Data Data kuantitatif dan kualitatif karakter morfologi diskoring. Data scoring tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam data biner. Begitu juga dengan data yang diperoleh dari teknik ISSR. Kemunculan pita diterjemahkan menjadi data biner. Setiap pita mewakili satu karakter dan diberi nilai berdasarkan ada tidaknya pita. Nilai 1 bila ada pita dan nilai 0 bila tidak ada pita. Pita polimorfik merupakan pita yang tidak dimiliki oleh individu manggis yang lain pada ukuran yang sama. Data biner yang diperoleh digunakan untuk menyusun matriks kesamaan genetik berdasarkan rumus Nei dan Li (1979). Berdasarkan nilai kesamaan genetik tersebut, dilakukan analisis pengelompokan data matrik (cluster analysis) dan pembuatan dendrogram pohon kekerabatan menggunakan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method Arithmetic) melalui program NTSYS (Numerical Taxonomy and Multivariate System) versi 2.01 (Rolf 1998). Kemudian dilakukan analisis kofenetik MxComp. Analisis ini digunakan untuk membandingkan matriks kemiripan atau ketidakmiripan dengan matrik nilai kofenetik yang bertujuan mengukur tingkat hubungan antara dua matrik melalui program NTSYS. Keselarasan pengelompokan ditentukan dari kriteria goodness of fit berdasarkan nilai korelasi menurut Rohlf (1998) yaitu sangat baik (r ≥ 0.9), baik (0.8 ≤ r ≤ 0.9), lemah (0.7 ≤ r ≤ 0.8), dan sangat lemah (r < 0.7).