1. PENDAHULUAN Latar Belakang Laut Cina Selatan merupakan salah satu laut terbesar di dunia. Terbentang dari garis ekuator ke utara hingga garis balik Cancer sepanjang 2 800 km dan sekitar 1 000 km membentang secara horizontal dengan luas melebihi 2,8 juta km². Dua kontur kedalaman yang terdapat: Paparan Sunda (100-200 m) sepanjang tepi selatan dan bagian timur laut, terpisah oleh palung di tengah yang terdalam (>5000 m). Ada sekitar 200 pulau dan terumbu karang yang dibatasi oleh laut dalam diantaranya, dan menjadi pusat biodiversitas terumbu karang daerah tropis (http://www.tracc.org.my/Borneocoast). Perairan Laut Cina Selatan yang terletak di bagian barat Indo Pasifik, telah lama dikenal sebagai pusat perairan laut dangkal di dunia. Keragaman biologi daerah tropis, dengan 40 spesies mangrove dari total 57 jumlah spesies yang ada di dunia, 50 dari 70 genera koral, 20 dari 50 spesies seagrass, dan 7 dari 9 spesies kima raksasa (giant clam) ditemukan di daerah pantai dari Laut Cina Selatan (UNEP 2001). Wilayah Laut Cina Selatan terdiri dari lautan, pantai dan daerah pedalaman tangkapan sungai dari 9 negara: Brunei, Kamboja, Cina, Indonesia, Malaysia, Philippina, Singapura, Thailand dan Vietnam, yang memiliki zona pantai dengan pertumbuhan populasi yang tinggi di dunia. Wilayah perairan Laut Cina Selatan yang termasuk dalam wilayah perairan Indonesia adalah wilayah laut di bagian selatan dari Laut Cina Selatan (Gambar 1). Jika dilihat dari kedalaman perairannya, LCSI digolongkan sebagai laut dangkal dan merupakan bagian dari Paparan Sunda. Luas wilayah LCSI menurut Nurhakim et al (2007) yang dimasukkan dalam satu wilayah pengelolaan perikanan (WPP 711) dengan Selat Karimata dan Laut Natuna diperkirakan sekitar 590 000 km². Perairan Indonesia sendiri jika dilihat dari kedalaman lautnya, maka dapat dibagi atas dua perairan yakni perairan dangkal berupa paparan, dan perairan laut dalam. Paparan (shelf) adalah zone di laut terhitung mulai dari garis surut terendah hingga pada kedalaman sekitar 120-200 m, yang kemudian biasanya disusul dengan lereng yang lebih curam ke arah laut dalam. 2 Gambar 1. Wilayah Laut Cina Selatan dan Laut Cina Selatan Perairan Indonesia - Oseanografi Laut Cina Selatan LCS merupakan laut semi tertutup, seluruh selat dan terusan yang berhubungan dengannya sempit dan dangkal, kecuali Terusan Baschi dengan kedalamannya >200 m yang menghubungkan LCS dengan Samudera Pasifik (Huang et al. 1994). LCS meliputi area sekitar 3 500 000 km² Samudera Pasifik (http://www.tracc.org.my/Borneocoast). LCS merupakan ekosistem laut besar dengan karakteristik oseanografi, biografi dan ekologi yang spesifik. Sebagian besar LCS bagian selatan berada pada Paparan Sunda dan perairan pantainya dangkal dengan kedalaman <200 m (Gambar 1), serta dipengaruhi oleh lautan dan masukan dari daratan melalui sungai. Di bagian utara terdapat basin LCS dan Terusan Palawan yang lebih dalam (kedalamannya >1 000 m), dikelilingi oleh tepi kontinental yang sangat dangkal dan paparan Cina, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Indonesia dan Philippina (Huang et al. 1994). 3 Perubahan sirkulasi samudera menyebabkan perubahan sirkulasi atmosfir. Di LCS, arus samudera berubah arah dua kali dalam setahun yaitu pada musim timur (November-Maret) dan musim barat (Mei-September). Arus samudera ini sangat penting dalam distribusi larva dan menjaga biodiversitas atau keragaman kehidupan laut di LCS. Arus divergensi dan konvergensi terjadi di bagian ujung paparan kontinental dan di utara Labuan pada ujung Terusan Sunda dengan kedalaman 2 500 m. Zona ini dipercaya merupakan fishing ground tuna yang baik oleh armada nelayan lokal (http://www.tracc.org.my/Borneocoast). Angin musim (monson) dingin berlangsung dari bulan Oktober-Maret dimana arus terutama bergerak ke tenggara, sedangkan pada bulan Mei-Agustus bertiup