4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Budi Daya Udang di Indonesia Pasokan ikan dunia pada saat ini sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di perairan laut. Namun demikian, pemanfaatan sumber daya tersebut di sejumlah negara dan perairan internasional saat ini dilaporkan telah berlebih. Pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut di sebagian negara diperkirakan tidak dapat di tingkatkan lagi. Kecendrungan ini juga terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia. Oleh sebab itu, alternatif pasokan hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budi daya. Salah satu budi daya yang paling berkembang adalah tambak udang yang biasanya berada pada daerah air payau yang berlokasi di daerah pesisir. Secara umum biasanya tambak udang dikaitkan dengan pemeliharaan udang Windu, walaupun sebenarnya masih banyak spesies yang dapat dibudidayakan di tambak. Tetapi tambak lebih dominan digunakan untuk budi daya udang Windu yang merupakan salah satu produk andalan Indonesia. Produk udang yang dipasarkan berupa udang beku dan udang olahan. Produk tersebut tidak hanya dipasarkan dalam negeri saja tetapi sudah mampu bersaing secara internasional. Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009) ekspor udang merupakan masukan devisa tertinggi bagi negara Indonesia dari sektor perikanan. Sekitar tahun 1990-an pengusaha dan petani udang Indonesia sering mengalami permasalahan mengenai kualitas udang. Permasalahan tersebut sangat kompleks mulai dari berkembangnya penyakit udang, turunnya kualitas tambak akibat senyawa toksik seperti ammonia, nitrat dan nitrit dari sisa pakan di perairan, ataupun akibat tercemarnya air dengan bakteri-bakteri patogen oportunistik yang menyebabkan Universitas Sumatera Utara 5 tingginya tingkat kontaminan pada produk. Penurunan kualitas udang tersebut menyebabkan terjadi penolakan terhadap udang asal Indonesia (Slamet, 2000). 2.2 Faktor Penyebab Penahanan dan Penolakan Produk Udang Seiring dengan semakin meningkatnya transaksi bahan pangan, kemungkinan semakin sering ditemukannya penyakit akibat bahan pangan yang tercemar oleh bakteri dan senyawa kimia yang berbahaya. Adanya cemaran bakteri dan senyawa kimia memunculkan pemikiran untuk memproteksi produk-produk yang masuk ke suatu kawasan tertentu. Negara-negara importir produk perikanan menetapkan standar yang ketat bagi produk yang dipasarkan di negara mereka. Ada mekanisme untuk menolak bahkan memusnahkan produk-produk yang tidak sesuai dengan standar. Poin penting yang tertera dari masing-masing regulasi teknis adalah bagaimana eksportir membuktikan bahwa produk yang dipasarkan telah memenuhi persyaratan standar yang dibutuhkan. Biasanya masing-masing negara mengembangkan prosedur monitoring, pengujian maupun pemeriksaaan yang dapat menjamin bahwa produk sesuai standar yang diinginkan (Rinto, 2010). FDA telah menetapkan kategori penyebab penolakan terhadap komoditi impor ke Amerika Serikat. Beberapa diantaranya ialah adanya bakteri patogen maupun toksin yang dihasilkan, adanya bahan asing yang seharusnya tidak terdapat pada produk dan penggunaan bahan kimia yang dilarang atau melebihi batas maksimum seperti antibiotik. Penggunaan antibiotik dapat membawa dampak serius karena masalah residu bahan antibiotik pada udang mengakibatkan timbulnya resistensi bakteri terhadap antibiotik (Muliani et al., 2003). Sejak tahun 2004, pemerintah Jepang mengikuti jejak Uni Eropa dengan menerapkan zero tolerance terhadap residu kloramfenikol dan nitrofuran pada impor udang. Akibatnya, beberapa kontainer udang yang diekspor dari Indonesia, ditahan atau ditolak di pelabuhan masuk karena dicurigai mengandung antibiotik tersebut (Prasojo, 2003). Pencemaran bahan organik di tambak merangsang timbulnya penyakit udang yang disebabkan bakteri patogen dan virus. Salah satu sumber pencemar organik pada Universitas Sumatera Utara 6 tambak adalah pakan. Dalam ekosistem tambak, tidak semua pakan yang diberikan dapat dimakan oleh udang. Sebagian sisa pakan akan tersuspensi di dalam air dan sebagian besar lainnya akan mengendap di dasar tambak. Penguraian bahan organik sisa pakan tersebut akan memerlukan oksigen. Dengan demikian penambahan bahan organik secara langsung akan meningkatkan penggunaan oksigen di lingkungan tambak. Kondisi ini akan terus berjalan sampai titik kritis yang akan menghasilkan ammonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) yang mendukung bakteri patogen berkembang (Isdarmawan, 2005). Kehadiran bakteri patogen ke tambak disebabkan pencemaran air dari berbagai limbah seperti limbah pabrik dan limbah domestik. Beberapa jenis bakteri yang sering dijumpai karena pencemaran limbah ialah E. coli, Salmonella sp. S. aureus dan Vibrio yang merupakan bakteri patogen oportunistik (Harish et al., 2003). 