STUDI REGENERASI TANAMAN JERUK KEPROK BATU 55 (Citrus reticulata L) MELALUI JALUR EMBRIOGENESIS SOMATIK JULIS ANTON MERIGO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Studi Regenerasi Tanaman Jeruk Keprok Batu 55 (Citrus reticulata L) Melalui Jalur Embriogenesis Somatik adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, 15 September 2011 Julis Anton Merigo NRP A253080101 ABSTRACT JULIS ANTON MERIGO. Study Regeneration of Tengerine Citrus Batu 55 (Citrus reticulata) Through Somatic Embryogenesis Path Way. Supervised by AGUS PURWITO and ALI HUSNI The global world market of citrus fruit that is consumed in fresh form to the current needs to fill a category of fruit that do not have seeds, easy to peel and has an attractive color (pigmented). Tangerine citrus Batu 55 is one of the mainstay of fresh fruit horticulture. Tangerine citrus Batu 55 has superior character who naturally have had so distinguished by citrus Siam but the characters are not as good as tangerine imports. Somatic embryogenesis is an important tool for supplying new varieties to be used cultivar genetic improvement programs in citrus, this technology has been extensively used and has many important implications. The objective of this research is to produce somatic embryos of Tangerine citrus Batu 55 from nucellar embryo. The research comprised: embryogenic callus induction, callus prolifertation, maturation of somatic embryo, germination of somatic embryo, shoot multiplication, roots induction, chromosome counting, acclimatization and grafting. The results showed that the medium of Murashige & Tucker + 3 mg/l BAP + 1 mg/l 2,4-D + 500 mg /l malt extract increased the percentage of the callus formation up to 40% after 4 weeks with total number of pre-embryos (PEM ) 31.0. The medium proliferation used was MS with the addition of vitamin Morell & Wetmore (MW) +3 mg/l BAP+300 mg/l casein hydrolisat. These medium improved callus diameter up to 2.3 mm after 4 weeks cultured. Maturation of embryos was obtained by transferring globular structure in the medium MW + 2.5 mg/l ABA + 500 mg/l malt extract. These medium increased the percentage of mature somatic embryo up to 98% after 4 weeks cultured. Somatic embryos up to 84% germinated when the cotyledons grown in the medium MW + 2.5 mg/l GA3. The shoot multiplication containing MW medium + 7 mg/l biotin +500 mg/l malt extract was able to produce the highest percentage of shoot multiplication up to 86 %. The root induction containing MS medium + 3 mg/l IBA was able to produce the highest percentage of root induction up to 86%. Acclimatization of plantlets with roots increased survival rate up to 90% after 5 weeks acclimatization. Key words : Plant growth regulator, callus induction, regeneration, somatic embryogenesis, acclimatization, grafting. RINGKASAN JULIS ANTON MERIGO. Studi Regenerasi Jeruk Keprok Batu 55 (Citrus reticulata L) Melalui Jalur Embriogenesis Somatik. Dibimbing oleh AGUS PURWITO dan ALI HUSNI Kebutuhan pasar dunia secara global terhadap buah jeruk yang dikonsumsi dalam bentuk segar untuk saat ini perlu memenuhi kategori buah yang tidak berbiji (seedless), mudah dikupas (easy peeling) dan mempunyai warna yang menarik (pigmented). Jeruk keprok batu 55 merupakan salah satu andalan buah segar hortikultura. Jeruk keprok batu 55 mempunyai karakter unggul yang secara alami telah dimilikinya sehingga membedakan dengan jeruk Siam akan tetapi karakter tersebut tidak sebaik jeruk keprok impor. Jeruk keprok impor telah mengalami perbaikan secara genetik sehingga buah tersebut memiliki karakterkarakter unggul. Hal inilah yang menjadikan jeruk keprok lokal kalah bersaing. untuk itu perlu adanya kesinambungan antara pemuliaan konvensional dan pemuliaan secara bioteknologi dalam memperbaiki sifat-sifat genetik jeruk keprok lokal agar dapat bersaing dengan jeruk keprok impor. Secara konvensional, perbaikan sifat dilakukan dengan persilangan antar varietas, spesies, genera atau kerabat yang lebih jauh yang memiliki sifat yang diinginkan. Namun teknik pemuliaan konvensional memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang besar. Perbaikan genetik jeruk melalui hibridisasi dihambat dan dibatasi oleh sifat heterozigositas yang tinggi dan inkompatibilitas. Salah satu alternatif pemecahan masalah yaitu melalui teknik kultur jaringan atau teknik in vitro. Dalam hal ini teknik regenerasi tanaman secara embriogenesis somatik sangat penting dalam keberhasilan pemuliaan non konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode regenerasi jeruk keprok Batu 55. Penelitian ini terdiri dari: induksi kalus embriogenik, proliferasi kalus, pendewasaan embrio somatik, perkecambahan embrio somatik, multiplikasi tunas, induksi akar, penghitungan jumlah kromosom, aklimatisasi planlet serta grafting. Hasil penelitian menunjukan bahwa induksi kalus embriogenik terbaik adalah menggunakan eksplan nuselus yang ditumbuhkan pada media Murashige dan Tucker (MT) dengan penambahan ZPT 3 mg/l BAP + 1 mg/l 2,4-D dan penambahan 500 mg/l ekstrak malt dengan lama inisiasi kalus tercepat 22.4 hari dengan persentase pembentukan kalus 40%. Kalus yang didapat bersifat embriogenik dimana pada kalus ditemukan struktur pre embrio (PEM). Media terbaik untuk proliferasi kalus adalah media Murashige dan Skoog (MS) dengan penambahan vitamin Morell dan Wetmore (MW) dengan penambahan 3 mg/l BAP dan 300 mg/l kasein hidrolisat menghasilkan rata-rata penambahan diameter kalus selama empat minggu sebesar 2.3 mm. Pendewasaan embrio somatik dengan menggunakan media MS dengan penambahan vitamin MW + 2.5 mg/l ABA merupakan media terbaik dalam mendewasakan embrio somatik dengan efisiensi pendewasaan sebesar 82.6%. Media MS dengan penambahan vitamin MW + 2.5 mg/l GA3 merupakan konsentrasi terbaik untuk mengecambahkan embrio somatik dimana efisiensi perkecambahan sebesar 84%. Multiplikasi tunas terbaik didapat pada media MS dengan penambahan vitamin biotin pada konsentrasi 7 mg/l dengan efisiensi multiplikasi tunas sebesar 86%. Induksi akar sekunder embrio somatik terbaik terdapat pada jenis auksin IBA dengan konsentrasi 3 mg/l dengan persentasi pembentukan akar sebesar 86% dan tingkat keberhasilan aklimatiasasi terbaik pada planlet yang telah mengalami induksi akar terlebih dahulu. Hasil grafting dengan menggunakan tunas ES selama 4 minggu menunjukkan persentase hidup 89 %. Kata kunci : zat pengatur tumbuh, induksi kalus, regenerasi, embrio somatik, aklimatisasi, grafting ©Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan sebagian besar pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan.yang.wajar.IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB. STUDI REGENERASI TANAMAN JERUK KEPROK BATU 55 (Citrus reticulata L) MELALUI JALUR EMBRIOGENESIS SOMATIK JULIS ANTON MERIGO Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 Judul Tesis: Studi Regenerasi Tanaman Jeruk Keprok Batu 55 (Citrus reticulata L) Melalui Jalur Embriogenesis Somatik Nama : Julis Anton Merigo NIM : A253080101 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc. Agr Ketua Dr. Drs. Ali Husni, M.Si Anggota Diketahui Koordinator Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Tri koesoemaningtyas, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal ujian: 9 September 2011 Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya dalam penyelesaian tesis ini yang merupakan syarat untuk mendapat gelar Magister di Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan judul “Studi Regenerasi Tanaman Jeruk Keprok Batu 55 (Citrus reticulata L) Melalui Jalur Embriogenesis Somatik”. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Agus Purwito, Msc. Agr dan Dr. Ali Husni, Msi atas bimbingan, saran, ilmu, waktu serta perhatiannya dalam pelaksanaan penelitian sampai penulisan tesis ini dapat selesai dengan baik. Terima kasih juga disampaikan kepada dekan sekolah Pascasarjana IPB, Dr. Ir. Trikoesomaningtyas selaku ketua Program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman IPB, seluruh staf pengajar, dan semua teknisi yang telah memberikan bantuan selama penulis belajar di IPB. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang mendalam penulis sampaikan kepada ayah dan ibu yang setia mendoakan, membimbing, dan mengarahkan saya menjadi anak lebih baik. Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Bogor. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian atas izin yang diberikan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di BB-Biogen. Terimakasih juga diucapkan kepada Dr. Ir. Ika Mariska, APU sebagai ketua Kelompok Peneliti dan kepada semua peneliti serta teknisi BB-BIOGEN Bogor. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada bapak Ujang Hapid sebagai staf di LIPI dan bapak Joko sebagai staf di Laboraturium mikro teknik IPB yang telah banyak membantu penulis dalam pembuatan preparat dalam analisis jumlah kromosom. Bogor, September 2011 Julis Anton Merigo RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang tanggal 02 Agustus 1983 dari ayah Isnaini Ibrahim dan ibu Murni Kuris. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Jenjang pendidikan penulis berturut-turut adalah lulusan sekolah dasar di SD Negeri 048 Pematang Reba Rengat pada tahun 1995, lulusan SLTP Negeri 2 Tembilahan 1998, lulusan SMK Muhammadyah 1 Pekanbaru pada tahun 2001. Tahun 2006 penulis mendapat gelar sarjana (S1) di Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru. Tahun 2008 penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB untuk mengambil program magister dengan mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Fakultas Pertanian. i DAFTAR ISI Halaman I. II. III. PENDAHULUAN UMUM 1 Latar Belakang ...................................................................... 1 Tujuan Penelitian.................................................................... 3 Hipotesis Penelitian............................................................... 3 Diagram Alir Penelitian......................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA 5 Botani Tanam Jeruk Keprok Batu 55 ..................................... 5 Perkembangan Jeruk Keprok................................................... 6 Perkembangan Jeruk Keprok Batu 55………………………. 7 Kultur Jaringan Tanaman Jeruk .............................................. 9 Embriogenesis Somatik........................................................... 13 Embriogenesis Somatik pada Jeruk......................................... 14 METODELOGI PENELITIAN 17 Tempat dan waktu................................................................... 17 Bahan dan Alat........................................................................ 17 Metode Percobaan................................................................... 17 1. Induksi Kalus Embriogenik......................................... 17 2. Proliferasi Kalus.......................................................... 18 3. Pendewasaan Embrio Somatik..................................... 19 4. Perkecambahan Embrio Somatik................................. 19 5. Multiplikasi Tunas....................................................... 19 6. Induksi Perakaran......................................................... 20 7. Penghitungan Kromosom …………………………… 20 8. Aklimatisasi …………………………………………. 20 9. Grafting……………………………………………… 21 ii IV. V. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 1. Induksi Kalus Embriogenik........................................... 25 2. Proliferasi Kalus............................................................ 24 3. Pendewasaan Embrio Somatik...................................... 28 4. Perkecambahan Embrio Somatik.................................. 32 5. Multiplikasi Tunas......................................................... 35 6. Induksi Perakaran.......................................................... 37 7. Penghitungan Jumlah Kromosom ……………………. 40 8. Embrio Somatik Sekunder…………………………… 41 9. Aklimatisasi ………………………………………….. 44 10. Grafting………………………………………………. 46 KESIMPULAN DAN SARAN 50 Kesimpulan.............................................................................. 50 Saran........................................................................................ 50 VI. DAFTAR PUSTAKA 51 VII. LAMPIRAN 59 58 58 60 62 iii DAFTAR TABEL No Halaman 1. Respon nuselus pada media induksi...................................... 22 2. Pengaruh penambahan ABA pada embrio somatik............... 28 3. Pengaruh penambahan GA3 pada embrio somatik............... 31 4. Pengaruh konsentrasi biotin.................................................. 36 5. Pengaruh jenis auksin pada perakaran................................... 38 6. Pengaruh penambahan ABA pada embrio somatik sekunder. 42 7. Pengaruh penambahan GA3 pada embrio somatik sekunder. 43 8. Pengaruh aklimatisasi............................................................ 44 9. Perkembanan batang atas setelah grafting............................. 46 iv DAFTAR GAMBAR No Halaman 1. Alur kerangka pikir………………………………...…. 4 2. Jeruk Keprok Batu 55…………………………………. 8 3. Bagian nuselus dan embrio pada jeruk………………… 15 4. Pengamatan mikroskopis jaringan nuselus..................... 18 5. Induksi kalus embriogenik……………………………. 23 6. Grafik laju pertambahan kalus…..………...….............. 25 7. Proliferasi kalus.............................................................. 27 8. Pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik......... 9. Perkecambahan embrio somatik..................................... 31 34 10. Variasi perkecambahaan................................................. 35 11. Multiplikasi tunas............................................................ 37 12. Variasi induksi perakaran............................................... 39 13. Pengamatan kromosom pada akar.................................... 40 14. Embrio somatik sekunder............................................... 43 15. Fase pendewasaan.......................................................... 44 16. Aklimatisasi tunas embrio somatik................................. 46 17. Pertumbuhan tunas grafting umur 1 minggu.................. 48 18. Perkembangan tunas grafting …..............…….............. 49 v DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1. Lampiran deskripsi jeruk keprok batu 55……...…....... 59 2. Lampiran komposisi media kultur................................. 61 3. Lampiran metode Praperlakuan lengkap…………….. 62 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan bebas secara global (AFTA) yang telah dimulai tahun 2003 lalu telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara konsumen produk impor terbesar di Asia. Salah satu produk impor yang paling banyak dijumpai di pasaran adalah produk hortikultura khususnya buah-buahan (Deptan 2003). Salah satu produk buah-buahan impor tersebut adalah buah jeruk keprok Mandarin (Citrus reticulata.L). Jeruk keprok Mandarin sangat digemari karena penampilan yang menarik, kulitnya mudah dikupas, rasanya segar dan hampir tidak mempunyai biji (seedless). Hal inilah yang menjadikan jeruk keprok impor sangat digemari oleh masyarakat. Tingginya permintaan jeruk keprok impor ditandai dengan masih tingginya angka impor jeruk keprok dari tahun 2005-2009 sebesar 504.063 ton atau sekitar 100.813 ton/pertahun dengan nilai mencapai U$ 80.569.300 (Badan Pusat Statistik 2010). Jeruk keprok Mandarin sebagian besar diimpor dari China dan Pakistan (Dirjen Hortikultura Departemen Pertanian 2008). Tingginya kebutuhan buah yang dikonsumsi dalam bentuk segar menjadikan buah jeruk keprok sebagai salah satu buah yang paling disukai oleh masyarakat. Kebutuhan jeruk keprok nasional belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga harus dipenuhi dengan jeruk keprok impor. Salah satu faktor penting yang menyebabkan rendahnya produksi jeruk nasional yaitu belum tersedianya bibit jeruk yang dapat berproduksi secara optimal, dapat beradaptasi dengan lingkungan ekstrim, bebas dari penyakit dan mudah dalam mendapatkan bibit yang berkualitas dalam jumlah yang banyak (Deptan 2003). Pengembangan bibit unggul dan bermutu memegang peranan penting dalam upaya pengembangan tanaman jeruk keprok lokal. Salah satu cara yang memungkinkan yaitu dengan menerapkan teknik bioteknologi pada pemuliaan jeruk. Salah satu teknik dalam bioteknologi tersebut adalah teknik regenerasi tanaman melalui jalur embriogenesis somatik (ES). Embriogenesis somatik adalah pembentukan embrio dari sel-sel non seksual. Embrio somatik merupakan salah satu produk yang dapat dihasilkan dalam sistem regenerasi pada tanaman melalui 2 teknik kultur jaringan. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dengan keberhasilan yang tinggi dapat membantu mendapatkan varietas atau genotipe unggul melalui pemuliaan non konvensional. Keuntungan lain menggunakan teknik regenerasi ini adalah untuk memproduksi bibit dalam jumlah yang banyak, tidak dipengaruhi oleh musim, bebas penyakit, dan tidak merusak pohon induk. Regenerasi tanaman melalui jalur ES sudah banyak dilakukan, akan tetapi belum pernah dilakukan pada jeruk keprok batu 55. Pembentukan embrio somatik dari berbagai jenis eksplan juga telah dilaporkan, namun tingkat keberhasilannya relatif rendah dan masih mengalami kesulitan dalam meregenerasikan menjadi planlet. Pembentukan ES bisa secara langsung maupun tidak langsung. Embrio somatik langsung adalah pembentukan ES secara langsung dari eksplan tanpa melalui pembentukan fase kalus, sedangkan ES tidak langsung proses pembentukannya melalui fase kalus. Pembentukan struktur bipolar pada ES merupakan pertumbuhan meristem tunas dan akar. Struktur bipolar tersebut juga dialami pada perkembangan embrio zigotik (Husni 2010), akan tetapi pada sebagian besar tanaman pembentukan embrio somatik masih tergolong sulit. Faktor eksplan yang digunakan untuk ES sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan terbentuknya embrio somatik. Bagian nuselus merupakan eksplan yang paling baik digunakan untuk terbentuknya embrio somatik pada tanaman jeruk (Kepiro & Roose 2007). Maheshwari dan Rangaswamy (1958) pertama kali melaporkan keberhasilan pembentukan ES melalui eksplan nuselus. Regenerasi embrio somatik jeruk yang diinduksi dari jaringan nuselus telah dilaporkan oleh Rangan et al. (1968). Husni et al. (2011) juga telah melaporkan keberhasilan meregenerasikan kalus embriogenik tanaman jeruk siam Pontianak dan siam Simadu melalui jalur ES dengan tingkat keberhasilan tinggi. Keberhasilan embrio somatik ditentukan oleh pemilihan jaringan yang tepat sebagai sumber eksplan, selain juga ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya genotipe (Berthuoly & Michaux 1995) dan komposisi zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam media. Teknik embriogenesis somatik telah banyak dilakukan dengan menggunakan induksi ZPT yang kuat dan mengkondisikannya pada lingkungan yang tepat. Senyawa zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan adalah golongan auksin, sitokinin, ABA, dan giberelin. Kultur in vitro tidak terlepas dari 3 penggunaan ZPT karena ZPT mempunyai kemampuan untuk merangsang pertumbuhan eksplan dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Zat pengatur tumbuh berperan penting dalam menentukan arah pertumbuhan suatu kultur (Watimena 1998). Kelompok auksin adalah yang paling umum digunakan untuk menginduksi ES, selain itu ZPT sitokinin juga berpengaruh terhadap diferensiasi sel dalam proses embriogenesis somatik (Pierk 1987). Pemberian jenis dan konsentrasi ZPT yang tepat diharapkan menghasilkan embrio yang pertumbuhannya normal dan memungkinkan untuk terbentuknya kalus atau sel-sel yang tersuspensi dalam media kultur. Kalus atau sel-sel tersebut akan terus berkembang sehingga mencapai jumlah yang cukup banyak, sehingga sebagian besar dari sel-sel tersebut menjadi sel embriogenik yang dapat berkembang dan menjadi embrio dan planlet. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik pada jeruk keprok Batu 55 sangat penting untuk dikuasai. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik memberi peluang untuk mendapatkan tanaman jeruk keprok Batu 55 yang lebih unggul melalui teknik mutasi, fusi protoplas dan teknik rekayasa genetika. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode induksi kalus dan regenerasi ES yang berasal dari jaringan nuselus tanaman jeruk keprok Batu 55 hingga tahap aklimatisasi dan grafting. Hipotesis Penelitian 1. Terdapat media yang tepat untuk menginduksi terjadinya kalus embriogenik jeruk keprok batu 55 2. Terdapat konsentrasi ABA terbaik untuk pendewasaan embrio somatik. 3. Terdapat konsentrasi GA3 terbaik terhadap perkecambahan embrio somatik. 4. Terdapat konsentrasi biotin terbaik dalam multiplikasi tunas embrio somatik 5. Terdapat konsentrasi auksin terbaik dalam induksi akar embrio somatik 4 Diagram alir penelitian Jeruk keprok Batu 55 Regenerasi Pendewasaan Perkecambahan Multiplikasi tunas Induksi akar Nuselus Induksi kalus Proliferasi kalus Output : Output : $ Media terbaik induksi kalus dan proliferasi kalus Kalus embriogenik Populasi kalus embriogenik Konsentrasi ABA pendewasaan ES Konsetrasi GA3 perkecambahan ES Konsentrasi Biotin multiplikasi tunas Konsentrasi & jenis untuk induksi akar untuk untuk untuk auksin Analisis jumlah kromosom Aklimatisasi tunas Grafting Output : Jumlah kromosom Tanaman aklimatisasi di polybag Tanaman hasil grafting Gambar 1. Alur kerangka pikir regenerasi embrio somatik jeruk Keprok Batu 55 5 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jeruk Keprok Batu 55 Tanaman jeruk keprok (citrus reticulata. L) varietas Batu 55 merupakan tanaman subtropik yang dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal pada suhu optimum 25 - 30 °C. Curah hujan optimal untuk pertumbuhan dan produksi adalah 1.900 -2.400 mm/tahun dengan rata-rata 2 - 4 bulan basah dan 3 - 5 bulan kering. Tanah yang cocok bertekstur gembur, berpasir, hingga lempung berliat dengan kedalaman efektif lebih dari 60 cm. Tingkat keasaman tanah (pH) yang optimum sekitar 5 - 7, cocok adalah ditanam di daerah dengan ketinggian 700 1300 m dpl. Untuk dataran rendah tanaman jeruk keprok dapat tumbuh pada ketinggian 100 – 400 m dari permukaan laut (dpl). Jeruk keprok menghendaki iklim relatif kering dengan lama masa kering sekitar 3 bulan untuk proses pembungan dan berada di tempat terbuka. Klasifikasi Citrus reticulata L. dalam sistematika tumbuhan (Van Steenis 1975) adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Class : Dicotyledonae Ordo : Rutales Familia : Rutaceae Subfamili : Aurantioidae Genus : Citrus Spesies : Citrus reticulata L Tumbuhan ini merupakan jenis pohon dengan tinggi 2 - 5 meter. Tajuknya tidak beraturan, dahan kecil, cabangnya banyak, dan tajuknya rindang. Daun berbentuk tunggal, kecil, helaian daun berbentuk bulat telur memanjang, elliptic atau berbentuk lanset dengan ujung tumpul, sedikit melekuk ke dalam. Tepi daun bergerigi beringgit sangat lemah dengan panjang 3,5 - 8 cm bertangkai pendek. Daun berwarna hijau tua, pada permukaan atas daun mengkilat. Tangkai daun bersayap sangat sempit sampai tidak bersayap, dengan panjang 0,5 - 1,5 cm. 6 Tanaman ini berbunga majemuk dimana bunga keluar dari ketiak daun atau pada ujung. Daun berbentuk cawan bulat telur dan tajuk bunga umumnya berjumlah lima lembar. Bekal buah berbentuk seperti bola dengan diameter rata-rata 0,1 - 0,2 cm. Buah yang sudah jadi bentuknya agak besar hampir seragam menyerupai bentuk bola tertekan dengan diameter cabang, bentuk bunga bulat telur panjang ke arah pangkal seragam dan berbau harum. Tangkai bunga pendek dengan bunga pelindungnya kecil, kelopak 5 - 8 cm dengan ruang buah (septa buah) 9 - 19. Tebal kulitnya 0,2 - 0,3 cm mudah dikupas, penuh pori-pori dan daging buahnya berwarna oranye dan sedikit berbau harum. Daging buah banyak mengandung air, tiap sapta mengandung banyak biji lebih kurang 10 - 30 biji (Badan Litbang Departement Pertanian 2006). Perkembangan Jeruk Keprok Karakter tanpa biji, muda dikupas, penampilan yang menarik, dan rasa yang manis merupakan karakteristik utama untuk pasar buah jeruk segar pada saat ini (Ladaniya 2008). Selain untuk dikonsumsi sebagai buah segar, karakter unggul tersebut sangat diharapkan oleh industri yang bergerak dibidang pembuatan jus, suplemen vitamin, dan senyawa aromatik. Masalah yang dijumpai pada buah jeruk sering dikaitkan dengan senyawa aromatik yang tidak menguntungkan, tingkat kepahitan akibat jumlah biji yang banyak dan tampilan yang kurang menarik (Singh & Rajam 2009). Perkembangan jeruk keprok di Indonesia mengalami ketidakstabilan bahkan cenderung mengalami penurunan, hal tersebut ditandai dengan masih tinginya angka impor jeruk keprok tersebut. Penurunan produksi jeruk keprok tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor seperti serangan hama dan penyakit yang ditimbulkan akibat perubahan iklim. Gencarnya impor buah khususnya jenis keprok juga mengakibatkan konsumen jeruk keprok lokal beralih untuk mengkonsimsi jeruk keprok impor yang memiliki karakter-karakter unggul atau beralih ke jeruk jenis Siam. Perbaikan sifat genetik sangat penting dilakukan untuk perbaikan mutu buah jeruk terutama untuk perakitan buah unggul. Program pemuliaan tersebut dilakukan melalui pemuliaan konvensional (hibridisasi), pemuliaan, mutasi dan teknik bioteknologi. Namun, pemuliaan untuk jeruk keprok masih dihadapkan 7 dengan beberapa tingkat kesulitan seperti inkompatibilitas dan heterosigositas yang tinggi. Karakter unggul pada jeruk sangat dipengaruhi oleh aksesi jeruk dan faktor lingkungan (Mayer et al. 2009) Jeruk Mukaku Kishiu merupakan salah satu jenis jeruk yang benar-benar tanpa biji walau dalam kondisi lingkungan apapun, sementara pada Navel orange dan Mandarin Satsuma pada umumnya tanpa biji, namun jika dilakukan penyerbukan pada lingkungan yang berbeda akan menghasilkan biji (Olitrault et al. 2007). Perbaikan sifat secara konvensional telah lama dikembangkan untuk perbaikan karakter akan tetapi masih terkendala oleh beberapa faktor seperti sifat inkompatibilitas pada tanaman. Selain itu, waktu yang digunakan untuk persilangan secara konvensional masih tergolong lama. Persilangan konvensianal pada intergeneric antara jeruk kultivar Kiyomi Tangor dengan jeruk Meiwa Kumquat untuk membentuk triploid dibutuhkan waktu ± 6 tahun (Yasuda et al. 2010). Sulitnya mendapatkan tanaman bebas virus juga menjadi kendala dalam perbaikan sifat tanaman. Terlepas dari teknik pemuliaan yang digunakan, beberapa varietas komersial penting jeruk keprok seperti Batu 55, Garut, SoE, dan Konde telah dikembangan melalui teknik induksi mutasi. Teknik induksi seperti iradiasi atau mutagen kimia dapat meningkatkan keragaman dalam spesies tanaman. Sifat acak yang dimiliki induksi mutasi yang menyebabkan arah mutasi tidak bisa diatur sehingga sulit dalam memperbaiki sifat genetik secara khusus (Sutarto 2009). Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan pemuliaan jeruk keprok di atas maka perlu adanya sentuhan bioteknologi melalui teknik kultur jaringan. Perbaikan sifat melalui teknik kultur jaringan pada jeruk khususnya embrio somatik telah lama dikembangkan dan terbuki memberikan hasil yang baik (Husni 2010). Perkembangan Jeruk Keprok Batu 55 Jeruk keprok Batu 55 banyak disukai karena beberapa sifat unggul yang secara alami telah dimiliki seperti aroma dan rasa yang khas yang tidak terdapat pada jeruk manis pada umumnya. Manfaat lain dari jeruk keprok tidak hanya terfokus pada daging buah saja akan tetapi pada bagian kulit juga terkandung beberapa senyawa metabolit sekunder (Copriady et al.2005). Kulit jeruk jenis keprok mempunyai berbagai macam senyawa diantaranya tangeraxanthin, 8 tangeritin, terpinen-4-ol, terpineolene, tetradecanal, threonine, thymol, thymylmethyl-ether, tryptophan, tyrosine, nobiletin, cis-3-hexenol, cis-carveol, citricacid, citronellal, citronellic-acid, citronellyl-acetate, cystine, decanal, decanoicacid, decanol. Senyawa dalam kulit jeruk keprok yang memiliki aktivitas antikanker adalah tangeritin dan nobiletin. Tangeritin merupakan senyawa methoxyflavone yang mempunyai potensi sebagai agen antikanker (Ardiani et al. 2008). Gambar 2. Jeruk keprok Batu 55 (sumber dokumen pribadi) Gambar 2 menunjukkan bahwa jeruk keprok batu 55 memiliki penampilan yang menarik dengan karakter warna kulit orange dengan daging berwarna kuning kemerahan. Selain rasa yang manis dan tanpa biji karakter panampilan yang menarik merupakan syarat untuk pasar buah segar. Perkembangan jeruk keprok Batu 55 masih mengalami hambatan, terutama dalam memproduksi bibit yang bebas penyakit. Sulitnya mendapatkan bibit yang bebas virus dan seragam menjadi kendala dalam usaha peningkatan produksi jeruk keprok Batu 55. Menurut Deptan (2010) luas area pertanaman jeruk keprok Batu 55 di kota Batu mencapai 25 Ha. Dari 25 Ha area pertanaman hanya 5 Ha area terluas ditanami jeruk keprok Batu 55 yang terletak di dusun Dresel kecamatan Batu. Selain itu ada juga yang ditanam di area tempat tinggal penduduk. Tidak tersedianya bibit yang bebas penyakit menjadikan para petani jeruk keprok tidak optimum dalam usaha peningkatkan produksi jeruk tersebut. 9 Penyediaan bibit secara seperti: okulasi, cangkok, stek, dan perbanyakan melalui biji masih memiliki kelemahan sehingga perlu adanya peran teknik bioteknologi untuk mengatasi kelemahan tersebut. Teknik ES sangat membantu program peerbaikan sifat pada tanaman jeruk. Melalui teknik ES banyak kegiatan pemuliaan yang bisa dilakukan seperti mendapatkan tanaman bebas dari penyakit yang disebabkan oleh virus (D'Onghia et al. 2001), ketahanan terhadap salinitas (Carimi 2007), micro grafting (Germana et al. 2000), bahan fusi protoplas (Husni 2010), bahan transformasi gen (Bond et al. 1998) dan mutasi (Ling et al. 2000). Perbanyakan bibit secara massal dan bebas dari virus dan seragam juga dapat diusahakan melalui jalur embrio somatik (Sutanto & Azzis 2006). Kultur Jaringan Tanaman Jeruk Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dikembangkan berdasarkan teori sel yang pertama kali dikemukakan oleh Scheleiden dan Schawn, yaitu totipotensi sel. Namun kemudian pada perkembangannya teknik kultur jaringan menjadi sarana penting dalam bidang fisiologi tumbuhan dan dalam aspek biokimia tumbuh-tumbuhan serta pemuliaan tanaman (zulkarnain 2009). Totipotensi didefinisikan sebagai kemampuan setiap sel yang dari manapun sumbernya untuk berdeferensiasi dan tumbuh membentuk individu yang sempurna apabila sel tersebut ditumbuhkan pada lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya dan terkendali (Doyle & Griffiths 1999). Teknik kultur jaringan pada tanaman jeruk berguna dalam mendapatkan tanamanan atau bibit dalam jumlah banyak dalam waktu singkat, mendapatkan tanaman yang bebas penyakit terutama virus, preservasi plasma nutfah yang bebas penyakit, terutama yang digunakan untuk pemuliaan (Alkhyari & Albahrany 2001). Selain itu perbaikan sifat juga dapat dilakukan dengan seleksi, transfer gen dan produksi senyawa–senyawa kimia yang bernilai ekonomi tinggi. Copriady et al. (2005) menyatakan bahwa pada jeruk mengandung senyawa metabolit skunder kumarin yang berfungsi sebagai antikoagulan darah dan dapat menghambat efek karsinogenik. Sedangkan kandungan flavanoid dan limbonoid juga ditemukan pada berbagai fase pertumbuhan jeruk Kalamondin dan purut (Devy et al. 2010). Keberhasilan teknik kultur jaringan pada tanaman berkayu khususnya tanaman jeruk sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor penting seperti 10 bahan tanaman (eksplan), medium pertumbuhan, zat pengatur tumbuh yang digunakan (auksin, sitokinin, giberelin, zat inhibitor) dan asam amino (Carimi 2005). Ladaniya (2008) menyatakan bahwa kultur jaringan pada jeruk telah lama dipergunakan sebagai metode untuk propagasi dan perbaikan sifat. Perbaikan sifat jeruk melalui kultur jaringan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti teknik ES, induksi mutasi, fusi protoplas, variasi somaklonal, dan seleksi in vitro (Yuwono 2008). Eksplan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan suatu teknik kultur jaringan. Penggunaan eksplan dalam teknik kultur jaringan pada dasarnya adalah pemanfaatan sifat totipotensi sel yang terdapat pada eksplan (Wetter & Constabel 1992). Sifat tersebut mungkin terdapat pada semua jaringan tanaman akan tetapi ekspresinya terbatas pada kondisi tertentu yaitu sel yang meristematik. Ada lima faktor yang harus diperhatikan dalam regenerasi in vitro dari eksplan, yaitu: organ yang digunakan, umur fisiologis, musim pada saat pengambilan eksplan, ukuran eksplan dan kualitas tanaman asal. Hampir semua jaringan tanaman dapat dijadikan eksplan akan tetapi memerlukan kajian khusus untuk mempelajari sistem perkembangan sel hingga menjadi jaringan. Daun, kotiledon, hipokotil, bagian dari embrio, struktur repoduktif, tunas aksilar dan tunas lateral merupakan organ yang umum untuk regenerasi secara in vitro. Media tanam yang digunakan dalam teknik kultur jaringan berperan sangat penting. Media kultur pada prinsipnya harus dapat menyediakan unsur–unsur hara untuk pertumbuhan seperti tanaman di lapang. Umumnya media pada teknik kultur jaringan terdiri dari campuran garam-garam anorganik, karbon, vitamin, asam amino, dan zat pengatur tumbuh. Beberapa kasus tertentu penggunaan arang aktif biasa digunakan pada media tanam. Dalam kultur jaringan dikenal beberapa jenis media yang umum digunakan diantaranya media solid dan cair. Pemilihan jenis media tergantung pada jenis tanaman, faktor aerasi, bentuk pertumbuhan dan diferensiaisi yang diinginkan. Sukrosa merupakan persenyawaan yang paling sering digunakan sebagai sumber energi dalam media kultur. Ammirato (1983) menyatakan embriogenesis somatik in vitro tanaman dikotil menggunakan sukrosa pada konsentrasi 2-4 %. 