BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja adalah individu yang mengalami transisi dari kehidupan orang dewasa yang ditandai dengan perubahan dan perkembangan baik segi fisik, psikis, dan sosial (Monks dkk, 1991). Perkembangan tersebut dapat mengarah pada hal positif maupun dapat menyebabkan masalah sosial juga seperti perilaku agresif yang kerap dilakukan oleh remaja dari banyak kalangan baik dalam interaksi fisik sesama rekan sebaya maupun melalui dunia maya. Agresi sendiri adalah perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis (Baron & Byrne, 1994; Brehm & Kassin, 1993; Brigham, 1991). Banyak teori yang menjelaskan bagaimana sebuah agresivitas muncul, baik karena pengaruh biologis genetis (Davidoff, 1991), pengaruh lingkungan sosial (Dollard, 1939), maupun karena pengaruh dari proses pembelajaran (Davidoff, 1991). Selain itu ada juga yang mengasumsikan bahwa pengaruh budaya sangat mempengaruhi perilaku agresif, setidaknya muncul dalam stereotipe budaya (Whiting & Edward, dalam Segal dkk, 1999). Penguatan, imitasi, dan asumsi tentang motif orang lain semuanya berkombinasi menghasilkan skema agresi (Taylor dkk, 2009). Menurut Piaget dalam buku Life Span Development (2002) skema agresi adalah struktur kognitif yang membantu seseorang dalam mengorganisasi dan memahami pengalaman mereka. Dalam kasus agresi, orang mengembangkan keyakinan yang terorganisir tentang ketepatan tindak agresi, situasi dimana agresi mesti terjadi, dan cara agresi diekspresikan. Menurut Taylor dkk (2009) skema agresi akan berkembang menjadi tindak agresif, yang akan semakin besar bila ada faktor risiko lingkungan tertentu, seperti kekerasan keluarga atau kekerasan dalam masyarakat. Faktor lain yang menyumbang perkembangan dan pemeliharaan skema agresi adalah penggambaran kekerasan di media (Huesmann, Moise, & Podolski, 1997). Setelah skema agresi terbentuk, perilaku agresif dapat bertahan lama karena dirawat oleh skema agresi yang telah mapan ( Huesmann, 1997, 1998; Huesmann & Guerra, 1997). Skema agresi mungkin berinteraksi dengan beberapa faktor lain yang memfasilitasi agresi untuk meningkatkan kemungkinan perilaku agresif. Skema agresi juga mungkin bervariasi berdasarkan kultur (Bond, 2004). Beberapa kultur, misalnya, memiliki norma sosial yang menyatakan bahwa agresi adalah respons yang diperlukan jika ada ancaman terhadap kehormatan, sedangkan dalam kultur lain mungkin skema agresinya berbeda. Sehubungan dengan penjelasan dari Bond (2004), perkembangan dan penggunaan teknologi juga sudah menjadi kultur tidak lepas dari masyarakat khususnya remaja. Hal tersebut secara tidak langsung akan menghubungkan (memfasilitasi) agresivitas itu sendiri dengan perkembangan teknologi yang ada, seperti yang marak dilakukan remaja adalah bermain cyber games baik secara online maupun offline. Game online mulai banyak dimainkan pada tahun 2004 saat Counterstrike dan Ragnarok Online muncul. Walaupun demikian, kajian game online di Indonesia telah banyak berkembangan sejak kemunculan Nexian: The Kingdom of The Wind pada tahun 2001, seperti hubungan antara game online dan katarsis dunia virtual, adiksi remaja terhadap game online, pemilihan game ataupun mengenai motivasi dan tipikal kepribadian remaja yang memainkan game online. Game online juga mengalami perkembangan dari segi cara bermain dan konsep. Tidak hanya dapat dimainkan yang harus disajikan dengan ketersediaan internet, namun game online juga memungkinkan pemainnya untuk berinteraksi atau bermain bersamaan dengan menggunakan sistem server dan client server yang menyediakan ruang bagi gamers/client untuk berinteraksi dalam sebuah permainan. Sampai saat ini, game jenis MMORPG atau Massively Multiplayer Online Role Playing Game seperti Warcraft III (DotA merupakan salah satu game dari Warcraft III) dan Ragnarok online merupakan 2 game yang masih sangat ramai dimainkan dan menjadi game pilihan bagi para remaja dengan berbagai alasan dan motivasinya masing-masing. Berdasarkan data user dari Indogamers tahun 2013, salah satu