2.3 Bakteri Patogen Oportunistik pada Tambak Udang Bakteri patogen oportunistik merupakan bakteri yang secara alami bukan penghuni perairan tambak udang tapi masuk ke tambak udang melalui air yang tercemar. Kehadiran bakteri patogen oportunistik pada produk akuakultur seperti ikan, kepiting, dan udang sangat berbahaya karena produk tersebut dapat terlibat secara aktif dan pasif dalam menularkan penyakit terhadap manusia. Harish et al., (2003) melaporkan telah mengisolasi Vibrio sp., S. aureus, E. coli, dan Salmonella sp. sebagai patogen oportunistik dari lokasi pembudidayaan udang di India. A. Vibrio sp. Vibrio merupakan Gram-negatif berbentuk batang-koma (curve-rod) dengan satu flagel polar. Bakteri ini dapat bertahan di lingkungan laut dan darat setara berkoloni dalam saluran pencernaan, khususnya usus halus. Vibrosis merupakan penyakit udang utama di tambak akibat Vibrio harveyi. Bakteri berpendar V. harveyi merupakan penyakit utama kematian massal udang di tambak pada tahap larva (Muliani et al., 2003). Universitas Sumatera Utara 7 B. Salmonella sp. Salmonella sp. merupakan bakteri patogen yang sangat berbahaya, tergolong bakteri gastroenteristis yang menyebabkan demam enterik. Di dalam bahan makanan, Salmonella sp. tidak diijinkan keberadaanya (negatif). Hal ini disebabkan oleh bahaya yang ditimbulkan oleh adanya Salmonella sp.. Keberadaan Salmonella sp. menunjukan adanya kontaminasi selama proses produksi dan kurang baiknya sistem sanitasi pada proses produksi komoditi perikanan. Adanya Salmonella sp. pada bahan pangan tidak menyebabkan perubahan warna maupun rasa, sehingga tidak terdeteksi secara visual dengan panca indra (Rinto, 2010). C. E. coli E. coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang tidak berkapsul. Bakteri ini umumnya terdapat dalam alat pencernaan manusia dan hewan. E. coli mudah menyebar dengan cara mencemari air dan mengkontaminasi bahan-bahan yang bersentuhan dengannya. Kontaminasi bakteri E. coli pada makanan dan alat-alat pengolahan merupakan merupakan suatu indikasi bahwa praktek sanitasi dalam suatu industri kurang baik. Penanganan makanan secara higienis dan pemasakan dengan benar dapat mencegah infeksi E. coli (Anshari et al., 2007). D. Staphylococcus sp. Staphylococcus sp. termasuk bakteri Gram positif dengan ciri-ciri morfologi tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tidak motil, sebagian bersifat patogen. Bakteri ini sangat dikhawatirkan bila mengkontaminasi makanan karena dapat menghasilkan toksin yaitu enterotoksin. Dosis toksin/racun kurang dari 1.0 mikrogram dalam makanan yang terkontaminasi dapat menimbulkan gejala keracunan staphylococcal. Tingkat racun ini dicapai apabila populasi S. aureus lebih dari 100.000 per gram. Staphyloenterotoxicosis penyakit yang disebabkan oleh enterotoksin. Gejala penyakit ini biasanya terjadi segera setelah infeksi, dan dalam banyak kasus bersifat akut, tergantung pada kerentanan korban terhadap racun, jumlah makanan terkontaminasi yang ditelan, dan kondisi kesehatan korban secara umum (Slamet, 2000). Universitas Sumatera Utara 8 2.4 Sel Biofilm Bakteri Biofilm merupakan sekumpulan bakteri beserta produk ekstraselular yang dihasilkannya dan melekat pada substrat biologi seperti sel, jaringan dan matriks polimer maupun substrat nonbiologi termasuk batu, kayu. Akibat pembentukan biofilm dapat merugikan organisme, diantaranya terakumilasinya sel biofilm bakteri pada saluran pencernaan organisme tersebut (Palmer & White, 1999). Pembentukan biofilm merupakan proses dinamis yang memerlukan beberapa tahapan (Characklis & Marshal,1990). Biofilm terbentuk karena sel bakteri menempel pada beberapa tipe permukaan padat. Berawal dari perkembangan tahap demi tahap sehingga bakteri membentuk mikrokoloni. Mikrokoloni merupakan kelompok kecil yang pada akhirnya membentuk biofilm yang bentuknya berlapis-lapis hingga dapat diamati dengan mata telanjang. Dalam lingkungan alami, biofilm biasanya mengandung populasi campuran bakteri dan terjadi interaksi metabolik antar galur melalui hubungan mutualistik atau komensalistik (Dunne, 2002, O’Toole, 2003). Adanya perubahan kompleksitas dan fluktuasi konsentrasi senyawa