angin musim panas. Saat berlangsungnya Monson panas ini, massa air mengalir masuk ke LCS dari Laut Jawa melalui Selat Karimata dan membentuk arus yang cenderung ke arah timur laut sepanjang pantai Vietnam. Terjadi arus Eddy’s di bagian tengah LCS di bulan April (Wyrtki 1961). Pada musim panas, suhu permukaan (SST) 27-29° C, sedangkan pada musim dingin SST 20-29° C. Salinitas permukaan (SSS) sepanjang tahun berkisar 31,6-34,6 psu (Levitus and Boyer 1994 diacu dalam Kurusawa 2002). Pada musim panas, upwelling sering terjadi di LCS yaitu pada daerah pantai di bagian tenggara paparan Vietnam, di sekitar daerah pantai Pulau Hainan, pantai Guangdong dan Fujian, sedangkan di musim dingin, upwelling terjadi di bagian barat laut pantai Luzon (Qiao and Lü 2008). Upwelling ini ditandai dengan menurunnya suhu perairan dan oksigen terlarut, serta meningkatnya nutrien dan konsentrasi fitoplankton. Kondisi ini menyebabkan perairan di sekitar daerah upwelling akan subur dan produktivitasnya tinggi. Liu et al. (2002) diacu dalam Kurusawa (2002) mengatakan bahwa produktivitas primer tahunan di LCS berubah dari 100 g C m-² thn-1 di dalam basin hingga 166 g C m-² thn-1 pada daerah paparan (shelf). Hal serupa dikatakan oleh Platt et al. (1995) diacu dalam Kurusawa (2002) bahwa produktivitas primer tahunan di LCS rendah yaitu <100 g C m-² thn-1 dan ditemukan di bagian tengah LCS. Produktivitas primer tahunan tinggi di LCS > 400 g C m-² thn-1 yang hanya terpantau sepanjang daerah pantai. 4 - Sumberdaya ikan Berdasarkan UNCLOS 1982, Indonesia diberikan hak berdaulat memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 km² yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati, penelitian dan juridiksi mendirikan instalasi atau pulau buatan. Kondisi ini merupakan suatu tantangan dan sekaligus kesempatan yang seluas-luasnya untuk menggali sumberdaya alam lautan tersebut bagi kemakmuran rakyat Indonesia. LCS merupakan suatu area yang memiliki keanekaragaman biologi yang penting. Perairan ini merupakan daerah di bagian barat Indo Pasifik yang daerah lautnya telah lama dikenal sebagai pusat perairan laut dangkal di dunia, dan merupakan daerah dengan keragaman biologi di wilayah tropis (http://www.unepscs.org). Perairan bagian selatan LCS dikategorikan sebagai perairan neritik yang tergolong dangkalan benua dengan kedalaman rata-rata 70 m dan merupakan salah satu daerah potensi perikanan laut. (Atmaja et al. 2001). LCS menempati tempat penting dalam produksi perikanan dunia yaitu sebesar lebih dari 12%, dan merupakan daerah yang tinggi keragamannya (McManus 2000). LCS juga merupakan perairan dengan tingkat biodiversity yang tertinggi di dunia. Menurut hasil studi Cina, kelimpahan spesies di wilayah LCS termasuk didalamnya: ikan 1 027 spesies, udang 91 spesies, dan cephalopoda 73 spesies di bagian utara paparan kontinen, dan diperkirakan 205 spesies ikan dan 96 jenis udang di daerah kontinental slope, serta lebih dari 520 jenis ikan di sekitar pulau-pulau dan terumbu karang di perairan bagian selatan. Sumberdaya perikanan LCS merupakan kontribusi utama yang sangat penting di tingkat lokal, regional dan internasional untuk makanan dan sumber pendapatan. Total produksi di LCS sekitar 5 juta ton dari hasil tangkapan setiap tahun, dan sekitar 10% dari total hasil tangkapan dunia (Khemakorn 2006). Sebagai pusat keanekaragaman biologi perairan laut dangkal dunia, LCS merupakan penyokong perikanan dunia yang sangat signifikan terhadap pentingnya jaminan makanan, dan sebagai sumber pendapatan ekspor untuk negara-negara di sekitar perairan ini. Kontribusi Perikanan tangkap dari Laut Cina Selatan sebesar 10 % dari hasil tangkapan dunia yang didaratkan dari sekitar 5 juta ton/thn. Lima dari delapan produsen udang terkenal di dunia adalah dari 5 negara-negara yang berada di sekitar Laut Cina Selatan (pertama, Indonesia; kedua, Viet