Templat tugas akhir S1

advertisement
PERAN ASUPAN SUKROSA TINGGI TERHADAP KADAR
SGPT DAN SGOT TIKUS GALUR WISTAR SEBAGAI
INDIKATOR FUNGSI HATI
PAWITRA LINTANG ANDAYANI
DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran Asupan Sukrosa
Tinggi Terhadap Kadar SGPT dan SGOT Tikus Galur Wistar Sebagai Indikator
Fungsi Hati adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Pawitra Lintang Andayani
NIM B04100158
ABSTRAK
PAWITRA LINTANG ANDAYANI. Peran Asupan Sukrosa Tinggi Terhadap
Kadar SGPT dan SGOT Tikus Galur Wistar Sebagai Indikator Fungsi Hati.
Dibimbing oleh KOEKOEH SANTOSO dan ATIN SUPIYANI.
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan hubungan antara pemberian
sukrosa sebagai pakan tambahan dengan berbagai variasi dosis pemberian
terhadap kadar SGPT dan SGOT pada tikus Wistar. Kadar SGPT dan SGOT
dalam serum darah dijadikan indikator untuk mengetahui fungsi hati. Dua belas
ekor tikus jantan galur Wistar berusia tiga bulan dikelompokkan berdasarkan
dosis pemberian (20%, 40%, 60% total energi pakan yang diberikan, serta
kelompok kontrol). Sukrosa diberikan secara per oral sehari sekali selama 70 hari
dengan dosis yang sudah ditentukan dengan cara pencekokan. Analisa dan
penghitungan kadar SGPT dan SGOT dilakukan menggunakan spektofotometer.
Hasil penelitian menunjukan bahwa asupan sukrosa meningkatkan secara nyata
konsentrasi SGPT dan SGOT dalam serum darah.
Kata kunci: hati, SGOT, SGPT, sukrosa, tikus Wistar
ABSTRACT
PAWITRA LINTANG ANDAYANI. Role of High Sucrose Intake to SGPT and
SGOT Concentration in Wistar Rats As Indicator of Liver Function. Supervised
by KOEKOEH SANTOSO dan ATIN SUPIYANI.
The aim of the study was to determine the correlation between sucrose
intake at various administration doses to SGPT and SGOT level in Wistar rats.
SGPT and SGOT level in blood serum were used as parameter of liver function.
Twelve rats were grouped according to administration doses (20%, 40%, 60% of
given feed total energy and control group). Sucrose was administered orally once
a day for 70 days at given doses by force feeding. SGPT dan SGOT level were
analyzed and measured by spectrophotometer. The result indicated that sucrose
intake caused a significant increase of SGPT and SGOT level in blood serum.
Keywords: liver, SGOT, SGPT, sucrose, Wistar rats
PERAN ASUPAN SUKROSA TINGGI TERHADAP KADAR
SGPT DAN SGOT TIKUS PUTIH GALUR WISTAR SEBAGAI
INDIKATOR FUNGSI HATI
PAWITRA LINTANG ANDAYANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi
DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh Koekoeh Santoso, MS
selaku pembimbing pertama dan Ibu Drh Atin Supiyani, M.Si dari Universitas
Negeri Jakarta selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan tugas
akhir ini. Atas bantuan dan bimbingannya juga saya sampaikan terima kasih
kepada Ibu Ida dan Ibu Sri yang selalu siap memberi arahan dan bantuan dalam
setiap kegiatan laboratorium. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
keluarga tercinta (Ibu, Bapak, Mbak Gayatri, Mbak Sita, Demon, serta seluruh
keluarga besar) yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tiada hentinya.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Arja, Ita, dan Yanuar sebagai teman
satu penelitian yang bersama-sama melakukan penelitian ini dan terus memberi
semangat dan dorongan. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Tasha,
Talita, Mariska, dan Nadia atas semangat, dukungan, dan hiburan yang diberikan,
serta kepada seluruh teman-teman Acromion 47 yang telah berjuang bersama.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca dan semua
pihak yang berkepentingan.
Bogor, September 2015
Pawitra Lintang Andayani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
METODE
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
SIMPULAN DAN SARAN
11
Simpulan
11
Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
11
RIWAYAT HIDUP
14
DAFTAR TABEL
1
2
3
Bobot hati tikus pada berbagai variasi dosis pemberian sukrosa
Rata-rata konsentrasi SGPT tikus pada berbagai variasi dosis pemberian
sukrosa
Rata-rata konsentrasi SGOT tikus pada berbagai variasi dosis pemberian
sukrosa
6
7
8
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
Struktur molekul sukrosa
Metabolisme sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa
Konsentrasi SGPT serum darah terhadap dosis sukrosa
Kurva regresi linier antara dosis pemberian sukrosa dengan
konsentrasi SGPT serum darah
Konsentrasi SGOT serum darah terhadap dosis sukrosa
Kurva regresi linier antara dosis pemberian sukrosa dengan
konsentrasi SGOT serum darah
2
4
7
8
9
9
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Makanan merupakan hal penting bagi kehidupan suatu makhluk hidup
karena makanan adalah kebutuhan pokok bagi makhluk hidup. Makanan tidak
hanya berfungsi sebagai sumber energi bagi tubuh, namun juga membantu proses
pertumbuhan atau perkembangan, mengganti jaringan tubuh yang rusak, mengatur
metabolisme dan berbagai keseimbangan air, mineral, dan cairan tubuh lain, juga
berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit
(Notoatmodjo 2003).
