Daya sintas dan laju pertumbuhan rasamala

advertisement
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Daya Sintas
5.1.1. Daya Sintas tanaman secara umum
Pengukuran daya sintas pada lahan restorasi Bodogol secara umum dapat
dikatakan berhasil walaupun mengalami penurunan seiring dengan interval waktu
pengamatan. Secara umum urutan daya sintas tanaman dari tertinggi hingga
terendah adalah spesies A. excelsa, S. wallichii, dan D. imbricatus (Gambar 4).
Persentase Daya Sintas (%)
120
100
100 100
100
97.43
94.87
91.43
80
87.18
82.05
77.14
60
40
20
0
0
6
12
Interval Waktu Pengamatan (Bulan)
Gambar 4 Persentase daya sintas tiga spesies tanaman secara umum
A. excelsa
S. wallichii
D. imbricatus
Persentase daya sintas ke tiga spesies tanaman di lahan terdegradasi
Bodogol pada pengamatan pertama (6 bulan setelah tanam) tiga spesies tanaman
memiliki kemampuan hidup relatif tinggi. Persentase daya sintas seluruh spesies
tanaman di atas 90%. Spesies A. excelsa dengan persentase daya sintas sebesar
97,43% (tertinggi) dibandingkan S. wallichii 94,87% dan D. imbricatus 91,43%.
Pada pengamatan kedua (12 bulan setelah tanam), A. excelsa memiliki daya sintas
87,18%, S. wallichii 82,05% dan D. imbricatus dengan daya sintas 77,14%.
Tingkat kesintasan kedua spesies tanaman yaitu A. excelsa dan S. wallichii (lebih
tinggi dibanding pada D. imbricatus). Persentase daya sintas kedua spesies dapat
dikatakan baik dan berhasil karena memiliki nilai daya sintas ≥ 80%. Proses
restorasi pada lahan terdegradasi dapat dikatakan berhasil mencapai daya sintas
baik apabila daya sintas dari penanaman tersebut ≥ 80%.
Persentase rata-rata daya sintas ke tiga spesies tanaman sebesar 82,12%.
Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari pemilihan jenis tanaman. Pada lahan
kritis (terdegradasi) salah satu aspek teknis dalam penanggulangan lahan kritis
adalah (rehabilitasi) atau menanam pohon jenis yang cocok dan cepat tumbuh.
Ditinjau dari segi ekologi, spesies pohon lokal/asli setempat (pohon yang berasal
dari daerah itu sendiri (Sunarno & Rugayah 1992)) merupakan spesies terbaik
untuk ditanam kembali pada habitat asli/asalnya (Alvarez-Aquino et al. 2004,
Ramirez-Marcial et al. 2010). Penanaman kembali spesies asli pada habitatnya
diharapkan dapat beradaptasi dengan baik sehingga ke tiga spesies tumbuh baik
dengan cepat dan dapat segera mengembalikan fungsi lahan dan ekosistem seperti
semula.
5.1.2. Berdasarkan kemiringan lahan
Kemampuan kesintasan pada spesies tanaman tergantung pada banyak
faktor. Salah satu faktor yang memengaruhi daya sintas suatu spesies tanaman
adalah faktor lingkungan. Topografi tanah (kemiringan lahan) tempat spesies
hidup sangat berpengaruh terhadap kemampuan spesies mempertahankan daya
sintasnya. Semakin tinggi tingkat kemiringan lahan semakin besar tingkat erosi
yang akan terjadi, berdampak pada kesuburan lahan dan daya sintas tanaman
Persentase daya sintas (%)
(Sitorus 2003).
120
100
80
100 100 100
93.75
84.61
66.67
82.35 81.81
64.7
60
40
20
0
0 - 20
21 -40
41 - 60
Tingkat Kemiringan Lahan (%)
Gambar 5 Persentase daya sintas berdasar kemiringan lahan
A. excelsa
S. wallichii D. imbricatus
Tingkat kemiringan lahan sangat mempengaruhi daya sintas masing-masing
tanaman. Kemiringan lahan 0° - 20° belum menunjukkan perbedaan persentase
daya sintas, seluruh spesies memiliki daya sintas sebesar 100%. Pada tingkat
kemiringan lahan 21°– 40°, persentase daya sintas menunjukkan perubahan.
Spesies A. excelsa dan S. wallichii memiliki daya sintas masing-masing sebesar
93,75% dan 84,61%, sedangkan D. imbricatus memiliki persentase kesintasan
sebesar 66,67%. Pada tingkat kemiringan lahan 41°-60°, kesintasan spesies
tanaman mengalami penurunan. A. excelsa dan S. wallichii menurun hingga
82,25% dan 81,81%, sedangkan D. imbricatus mengalami penurunan daya sintas
menjadi 64,7%.
Perbedaan daya sintas pada spesies tanaman disebabkan oleh banyak faktor,
termasuk lama penyinaran dan kapasitas penyerapan CO2 (proses fisiologis) yang
berlainan pada tingkat kemiringan lahan yang berbeda, terutama pada umur
tertentu (Tantra 1981). D. imbricatus memerlukan cahaya yang cukup pada masa
pertumbuhan, dan tidak tahan terhadap naungan (Sunarno & Rugayah 1992).
Selain itu pada lahan dengan kemiringan tinggi kesintasan akan sangat
dipengaruhi oleh kondisi tanah dan unsur-unsur hara yang tersedia. Pada tanahtanah miring, bahan organik dan serasah lantai lahan lebih cepat tercuci atau
tererosi dibandingkan dengan lahan dengan kemiringan lebih kecil atau pada
lahan datar. Penanaman D. imbricatus pada lahan dengan tingkat kemiringan
lahan > 40° nampak tidak sesuai dengan preferensi tumbuh spesies ini. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango (Resort Cibodas) yang merupakan
habitat alaminya, tidak
ditemukan lagi D. imbricatus pada lahan/hutan dengan kemiringan ≥40°.
D. imbricatus mulai hadir pada daerah-daerah dengan kelerengan 6° sampai 36° di
Resort Cibodas (Bramasto 2008).
Banyak faktor penyebab perbedaan daya sintas pada masing-masing spesies.
Salah satu faktor utama penyebab daya sintas dalam penelitian ini adalah adanya
perbedaan strategi adaptasi yang dilakukan masing-masing spesies tanaman dalam
menghadapi kondisi lingkunganya. Persentase daya sintas ke tiga spesies secara
umum relatif seragam dibanding daya sintas berdasarkan kemiringan lahan.
5.1.3. Kesehatan tanaman / Live Crown Ratio (LCR)
Proses pengembalian fungsi ekosistem lahan terdegradasi dan rawan longsor
menjadi ekosistem alami seperti sebelumnya sangat ditentukan oleh kesintasan
tanaman hasil restorasi yang telah dilakukan. Kesintasan tanaman sangat
tergantung pada tingkat kesehatan tanaman, sehingga perlu dilakukan pengukuran
kesehatan tanaman. Tanaman dikatakan sehat jika memiliki nilai kesehatan >30%
(Mangold 1997). Terdapat perbedaan yang nyata untuk tingkat kesehatan tanaman
pada ke tiga spesies (Tabel 3).
Tabel 1 Kesehatan tanaman / Live Crown Ratio (LCR) pada ke 3 spesies tanaman
Spesies
Interval Pengamatan (Bulan)
Pertumbuhan
tajuk
0
6
12
A. excelsa
Normal
73,90 ± 1,47 b
59,93 ± 2,04 b
70,32 ± 2,15 a
S. wallichii
Normal
50,45 ± 3,77 a
49,99 ± 3,39 a
71,51 ± 3,41 a
D. imbricatus
Normal
71,15 ± 1,01 b
80,11 ± 1,85 c
76,65 ± 2,25 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji DMRT
Secara umum nilai tingkat kesehatan tanaman atau LCR dikatakan baik.
Hal tersebut terlihat dari seluruh nilai rata-rata LCR yang berada di atas 30%
pada semua spesies. Tanaman akan memperlihatkan perkembangan yang
maksimal apabila memiliki daya dukung yang memadai dan sesuai dengan
komponen-komponen yang dibutuhkan oleh tanaman itu sendiri. Daya dukung
yang dimaksud antara lain adalah tingkat kesesuaian unsur hara tanah, kesesuaian
faktor iklim, kemampuan beradaptasi dan lainya.
Tingkat kesehatan tanaman ke tiga spesies tanaman relatif baik antara 50,45
hingga 73,90 di awal penanaman. Pada pengamatan pertama (6 bst) spesies
D. imbricatus menunjukkan perubahan pada kenaikan tingkat kesehatan tanaman
dari 71,15% menjadi 80,11%, sedangkan spesies A. excelsa dan S. wallichii justru
mengalami penurunan. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan strategi
adaptasi yang digunakan dari masing-masing spesies tanaman untuk menghadapi
perubahan lingkungannya.
