BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengobatan Tuberkulosis (TB) terdiri dari beberapa antibiotik yang harus dikonsumsi dalam waktu yang relatif lama, yakni minimal enam bulan. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) secara teratur dievaluasi dan dikembangkan sebagai upaya pengendalian kasus TB. Bahkan strategi yang semula hanya diterapkan di Puskesmas ini, kini juga diterapkan di Balai Pengobatan Paru Masyarakat (BPPM) dan rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta. Salah satu poin dalam strategi DOTS itu sendiri adalah jaminan ketersediaan dan sistem pengelolaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang efektif, yang diwujudkan dengan pemberian OAT gratis untuk penderita TB di berbagai tingkat pelayanan kesehatan. Upaya lain yang dilakukan terkait strategi DOTS adalah tersedianya Pengawas Minum Obat (PMO) yang akan memantau pengobatan pasien dan membantu mengatasi efek samping yang mungkin terjadi selama pengobatan (Kemenkes, 2013). World Health Organization (WHO) melaporkan dalam Global Tuberculosis Report 2011 terdapat perbaikan bermakna dalam pengendalian TB dengan menurunnya angka penemuan kasus dan angka kematian akibat TB dalam dua dekade terakhir ini. Insidens TB secara global dilaporkan menurun dengan laju 2,2% pada tahun 2010-2011. Walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti ini, beban global akibat TB masih tetap besar. Diperkirakan pada tahun 2011 insidens kasus TB mencapai 8,7 juta 1 2 (termasuk 1,1 juta dengan koinfeksi HIV) dan 990 ribu orang meninggal karena TB. Secara global diperkirakan insidens TB resisten obat adalah 3,7% kasus baru dan 20% kasus dengan riwayat pengobatan. Sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi di negara berkembang (Kemenkes, 2013). Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-4 di dunia setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,7% dari total jumlah pasien TB dunia, dengan setiap tahun ada 450.000 kasus baru dan 65.000 kematian. Penemuan kasus TB apusan dahak basil tahan asam (BTA) positif sejumlah 19.797 pada tahun 2011 (Kemenkes, 2013). Menurut hasil penelitian Bertin Tanggap dan Musrichan (2011) pada penelitiannya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pada pasien tuberkolusis paru dengan resistensi obat tuberkolusis di Jawa Tengah, terdapat pengaruh yang kuat antara keteraturan berobat (p=0,00, r=0,72) dan lama pengobatan terhadap keberhasilan pengobatan (p=0,00, r=0,77). Tidak didapatkan hubungan bermakna antara tingkat pendapatan (p=1,00), jenis pekerjaan (p=0,19), kebiasaan merokok (p=0,42), jarak tempat tinggal pasien hingga tempat pengobatan (p=0,97), dan status gizi (p=1,00) terhadap keberhasilan pengobatan. Melihat fakta bahwa TB merupakan penyakit menular yang sukar ditekan angka kejadiannya meskipun berbagai upaya telah dilakukan, seperti penyediaan OAT gratis dan Pendamping Menelan Obat (PMO). Banyaknya obat yang harus dikonsumsi secara rutin dan dalam jangka waktu lama oleh penderita diperkirakan menjadi alasan mengapa TB sukar diberantas, ditambah dengan banyak faktor yang dapat memengaruhi kepatuhan dan keberhasilan pengobatan, sehingga peneliti merasa perlu melakukan penelitian terkait faktorfaktor yang memengaruhi keberhasilan pengobatan TB. 3 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti dapat menyusun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pola pengobatan fase lanjutan yang diterima pasien Tuberkulosis (TB) di RSUD Dr. Margono Soekarjo? 2. Bagaimana gambaran keberhasilan pengobatan TB di RSUD Dr. Margono Soekarjo? 3. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pengobatan TB di RSUD Dr. Margono Soekarjo? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola pengobatan yang dijalankan pasien tuberkulosis paru dewasa di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto. 2. Mengetahui tingkat keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis paru dewasa di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto. 3. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru dewasa di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi pihak rumah sakit, penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi terkini mengenai gambaran keberhasilan pengobatan pasien Tuberkulosis paru (TB paru). 2. Bagi pasien TB, memberi motivasi dan ilmu pengetahuan dalam menjalani terapi pengobatannya. 