server nasional yaitu Public Server mencatat 108.391 register user dan 13.410 user untuk server lokal Manado. Sedangkan tercatat empat server resmi di bawah LYTO online entertainment yang memiliki user lebih dari 10.000 di setiap servernya. Ragnarok berasal dari Korea Selatan yang dibuat berdasarkan cerita dan latar belakang dari komik komik Korea berjudul “Ragnarok” yang ditulis oleh Lee Myoung-Jin. Karena termasuk dalam jenis game MMORPG, Ragnarok merupakan game yang melibatkan sangat banyak pemain untuk main secara bersamaan (Irina, 2011). Ciri khas Ragnarok adalah dapat menjalankan misi-misi tertentu untuk mencari barang ataupun uang dimana kedua hal tersebut dapat diuangkan secara nyata sehingga game ini terkenal juga sebagai salah satu sarana perdagangan dengan prospek yang cukup besar. Dalam menjalankan misi, gamers dapat bekerja sama dalam sebuah tim ataupun membangun guild atau clan yang menjadi akar dari komunitas-komunitas baru antar gamers dalam skala yang besar. Salah satu keunikan game ini adalah memiliki sistem profesi karakter yang cukup besar dan terus berkembang dengan empat tingkatan “Job”, yang memiliki keunikan masingmasing seperti Swordman (Job 1) yang dapat memilih untuk menjadi tipe defender ataupun attacker (knight) saat naik ke Job level 2. Salah satu yang juga menjadi daya tarik game ini adalah War of Emperium (WOE) yang merupakan perang antar guild/clan dalam memperebutkan wilayah-wilayah yang tersebar di beberapa kota. Game ini sudah menjadi bagian dari Cyber Games yang secara resmi juga dikompetisikan di dunia. Berbeda dengan Ragnarok, Defense of the Ancient juga memiliki keunikan tersendiri yang membuat banyak remaja tertarik untuk memainkannya. Sebagai salah satu bagian dari Warcraft, DotA yang juga sudah dikembangkan oleh Valve menjadi DotA 2, memiliki genre sendiri yaitu MOBA (Multiplayer Online Battle Arena) yang dapat dimainkan sampai 10 pemain secara bersamaan dalam satu “ruang maya”. Para pemain DotA terbagi dalam dua tim yaitu The Sentinel dan The Scourge dalam DotA sedangkan The Radiant dan The Dire dalam DotA2. Kedua game (DotA dan DotA2) memiliki gameplay yang sama yaitu, saling bertempur antara kedua tim untuk menghancurkan wilayah musuh yang disebut Frozen Throne. Setiap gamers dapat mengendalikan satu karakter yang disebut Hero dengan berbagai kemampuan yang unik dan terdiri lebih dari 100 Hero dan dapat terus bertambah seiring perubahan yang dilakukan oleh desainer permainannya. Cyber games sama seperti halnya game yang lain, memiliki dua sisi ketika berbicara dampak yang memang ada dan muncul saat digunakan. Di satu sisi, games secara mengesankan dapat memvariasikan sebuah pola keterlibatan, konten, dan kemampuan untuk terus dimainkan berulang kali. Kedua, games bisa menjadi sumber dari ruang diskusi sosial dengan teman sebaya dan ketiga dapat menjadi alat untuk belajar (Holinger, 2011). Secara tidak langsung, games dapat meningkatkan konsentrasi pemainnya dan bahasa Inggris yang biasa dipakai dalam game dapat memperkaya perbendaharaan bahasa asing bagi pemainnya. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Holinger (2011), ditemukan bahwa anak atau remaja yang suka memainkan video games cenderung memiliki peningkatan pada daya akurasi berpikir (untuk anak yang suka bermain tipe permainan teka-teki), serta peningkatan kemampuan motorik seperti koordinasi tangan dan pikiran (untuk permainan petualangan). Menurut Tjandra (2013), mahasiswa Psikologi Universitas Tarumanegara yang juga merupakan ketua Guild GhostpeL di game Ragnarok, game dapat memberikan ruang baru baginya sebagai escapism from reality. Melalui game, pemain mendapatkan pengalaman yang berbeda dengan kehidupannya sehari-hari dan mungkin juga dapat memenuhi kebutuhan yang tidak terpenuhi di dunia nyata. Game dapat menjadi pelarian bagi pemainnya yang merasa tidak nyaman dengan lingkungannya sekarang. Gamers juga berasumsi bahwa mereka dapat membentuk identitas diri karena memiliki keleluasaan dalam memilih dan mengembangkan karakter/avatar. Testimoni