Pada pengamatan kedua (12 bst) seluruh spesies mempunyai nilai
kesehatan tanaman yang tidak berbeda nyata yaitu A. excelsa 70,32, S. wallichii
71,51 dan D. imbricatus 76,65. Pengamatan 12 bst menunjukkan tingkat
kesehatan tanaman relatif bagus. Kondisi tingkat kesehatan tanaman akan tetap
optimum apabila kondisi lingkungan misalnya kompetisi antara spesies dengan
lingkungannya (tumbuhan bawah) relatif kecil. Semakin banyak jenis tumbuhan
bawah, persaingan perebutan unsur hara tanah dan cahaya matahari semakin
tinggi, sehingga tingkat kesehatan tanaman akan terganggu yang berdampak pada
menurunnya laju pertumbuhan tanaman.
5.1.4. Kekokohan tanaman
Selain pengukuran pertumbuhan tinggi, diameter, luas tajuk dan kesehatan
tanaman, penentuan kualitas tanaman juga dilakukan melalui penentuan
kekokohan pohon. Karakter penunjang ini dipakai untuk menilai sifat morfologi
kekokohan tanaman muda (Jayusman 2005). Indikator ini sangat penting untuk
menunjang kriteria spesies yang memiliki daya sintas dan laju pertumbuhan
tanaman yang baik (Tabel 2).
Tabel 2 Rata-rata kekokohan tanaman pada ke 3 spesies tanaman
Interval Pengamatan (Bulan)
Spesies
A. excelsa
S. wallichii
D. imbricatus
0
6
12
18,33 ± 15,25 b
24,02 ± 8,65 a
10,88 ± 3,20 a
24,13 ± 12,21 b
12,22 ± 4,12 a
9,97 ± 2,35 a
10,62 ± 18,14 b
9,83 ± 21,10 a
9,30 ± 20,97 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji DMRT.
Kekokohan tanaman muda menggambarkan keseimbangan pertumbuhan
antara tinggi dan diameter tanaman di lapangan. Nilai kekokohan yang tinggi akan
menunjukkan
kemampuan
hidup
yang
rendah
karena
tidak
seimbang
perbandingan antara tinggi dan diameternya. Nilai kekokohan tanaman muda
berkisar antara 6,3 hingga 10,8 dikelompokkan baik (SNI 01- 5005- 1- 1999,
diacu dalam Jayusman 2005). Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa kualitas tanaman muda berdasarkan kriteria tersebut baik. Pada Tabel 2
nilai kekokohan tanaman muda pada awal penanaman hingga 12 bulan setelah
tanam berkisar antara 9,30 hingga 24,13.
Pada awal penanaman (0 bulan) hingga akhir pengamatan (12 bulan setelah
tanam) masing-masing spesies memiliki kekokohan yang relatif konstan.
Kekokohan pohon di awal tanam (0 bulan) nampak tidak beda nyata antara
D. imbricatus dan A. excelsa. Hal tersebut terjadi hingga pada akhir pengamatan
yaitu D. imbricatus sebesar 9,30, A. excelsa 9,83 dan S. wallichii sebesar 10,62.
Hasil analisis komponen utama (Principal Component Analysis / PCA) daya
sintas tanaman dengan faktor lingkungan menunjukkan bahwa dua komponen
utama telah mampu menerangkan keragaman total data lingkungan sebesar 100%.
Dua komponen utama tersebut (PC1 dan PC2) memberikan kontribusi keragaman
atau penciri lingkungan terhadap daya sintas masing-masing sebesar 56,3% dan
43,7% (Tabel 3).
Tabel 3 Nilai ciri matriks korelasi persentase hidup terhadap faktor lingkungan
Komponen
Nilai ciri
Presentase
keragaman
Akumulasi presentase
Keragaman
PC1
PC2
5,62
4,37
0,563
0,437
0,563
1,00
Pada PC1 terdapat dua variabel sebagai penciri utama faktor lingkungan
yaitu tinggi dan suhu. Sementara PC2 secara dominan dicirikan oleh variabel
kemiringan lahan dan luas tajuk tanaman.
Hasil analisis PCA pada Gambar 5 menggunakan loading plot menjelaskan,
terjadinya korelasi negatif antara variabel luas tajuk dengan kemiringan lahan dan
intensitas cahaya. Hal ini ditunjukkan dengan sudut tumpul yang dibentuk oleh
plot luas tajuk dengan kedua variabel. Variabel persentase hidup berada
berdekatan dengan keberadaan titik merah A. excelsa dan ini mengandung
pengertian bahwa spesies A. excelsa memiliki persentase hidup yang lebih tinggi
dari pada spesies lainnya.
Korelasi positif yang mempengaruhi persentase hidup masing-masing
tanaman ditunjukkan dengan sudut lancip yang dibentuk oleh beberapa vektor
pengamatan. Persentase hidup tertinggi dimiliki oleh spesies A. excelsa, terlihat
dari jumlah garis vektor yang berdekatan dengan keberadaan spesies ini
(Gambar 5).
3
S.Kemiringan
wallichii
2
Komponen Kedua
Intensitas cahaya
1
Kelembaban
suhu
0
Persen Hidup
Tinggi
Diameter
-1
D. imbricatus
-2
-3
-2
L.Tajuk
-1
0
Komponen Utama
LCR
Naungan
1
A. excelsa
2
a
3
bakteri
Gambar 5 Interaksi tiga spesies tanaman dengan beberapa parameter
lingkungan
Kemampuan memaksimalkan persentase hidup terjadi karena potensi yang
dimiliki organ tanaman A. excelsa, berupa diameter, tinggi, dan kesehatan
tanaman, serta ditambah faktor kesesuaian tingkat naungan yang menyebabkan
spesies A. excelsa memiliki daya sintas lebih besar daripada spesies lainnya.
Potensi organ tanaman berupa tinggi (dimulai dari awal penanaman), A. excelsa
mampu berkompetisi dengan tumbuhan bawah untuk mendapatkan cahaya
matahari yang maksimal untuk melakukan proses fotosintesis.
Cahaya matahari yang diperoleh merupakan sumber energi untuk
melakukan reaksi anabolik fotosintesis yang berpengaruh terhadap laju
fotosintesis. Secara umum, fiksasi CO2 maksimum terjadi jika intensitas cahaya
mencapai puncaknya. Penutupan cahaya matahari oleh tanaman lain ataupun oleh
awan juga akan mengurangi laju fotosintesis (Syamsuwida et al. 2007).
Spesies S. wallichii merupakan tumbuhan pioner pada lahan bekas terbakar
(Setyorini 2002), salah satu spesies tanaman cepat tumbuh, suka cahaya dan
mampu tumbuh pada kondisi tanah miskin hara (Wibowo 2005). S. wallichii
memiliki daya sintas cukup baik karena memiliki kemampuan beradaptasi tinggi
terhadap berbagai kondisi lingkungan, misalnya adaptasi terhadap perubahan
iklim yang berlangsung di lingkungan sekitarnya karena habitatnya telah
terdegradasi. Hal itu dapat dilihat dari kedekatan vektor-vektor iklim, membentuk
sudut lancip, mengindikasikan adanya korelasi positif. S. wallichii merupakan
spesies pohon yang dapat tumbuh pada kisaran iklim habitat dan tanah yang luas,
kebutuhan cahaya sedang hingga tinggi dan terdapat pada dataran tinggi, sampai
dataran rendah (Sunarno & Rugayah 1992).
5.2. Analisis pertumbuhan tanaman
Pertumbuhan organisme yang baik dapat tercapai bila faktor lingkungan
yang mempengaruhi pertumbuhan seimbang dan menguntungkan. Bila salah satu
faktor lingkungan tidak seimbang dengan faktor lain, faktor ini dapat menekan
atau kadang-kadang menghentikan pertumbuhan organisme. Lingkungan dapat
menjadi pembatas terhadap kehadiran dan keberhasilan suatu organisme pada
suatu habitat terestrial (Odum 1994). Faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan, secara luas dapat dikategorikan sebagai faktor eksternal
(lingkungan) dan faktor internal (genetik) (Taiz & Zieger 2002). Faktor eksternal
meliputi iklim (intensitas cahaya, suhu, kelembaban), edafik (tanah) meliputi
bahan organik tanah, tekstur, KTK, pH, biologi (tumbuhan bawah). Faktor
internal meliputi ketahanan terhadap tekanan iklim dan laju fotosintesis.
Menghadapi kondisi lingkungan yang beragam, masing-masing spesies
tanaman memiliki strategi berbeda-beda dalam menggunakan unsur hara ataupun
merespons perubahan yang terjadi di sekitarnya (Alder 1983; Taiz & Zieger
2002), sehingga pertumbuhan tanaman dapat maksimal. Tanaman mempunyai
tingkat sensitivitas yang berbeda, sering tidak menunjukkan adanya gangguan
pada fase vegetatif meskipun faktor pendukung tanaman berbeda-beda. Tanaman
A. excelsa dan S. wallichii memperlihatkan pertumbuhan yang relatif konstan
dari awal penanaman hingga 12 bst.