11 Persenyawaan lain yang dapat digunakan adalah glukosa, maltosa dan fruktosa (Altaf et al. 2009). Tomaz et al. (2001) menyatakan bahwa jenis dan konsentrasi gula sebagai sumber energi sangat mempengaruhi inisiasi kalus embriogenik jeruk keprok. Vitamin yang paling sering digunakan dalam media kultur jaringan tanaman adalah thiamin, niacin, dan pyridoxine (Gunawan 1992). Beberapa media juga mengandung pantotenat dan biotin (Gamborg & Shyluk 1981). Penambahan myoinositol pada media kultur dapat memperbaiki pertumbuhan dan morfogenesis, sehingga sering dipandang sebagai golongan vitamin untuk tanaman (George & Sherrington 1984). Asam-asam amino merupakan sumber nitrogen organik yang lebih cepat tersedia dari pada nitrogen yang terdapat dalam bentuk nitrogen anorganik media (shiaty et al. 2004). Asam amino yang umum digunakan pada media kultur adalah sistein, L-glutamin, asparagin, L-arigin, l-tirosin, glisin serta campuran glutamin dan asparagin serta campuran asam amino kompleks seperti kasein hidrolisat, ekstak mal dan yeast ekstrak. Konsentrasi glutamin dan asparagin yang umum digunakan 100 mg/l, L-argini dan sistein 10 mg/l, L-tirosin 100 mg/l, glisin 2 mg/l dan asam amino kompleks 0.05% - 0.1% (Wattimena 1999). Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan faktor yang menentukan arah perkembangan eksplan. ZPT memainkan peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan, pembelahan, pembesaran dan diferensiasi sel (Zulkarnain 2009; Davies 2004). Tanpa ZPT pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat terganggu sebab untuk pembelahan sel dan pembesaran volume sel suatu jaringan memerlukan ZPT tertentu terutama dari golongan auksin dan sitokinin (Wattimena 1998). Interaksi dan perimbangan antara ZPT yang diberikan dalam media dan yang diproduksi secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur. Pemberian auksin yang lebih tinggi dari sitokinin akan menyebabkan diferensiasi mengarah kepada pertumbuhan akar, sebaliknya jika sitokinin lebih tinggi dari auksin, diferensiaisi akan mengarah kepada pertumbuhan tunas (Santoso dan Nursandi 2001). ZPT merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah dapat bersifat mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Watimena 1992). ZPT dapat menstimulasi pembelahan dan 12 perkembangan sel, terkadang jaringan atau eksplan dapat memproduksi ZPT sendiri (endogen). Menurut Gunawan (1992) pemberian ZPT dari luar adalah untuk mengubah nisbah ZPT yang ada pada tanaman. Perubahan nisbah selanjutnya dapat mengubah laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Penggunaan konsentrasi ZPT yang tepat dapat menghasilkan perkembangan sel ke arah yang dikehendaki. Berdasarkan kegunanya ZPT digolongkan kedalam lima golongan yaitu: auksin, sitokinin, asam absisik (ABA), giberelin dan etilen. Menurut Wattimena (1998) 2,4-D merupakan salah satu auksin yang mempunyai aktivitas tinggi jika dibandingkan dengan auksin alami seperti IAA. Senyawa 2,4-D digunakan secara luas dalam kultur jaringan terutama untuk merangsang pembentukan kalus yang bersifat embriogenik. Hal tersebut disebabkan karena 2,4-D merupakan auksin sintesis yang sangat aktif dan kuat, cukup resisten terhadap degradasi ensimatik dan proses konjungasi dengan senyawa lain (Moore 1979). Sedangkan kelompok sitokinin yang sering digunakan untuk membantu penginduksian kalus yaitu BAP dan kinetin. Sitokinin berperan dalam pembelahan sel pada jaringan yang digunakan sebagai eksplan. Menurut Wattimena (1992) pada beberapa tanaman sitokinin sangat dibutuhkan untuk proliferasi kalus. Husni (2010) menyatakan bahwa pemberian BAP dapat digunakan untuk proliferasi kalus embriogenik jeruk Siam. Sitokinin di dalam kultur jaringan tanaman dapat berfungsi antara lain untuk proses pembelahan sel. Selain meningkatkan pembelahan sel dan inisiasi tunas, sitokinin terlibat pula di dalam kontrol perkecambahan biji, mempengaruhi absisi daun dan transpor auksin (Davies 2004). Terdapat kisaran interaksi yang luas antara kelompok auksin dan sitokinin. Keduanya berinteraksi pula dengan senyawa-senyawa kimia lainnya yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan cahaya (Gunawan 2002). Auksin pada kondisi tertentu dapat bersifat seperti sitokinin ataupun sebaliknya. Meskipun demikian, baik auksin dan sitokinin keduanya seringkali digunakan secara bersamaan pada media kultur untuk menginduksi pola morfogenesis tertentu, walaupun rasio untuk menginduksi perakaran maupun tunas tidak selalu bersamaan (Zulkarnain 2009). 13 Kelompok ZPT GA3 merupakan kelompok ZPT yang paling banyak dijumpai di dalam tanaman. Hampir pada setiap perkembangan tanaman GA3 berperan aktif termasuk pada proses perkecambahan benih, pembentukan trikoma pada daun, pemanjangan batang dan daun, induksi pembungaan, perkembangan anter dan buah serta perkembangan benih (Acar et al 2010). Penggunaan GA3 pada kultur jaringan khususnya untuk elongasi tunas. GA3 akan mendorong percepatan pertumbuhan dari setiap sel jaringan sehingga perkembangan tanaman menjadi optimal. Ricci et al. 2001 menyatakan bahwa penambahan GA3 pada media kultur dapat memperbesar peluang jeruk untuk melakukan proses elongasi tunas. Embriogenesis Somatik Perkembangan media kultur jaringan dalam perbanyakan sel dan jaringan vegetatif telah sampai pada level yang memungkinkan untuk melakukan industrialisasi perbenihan dan penyediaan bahan dasar industri. Selain mampu menghasilkan tanaman yang sama dengan induknya, menghasilkan tanaman yang bebas patogen sistemik, memungkinkan untuk propagasi tanaman secara masal, dan mengatasi perbanyakan tanaman yang tidak dapat diperbanyak secara konvensional (zulkarnain 2009). Teknologi ini kemudian dikenal dengan istilah teknologi embriogenesis somatik. Embriogenesis somatik merupakan teknologi yang sangat efisien dan memiliki potensi propagasi secara massa yang komersil dengan biaya yang relatif murah. Embrio somatik berpotensi dikembangkan dalam sistem regenerasi tanaman karena kapasitas proliferasi yang tinggi, memungkinkan untuk mendapatkan sel tunggal yang dapat menghindarkan dari resiko kimera pada pemuliaan mutasi dan teknologi rekombinan DNA ( Lou et al. 1999) Embriogenesis somatik merupakan suatu proses berkembangnya sel somatik menjadi suatu jaringan tanpa melalui adanya fusi gamet. Selama fase awal embriogenesis, sel-sel somatik harus memulai beberapa fase perkembangan seperti dediferensiasi, induksi dan arah perkembangan . Pierk (1987) menyatakan bahwa embrio somatik bisa terjadi secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung yaitu proses terbentuknya embrio tanpa melalui proses kalus sedangkan tidak langsung dimana proses pembentukan embrio melalui proses pembentukan 14 kalus. Proses embrio somatik dimulai dengan terbentuknya sel-sel yang embriogenik berukuran kecil dengan isi sitoplasma yang penuh, nukleus yang besar, vakuola yang kecil dan kaya akan butiran-butiran pati yang padat, kemudian sel-sel tersebut berubah menjadi pre embrio yang bekembang menjadi fase globular, jantung, dan kotiledon. Tahapan perkembangan dari embrio somatik sama dengan perkembangan sel pada embrio zigotik dimana pada embrio somatik terdapat ciri struktur bipolar yaitu mempunyai dua calon meristem yaitu meristem akar dan meristem tunas (Husni et al.2010). Embrio somatik juga bermanfaat sebagai model untuk mempelajari fungsi gen yang terlibat dalam embriogenesis karena ada persamaan antara regenerasi tanaman secara in vitro ataupun in vivo. Secara umum perkembangan embrio somatik terjadi pada dua tahapan, tahap pertama disebut morfogenetik yaitu pembentukan stuktur dasar sel yang mengarah ke arah pembentukan bipolar dan pembentukan jaringan-jaringan primer yang meristem (Husni et al. 2010). Tahap kedua yaitu perkembangan embrio pada fase ini terjadi pematangan sel yang ditandai dengan adanya aktifitas perkembangan jaringan menjadi organ dan penyimpanan makro molekul seperti protein dan karbohidrat yang diperlukan selama proses perkecambahan dan pertumbuhan (Carimi 2005). Embrio somatik merupakan salah satu teknik in vitro yang dapat membantu konservasi tanaman dengan penyediaan bibit yang cepat. Kunitake et al. (2005) menyatakan bahwa penelitian embrio somatik pada jeruk sangat penting dalam aplikasi teknik rekayasa sel untuk meningkatkan hasil produksi. Embriogenesis Somatik pada Jeruk Teknik embriogenesis somatik pada tanaman jeruk telah banyak diteliti baik digunakan untuk mendapatkan tanaman yang seragam dan bebas virus ataupun sebagai bahan untuk perbaikan sifat genetik. Pentingnya mendapatkan bibit tanaman jeruk yang bebas penyakit terutama virus menjadikan embrio somatik pada jeruk terus berkembang (Sawi et al. 2005). Selain mendapatkan tanaman bebas virus teknologi embrio somatik juga dimafaatkan untuk memproduksi jeruk untuk batang bawah. Ricci et al. (2001) melaporkan bahwa penggunaan embrio somatik pada jeruk dengan menggunakan eksplan embrio nuselus dapat memproduksi secara masal untuk jenis jeruk batang bawah yang seragam. 15 Perbaikan sifat tanaman melalui embrio somatik juga telah banyak dilakukan pada tanaman jeruk salah satu metode yang dapat dilakukan dengan hibrida somatik (Saito et al. 1994 ; Guo & Deng 1998 ; Guo & Grosser 2005; Husni 2010), studi protoplas (Kunitake et al. 2005), serta uji ketahan (Gmiter & Moore 2005; Carimi et al. 2007). Konsep regenerasi tanaman melalui embrio somatik pada tanaman jeruk tidak berbeda halnya pada tanaman dikotil lainya. Keberhasilan regenerasi dari embrio somatik juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: eksplan, ZPT, media tanam serta arah tujuan perkembangan yang diinginkan (Yujin & Xiuyin 2002). Nuselus pada tanam jeruk merupakan eksplan yang mempunyai peluang lebih besar dalam mengiduksi sel yang embriogenik (Saito et al. 1994; Ricci et al 2001; Altaf et al. 2009; Husni 2010). Adapun beberapa keuntungan menggunakan jaringan nuselus sebagai eksplan antara lain: memiliki struktur genetik identik dengan tanaman induk (true to type), tingkat keberhasilan menghasilkan kalus yang embrionik lebih tinggi jika dibandingkan dengan organ vegetatif lainnya, tidak dipengaruhi oleh mutasi secara alami sebagai mana yang dialami oleh kebanyakan embrio zigotik (Krueger & Navarro 2007). Jaringan nuselus berkembang dari jaringan ovul yang mengelilingi atau menyelimuti kantung embrio seksual (embryo sac) dan mempunyai materi genetik yang sama dengan indukya (Kepiro & Roose 2007). Jaringan nuselus umumnya terdapat pada bji yang diperoleh dari buah yang muda. Gambar 3. Bagian nuselus dan embrio pada jeruk (sumber Carimi F 2005) Gambar 3 menunjukan bahwa perkembangan jaringan nuselus tidak terlalu berbeda dengan perkembangan embrio zigotik. Perkembangan nuselus akan terhenti jika buah telah memasuki fase masak. Nuselus yang terdapat pada buah muda lebih mudah untuk diinduksi karena pada fase ini jaringan memiliki sel-sel 16 yang aktif membelah (Obukosia & Waithaka 2000). Embrio yang dihasilkan dari jaringan nuselus mempunyai vigor yang tinggi (Iwamasa et al. 2007). Donghia et al. (2001) dan Carimi (2007) menambahkan bahwa embrio yang dihasilkan dari jaringan nuselus sebagai bahan eksplan sering dimanfaatkan pada teknik kultur jaringan khususnya untuk perbanyakan tanaman jeruk bebas dari virus (Obukosia & Waithaka 2000). Penggunaan eksplan nuselus pada jeruk pertama kali digunakan pada kultur jaringan untuk mengembangkan tanaman yang bebas virus (Tomaz et al. 2000). Nuselus yang digunakan sebagai sumber eksplan haruslah dari tanaman yang sehat dan tidak dalam keadaan stress atau mengalami mutasi secara spontan, dan umur buah saat diisolasi. Hal tersebut penting diperhatikan karena pembentukan kalus sangat tergantung pada status jaringan. Inisiasi kalus lebih mudah terjadi pada jaringan yang masih muda karena eksplan masih mengandung sel-sel yang aktif membelah (Carimi 2007). Nuselus merupakan eksplan yang sangat baik untuk penginduksian kalus embriogenik (Ricci et al. 2007). Christopani (1991) menyatakan bahwa nuselus sangat baik digunakan sebagai eksplan karena memiliki peluang yang lebih besar dalam menghasilkan jumlah sel yang embriogenik. Faktor lingkungan tumbuh, genotipe, umur eksplan, komposisi media tanam juga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam induksi kalus embriogenik pada eksplan nuselus (Grosser & Gmiter 1990). Selain faktor eksplan ZPT juga merupakan hal yang penting dimana ZPT berperan penting dalam proses induksi kalus embriogenik. Setelah terbentuk kalus embriogenik peran ZPT selanjutnya adalah mendewasakan serta menumbuhkan embrio tersebut. Selama proses pendewasaan embrio akan menyimpan cadangan protein dan karbon untuk selanjutnya memasuki fase perkecambahan pada media perkecambahan. Ricci et al. (2007) dan Tomaz et al. (2001) menggunakan konsentrasi gula yang berbeda-beda untuk proses pendewsaan embrio somatik jeruk. Pendewasaan embrio somatik dengan menggunakan ABA pada tanaman berkayu telah banyak diteliti seperti: Husni (2010) pada hasil fusi Siam Simadu dengan Mandarin Satsuma; Husni et al. (2011) pada Siam Pontianak; George et al. (2008) dengan eksplan daun pada jeruk; Gutman et al. (2006) pada pinus; Kong et al. (1994) pada cemara. 17 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboraturium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi dan Jaringan Sel Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian dan di Laboraturium Kultur Jaringan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakutas Pertanian IPB, berlangsung mulai dari Juni 2010 sampai Mei 2011 Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan adalah jaringan nuselus jeruk keprok Batu 55 dari buah muda berumur 60 - 70 hari setelah antesis. Media tanam yang digunakan media Murashige & Skoog (1962), Murashige & Tucker (1969) dan MW (MS modifikasi, Husni et al. 2010) kombinasi zat pengatur tumbuh (2,4-D, BAP, Picloram, Kinetin, ABA, GA3, NAA, IAA, dan IBA). Vitamin yang digunakan meliputi vitamin MS Vitamin MT dan vitamin Morel & Wetmore. Sedangkan alat yang digunakan air flow cabinet, dan perlengkapan kultur jaringan lainnya Metode Percobaan Penelitian ini dilakukan dalam 7 tahap kegiatan: 1) induksi kalus embriogenik. 2) proliferasi kalus embriogenik. 