dari Tjandra (gamers Ragnarok) dan Satria Permana (gamers DotA) menyebutkan bahwa dalam pemilihan karakter yang dilakukan bukan berdasarkan tokoh yang sesuai dengan mereka melainkan mereka memilih karakter yang mereka impikan di dunia nyata. Dampak terakhir menurut pendapat dari gamers adalah mereka merasa memiliki kekuasaan dalam menggerakan tokoh di dalam game (Tjandra & Permana, 2013). Menurut para pemain game, mereka merasa memiliki otoritas penuh dalam melakukan sesuatu, semisal menentukan siapa kawan, siapa lawan, siapa yang harus dibunuh dan siapa yang harus dibantu. Di sisi lain, game juga dapat menimbulkan beberapa gangguan sosial karena memainkan game online secara terus-menerus tentunya akan mengganggu aktivitas rutin yang dilakukan oleh setiap remaja (Anderson, Gentile, & Buckley, 2007). Periode remaja merupakan masa krisis antara identity dan identity confusion. Erikson (dalam Feist & Feist, 2006) melihat remaja sebagai periode latensi sosial, sama seperti sekolah sebagai waktunya latensi seksual, atau pengadaptasian filsafat hidup. Dengan kata lain, masa remaja merupakan fase adaptif perkembangan kepribadian, sebuah fase trial dan error. Berdasarkan sensus pemain dunia virtual di Amerika Serikat, internet game banyak diminati oleh remaja dan dewasa. Orang dewasa saat ini tidak seperti pada tahun 1980-an yang malu untuk bermain game (Williams, 2006). 40% dari total orang dewasa bermain game dibandingkan remaja yang memiliki proporsi 83% dari populasinya. Usia rata-rata pemain sekarang adalah 33 tahun, yang mendorong pendapatan industri game meningkat menjadi $7.4 milyar dalam penjualan di AS pada tahun 2006 (Entertainment Software Association, 2007). Saat ini, 67% remaja di Amerika Serikat bermain internet game secara online (Rideout, dkk, dalam Williams, Yee, & Caplan, 2008). Anak-anak dapat menghabiskan waktu dengan rata-rata 13 jam/minggu untuk anak laki-laki dan 5 jam/minggu untuk anak perempuan (Walsh dkk, dalam Anderson, 2003). Karena kurangnya kemampuan untuk mengendalikan antusiasme terhadap sesuatu yang dapat membangun minat mereka, seperti internet dan computer games, remaja dinilai lebih rentan melakukan penyimpangan dalam penggunaannya (Kusumadewi, 2009). Penyimpangan tersebut dapat mengarah kepada munculnya perilaku agresi dari setiap remaja, terutama yang memainkan violent game. Dalam penelitiannya Anderson dan Bushman (2001) menunjukkan bahwa bermain banyak video game kekerasan terkait dengan memiliki pikiran lebih agresif, perasaan, dan perilaku. Penelitian Gentile dan Anderson (2003), mengindikasikan ada kemungkinan bahwa video game kekerasan memiliki efek yang lebih kuat pada agresi anak karena (1) permainan yang sangat menarik dan interaktif, (2) game menghargai perilaku kekerasan, dan (3) anak mengulangi perilaku berulang saat mereka bermain. Perilaku agresif yang muncul, berkaitan dengan frekuensi dan intensitas bermain violent video game, dapat berupa agresi verbal, fisik, dan relasi (Anderson, Gentile, & Buckley, 2007). Agresi verbal yang dimaksud adalah yang melibatkan perkataan yang menyakitkan secara verbal seperti hinaan, atau kata-kata kotor akibat dari konten yang ada di dalam permainan (Anderson, Gentile, & Buckley, 2007). Agresi secara fisik atau kekerasan adalah jenis agresi yang paling banyak terjadi ketika melihat dampak dari games (Anderson, 2003), seperti tindak pemukulan, penjegalan, atau penembakan (Anderson, Gentile, & Buckley, 2007). Contohnya adalah seorang remaja berusia 18 tahun di Thailand berani merampok dan menembak super taksi pada Agustus 2008 karena terinspirasi oleh game Grand Theft Auto. Oleh karenanya, bermain game kekerasan juga berkaitan dengan anak menjadi kurang bersedia untuk peduli terhadap rekan-rekan mereka (Anderson, Gentile, & Buckley, 2007). Hal yang penting, penelitian telah menunjukkan bahwa efek yang terjadi untuk anak non-agresif sama banyak seperti yang mereka lakukan untuk anak-anak yang sudah memiliki kecenderungan agresif (Anderson & Gentile, 2004). Jenis terakhir yaitu, agresi secara relasi, dimana kerusakan yang diterima bersifat pada rusaknya hubungan antara relasi sosial, perasaan ditolak dari lingkungan, persahabatan atau penyeratan pada kelompok tertentu (Anderson, Gentile, & Buckley, 2007). Tindak agresi walaupun merupakan konsep yang sangat familiar tetapi tampaknya tidak mudah untuk mendefinisikannya. Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis (Baron & Byrne, 1994; Brehm & Kassin 1993; Brigham, 1991). Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Rasa sakit akibat tindakan medis misalnya, walaupun sengaja dilakukan bukan termasuk agresi. Sebaliknya, niat menyakiti orang lain tidak berhasil, tetap digolongkan sebagai perilaku agresi. Ketika perilaku agresi dipandang dari sisi niat, hal ini menjadi sesuatu yang mempunyai nilai subjektif. Artinya, unsur subjectif judgement yang didasarkan dari reaksi emosional menjadi sangat dominan, akan tetapi sulit kita tahu apakah perilaku agresi yang dilakukan itu merupakan sesuatu yang didasarkan atas niat atau tidak. Di dalam cyber games (DotA maupun Ragnarok) banyak perilaku agresi yang tidak ditujukan langsung pada penyebab agresi melainkan diarahkan secara tidak langsung. Hal ini disebut sebagai offense agression. Sebaliknya, perilaku yang berkaitan dengan niat adalah retaliatory agression yang merupakan respons dari provokasi tersebut. Hal lain yang masih berkaitan dengan niat adalah instrumental agression yaitu perilaku agresi yang digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain, misal “membunuh” korban (Myers dalam Sarwono, 2002). Menyadari hal tersebut, dalam beberapa game juga sudah memberikan peringatan otomatis yang akan muncul saat gamers sudah bermain lebih dari satu jam misalnya, Modoo Marble Indonesia yang memberikan keterangan bahwa game tersebut akan mengganggu kehidupan sosial jika memainkannya setelah satu jam. Melihat aspek lain yang menimbulkan masalah sosial seperti perilaku agresi, tentunya sudah tidak luput dari cyber games seperti DotA dan Ragnarok Online dimana juga kedua game tersebut mengandung unsur kekerasan. Ragnarok Online dibandingkan dengan game MMORPG yang terus di-release sampai saat ini terutama DotA, termasuk game yang bisa dibilang “kuno” secara teknologi dan grafis, namun hal tersebut tidak mempengaruhi gamers untuk memainkannya. Dibandingkan dengan DotA secara grafis tentunya Ragnarok jauh kualitasnya. Salah satu perbedaan mendasar dari kedua game diluar cara bermain dan fiturisasi adalah komunitas yang terbentuk dibalik kedua game tersebut. Gamers Ragnarok yang awalnya terbentuk dari guild di dalam dunia virtual cenderung memiliki ikatan yang cukup kuat sampai ke dunia nyata. Pemain game Ragnarok sering meluangkan waktu bersama dan bertemu dengan komunitasnya secara real. Dari hanya individuindividu dan kemudian berevolusi menjadi suatu komunitas yang besar dan berinteraksi juga sebagai media perdagangan. Cukup berbeda dengan pemain game DotA yang pada umumnya terbentuk dari rekan sejawat yang sudah saling mengenal dan bertujuan untuk mengasah kemampuan individu dan berkompetisi. Sistem kekerasan pada Ragnarok adalah saat proses hunting monster dimana para pemain membunuh untuk mencari barang ataupun uang dan saat sedang perang besar pemain menggunakan berbagai skill sesuai job untuk memperebutkan wilayah dan saat sedang melakukan PVP atau player versus player. Kondisi pemain saat PVP tentunya akan mengundang berbagai hal yang bisa menstimuli pemainnya sehingga dapat memunculkan tindak agresi tersendiri secara nyata saat mendapat respon. Berbeda dengan Ragnarok, DotA dimainkan dengan menggunakan karakter yang disebut hero bertujuan untuk membunuh hero lawan, berperang dan menghancurkan wilayah lawan demi mencapai kemenangan. Unsur kekerasan dalam game tersebut dipadukan dengan sifat untuk berkompetisi dan berbagai faktor lainnya saat memainkan game memungkinkan timbulnya masalah sosial seperti perilaku agresi. Hal yang dirasakan saat memainkan DotA tentunya akan berbeda dengan Ragnarok sehingga perilaku agresi yang