Semakin berkembangnya masyarakat turut mengubah tren dan pola makan
masyarakat. Perubahan pola makan masyarakat kepada fast food, makanan dan
minuman dengan kadar gula tinggi, kini semakin wajar terjadi di semua lapisan
masyarakat. Hal ini menjadi salah satu faktor utama penyebab timbulnya penyakit
degeneratif dan metabolis, yang telah menggeser posisi penyakit infeksi sebagai
penyakit dengan kejadian tertinggi di dunia. Penyakit-penyakit degeneratif
tersebut antara lain adalah penyakit kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah)
termasuk hipertensi, diabetes melitus, dan kanker (Brunner dan Suddarth 2002).
Sukrosa dan fruktosa telah banyak dijadikan bahan penelitian untuk dilihat
dampak yang akan terjadi pada hati apabila terus-menerus dikonsumsi. Konsumsi
fruktosa dan sukrosa yang tinggi dapat meningkatkan kejadian obesitas dan
diabetes, penyakit metabolis, dan penyakit kardiovaskular (Rippe dan
Angelopoulos 2013). Asupan pakan yang mengandung sukrosa tinggi pada
rodensia akan menyebabkan perkembangan yang mengarah ke obesitas, resistensi
insulin, diabetes, dislipidemia, hati yang berlemak, dan tekanan darah tinggi
(Bizeau dan Pangliassotti 2005), sedangkan pada manusia dapat mengarahkan
kepada kondisi dislipidemia dan penyakit jantung koroner.
Hati sebagai tempat metabolisme berbagai senyawa yang masuk ke dalam
tubuh menjadi organ tubuh yang paling rentan terhadap pengaruh berbagai zat
atau senyawa kimia. Indikator kerusakan hati salah satunya dilihat melalui
peningkatan enzim-enzim hati seperti Serum Glutamic Pyruvic Transaminase
(SGPT) dan Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) (Panjaitan et al.
2007). Peningkatan kedua kadar enzim ini terjadi bila ada pelepasan enzim secara
intraseluler ke dalam darah yang disebabkan nekrosis sel-sel hati atau adanya
kerusakan hati secara akut (Wallace 1989).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian sukrosa dalam
berbagai variasi dosis terhadap fungsi hati dengan menggunakan kadar SGPT dan
SGOT pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar sebagai indikator.
2
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai dampak
asupan sukrosa yang tinggi terhadap fungsi hati melalui pengamatan kadar SGPT
dan SGOT dalam serum darah.
TINJAUAN PUSTAKA
Sukrosa
Sukrosa, atau yang umum disebut gula, merupakan disakarida dengan
rumus kimia C12H22O11 (ß-D-fructofuranosyl-α-D-glucopyranoside) yang
mempunyai berat molekul 342.3 kDa (Fessenden dan Fessenden 1986). Sukrosa
merupakan salah satu disakarida yang ditemukan dalam bentuk bebas (tidak
berikatan dengan senyawa lain) di dalam tanaman. Sukrosa umumnya diperoleh
dari tanaman tebu (Saccharum officinarum) yang merupakan tanaman daerah
tropis, serta tanaman bit (Beta vulgaris). Sukrosa menjadi pemanis yang umum
digunakan dalam industri pangan. Sukrosa tersusun dari dua molekul
monosakarida yaitu satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa dihubungkan
oleh ikatan glikosida (Rahman et al. 2004). Hidrolisis sukrosa menjadi glukosa
dan fruktosa terjadi dalam usus halus oleh enzim sukrase atau invertase (Poedjiadi
dan Supriyanti 2005). Konsumsi sukrosa tinggi akan menyebabkan peningkatan
glukosa darah secara cepat dan drastis. Sehingga dibutuhkan respon cepat pula
oleh tubuh untuk mengembalikan konsentrasi glukosa darah menjadi normal.
Dalam hal tersebut dibutuhkan pelepasan insulin dalam jumlah besar (Linder
2010).