3) pendewasaan ES. 4) perkecambahan ES. 5). multiplikasi 6) induksi akar ES. 7) penghitungan kromosom. 8) aklimatisasi ES. 9) grafting tunas ES 1. Induksi Kalus Embriogenik Induksi kalus bertujuan untuk mendapatkan kalus yang bersifat embriogenik. Rancangan lingkungan yang digunakan untuk induksi kalus adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan empat perlakuan media terdiri dari: M1 = Murashige dan Tucker (MT) + 3 mg/l BAP + 1mg/l 2,4-D. M2 = Murashige dan Skoog (MS) + 3 mg/l BAP. M3 = MS + vitamin Morell dan Wetmore (MW). M4 = MT + 0,5 mg/l NAA + 1,5 mg/l BAP. Semua media perlakuan ditambahkan 500 mg/l ekstrak malt. Ulangan 20 kali dimana satu 18 ulangan adalah satu botol sebagai unit percobaan dengan enam eksplan. Bahan yang digunakan adalah buah jeruk keprok Batu 55 muda yang berumur 60 - 70 hari setelah antesis. Buah disterilisasi dengan alkohol 96% selama 15 menit kemudian dilewatkan pada bunsen hingga api padam lalu dibilas dengan aquades steril sebanyak tiga kali. Kulit jeruk dibuka di bawah kondisi steril. Biji muda diambil dari buah dan dipindah pada petridish steril dengan bantuan stereo microscope, bagian nuselus (Gambar 4) ditanam pada berbagai kombinasi media perlakuan. Nuselus Nuselus Zigotik Gambar 4. Pengamatan mikroskopik dengan binokular (jaringan nuselus dan embrio zigotik keprok Batu 55 ). Pengamatan pada percobaan ini meliputi perkembangan eksplan. Peubah yang diamati adalah: waktu terbentuknya kalus (hari), jumlah PEM (pre embrio) dan persentase pembentukan kalus. Peresntase pembentukan kalus Jumlah kalus yang terbentuk dengan cara : X 100 % Jumlah eksplan didapat 2. Proliferasi Kalus. Prolifersai kalus embriogenik bertujunan untuk mendapatkan populasi PEM yang banyak. Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah kalus embriogenik yang diperoleh dari hasil induksi kalus pada percobaan satu. Data diolah berdasarkan standar deviasi setiap perlakuan pada setiap minggu. Kalus disubkultur pada media perlakuan yang terdiri dari: MK1 = MS + 500 mg/l Ekstrak malt. MK2 = MS + 300 mg/l Casein hidrolisat. MK3 = MW + 500 mg/l Ekstrak malt. MK4 = MW + 300 mg/l Casein hidrolisat. Semua media kultur ditambah 3 mg/l BAP. Peubah yang diamati adalah: penambahan diameter kalus per minggu. 19 3. Pendewasaan Embrio Somatik Pendewasaan embrio somatik bertujuan agar didapat embrio dewasa pada fase kotiledon. Rancangan lingkungan yang digunakan adalah RAL satu faktor dengan empat perlakuan taraf konsentrasi ABA yaitu: 1.5 mg/l, 2 mg/l, 2.5 mg/l dan 3 mg/l dengan media dasar MW diulang 10 kali. Satu ulangan adalah satu botol sebagai unit percobaan dengan 15 struktur globular. Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah struktur globular yang diperoleh dari percobaan dua. Peubah yang diamati adalah: perubahan globular menjadi fase jantung, fase terpedo, kotiledon, dan efisiensi pendewasaan. Efisiensi pendewasaan didapatkan Jumlah tahap pendewasaan ES dengan cara : (fase jantung, fase terpedo dan kotiledon) X 100 % Jumlah globular awal 4. Perkecambahan Embrio Somatik. Perkecambahan kotledon bertujuan agar didapat planlet dengan sturktur bipolar. Rancangan lingkungan yang digunakan adalah RAL satu faktor dengan empat perlakuan konsentrasi GA3 yaitu: 1.5 mg/l, 2 mg/l, 2.5 mg/l dan 3 mg/l dengan media dasar MW diulang 10 kali. Satu ulangan adalah satu botol sebagai unit percobaan dengan 10 struktur kotiledon. Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah struktur kotiledon yang diperoleh dari percobaan tiga dan ditanam pada media dasar MW. Peubah yang diamati adalah jumlah planlet yang terbentuk dan fisiensi perkecambahan. Efisiensi perkecambahan didapatkan dengan cara : Jumlah planlet yang terbentuk Jumlah fase kotiledon awal X 100 % 5. Multiplikasi Tunas Multiplikasi tunas bertujuan agar didapat duplikasi tunas. Rancangan lingkungan yang digunakan adalah RAL satu faktor dengan lima perlakuan konsentrasi biotin yaitu: 0 mg/l, 1 mg/l, 3 mg/l, 5 mg/l, dan 7 mg/l dengan media dasar MW diulang 15 kali. Satu ulangan adalah satu botol sebagai unit percobaan dengan 5 tunas emrbrio somatik. Multiplikasi tunas embrio somatik menggunakan tunas ES yang didapat pada percobaan empat dan ditanam pada media dasar MW. Peubah yang diamati adalah embrio somatik yang bertunas, jumlah tunas, umur muncul tunas dan efisiensi multiplikasi tunas. Efisiensi multiplikasi tunas : Jumlah tunas yang bermultiplikasi X 100 % Jumlah tunas awal 20 6. Induksi Perakaran Induksi akar dilakukan dengan tujuan agar didapat akar sekunder pada tunas. Rancangan lingkungan yang digunakan adalah RAL satu faktor dengan ulangan 15 kali. Satu ulangan adalah satu botol sebagai unit percobaan dengan 1 tunas emrbrio somatik. Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah planlet hasil perkecambahan yang dihasilkan dari percobaan lima dan ditanam pada media MW. Percobaan dilakukan pada berbagai jenis auksin (IBA, NAA, dan IAA) konsentrasi 3 mg/l. Sebagai kontrol tunas tanpa media auksin. Peubah yang diamati adalah: umur muncul akar, jumlah akar, panjang akar dan efisiensi induksi akar. Jumlah tunas yang berakar Jumlah tunas awal 7. Penghitungan Kromosom Efisiensi induksi akar : X 100 % Penghitungan kromosom dilakukan dengan metode praperlakuan lengkap (Sastrosumarjo 2006). 20 Sampel akar diambil secara acak kemudian diberi perlakuan. Pengamatan dilakukan dibawah microscope. Penghitungan kromosom diulang 10 kali pada setiap sampel. 8. Embrio Somatik Sekunder Bahan yang digunakan adalah embrio somatik sekunder yang didewasakan pada media dengan konsentrasi ABA terbaik embrio somatik primer. Peubah yang diamati adalah perubahan globular menjadi fase jantung, fase terpedo, kotiledon, dan efisiensi pendewasaan. Perkecambahan embrio somatik sekunder pada media dengan konsentrasi GA3 terbaik embrio somatik primer. Peubah yang diamati adalah jumlah planlet yang terbentuk dan efisiensi perkecambahan. 9. Aklimatisasi Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah planlet ES yang mempunyai akar primer dan skunder hasil induksi perakaran. Percobaan dilakukan pada planlet 20 ES hasil induksi perakaran dan 20 ES tanpa induksi perakaran. Media aklimatisasi yang digunakan merupakan campuran sekam dan kompos. Peubah yang diamati adalah: jumlah dan persentase tunas embrio somatik yang bertahan hidup. 21 10. Grafting Grafting dilakukan dengan tujuan agar tunas in vitro dapat menyesuaikan diri dengan batang bawah. Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah tunas ES sebanyak 40 tunas. Batang bawah yang digunakan jeruk JC (Japanese Citroen). Peubah yang diamati adalah jumlah daun baru, tinggi tunas setelah grafting dan persentase tunas yang hidup setelah digrafting. Efisiensi tunas yang hidup dapat dicari dengan cara : Jumlah tunas grafting hidup Jumlah tunas garfting awal X 100 % 22 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Induksi Kalus Embriogenik. Jenis media dasar dan komposisi media yang digunakan dalam kultur in vitro sangat mempengaruhi kecepatan terjadinya induksi kalus dari jaringan yang digunakan. Selain itu, adanya zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam media kultur juga merupakan faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan induksi kalus dari jaringan eksplan yang dikulturkan. Shirin et al. (2007) mengatakan bahwa adanya auksin 2,4-D dalam media kultur dapat mempercepat terjadinya induksi kalus. Tao (2002) menyatakan bahwa 2,4-D merupakan golongan auksin paling baik untuk mengiduksi terjadinya kalus dibandingkan golongan auksin 4-CPA, NAA, 2.4.5-T, MCPA, dicamba, dan picloram. Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa respon nuselus terhadap perlakuan media kultur memberikan pengaruh terhadap peubah lamanya induksi kalus. Berdasarkan uji F terhadap umur tumbuh kalus dari setiap media kultur yang di uji (M1, M2, M3, M4) secara umum memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan. Tabel 1 menunjukan bahwa komposisi media kultur M1 merupakan media yang terbaik untuk menginduksi terjadinya kalus dari eksplan nuselus, diikuti oleh media M2, M3 dan M4. Kecepatan induksi kalus pada media M1 adalah selama 22.4 hari, 25.2 hari pada media M2, 27.3 hari pada media M3, dan 29.1 hari pada media M4. Tabel. 1 Respon nuselus terhadap perlakuan media kultur terhadap lama inisiasi kalus dan persentase pembentukan kalus. Media kultur M1 M2 M3 M4 Lama inisiasi kalus (hari) 22.4 a 25.2 ab 27.3 b 29.1 b Persentase eksplan menjadi kalus (%) 40.00 a 32.12 b 25.00 b 27.02 b rata-rata jumlah PEM 31.0 26.0 22.2 26.1 Keterangan :Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. M1 = Murashige & Tucker + 3 mg/l BAP + 1 mg/l 24-D, M2 = Murashige & Skoog + 3mg/l BAP, M3 = Murashige & Skoog + Vit. MW, M4 = Murashige & Tucker + 0,5 mg/l NAA + 1,5 mg/l BAP . Semua media perlakuan ditambah 500 mg/l ekstark malt. 23 Kecepatan terjadinya induksi kalus pada media M1 diduga karena adanya kombinasi auksin (1 mg/l 2,4-D) dengan sitokonin (3 mg/l BAP) dan penambahan 500 mg/l ekstrak malt. 2,4-D merupakan senyawa golongan auksin yang sangat baik untuk mengiduksi terbentuknya kalus. Kiong et al. (2008) menyatakan 2,4-D merupakan senyawa auksin yang paling baik digunakan untuk induksi kalus embriogenik pada berbagai jenis eksplan jeruk manis dimana waktu inisiasi ratarata selama 25.7 hari. Watter dan Constabel (1992) menyatakan bahwa BAP dapat memacu pertumbuhan kalus baru dan dapat meningkatkan persentase terbentuknya tunas. Aftal et al. 2009. Menyatakan bahwa BAP merupakan sitokinin yang sangat baik untuk memacu pertumbuhan kalus setelah terinduksi oleh auksin. Husni (2010) menyatakan bahwa dengan pemberian 3 mg/l BAP dapat mempercepat waktu inisiasi kalus dimana rata-rata waktu yang dibutuhkan selama 14 hari pada jeruk Siam Simadu dan Siam Pontianak. Hal ini didukung oleh Wattimena (1992) yang menyatakan bahwa pada beberapa tanaman sitokinin sangat dibutuhkan untuk proliferasi kalus. Sitokinin di dalam kultur jaringan tanaman berfungsi antara lain untuk proses pembelahan sel. Pada Tabel 1 juga terlihat bahwa persentase kalus terbesar yang terbentuk juga berasal dari media kultur M1 dengan persentase kalus tumbuh sebesar 40%. Hal ini berbeda nyata dengan perlakuan pada media kultur M2, M3 dan M4 dimana persentase terbentuknya kalus tumbuh berturut 32.12%, 25% dan 27.02%. Husni 2010 menyatakan bahwa media MT merupakan media terbaik bila dibandingkan dengan media MS dan MW dimana persenatse pembentukan kalus pada media MT sebesar 82 %. Altaf et al. 2009 menyatakan bahwa kombinasi 0.25 mg/l BAP dan 0.05 mg/l 2,4 D juga dapat menginduksi kalus embriogenik pada jeruk Kinov Mandarin. Kalus yang dihasilkan dari media perlakuan M1 bersifat embriogenik dimana ciri kalus embriogenik yaitu mempunyai sturktur pre embrio (PEM) (Husni 2010). Tingginya jumlah PEM yang dihasilkan pada media M1, selain pengaruh ZPT yang diberikan kemungkinan dikarenakan komposisi media dasar dan vitamin penunjang. Komposisi media dasar pada media kultur M1 adalah Murashige & Tucker (MT) dimana komposisi vitaminnya10 kali lebih banyak dari pada kompsisi vitmain media kultur Murashige & Skoog (MS). Hal ini didukung 24 A C B Globular C Pre embrio Pre embrio Globular Pre embrio D Gambar 5. Induksi kalus embriogenik dari eksplan nuselus pada media perlakuan M1 (A= nuselus, B = kalus, C = PEM perbesaran 40x, D = kalus embriogenik mengandung PEM dan globular) Hasil penelitian Husni (2010) yang menggunakan media dasar tersebut mendapatkan persentase pembentukan kalus pada jeruk siam Simadu sebesar 86% dan jeruk siam Pontianak sebesar 88%. PEM yang dihasilkan merupakan calon embrio somatik (Gambar 5C). PEM akan berkembang menjadi tanaman baru setelah ditumbuhkan pada media pendewasaan dan dilanjutkan pada media perkecambahan. Media M1 merupakan media yang baik untuk menginduksi kalus embriogenik walaupun hasilnya tidak berbeda nyata dengan media lainnya. Gambar 5B menunjukkan kalus terbaik pada media M1 stelah 4 MST dengan tekstur yang remah. Rata-rata PEM yang terbentuk pada media M1 adalah 31.0, kemudian diikuti media perlakuan M2, M4 dan M3. Gambar 5D memperlihatkan struktur kalus yang embriogenik dimana pada kalus tersebut terlihat banyak PEM dan sebagian ada yang mangandung struktur globular. Selain pengaruh ZPT diduga komposisi vitamin yang terdapat pada media MT lebih kaya unsur hara yang dibutuhkan sel untuk dapat berkembang. Hal ini didukung oleh pendapat Olivera et al. (1994) yang melaporkan bahwa media dasar MT merupakan media yang baik untuk menginduksi kalus embriogenik pada jeruk Cleopatra Mandarin (Citrus reticulata Blanco). Hal serupa juga dilaporkan oleh Husni et al. (2010) 25 yang melaporkan bahwa media MW dan MT merupakan media terbaik untuk menginduksi terjadinya kalus dengan struktur PEM pada jeruk siam Simadu dan Pontianak. 2. Proliferasi Kalus Embriogenik Komposisi media dasar sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kalus. Inisiasi pembentukan kalus baru berhubungan dengan penambahan diameter kalus. Diharapkan dengan terbentuknya kalus baru maka peluang memperbanyak kalus yang embriogenik semakin besar. Selain media dasar, komposisi vitamin sebagai faktor penunjang juga memberikan peranan penting dalam terjadinya pembentukan kalus baru. Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa kandungan media dasar, penambahan vitamin dan komponen penunjang sangat berpengaruh terhadap penambahan diamater kalus yang terlihat pada grafik laju Pertambahan diameter kalus (mm) pertambahan diameter kalus pada Gambar 6. 3,0 2,0 1,5 2,5 2,3 2,5 1,8 1,7 1,4 1,7 1,7 1,4 2,4 2,2 1,8 1,5 1,6 1,5 MK1 1,5 1,2 1,0 MK2 MK3 0,5 MK4 0,0 1 2 3 4 Laju pertambahan kalus minggu ke Gambar 6. Pertambahan diamater kalus pada media perlakuan MK1, MK2, MK3, dan MK4. MK4 merupakan media kultur terbaik jika dibandinagkan dengan media MK1, MK2, dan MK3. Grafik pertambahan diameter kalus memperlihatkan bahwa Perlakuan MK4 merupakan media yang sangat responsif terhadap pertambahan diameter kalus. Selama 4 minggu rata-rata pertambahan diameter kalus pada media MK4 sebesar 2.3 mm pada minggu ke-1, 2.5 mm pada minggu ke-2, 2.4 mm pada minggu ke-3, dan 2.2 mm pada minggu ke-4. Media dasar MK4 adalah MW dengan penambahan Kasein hidrolisat. Kasein hidrolisat berperan dalam inisiasi pembentukan kalus baru (Shiaty et al. 2004) Kasein 26 hidrolisat merupakan senyawa organik kompleks dan ditambahkan dalam media in vitro sebagai sumber asam amino (Gunawan 1992). Sukma (2004) menyatakan Penambahan kasein hidrolisat dapat membantu meningkatkan hasil biomasa dan kandungan protein total yang didapat dari kultur tanaman paria belut (Trichosanthes cucumerina). Vitamin yang digunakan pada media kultur MK4 adalah MW dimana di dalam komposisi vitamin ini terdapat biotin dan ca-pantothenat. Peran ca-panthotenat pada media MW sebagai penyumbang kalsium dan asam panthotenat yang berfungsi untuk mencegah terjadinya penuaan pada jaringan. Defisiensi kalsium menyebabkan translokasi karbohidrat terganggu sehingga sel yang terdapat pada jaringan yang aktif membelah menjadi mati (Gunawan 1992). Sedangkan asam pantotenat yang terdapat pada ca-panthotenat berperan dalam proses perubahan karbohidrat menjadi energi dan dapat mempercepat proses proliferasi jaringan (Wetter & Constabel 1992). Hal ini sesuai dengan pendapat Husni (2010) yang menyatakan bahwa respon inisiasi kalus dari eksplan nuselus jeruk Siam terbaik berasal dari media kultur dengan penambahan vitamin MW. Penambahan vitamin MW pada induksi kalus embriogenik, regenerasi kalus embriogenik menjadi tunas, regenerasi protoplas menjadi kalus dan tunas pada tanaman terung-terungan sangat baik digunakan (Husni et al. 2004). Penambahan kasein hidorlisat pada media MK4 turut memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan media kultur lainnya. Pengaruh kasein hidrolisat terhadap pertumbuhan sel kalus pernah dilaporkan Rahim et al. (2000); Ricci et al. (2007); Carimi (2005) menyatakan bahwa asam amino yang terdapat pada kasein hidrolisat dapat meningkatkan bobot dan laju