Nam; ketiga, Cina; keenam, Thailand dan kedelapan, Philippina). Disamping itu juga, negara-negara ini merupakan penghasil 23% hasil tangkapan ikan tuna dunia, dan hampir tigaperempat ikan tuna kalengan dunia (Aliňo 2001). Menurut Boer et al. (2001), potensi perikanan LCSI per tahunnya sekitar 1,25 juta ton, dengan tingkat pemanfaatan sebesar 20 %. Dengan kata lain, wilayah ini masih memiliki peluang dalam pengembangan kelautan, khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut. Kajian tentang ikan demersal, terutama di daerah tropis seperti LCSI sangat kompleks karena sifatnya yang multi spesies, ukuran yang beragam dan mendiami habitat dasar yang berbeda-beda. Dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan ikan demersal di LCS secara berkelanjutan, maka diperlukan informasi ilmiah tentang penyebaran, kepadatan, kelimpahan dan potensi sumberdaya ikan demersal, sehingga dapat dijadikan dasar bagi penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan demersal di perairan ini. Potensi ikan demersal di perairan LCS (tidak temasuk ZEEI) sebesar 655 650 ton/tahun (Boer et al. 2001). Produksinya sebesar 82 460 ton/tahun atau dengan kata lain tingkat pemanfaatannya masih sekitar 12.58%. Sementara dari hasil penelitian yang dilakukan di perairan ini sebelumnya, terlihat bahwa kondisi stok ikan demersal mengalami penurunan yaitu dari 677 320 ton (Martosubroto dan Pauly 1976), 516 600 ton (Sudradjat dan Beck 1978) dan 166 460 ton (PRPT dan P2O 2001). Widodo (2003) mengatakan bahwa secara umum kondisi sumberdaya ikan demersal di perairan LCS wilayah lndonesia sudah berada pada tingkat ”fully exploited”. Jika usaha penangkapan terus berlangsung pada tingkat fishing effort baik oleh kapal nelayan Indonesia maupun illegal fishing oleh kapalkapal asing pada saat ini, maka dapat diduga bahwa keberadaan stok sumber daya ikan demersal di LCS tidak akan ’sustainable’. Menurut statistik perikanan FAO (2003), LCS digolongkan dalam Area 71 yang merupakan daerah yang didominasi oleh wilayah paparan kontinental (continental shelf). Di bagian utara Area 71, dibatasi oleh Negara-negara Asia Tenggara dan di bagian selatan oleh Indonesia dan Australia (Gambar 2). 6 Gambar 2. Area 71 Wilayah bagian tengah Pasifik Barat (FAO 2003). Secara keseluruhan dari rata-rata produksi perikanan tahun 1994-2003 menunjukkan bahwa produksi perikanan dari wilayah LCS Indonesia dibandingkan dengan delapan negara lainnya di wilayah LCS menempati urutan teratas, dengan kecenderungan peningkatan produksi dari 2,2 juta ton di tahun 1994 hingga 3,3 juta ton di tahun 2003 (Gambar 3). Rata-rata produksi setiap tahunnya sekitar 26.93% - 30.86% dari total produksi sembilan negara di sekitar wilayah LCS (http://na.nefsc.noaa.gov/lme/text/lme36.htm.). Produksi berbagai jenis ikan pelagis di wilayah LCS yang dihasilkan oleh Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di wilayah laut ini, menempati urutan teratas dalam 10 tahun (1994-2003), dengan rata-rata produksi sebesar 0,6 juta ton (Khemakorn 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa ikan pelagis yang merupakan stok bersama seperti ’scad dan mackerel’ dan spesies yang bersifat migrasi tinggi seperti tuna dan stok semacam tuna, merupakan stok komersil yang umum di wilayah ini. 7 12 Produksi (Juta Ton) 10 8 6 4 2 0 1994 1995 1996 1997 Brunei Darussalam Indonesia Singapura T otal 1998 1999 2000 Kambodia Malaysia T hailand 2001 2002 2003 China Philippina Vietnam Gambar 3. Total produksi perikanan oleh negara-negara di sekitar LCS (Khemakorn 2006). Bagaimanapun, pada studi perikanan pelagis kecil, dalam penangkapannya kebanyakan ditemukan stok yang pemanfaatannya bersama (share stock) dan stok yang berada di antara negara-negara di LCS merupakan stok yang sifatnya mengangkang (stranddling stock) dan penangkapannya secara bersama antara negara-negara di LCS (Widodo 2003). Menurut Pusat Perikanan Universitas British Colombia (2005), statistik total hasil tangkapan ikan yang didaratkan di wilayah LCS untuk Indonesia terlihat adanya kecederungan peningkatan yaitu dari 486 299 ton di tahun 1994 menjadi 724 373 ton di tahun 2003, dengan rata-rata sekitar 0,6 juta ton thn-1. - Hidroakustik Hidroakustik merupakan suatu teknologi pendeteksian bawah air dengan menggunakan suara atau bunyi. Secara umum peralatan hidroakustik (Echosounder) yang digunakan untuk mendapatkan informasi objek bawah air, dilakukan melalui pemancaran gelombang suara dan pengamatan dari echo yang dipantulkan. Mekanisme kerja echosounder yaitu untuk memancarkan, menerima dan merubah gelombang suara sehingga dapat dianalisis. Proses ini sangat tergantung pada komponen utama dalam sistem ini yaitu time base, transmitter, receiver dan display. Sistem ini biasa disebut sistem sonar aktif. Echosounder adalah sistem pemancaran gelombang suara secara vertikal, sedangkan secara horisontal dikenal dengan sonar (Maclennan dan Simmonds 1992). Sistem sonar 8 dibuat untuk tujuan praktis seperti deteksi, klasifikasi (menentukan target), atau menemukan ikan. Target berupa ikan dengan target strength-nya digunakan untuk mengklasifikasinya dalam menduga jumlah, bentuk dan ukuran ikan di dalam laut (Urick 1983), disamping itu pula informasi detail ikan mengenai kepadatan (density), kelimpahan (abundance), sebaran (distribution), kedalaman renang (swimming layer), ukuran (size and length) orientasi (orientation) dan kecepatan renangnya (swimming speed) dapat diperoleh melalui metode hidroakustik. Ukuran panjang ikan dan kelimpahannya dapat ditentukan dengan mengetahui nilai target strength ikan tersebut. Nilai target strength ini sangat ditentukan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah gelembung renang (swim bladder). Urick (1983) menyatakan bahwa gelembung renang merupakan penyebab utama pantulan echo dari ikan. Ikan tanpa gelembung renang (misalnya mackerel) memiliki TS 10 dB lebih kecil dibandingkan dengan ikan yang memiliki gelembung renang seperti cod. Foote (1987) membuat formula perhitungan target strength berdasarkan keberadaan gelembung renang (swim bladder) ikan. Menurutnya ada tiga kelompok ikan yaitu ikan dengan gelembung renang tertutup (physoclist), ikan dengan gelembung renang terbuka (physostome) dan ikan tanpa gelembung renang (bladderless fish). Dengan mengetahui distribusi, kepadatan dan kelimpahan ikan maka eksploitasi dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Dewasa ini penggunaan metode akustik dengan echosounder untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya perikanan telah berkembang dengan pesat terutama di negara-negara maju. Berbagai bentuk echosounder digunakan, mulai dari single beam, dual beam atau split beam untuk menduga kelimpahan ikan di suatu perairan. Di Indonesia pemanfaatan metode akustik ini masih terbatas pada tingkat eksploirasi sumberdaya laut yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Pada tingkat pemanfaatan atau eksploitasi oleh nelayan dan perusahan perikanan masih bersifat ’tradisional’ yaitu perburuan dan pencarian daerah potensi ikan sebelum melakukan kegiatan tangkap atau eksploitasi dengan memanfaatkan pengalaman ’fishing master’ dengan melihat fenomena alam, disamping pemanfaatan data dan informasi dari hail-hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian maupun perguruan tinggi di atas. 9 - Penginderaan Jauh Kelautan Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan hal yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1993). Teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi yang memiliki kemampuan untuk meliput permukaan bumi, khususnya pesisir dan lautan secara menyeluruh dan berulang-ulang, objektif, cepat, dan dengan biaya yang relatif lebih murah per satuan luas, memberikan