muncul bisa juga berbeda. Kondisi lingkungan bermain menjadi salah satu contoh dimana pada umumnya DotA dimainkan secara masal dengan berbagai tekanan yang ada dan Ragnarok yang dimainkan dalam ruang lingkup yang lebih kecil pada keadaan nyata. Salah satu perbedaan karakter dari kedua game ini juga adalah intensitas bermain, yang tentunya Ragnarok memiliki jangka waktu yang jauh lebih panjang untuk terus dimainkan, mengalami pertemuan, dan battle secara terus menerus dengan lawan mainnya tanpa henti, yang tentunya akan terus memicu perilaku agresi dari gamers lebih lagi karena seringnya bertemu dan bertarung dengan pemain lainnya. Setiap pertarungan yang terjadi dalam jangka waktunya lebih banyak dan panjang tentunya selalu melibatkan interaksi antar pemainnya dalam game tersebut seperti komunikasi secara verbal yang kerap menyerang lawan mainnya sehingga dapat menjadi pemicu untuk muncul berbagai perilaku seperti perilaku agresi. Dibandingkan dengan DotA yang hanya bermain dalam satu match dalam jangka waktu 30 sampai 1 jam walaupun permainannya dapat diulang sesuka hati gamers setelah menyelesaikan satu match tentu akan menghasilkan suatu kondisi dan atmosfir yang berbeda saat bermain dan juga dapat mengindikasikan perilaku yang berbeda jika dibandingkan dengan Ragnarok. Berdasarkan latar belakangan mengenai agresivitas dari remaja yang merupakan gamers ini, peneliti ingin membandingkan tingkat agresivitas dari dua kelompok gamers yang dalam konteks ini memainkan game yang memiliki unsur kekerasan. Namun, berdasarkan asumsi peneliti yang juga melihat bahwa berdasarkan perbedaan masing-masing dan karakter dari setiap violent video games, akan memunculkan tingkat agresivitas yang berbeda dari setiap pemainnya. Kembali ke kajian awal dari kedua game tersebut, tentunya akan memunculkan dua kondisi yang berbeda karena adanya faktor-faktor khusus yang menentukan perilaku dari para pemain/gamers. Kondisi dari kedua jenis game yang berada dalam ranah violent video games tentunya akan mengindikasikan perilaku agresi dari pemain masing-masing game. Namun, kecenderungan tingginya perilaku agresi yang dimunculkan oleh gamers dalam kehidupan sehari-hari, situasi dan kondisi saat memainkan DotA dan Ragnarok dapat mengindikasikan perilaku agresi yang berbeda. Tingginya tingkat agresivitas dapat dibedakan dari karakteristik masingmasing game dimana tentunya berbeda. Misalnya respon gamers yang muncul setiap kali bertarung dengan monster di Ragnarok dan saat berhadapan langsung player versus player (PVP) dan dalam kondisi turnamen resmi yang biasa dihelat dalam World Cyber Games saat pertandingan DotA dapat memicu perilaku agresi yang berbeda-beda. Kondisi-kondisi tertentu seperti gaya bermain dan tekanan yang dirasakan saat memainkan kedua game yang sangat berbeda tentunya akan mengindikasikan perilaku agresi yang berbeda juga seperti salah satu ketentuan bermain dari DotA yang harus dan sama sekali tidak boleh meninggalkan permainan sampai pertandingan benar-benar berakhir (match). Pemain DotA harus menyelesaikan match yang dijalaninya walaupun dalam kondisi yang sangat tertekan. Tentunya keadaan itu akan memicu adrenalin yang berbeda di banding Ragnarok yang walaupun intensitas bermainnya lebih lama namun tidak memaksa pemainnya untuk bermain berada di bawah tekanan. Saat memainkan kedua game tentunya akan membuat suatu kondisi berbeda yang selalu akan berunjuk pada munculnya perilaku agresi pada gamers-nya setelah memainkan game tersebut dalam waktu yang cukup lama. Berdasarkan asumsi tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat agresivitas pada remaja yang bermain DotA dan Ragnarok Online. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah, yaitu: Adakah perbedaan tingkat agresivitas pada remaja yang bermain DotA dengan remaja yang bermain Ragnarok Online? 1.3 Tujuan Penelitian Dilihat dari rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat agresivitas yang muncul dari remaja yang memainkan cyber games Defense of the Ancient (DotA) dan Ragnarok Online.