pertumbuhan kalus. Kasein hidrolisat merupakan senyawa organik kompleks dan dapat ditambahkan dalam media in vitro sebagai sumber asam amino (Siregar et al. 2004). Penambahan kasein hidrolisat pada media kultur dapat memperbesar fase sekunder dari eksplan yang dikulturkan (Sukma et al. 2003). Penambahan kasein hidrolisat ke dalam media dapat memacu pembentukan kalus yang embriogenik. Kasein hidrolisat merupakan sumber N di dalam media dimana asam amino yang terdapat pada kasein hidrolisat merupakan senyawa organik kompleks sebagai sumber N organik. Sumber N organik lebih cepat 27 diserap tanaman dari pada sumber N anorganik. Lestari et al. (2009) menyatakan bahwa penambahan 500 mg/l kasein hidrolisat memberikan pengaruh yang baik dalam regenerasi kalus embriogenik. Kalus yang dihasilkan pada media kultur MK4 juga tetap bersifat embriogenik dengan struktur kalus yang remah dan banyak mengandung PEM (Gambar 7C ) A B C Gambar 7. Proliferasi kalus embriogenik dari pada media MK4 (A= umur kalus 3 minggu, B = penampakan kalus secara mikroskopik C= PEM ). Penambahan kasein hidrolisat pada media yang mengandung vitamin Morel dan Wetmore (MK4) terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan kalus baru sehingga diameter kalus bertambah. Gambar 7B menunjukkan bahwa kalus yang dihasilkan masih bersifat embriogenik dimana terlihat banyak PEM. Heimer dan Filner (1970) melaporkan bahwa kasein hidrolisat pada media merupakan sumber nitrogen yang sangat baik untuk pertumbuhan kalus pada tembakau, kacangkacangan (Crocomo et al. 1976) dan produksi kalus dari tanaman ercis (Cardi & Monti 1993). Vitamin Morel dan Wetmore merupakan vitamin yang komposisinya lebih lengkap dibandingkan dengan vitamin MS, yaitu mengandung kalsium pantotenat dan biotin yang dapat memacu pertumbuhan jaringan. Elshiaty et al. (2004) dan Badawy et al. (2009) menyatakan bahwa pemberian biotin mempengaruhi perkembangan kalus embriogenik. Penambahan komponen tersebut pada media berpengaruh baik terhadap regenerasi kalus sebesar 63% pada pepaya (Damayanti 2007) dan dapat memacu proliferasi kalus nilam (Hutami el al. 2001) 28 3. Pendewasaan embrio somatik Embriogenesis somatik secara langsung terbentuk dari sel-sel tunggal yang meristemoid dengan sifat embrioid serta aktif membelah sehingga tumbuh dan berkembang membentuk embrio somatik yang mempunyai dua kutub (bipolar) yang muncul sebagai tunas dan akar (Husni 2010). Salah satu faktor paling penting yang berkaitan dengan pertumbuhan dan pendewasaan dari jaringan embrio somatik adalah komposisi media kultur yang digunakan. Tabel 2 menunjukan bahwa penambahan 2.5 mg/l ABA berbeda nyata dengan semua perlakuan pada peubah fase jantung dan fase kotiledon. Penambahan 2.5 mg/l ABA dalam media kultur merupakan konsentrasi ABA yang paling baik memacu pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik struktur globular menjadi fase jantung, fase torpedo, dan fase kotiledon dengan efisiensi pendewasaan sebesar 98.6 %. Efisiensi pendewasaan adalah kemampuan ABA dalam mendewasakan struktur globular hingga didapat embrio dengan fase akhir yaitu kotiledon. Efisiensi pendewasaan didapatkan dengan cara menjumlahkan tahap pendewasaan ES (fase jantung, fase terpedo dan kotiledon) kemudian dibagi dengan jumlah globular awal dan dikali 100%. Tabel 2. Pengaruh penambahan ABA terhadap rata-rata pendewasaan embrio somatik pada umur 4 minggu setelah tanam. Media kultur Tahap pendewasaan embrio somatik MW dengan Jumlah Fase Fase Fase Efisiensi globular Terpedo Kotiledon pendewasaan Jantung Penambahan awal (%) ABA (mg/l) 1.5 15 3.6 b 3.6 b 3.4 b 70.6 2.0 15 4.4 b 4.4 a 3.8 b 88.0 2.5 15 6.2 a 3.6 b 5.0 a 98.6 3.0 15 4.2 b 4.2 ab 4.0 b 82.6 Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. Media dasar yang digunakan Murashige & Skoog dengan penambahaan vitamin Morel & Wetmore Rata-rata jumlah embrio somatik fase jantung ati adalah 6.2, fase torpedo 3.6 dan fase kotiledon 5.0 kemudian diikuti penambahan 2 mg/l ABA dengan efisiensi pendewasaan sebesar 88%, penambahan 3 mg/l ABA sebesar 82% dan pemberian 1.5 mg/l ABA sebesar 70.6%. Tahapan pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik pada fase globular menjadi fase jantung, torpedo, kotiledon dan sitologinya terdapat pada Gambar 8. Hasil percobaan pendewasaan 29 embrio somatik pada Tabel 2 terlihat bahwa penambahan konsentrasi 2.5 mg/l ABA pada medium MW berpengaruh nyata terhadap semua fase pendewasan embrio.Tingginya efisiensi pendewasaan embrio somatik yang terdapat pada perlakuan dengan penambahan 2.5 mg/l ABA diduga karena konsentrasi yang diberikan mampu untuk mempercepat fase pendewasaan embrio somatik. Perlakuan dengan penambahan 3 mg/l ABA efisensi pendewasannya sebesar 82.6 % lebih kecil jika dibandingkan dengan penambahan konsentrasi 2 mg/l ABA dengan efisiensi 88%. Hal ini kemungkinan disebabkan ABA yang diberikan terlalu besar sehingga menghambat proses pendewasaan embrio somatik. Hal serupa juga disampaikan oleh Kobashi et al. (2001) yang menyatakan bahwa penambahan konsentrasi 10 -6 mg/l ABA berpengaruh nyata bila dibandingkan penambahan konsentrasi 10 -4 mg/l ABA dengan sumber gula fruktosa. Pendewasaan embrio somatik pada tanaman jeruk sangat tergantung dari komposisi ZPT yang diberikan kepada eksplan (Husni 2010). Pendewasaan embrio somatik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lintasan kultur in vitro, konsentrasi karbohidrat, dan level dari ABA (Anjaneyulu & Giri 2008). Embrio somatik pada proses pendewasaan akan berhenti berproliferasi, ukurannya membesar, dan mulai mengakumulasi cadangan nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Embrio dirangsang untuk menjadi dewasa dengan menggunakan asam absisik (ABA) dan meningkatkan potensial osmotik (Egerstsdotter 1999). Menurut Renukdas et al. (2006) peningkatan efisiensi pendewasaan embrio somatik dapat dilakukan dengan penambahan etilen antagonis pada konsentrasi tinggi (10 μM) seperti spermidine, ABA, dan AgNO3. Pemberian ABA harus sesuai dengan konsentrasi yang diberikan karena akan mempengaruhi pertumbuhan eksplan (Santi & Kusumo 1996). Husni (2010) menambahkan bahwa dengan penambahan 0.5 mg/l ABA dapat meningkatan efisiensi pendewasaan embrio somatik jeruk Siam sampai 90%. ABA merupakan salah satu inhibitor yang berperan dalam proses pematangan atau pendewasaan. Gambar 8 menunjukan bahwa terjadi perkembangan globular menjadi fase jantung. Fase jantung merupakan awal pembentukan embrio dimana terdapat struktur awal bipolar (Gambar 8B) yang akan terus berkembang menjadi fase 30 terpedo (Gambar 8C). Memasuki fase terpedo, sel akan mengarahkan pertumbuhannya ke arah bawah dan membentuk meristem akar hal ini ditandai dengan terbentuknya struktur batang. Akhir dari pematangan embrio akan terbentuk kotiledon sempurna dimana pada bagian meristem tunas dan meristem akar mulai terbentuk (Gambar 8D). Pemberian ABA pada embrio somatik bertujuan agar mempercepat fase pendewasaan sehingga didapat kotiledon yang siap ditumbuhkan. Selain itu pemberian ABA juga dapat menekan terjadinya pertumbuhan embrio yang prematur. Kotiledon yang terbentuk pada akhir fase pematangan kemudian dipindah ke media perkecambahan agar berkembang menjadi tanaman utuh (planlet). Hal tersebut juga dilaporkan oleh Cardoza et al. (2002) bahwa pemberian konsentrasi 0.5 mg/l ABA pada kalus yang diinduksi dari nuselus menunjukan adanya fase pendewaasan embrio somatik yang dimulai dari globular kemudian jantung dan kotiledon. Pemberian konsentrasi 10 μM ABA pada oak dapat meningkatkan persentase pendewasaan sebesar 36% (Mauri 2004). Pendewasaan embrio somatik pada jeruk dimulai dari terbentuknya globular kemudian fase jantung, fase terpedo dan kotiledon (Husni 2010). Hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa pengaruh konsentrasi ABA terhadap pendewasaan embrio somatik menunjukan hasil yang nyata. Faktor endogen yang terdapat pada eksplan juga sudah cukup besar sehingga dengan penambahan eksogen yang terlalu besar justru memberikan efek negatif. Penurunan efisiensi perkecambahan juga dilaporkan oleh Mauri dan Manzenera (2004) yang menggambarkan bahwa pemberian ABA dengan penambahan 40 μM ABA tidak lebih baik dari pada penambahan ABA 10 μM untuk pendewasaan embrio somatik pada Holm oak. 31 A1 B1 C1 A2 B2 C2 kotiledon Bakal tunas baru Bakal akar D1 D2 Gambar 8. Perkembangan embrio somatic dan sitologinya ( A1 & A2 = Fase globular, B1 & B2 = Fase heart, CI & C2 = Fase torpedo, D1 & D2 = Kotiledon) 32 4. Perkecambahan Embrio Somatik. Perkecambahan embrio somatik setelah fase pendewasaan menjadi tanaman lengkap sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengaruh faktor lingkungan (suhu dan cahaya ) dan komposisi ZPT yang terdapat pada media perkecambahan. Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik yang mampu mendorong, mengatur dan menghambat proses fisiologis tanaman. Salah satu ZPT yang berperan dalam proses perkecambahan embrio somatik adalah GA3 (Davies, 2004). GA3 berperan dalam menggiatkan fungsi kerja aktivitas α-amilase dalam metabolisme sehingga terjadi perkecambahan (Woodger et al. 2004). Hal ini juga terbukti pada perkecambahan embrio somatik jeruk siam Simadu dan Pontianak dengan menggunakan GA3 yang mengakibatkan efisiensi perkecambahan menjadi meningkat (Husni 2010). Tabel 3. Pengaruh penambahan GA3 terhadap rata-rata perkecambahaan embrio somatik pada umur 4 minggu setelah tanam. Tahap Perkecambahaan embrio somatik Media kultur MW dengan penambahan GA3 (mg/l) 1.5 2.0 2.5 3.0 Jumlah fase kotiledon Awal Rata-rata Planlet Efisiensi perkecambahaan (%) 10 10 10 10 5.2 b 5.4 b 8.4 a 6.8 b 52.0 54.0 84.0 68.0 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. Media dasar yang digunakan Murashige & Skoog dengan penambahaan vitamin morel & wetmore Tabel 3 menunjukkan bahwa penambahan 2.5 mg/l GA3 berbeda nyata dengan semua taraf perlakuan pada peubah jumlah planlet yang terbentuk. Berdasarkan data percobaan yang telah diperoleh didapatkan informasi bahwa pemberian konsentrasi GA3 pada media kultur berpengaruh terhadap fase perkecambahan dari embrio somatik menjadi tanaman lengkap. Tabel 3 menunjukan bahwa efisiensi perkecambahan terbesar terdapat pada perlakuan penambahan konsentrasi 2.5 mg/l GA3. Efisiensi perkecambahan tanaman pada media dengan pemberian 2.5 mg/l GA3 adalah sebesar 84% dengan rata-rata planlet 8.4. Efisiensi perkecambahan adalah kemampuan dari konsentrasi GA3 yag diberikan dalam mengecambahkan kotiledon hingga tahap planlet. Efisiensi 33 perkecambahan tanaman dengan penambahaan kosentrsi 3 mg/l GA3 sebesar 68% dengan rata-rata planlet 6.8, penambahan konsentrasi 2 mg/l GA3 sebesar 54% dengan rata-rata planlet 5.4 dan penambahan konsentrasi 1.5 mg/l GA3 sebesar 52 % dengan rata-rata planlet 5.2. Perkecambahan embrio yang sempurna ditandai dengan pembentukan akar dan munculnya tunas (Gmietter & Moore 1986). Hasil penelitian Husni (2010) didapatkan informasi bahwa dengan penambahan GA3 dengan konsentrasi 1.5 mg/l memberikan pengaruh yang nyata terhadap fase-fase perkecambahan embrio somatik. Hal ini juga didukung oleh pendapat Kuniktake et al. (1991) yang menyatakan bahwa penambahan GA3 pada media kultur meningkatkan efisensi perkecambahan sebesar 5 % dengan waktu 30-60 hari pada jeruk. Tingginya efisiensi perkecambahan pada perlakuan 2.5 mg/l GA3 diduga karena konsentrasi tersebut merupakan kondisi optimum yang diperlukan eksplan untuk melakukan proses perkecambahan dari embrio somatik, sedangkan pada penambahan konsentrasi 3 mg/l GA3 terlalu tinggi untuk inisiasi perkecambahan sehingga terjadi penurunan efisiensi perkecambahan. Hal serupa pernah dilaporkan oleh Acar et al. (2010) yang menyatakan terjadinya penurunan persentase perkecambahan hingga 50% pada Pistacia vera dengan penambahan konsentrasi GA3 hingga 100 mg/l. Hal tersebut juga didukung oleh hasil percobaan Ake et al. (2007) yang mendapatkan penurunan efisiensi perkecambahan 40% pada konsentrasi 46 μM GA3 bila dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah. Penambahan konsentrasi 3 mg/l GA3 tidak terlalu efisien dalam perkecambahan embrio somatik karena terjadinya pembelahan sel yang terjadi terus menerus sehingga menurunkan efisiensi perkecambahan. Tahap perkecambahaan embrio somatik hingga menjadi tanaman lengkap menurut Husni (2010) dimulai dari pembentukan fase terompet kemudian diikuti fase pembukaan kotiledon lalu proses perkecambahan hingga terbentuk tanaman lengkap (Gambar 9). Tabel 3 menunjukan bahwa pembentukan planlet terbesar terdapat pada konsentrasi 2.5 mg/l GA3 dengan rata-rata pembentukan planlet sebesar 8.4 per botol. Hal serupa juga dilaporkan oleh Komatsuda et al. (1992) dengan penambahan konsentrasi GA3 pada media kultur dapat meningkatkan proses perkecambahan menjadi planlet sebesar 90% pada tanaman kedelai. 34 A B C D E Gambar 9. Fase perkecambahan embrio somatik pada media 2.5 mg/l GA3 (A = fase terompet, B = fase pembukaan kotiledon, C = fase perkecambahan membentuk akar, D = perkecambahan membentuk akar dan tunas, E = Planlet umur 4 minggu setelah berkecambah) GA3 merupakan senyawa yang mengandung gibban skeleton yang berperan dalam menstimulasi pembelahan sel serta mobilisasi cadangan makanan dari endosperm untuk pertumbuhan embrio. Perkecambahan dari embrio somatik yang ditunjukan pada Gambar 9 dimulai dari fase perkembangan kotiledon muda yang memasuki fase terompet (Gambar A) dan pembukaan kotiledon (Gambar 9B). Pada fase ini terlihat bahwa perkembangan kotiledon terjadi pada bagian tunas atas dimana bagian daun mulai terbentuk. Fase perkecambahaan embrio somatik dimulai ketika kotiledon mulai membuka yang ditandai dengan terbentuknya akar (Gambar 9C). Terbentuknya akar akan mengoptimalkan penyerapan hara sehingga pertumbuhan planlet yang dikecambahkan menjadi maksimal. Akar akan tumbuh pada fese ini dan berkembang untuk menyerap hara yang terdapat di sekitar media. Terbentuknya akar pada embrio somatik menjadikan pertumbuhan embrio somatik menjadi optimal yang ditandai dengan terbentuknya organ lengkap seperti akar, daun dan batang pada tanaman (Gambar 9E). Pertumbuhan dan pekembangan planlet dioptimalkan dengan cara dipindakan ke media tanpa ZPT. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko penuaan pada planlet akibat perkembangan sel yang terjadi secara cepat karena terinduksi oleh ZPT. Pemberian konsentrasi GA3 yang berbeda pada embrio somatik ternyata memberikan pengaruh terhadap tipe-tipe perkecambahan embrio somatik (Gambar 10). Variasi pekecambahan yang ditunjukkan merupakan efek dari pemberian konsentrasi GA3 mulai dari tipe yang sulit untuk berkecambah (roset) pada gambar 10E, hingga perkecambahan tunas yang lebih dari dua tunas (Gambar 10D). Variasi tunas yang muncul lebih dari dua paling banyak 35 ditemukan pada perlakuan 2.5 mg/l GA3 sedangkan variasi embrio somatik dengan tipe roset banyak dijumpai pada perlakuan 3 mg/l GA3. Hal yang sama juga diperoleh dari hasil perkecambahan biji jeruk yang menghasilkan tunas lebih dari satu karena sifat poli embrioni yang dimilikinya. Hal ini membuktikan bahwa embrio somatik yang berasal dari sel-sel nuselus juga memilki sifat yang sama seperti embrio yang yang tumbuh dari biji jeruk. Gambar 10 memperlihatkan perbandingan berbagai tipe perkecambahan embrio somatik dan embrio zigotik . A B C D E Gambar 10. Variasi perkecambahan embrio somatik dan perkecambahan biji (A = perkecambahan biji, B = variasi embrio somatik 1 tunas , C = variasi embrio somatik 2 tunas , D = variasi embrio somatik labih dari 2 tunas, E = variasi embrio somatik tipe roset) Gambar 10A merupakan perkecambahan dengan menggunakan biji pada media kultur tanpa pemberian GA3 jika dibandingkan dengan Gambar 10C dan 10D terlihat bahwa melalui ES yang berkembang dari jaringan non zigotik juga memiliki kemampuan yang sama dalam berkecambah dimana rata-rata tunas yang dihasilkan lebih dari satu. 5. Multiplikasi Tunas Embrio Somatik. Multiplikasi tunas pada embrio somatik tanaman jeruk secara khusus bertujuan untuk memgoptimalkan jumlah tunas yang tumbuh dengan cara memanfaatkan sifat poli embrioni. Hasil multiplikasi pada teknik kultur jaringan dioptimalkan dengan cara memodifikasi media tumbuh seperti manambahkan vitamin (Park et al. 2000) thiamin, pyridoxin (Dods & Robert. 