Sukrosa atau gula berfungsi untuk memberikan rasa manis dan kelembutan
yang mempunyai daya larut tinggi, mempunyai kemampuan menurunkan aktivitas
air (aw) dan mengikat air (Hidayat dan Ikariztiana 2004). Gula akan mengalami
karamelisasi apabila dipanaskan, serta sering mengalami kristalisasi. Pada suhu
20oC hanya 66.7 % sukrosa murni yang dapat larut. Bila larutan sukrosa 80%
dimasak hingga 109.6oC dan kemudian didinginkan hingga 20oC, 66.7% sukrosa
akan terlarut, dan 13.3% akan terdispersi. Bagian terdispersi inilah yang akan
menyebabkan kristalisasi pada hasil pemanasan sukrosa.
Gambar 1 Struktur molekul sukrosa (NCIB 2004)
3
Metabolisme Energi di Hati
Hati merupakan organ terbesar dalam sistem pencernaan. Hati memiliki
peran sangat penting dan kompleks dalam metabolisme energi tubuh. Fungsi hati
dalam hal metabolisme energi meliputi metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein (Raff dan Levitzy 2011). Pada proses metabolisme karbohidrat, bila
senyawa yang ditemukan dalam tubuh berupa sukrosa, laktosa, dan maltosa maka
senyawa tersebut akan dipecah menjadi senyawa monosakarida. Monosakarida
yang dibentuk dapat berupa glukosa, galaktosa, atau fruktosa. Namun bentuk
karbohidrat yang paling penting bagi tubuh adalah glukosa karena semua jenis
karbohidrat (monosakarida, disakarida, dan polisakarida) pada akhirnya akan
diubah menjadi glukosa sebelum digunakan oleh tubuh. Molekul glukosa akan
mengalami proses metabolisme yang disebut glikolisis untuk dapat menghasilkan
energi (Vander et al. 2011). Proses glikolisis dapat terjadi melalui proses
anaerobik dan proses aerobik. Proses metabolisme secara anaerobik akan
berlangsung dalam sitoplasma sel, sedangkan proses metabolisme secara aerobik
akan berjalan menggunakan enzim sebagai katalis di dalam mitokondria.
Proses glikolisis atau proses metabolisme glukosa menjadi energi
berlangsung dibantu oleh kerja sepuluh jenis enzim yang berfungsi sebagai katalis
dalam sitoplasma sel. Inti dari proses glikolisis adalah pemecahan glukosa 6karbon menjadi dua molekul piruvat 3-karbon. Proses glikolisis akan
menghasilkan molekul ATP dan molekul NADH. Molekul ATP yang terbentuk
ini yang akan menjadi sumber energi bagi sel. Dalam kondisi aerobik hasil akhir
proses glikolisis, yaitu piruvat, akan teroksidasi menjadi produk akhir berupa H2O
dan CO2 pada tahapan yang disebut respirasi seluler. Proses respirasi seluler ini
dibagi menjadi tiga tahap yaitu produksi asetil koenzim-A, siklus asam sitrat, dan
rantai transport elektron.
Glukosa dan monosakarida lain yang telah dipecah dari berbagai macam
bentuk karbohidrat akan berpindah dari membran sel epitel usus halus menuju
darah. Apabila kadar glukosa dalam darah tinggi maka hati akan menjalankan
fungsinya sebagai buffer glukosa darah (Guyton dan Hall 2008), yaitu mengubah
sebagian glukosa menjadi glikogen dan disimpan di hati atau otot melalui proses
glikogenesis. Bila kadar glukosa dalam tubuh masih tinggi maka akan diubah
menjadi lemak oleh jaringan adiposa. Sebaliknya apabila kadar glukosa dalam
darah dianggap rendah, maka hati akan menjalankan proses glikogenolisis yaitu
pemecahan senyawa glikogen menjadi glukosa (Raff dan Levitzy 2011). Fruktosa
yang masuk ke dalam tubuh hampir semua akan dikonversi oleh hati menjadi
produk antara dalam lintasan glikolisis berupa piruvat atau α-gliserofosfat.
Sehingga apabila fruktosa memasuki organ hati bersama dengan glukosa, maka
akan menjadi sumber karbon secara langsung untuk pembentukan asam lemak dan
trigliserida (Linder 2010).
4
Gambar 2 Metabolisme sukrosa menjadi fruktosa
dan glukosa (Keurentjes et al. 2008)
Serum Glutamat Piruvat Transaminase (SGPT)
SGPT dan SGOT merupakan enzim transaminase yang sering dijadikan
indikator kerusakan sel hati, sehingga sering dianggap sebagai parameter fungsi
hati (Husadha 1999). Serum glutamic piruvat transaminase (SGPT) atau alanine
aminotransferase (ALT) merupakan indikator yang lebih peka dibandingkan
SGOT karena hanya terdapat di hepatosit dan memiliki konsentrasi rendah pada
jaringan lain. SGPT berfungsi sebagai katalisator pemindahan satu gugus amino
dari alanin dan α-ketoglutarat. Kadar SPGT meningkat pada kasus kerusakan hati
akibat penggunaan obat atau zat kimia. Kadar SGPT dalam darah paling tinggi
ditemukan pada kasus dengan nekrosis yang meluas, sedangkan pada peningkatan
yang rendah dikaitkan dengan penyakit hati kronik difus atau lokal (Podolsky dan
Isselbacher 2002). Kadar SGPT yang mendadak turun dapat mengindikasikan
kerusakan yang parah sehingga sumber enzim yang tersisa habis.
