BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Dispepsia a. Definisi Dispepsia Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (buruk) dan peptein (pencernaan) (Bonner, 2006). Dispepsia menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrum, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, termasuk juga didalamnya penyakit yang mengenai lambung atau yang dikenal sebagai penyakit maag (Djojoningrat, 2006a). b. Klasifikasi Dispepsia Pengelompokan mayor dispepsia terbagi atas dua yaitu: 1) Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya. Sindrom dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum), gastritis, stomach cancer, Gastro-Esophageal reflux disease, hiperacidity. Adapun jenis-jenis dispepsia organik yaitu 6 7 a) Tukak Pada Saluran Cerna Atas Tukak dapat ditemukan pada saluran cerna bagian atas yaitu pada mukosa, submukosa dan lapisan muskularis, pada distal esophagus, lambung, dan duodenum. Keluhan yang sering terjadi adalah nyeri epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri tajam dan menyayat atau tertekan, penuh atau terasa perih seperti orang lapar. Nyeri epigastrum terjadi 30 menit sesudah makan dan dapat menjalar ke punggung. Nyeri dapat berkurang atau hilang sementara sesudah makan atau setelah minum antasida. Gejala lain yang dirasakan seperti mual, muntah, kembung, bersendawa, dan kurang nafsu makan (Hadi, 2002). b) Gastritis Gastritis adalah peradangan atau inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung. Gejala yang timbul seperti mual, muntah, nyeri epigastrum, nafsu makan menurun, dan kadang terjadi perdarahan (Sutanto, 2007). Penyebabnya ialah makanan atau obat-obatan yang mengiritasi mukosa lambung dan adanya pengeluaran asam lambung yang berlebihan. c) Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD) Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD) adalah kelainan yang menyebabkan cairan lambung mengalami refluks (mengalir balik) ke kerongkongan dan menimbulkan gejala khas berupa rasa panas terbakar di dada (hearthburn), kadang disertai 8 rasa nyeri serta gejala lain seperti rasa panas dan pahit di lidah, serta kesulitan menelan. GERD muncul akibat mengkonsumsi makanan dan minuman seperti makanan pedas, makanan berlemak, peppermint, kopi, alkohol, bawang putih, dan coklat (Przybys, 2011). Przybys (2011) menambahkan bahwa GERD dapat dikurangi dengan mengkonsumsi air putih dan mengkonsumsi obat antasida sebelum makan. Pasien dengan GERD yang muncul pada malam hari dapat dianjurkan untuk tidur dengan posisi kepala lebih tinggi 6 – 8 inchi dari alas dengan menggunakan balok kayu karena menggunakan bantal tambahan tidak cukup membantu untuk mengganjal kepala. Posisi ini membantu mencegah munculnya refluks daripada posisi berbaring tanpa alas (Gerson, 2009). GERD disebabkan karena beberapa faktor salah satunya adalah obesitas. Penelitian menyebutkan bahwa kenaikan berat badan sedikit saja walaupun masih dalam berat badan normal seseorang dapat meningkatkan resiko terkena GERD (Gerson, 2009). Bahkan seseorang yang memiliki indeks massa tubuh antara 21 – 25 juga beresiko terserang GERD. Menghilangkan berat badan terutama lemak pada perut efektif mengurangi timbulnya GERD. Adanya jaringan lemak pada perut dapat menekan perut dan memunculkan refluks asam lambung. 9 d) Karsinoma Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung, pankreas, kolon) sering menimbulkan dispepsia. Keluhan utama yaitu rasa nyeri di perut, bertambah dengan nafsu makan turun, timbul anoreksia yang menyebabkan berat badan turun (Hadi, 2002). e) Pankreatitis Gejala khas dari pankreatitis ialah rasa nyeri hebat di epigastrum yang timbul mendadak dan terus menerus, seperti ditusuk-tusuk dan terbakar. Rasa nyeri dimulai dari epigastrum kemudian menjalar ke punggung. Perasaan nyeri menjalar ke seluruh perut dan terasa tegang beberapa jam kemudian. Perut yang tegang menyebabkan mual dan kadang-kadang muntah (Hadi, 2002). f) Dispepsia pada Sindrom Malabsorbs Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan proses absorbsi dan digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi. Penderita ini mengalami keluhan rasa nyeri perut, mual, anoreksia, sering flatus, kembung, dan timbulnya diare berlendir (Sudoyo, 2009). g) Gangguan Metabolisme Gastroparesis merupakan ketidakmampuan lambung untuk mengosongkan ruangan. Ini terjadi bila makanan 10 berbentuk padat tertahan di lambung. Salah satu penyebab gastroparesis adalah penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang dapat memicu munculnya keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual, dan muntah. Gangguan metabolik lain seperti hipertiroid yang menimbulkan nyeri perut dan vomitus (Hadi, 2002). h) Dispepsia akibat infeksi bakteri Helicobacter pylori Infeksi yang disebabkan oleh Helicobacter pylori pada lambung dapat menyebabkan peradangan mukosa lambung yang disebut gastritis. Proses ini berlanjut sampai terjadi ulkus atau tukak bahkan dapat menjadi kanker (Rani, 2007). 2) Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia afungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan). Dispepsia fungsional terjadi pada kondisi perut bagian atas yang mengalami rasa tidak nyaman, mual, muntah, rasa penuh setelah makan yang menunjukkan perubahan sensitivitas syaraf di sekeliling abdomen dan kontraksi otot yang tidak terkoordinasi di dalam perut. Penyebab ini secara umum tidak sama walaupun beberapa kasus berhubungan dengan stress, kecemasan, infeksi, obat-obatan dan ada beberapa berhubungan dengan IBS (irritable bowel syndrome) 11 (Desai, 2012). Kriteria Rome III menetapkan dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok yaitu : a) Postprandial distress syndrom Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu (1) Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu. (2) Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu. Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan dan dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrum. b) Epigastric pain syndrome Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu (1) nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrum dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu (2) Nyeri timbul berulang (3) Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrum (4) Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin 12 (5) Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfinger oddi. Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah (1) Nyeri epigastrum dapat berupa rasa terbakar, tetapi tanpa menjalar ke daerah retrosternal (2) Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, tetapi mungkin timbul saat puasa (3) Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distress setelah makan (Abdulah dan Gunawan, 2012). c. Patofisiologi Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena berbagai macam penyebab. Penyebab tersebut antara lain karena motilitas saluran pencernaan yang tidak normal, hipersensitivitas lambung, faktor genetik, infeksi bakteri Helicobacter pylori, faktor psikososial, dan faktor lain seperti lingkungan dan pola makan (Yaranadi, 2013). Perubahan pola makan yang tidak teratur mengakibatkan pemasukan makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong. Kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung. Kondisi demikian dapat menyebabkan peningkatan produksi asam lambung yang berakibat pada dispepsia. 13 d. Gejala Berbagai kondisi dapat menyebabkan dispepsia. Gejala utama biasanya rasa nyeri atau ketidaknyamanan pada perut bagian atas. Gejala lain yang menyertai antara lain kembung, sendawa, merasa cepat kenyang setelah makan, mual, dan muntah. Gejala tersebut sering kali dihubungkan dengan makan. Rasa terbakar pada dada (heartburn) dan cairan yang terasa pahit pada kerongkonan (waterbrash) juga termasuk gejala dispepsia. Gejala dispepsia terjadi seperti datang dan pergi atau tidak berlangsung terus menerus sepanjang waktu (Kenny, 2014). e. Diagnosis Cara mendiagnosis sindrom dispepsia yaitu (Djojoningrat, 2006b): 1) Menganamnesis secara teliti dapat memberikan gambaran keluhan yang terjadi, karakteristik dan keterkaitannya dengan penyakit tertentu, keluhan bisa bersifat lokal atau bisa sebagai manifestasi dari gangguan sistemik. Harus menyamakan persepsi antara dokter dengan pasien untuk menginterpretasikan keluhan tersebut. 2) Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra lumen yang padat misalnya: tumor, organomegali, atau nyeri tekan yang peritoneal/peritonitis. sesuai dengan adanya rangsangan 14 3) Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi seperti lekositosis, pankreatitis (amilase/lipase), dan keganasan saluran cerna. 4) Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainankelainan seperti: batu kandung empedu, kolesistitis, sirosis hepatis dan sebagainya. 