kemungkinan untuk mempertinggi ketepatan, keobjektifan, kecepatan dan efisiensi biaya didalam penyediaan data dan informasi sumberdaya laut. Perkembangan dan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh telah berkembang luas, bukan hanya di sektor pertahanan keamanan namun juga dalam sektor pemanfaatan sumberdaya laut. Khusus untuk penelitian meteorologi dan kelautan diawali dengan peluncuran satelit TIROS-1 (Television and Infrared Observation Satelitte) oleh Amerika Serikat pada bulan April 1960. Kemudian satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) pada akhir tahun 1970 dan 1972 dimana satelit NOAA ini dilengkapi dengan instrumen VHRR. Pada tahun 1978 diluncurkan satelit TIROS-N (Nainbus) dan satelit NOAA-6 tahun 1979 yang dilengkapi dengan intrumen AVHRR sampai sekarang (Cracknell 1982). Informasi tentang laut yang direkam oleh berbagai sensor yang dibawa oleh berbagai satelit ini ditujukan untuk mempelajari warna laut, suhu permukaan laut (SPL), ketinggian permukaan dan kekerasan permukaan laut (Cracknell 1982 dan Robinson 1991). Sistem penginderaan jauh warna laut (remote sensing ocean color) menghasilkan informasi tentang unsur air laut, seperti konsentrasi pigmen fitoplankton, sedimen tersuspensi dan “yellow substance”. Konsentrasi klorofil-a secara luas menggunakan hasil yang diperoleh dari data warna laut. Penerapan secara kuantitatif dari penginderaan jauh warna laut difokuskan pada penentuan kelimpahan dan distribusi konsentrasi fitoplankton di laut. Seperti penentuan mendasar untuk perubahan warna laut dari biru ke hijau bagi peningkatan konsentrasi klorofil (Bisht 2005). 10 CZCS adalah sensor pertama untuk memonitor warna laut dari ruang angkasa yang diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration) pada tahun 1978 dan berfungsi hingga tahun 1986 (Morel dan Gordon 1983). Selanjutnya untuk menggantikan CZCS maka diluncurkannya satelit yang membawa sensor Modular Optoelectronic Scanner (MOS), yang disponsori oleh Jerman dan India, pada bulan Maret 1996; Japanese Ocean Colour and Temperature Scanner (OCTS) dan Sensor Perancis yang dikenal sebagai Polarization and Directionality of the Earth’s Reflectance (POLDER), kedua-duanya diluncurkan pada bulan Agustus 1996 dan beroperasi hingga Juni 1997; dan Sea Viewing Wide Field-of-View Sensor (SeaWiFS) yang diluncurkan pada bulan Agustus 1997 dan merupakan misi dari NASA (Habbane et al. 1998). Setelah CZCS dengan sensor yang telah dapat menyatukan beberapa spektral dan meningkatkan resolusi radiometrinya. Kini, sensor lain yang sedang dibawa oleh satelit IRS-P4 (Oceansat-I) yang diluncurkan pada tanggal 26 Mei 1999 yaitu Ocean Colour Monitor (OCM) dan Multi-frequency Scanning Microwave Radiometer (MSMR) yang diperuntukan bagi penelitian oseanografi (Bisht 2005). Saat ini, penginderaan jauh warna laut menitikberatkan pada penggunaan sensor satelit seperti SeaWiFS dan MODIS untuk mengukur sifat-sifat optik harian air laut. (Barnes dan Zalewski 2003; Barbini et al. 2004). MODIS dibawa pada dua pesawat ruang angkasa: Terra dan Aqua. Terra diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999, sedangkan Aqua diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2002. Pesawat ruang angkasa Terra mengorbit katulistiwa secara tetap pada siang hari jam 10:30 (descending node), dan Aqua pada siang hari jam 1:30 PM (ascending node). Ketiga tipe dasar data MODIS yang dihasilkan adalah warna laut, suhu permukaan laut, dan produktivitas primer laut. Suhu permukaan laut dan warna laut tersedia pada pengolahan tingkat 2 dan 3, sedangkan produktivitas primer laut pada pengolahan tingkat 4. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sinyal yang berasal dari air. Sinar matahari langsung dan hamburan cahaya oleh langit yang menembus permukaan laut, mungkin diserap atau dihamburkan oleh molekul-molekul air atau oleh material terlarut yang melayang di dalam air. Pada perairan dangkal dan jernih, cahaya dengan panjang gelombang tertentu yang berasal dari matahari 11 menembus hingga dasar perairan, dan dipantulkan kembali. Sebagian energi cahaya dipantulkan dan dihamburkan dengan cepat ke sensor (IOCCG 2000). Analisis kualitas spektral dan variasi dari radiasi kandungan air, diperlukan sebagai informasi kuantitatif keberadaan tipe substansi perairan dan konsentrasinya. Oleh karena itu, suatu pemahaman yang jelas tentang sifat optik suatu media dan proses optiknya sangat penting dalam analisis data (Bisht 2005). Gambaran warna laut adalah indikator yang baik dari variasi musiman front laut dimana tuna albakor menggunakan front sebagai rute migrasi dan habitat mencari makanannya (Polovina et al. 2001). Dalam 20 tahun terakhir, sejak satelit SeaStar milik Amerika Serikat dengan sensor SeaWiFS diluncurkan pada Agustus 1997, maka perkembangan teknologi satelit penginderaan jauh warna laut sangatlah pesat. Teknologi satelit ini unggul dalam memetakan kondisi bio-fisik perairan secara berkala . Perumusan Masalah Suatu kebijakan dalam pengelolaan perikanan sangat berhubungan dengan seberapa banyak dan akuratnya data serta informasi tentang sumberdaya itu sendiri. Hal ini dapat diperoleh melalui penelitian yang kontinu dan didukung oleh teknologi yang memadai, sehingga data dan informasi yang diperoleh diharapkan dapat menjawab: apa, berapa, kapan, dimana dan bagaimana sumberdaya dan ekosistemnya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Menyangkut sumberdaya ikan, maka data dan informasi ini dapat diperoleh melalui penelitian secara langsung (in situ) dengan melakukan penangkapan; dengan metoda hidroakustik; melalui pengamatan terhadap perubahan kondisi fisik oseanografi perairan, dalam hal ini hubungannya dengan perubahan suhu permukaan, arus, pola arus; dan melalui analisis konsentrasi klorofil dari citra satelit yang telah dikembangkan. Khusus untuk wilayah LCSI, maka salah satu langkah awal dalam pengelolaan sumberdaya ikan dan untuk menjamin keberlanjutannya, maka dilakukan pengkajian potensi sumberdaya tersebut dan memetakannya, serta menganalisis hubungannya dengan parameter oseanografi setempat, sehingga data dan informasi yang akurat dan yang diperlukan akan tersedia bagi pengambilan kebijakan dalam pengelolaan. 12 WPP 711 yang termasuk didalamnya perairan LCSI, berbatasan dengan wilayah perairan LCS di bagian utara yang merupakan wilayah pengelolaan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Cina dan negara lainnya. Di sisi lain karena merupakan daerah potensial ikan, maka sering terjadi penangkapan illegal oleh armada penangkapan berbendera asing. Selain itu pula, berlangsung penangkapan yang tidak mematuhi aturan (unregulated) dan tidak dilaporkan/ tercatat (unreported), baik menyangkut alat tangkap maupun sumberdaya ikan itu sendiri. Hal ini menyebabkan sumberdaya ikan di daerah ini tidak hanya menderita akibat tekanan penangkapan melainkan juga akibat dari berlangsungnya degradasi lingkungan baik karena sebab alamiah maupun karena kegiatan yang bersifat antropogenik (Widodo 2003). Di daerah laut manapun juga, pertimbangan kekayaan, keragaman dan ketergantungan pada sumberdaya ikan, menyebabkan sumberdaya tersebut tetap mengalami kelebihan eksploitasi. Laut Cina Selatan dan Laut Sulawesi merupakan wilayah yang menjadi perhatian utama karena mempunyai angka kerusakan dan kelebihan tangkap yang tinggi. Pertimbangan laju pertumbuhan penduduk dan laju eksploitasi perikanan di dua ekosistem laut yang besar ini diprediksi bahwa kondisinya tidak mendukung dalam 20 tahun ke depan dan kemungkinan akan tetap merosot (GIWA 2001). Salah satu ciri khas ekosistem (perikanan) laut adalah fluktuasinya yang tidak pernah berhenti atau dinamis. Permasalahan inilah yang selalu dihadapi dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya ikan di suatu perairan yaitu keberadaan daerah penangkapan yang bersifat dinamis dan selalu berpindah atau berubah mengikuti pergerakan ruaya ikan. Secara alami ikan akan memilih habitat yang lebih sesuai baginya, sementara habitat tersebut dipengaruhi oleh kondisi oseanografi perairan. Dengan demikian daerah potensi penangkapan ikan haruslah dapat diduga dan ditentukan terlebih dahulu, sebelum armada penangkapanan ikan dioperasikan menuju lokasi tangkap. Pengetahuan tentang kelimpahan dan pola distribusi kelompok ikan di suatu perairan terutama kaitannya dengan perubahan musim dan kondisi oseanografi sangatlah penting untuk diketahui, sebab pendugaan dan pengkajian stok merupakan komponen dasar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Masrikat 2002). 13 Beberapa sumberdaya ikan di WPP memiliki sifat high migratory, transboundary, straddling stocks di antara perbatasan dua negara atau lebih dan atau di antara yuridiksi perairan nasional dan perairan lepas pantai. Ikan pelagis di wilayah LCSI memiliki sifat-sifat di atas dan tentunya harus mendapat perhatian, sehingga pemanfaatnya secara maksimal dapat dilakukan (Widodo 2003). Sumiono et al. (2003) mengemukakan hasil riset pengkajian sumberdaya ikan demersal di LCS mengalami penurunan dilihat dari tiga indikator yaitu: 1) Biologi, terjadi kecenderungan penurunan ukuran dari tiga spesies ikan demersal yakni peperek (Leiognathus splenden), bawal putih (Pampus argenteus) dan mayung (Arius thalasinus) masing-masing 15 cm, 31 cm, dan 31 cm pada tahun 1975, menjadi 10 cm, 20 cm dan 20 cm di tahun 2002. 2) Ekologi, terjadi kecederungan penurunan setiap tahun atas kepadatan stok, yakni dari 2.36 ton/thn tahun 1975 menjadi 0.58 ton/thn tahun 2002. 3) Penangkapan, terjadi kecenderungan penurunan yang sama atas laju tangkap yakni dari 7.312 ton/unit alat tangkap baku/tahun (1991) menjadi 4.495 ton/tahun alat tangkap baku/tahun (2000). Selama ini pendugaan stok ikan dilakukan berdasarkan pendekatan yang berbeda dan secara terpisah. Pendekatan tersebut diantaranya: perhitungan CPUE (catch per unit effort) dengan menggunakan data hasil tangkapan komersil, analisis hasil tangkapan trawl (swept area), survei akustik dan analisis klorofil citra satelit. Berdasarkan hal ini maka dilakukan penelitian dengan judul ”Kajian standing stock ikan pelagis kecil dan demersal serta hubungannya dengan kondisi oseanografi di LCS, perairan Indonesia”, dengan menggunakan beberapa metode pendekatan diantaranya berdasarkan data statistik perikanan, hasil tangkapan trawl, akustik perikanan dan penginderaan jauh. Berdasarkan uraian mengenai kondisi perairan LCSI di atas, maka permasalahan yang dijumpai diantaranya: 1) Berapa besar standing stock sumberdaya ikan di Laut Cina Selatan perairan Indonesia dan bagaimana fluktuasinya? 2) Bagaimana distribusi kepadatan sumberdaya ikan dan hubungannya dengan kondisi oseanografi perairan? 3) Berapa tingkat eksploitasi yang optimum dari sumberdaya ikan yang ada, sehingga sumberdaya tersebut tetap dapat berkelanjutan? 14 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk: 1) Mengkaji berapa besar standing stock sumberdaya ikan di perairan Laut Cina Selatan berdasarkan pendekatan statistik perikanan, hasil tangkapan trawl, akustik perikanan dan penginderaan jauh. 2) Mengkaji hubungan kondisi perairan dengan distribusi dan kelimpahan sumberdaya ikan. Manfaat Penelitian Perolehan data secara berkesinambungan dan menyeluruh di perairan LCS sangat dibutuhkan oleh berbagai pihak. Data dan informasi yang dihasilkan dari penelitian ini kiranya dapat bermanfaat bagi pemerintah sebagai landasan dalam menentukan kebijaksanaan pengelolaan perikanan. Bagi berbagai pihak yang ingin berusaha di bidang perikanan, data dan informasi ini sangat bermanfaat dalam pengambilan keputusan untuk