Serum Glutamat Oksaloasetat Transminase (SGOT)
Serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) atau sering pula disebut
aspartate aminotransferase (AST) merupakan enzim di dalam mitokondria sel
parenkim hati, yang banyak ditemukan pula pada otot, jantung, ginjal, dan otak
(Widmann 1989). Sama seperti SGPT, bila jaringan dimana enzim ini berada
mengalami kerusakan, maka akan menyebabkan keluarnya enzim ini dari sel
menuju intraseluler, hingga ke dalam sirkulasi darah. SGOT meningkat lebih khas
pada kasus sirosis, kanker hati, dan hepatitis kronis (Willard dan Tvedten 2012).
Kadar SGPT dan SGOT meningkat pada hampir semua penyakit hati (Ganai et al.
2014).
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Februari 2014.
Penelitian dilaksanakan di kandang Unit Pengelola Hewan Laboratorium dan
Laboratorium Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
5
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus
berpenutup kawat kasa, timbangan analitik, sentrifuge Heraeus 400R,
spektrofotometer Hitachi U-2001, syringe 24 G, spoit 3 mL, kuvet, sonde
lambung, tabung reaksi, mikropipet, tabung eppendorf, alas bedah tikus, peralatan
bedah, freezer Sanyo MDF-192, test tube rotator, dan tisu. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pakan tikus berupa pellet, larutan sukrosa,
larutan eter, GOT dan GPT IFFC mod. liquiUV Humazym Test Kit (Human),
hewan coba yang digunakan adalah 12 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) galur
Wistar jantan berumur tiga bulan.
Hewan Coba
Hewan yang digunakan dalam penelitian adalah tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Wistar jantan berumur tiga bulan dengan bobot badan 200-250
gram. Tikus dipelihara di kandang Unit Pengelola Hewan Laboratorium, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pemeliharaan dilakukan
menggunakan kandang plastik berukuran 30 x 40 cm, dengan tutup terbuat dari
kawat ram dan dialasi serbuk kayu. Tikus diberi pakan pellet standar dan minum
ad libitum. Lingkungan kandang dibuat tidak lembap dengan sirkulasi udara yang
baik, serta penyinaran yang cukup terang (±14 jam) dan gelap selama ±10 jam.
Prosedur Penelitian
Tikus sebanyak 12 ekor dibagi dalam empat kelompok yaitu kelompok
kontrol, kelompok sukrosa 20%, kelompok sukrosa 40%, serta kelompok sukrosa
60%. Presentase sukrosa dihitung dari total energi pakan harian yang diberikan.
Total energi pakan ditentukan setelah dilakukan observasi terhadap pola konsumsi
pakan tikus pada periode pra penelitian. Setelah dilakukannya observasi, didapat
bahwa jumlah konsumsi pakan adalah 15.6 g/ekor/hari. Setelah dikalikan dengan
nilai energi pakan (4 kkal/g), didapat bahwa total energi pakan harian adalah
62.56 kkal/ekor/hari. Sukrosa dicekok sebanyak sekali sehari, sementara
kelompok kontrol dicekok dengan air mineral. Pencekokan dilakukan selama 70
hari.
Pengambilan data yang dilakukan berupa pengukuran bobot organ hati dan
pengambilan serum darah untuk pengukuran kadar SGPT dan SGOT. Laparotomi
dilakukan untuk pengambilan darah secara intrakardial. Sebelum dilakukan
pembedahan dilakukan pembiusan secara perinhalasi menggunakan eter yang
dilanjutkan dengan dislokasi servikal. Sampel darah selanjutnya disentrifugasi
dengan kecepatan 2500 rpm selama 25 menit untuk didapatkan serum darah.
Setelah pengambilan darah, dilakukan pengambilan organ hati. Organ hati
ditimbang menggunakan timbangan analitik. Bobot yang diperoleh dinyatakan
dalam satuan gram.
6
Prosedur Pengujian SGPT dan SGOT
Pengujian dilakukan menggunakan GOT dan GPT IFCC mod.liquiUV Test
Kit oleh Human. Kadar SGOT dan SGPT ditentukan dengan menggunakan
spektrofotometer. Pengambilan darah tikus dilakukan secara intrakardial dengan
menggunakan syringe. Sampel darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi tanpa
antikoagulan dan disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 25 menit.