5) Pemeriksaan endoskopi (esofagogastroduodenoskopi) sangat dianjurkan bila dispepsia itu disertai oleh keadaan yang disebut alarm symtomps yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama dan terjadi pada usia lebih dari 45 tahun. Keadaan ini sangat mengarah pada gangguan organik terutama keganasan, sehingga memerlukan eksplorasi diagnosis secepatnya. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi dengan akurat adanya kelainan struktural atau organik intra lumen saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak/ulkus, tumor dan sebagainya, juga dapat disertai pengambilan contoh jaringan (biopsi) dari jaringan yang dicurigai untuk memperoleh gambaran histopatologiknya atau untuk keperluan lain seperti mengidentifikasi adanya kuman Helicobacter pylori. 6) Pemeriksaan radiologi dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran yang mengarah ke tumor. Pemeriksaan ini bermanfaat 15 terutama pada kelainan yang bersifat penyempitan/ stenotik/ obstruktif dimana skop endoskopi tidak dapat melewatinya. f. Faktor Risiko 1) Konsumsi jenis makanan dan minuman Jenis-jenis makanan dan minuman tertentu dapat mengakibatkan timbulnya dispepsia. Makanan dan minuman tersebut ialah makanan berminyak atau berlemak, makanan pedas dan berbumbu tajam, minuman berkafein seperti kopi dan teh, minuman beralkohol, peppermint, bawang putih, dan coklat (Przybys, 2011). Konsumsi obat anti inflamasi non steroid seperti aspirin juga menjadi salah satu faktor munculnya dispepsia. 2) Kebiasaan Merokok Merokok mempengaruhi saluran pencernaan dengan cara mengurangi produksi mukosa lambung dan sekresi perlindungan lainnya, memicu refluks lambung dan mengurangi aliran darah pada lapisan sistem pencernaan (Cash, 2013). Merokok berkontribusi terhadap penyakit kanker dan gangguan sistem pencernaan seperti rasa terbakar pada dada (heartburn), gastroesophageal reflux disease (GERD), ulkus peptik, dan beberapa penyakit hati. Heartburn merupakan rasa sakit seperti rasa terbakar pada dada disebabkan refluks atau kembalinya isi/ kandungan lambung ke esophagus, organ yang menghubungkan mulut dengan lambung. 16 Merokok melemahkan spingter esophagus bagian bawah yakni otot antara esophagus dan lambung yang menjaga isi lambung kembali ke esophagus. Lambung dilindungi oleh asam lambung yang membantu mencerna makanan, sedangkan esophagus tidak dilindungi oleh asam tersebut. Apabila spingter esophagus bagian bawah melemah menyebabkan isi lambung kembali ke esophagus yang menimbulkan heartburn dan memungkinkan terjadinya kerusakan lapisan esophagus. GERD merupakan refluks persisten yang terjadi lebih dari dua kali dalam seminggu. Apabila terus berlanjut GERD dapat mengakibatkan masalah yang lebih serius seperti perdarahan ulkus esophagus, mempersempit esophagus yang menyebabkan makanan tertahan, dan mengubah sel-sel esophagus memicu terjadinya kanker (Scollo, 2012). 3) Pengaruh Stress dan Kecemasan Adanya stress dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat salah satunya dispepsia. Hal ini disebabkan karena asam lambung yang berlebihan dan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stress sentral (Djojoningrat, 2006b). Selain itu, stress mengubah sekresi asam lambung, motilitas, dan vaskularisasi saluran pencernaan. Keadaan stress yang berat dikaitkan dengan asupan tinggi lemak, kurang buah dan sayuran, 17 lebih banyak cemilan, dan penurunan frekuensi sarapan pagi, sehingga pada pola makan yang tidak teratur tersebut dapat menyebabkan dispepsia (Andre, 2011). Pasien dispepsia memiliki karakteristik mempunyai kekhawatiran yang lebih tinggi terhadap penyakit serius atau kanker, peningkatan tingkat kecemasan, depresi, dan perilaku penyakit serta persistiwa traumatik yang baru terjadi. Stressor psikososial, baik akut ataupun yang lebih perlahan, seringkali mengawali onset dan eksaserbasi gejala gangguan gastrointestinal fungsional. Komorbiditas antara gangguan gastrointestinal fungsional dan gangguan psikiatrik adalah tinggi, terutama gangguan kecemasan (Ratnasari, 2012). g. Dampak Sindrom dispepsia dapat memberikan dampak negatif pada kualitas hidup seseorang. Sebagai contoh adalah Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD) yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa GERD dapat menyebabkan gangguan tidur, penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah, dan gangguan aktivitas sosial. Pada kasus remaja misalnya dispepsia dapat mengganggu studi ketika di sekolah dan mengganggu berbagai aktivitas remaja. Short-Form-36-Item (SF36) Health Survey, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas hidup yang menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding dengan pasien 18 penyakit kronik lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan artritis kronik (Hongo dkk, 2007). h. Penatalaksanaan Penilaian terhadap dispepsia dapat dilakukan dengan menanyakan gejala, pemeriksaan abdomen, dan meninjau obat-obatan yang dikonsumsi. Penilaian dispepsia berdasarkan keadaan masingmasing individu seperti kepelikan masalah dan frekuensi gejala dispepsia muncul. Kenny (2014) menyatakan beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain 1) Antasida apabila diperlukan Antasida merupakan alkali yang dapat berbentuk cair atau tablet yang dapat menetralkan asam lambung. Penggunaannya dapat sesuai resep atau petunjuk dokter. 2) Perubahan pengobatan yang sedang dilakukan Perubahan pengobatan dilakukan apabila obat yang dikonsumsi saat ini menyebabkan munculnya gejala dispepsia atau memperburuk kondisi dispepsia pada individu. 3) Pengujian terhadap infeksi Helicobacter pylori Pengujian ini dapat dilakukan apabila frekuensi dispepsia semakin parah. Apabila terinfeksi maka pasien harus mengkonsumsi antibiotik untuk membersihkan bakteri tersebut. 4) Pengobatan penekanan asam lambung 19 Terdapat dua kelompok obat untuk mengurangi asam lambung yaitu penghambat pompa proton atau proton pump inhibitors (PPI) dan penghambat Histamin2 (H2-Blocker). Obat-obatan ini bekerja dengan cara yang berbeda untuk menghalangi sel-sel pada lambung mempoduksi asam. Contoh obat-obatan yang termasuk PPI antara lain omeprazole, lansoprazole, pantoprazole, rabeprazole, atau esomeprazole sedangkan contoh obat H2-receptor antagonist ialah cimetidine, famotidine, rizatidine, dan ranitidine. 5) Perubahan gaya hidup Pada semua tipe dispepsia perubahan gaya hidup dapat dilakukan dengan cara memastikan makan dengan teratur, mengurangi berat badan apabila obesitas, menghindari merokok, dan tidak mengkonsumsi alkohol. B. Sarapan Pagi Kata sarapan berasal dari kata sarap yang diberi akhiran –an yang berarti makanan pada pagi hari (Depdiknas, 2008). Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan Indonesia (2013) menyebutkan bahwa sarapan adalah kegiatan makan dan minum yang dilakukan antara bangun pagi sampai pukul 09.00 pagi untuk memenuhi sebagian (15-30%) kebutuhan gizi harian, yang merupakan salah satu pilar gizi seimbang dalam rangka mewujudkan hidup sehat, bugar, cerdas, dan produktif. Menurut Dinkes DKI Jakarta sarapan yaitu makanan yang dimakan pada pagi hari sebelum beraktivitas, yang terdiri dari makanan 20 pokok dan lauk pauk atau makanan kudapan dan jumlah yang dimakan kurang lebih sepertiga dari makanan sehari (Pratama, 2013). Sarapan adalah kebutuhan manusia yang seharusnya dilakukan secara teratur setiap pagi (Waryono, 2010). Konsumsi makan seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu sosial; ekonomi; dan lingkungan budaya seperti kebiasaan, kepercayaan, tahayul, dan adat. Kebiasaan berkaitan dengan kebiasaan makan yang dianjurkan seperti pola makan yang normal dan teratur, memilih makanan yang seimbang dengan kebutuhan dan jadwal makan yang teratur. Sarapan pagi memiliki fungsi untuk memenuhi kecukupan energi yang diperlukan untuk jam pertama dalam melakukan aktivitas, pertumbuhan, dan pemeliharaan jaringan tubuh serta mengatur proses tubuh (Almatsier, 2009). Para pakar ahli gizi mengungkapkan bahwa sarapan pagi sebagai makanan pertama yang kemudian diandalkan sebagai cadangan energi untuk kelangsungan aktifitas anak juga berperan melindungi tubuh terhadap dampak negatif kondisi perut kosong selama berjam-jam. Jadi hubungan antara sarapan pagi dengan sindrom dispepsia adalah karena kebiasan untuk makan teratur termasuk kebiasaan untuk melakukan sarapan pagi dapat mencegah munculnya penyakit pada lambung salah satunya sindrom dispepsia. Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan makan yang kurang baik memiliki peran terhadap faktor risiko 21 timbulnya dispepsia. Kebiasaan seperti merokok, konsumsi alkohol, minum kopi, makanan berlemak dan pedas juga dapat memicu mengalami dispepsia (Przybys, 2011). C. Remaja Remaja menurut WHO merupakan masa transisi dalam pertumbuhan dan perkembangan setiap manusia sejak mulai meninggalkan masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada periode ini, terjadi perubahan pada hidup individu baik secara biologi, psikologi maupun sosial. Masa remaja dimulai sejak usia 10 hingga 19 tahun, dan merupakan salah satu masa transisi yang kritis sepanjang kehidupan manusia (Santrock, 2003). UNICEF membagi lagi remaja menjadi remaja awal (10-14 tahun) dan remaja akhir (15-19 tahun). Remaja awal merupakan masa dimana mulai terjadi perubahan pada fisik, mental dan lingkungan sosial. Tanda-tanda seks sekunder, pemikiran yang matang dan rasa tertarik dengan lawan jenis mulai muncul pada usia ini (Soetjiningsih, 2004). Pertumbuhan yang pesat, perubahan psikologis yang dramatis serta peningkatan aktivitas yang menjadi karakteristik masa remaja, menyebabkan peningkatan kebutuhan zat gizi, dan terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi status gizi (Sayogo, 2006). Pola makan yang tidak teratur dan gaya hidup yang cenderung mudah terbawa arus umumnya menjadi masalah yang timbul pada remaja. 22 Perkembangan teknologi, industri, dan era keterbukaan informasi saat ini membawa konsekuensi terhadap perubahan gaya hidup, kondisi lingkungan, dan perilaku masyarakat,termasuk remaja. Kecenderungan mengkonsumsi makanan cepat saji dan makanan instan, gaya hidup menjadi lebih sedentary, stres, dan polusi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Gaya hidup dan kebiasaan makan yang salah akan secara langsung akan mempengaruhi organ-organ pencernaan dan menjadi pencetus penyakit pencernaan. Salah satu penyakit pencernaan yang sering dikeluhkan adalah gangguan lambung (Susilawati, 2013). Gangguan lambung dapat terjadi pada siapapun baik perempuan maupun laki-laki, akan tetapi laki-laki lebih toleran terhadap rasa sakit dan gejala-gejala gangguan lambung lainnya daripada perempuan. Hal ini akan menyebabkan perempuan lebih mudah merasakan adanya serangan gangguan lambung seperti gastritis daripada laki-laki. Selain itu, apabila dilihat dari unsur hormonal perempuan lebih reaktif daripada laki-laki. Mekanisme hormonal dapat mempengaruhi sekresi asam lambung. Hormone gastrin yang bekerja pada kelenjar gastric ketika mendapatkan rangsangan akan menyebabkan adanya aliran tambahan getah lambung yang sangat asam (Anggita, 2012). D. Hubungan antara Sarapan Pagi dengan Sindrom Dispepsia Dispepsia adalah kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrum, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang 23 menjalar di dada. Sindrom dispepsia ini terjadi pada perut bagian tengah dan kiri. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, termasuk juga didalamnya penyakit yang mengenai lambung (Djojoningrat, 2006a). Salah satu faktor penyebab timbulnya sindrom dispepsia adalah akibat ketidakteraturan dan keterlambatan sarapan pagi. Sarapan pagi penting dilakukan sebagai sumber energi untuk beraktifitas pada pagi hari. Sarapan pagi menjadi perilaku yang baik apabila dilakukan secara rutin dan menjadi kebiasaan. Bagi remaja sekolah sarapan pagi menjadi sumber tenaga dalam bermain, belajar, dan pertumbuhannya. Peningkatan asam lambung selain akibat makan yang tidak teratur juga dipengaruhi oleh jenis makanan dan minuman yang dapat memicu peningkatan asam lambung. Jenis makanan tersebut ialah makanan pedas, asam, berlemak, serta makanan berbau kuat dan menyengat dari rempah-rempah. Buah-buahan tertentu untuk sebagian orang juga dapat memicu peningkatan asam lambung. Minuman yang berisiko meningkatkan asam lambung ialah kopi, soda, dan minuman beralkohol. Jadi hubungan antara sarapan pagi dengan sindrom dispepsia adalah karena ketidakteraturan makan termasuk meniadakan sarapan pagi dan akibat mengkonsumsi makanan dan minuman yang berisiko mengakibatkan peningkatkan asam lambung yang menyebabkan metabolisme lambung tidak baik. Peningkatan sensitivitas mukosa 24 lambung terhadap asam menimbulkan rasa tidak enak pada perut (Djojoningrat, 2006a). Rasa tidak enak tersebut terjadi karena terdapat iritasi pada mukosa lambung yang dapat menyebabkan sindrom dispepsia. B. Kerangka Pemikiran Sarapan Pagi 1. Usia 2. Jenis Kelamin Keterlambatan dan Ketidakteraturan Sarapan Pagi Gangguan motilitas Lambung kosong Refluks gastroduodenal Iritasi mukosa lambung Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD) Peningkatan produksi HCl Rangsangan di media oblongata Muntah Sindrom Dispepsia Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Keterangan: : variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti 1. Konsumsi makanan dan minuman berisiko 2. Kebiasaan merokok 3. Stress 25 C. Hipotesis Ada hubungan antara sarapan pagi dengan sindrom dispepsia pada remaja di SMP N 16 Surakarta.