1995) dan biotin (Shiaty et al. 2004). Vitamin yang diujikan sebagai perlakuan pada percobaan ini adalah biotin. Biotin merupakan salah satu jenis vitamin yang umum digunakan untuk embrio somatik (Shiaty et aI. 2004) serta regenerasi tanaman (Khalil & Elbanna 2003). 36 Embrio somatik yang dihasilkan kemudian dikulturkan pada media MW dengan penambahan beberapa konsentrasi biotin (0, 1, 3, 5, dan 7 mg/l). Hasil percobaan pada Tabel 4 menunjukan bahwa pemberian konsentrasi yang berbeda ternyata berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas baru yang terbentuk. Semakin tinggi konsentrasi biotin yang ditambahkan maka akan semakin tinggi pula efisiensi multiplikasi tunas yang dihasilkan dan jumlah tunas yang dihasilkan juga lebih banyak. Penambahan 7 mg/l biotin merupakan konsentrasi terbaik dimana efisiensi multiplikasi tunas sebesar 86% dengan pertambahan tunas rata-rata 3.06. Hal ini berbeda nyata dengan kosentarsi 0, 1, 3, 5 mg/l biotin dimana efisiensi multiplikasi tunasnya sebesar 24 %, 42 %, 46 % dan 50%. Tabel 4. Pengaruh konsentrasi biotin terhadap rata-rata jumlah multiplikasi tunas Multiplikasi tunas Media kultur penambahan biotin (mg/l) Jumlah ES awal Rata-rata ES somatik bermultiplikasi Rata- rata jumlah tunas baru yg muncul Saat muncul tunas baru (hari) 0 1 3 5 7 5 5 5 5 5 1.20 2.10 2.30 2.50 4.30 0.20 b 0.40 b 0.46 b 1.00 b 3.06 a 20.2 d 19.1 c 17.9 b 16.9 b 15.0 a Efisiensi multiplikasi tunas (%) 24.0 42.0 46.0 50.0 86.0 Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. Media dasar yang digunakan Murashige & Skoog dengan penambahaan vitamin morel & wetmore Tingginya pembentukan tunas pada media dengan penambahan 7 mg/l biotin diduga konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi yang tepat untuk menginduksi tunas baru. Tabel 4 juga memperlihatkan bahwa munculnya tunas baru tercepat juga berasal dari media perlakuan yang sama dengan lama hari 15.0 hari. Penambahan 7 mg/l biotin terhadap peubah umur muncul tunas berbeda nyata juga terhadap media perlakuan lainnya dimana waktu terlama muncul tunas terdapat pada media kontrol (0 mg/l biotin) dengan lama waktu 20.2 hari. Selain berpengaruh terhadap jumlah tunas yang muncul pemberian biotin ternyata berpengaruh juga terhadap saat muncul tunas baru. 37 A B C D Gambar 11. Multiplikasi tunas dengan penambahan 7 mg/l Biotin (tanda panah merupakan tunas baru ) A , B , C = tunas umur 4 mst, D = tunas dewasa) Gambar 11 memperlihatkan bahwa pemberian 7 mg/l biotin memberikan pengaruh terhadap jumlah tunas baru. Gambar 11A, 11B, dan 11C menunjukkan secara jelas bahwa tunas-tunas baru yang muncul setelah 4 mst. Kondisi tunas pada saat tersebut masih sangat muda dimana jumlah daun rata-rata 2-3 helai sedangakan pada Gambar 11D umur tunas telah di atas 5 minggu dimana tunastunas baru mulai menunjukan fase dewasa. Gambar 11D memperlihatkan bahwa batang dan daun telah terbentuk sempurna pada kondisi ini tunas-tunas tersebut telah siap dipisah untuk ditanam dan atau diberi perlakuan untuk pertumbuhan perakaran. 6. Induksi Perakaran. Sistem perakaran pada embrio somatik merupakan hal yang penting dan sangat dibutuhkan. Secara umum fungsi utama akar pada tanaman in vitro sama seperti fungsi akar pada tanam lapang yaitu menyerap unsur hara yang terkandung pada media dan sebagai penopang agar tanaman tidak reba. Sifat poli embrioni yang terdapat pada embrio somatik jeruk memungkinkan embrio somatik untuk menumbuhkan tunas-tunas baru. Akar pada kondisi tersebut yang terbentuk pada tunas primer tidak akan cukup banyak untuk menyarap hara pada media untuk itu diperlukan pengiduksian akar pada tanaman hasil multiplikasi tunas embrio somatik tersebut. Percobaan induksi perakaran dilakuan pada tunas hasil multiplikasi dengan beberapa jenis ZPT golongan auksin. Auksin merupakan golongan zat pengatur tumbuh yang dapat mengatur terjadinya pertumbuhan akar (Liu et al. 1998). Gaspar et al. (1996) menyatakan bahwa auksin sangat diperlukan dalam organogenesis termasuk dalam pembentukan akar. Auksin 38 dengan konsentrasi yang tepat dapat meningkatkan inisiasi dan induksi akar (IBA, NAA dan IAA) (Nandagopal & Kumari 2007). Tabel 5. Pengaruh IBA, NAA dan IAA terhadap induksi perakaran 5 mst Induksi akar Media kultur MW dengan penambahan ZPT (mg/l) Jumlah tunas Jumlah tunas berakar Saat muncul akar (Hari) Jumlah akar Panjang Akar (Cm) Efisiensi induksi akar (%) Kontrol IBA 3 mg/l NAA 3 mg/l IAA 3 mg/l 15 15 15 15 2 13 11 9 26.0 b 15.3 a 18.0 a 18.4 a 0.30 c 5.40 a 3.70 b 3.50 b 0.46 c 1.34 a 0.96 b 0.93 b 13.3 86.6 73.3 69.0 Keterangan :Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. Media dasar yang digunakan Murashige & Skoog dengan penambahaan vitamin morel & wetmore. Dari hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh informasi bahwa dengan menambahkan 3 mg/l IBA dapat menginduksi terbentuknya akar pada tunas embrio somatik jeruk. Semua jenis auksin yang digunakan dapat menginduksi terbentuknya akar (Tabel 5). Tabel 5 menunjukan bahwa pemberian auksin IBA, NAA, dan IAA pada tunas tidak berpengaruh nyata terhadap peubah saat muncul akar tetapi berbeda nyata dengan tunas tanpa auksin. Pemberian 3 mg/l IBA memberikan pengaruh yang nyata pada peubah jumlah akar dan panjang akar. Pemberian 3 mg/l IBA lebih baik dari pada 3 mg/l NAA dan 3 mg/l IAA dengan efisiensi keberhasilan pembentukan akar menggunakan ZPT IBA sebesar 86%. Kemudian diikuti NAA sebesar 73.3% dan IAA sebesar 69% . Efek IBA terhadap keberhasilan dalam menginduksi akar juga di laporkan Islam et al. (2005) dimana efesiensi perakaran tanaman Cicer arietinum naik sampai 90% dengan pemberian 0.50 mg/l IBA. Sedangkan pada tanaman Sugarcane penambahan 3 mg/l IBA memberikan efisiensi perakaran sebesar 88 %. Pengaruh IBA terhadap peubah saat muncul akar lebih baik jika dibandingkan dengan NAA dan IAA walaupun tidak berpengaruh nyata. IBA pada peubah muncul akar merupakan ZPT yang tercepat dalam mengiduksi terjadinya perakaran dimana lama waktu yang dibutuhkan selama 15.3 hari kemudian diikuti oleh IAA dan NAA dengan lama induksi 18.4 dan 18 hari sedangkan tanaman kontrol membutuhakn waktu lebih lama yaitu 26 hari. Hal 39 yang sama dilaporkan Gantait et al. (2009) bahwa IBA merupakan ZPT yang sangat baik untuk kecepatan induksi perakaran pada tunas Dendrobium chrysotoxum bila dibandingkan dengan NAA dan IAA. A B C D Gambar 12. Variasi induksi perakaran tunas dengan penambahan IBA, NAA dan IAA (A = tanaman kontrol umur 5 mst, B = induksi perakaran dengan 3 mg/l IBA umur 5 mst, C = induksi perakaran dengan 3 mg/l NAA umur 5 mst, D = induksi perakaran dengan 3 mg/l IAA umur 5 mst). Selain itu IBA juga merupakan ZPT yang sangat respon terhadap pertambahan jumlah dan panjang akar (Polat & Caliskan 2008). Pemberian 2 mg/l IBA juga telah dilaporkan berhasil menginduksi terjadi kecepatan muncul akar pada tanaman kedelai dimana akar mulai muncul pada hari ke 12 (Liu et al. 1998). IBA pada peubah jumlah dan panjang akar (Tabel 12) dengan konsentrasi yang sama masih merupakan ZPT yang lebih baik jika di bandingakn dengan NAA dan IAA dimana rata-rata jumlah akar yang terbentuk 5.40 sedangkan pada NAA dan IAA sebesar 3.7 dan 3.5. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ucelar et al. (2004) yang menyimpulkan bahwa IBA sangat baik digunakan untuk menginduksi banyaknya jumlah akar primer pada buah kiwi dan panjang akar pada jeruk (Bhatt & Tomar 2010). IBA merupakan ZPT yang baik untuk merangsang aktifitas perakaran seperti memproduksi jumlah akar (Tabel 5) hal tersebut didukung oleh pendapat Hassan et al. (2010) yang mendapatkan jumlah akar rata-rata 6.2 dengan penambahan konsentrasi 2.0 mg/l IBA pada tunas Ficus glomerata. Hal ini menurut Islam et al. (2005) karena pada IBA kandungan kimianya lebih stabil dan persistensi lebih lama. IAA biasanya mudah menyebar kebagian lain sehingga menghambat perkembangan serta pembentukan akar. 40 Penggunaan NAA yang kurang tepat konsentrasinya akan memperkecil peluang terbentuknya akar (Ghopitha et al. 2010). Gambar 12A memperlihatkan bahwa tunas pada media kontrol (MW tanpa ZPT) juga dapat tumbuh akar tetapi tidak sebanyak tunas yang diberi ZPT (Gambar 12B, 12C dan 12D). Waktu yang diperlukan untuk induksi akar pada media kontrol cukup lama sekitar rata-rata 26 hari dengan jumlah akar rata-rata 0.30. Hal ini dapat terjadi karena kandungan endogen auksin yang terdapat pada tunas masih dapat digunakan untuk pembentukan akar. Liu et al. (1998) yang menyatakan bahwa endogenous auksin pada tunas dapat merubah arah perkembangan atau pertumbuhan. 7. Penghitungan Jumlah Kromosom Keseragaman tanaman yang dihasilkan melalui jalur embriogenesis somatik sangat diperlukan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan bibit yang seragam dan identik dengan induk. Variasi jumlah kromosom yang timbul dalam sistem regenerasi embriogenesis somatik dipengaruhi oleh lingkungan dan lamanya umur kultur. Indrayasa (2010) melaporkan bahwa umur kultur yang lama pada tanaman jeruk Siam Pontianak menyebabkan terjadinya variasi jumlah kromosom. Variasi jumlah kromosom yang muncul diduga karena pengaruh subkultur yang berulang-ulang dan berlangsung dalam tempo yang lama. Analisis kromosom dilakukan secara acak terhadap sampel akar dari tunas ES. Tujuan dari analisis ini untuk mengetahui ada atau tidaknya variasi jumlah kromosom pada tanaman yang dihasilkan melalui regenerasi secara ES. Variasi jumlah kromosom yang timbul berdasarkan perbedaan fenotip bisa disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan sehingga perlu dilakukan pengamatan terhadap jumlah kromosom. Gambar 13. Pengamatan kromosom pada akar tunas jeruk keprok batu 55 hasil regenerasi embrio somatik 41 Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada sampel akar dari tunas hasil ES diketahui bahwa jumlah kromosom tanaman sampel berjumlah 2x = 18. Hal ini membuktikan bahwa pada sistem perbanyakan dengan teknologi ES ternyata tidak mempengaruhi jumlah kromosom dari pada tanaman sampel. Gambar 13 menunjukkan bahwa jumlah kromosom pada akar 2n=2X=18 artinya bahwa secara in vitro tidak terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah kromosom hasil ES dengan jumlah kromosom hasil in vivo. Indarayasa (2010) menyatakan bahwa umur kultur yang lama dapat mempengaruhi tingkat ploidi pada tanaman in vitro jeruk 2n = 2X=18 menjadi 2n = 3X=27. Jumlah kromosom berhubungan dengan ukuran sel karena semakin banyak jumlah kromosom yang terdapat dalam satu sel maka akan mempengaruhi ukuran sel tersebut, selain itu jumlah kromosom juga dapat mewakili tingkat ploidi (Suryo 2007). Jumlah kromosom merupakan sarana karakterisasi pada tingkat seluler untuk identifikasi pada tanaman. Pengamatan kromosom hasil regenerasi secara ES memperlihatkan bahwa jumlah kromosom tersebut dapat mewakili tingkat ploidi dari jeruk keprok batu 55 hasil ES. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Sastrosumarjdo (2008) yang menyatakan bahwa pengamatan pada kromosom dapat digunakan untuk klasifikasi atau penggolongan dari spesies yang dilihat dari jumlah dan bentuknya. 8. Embrio Somatik Sekunder Embrio somatik sekunder merupakan produk dari embrio somatik primer dimana pada keadaan tertentu embrio somatik primer mampu memproduksi lagi embrio somatik. Embrio somatik sekunder pada jeruk muncul ketika media kultur mengandung GA3. Tepatnya ketika proses perkecambahan dari embrio somatik primer. Tokuji dan Kuriyama (2003) melaporkan bahwa GA3 mampu memproduksi embrio somatik sekunder ketika embrio somatik primer memasuki fase globular. Kemunculan embrio somatik sekunder juga dikaitkan dengan perlakuan eksogen yang diberikan seperti pengaruh pemberian GA3 (Sutanto & Azis 2006). Banyak embrio somatik pada saat melakukan pengecambahan membentuk embrio somatik sekunder, sehingga menyebabkan jumlah embrio somatik bertambah banyak, akan tetapi untuk memperoleh planlet dari jumlah 42 embrio yang dihasilkan diperlukan waktu yang lama karena memerlukan waktu untuk mendewasakan embrio somatik sekunder menjadi planlet (Mujib & Samaj 2009). Pendewasaan embrio somatik sekunder menggunakan konsentrasi media terbaik pada embrio somatik primer yaitu 2.5 mg/l ABA. Hal yang sama juga digunakan pada perkecambahan embrio somatik sekunder dimana konsentrasi terbaik terdapat pada 2.5 mg/l GA3. Tabel 6. Pengaruh penambahan ABA terhadap pendewasaan embrio somatik sekunder dan primer pada umur 4 minggu setelah tanam Tahap pendewasaan embrio somatik sekunder Media kultur MW dengan Penambahan 2.5 mg/l ABA ES sekunder ES primer Jumlah globular awal 15 15 jantung Fase Fase terpedo Fase Kotiledon 5.4 6.2 4.2 3.6 4.3 5.0 Efisiensi pendewasaan (%) 92.6 98.6 Tabel 6 menunjukan bahwa terdapat penurunan efisiensi pendewasaan pada embrio somatik sekunder. Efisiensi pendewasaan pada embrio somatik sekunder sebesar 92.6% jika dibandingkan dengan embriosomatik primer sebesar 98.6% terjadi penurunan 0.6%. Ini berarti dengan menggunakan embrio somatik sekunder kita masih bisa mendapatkan efisiensi pendewasaan yang tinggi sehingga embrio somatik sekunder masih bisa digunakan untuk perbanyakan selanjutnya. Pola fase pendewasaan pada embrio somatik sekunder sam dengan embrio somatik primer dimana perkembangan setelah fase globular adalah fase jantung, fase terpedo dan kotiledon. 43 B A C Gambar 14. Embrio somatik sekunder (A dan B = kalus embrio somatik sekunder pada fase perkeecambahan embrio somatik primer. C= kalus embrio somatik sekunder pada fase globular) Embrio somatik sekunder pada Gambar 14 terlihat dapat tumbuh pada saat fase-fase tertentu. Gambar 14A dan 14B menjelaskan bahwa embrio somatik sekunder tumbuh pada media perkecambahan embrio somatik primer dimana pada media kultur tersebut mengandung GA3. Pada Gambar 14C kalus embrio somatik sekunder tumbuh pada fase globular hal ini diduga karena pengaruh eksogen yang diberikan mampu menumbuhkan embrio somatik sekunder. Oktavia et al. 2003 menjelaskan bahwa eksogen sangat berperan aktif dalam membantu proses pembelahan sel pada planlet yang dikulturkan. Tabel 7. Pengaruh penambahan GA3 terhadap perkecambahaan embrio somatik sekunder dan primer pada umur 4 minggu setelah tanam Tahap Perkecambahaan embrio somatik sekunder Media kultur MW dengan Penambahan 2.5 mg/l GA3 ES sekunder ES primer Jumlah kotiledon Awal Planlet Efisiensi perkecambahaan (%) 10 10 8.8 8.4 88.0 84.0 Tabel 7 menunjukan bahwa pada perkecambahan embrio somatik sekunder mengalami kenaikan sebesar 4% dimana efisiensi perkecambahan menjadi 88.0%. planlet yang terbetuk pada perkecambahan embrio somatik sekunder sebesar 8.8 sedangkan pada perkecambahan embrio somatik primer sebesar 8.4. terjadi peningkatan 0.4. Gambar 15 menjelaskan urutan fase pendewasaan embrio somatik sekunder dengan penambahan 2.5 mg/l ABA, 44 sedangkan pada efisiensi perkecambahan embrio somatik primer hanya 84.0%. Hal serupa pernah dilaporkan Sukmadjaja (2005) yang mendapatkan embrio somatik sekunder dihasilkan relatif sama dengan embrio somatik primer pada media dengan kandungan GA3 pada cendana A B C D Gambar 15. Fase pendewasaan embrio somatik sekunder dengan penambahan 2.5 mg/l ABA (A = fase globular, B = fase jantung, C = fase terpedo, D = fase kotiledon) 9. Aklimatisasi Tahapan akhir dari perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah aklimatisasi planlet. Akllimatisasi merupakan masa penyesuaian tanaman in vitro yang akan dipindah ke lapang. Aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan planlet ke media aklimatisasi dengan intensitas cahaya rendah dan kelembaban nisbi tinggi, kemudian secara berangsur-angsur kelembabannya diturunkan dan intensitas cahayanya dinaikkan (Yusnita 2003). Tahap ini merupakan tahap yang kritis karena kondisi iklim di rumah kaca atau rumah plastik dan di lapangan sangat berbeda dengan kondisi di dalam botol kultur. Tabel 8. Pengaruh aklimatisasi pada embrio somatik 4 MST Jumlah ES yang hidup Kondisi ES yang diaklimatisasi Jumlah embrio somatik 2 MST 3 MST 4 MST Efisiensi aklimatisasi % ES tanpa akar 20 14 8 1 5 ES berakar 20 19 19 18 90 Keterangan : Media aklimatisasi yang digunakan adalah campuran humus dan tanah dengan penambahaan vitamin morel & wetmore. Dari hasil percobaan didapatkan informasi bahwa ES yang berakar dapat bertahan hidup sedangkan ES tanpa akar tidak dapat bertahan hidup (Tabel 8). 