5.2.1. Tinggi tanaman
Spesies A. excelsa yang pada awal pengamatan (0 bulan) telah memiliki
rata-rata tinggi paling besar 91,5 cm, mampu mempertahankan tinggi pada awal
penanaman sampai 12 bst. Berbeda dengan S. wallichii dan D. imbricatus, pada
pengamatan awal (0) bulan hingga 6 bst (pengamatan ke 2), S. wallichii memiliki
tinggi 81,9 cm lebih unggul dibanding D. imbricatus 74,87 cm. Pada pengamatan
ke 3 (12 bst) D. imbricatus memiliki rata-rata tinggi tanaman 112,17 cm lebih
Tinggi tanaman (Cm)
unggul dibanding S. wallichii 100,5 cm (Gambar 7).
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0
6
12
Interval Pengamatan (Bulan)
Gambar 7 Pertumbuhan tinggi tiga spesies tanaman pada lahan terdegradasi di
Bodogol (
A. excelsa,
S. wallichii,
D. imbricatus)
A. excelsa, S. wallichii dan D. imbricatus merupakan jenis yang mudah
tumbuh dan dapat memberikan respons yang baik terhadap kondisi tempat
hidupnya. Ketiga spesies tanaman ini memiliki kecepatan pertumbuhan normal
hingga cepat (Meijer 1974). Kecepatan pertumbuhan pada faktor tinggi tanaman
merupakan strategi yang gunakan spesies D. imbricatus agar dapat bersaing
dengan tumbuhan bawah untuk mendapatkan cahaya yang lebih besar sebagai
bahan untuk melakukan proses fotosintesis.
Perbedaan tinggi tanaman dapat disebabkan oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik berupa luas, sempit, dan tebal atau tipis daun akan
berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Fotosintesis sangat ditentukan faktor
lingkungan salah satunya penyerapan cahaya. Penampilan daun yang luas ataupun
tidak, tebal atau tipis, tinggi rendahnya penyerapan cahaya akan mempengaruhi
pertambahan tinggi spesies tanaman. Pertumbuhan tinggi adalah salah satu
strategi yang digunakan tanaman agar tanaman mencapai lapisan kanopi yang
bebas dari tanaman lainnya.
5.2.2. Diameter tanaman
Hasil analisis menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter batang pada
spesies A. excelsa, lebih besar dari dua spesies lainya, yaitu D. imbricatus dan
S. wallichii tampak tidak berbeda nyata. Hal itu terlihat dari posisi standar error
Diameter tanaman (cm)
yang saling berdekatan antara kedua spesies (Gambar 8).
2
1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0
6
12
Interval Pengamatan (Bulan)
Gambar 8 Pertumbuhan diameter batang tiga spesies tanaman pada lahan
terdegradasi di Bodogol.
( A. excelsa,
S. wallichii,
D. imbricatus).
Pertumbuhan diameter tanaman (Gambar 8) pada waktu pengamatan 0 - 12
bst, spesies A. excelsa sejak awal penanaman (0 bulan) telah memiliki rata-rata
diameter batang paling besar 0,55 cm, tetap mampu mempertahankan tingginya
pada 6 sampai 12 bulan setelah tanam. Berbeda dengan S. wallichii dan D.
imbricatus, pada pengamatan awal (0 bulan), S. wallichii memiliki diameter
batang 0,39 cm sedangkan D. imbricatus 0,32 cm. Pada pengamatan ke dua (6
bst) D. imbricatus memiliki diameter batang 0.74 lebih besar dibanding
S. wallichii 0,67 cm. Demikian pula pengamatan ke tiga (12 bst), D. imbricatus
memiliki rata-rata diameter batang 1,17 cm (lebih besar dibanding S. wallichii 1,1
cm).
Pertambahan diameter batang tidak tergantung pada pertumbuhan pucuk
tanaman melainkan hasil dari pembelahan sel-sel kambium batang ke arah
samping. Pembelahan tersebut menghasilkan sel xilem dan floem yang bertambah
kearah dalam dan luar batang menyebabkan diameter tanaman bertambah (Taiz &
Zieger 2002).
5.2.3. Luas tajuk
Hasil pengukuran luas tajuk tanaman menunjukkan bahwa antara
D. imbricatus dan A. excelsa tidak berbeda nyata, terlihat dari standar error saling
berdekatan, sedangkan pada spesies S. wallichii nampak memiliki luas tajuk yang
lebih kecil dari dua spesies lainnya (Gambar 9)
Luas Tajuk Tanaman (cm²)
70
60
50
40
30
20
(Gambar 8).
10
0
0
6
Interval Pengamatan (Bulan)
12
Gambar 9 Pertumbuhan luas tajuk tiga spesies tanaman pada lahan terdegradasi
di Bodogol (
A. excelsa,
S. wallichii,
D. imbricatus).
Gambar 9 memperlihatkan bahwa luas tajuk tanaman pada interval
pengamatan satu sampai tiga (0 - 12 bst) masing-masing spesies tanaman tetap
berada dengan urutan luas tajuk yang sama. A. excelsa dengan luas tajuk 21,46
cm2, 33,11 cm2, 56,73 cm2 pada urutan pertama, D. imbricatus 16,36 cm2, 37,31
cm2, 51,1 cm2 pada urutan kedua, dan S. wallichii berada pada urutan ketiga
dengan luas tajuk 7,73 cm2, 18,78 cm2 dan 23,7 cm2.
Tanaman dapat memiliki luas tajuk maksimal, bila terjadi pertambahan
percabangan. Salah satu faktor penting meningkatkan pemaparan sistem tunas ke
lingkungan dengan menambah jumlah percabangan. Tunas aksiler mulai tumbuh
jika ada kesesuaian dengan kondisi alaminya. Pertambahan tunas aksiler akan
menambah jumlah daun dan memperbesar luasan tajuk (Campbell et al. 2003).
Terdapat perbedaaan yang nyata pada pertambahan tinggi, diameter dan luas tajuk
tanaman antara ke tiga spesies tanaman (Tabel 4).
Tabel 4 Pertambahan tinggi, diameter dan luas tajuk pada spesies A. excelsa,
S. wallichii, D. imbricatus di akhir pengamatan (12 bst)
Parameter Pengamatan
Spesies
Tinggi(cm)
Diameter(cm)
Luas Tajuk(cm2)
A. excelsa
113,4 ± 4,39 c
0,98 ± 0,050 b
37,41 ± 3,31 b
S. wallichii
72,08 ± 3,66 b
0,65 ± 0,050 a
16,88 ± 2,20 a
D. imbricatus
57,68 ± 4,19 a
0,60 ± 0,040 a
34,02 ± 3,16 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji DMRT.
Pada Tabel 4 terlihat tinggi tanaman ke tiga spesies memiliki rata-rata tinggi
yang berbeda, D. imbricatus dengan rata-rata tinggi 54,68 cm , S. wallichii dengan
rata-rata 72,08 cm dan A. excelsa rata-rata tinggi 113,4 cm. Pada diameter
tanaman D. imbricatus dengan rata-rata diameter 0,60 cm , S. wallichii dengan
rata-rata 0,65 cm dan A. excelsa rata-rata diameter 0,98 cm. Rata-rata luas tajuk
tanaman
D. imbricatus
34,02 cm²,
S. wallichii
rata-rata 16,88 cm², dan
A. excelsa rata-rata luas tajuk 37,41 cm².
Berdasarkan hasil pengukuran parameter pertumbuhan untuk tinggi
tanaman (Gambar 7), diameter batang (Gambar 8) dan luas tajuk (Gambar 9),
dapat disimpulkan bahwa dengan bertambahnya umur, ukuran, dan jumlah sel-sel
tanaman, maka unsur-unsur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan akan meningkat.
Penyerapan cahaya untuk proses fotosintesis, penyerapan unsur hara oleh akar
tanaman berlangsung terus menerus semakin tinggi dan besar (Taiz & Zieger
2002). Tanaman berumur satu tahun biasanya memiliki pertumbuhan relatif
merata, hal ini terjadi karena tanaman pada umur satu tahun kebutuhan tanaman
belum begitu besar, sehingga persaingan antar tanaman relatif kecil (Mawazin &
Hendi, 2008). Hal tersebut tidak terjadi pada ketiga spesies tanaman pengamatan.
Pada interval waktu pengamatan 12 bst, ketiga spesies tanaman menunjukkan
terjadinya kompetisi. Hal tersebut terlihat dari proses pertumbuhan ketiga spesies
tanaman yang bervariasi. Kondisi lingkungan yang terdegradasi dengan unsur
hara rendah dan jenis tumbuhan bawah semakin melimpah karena lahan ditinggal
petani penggarap merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
persaingan antara spesies tanaman dan tumbuhan bawah untuk memperebutkan
unsur hara tanah dan cahaya matahari.
