Hanna Djumhana Bastaman (2005: 222) juga mengungkapkan bahwa studi terhadap manusia harus dicari dalam alQurān karena kitab suci tersebut merupakan samudera keilmuan maha luas dan kedalaman yang tak terhingga. Abdul Mujib (1999: ix-x) mengemukakan tiga tipe studi terhadap kejiwaan dalam Islam yaitu 1) Islam dijadikan pisau analisis bagi pengkajian psikologi; 2) sebaliknya, psikologi dijadikan pisau analisis dalam memecahkan persoalan-persoalan psikologis umat Islam; 3) menggali psikologi dari al-Qurān dan Hadis. Oleh karena itu perlunya kesadaran sebagai intelektual islam. Dengan timbulnya kesadaran, maka umat Islam perlu merekonstruksi studi psikologi dengan memulai dari sumber ajaran Islam yakni al-Qurān dan Hadis. Dalam studi ini digunakan istilah ”Psikologi Islam”, bukan ”Psikologi Islami” dengan memakai ”ya” nisbah yang mengindikasikan pensifatan dimaksudkan untuk memotivasi bahwa kajian psikologi perlu bertolak dari sumber ajaran Islam, bukan kajian yang dipandang sejalan dengan atau bernuansa Islam. Dengan istilah tersebut, para ahli yang melakukan studi terhadap psikologi dengan sendirinya tersugesti untuk memulainya dari al-Qurān dan Hadis. Dengan demikian Paradigma pendekatan Psikologi Islam memulai dari al-Qurān dan Hadis, namun secara metodologis keduanya berbeda. Penelitian al-Qurān dan Hadis bermuara pada penemuan kerangka konseptual dari suatu pengajian, sementara Psikologi Islam dapat melanjutkan pada pengajian lapangan dengan menggunakan parameter yang telah dirumuskan dalam psikologi barat. Hasil kajian psikologi barat dalam penyusunan skala psikologi dapat bermanfaat misalnya, sebagai pedoman teknis dalam cara menyusun tes kepribadian, penyusunan skala sikap, dan beberapa parameter lainnya.Untuk konstruksi kerangka konseptual, hasil pengajian Tafsir dan Hadis dapat dijadikan sebagai acuan. Ketika diperlukan penelitian lapangan untuk mengetahui kondisi senyatanya pada manusia dapat digunakan hasil kajian psikologi barat yang bebas nilai. Hal ini menjadikan kerangka konseptual yang dilahirkan dari al-Qurān dan Hadis memandu suatu penelitian dan penggunaan parameter psikologi barat diperlakukan sebagai acuan teknis. Dengan demikian Psikologi Islam hadir sebagai ilmu jiwa dan ilmu perilaku yang tidak kehilangan roh. Edisi II Tahun I/18 Sya’ban 1434/27 Juni 2013 بسم هللا الرحمن الرحيم Rumah Kecil, Kumpulan Jiwa Naturalis Oleh : Ariyanto (Mahasiswa Psikologi Islam) Kata ”paradigm” dalam bahasa Inggris berarti ”model” atau ”pola” (John M. Echols & Hasan Shadili, 1990:417). Ali Mudhafir (1992: 114-115) mengemukakan beberapa pendapat tentang pengertian ”paradigma” diantaranya yang dikemukakan oleh Freidrichs Robert yang mengungkapkan bahwa paradigma adalah suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalannya sedangkan Thomas Samuel Kuhn yang menjelaskan bahwa paradigma yaitu cara-cara meninjau benda-benda; asumsi yang dipakai bersama yang mengatur pandangan dari suatu zaman dan pendekatannya dalam masalah-masalah ilmiah. Dalam Paradigma ilmu pengetahuan modern atau sains adalah objektivitas dan rasionalitas. Suatu studi dikatakan ilmiah apabila memiliki sifat objektif dan rasional. Rasionalitas dan objektivitas menilai kebenaran pada dirinya sendiri dan pada hakikatnya bersifat relatif. Ajaran agama Islam memberitahukan bahwa dunia objektif atau dunia empiris itu semu. 4 MUQADDIMAH Asslammu’alaikum! Keluarga Besar Psikologi Islam, kami hadir kembali memberikan secercah makna yang dirangkum dalam buletin kecil ini setelah vakum selama kurang lebih 3 minggu. Kami mohon maaf karena penerbitan edisi kedua yang terlambat dikarenakan adanya beberapa masalah. Untuk menebusnya, kami berikan pembahasan khusus tentang Esensi Psikologi Islam itu sendiri. Selamat Mengarungi lautan ilmu di bacaan kecil ini...!!! 1 Umat Islam memerlukan acuan yang mutlak, tidak berubah seiring dengan pergeseran zaman dan perubahan peradaban masyarakat yaitu al-Qurān dan Hadis. Namun demikian sering kali