45 Tabel 8 memperlihatkan bahwa efisiensi aklimatisasi dari planlet ES yang berakar sebesar 90%. Hal ini sangat berbeda jauh terhadap ES tanpa akar diamana efisiensinya hanya sebesar 5%. Tebel 9 menunjukan perbedaan yang signifikan terjadi setiap minggu pada planlet embrio somatik yang hidup. Planlet ES tanpa akar dan planlet ES berakar pada minggu pertama setelah aklimatisasi (data tidak ditampilakan) semuanya masih bertahan hidup (100%). Planlet ES yang mati pada minggu ke 2 mulai terlihat terutama pada planlet ES yang tidak memiliki akar. Hal tersebut berlangsung terus menerus hingga minggu ke 4 hanya satu planlet ES yang bertahan hidup sedangkan pada ES yang berakar mampu bertahan hidup sebanyak 18 planlet ES. Keberhasilan aklimatisasi ES tidak terlepas dari jumlah akar yang terbentuk pada saat induksi perakaran. Semakin banyak akar yang terbentuk maka akan semakin besar peluang ES bertahan hidup ketika diaklimatisasi. ES yang mampu bertahan hidup ketika diaklimatisasi memiliki warna yang cerah dan segar (Gambar 16A, dan 16B) sedangkan ES tanpa akar umumnya batang dan daun berwarna kuning dan layu ketika diaklimatisasi (Gambar 16C dan 16D), Akibatnya daun dan batang menjadi transparan, berwarna hijau muda hingga pucat dengan kandungan klorofil yang rendah (Olmos & Hellin 1998). Tingginya efisiensi aklimatisasi ES yang berakar dikarenakan kondisi awal ES. Hal ini didukung oleh Rohayati dan Marlina (2009) yang menyatakan keberhasilan aklimatisasi sangat tergantung dari kondisi awal planlet. Pertumbuhan ES yang diaklimatisasi akan semakin optimum sejalan dengan berkembangnya akar. Semakin berkembangnya akar maka akan semakin optimum pertumbuhan tanaman tersebut (Gambar 16E) sedangkan planlet ES tanpa akar akan mengalami kematian karena planlet ES tanpa akar tidak sanggup membentuk akar (Gambar 16F). akar pada kondisini ini akan lebih aktif dalam menyerap hara pada media tanam, jumlah akar. hal tersebut terbukti dengan bertambahnya panjang dan 46 A B E C F D G Gambar 16. Aklimatisai tunas embrio somatik (A dan B = planlet ES yang diinduksi perakaran , C dan D = planlet ES tanpa induksi akar, E = Planlet ES berakar 4 minggu setelah aklimatisasi, F = Planlet ES tanpa induksi akar sekunder 3 minggu setelah aklimatisasi, G = planlet umur 5 minggu ) Gambar 16E dan 16F menunjukan bahwa pertumbuhan akar setelah aklimatisasi selama 4 minggu bertambah panjang jika dibandingkan dengan ES sebelum diaklimatisasi (Gambar 16B, 16C, dan 16D). Hal ini diduga karena keaktifan dari hormon auksin yang terdapat pada jaringan akar yang bekerja optimal ketika ES berada didalam tanah. Dalam kondisi gelap auksin lebih aktif bekerja terutama pada akar sehingga terjadi pertambahan panjang dan jumlah dari akar tersebut . Hal tersebut menyebabkan terjadinya pemanjangan pada akar (Gambar 16E) semakin banyak akar maka semakin banyak hara yang diserap sehingga pertumbuhan ES semakin optimum. 10. Grafting Teknik regenerasi ES dapat diterapkan juga untuk program perbaikan sifat, salah satu cara yang dapat ditempuh dengan cara grafting atau metode sambung. Garfting dilakukan dengan cara menyambungkan batang bawah yang unggul 47 dengan tunas batang atas hasil regenersai ES. Hasil akhir dari grafting adalah didapatkan tanaman dengan batang bawah yang kompatibel dengan batang atas agar didapatkan tanaman elit. Model yang digunakan untuk batang atas pada penelititan ini berasal dari in vitro jeruk batu 55 dengan batang bawah yang berasal dari Jeruk JC (Japanish citroen). Batang atas yang digunakan harus bebas dari virus dan mempunyai karakter unggul. Hasil penelitian yang telah dilakuan terhadap metode grafting menunjukan bahwa dari 40 batang atas yang disambung dengan batang bawah menunjukan tingkat kompatibel yang baik. Rata –rata persentase keberhasilan batang untuk bertahan hidup sampai minggu keempat menunjukan 62.4% batang atas dapat bertahan hidup (Tabel 9). Tabel 9. Perkembangan batang atas ES setelah grafting pada 4 mst Pengamatan (minggu ke) 1 2 3 4 Rata-rata keseluruhan Rata-rata jumlah daun (helai) 0.58 1.33 1.99 2.05 1.48 Rata-rata pertambahan pertumbuhan perminggu Rata-rata Persentase tunas Tinggi tanaman (cm) Hidup (%) 0.16 0.47 0.97 1.13 0.68 67.4 65.0 65.0 52.2 62.4 Grafting yang hidup pada minggu pertama rata-rata pertambahan daun masih relatif sedikit yaitu 0,58 helai sedangkan pertambahan tinggi hanya 0,16 cm. tunas yang disambung pada minggu pertama masih mengalami adaptasi terhadap lingkungan baru sehingga terjadi stress pada tunas baru sehinga pertmbuhan daun dan tinggi tanaman belum stabil. Untuk mengurangi penguapan tunas harus dibungkus dengan plastik transparan hal ini bertujuan mengurangi stress pada tunas akibat penguapan. Persentase tunas yang hidup pada minggu pertama sebesar 67.4%, 65.0% pada minggu kedua, 65.0% pada minggu keempat 62.4%. Banyak tunas pada minggu pertama yang mengalami sterss akibatnya sebagian tunas mati. Adapatsi tunas ES terhadap grafting sangat dipengaruhi oleh faktor suhu. Suhu sangat menentukan keberhasilan metode dari grafting tersebut dimana tanaman in vitro 48 selama siklus hidupnya selalu mendapatkan suhu yang stabil ketika tunas tersebut digunakan di lapang maka akan terjadi proses adaptasi. Tunas yang dapat bertahan pada masa penyesuaian maka akan memilikin peluang untuk hidup sedangkan tunas yang tidak bisa bertahan akan mengalami stres dan akhirnya mati. C B A D E E Gambar 17. Pertumbuhan tunas ES grafting pada umur 1 minggu (A = hasil grafting, B = penyungkupan dengan plastik, C & D = umur garfting 1 minggu E = tunas yang mati) Tunas yang mampu bertahan pada saat grafting akan terlihat lebih vigor sedangkan tunas yang tidak mampu bertahan akan layu. Tunas yang tidak dapat bertahan menunjukan gejala kematian (Gambar 17E). Persentase tunas hasil grafting yang hidup pada minggu ke 3 minggu ke 4 cenderung meningkat. Hal itu disebabkan oleh tunas yang dapat bertahadan tidak lagi mengalami stres dan dapat beradaptasi dengan batang bawah. Tunas ES pada umur dua minggu yang digrafting telah mendapat menyerap unsur hara melalui batang bawah dan fotosintesis mejadi lebih optimal ketika sungkup plastik dibuka. Tunas yang vigor ditandai dengan bertambahnya jumlah daun dan tinggi tunas seperti yang terlihat pada Tabel 9. Jumlah daun dan tinggi tanaman akan terus bertambah setiap 49 A B C Gambar 18.Perkembangan tunas ES grafting. (A = tunas grafting umur 2 minggu, B = Tunas grafting umur 3 minggu, C = tunas grafting umur 4 minggu). minggunya jika kebutuhan hara yang tersedia di dalam tanah tersedia dengan baik. Kompabilitas antara batang bawah dan batang atas sangat menentukan keberhasilan dalam teknik grafting. Secara umum Mathius et al. (2006) menjelaskan bahwa sel-sel parenkim dari batang bawah dan batang atas saling kontak, menyatu dan membaur, sel-sel parenkima yang terbentuk dan terdiferensiasi membentuk kambium sebagai lanjutan dari lapisan kambium batang bawah dan batang atas yang lama. Dari lapisan kambium akan terbentuk jaringan pembuluh sehingga proses translokasi hara dari batang bawah ke batang atas atau sebaliknya hasil fotosintesis dari batang atas ke batang bawah berlangsung sebagaimana mestinya. Diharapkan melalui proses grafting ini didapatkan model untuk batang atas yang berasal dari regenerasi tanaman secara embriogenesis somatik dengan batang bawah yang berasal dari biji dan stek. Selain itu dengan teknik grafting ini diharapkan akan mempersingkat masa vegetatif pada tanaman jeruk dimana tanaman ini mempunyai juvenilitas yang tinggi menyebabkan masa vegetatif yang lama. Metode grafting juga menguntungkan untuk tanaman yang memiliki perakaran yang tidak kuat, dan dapat bertahan pada berbagai kondisi yang tidak menguntungkan. Gambar 18C memperlihatkan bahwa antara batang atas dan batang bawah telah memiliki kompatibiltas yang satbil. Pertumbuhan tunas hasil grafting akan maksimal jika dilakukan pemangkasan tunas-tunas muda dari batang bawah yang tumbuh kembali dan perawatan terhadap tunas batang atas 50 KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Jaringan nuselus merupakan eksplan terbaik untuk menginduksi terjadinya kalus yang bersifat embriogenik. Induksi kalus embriogenik terbaik terdapat pada media MT + 3 mg/l BAP + 1 mg/l 24-D + 500 mg/l ekstrak malt. 2. Media proliferasi kalus terbaik adalah MS + vitamin Morel dan Wetmore + 3 mg/l BAP + 300 mg/l Kasein hidrolisat. 3. Pendewasaan embrio somatik terbaik adalah MS + vitamin Morel dan Wetmore + 2.5 mg/l ABA + 500 mg/l ekstrak malt. 4. Penambahan 2.5 mg/l GA3 pada media MW sangat baik digunakan untuk proses perkecambahan embrio somatik terbaik. 5. Multiplikasi tunas terbaik terdapat pada perlakuan media MS + vitamin Morel dan Wetmore + 7 mg/l biotin + 500 mg/l ekstrak malt. 6. Penginduksian akar sekunder pada tunas embrio somatik terbaik adalah MS + vitamin Morel dan Wetmore + 3 mg/l IBA 7. Keberhasilan aklimatisasi tunas embrio somatik yang berakar adalah sebesar 90%. 8. Rata-rata keberhasilan grafting yang hidupadalah sebesar 62.4 %. SARAN Perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut terhadap tanaman yang hidup setelah diaklimatisasi guna mendapatakan informasi tentang keragaman yang muncul akibat pengaruh lingkungan di lapangan. 51 DAFTAR PUSTAKA Acar I, Erol B, Sarpkaya K. 2010. Effects of boron and gibberellic acid on in vitro pollen germination of pistachio (Pistacia vera L.) African Journal of Biotechnology 9(32):5126-5130. Aftal N, Rahman A, Bhatti A, Ali L. 2009. Tisuue culture of Citrus cultivars. Science direct 8(1):43-51. Alkahyari MJ, Albahrany MA. 2001. Invitro micropropagation of Citrus auranty folia (lime). Current science. 81(9):1-5. Ake AP, Maust B, Segovia O , Oropeza C. 2007. The Effect of gibberellic acid on the in vitro germination of coconut zygotic embryos and their conversion into plantlets in vitro cell. Dev Biol Plant 43:247–253. Ammirato PV, Evans DA, Sharp WR, Yamada Y. 1983. Handbook of Plant Cell Culture. MacMillan Publ. Co. New York and London. Anjaneyulu C. & Girri CC. 2008 Factors influencing somatic embryo maturation, high frequencygermination and plantlet formation in Terminalia chebula Retz. Plant Biotechnol Rep 2:153–161. Ardiani M, Puspita N, Fina G, Septiani, Meiyanto. 2008. Ekstrak etanolik kulit buah jeruk keprok (Citrus reticulata) memacu proliferasi danekspresi cox-2 pada sel kanker kolon WiDr. Prosiding Kongres Ilmiah XVI ISFI. Jakarta. Badawy EM, Habib AM, El-Banna AA, Yousry GM. 2009. Effect of ome factors on somatic embryos formation from callus suspensions culture in phoenix dactylifera L. Cv. Sakkoty. 4th Conference on Recent Technologies in Agriculture. 593-599. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jeruk. Balitbangtan Deptan. Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2006 Pelepasan Jeruk Keprok Batu 55 Sebagai Varietas Unggul. Balitbangtan Deptan. Jakarta. Bhatt BB, Tomar YK. 2010. Effects of iba on rooting performance of citrus uriantifolia swingle (kagzi-lime) in different growing conditions. Nature and science 7:16-22. Bond JE, Roose ML. 1998. Agrobacterium-mediated transformation of the commercially important citrus cultivar washington navel orange. Plant Cell Reports 18:229–234. 52 Berthouly M, Michaux NM. 1995. High frequency somatic embryogenesis in Coffea canephora. plant cell, Tissue and Organ Culture.vol.44: 169-176 Badan Pusat Statistik. 2010. Jakarta Cardi 1, Monti M. 1993. Optimization of callus culture in Pea (Pisum sativum). Annali Della Facolta di Scienze, vol.24: 11-15. Cardoza V & D‟Souza L. 2002. Induction, development and germination of somatic embryos from nucellar tissues of cashew (Anacardium occidentale L.) Scientia Horticulturae Volume 93, Issues 3-4, 19 April 2002, Pages 367-372 Carimi.F. 2007.Somatic embryogenesis and organogenesis in citrus for sanitation and in vitro conservation. Options Mediterranennes 33:86-93 Carimi F. 2005. Protocol Somatic Embryogenesis: citrus sp in Book : Protocol for Somatic Embryogenesis in Woody Plants. Edd by Jain SM & Gupta PK. Pages : 321-343. Forestry science vol 77. Springer. Copriady J, Yasmi E, Hidayanti. 2005. Isolasi dan karakterisasi senyawa kumarin dari kulit buah jeruk purut (Citrus hystrix DC). Jurnal Biogenesis 1:13-15 Crocomo OJ, Sharp WR, and Peter JC. 1976. Platelets morphogenesis and control of callus growth and root induction of Phaseolusvulgaris with the addition of bean seed extract. Pflanzen PhysioI. 78:456-462. Davies. J.P 2004. Palnt hormones Biosynthesis, signal transduction, Action Kuwer Academic publisher Dordrecht/ Boston / London Devi MY, Yulainti F, Andrini. 2010. Kandungan flavanoid dan limbonoid pada jeruk kalamondin( Citrus mitis blanco) dan jeruk purut (Citrus hystix DC). J. Hort. 20 (1):360 – 367. Deptan. 2003. Buletin Info Mutu. http:// www. Deptan. go.id/ Buletin/ infomutu/ febuari/ html Direktorat Jendral Hortikultira Departemen Pertanian. 2008. Pengembangan Jeruk Keprok Nasional. Dirjen Hortikuktura Deptan. Jakarta D'Onghia AM, Carimi F, De Pasquale F, Djelouah K and Martelli GP .2001. Elimination of citrus psorosis virus by somatic embryogenesis from stigma and style cultures. Plant Pathol. 50: 266-269. Doyle A, Griffiths BJ. 1999. Cell & Tissue Culture: Laboratory Procedures in Biotechnology. J.Wiley & Son Ltd. England 53 Egertsdotter, U. 1999. Somatic embriogenesis in picea suspensions culture, p.51-60. In : Hall DR. (Ed.), Plant Cell Culture Protocols. Humana Press.New Jersey. Gaspar TC, Kevers C, Penel H, Greppin DM, Reid, Thorpe TA. 1996. Plant hormones and plant growth regulators in plant tissue culture. In Vitro Cell Dev. Biol. Plant 32: 272-289. Germana, MA, Crescimanno FG, Reforgiato G, and Russo MP. (2000) Preliminary characterization of several doubled haploids of Citrus clementina cv. Nules. Acta Horticulturae 535:183–190. Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat antar universitas bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. 86 hal. Bogor Gantait S, Mandal N, Das PK. 2009. Impact of auxins and activated charcoal on in vitro rooting of Dendrobiumchrysotoxum Lindl. cv. Golden Boy Journal of Tropical Agriculture 47(12):84-86. Gmiter F & Moree G.A .1986 Plant regeneration from undeveloped ovules and embryogenic calli of Citrus: Embryo production, germination, and plant Survival. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 6:139-147 Guo WW, Grosser JW. 2005. Somatic hybrid vigor in Citrus: Direct evidence from protoplast fusion of an embryogenic callus line with a transgenic mesophyll parent expressing the GFP gene. Plant Science 168:1541–1545. Guo WW, Deng XX. 1998. Somatic hybrid plantlets regeneration between Citrus and its wild relative,Murraya paniculata via protoplast electrofusion. Plant Cell Reports 18:29-34. Gutman M, Aderkas PV, Label P. Anne M. 2006. Efek absisic acid on somatic embryo maturation of hybrid Larch. Journal of Experimental Botany. 47(305):1905–1917. George EF, Geert AM, Klerk D. 2008. Plant Propogation Tissue Culture 3 Edition. Pub by Springer. P.O. Box 17, 300 AA Dordencht, The Netherlands. George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Great Britian: Eastern Press. Gopitha K, Bhavani L, Senthilmanickam J. 2010. Effect of the different auxins and cytokinins in callus induction, shoot,root regeneration in sugarcane. International Journal of Pharma and Bio Sciences 1:3-11. Hassan KMY, Khatun R. 2010. regeneration of ficus glomerata roxb using shoot tips and nodal explants. Bangladesh J. Bot. 39(1):47-50. 