5.3. Laju Pertumbuhan Relatif/Relative Growth Rate (RGR) dan Indeks
Penampilan Relatif/Relative Performance Indeks (RPI)
Laju pertumbuhan relatif pada ke tiga spesies tanaman tampak saling
bersaing untuk mendapatkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi. Spesies
D. imbricatus memiliki laju pertumbuhan relatif pada tinggi tanaman yang lebih
besar dari pada dua spesies yang lain. Pada laju pertumbuhan relatif diameter
batang, yang memiliki laju pertumbuhan terbesar adalah S. wallichii, sedangkan
pada pertumbuhan luas tajuk ke tiga spesies memiliki laju pertumbuhan relatif
luas tajuk yang tidak signifikan.
Pada Tabel 5 telihat interval pengamatan selama 12 bulan setelah tanam,
D. imbricatus memiliki laju pertumbuhan relatif lebih tinggi yaitu 0,45 cm bln-1
dibanding dengan A. excelsa 0,33 cm bln-1 dan S. wallichii 0,2 cm bln-1. Laju
pertumbuhan relatif diameter tanaman paling besar adalah S. wallichii 0,62 cm
bln-1 kemudian D. imbricatus 0,48 cm bln-1 dan A. excelsa 0,44 cm bln-1. Pada
parameter luas tajuk ketiga spesies tanaman memilliki laju pertumbuhan relatif
yang tidak berbeda nyata (Tabel 5).
Tabel 5 Laju pertumbuhan relatif dan Indeks penampilan relatif
Spesies
Daya sintas
(%)
RGR
RGR
Tinggi
(𝑐𝑚
−1
RGR
Diameter
−1
bln )
(𝑐𝑚
−1
−1
Luas Tajuk
−1
RPI
−1
bln )
(cm bln )
A. excelsa
87,18
0,20 ± 0,02 a
0,44 ± 0,02 a
0,48 ± 0,07 a
3,68
S. wallichii
82,05
0,33 ± 0,02 b
0,62 ± 0,03 b
0,54 ± 0,07 a
8,77
D. imbricatus
77,14
0,45 ± 0,03 c
0,48 ± 0,02 a
0,57 ± 0,07 a
8,90
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 (5%) berdasarkan uji DMRT.
Berdasarkan data tersebut, ketiga spesies tanaman terlihat saling bersaing
untuk mendapatkan laju pertumbuhan yang maksimal pada semua parameter
pengamatan. Pada laju pertumbuhan parameter tinggi, spesies D. imbricatus
memiliki penambahan tinggi yang lebih cepat daripada spesies lain, meskipun
sejak awal penanaman spesies D. imbricatus memiliki rataan tinggi tanaman lebih
rendah, namun memiliki luas tajuk yang cukup besar. Laju pertumbuhan yang
signifikan yaitu pada 0 bulan luas tajuk 16,43 cm², 6 bulan 40,19 cm² dan pada
12 bst sebesar 73,63 cm².
Dengan memiliki luas tajuk besar berarti tanaman memiliki jumlah daun
lebih banyak sehingga proses fotosintesis dapat menghasilkan unsur yang
dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang lebih besar pula (Lambers et al. 1998),
sehingga memiliki laju pertumbuhan tinggi lebih besar dari pada tanaman lainnya
(terutama laju pertumbuhan tinggi tanaman).
Kecepatan pertumbuhan tinggi tanaman merupakan akibat pertumbuhan
tunas muda, umumnya dipusatkan pada bagian apeks (ujung) yang terdapat tunas
terminal (terminal bud). Pertumbuhan yang lebih tinggi pada dominansi apikal
merupakan suatu adaptasi evolusioner untuk meningkatkan pemaparan terhadap
cahaya matahari utamanya pada habitat yang sesuai atau lokasi yang padat
(Campbell et al. 2003).
Pada pertumbuhan diameter batang tanaman, laju pertumbuhan paling tinggi
terjadi pada S. wallichii sebesar 0,62 cm bln-1. S. wallichii merupakan tumbuhan
pioner (Seytorini 2002) dan memiliki kemampuan beradaptasi tinggi terhadap
kondisi lingkungan ekstrim (Mansur 2010). Salah satu strategi yang dilakukan
S. wallichii dalam beradaptasi dengan kondisi lingkungannya adalah dengan
memperbesar diameter batang. Perluasan sel di meristem pada batang tanaman
dikendalikan oleh sifat plastis dan elastis dari dinding sel. Pemecahan material
dinding sel terjadi setelah sel sudah mencapai ukuran tertentu sehingga dinding sel
menjadi lebih tebal. Penebalan dinding sel berdampak pada proses peningkatan
ukuran diameter batang (Campbell et al. 2003).
Pengaruh ukuran awal penanaman dengan laju pertumbuhan tanaman
dianalisis menggunakan uji korelasi antara tinggi, diameter dan luas tajuk pada
awal penanaman dengan laju pertumbuhan relatif (RGR) tiap parameter
pengamatan.
Tabel 6
Hubungan ukuran awal penanaman dengan laju pertumbuhan tiga
spesies tanaman
Tinggi awal vs
Diameter awal vs
Luas tajuk awal vs
RGR Tinggi
RGR Diameter
RGR Luas Tajuk
Semua Jenis
-0,649‫٭‬
0,179
0,184
A. excelsa
-0,494‫٭‬
-0,521‫٭‬
-0,521‫٭‬
S. wallichii
-0,488‫٭‬
0,330
0,005
0,320
0,573‫٭‬
0,469‫٭‬
Spesies
D. imbricatus
Keterangan: * menunjukkan P < 0,05
Tabel 6 memperlihatkan bahwa tinggi semua spesies tanaman saat awal
penanaman memiliki korelasi negatif yang nyata dengan RGR tinggi, sedangkan
diameter dan luas tajuk berkorelasi positif tidak nyata dengan RGR diameter dan
luas tajuk. Pengukuran awal untuk semua parameter dari A. excelsa memiliki
korelasi negatif yang nyata dengan RGR-nya. Sedangkan pada S. wallichii
korelasi negatif yang nyata hanya terjadi pada tinggi tanaman.
D. imbricatus berkorelasi positif namun tidak nyata untuk tinggi tanaman
awal dengan RGR-nya, sedangkan diameter dan luas tajuk berkorelasi positif
nyata. Korelasi negatif pada parameter uji tinggi awal tanaman vs RGR tinggi
memiliki pengertian semakin tinggi tanaman pada awal penanaman semakin
rendah laju pertumbuhan tanaman, demikian juga korelasi negatif parameterparameter lain. Diameter awal tanam vs RGR diameter dan luas tajuk awal tanam
vs RGR luas tajuk tanaman spesies D. imbricatus berkorelasi positif artinya
semakin besar diameter dan luas tajuk pada awal penanaman semakin besar dan
luas pula laju pertumbuhannya.
5. 4. Analisis Faktor Lingkungan Sebagai Komponen Utama
5.4.1. Interaksi dengan komponen biotik
Salah satu faktor biotik yang mempengaruhi daya sintas dan laju
pertumbuhan tanaman pada hutan terdegradasi adalah jenis-jenis tumbuhan
bawah. Tumbuhan bawah secara umum didefinisikan sebagai suatu tumbuhan
yang tumbuh di suatu tempat atau di sekitar tanaman pokok yang dapat
mengganggu atau tidak mengganggu pertumbuhan tanaman pokok. Kondisi
lingkungan/habitat, selalu terjadi interaksi menguntungkan ataupun merugikan
antar spesies tumbuhan, antara satu spesies dengan spesies tumbuhan lain.
Faktor-faktor ekologi atau faktor-faktor lingkungan yang melatarbelakangi
terjadinya interaksi oleh tumbuhan dalam persaingan, antara lain cahaya, air
tanah, oksigen, unsur hara dan karbon dioksida. Pada pengamatan pertama (6 bst),
jenis tumbuhan bawah sangat jarang dijumpai, berdampak pada nilai persentase
daya sintas dan laju pertumbuhan yang maksimal. Hal tersebut dapat terjadi
karena pada lahan tempat spesies pengamatan ditanam, para petani setempat juga
melakukan penanaman dengan jenis tanaman semusim (singkong, cabe, jagung,
tomat dll). Terbukti dengan persentase kesintasan di atas 90% pada semua spesies
tanaman pengamatan.
Laju pertumbuhan ketiga spesies dari parameter-parameter pengamatan,
memperlihatkan pertumbuhan yang kurang maksimum, hal tersebut lebih
disebabkan karena proses adaptasi awal yang dilakukan oleh spesies pengamatan
dalam menghadapi perubahan habitat yang lebih luas dari polybag ke lahan.
Suatu habitat atau tempat hidup memiliki sumber daya yang terbatas untuk
mendukung semua spesies yang ada, sehingga persaingan tidak dapat dihindari.
Penggantian spesies tumbuhan tertentu oleh spesies yang lain di suatu habitat
sangat tergantung pada kemampuan spesies-spesies tumbuhan untuk bersaing
dengan yang lain terhadap tempat (ruang tumbuh), cahaya, air dan unsur hara
tanah.