pertanyaan muncul ditengah kaum intelektual bagaimana sesungguhnya keberadaan Psikologi Islam? Apa lagi jika dikaitkan dengan psikologi barat yang jauh telah menjadi ilmu pengetahuan yang rasional dan empiris. Berangkat dari psikologi barat bahwasanya manusia tak ubah bagai lempung yang bentuknya sepenuhnya tergantung pada pengaruh lingkungan atau rentetan stimuli yang mengenainya. Maka mustahil perbuatan seseorang dapat dihakimi sebagai benar atau salah. Bukankah satu-satunya motivasi yang menggerakkan tingkah laku manusia tak lain dan tak bukan adalah penyesuaian diri dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya di sini dan kini (here and now)? Maka “benar” dan “salah” hanyalah nilai yang artifisial, hanyalah hasil belajar belaka. Pandangan inilah kita kenal dengan mazhab behavior. Psikologi yang mendasarkan diri pada prinsip stimulusresponse-reinforcement ini adalah psikologi yang memandang manusia laksana benda mati. Manusia tak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Manusia itu makhluk tak berjiwa. Maslow yang yakin akan adanya dasar ilmiah untuk menetapkan tingkah laku yang benar dan yang salah, kemudian meneliti sifat-sifat atau nilai-nilai yang dimiliki oleh orang-orang yang sehat, dan bahkan sangat sehat (tentu saja menurut penilaiannya), yakni pribadipribadi yang teraktualisasikan, wakil kelompok yang olehnya dinamakan the growing tip. Dimata Sigmund Freud manusia adalah produk evolusi yang terjadi secara kebetulan. Dalam pandangannya, keberadaan manusia, kelahiran dan perkembangannya hanyalah sebagai akibat dari bekerjanya daya-daya kosmik terhadap benda-benda inorganik. Jadi, manusia hanya dipandang sebagai makhluk fisik, makhluk biologi. Ini suatu pemikiran yang jelas sangat dipengaruhi pemikiran Charles Darwin bahwa manusia tak lebih dan tak kurang hanyalah binatang. Secara sadar para ilmuan dan pemikir islam tentunya melihat fenomena psikologi barat yang sejatinya tidak cukup untuk menjawab akan esensi dan eksistensi sesungguhnya keberadaan manusia sebagai makhluk yang unik itu. Oleh karena itu psikologi islam berusaha menjawab akan akan pertanyaan-pertanyaan seputar manusia itu sendiri yang dibangun dari Al- Qur’an dan hadits. Apa yang dikembangkan oleh para ahli seperti Aliah B. Purwakania Hasan (2006:14) juga mengemukakan bahwa umat Islam memerlukan metode penelitian yang sesuai untuk mengembangkan psikologi dalam perspektif Islam. Untuk itu perlu dilihat ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Ayat qauliyah berasal dari al-Quran dan Hadis, sedangkan ayat kauniyah berasal dari pengamatan alam semesta. Pendekatan yang lebih pas untuk psikologi Islam adalah gabungan antara metodologi Tafsir alQuran dan Hadis serta metode ilmu pengetahuan modern pada umumnya. Berseberangan dengan paham di atas, Abraham Maslow sebagai pengagas paham humanistik manusia dipandang sebagai makhluk unik yang mempunyai kemauan dan kebebasan. Ia dapat berbuat menurut kemauannya sendiri, dan ia memiliki kebebasan untuk memilih tindakannya, sehingga dengan demikian ia dapat dimintai pertanggungjawaban. Sebagai salah seorang tokoh utama psikologi humanistik, beliau sangat tidak menyetujui gagasan yang menyatakan studi tentang tingkah laku manusia harus mengesampingkan konsep tentang benar-salah. 2 Berhubung Hari Kamis tanggal 26 Juni 2013 kita akan melaksanakan Ujian Akhir Semester, maka Kami Segenap Pengurus HMJ-PI mengucapkan Selamat Mengikuti Ujian, Semoga menda patkan hasil yang terbaik....!!! Berhubung Sebentar lagi akan memasuki Bulan Suci Ramadhan, maka kami segenap Pengurus HMJ PI memohon maaf yang sebesarbesarnya kepada Seluruh Civitas Akademika Psikologi Islam IAIN IB Padang jika ada amanah yang masih terabaikan.... TENTANG REDAKSI Diterbitkan Oleh : Divisi Infokom HMJ Psikologi Islam IAIN Imam Bonjol Padang Sekretariat : Aula Fakultas Ushuluddin Lt III Gd. II, IAIN Imam Bonjol Padang Telpon : 085766041375 Email : [email protected] Wordpress : Psikoislam.wordpress.com 3