pencemar toksik dapat mengubah distribusi dan keanekaragaman spesies penyusun biofilm, dan mempengaruhi aktivitasnya (Cowan et al., 2000). Keuntungan galur bakteri penyusun komunitas dalam biofilm tersebut antara lain mendapat perlindungan dari berbagai parameter lingkungan yang tidak sesuai serta terjaminnya ketersediaan nutrien dan kerjasama metabolik (Borriello et al., 2004). Kemampuan biofilm untuk tetap hidup dalam kondisi yang tidak sesuai menyebabkan masalah besar bila biofilm ini terbentuk dari jenis-jenis bakteri yang bersifat patogen oportunistik. Kehadiran biofilm menyebabkan masalah yang potensial terhadap berbagai industri, salah satunya adalah industri makanan. Kekhawatiran terjadi bila bakteri patogen melekat pada alat pengolahan makanan. Kalau biofilm tidak dibersihkan, organisme yang melekat dalam perkembangannya dapat terlepas dari permukaan dan mengkontaminasi produk sebelum produksi (Frank & Koffi, 1990). Masalah yang ditimbulkan oleh adanya kontaminasi ini adalah terjadinya pembusukan makanan Universitas Sumatera Utara 9 yang akan memperpendek masa simpan (shelf-life) maupun penyebaran penyakit melalui makanan (foodborne desease) (Dunsmore, 1981, Chavalier et al., 1988). Banyaknya masalah yang ditimbulkan biofilm pada alat pengolahan makanan menyebabkan perlunya suatu cara atau pengendalian khusus pada sel biofilm. Biasanya pengendalian biofilm dilakukan seperti halnya proses sanitasi dengan cara penambahan zat kimia atau dengan pemanasan. Sanitasi kimia dilakukan dengan menggunakan desinfektan. Tujuan penggunaan desinfektan ialah untuk mereduksi jumlah mikroorganisme patogen pada proses pengolahan pangan. Menurut Yunus (2000) desinfektan yang sesuai untuk stainless steel adalah klorin. 2.4.1 Pengendalian Sel Biofilm dengan Klorin Sanitasi makanan merupakan kegiatan aseptik dalam persiapan, pengolahan dan penyajian makanan, pembersihan peralatan, sanitasi lingkungan kerja. Meskipun proses pembersihan telah dilakukan, belum ada jaminan bahwa cemaran mikrobiologis, terutama bakteri telah dapat dihilangkan. Oleh karena itu proses pembersihan harus diikuti dengan desinfeksi peralatan yang dipakai. Untuk mengatasi bakteri tersebut pemilihan klorin sebagai bahan desinfektan merupakan alternatif yang cukup efektif dan mudah penanganannya. Klorin biasanya ditemukan dalam kaporit (Rahmat, 2004). Kaporit [Ca(OCl)2] merupakan persenyawaan yang banyak digunakan baik untuk keperluan rumah tangga maupun industri. Senyawa-senyawa tersebut tersedia sebagai bubuk atau larutan cair pada beberapa konsentrasi, bergantung kepada penggunaan yang dianjurkan. Produk yang mengandung 5-70 % Ca(OCl)2 digunakan sebagai sanitasi peralatan pengolahan susu dan alat sanitasi pengolahan pangan (Pelczar & Chan, 2008). Klorinasi merupakan metode yang banyak digunakan, karena klor efektif sebagai desinfektan dan harganya terjangkau (Sururi et al., 2008). Klorinasi bertujuan untuk mengurangi dan membunuh mikroorganisme patogen yang ada di dalam air Universitas Sumatera Utara 10 limbah. Sumber klor yang biasa digunakan adalah kaporit [Ca(OCl)2]. Kaporit dapat membunuh mikroorganisme patogen, seperti E. coli, Legionella, Pneumophilia, Streptococcus, Fecalis, Bacillus, Clostridium, Amoeba, Giardia, Cryptosporidium, dan Pseudomonas (Rosyidi, 2010). 2.4.2 Pengendalian Sel Biofilm dengan Panas Selain menggunakan bahan kimia seperti klorin pengontrolan dapat juga dilakukan dengan metode fisika yaitu memanfaatkan suhu yang tinggi atau pemanasan. Sanitasi dengan menggunakan air panas lebih menguntungkan karena air panas mudah tersedia dan tidak beracun. Peralatan kecil seperti pisau, serta bagian –bagian alat pengolahan pangan dapat direndam dalam air yang dipanaskan hingga suhu 80 0C (Yunus, 2000). Tinggi rendahnya suhu mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Bakteri dapat tumbuh dalam rentang suhu minus 50 0C sampai 80 0C, tetapi bagaimanapun juga setiap spesies mempunyai rentang suhu yang pendek yang ditentukan oleh sensitifitas sistem enzimnya terhadap panas. Aktivitas panas sering dijadikan sebagai sanitasi suatu peralatan kesehatan dan peralatan proses penanganan makanan. Dari hasil penelitian (Trisnawati, 2010) jumlah bakteri sebelum perlakuan sanitizer air panas berkisar antara 120 – 280 CFU/cm2. Sesudah perlakuan hasil pemeriksaan angka total bakteri berkisar antara 80 – 100 CFU/cm2. Hasil analisis menunjukkan bahwa proses sanitasi memberikan pengaruh p terhadpenurunan angka total bakteri. Universitas Sumatera Utara