Masing-masing jenis tumbuhan memiliki kemampuan adaptasi dengan
banyak niche ekologi yang berbeda untuk kelangsungan hidupnya, contohnya
alang-alang (Imperata cylindrica). Apabila tumbuhan bawah (alang-alang)
mendominasi areal lahan maka tanaman pokok akan terhambat pertumbuhannya
dan merana (terjadi pada salah satu areal pengamatan). Tumbuhan menjadi
dominan pada suatu komunitas, apabila populasinya mampu segera mengisi
kekosongan ruang tumbuh dalam sebuah ekosistem hutan, cukup konsisten
sehingga mampu bertahan dalam kondisi tertekan, untuk kemudian menjadi
dominan.
Pertumbuhan tanaman pokok maksimum tercapai apabila tanaman tersebut
selalu tumbuh dominan. Tumbuhan bawah yang berhasil tumbuh dominan juga
memiliki sifat yang sama, seperti alang-alang yang tahan terhadap kekeringan dan
kebakaran, yang kemudian mendominasi ekosistem. Pada pengamatan ke tiga (12
bulan setelah tanam), populasi tumbuhan bawah yang ditemui pada lahan
pengamatan sangat tinggi (Tabel 7).
Tabel 7 Spesies tumbuhan bawah yang ditemukan pada pengamatan ke tiga (12
bst) di lokasi penelitian di Bodogol
No
Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
1.
Selaginella sp
Paku rane
Selaginellaceae
2.
Ageratum conyzoides
Babadotan
Asteraceae
3.
Orthosiphon aristatus
Kumis kucing
Lamiaceae
4.
Erechtites valerianifolia
Sintrong
Asteraceae
5.
Crotalaria striata
Kacang-kacangan
Fabaceae
6.
Ottochloa nodosa
Rumput kawatan
Poaceae
7.
Ageratum suaviolens
Nyawon
Asteraceae
8.
Imperata cylindrica
Alang-alang
Poaceae
9.
Mikania mecranta
Sembung rambat
Asteraceae
Lahan yang baru dalam proses rehabilitasi, tanpa disadari telah
menciptakan ruang dan kesempatan bagi flora atau tanaman kayu non komersial
termasuk tumbuhan bawah, menekan pertumbuhan spesies-spesies tanaman
pengamatan saat seedling sedang tumbuh pada awal proses rehabilitasi lahan
dilakukan (Kurniawan & Undaharta 2008). Pada tanaman muda (seedling)
ataupun juvenile masih sangat peka terhadap faktor lingkungan biotik ataupun
abiotik (Lambers et al. 1998). Kemampuan beradaptasi dan berkompetisi sebagai
upaya mempertahankan daya sintas dan laju pertumbuhan tanaman maksimum
dilakukan, misalnya dengan berusaha mendapatkan cahaya (mempertinggi
batangnya) agar fotosintesis dapat dilakukan. Terjadinya cekaman oleh faktor
lingkungan atau adanya patogen hebivora (Lambers et al. 1998) serta kekalahan
berkompetisi adalah kondisi yang harus dihadapi.
Pada pengamatan ke tiga (12 bst), populasi rumput mulai mendominasi
sebagian besar areal penanaman. Hal tersebut terjadi karena para petani setempat
telah meninggalkan lahan mereka seiring panen tanaman musiman mereka.
Dampak dari kejadian tersebut mengakibatkan menurunnya persentase kesintasan
pada ke tiga spesies tanaman pengamatan karena terjadi kompetisi antar tanaman
ataupun kompetisi dengan jenis tumbuhan bawah yang berada di sekitarnya. Hal
tersebut dibuktikan dengan kurang maksimalnya laju pertumbuhan (tinggi,
diameter batang dan luasan tajuk tanaman) pada masing-masing spesies tanaman
pengamatan. Laju pertumbuhan tinggi pada spesies A. excelsa hanya mencapai
0,20 cm/bulan, hal tersebut sangat berbeda dengan laju pertumbuhan tanaman
A. excelsa pada penelitian eksitu yang dilakukan di kebun percobaan CSL-LIPI
(Nuril Hidayati 12 Maret 2010, komunikasi pribadi) dimana tanaman A. excelsa
mampu memiliki laju pertumbuhan sebesar 0.11cm hari-1 atau 3,3 cm bln-1 pada
kondisi lingkungan yang benar-benar maksimal.
a
b
c
Gambar 9 Tiga spesies tanaman pada pengamatan ke dua (12 bulan setelah
tanam yang dipenuhi tumbuhan bawah
(a. D. imbricatus. b. A. excelsa c. S. wallichii).
Tumbuhan bawah (herba dan semak belukar) adalah vegetasi yang telah ada
dan beradaptasi dengan ekosistem lebih dahulu dibandingkan dengan tanaman
hutan yang ditanam pada rehabilitasi lahan. Tumbuhan bawah golongan
rerumputan yang berbahaya adalah alang-alang (Imperata cylindrica). Jenis ini
tumbuh menyebar dengan rimpang membentuk jalinan cukup rapat di dalam tanah
(dapat mencapai 7 ton ha-1), sebagian besar terdapat di lapisan 20 cm dari
permukaan tanah dan mampu membentuk anakan mencapai kerapatan 500
batang/m2 (MacDonald 2004). Bibit tanaman yang masih berumur kurang dari 2
tahun masih sangat peka terhadap agresivitas alang-alang.
Tumbuhan bawah jenis yang merambat dan melilit (Gambar 9c), tumbuh
merambat dan membelit tanaman pokok. Pertumbuhannya cepat (7-12 mm/hari),
merambar tanaman pokok sampai ketinggian 15-20 m (Hamzah 1980). Spesies
Micania mampu bersaing dengan tanaman pokok dalam hal mendapatkan unsur
hara dan sinar matahari, sehingga terjadi gejala defisiensi hara dimana dedaunan
berwarna kekuning-kuningan.
Masalah tumbuhan bawah sebagian besar merugikan tanaman pokok
terutama pada dua tahun pertama sejak penanaman, namun di pihak lain
tumbuhan bawah tidak selamanya merugikan. Hal ini karena gulma merupakan
sumber bahan organik dalam tanah yaitu melalui jatuhan serasahnya yang secara
tidak langsung dapat memperbaiki drainase tanah yang kurang baik, mengurangi
suhu udara ataupun suhu tanah yang terlalu tinggi (Tjitrosoedirdjo 1984).
Tumbuhan bawah merupakan sumber bahan organik karena mengandung
senyawa rantai C dan berdampak positif memperbaiki atau meningkatkan
kesuburan tanah. Bahan organik berpengaruh terhadap tanah, antara lain;
menyediakan bahan makanan bagi tanaman, meningkatkan daya menahan air dan
memudahkan pengolahan tanah. Meskipun demikian, jika populasi tumbuhan
bawah yang berada di sekitar tanaman pengamatan tumbuh tak terkendali, akan
berpengaruh terhadap daya sintas dan laju pertumbuhan ketiga spesies tanaman.
Populasi tumbuhan bawah diharapkan dapat dikendalikan sehingga akan
berdampak pada tingkat kesintasan yang semakin tinggi dan laju pertumbuhan
tanaman lebih maksimal. Kondisi tanaman pada awal penanaman memiliki
potensi dominansi yang sangat rendah, kemudian potensi meningkat apabila dapat
tumbuh dan bertahan hidup. Kemampuan bertahan hidup tergantung dari
berkurangnya potensi dominansi pesaingnya (tumbuhan bawah) pada awal
pertumbuhan (1 – 2 tahun pertama) (Pratiwi 2005).
5.4.2. Interaksi komponen abiotik
5.4.2.1. Interaksi tanaman dengan parameter lingkungan
Interaksi antara parameter pertumbuhan dengan lingkungan dapat diketahui
dengan menggunakan analisis PCA loading plot.
1. Altingia excelsa
Hasil analisis (PCA) faktor lingkungan menunjukkan bahwa tiga
komponen (PC1, PC2 dan PC3) mengakomodasi keragaman total data
lingkungan sebesar 80,2%. Tiga komponen utama tersebut memberikan
kontribusi keragaman atau penciri
A. excelsa dengan komponen lingkungan
masing-masing sebesar 46,7%, 20,5% dan 67,2% (Tabel 8).
Tabel 8 Nilai ciri matriks korelasi A. excelsa dengan faktor lingkungan.
Spesies
A.excelsa
Komponen
Nilai ciri
Presentase
keragaman
PC1
4.203
0.467
Akumulasi
presentase
Keragaman
0.467
PC2
1.848
0.205
0.672
PC3
1.171
0.672
0.802
Pada PC1 terdapat tiga variabel penciri utama faktor lingkungan yaitu
LCR (kesehatan tanaman), diameter batang dan intensitas cahaya. PC2 secara
dominan dicirikan oleh dua variabel yaitu naungan dan suhu. Sementara pada
PC3 penciri utamanya adalah kemiringan dan kelembaban.
Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel lingkungan
menggunakan loading plot menunjukkan bahwa korelasi positif pada parameter
kecepatan pertumbuhan dari A. excelsa dimiliki pada tinggi, diameter, luas
tajuk, naungan dan LCR. Hal tersebut terlihat dari sudut lancip yang terbentuk
antara satu vektor dengan vektor
lain yang saling berdekatan. Korelasi
tanaman pengamatan dengan faktor lingkungan menunjukkan bahwa dua
komponen utama mengakomodasi keragaman total data lingkungan sebesar
100% (Tabel 8). Sembilan komponen utama tersebut (PC1 – PC2) memberikan
kontribusi keragaman atau penciri faktor lingkungan pada masing-masing
spesies pengamatan.
Hasil analisis biplot (Gambar 11) menjelaskan penyebaran keberadaan
spesies tanaman A. excelsa, pada kuadran I, II dan III. Terdapat korelasi positif
antara parameter faktor lingkungan dengan parameter laju pertumbuhan
(tinggi, diameter dan luas tajuk) dengan parameter
intensitas cahaya dan
kesehatan tanaman (LCR). Hal tersebut ditunjukkan dengan sudut lancip yang
dibentuk garis-garis vektor masing-masing parameter. Korelasi positif
mengandung pengertian bahwa apabila luas tajuk meningkat maka dengan
sendirinya akan terjadi peningkatan pada diameter batang ataupun tinggi
tanaman demikian pula sebaliknya (Gambar 11).
3
Komponen Kedua
2
Naungan
1
Kemiringan
0
Kelembaban
SUHU
-1
Intensitas
LCR Diameter
Tinggi
Luas Tajuk
-2
-6
-4
-2
0
Komponen Utama
2
4
Gambar 11 Interaksi spesies Altingia excelsa ( ) dengan faktor lingkungan
Dilihat dari pola penyebarannya, dapat dikatakan bahwa tanaman
A. excelsa tidak tergantung pada salah satu faktor lingkungan tertentu dan
mempunyai daya adaptasi yang tinggi, dengan rentang yang luas. Hal tersebut
sesuai dengan hasil penelitian Aminah et al. (2005) yang menjelaskan
karakteristik tempat tumbuh rasamala pada berbagai lokasi di pulau Jawa dan
Bali khususnya pada lokasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(TNGGP), yang mengatakan bahwa tanaman rasamala hidup pada range yang
luas, ketinggian mulai 1000 mdpl tapi bisa hidup pada 700 m dpl, banyak
ditemukan dengan curah hujan 300 – 4200 mm tahun-1 dan jenis tanah regosol,
litosol, andisol, dengan temperatur 18° C - 26° C.
2. Schima wallichii
Hasil analisis komponen utama (PCA) interaksi dengan faktor
lingkungan menunjukkan bahwa empat komponen utama (PC) mengakomodasi
keragaman total data lingkungan sebesar 78.8%. Empat komponen utama
tersebut (PC1 – PC4) memberikan kontribusi keragaman atau penciri pada S.
wallichii dengan komponen lingkungan masing-masing sebesar 32,9%, 21,1% ,
12,7% dan 12,1% (Tabel 9).
Tabel 9 Nilai ciri matriks korelasi S. wallichii dengan faktor lingkungan
2.9637
Presentase
keragaman
0.329
Akumulasi presentase
Keragaman
0.329
PC2
1.8963
0.211
0.540
PC3
1.1441
0.127
0.667
PC4
1.0858
0.121
0.788
Spesies
Komponen
Nilai ciri
S. wallichii
PC1
Pada PC1 terdapat tiga variabel penciri utama faktor lingkungan yaitu
luas tajuk, tinggi tanaman dan suhu. PC2 dicirikan oleh empat variabel yaitu
naungan, kelembaban, suhu dan kemiringan lahan. Pada PC3 secara dominan
dicirikan oleh variabel LCR dan diameter tanaman. Sedangkan PC4 penciri
utamanya adalah intensitas cahaya dan naungan.
Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel lingkungan
menggunakan loading plot menunjukkan bahwa korelasi positif pada parameter
kecepatan pertumbuhan dari S. wallichii dimiliki pada tinggi, diameter, luas
tajuk, intensitas cahaya dan LCR serta suhu dan kelembaban. Hal tersebut
terlihat dari sudut lancip yang terbentuk antara satu vektor dengan vektor lain
yang saling berdekatan.
Pada Gambar 12 terlihat bahwa S. wallichii memiliki kemampuan
beradaptasi pada sebagian besar faktor lingkungan. Hal tersebut terlihat dari
keberadaan titik titik pada beberapa vektor di seluruh kuadran. S. wallichii
dikenal sebagai tumbuhan pioner terutama pada lahan bekas terbakar (Setyorini
2002). Spesies S. wallichii memiliki kemampuan beradaptasi pada lahan
dengan kondisi kritis. Terlihat dari kemampuan beradaptasinya pada lahan
pengamatan dilakukan, yang dibuktikan dengan pola persebaran titik-titik
menyeluruh di seluruh kuadran. Kondisi lingkungan pada lahan yang
terdegradasi, dalam waktu 12 bulan pengamatan belum tampak mempengaruhi
tingkat pertumbuhan pada S. wallichii.
Berdasarkan analisis biplot pada Gambar 12 terlihat ada korelasi yang
positif antara parameter pertumbuhan (tinggi, diameter, luas tajuk dan
kesehatan tanaman). Korelasi tersebut mengandung pengertian bahwa semakin
tinggi tanaman semakin tinggi pula parameter pertumbuhan yang lain
(Gambar 12).
2
Kemiringan Naungan
Komponen Kedua
1
0
SUHU
Kelembaban
-1
Intensitas
LCR
Tinggi
Luas Tajuk
Diameter
-2
-3
-4
-4
-3
-2
-1
0
1
Komponen Utama
2
3
4
5
Gambar 12 Interaksi species Schima wallichi ( ) dengan faktor lingkungan
yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Pada Gambar 12 tampak pula bahwa parameter pertumbuhan diameter,
berkorelasi negatif dengan parameter kemiringan lahan. Maksudnya adalah
semakin tinggi kemiringan lahan pertumbuhan diameter, tinggi dan luas tajuk
akan menurun. Hal tersebut terjadi karena pada lahan dengan kemiringan tinggi
kandungan bahan organik lebih cepat tercuci atau tererosi dibanding pada lahan
yang datar meskipun pada akhir pengamatan (12 bst) spesies S. wallichii masih
nampak memiliki kesintasan yang relatif tinggi.
3. Dacrycarpus imbricatus
Hasil analisis komponen utama (PCA) faktor lingkungan menunjukkan
bahwa tiga komponen utama (PC) mengakomodasi keragaman total data
lingkungan sebesar 79.8%. Tiga
komponen utama tersebut (PC1 – PC3)
memberikan kontribusi keragaman atau penciri pada D. imbricatus dengan
komponen lingkungan masing-masing sebesar 53,7%, 14,6%, dan 11,5%
(Tabel 10).
Tabel 10 Nilai ciri matriks korelasi D. imbricatus dengan lingkungan
Spesies
Komponen
Nilai ciri
Presentase
Keragaman
Akumulasi Presentase
Keragaman
D. imbricatus
PC1
4.829
0.537
0.537
PC2
1.318
0.146
0.683
PC3
1.038
0.115
0.798
Pada PC1 terdapat tiga variabel penciri utama faktor lingkungan yaitu
LCR (kesehatan tanaman), diameter dan tinggi tanaman. PC2 secara dominan
dicirikan oleh dua variabel yaitu kelembaban dan suhu. Sementara pada PC3
penciri utama didominasi oleh naungan.
Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel lingkungan
menggunakan loading plot menunjukkan bahwa korelasi positif parameter laju
pertumbuhan pada D. imbricatus dimiliki pada tinggi, diameter, luas tajuk,
naungan, intensitas cahaya dan LCR, terlihat dari sudut lancip yang terbentuk
antara satu vektor dengan vektor yang lain yang saling berdekatan. Korelasi
negatif terlihat antara kemiringan lahan dengan suhu dan kelembaban. Hal
tersebut dapat ditunjukkan dari sudut tumpul yang terbentuk antara plot
kemiringan lahan dan suhu atau kelembaban.
Berbeda dengan dua spesies tanaman lainnya, spesies D. imbricatus
dalam analisis biplot Gambar 13, memperlihatkan pola mengumpul pada
kuadran I, II dan IV, juga berkorelasi positif dengan semua parameter
lingkungan. Hal tersebut ditunjukkan dengan sudut lancip yang terbentuk pada
parameter-parameter lingkungan. Korelasi positif ini mengandung pengertian
bahwa laju pertumbuhan D. imbricatus didukung oleh tinggi tanaman, diameter
batang, luas tajuk, kesehatan tanaman, proporsi naungan yang tepat, dan
intensitas cahaya sesuai, suhu serta kelembaban.