Serum yang telah terpisah diambil menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam
tabung eppendorf. Kemudian dilakukan pengukuran kadar SGPT dan SGOT
menggunakan test kit. Dalam tabung reaksi yang telah disiapkan, dicampurkan
200 µl sampel atau serum darah dengan 1000 µl larutan buffer. Setelah tercampur,
larutan tersebut diinkubasi selama lima menit pada suhu 30ºC. Pada tabung reaksi
yang sama kemudian ditambahkan 250 µl substrat dan diinkubasi kembali selama
lima menit pada suhu yang sama. Optical density (OD) diukur menggunakan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 340 nm. Pembacaan optical density
diulang sebanyak tiga kali dengan interval waktu satu menit. Delta absorben per
menit yang didapatkan dikalikan dengan faktor konversi sebesar 952 untuk
didapatkan kadar SGOT dan SGPT dalam serum darah.
Analisis Data
Pengujian statistika yang dilakukan terhadap nilai kadar SGPT dan SGOT
yakni one-way analysis of variance (ANOVA) yang kemudian dilanjutkan ke uji
Duncan apabila diperoleh hasil berbeda nyata, serta uji korelasi. Piranti lunak
SPSS 17.0 digunakan untuk membuat grafik regresi linier, one-way ANOVA, dan
uji korelasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rata-rata bobot hati tikus yang diperoleh pada penelitian dicantumkan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Rata-rata bobot hati tikus pada berbagai variasi dosis pemberian sukrosa
Dosis sukrosa
Kontrol
20% total energi
40% total energi
60% total energi
Bobot hati (g)
6.67 ± 1.155
6.67 ± 1.155
9.00 ± 1.000
8.00 ± 2.646
Rata-rata bobot hati tikus yang dicatat tidak berbeda nyata antar dosis
pemberian sukrosa (sig.˃0.05) dan dosis pemberian sukrosa memiliki hubungan
korelasi sedang dengan bobot hati (R = 0.428). Teel dan Peters (2003)
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara bobot hati tikus
7
yang diberi asupan tambahan sukrosa (65% total energi pakan) dengan tikus
kelompok kontrol.
Rata-rata konsentrasi SGPT dalam serum darah yang diperoleh pada
penelitian dicantumkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Rata-rata konsentrasi SGPT tikus pada berbagai variasi dosis pemberian
sukrosa
Dosis sukrosa
Kontrol
20% total energi
40% total energi
60% total energi
Konsentrasi SGPT (IU/L)
5.87 ± 0.714 a
10.63 ± 1.800b
15.23 ± 1.118c
13.65 ± 1.535c
Huruf superscript (a,b,c) yang berbeda dalam kolom dan baris yang sama menyatakan
berbeda nyata (p<0.05).
Konsentrasi SGPT yang diobservasi memiliki perbedaan yang nyata antara
kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol (sig.<0.05). Hasil uji regresi
pertambahan dosis pemberian sukrosa terhadap konsentrasi SGPT serum darah
berupa persamaan y = 7.151 + 0.140x yang bermakna terjadi kenaikan konsentrasi
SGPT sebesar 0.140 IU/L pada setiap kenaikan dosis pemberian sukrosa. Terdapat
hubungan positif yang sangat kuat antara dosis pemberian sukrosa dengan
konsentrasi SGPT serum darah (R = 0.836) dengan 70.0% kenaikan konsentrasi
SGPT serum darah dipengaruhi oleh kenaikan dosis pemberian sukrosa (R2 =
0.700).
Gambar 3 Konsentrasi SGPT serum darah terhadap dosis sukrosa
8
Gambar 4 Kurva regresi linier antara dosis pemberian sukrosa
dengan konsentrasi SGPT serum darah
Rata-rata konsentrasi SGOT dalam serum darah yang diperoleh pada
penelitian dicantumkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Rata-rata konsentrasi SGOT tikus pada berbagai variasi dosis pemberian
sukrosa
Dosis sukrosa
Kontrol
20% total energi
40% total energi
60% total energi
Konsentrasi SGOT (IU/L)
9.22 ± 0.894a
12.38 ± 2.919b
16.50 ± 1.989c
38.71 ± 4.884c
Huruf superscript (a,b,c) yang berbeda dalam kolom dan baris yang sama menyatakan
berbeda nyata (p<0.05).
Konsentrasi SGOT yang dicatat berbeda nyata antara kelompok perlakuan
dengan kelompok kontrol (sig.<0.05). Terlihat pula peningkatan konsentrasi
SGOT serum darah seiring peningkatan dosis pemberian sukrosa. Hasil uji regresi
pertambahan dosis pemberian sukrosa terhadap konsentrasi SGOT serum darah
berupa persamaan y = 5.310 + 0.463x yang bermakna terjadi kenaikan konsentrasi
SGOT sebesar 0.463 IU/L pada setiap kenaikan dosis pemberian sukrosa.