54 Heimer NY, Filner P. 1970. Regulation of the nitrate assimilation pathway of cultured tobacco cells II. Properties of a Variant Cell Line. Biochimica et Biophysica Acta (BBA) 215: 152-165. Husni A. Mariska I. Hobir 2004. Fusi Protoplas dan Regenerasi Hasil Fusi antara Solanum melongena dan Solanum torvum.Jurnal Bioteknologi Pertanian Vol.9 no.1 pp 1-7 Husni A. 2010 Fusi Interspesies antara Jeruk Siam Simadu (Citrus nobilis Lour) dengan Mandarin Satsuma (Citrus Unshlu Marc.) [Disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Husni A, Purwito, Mariska I, Sudarsono. 2011. Regenrasi jeruk siam melalui embrio somatik. Jurnal Agrobiogen 6(2):75-83. Islam AM, Zubair H, Imtiztiaz N. Chaudhary AF. 2007. Production of in vitro root cultures of Cicer arietinum. International journal of Agriculture & Biology 7(4):621–626. Iwamasa M, Ueno I, Nishiura M. 2007. Inthertince of nucellar embryony in citrus. J.Hort.Res.sta 12(4):35-42. Indrayasa A. 2010. Induksi keragaman pada jeruk siam Pontianak dengan menggunakan radiasi sinar Gama. [Skripsi] : bogor :Institut Prtanian Bogor. Kepiro JL, and Roose ML. 2007. Nucellar Embriony in Book : Citrus genetic Breeding and Biotechology. Edition by Khan.I. pages : 141-149. Library of Congress. Washington, DC Khalil MS, and Elbanna AA 2004 Highly efficient somatic embryogenesis and plant regenerationvia suspension cultures of banana (Musa spp.) Arab J. Biotech. 7(1): 99-110 Kiong AL, Wan LS, Hussein S, Ibrahim R. 2008. Induction of somatic embryos from different explants of Citrus sinensis. Journal of Plant Science 3(1):18-32 Kobashi K, Sugaya S, Gemma H, Iwahori S. 200. Effect of abscisic acid (ABA) on sugar accumulation in the flesh tissue of peach fruit at the sart of the maturation stage Plant Growth Regulation 35:215–223. Komatsuda T, Lee W, Oka S .1992. Maturation and germination of somatic embryos as affected by sucroseand plant growth regulators in soybeans Glycine gracilis Skvortz and Glycine max (L.) Merr. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 28:103-113. 55 Kruger RR, Navarro L. 2007. Citrus Germplasm Resource in Book : Citrus genetic Breeding and Biotechology. Edition by Khan.I. pages : 45-111. Library of Congress. Washington, DC Kunitake H, Kagami H, Mii M. 2005. Somatic embryogenesis and plant regeneration from protoplasts of „Satsuma‟ mandarin (Citrus unshiu Marc.) Scientia Horticulturae 47(2):7-33 Ladaniya MS. 2008. Citrus : Biology, Technology and Evaluation. Academic Press is an imprint of Elsevier. London Lestari GA, Purnamaningsih, Mariska I, Hutami S. 2009. Induksi keragaman somaklonal dengan iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro kalus pisang rajabulu menggunakan asam fusarat dan aklimtaisasi. Berita biologi 9(4):1 -7 Ler AM, Parlak S. 2004. Effects of iba and cutting dates on the rooting ability of semi-hardwood kiwifruit (actinidia deliciosa a.chev.) cuttings. Turk J Agric. 28: 192-201. Ling P, Duncan LW, Deng Z, Dunn D, Hu, X, Huang S. and Gmitter FG. 2000. Inheritance of citrus nematode resistance and its linkage with molecular markers. Theoretical and Applied Genetics 100:1010–1017. Liu ZH, Wang CW, Yen YY. Effect of hormone treatment on root formation and endogenous indole-3-acetic acid and polyamine levels of Glycine max cultivated in vitro. J. Agric. Sciences. 8(9):121-127. Luo JL, Jia JL,Gu H, Jing Liu. 1999. High frequency somatic embryogenesis and plant regeneration in callus cultures of Astragalus adsurgens Pall. Plant Science (143): 93–99 Maheshwari P and Rangaswamy NS .1958. Poly embryony and in vitro Culture of embryos of Citrus and Mangifera. Ind. J. Hort. 15: 275-282. Mauri PV, & Manzenara J A. 2004 Effect of absisic acid & stratification on somatic embryo maturation & germination of holm oak (Quercus ilex L.) In Vitro Cell. Dev. Biol.Plant. 40:495–498. Mayer DC, Fanciulino LA, Dubois C, Olitrault P. 2009. Effect genotype and environment on citrus juice content. J. Agric. Food Chem. 57(59): 91609168. Mathius NT, Lukman, Purwito A. 2006. Teknik sambung mikro in vitro kina Cinchona succirubra dengan Cichona ledgeriana. Menara perkebunan. 74(2):63-75. 56 Moore TC. 1979. Biochemistry and Physiology of Plant hormone. Pringer Verlag. New York. Nindita A. 2010. Regenerasi Tanaman Jarak (Jatropha curacas) melalui Lintasan Organogenesis dan Embriogenesis Somatik. [tesis] . Bogor : Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Nandagopal S, kumara BDR. 2007. effectiveness of auxin induced in vitro root culture in chicory. Journal Center Eroupean of agriculture 8(1):73-80). Obukosia SD, Waithaka K. 2000. Nucellar embryo culture of Citrus cinensis and Citrus limon. African Crop Science Journal. 8(2) :109-116. Olmos, E. and E. Hellin. 1998. Ultrastructural differences of hyperhydric and normal leaves from regenerated carnation plants. Scientia Horticulturae. 75: 91-101. Oktavia F, Siswanto, Budiani A, Sudarsono. 2003. Embiogenesis somatic langsung dan regenerasi planlet kopi arabika (coffea Arabica) dari berbagai eksplan. Menara perkebunanan.71(2):44-45. Polat AO, Caliskan O. 2008. Effect of indolebutyric acid (iba) on rooting of cutting in various pomegranate genotypes. SHS Acta Horticulturae 818: 1-7. Rangan TS, Murashige T ,Bitters WP .1968. In vitro Initiation of nucellar embryons in monoembryonic Citrus. Hort. Science 3:226-227. Renukdas, N.N., M.L.Mohan, S.S.Khuspe, and S.K.Rawal. 2006. Influence of phytohormones, culture conditions, and ethylene antagonist on somatic embryo maturation and plant regeneration in papaya. International Journalof Agricultural Research 1 (2): 151-160. Ricci AP, Filho AF, Januzi MB. 2001. Somatic embryogenesis, C. Reticulata, C. Nobilis, C. Diliciosa. Plant science 16(3):267-275. Rohayati E, Marlina N. 2009. Teknik aklimatisasi planlet anyelir (Dianthus caryophyllus L.) untuk tanaman induk. Buletin Teknik Pertanian. 14(2):72-75 Rahim M, Sidik L, Mirth S, Toda H. 2000. Effect of diferend amino source in palm. Arab J. Biotech. 5 (3): 162-168. Sawy EA, Gomma A, Reda A, Danial N. 2006, somatic enbryogensis and plant regeneration from undeveloped ovules of citrus. Arab J. Biotech. 9(1):189-202. Saito W, ohgawara T, Shimizu, Kobayashi S. 1994. Somatic hybridization in Citrus using embryogenic cybrid callus. Plant science. Vol. 99 (1) :89-95 57 Santi, A. dan S. Kusumo. 1996. Komposisi media tumbuh yang cocok untuk perbanyakan in vitro bromelia (Tilandsia puctulata). Jurnal Hortikultura 5(5): 94-98. Santoso U, Nursndi F. 2001. Kultur Jaringan Tanaman. Malang : Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Shirin F, Hossain M, Kabir MF, Roy M, Sharjer SM 2007 Caluss Induction and plant Regeneration from iternodal lLeaf Eksplan of Four Pottato (Solanum tuberosum L) Cultivar. World Jurnal of Agricultural science 3 (1):0–06 Siregar M A L, Lei-Keng C, Peng-Lim B. 2010 Pengaruh Kasein Hidrolisat dan Intensitas Cahaya terhadap Produksi Biomassa dan Alkaloid Canthinone didalam Kultur Suspensi Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack). Makara, Saint 14 (1):15-21 Sukma D, Sudiato S, Haran S, Sudarsono . 2003 Pengaruh jumlah Eksplan, Umur Kultur dan Kasein Hidrolisat terhadap biomasaa Paria belut (Trichosanthes cucumerina var. Anguina) Jurnal Hayati 3:48-54. Sukmadjaja D, Novianti S.E.,G. Lestari, Ika R, dan T. Suhartini. 2007. Teknik Isolasi dan Kultur Protoplas Tanaman Padi. Jurnal Bioteknologi Pertanian Vol.5:1-7 Sutanto A dan Aziz M A. 2006. Induksi dan regenerasi embriogenesis somatik pepaya J. Hort. 16(2):89-95 Sutarto I, Agisimant D, Supriyant A. 2009 Development of Promising Seedless Citrus Mutants through Gamma Irradiation Induced Plant Mutations in the Genomics Era. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, 306-308. Suryo. 2007. Sitogenetika Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Satrosumardjo S. 2008. Sitogenetika Tanaman. 128 hal. IPB Pers. Bogor Shiaty OH, Sharabasy SF, Kareim A. 2004. Effect of some amino acids and biotin on callus and proliferation of Date palm (Phoenix dactylifera L.) Sewy cultivar Arab J. Biotech. 7 (2): 265-272 Tao H, Shaolin P, gaofeng, Lanying Z, Gengguang L. 2002 Plant regeneration from leaf-derived callus in Citrus grandis (pummelo): Effects of auxins in callus induction medium Plant Cell, Tissue and Organ Culture 69: 141–146, 2002. 58 Tomaz ML, Mendes BJ, Assis F, Filho M, Jansakul N, Rodriguez AD. 2000. Somatic embyogenesis in citrus SPP : carbohydrate stimulation and hutododifferentation. Scientia Horticulturae Vol 93 :295-301. Tokuji Y, Kuriyama K. 2003. Involvement of gibberellin and cytokinin in the formationof embryogenic cell clumps in carrot (Daucus carota). J Plant Physiol 160:133–141. Van Steenis CG. 1975. Flora Voor de Scholen in Indonesie. Ed. Sorjowinoto M, edisi VI. PT. Pradnya Paramitha, Jakarta. Wattimena GA. Gunawan LW, Mattjik NA, Syamsudin, iendi NMA, Ernawati A. 1992. Bioteknologi Tanaman Kultur Jaringan. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. hlm. 66-67. Wattimena G.A 1998. Zat pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. hlm. 145. Wattimena G.A 1999. Aplication of Biotechonology on Horticultural Crops Production. In Proseding Seminar on bioteknology: Aplication of of Biotechonology on Horticultural Crops Production. Bogor Agricultural University-DFID British Council, bogor, April 14. Wetter, L.R, F. Constabel. 1992. Plant Tissue Culture Methods. Praire Regional Laboratory, Saskatoon, Saskatcchewan, Canada. 190 pp. Woodger F, Jacobsen JV, Gubler F. 2004. Gibberllin Action in germinated cereal grains in davies, P.J (Eds) Plant Hormones. Kluwer Academics Publisher. Yasuda K, Yahata M, Komatsu H, Kurogi Y, Kunitake H. 2010. Triploid and Aneuploid Hybrids from Diploid-diploid Intergeneric Crosses between Citrus Cultivar „Kiyomi‟ Tangor and Meiwa Kumquat (Fortunella Crassifolia Swingle) for Seedless Breeding of Kumquats. J.Japan. Soc. Hort. Sci. 79 (1):16-22. Yuwono, T. 2008. Bioteknologi Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Yujin H, Xiuxin D. 2002. Stress treatment and DNA methylation affect the somatic embryogenesis of citrus callus. Acta Botanica Sinica. 44(6):673677. Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta. Bumi aksara 59 LAMPIRAN Lampiran 1.Deskripsi jeruk keprok Batu 55 DESKRIPSI JERUK KEPROK VARIETAS BATU 55 Nomor : 307/Kpts/SR.1204/4/2006 Asal : Loka Peneliiitian Tanaman Jeruk dan Hortikultura Subtropik, Desa Sidomulyo, Kecamatan Sidomulyo, Kota Batu Propinsi Jawa Timur. Silsilah Golongan tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Bentuk tajuk Ukuran tajuk Bentuk penampang batang Duri batang Diameter pangkal batang Percabangan Tipe daun Warna daun bagian atas Permukaan daun bagian atas Warna daun bagian bawah Permukaan daun bagian bawah Bentuk daun Ukuran daun Tepi daun Ujung daun Panjang tangkai daun Warna mahkota bunga Panjang mahkota bunga Jumlah mahkota bunga Warna kepala putik Panjang putik Warna benang sari Panjang benang sari Jumlah benang sari Warna bunga mekar Panjang bunga Panjang Kelopak bunga Panjang tangkai bunga Jumlah bunga per tandan Warna kulit buah matang Permukaan kulit buah matang Ketebalan kulit buah Bentuk buah Bentuk pangkal buah : Seleksi pohon induk : Klon : Bulat agak memanjang (speroid) : ± 2,2 m : Relatif bulat : Panjang ± 0,75 m, lebar ± 0,75 m : Bulat : Tidak ada : ± 8,5 cm : Rapat mengarah kaatas : Tunggal : Hijau tua : Halus : Hijau muda : Halus : Oval : Panjang ± 7,1 cm, lebar ± 3,8 cm : Beringgit : Meruncing : ± 1,5 cm : Putih : ± 0,9 cm : 5 buah : Kuning kecoklatan : ± 0,2 cm : Kuning kecoklatan : ± 0,5 cm : 17 buah : Putih : ± 1,1 cm : ± 0,2 : ± 0,3 cm : 2 – 6 kuntum : Kuning kehijauan : Kasar agak bergelombang : ± 3 mm : Bulat : Agak datar 60 Bentuk ujung buah Ukuran buah Warna daging buah Rasa daging buah Tekstur daging buah Kadar gula Kadar asam Kadar air Kandungan vitamin C Volume sari buah Berat sari buah Bentuk biji Ukuran biji Jumlah biji per buah Jumlah juring per buah Persentase buah yang dapat dimakan Berat per buah Panjang tangkai buah Jumlah buah per dompol Waktu berbunga Waktu panen Hasil Identitas pohon induk tunggal : Cekung ke dalam : Tinggi ± 7,9 cm, diameter ± 5,9 cm : Oranye : Manis agak masam : Lunak : 11,6 % : 0,52 % : 89,88 % : 32,27 mg/100 g : 61 ml/buah : ± 60 g/buah : Oval : Panjang 1,1 – 1,2 cm, lebar 0,6 – 0,7cm : 12 biji : 10 juring : 80 % : ±110,62 g : ± 0,5 – 1,4 cm : 2 – 5 buah : September – Oktober : Juni – Juli : 15 - 25 kg/pohon/tahun :Tanaman milik Loka Penelitian Tanaman Jeruk dan Hortikultura Subtropik, Desa Sidomulyo, Kecamatan Sidomulyo, Kota Batu, Propinsi Jawa Timur dengan PIT nomor : PIT/JR/a/JTM/104;7855 Perkiraan umur pohon induk tunggal : 15 tahun Keterangan : Beradaptasi dengan baik di dataran tinggi dengan ketinggian 700 –1.200 m dpl 61 Lampiran 2. Komposisi media dasara kultur, vitamin dan komponen lainya. Komposisi MS (mg/l) MW (mg/l) MT (mg/l) Macronutrient KNO3 NH4Cl NH4NO3 (NH4 )2.SO4 MgSO4.7H2O CaCl2.2H2O NaH2PO4.2H2O K2HPO4 KH2PO4 KCl 1900.00 1650.00 180.54 332.02 170.00 - 1900.00 1650.00 180.54 332.02 170.00 - 1900.00 1650.00 180.54 332.02 170.00 - Micronutrient Na2EDTA FeSO4.7H2O FeNaEDTA MnSO4.4H2O ZnSO4.7H20 CuSO4.5H2O CoCl2.6H2O KI H3BO3 Na2MoO4.2H2O 36.700 16.900 8.600 0.025 0.025 0.830 6.200 0.250 36.700 16.900 8.600 0.025 0.025 0.830 6.200 0.250 36.70 16.90 8.600 0.025 0.025 0.830 6.200 0.250 Vitamin Myo inositol Nicotinic acid Pyridoxine HCl Thiamine HCl Biotin Ca-panthotenat Nicotinamide 10.00 0.50 0.50 0.10 0.50 10.00 1.0 1.0 1.0 1.0 0.5 1.0 100.00 5.0 5.0 1.0 5.0 5.8 500 300 5.8 500 300 5.8 500 300 Ph Extract malt Casein hydrolisat MS = Murashige dan Skoog + vitamin Murashige dan Skoog MW = Murashige dan Skoog + vitamin Morell dan Wetmore MT = Murashige dan Tucker + vitamin Murashige dan Tucker 62 Lampiran 3. Metode analisis kromosom (Sarsidi Sastrosumerdjo 2008) a. Metode dengan Pra-perlakuan Lengkap Bahan : 8-Hydroxyquinolin 0,002M Asam asetat 45% HCl 1N Aceto orcein 2% Metode: 1. Ujung akar dipotong 0,5-1 cm. Kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi larutan 8-Hydroxyquinolin 0,002 M. Cara pembuatan larutannya : Hydroxyquinolin 0,002 M ditimbang sebanyak 0,3 g dilarutkan dalam 1 liter aquades pada suhu 70oC, kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 1 jam sampai terlihat warna kekuningan. Botol dimasukkan ke dalam lemari pendingin (± 4 oC) selama 90 menit. 2. Setelah 90 menit dalam lemari pendingin, botol dikeluarkan dan akar kemudian dicuci dengan air, direndam dalam asam asetat 45% selama 10 menit. 3. Akar dimasukkan dalam botol yang berisi campuran HCl dengan asam asetat 45% dengan perbandingan 3 : 1 selama 2 menit. Kemudian dipanaskan dalam waterbath dengan suhu 60oC selama 2 menit. 4. Setelah proses pemanasan, akar dipindahkan dalam gelas arloji dengan posisi ujung akar di bagian dalam gelas arloji. Teteskan Aceto orcein 2% dan diamkan selama 10 menit. 5. Ujung akar diletakkan pada gelas objek. Ujung akar dipotong 1–2 mm, kemudian ditetesi dengan Aceto orcein 2% lalu tutup dengan cover glass. Preparat dilewatkan di atas api bunsen 2-3 kali. Kemudian diketuk dengan pensil berkaret (squashing), kemudian ditekan dengan ibu jari. Diamati di bawah mikroskop. Penyebaran kromosom yang baik diambil gambarnya. 63 b. Metode tanpa Pra-perlakuan Lengkap Bahan : HCl 1N Aceto orcein 2% Metode : 1. Ujung akar 0,5-1 cm dipotong. Dimasukkan dalam cawan petri yang telah diberi 2. HCl 1 N dan dibiarkan selama 10-15 menit. Akar dipindahkan ke dalam cawan petri dengan posisi ujung akar berada di bagian dalam gelas arloji. 3. Teteskan Aceto orcein 2% dan biarkan selama 10-15 menit. 4. Ujung akar kemudian diletakkan di gelas objek. Ujung akar dipotong 1-2 mm, ditetesi Aceto orcein 2% dan ditutup dengan cover glass. 5. Preparat dilewatkan terlebih dahulu di atas api bunsen sebelum diketuk dengan pensil berkaret (squashing); kemudian ditekan dengan ibu jari. Diamati di bawah mikroskop dan dilakukan pemotretan pada kromosom yang penyebarannya baik.