2
Komponen Kedua
1
Kelembaban
SUHU
0
Naungan
Kemiringan
Intensitas
LCR
Luas Tajuk
Tinggi
Diameter
-1
-2
-3
-5
-4
-3
-2
-1
0
Komponen Utama
1
2
3
4
Gambar 13 Interaksi species D. imbricatus ( ) dengan faktor Lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan tanaman
Hasil analisis biplot spesies D. imbricatus terlihat adanya interaksi yang
sangat seragam kecuali pada vektor kemiringan lahan. Hal tersebut terlihat dari
keberadaan spesies tanaman (dilambangkan dengan titik-titik) yang menempati
kuadran I, kuadran II dan kuadran IV. Titik-titik yang berada pada vektor
kemiringan nampak mendekati aksis negatif. Lahan dengan kemiringan tinggi
akan mengakibatkan laju erosi yang tinggi pula. Laju erosi lahan pada kurun
waktu tertentu dapat menyebabkan lahan menjadi lahan kritis karena air
permukaan mengalir tanpa sempat mengalami infiltrasi, proses erosi tersebut
terbawa pada lapisan atas lahan yang mengandung unsur hara (Kurnia et al.
2005). Kejadian tersebut menunjukkan bahwa tanaman tidak memiliki
pertumbuhan/ produktifitas secara maksimal karena kekurangan sumber hara
yang diperlukan tanaman sehingga berakhir pada kematian.
Interaksi yang terjadi antara ketiga spesies tanaman pengamatan dengan
seluruh parameter pengamatan dapat diketahui dengan melakukan PCA. Hasil
analisis komponen utama PCA faktor lingkungan menunjukkan bahwa dua
komponen utama saja mengakomodasi keragaman total data lingkungan
sebesar 100%. Dua komponen utama tersebut (PC1 – PC2)
memberikan
kontribusi keragaman atau penciri faktor lingkungan masing-masing sebesar
52,4% dan 47,76% (Tabel 11).
Tabel 11 Nilai ciri matriks korelasi 3 spesies tanaman dengan faktor
lingkungan
Komponen
Nilai ciri
Presentase keragaman
PC1
4.7118
0.524
Akumulasi presentase
Keragaman
0.524
PC2
4.2882
0.476
1.000
Pada PC1 terdapat dua variabel sebagai penciri utama faktor lingkungan
yaitu kelembaban dan suhu. Sementara pada PC2 secara dominan dicirikan oleh
intensitas naungan dan kesehatan tanaman (LCR). Hasil analisis PCA untuk
menjelaskan interaksi parameter lingkungan ketiga tanaman pengamatan
menggunakan biplot. Korelasi positif antara kemiringan lahan, intensitas cahaya,
kelembaban dan suhu tampak pada kuadran I, kuadran II antara naungan dengan
LCR, diameter dengan tinggi tanaman, ditunjukkan dengan sudut lancip yang
dibentuk oleh garis vektor-vektor. Korelasi negatif terlihat pada kuadran III antara
luas tajuk dengan kemiringan lahan, ditunjukkan dengan sudut tumpul yang
dibentuk oleh plot luas tajuk dan kemiringan lahan (Gambar 14).
S. wallichii
2
Kemiringan
Komponen Kedua
1
Intensitas Cahaya
Kelembaban
0
D. imbricatus
Suhu
-1
Tinggi
L.Tajuk
Diameter
LCR
-2
Naungan
-3
-2
-1
0
Komponen Utama
A. excelsa
1
2
Gambar 14 Interaksi ketiga species dengan faktor lingkungan yang
mempengaruhi laju pertumbuhan tanaman
Pada kuadran I terlihat spesies S. wallichii berkorelasi dengan
kemiringan lahan, suhu, kelembaban dan intensitas cahaya. Vektor-vektor
memiliki korelasi positif, ditunjukkan dengan sudut lancip yang dibentuk oleh
variabel-variabel. Artinya, ada korelasi positif antara suhu dan kelembaban,
apabila suhu meningkat, maka kelembaban dan intensitas cahaya juga
meningkat. Peningkatan kelembaban dan suhu disebabkan peningkatan
intensitas
cahaya
yang
merupakan
pancaran
radiasi
gelombang
elektromagnetik dapat menimbulkan efek panas. S. wallichii mampu
berinteraksi baik dengan vektor-vektor tersebut.
Pada kuadran II terlihat spesies A. excelsa berkorelasi positif dengan
tinggi, diameter tanaman, LCR (kesehatan tanaman) dan proporsi naungan.
Terlihat dari sudut lancip yang terbentuk pada variabel-variabel tersebut.
Artinya apabila tinggi tanaman meningkat maka diameter dan kesehatan
tanaman akan meningkat pula. Pertambahan tinggi merupakan pengaruh dari
proses fisiologi tanaman sebagai respon dari tanaman terhadap kondisi
lingkungan.
Pada kuadran III terlihat ada spesies D. imbricatus berkorelasi dengan
luas tajuk. Spesies D. imbricatus masuk dalam jenis tanaman moderat lambat
(Syamsuwida et al. 2007). Tumbuh terutama pada daerah temperate (dingin).
Namun pada daerah yang disinari matahari secara langsung pertumbuhan lebih
cepat (Sunarno & Rugayah 1992). Korelasi negatif terjadi antara luasan tajuk
dengan kemiringan lahan, terlihat dari sudut tumpul yang terbentuk pada
vektor-vektor tersebut. Artinya jika kemiringan semakin tinggi luasan tajuk
yang terbentuk semakin menurun sehingga pertumbuhan semakin lambat.
5.4.2.2. Kriteria analisis Tanah
Rendahnya ketersediaan unsur hara esensial, N, P, dan K sangat
mempengaruhi terjadinya pertumbuhan yang berdampak pada terganggu dan
kurang maksimalnya laju pertumbuhannya. KTK yang rendah memungkinkan
terjadinya percepatan pencucian terhadap unsur hara, sehingga hara yang adapun
akan hilang tercuci sebelum dimanfaatkan oleh ketiga spesies tanaman.
Keberadaan unsur hara esensial dalam jumlah yang cukup, mutlak
diperlukan pada pertumbuhan tanaman. Nitrogen adalah salah satu unsur hara
makro yang dibutuhkan dalam jumlah yang paling banyak. Pertumbuhan dan
kualitas daun sebagai tempat terjadinya fotosintesis sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan unsur N dalam jaringan tanaman. Defisiensi N menyebabkan
rusaknya kloroplas dan mengganggu perkembangan kloroplas (Kirkby dan
Mengel 1987).
Berdasarkan hasil analisis laboratorium tanah di Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Balai Penelitian Tanah Bogor dan Laboratorium
Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Fakultas Pertanian IPB,
menunjukkan hasil (Tabel 12).
Tabel 12 Kriteria penilaian hasil analisis tanah di tempat pengamatan
Parameter
Kode sample
Satuan/unit
pH H2O
Rata-rata
Kriteria*
A
4.7
B
4.9
C
4.6
4.73
Masam
C-Organik
%
1.46
1.27
1.77
1.50
Rendah
N-Total
%
0.11
0.09
0.15
0.12
Rendah
C/N
%
13
14
12
13.00
Sedang
P2O5(HCL)
Ppm
28
19
32
26.33
Sedang
K
me/100gr
0.16
0.15
0.2
0.17
Rendah
Na
me/100gr
0.35
0.4
0.33
0.36
Sedang
Ca
me/100gr
2.94
3.86
2.27
3.02
Rendah
Mg
me/100gr
0.96
1.94
0.96
1.29
Sedang
KTK
me/100gr
12
15.8
14.74
14.18
Rendah
Pasir
%
21
10
20
17.00
Debu
%
29
26
31
28.67
Liat
%
50
64
49
54.33
Tekstur
Liat
* Sumber : Balai Penelitian tanah (2009)
Kalium (K) merupakan aktivator dari banyak enzim khususnya enzim-enzim
yang terlibat dalam fotosintesis dan respirasi. Sebagai osmoregulator kalium
merupakan faktor yang sangat penting dalam pergerakan tanaman seperti
pembukaan dan penutupan stomata, gerak tidur atau perubahan orientasi daun
harian ( Hopkins & Hüner 2004). Oleh karenanya gejala yang paling menonjol
dari defisiensi unsur hara adalah pertumbuhan yang terhambat, sehingga tanaman
mengalami pertumbuhan yang tidak optimum ( Taiz & Zieger 2002).
Salah satu sifat tanah yang paling mudah diukur dan banyak mempengaruhi
pertumbuhan tanaman adalah pH atau reaksi tanah, yang merupakan indikator
keasaman atau kebasahan tanah. Secara kimia, pH adalah ekspresi dari aktifitas
ion H (𝐻 +). Pada lahan tempat penelitian dilakukan, nilai pH dapat dikatakan
rendah yaitu antara 4,6 – 4,8. Spesies tanaman hutan pada 0 hingga 12 bulan
(waktu pengamatan) tinggi rendah pH tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan perkembangan tanaman. Lahan pada tempat penelitian mengandung unsur
hara pada lapisan humus merupakan akumulasi dari hasil dekomposisi serasah
(Pausas 2004).