Terdapat hubungan positif yang sangat kuat antara dosis pemberian sukrosa
dengan konsentrasi SGOT serum darah (R = 0.876) dengan 76.7% kenaikan
konsentrasi SGOT serum darah dipengaruhi oleh kenaikan dosis pemberian
sukrosa (R2 = 0.767).
9
Gambar 5 Konsentrasi SGOT serum darah terhadap dosis sukrosa
Gambar 6 Kurva regresi linier antara dosis pemberian sukrosa dengan
konsentrasi SGOT serum darah
Peningkatan konsentrasi SGPT dan SGOT juga terjadi pada tikus yang
diberi asupan tambahan fruktosa pada penelitian Botezelli et al. (2012).
10
Peningkatan konsentrasi SGPT dan SGOT disebabkan oleh kerusakan
hepatoseluler yang dapat terjadi akibat berbagai macam penyakit (Willard dan
Tvedten 2012). Apabila hati dipaksa untuk bekerja berlebihan seperti tingginya
aktivitas metabolisme dalam hati, dapat menyebabkan meningkatnya kerja
mitokondria dalam menghasilkan energi bagi sel. Hal ini kemudian merangsang
terjadinya reaksi oksidatif stres, dimana sel mengalami apoptosis dan
mengeluarkan enzim aminotransferase yang terdapat dalam sel tersebut (Guyton
dan Hall 2008). Selain itu, kedua enzim aminotransferase dalam sel hati akan
lebih mudah masuk ke dalam peredaran darah karena terjadi perubahan
permeabilitas membran sel sehingga kadar enzim tersebut akan meningkat dalam
darah (Murray et al. 2006). Konsentrasi SGPT dan SGOT dapat meningkat pula
akibat kegiatan fisik yang berlebihan, myopati, dan kondisi hipertiroid (Giboney
2005). Sel darah merah dan otot lurik mengandung sedikit SGPT sehingga apabila
mengalami kerusakan akan menyebabkan kenaikan konsentrasi yang relatif kecil,
yaitu sekitar dua sampai tiga kali jumlah normal. Peningkatan konsentrasi yang
tinggi sebanyak tiga kali atau lebih jumlah normal dapat mengindikasikan
kebocoran enzim SGPT pada sel hati, namun tidak selalu menggambarkan
kerusakan hati yang parah. Peningkatan konsentrasi SGPT sebanyak tiga kali
jumlah normal umumnya disebabkan oleh trauma operasi, hepatitis kronis, sirosis,
cholangitis, dan cholangiohepatitis (Willard dan Tvedten 2012). Namun dalam
beberapa kasus penyakit hati dapat terjadi tanpa diikuti peningkatan konsentrasi
SGPT dan SGOT.
Beberapa penelitian seperti yang disampaikan oleh Sanchez-Lozada et al.
(2009) menunjukkan bahwa konsumsi sukrosa yang tinggi menginduksi terjadinya
peradangan ringan pada jaringan hati khususnya daerah periportal. Kejadian yang
sama juga dilaporkan oleh Fu et al. (2010), yaitu terjadi peradangan dan steatosis
ringan pada daerah periportal tikus yang diberi pakan tambahan sukrosa. Selain
itu disebutkan pula konsumsi sukrosa yang tinggi dapat menyebabkan fatty liver,
peningkatan asam urea dan trigliserida dalam hati, serta peningkatan jumlah
monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) dan tumor necrosis factor-alpha
(TNF-α). Bahkan SGPT, bersama dengan GGT, telah sering dijadikan salah satu
penanda terjadinya fatty liver (Targher 2009; Schindhlem et al. 2006; Vernon et
al. 2011). Pada manusia dilaporkan pula bahwa asupan sukrosa secara kronis
dapat meningkatkan trigeliserida dan enzim transaminase hati (Porikos dan Van
Itallie 1983). Penyakit lain seperti resistensi insulin dapat terjadi dengan
pemberian asupan sukrosa sekitar 18% dari total energi pada tikus setelah empat
bulan pemberian (Bizeau dan Pangliassotti 2005).
Beberapa penelitian mengggambarkan bahwa diet tinggi sukrosa dapat
mengarahkan tubuh ke dalam kondisi metabolic syndrome. Metabolic syndrome
yang terjadi dapat berupa resistensi insulin atau Non Alcoholic Fatty Liver
Disease (NAFLD). Menurut penelitian Ouyang et al (2008), konsumsi fruktosa
dalam jangka lama dapat menyebabkan terjadinya NAFLD pada manusia. Hal
yang sama terjadi pada tikus dimana konsumsi fruktosa akan menaikkan sintesis
dan penyimpanan trigliserida di dalam hati sehingga menyebabkan kondisi hati
berlemak (Ackerman et al 2005). Pada penelitian Nakagawa et al (2006), tikus
yang diberi asupan fruktosa mencapai 60% total energi selama empat minggu,
mengalami kondisi hyperuricemia, hypertriglyceridemia, dan hyperinsulinemia.