melakukan investasi di bidang perikanan, sedangkan untuk ilmuan, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai referensi dalam melakukan penelitian pengkajian potensi sumberdaya ikan dengan menggunakan teknologi hidroakustik dan penginderaan jauh. Hipotesis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat eksploratif. Standing stock ikan pelagis kecil dan demersal dapat diestimasi dengan metoda akustik dan penginderaan jauh. Khususnya untuk estimasi sumberdaya ikan dari kandungan klorofil-a atau NPP, maka diduga standing stock sumberdaya ikan di lokasi penelitian berbeda, baik secara spatial maupun temporal. Ruang Lingkup Penelitian Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di suatu wilayah sangat ditentukan oleh seberapa besar potensi stok sumberdaya ikan yang ada di wilayah tersebut. Hal ini dapat diketahui melalui pendugaan dan perhitungan dari data survei yang intensif, data hasil tangkapan perikanan komersil, maupun dengan pendugaan biomasa melalui metoda hidroakustik dan metoda penginderaan jauh. 15 Lokasi penelitian adalah perairan bagian selatan Laut Cina Selatan yang merupakan wilayah perairan Indonesia yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut LCS perairan Indonesia atau disingkat LCSI. Penelitian di lokasi ini ditujukan untuk menduga standing stock ikan melalui pendekatan hidroakustik, penginderaan jauh dan survei operasi penangkapan trawl. Disamping itu dilihat pula distribusi dan kepadatan ikan dalam hubungannya dengan kondisi hidrooseanografinya. Pendugaan standing stock dengan metoda akustik dilakukan dengan menganalisis echo hasil perekaman echosounder. Sedangkan analisis citra dilakukan untuk melihat kandungan klorofil-a perairan dan dikompilasi dengan hasil pengukuran in situ klorofil-a, kemudian diduga standing stock ikan berdasarkan produktivitas primer yang merupakan fungsi dari klorofil-a. Pendugaan standing stock lainnya melalui perhitungan terhadap hasil tangkapan trawl selama penelitian. Ketiga metode analisis ini dan data statistik perikanan yang tersedia menjadi dasar kerangka pemikiran dalam penelitian guna mengetahui potensi sumberdaya ikan pelagis kecil dan demersal di LCS, dan hubungannya dengan kondisi hidrooseanografinya. Hasil yang diperoleh berupa dugaan potensi sumberdaya ikan pelagis kecil dan demersal serta peta distribusi dan kepadatan ikan. Pola kerangka pemikiran yang merupakan ruang lingkup dalam penelitian ini terlihat pada Gambar 4. Berdasarkan ruang lingkup dan tujuan penelitian di atas, maka uraian dalam disertasi ini dibagi dalam dua topik utama. Pertama, membahas tentang kondisi oseanografi LCSI khususnya suhu, salinitas dan klorofil-a pada Bab 2 dan keberadaan ikan di LCSI tersebut dalam hal ini distribusi jumlah dan kepadatannya berdasarkan ukuran target strengthnya pada Bab 3, serta hubungannya dengan kondisi oseanografi perairan LCSI pada Bab 4. Kedua, membahas mengenai estimasi standing stock ikan dengan menggunakan beberapa metoda, diantaranya dengan metode hidroakustik pada Bab 5, metode penyapuan (swept area) pada Bab 6, dan berdasarkan kandungan NPP citra satelit pada Bab 7. Pembahasan umum pada Bab 8 dan kesimpulan dan saran penelitian lanjutan serta kebijakan yang perlu diambil pada Bab 9. Biomassa Distribusi & Densitas Overlay Distribusi dan Densitas ikan dengan Kondisi Oseanografi Distribusi Suhu Salinitas Densitas Kecerahan Substrat Data Oseanografi Upaya Tangkap (Fishing Effort) Laut Cina Selatan, Perairan Indonesia Standing Stok Ikan Laut Cina Selatan, Perairan Indonesia Biomassa SV Sa TS Batimetri Ikan Demersal - Jumlah - Ukuran Data Akustik Data Tangkapan Gambar 4. Diagram alir kerangka pemikiran. Data Statistik Perikanan Pendekatan Terintegrasi Akurasi Informasi Data Standing Stock SPL Klorofil-a (in situ) Produktivitas Primer Bersih (NPP) Biomassa Distribusi Klorofil-a MODIS Data Citra 16 16