Kandungan pH yang rendah identik dengan sebutan tanah masam
berimplikasi terhadap karakteristik kimia tanah seperti kandungan Fe, Mn, Zn, Cu
dan Co yang tinggi (Bruun et al. 2010; Gungor et al. 2010; Hardjowigeno 2010)
serta ketersediaan K, Ca, Mg, dan P yang rendah (Salm et al. 1998; Strom 2005,
dalam Yano et al. 2005). Rendahnya nilai kation berdampak kepada rendahnya
nilai kapasitas Tukar Kation (KTK). Lokasi penelitian yang berada di wilayah
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan wilayah yang curah hujan
tertinggi di Pulau Jawa (Sunarno dan Rugayah 1992) dan proses pencucian akan
cenderung menurunkan pH tanah.
Tanah pada tempat penelitian yang mengandung liat (clay) yang tinggi
sebesar 54,33 %, akan dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh
kemudian pori-pori permukaan tanah akan tersumbat oleh liat sehingga laju
infiltrasi akan menurun. Dengan demikian air yang tidak masuk ke dalam tanah
melalui infiltrasi dan air perkolasi akan menjadi aliran permukaan (run off)
sehingga erosi menjadi lebih besar..
Spesies A. excelsa memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi hara
tanah dan mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi hara tanah (Beekman
1947; Sunarno & Rugayah 1992), sehingga adakalanya dalam jumlah yang kecil
dan tersebar, namun pada akhirnya menonjol dalam pertumbuhannya dan
mendominasi keadaan gambaran hutan (Beekman 1947).
Spesies D. imbricatus menyukai tanah yang subur dengan humus tebal.
Namun demikian dapat tumbuh pada tanah pasir dan tanah kurang subur (Tantra
1981). Sama seperti pada A. excelsa, spesies S. wallichii yang menyukai tanah
kering namun dapat hidup pada tanah yang kritis (Sunarno & Rugayah 1992).
Sesuai yang dikatakan Jacobs (1981) bahwa tumbuhan di hutan hujan primer
terkenal efisien dalam menggunakan hara sehingga mampu hidup pada tanah
dengan kondisi hara rendah.
5.4.2.3. Komponen iklim
Berdasarkan data klimatologi yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi
terdekat maka kisaran suhu udara di lokasi penelitian adalah 19,5°C – 32,5°C,
dengan kelembaban udara 74% - 90%. Curah hujan terendah selama dua tahun
terakhir terjadi pada bulan Agustus 2009 yaitu (0,5 mm), dan tertinggi pada bulan
Januari 2009 yaitu (19,5 mm). Rata-rata lama penyinaran matahari berkisar antara
8,8% - 57,9% dengan kecepatan angin 1-2 knot.
Data sekunder iklim yang diperoleh dari stasiun klimatologi terdekat,
fluktuasi iklim di tempat pengamatan selama 24 bulan dapat terlihat dalam kurva
periodik . Kurva periodik terbagi menjadi dua yaitu pertama bulan Februari 2009
– Januari 2010 sebelum pengamatan dilakukan dan kedua pada bulan Pebruari
2010 – Februari 2011 saat pengamatan dilakukan.
Pada kurva periodik (Gambar 15A), terlihat adanya peningkatan penyinaran
yang cukup ekstrim mencapai 57,9% pada bulan September 2009. Pada
kelembaban, curah hujan dan suhu mengalami fase naik turun. Sedangkan
kecepatan angin, penguapan dan tekanan udara cenderung stabil.
Pada kurva periodik (Gambar 15B), kondisi iklim cenderung lebih stabil
kecuali pada penyinaran dan curah hujan yang mengalami fase naik turun. Pada
saat pengamatan kedua dilakukan (6 bst) curah hujan pada kondisi menurun dan
intensitas cahaya pada fase rendah kembali normal. Demikian juga pada saat
pengamatan ke 3 (12 bst) curah hujan normal dan intensitas cahaya menurun
(Gambar 15).
Suhu
Penyinaran
Kecepatan angin
50
40
30
20
10
0
-10 0
-20
-30
Deviasi rata-rata
A
Curah hujan
Tekanan Udara
Penguapan
kelembaban
A
2
4
6
8
10
12
Pada
Bulan
Deviasi rata-rata
15
B
10
5
0
-5 0
2
4
6
8
10
12
-10
-15
-20
Bulan
Gambar 15 Kurva periodik iklim A. Februari 2009 – Februari 2010
B. Maret 2010 – Maret 2011
Saat penanaman
Pemasangan tagging
Pengamatan ke 2
Pengamatan ke 3
Daya sintas ke tiga spesies tanaman pengamatan dipengaruhi oleh
komponen iklim. Salah satunya adalah suhu yang dapat berperan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Suhu berperan langsung hampir pada setiap
fungsi dari tumbuhan dengan mengontrol laju proses metabolisme pada
tumbuhan. Sedangkan peran tidak langsung dengan mempengaruhi faktor-faktor
lainya terutama suplai air.
Ketiga spesies pengamatan memiliki kisaran suhu optimum untuk
pertumbuhanya, dan berbeda antara satu tumbuhan dengan tumbuhan lain.
D. imbricatus tergolong dalam jenis tanaman temperate (dingin), walaupun pada
daerah
atau
areal
yang
disinari
matahari
penuh
dapat
mempercepat
pertumbuhannya, demikian juga pada A. excelsa dan S. wallichii. Jika suhu
melampaui batas maksimum atau minimum dari kisaran suhu optimum, maka
pertumbuhan dan perkembanganya akan terhenti. Selain mempengaruhi proses
metabolisme, suhu juga mempengaruhi struktur vegetasi (Odum 1994).
Penyebaran radiasi matahari tidak merata dipermukan bumi tergantung dari
keadaan awan, ketinggian tempat, topografi, musim dan waktu dalam hari. Areal
yang mendapat sinar matahari secara terus menerus sepanjang tahun akan
membantu tumbuhan dalam proses fotosintesis secara maksimum di siang hari.
Areal lokasi pengamatan merupakan areal dengan kondisi terbuka sehingga sinar
matahari dapat penuh membantu tanaman pengamatan dalam proses fotosintesis.
Ketinggian tempat 620 – 709 m dpl merupakan areal yang dapat ditolerir oleh
ketiga spesies tanaman pengamatan untuk beradapatasi. Proporsi radiasi yang
diserap oleh tiap bagian daun tanaman tersebut tidak sama akan tetapi dapat
menyerap secara optimum karena kondisi areal yang terbuka bebas.
Curah hujan yang selalu ditemui setiap hari di areal pengamatan (240-320)
mm tahun-1, sangat erat kaitanya dengan ketersediaan air bagi tumbuhan, juga
merupakan faktor lingkungan yang sangat penting karena dapat mempengaruhi
kelangsungan hidup tanaman. Bahkan air sebagai bagian dari faktor iklim sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perubahan struktur organ tanaman.
Tingginya tingkat kelembaban pada areal pengamatan yaitu 74-94 %,
dinyatakan sebagai kelembaban relatif yaitu perbandingan jumlah uap air yang
ada dalam udara dengan jumlah maksimum uap air yang ada pada suhu atau
tekanan tertentu dan dinyatakan dalam persen (%) (Tjasyono 2004). Tingkat
kelembaban yang cukup tinggi tersebut sesuai dengan kondisi alami yang di temui
pada habitat asli ke tiga spesies tanaman pengamatan di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango (Sunarno & Rugayah 1992).
Kecepatan angin pada areal pengamatan tergolong rendah, yaitu berkisar
antara 0,5 hingga 2 knot. Secara ekologi hal tersebut menguntungkan tanaman.
Transpirasi dan fotosintesis akan naik bila angin tidak terlalu kencang. Bila angin
terlalu kencang maka fotosintesis akan turun, sedangkan transpirasi melalui
kutikula akan tetap berlangsung.
Ketiga spesies tanaman pengamatan (A. excelsa, S. wallichii, D. imbricatus)
merupakan species yang memiliki kemampuan beradaptasi tinggi terhadap kondisi
iklim lingkungan sekitarnya (Mansur 2010). Berdasarkan data iklim dari Stasion
Meteorologi Citeko, (Lampiran) terlihat bahwa kondisi iklim pada daerah
pengamatan sesuai dengan iklim yang dibutuhkan oleh ketiga spesies A. excelsa
dapat tumbuh secara optimum pada suhu 18°-23° C dengan curah hujan 300 –
4200 mm ( Aminah et al. 2005), S. wallichii pada suhu 18° - 25° C dengan
kelembaban 82 – 99%, D. imbricatus pada suhu 19° - 22°C kelembaban 85 –
99% (Sunarno & Rugayah 1992). Hal tersebut sesuai dengan keadaan iklim mikro
disekitar tanaman, suhu antara 23° - 28°, kelembaban 69-74%, intensitas cahaya
antara 18,4 – 20,3 per jam.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengamatan
hingga 12 bst, keadaan iklim tidak berpengaruh besar dan tidak memberikan
dampak yang negatif terhadap ke tiga spesies tanaman, karena kondisi iklim
selama 12 bulan saat pengamatan dilakukan pada kondisi iklim yang relatif
stabil.
Download