11
Menurut Blakely et al. (1981), konsumsi fruktosa 14% dari total energi pada tikus
menyebabkan resistensi insulin dalam waktu sembilan bulan.
Carl (2006) menyebutkan bahwa pada kerusakan hati yang semakin besar
kadar SGOT dan SGPT umumnya tidak memperlihatkan peningkatan. Bahkan
kadar kedua enzim tersebut justru menurun akibat kerusakan sel-sel hepatosit
yang semakin meluas, sehingga produksi enzim tidak bertambah. Hal yang serupa
juga disampaikan oleh Panjaitan et al. (2007) dimana pada tingkat kerusakan yang
luas dan parah, ketersediaan kedua enzim tersebut menjadi rendah akibat
kemampuan sel hati mensintesis enzim tersebut sudah berkurang.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian asupan sukrosa pada tikus galur Wistar sebagai pakan tambahan
tidak memengaruhi bobot hati tikus. Asupan sukrosa meningkatkan secara nyata
konsentrasi SGPT dan SGOT dalam serum darah.
Saran
Peran asupan sukrosa yang tinggi terhadap organ hati dapat dilanjutkan
dengan pengamatan secara histopatologi serta melalui parameter kerusakan hati
lainnya. Serta dapat dikaji lebih lanjut efek asupan sukrosa tinggi dengan lama
pencekokan di atas 70 hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman Z, Oron-Herman M, Grozovski M, Rosenthal T, Pappo O, Link G, Sela
BA. 2005. Fructose-induced fatty liver disease: hepatic effects of blood
pressure and plasma triglyceride reduction. Hypertension 45(5): 1012-1018.
Botezelli JD, Cambri LT, Ghezzi AC, Dalia RA, Voltarelli, de Mello MAR. 2012.
Fructose-rich diet leads to reduced aerobic capacity and to liver injury in rats.
Lipids Health Dis 11:78.
Bizeau ME, Pangliassotti MJ. 2005. Hepatic adaptions to sucrose and fructose.
Met Clin Exp 54:1189-1201. doi: 10.106/j.metabol.2005.04.004.
Blakely SR, Hallfrisch j, Reiser S, Prather ES. 1981. Long-term effects of
moderate fructose feeding on glucose tolerance parameters in rats. J Nutr
111(2): 307-314.
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta (ID):
EGC.
Carl A, Edward R, David E. 2006. Clinical Chemistry an Molecular Diagnostic
II. Philadelphia (US): Elsevier.
Fessenden RJ, Fessenden JS. 1986. Kimia Organik. Jakarta (ID): Erlangga.
Fu J, Sun H, Wang Y, Zheng W, Wang Q, Shi Z. 2010. The effects of fat and
sugar-enriched diet and chronic stress on nonalcoholic fatty liver disease in
male wistar rats. Dig Dis Sci 55:2227-2236. doi: 10.1007/s10620-009-1019-6.
12
Ganai AA, Jahan S, Ahad A, Abdin MZ, Farooqi H. 2014. Glycine propionyl lcarnitine attenuates d-Galactosamine induced fulminant hepatic failure in
wistar rats. Elsavier 214: 33-40. doi: 10.1016/j.cbi.2014.02.2006.
Giboney PT. 2005. Mildly elevated liver transminase levels in the asymptomatic
patient. AM Fam Phy 71(6): 1105-1110.
Guyton AC, Hall JE. 2008. Textbook of Medical Physiology. Jakarta (ID): EGC.
Hidayat, Ikariztiana. 2004. Membuat Permen Jelly. Surabaya (ID): Trubus
Agrisarana.
Husadha Y. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta (ID): Gaya Baru.
Keurentjes JB, Sulpice R, Yves Gibon, Steinhauser M, Fu J, Koorneef M, Stitt M,
Vreugdenhil D. 2008. Integrative analyses of genetic variation in enzyme
activities of primary carbohydrate metabolism reveal distinct modes of
regulation in. Gen Biol 9:129. dio: 10.1186/gb-2008-9-8-r129.
Linder MC. 2010. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme: Dengan Pemakaian Secara
Klinis. Jakarta (ID): UI-Press.
Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. 2006. Harper’s Illustrated Biochemistry.
Ed ke-27. Jakarta (ID): EGC.
Nakagawa T, Hu H, Zharikov S, Tuttle KR, Short RA, Glushakova O, Ouyang X,
Feig DI, Block ER, Herrera-Acosta J et al. 2006. A causal role for uric acid in
fructose-induced metabolic syndrome. Am J Physiol Renal Physiol 290(3):
625-631.
[NCIB]. National Center for Biotechnology Information. 2015. Sucrose. Tersedia
pada: https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/5988.
Notoadmodjo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta (ID): Rineka
Cipta.
Ouyang X, Cirillo P, Sautin Y, McCall S, Bruchette JL, Diehl AM, Johnson RJ,
Abedelmalek MF. 2008. Fructose Consumption as a risk factor for nonalcoholic fatty liver disease. J Hepatol 48(6): 993-999. doi:
10.1016/j.hep.2008.02.011.
Panjaitan et al. 2007. Pengaruh pemberian karbon tetraklorida terhadap fungsi hati
dan ginjal tikus. Makara Kesehatan 11(1): 11-16.
Podolsky W, Isslebacher. 2002. Tes Diagnostik pada Penyakit Hati. Dalam:
Harisson Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Ed ke-13. Jakarta (ID): EGC.
Poedjiadi A, Supriyanti T. 2005. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta (ID): UI-Press.
Porikos KP, Van Itallie TB. 1983. Diet-induced changes in serum transaminase
dan triglyceride levels in healthy adult men: role of sucrose and excess
calories. AM J Med 75(4): 624-630. doi:10.1016/0002-9343(83)90444-8.
Raff H, Levitzy M. 2011. Medical Physiology: A System Approach. New York
(US): McGraw Hill.
Rahman M, Palash KS, Fida MH, Sarnad MAM, Habibur MR. 2004. Purification
and characterization of invertase enzym from sugarcane. Pakist Jour Bio Sci
7:340-345.
Rippe JM, Angelopoulos TJ. 2013. Sucrose, high-fructose corn syrup, and
fructose, their metabolism and potential health effect: what do we really
know?. Adv Nutr 4: 236-245. doi: 10.3945/an. 112.002824.
Sanchez-Lozada LG, Mu W, Roncal C, Sautin YY, Abdelmalek M, Reungjui S,
Le M, Nakagawa T, Lan HY, Yu X et al. 2010. Comparison of free fructose
13
and glucose to sucrose in the ability to cause fatty liver. Eur J Nutr 49:1-9.
doi:10.1007/s00394-009-0042-x.
Schindhelm RK, Diamant M, Dekker JM. Tushuizen ME, Teerlink T, Heine RJ.
2006. Alanine aminotransferase as a marker of nonalcoholic fatty liver disease
in relation to type 2 diabetes mellitus and cardiovascular disease. Diabetes
Metab Res Rev 22:437-443.
Targher G. 2009. Elevated serum gamma-glutamyltransferaseactivity is associated
with increased risk of mortality, incident type 2 diabetes, cardiovascular
events, chronic kidney disease and cancer: a narrative review. Clin Chem Lab
Med 48:147-157.
Teel RW, Peters LP. 2003. Effects of high sucrose diet on body and liver weight
and hepatic enzyme content and activity in the rat. In Vivo 17(1): 61-65.
Vander A, Sherman, J, Luciano D. 2001. Human Physiology. New York (US):
McGraw Hill.
Vernon G, Baranova A, Younossi ZM. 2011. Systematic review: the
epidemiology and natural history of non-alcoholic fatty liver disease and non
alcoholic steatohepatitis in adults. Aliment Pharmacol Ther 34: 274-285.
Wallace AH. 1989. Principle and Methods of Toxicology. New York (US): Raven
Press.
Widmann FK. 1989. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Ed
ke-9. Siti BK, Ganda S, Latu J, penerjemah. Jakarta (ID): EGC.
Willard MD, Tvedten H. 2012. Small Animal Clinical Diagnosis by Laboratory
Methods. Missouri (US): Elsevier.
14
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Pawitra Lintang Andayani, dilahirkan di Paris
pada tanggal 24 Mei 1992. Penulis merupakan putri bungsu dari tiga bersaudara
dari pasangan Abed Wahyudi dan Noni Guardenia. Penulis menjalani pendidikan
dasar di SD Nasional KPS Balikpapan, sekolah menengah pertama SMP Nasional
KPS Balikpapan, sekolah menengah atas SMA Negeri 1 Balikpapan, kemudian
pindah dan menamatkan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 5
Bandung pada tahun 2010. Pada tahun yang sama, penulis berhasil diterima
menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui
Ujian Talenta Mandiri (UTM).
Selama melakukan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor penulis pernah menjabat sebagai Bendahara Komisi Literatur di
Persekutuan Mahasiswa Kristen pada tahun 2011/2012. Penulis juga aktif dan
sempat menjabat sebagai Ketua Divisi Hewan Kecil Himpunan Minat dan Profesi
(HIMPRO) Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (HKSA) pada tahun
2012/2013.
Download