3. Bagi peneliti selanjutnya, dapat menjadi pembanding dan/atau pelengkap untuk penelitian selanjutnya. 4 E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Tuberkulosis a. Pengertian Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri TB, yaitu Mycobacterium tuberculosis. Bakteri TB sebagian besar menyerang paru, tapi bias juga mengenai organ tubuh yang lain (Ditjen PP dan PL, 2011). b. Patogenesis Tuberkulosis Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia. Mycobacterium tuberculosis mampu menginfeksi secara laten mapun progresif (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005; Sukandar et al., 2013). Mycobacterium tuberculosis pada umumnya menyerang paru-paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Bakteri ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan yang digunakan untuk identifikasi dahak secara mikroskopis sehingga disebut sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati jika terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup di tempat yang gelap dan lembap. Kuman TB yang telah masuk melalui pernapasan dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas maupun melalui penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). Tuberkulosis secara klinis dapat terjadi melalui infeksi primer dan infeksi pasca primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman TB untuk pertama kalinya. Waktu terjadinya infeksi hingga terbentuknya komplek primer adalah 4-6 minggu. Infeksi terjadi melalui saluran pernapasan yaitu peradangan di dalam alveoli. Infeksi primer diinisiasi oleh implantasi organisme di alveolar melalui droplet nuclei yang sangat kecil (1-5 mm) untuk 5 menghindari sel ephitelial siliari dari saluran pernapasan atas. Setelah implantasi, kuman akan membelah diri dan dicerna oleh makrofag pulmoner, dimana proses pembelahan tetap terjadi meski secara lambat (Ditjen Binfar dan Alkes, 2013; Sukandar et al., 2013). Pada seseorang yang terinfeksi TB, kuman dapat menetap sebagai dormant, dimana kuman tertidur selama beberapa tahun di dalam jaringan tubuh. 90% orang yang terkena TB tidak menunjukkan gejala selain batuk dan napas berbunyi. Pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah dapat terjadi radang paru hebat, yang ditandai dengan batuk kronik dan bersifat sangat menular. Masa inkubasi penyakit tuberkulosis sekitar 6 bulan. Infeksi pasca primer terjadi beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer. Ciri khas TB pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Seseorang yang terinfeksi kuman TB belum tentu sakit atau menularkan kuman TB. Beberapa faktor yang memungkinkan seseorang terinfeksi TB adalah kepadatan droplet nuclei yang infeksius per volume udara, lamanya kontak dengan droplet nuclei dan kedekatan dengan penderita (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005; Zumla et al., 2013). c. Cara Penularan Tuberkulosis Sumber penularan tuberkulosis adalah pasien TB BTA positif pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari dapat langsung membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan oleh parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut (Ditjen PP dan PL, 2011). 6 d. Gejala Tuberkulosis Gejala utama pasien TB paru adalah batuk selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun drastic, malaise, berkeringat di malam hari tanpa aktivitas fisik, dan demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala tersebut dapat juga dialami oleh pasien dengan gangguan paru non TB, seperti kanker paru, bronchitis kronis, dan asma. Oleh karena masih tingginya prevalensi TB di Indonesia, setiap pasien yang datang ke Fasyankes dengan keluhan diatas dianggap sebagai pasien suspek TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung (Ditjen PP dan PL, 2011). e. Diagnosis Tuberkulosis Diagnosis tuberkulosis paru dilakukan dengan pemeriksaan 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu – pagi – sewaktu. Diagnosis tuberkulosis ditegakkan dengan ditemukannya bakteri TB. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan cara diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang asalkan sesuai dengan indikasinya. Diagnosis TB tidak bias ditegakkan hanya berdasar foto toraks sebab foto toraks tidak dapat memberikan gambaran yang khas pada TB paru (Kemenkes, 2009). Sebagian besar TB paru hanya memerlukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis untuk menegakkan diagnosis, tanpa memerlukan foto toraks. Namun pada waktu tertentu, foto toraks perlu dilakukan dengan indikasi sebagai berikut: 1. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) yang hasil BTA-nya positif. Pada kasus ini, foto toraks diperlukan untuk mendukung penegakan diagnosis TB paru BTA positif. 7 2. Ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, setelah 3 spesimen SPS pemeriksaan dahak sebelumnya BTA-nya negatif dan tidak ada perbaikan kondisi setelah pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT). 3. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak napas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti pneumotoraks, pleuritis eksudatif, efusi pericarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptysis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma) (Kemenkes, 2009). f. Klasifikasi Tuberkulosis Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis memerlukan suatu definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap klasifikasi dan tipe penderita. Penentuan klasifikasi dan tipe penderita penting dilakukan sebelum pengobatan dimulai agar dapat memutuskan penggunaan OAT yang tepat. Terdapat empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi kasus, yaitu organ tubuh yang sakit (paru atau ektra paru), pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung (BTA negatif atau positif), riwayat pengobatan sebelumnya (baru atau telah mendapatkan obat), dan tingkat keparahan penyakit (ringan atau berat) (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang diserang oleh kuman, maka tuberkulosis dibedakan menjadi dua yaitu (Kemenkes, 2009): 1) Tuberkulosis paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan parenkim paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Tuberkulosis paru dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, yaitu: a) Tuberkulosis Paru BTA Positif 8 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif, atau satu spesimen dahak menunjukan hasil BTA positif dan foto toraks memberi gambaran tuberkulosis aktif. b) Tuberkulosis Paru BTA Negatif 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto toraks memberi gambaran tuberkulosis aktif. Tuberkulosis paru BTA negatif dibedakan lagi menjadi Tuberkulosis paru BTA negatif berat dan ringan. Bentuk berat bila foto toraks menunjukan gambaran kerusakan paru yang meluas atau keadaan umum penderita yang buruk. 2) Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, kulit, usus, ginjal, tulang, persendian, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. TB ekstra paru dibagi lagi berdasarkan keparahan penyakitnya, yaitu: a) TB Ekstra Paru Ringan Misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudative unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b) TB Ekstra Paru Berat Misalnya: Meningitis, pericarditis, millier, pleuritis, TB usus, TB tulang belakang, TB saluran kecing dan alat kelamin. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu (Ditjen PP dan PL, 2011; Ditjen Binfar dan Alkes, 2005): 1) Kasus Baru Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau yang sudah menelan OAT kurang satu bulan. Pemeriksaan dahak bisa positif atau negatif. 2) Kasus Kambuh (Relaps) 9 Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 3) Kasus setelah putus berobat (Default) Pasien yang sudah berobat paling tidak satu bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 4) Kasus setelah gagal (Failure) Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif di akhir bulan kelima (satu bulan sebelum pengobatan berakhir) atau lebih; atau pasien BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif di akhir bulan kedua pengobatan. 5) Transfer In (Pindahan) Pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kronis Pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2. 2. Terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) a. Tujuan Terapi OAT Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis (Kemenkes, 2009). 10 b. Prinsip Terapi OAT Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektivitas pengobatan maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah sebagai berikut (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005): 1) Menghindari penggunaan monoterapi. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT. 2) Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT – Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu: a) Tahap Intensif Pada tahap intensif penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadi kekebalan obat. Bila pengobatan intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi penderita tidak menular dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (Kemenkes, 2009). b) Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis OAT lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. c. Regimen OAT Obat Anti Tuberkulosis yang dipakai pada pengobatan TB adalah antibiotik dan anti infeksi sintesis untuk membunuh kuman Mycobacterium tuberculosis. Aktivitas obat TB didasarkan atas 3 mekanisme, yaitu aktivitas membunuh bakteri, aktivitas sterilisasi, dan 11 mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh bakteri dibanding Rifampisin dan Streptomisin. Rifampisin dan Pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifabutin dan Rifapentin. Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat primer sudah resisten. Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai alternatif Rifampisin dalam pengobatan kombinasi anti TB (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (selang atau harian), dan kombinasi OAT dalam dosis tetap. Kode huruf seperti 2HRZE/4H3R3 atau 2HRZES/5HRE adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni H=Isoniazid, R=Rifampisin, Z=Pirazinamid, E=Etambutol dan S=Streptomisin. Angka yang terdapat dalam kode menunjukkan waktu atau frekuensi pengobatan. Angka 2 didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2 bulan, setiap hari satu kombinasi tersebut. Sedangkan untuk angka dibelakang huruf seperti pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali seminggu (selama 4 bulan). Pada kategori satu dipakai 2HRZE/4H3R3, artinya pada tahap awal/intensif adalah 2HRZE yaitu lama pengobatan 2 bulan, masing-masing OAT (HRZE) diberikan setiap hari. Tahap lanjutan yaitu 4H3R3 artinya lama pengobatan 4 bulan masing-masing OAT (HR) diberikan 3 kali seminggu (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). Tabel I. Paduan Pengobatan Standar yang Direkomendasikan oleh WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) (Ditjen PP dan PL, 2011). Regimen OAT Kategori 1 •2HRZE/4H3R3 •2HRZE/4HR 12 •2HRZE/6HE Kategori 2 •2HRZES/HRZE/5H3R3E3 •2HRZES/HRZE/5HRE Kategori 3 •2HRZ/4H3R3 •2HRZ/4HR •2HRZ/6HE Paduan pengobatan yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB oleh Pemerintah Indonesia yaitu: 1) Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan pada penderita baru TB paru BTA positif, penderita baru TB paru BTA negatif rontgen positif yang sakit berat, dan penderita TB ekstra paru berat. Tabel II. Dosis untuk Panduan OAT KDT untuk Kategori 1 (Ditjen PP dan PL, 2011) Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari Selama 58 Hari RHZE (150/75/400/275) Tahap Lanjutan 3x Seminggu selama 16 Minggu RH (150/150) 30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT 38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT 55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT Tabel III. Dosis untuk Panduan OAT Kombipak untuk Kategori 1 (Ditjen PP dan PL, 2011) Tahap Pengobatan Lama Pengobatan Dosis per hari/kali Tablet INH @300 mg Kaplet RIF @450 mg Tablet PZA @500 mg Tablet ETB @250 mg Jumlah hari/kali menelan obat 13 Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56 Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48 Keterangan: INH=Isoniazid PZA=Pirazinamid RIF=Rifampisin ETB=Etambutol 2) Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan dengan 1 bulan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali dalam seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA positif yang sebelumnya pernah diobati, yaitu penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), dan penderita dengan pengobatan setelah putus berobat (default). Berat Badan Tabel IV. Dosis untuk Panduan OAT KDT untuk Kategori 2 (Ditjen PP dan PL, 2011) Tahap Intensif Tiap Hari Selama 58 hari RHZE Tahap Lanjutan 3 kali (150/75/400/275) + S seminggu RH (150/150) + E (400) Selama 56 hari Selama 28 hari 2 tablet 4 KDT Selama 20 minggu 2 tablet 2 KDT + 2 tablet etambutol 30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT streptomisin inj. + 500 mg 38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT streptomisin inj. + 750 mg 3 tablet KDT 4 3 tablet 2 KDT + 3 tablet etambutol 55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT + 1000 mg streptomisin inj. 4 tablet KDT 4 4 tablet 2 KDT + 4 tablet etambutol 71 kg 5 tablet 4 KDT + 1500 mg streptomisin inj. 5 tablet KDT 4 5 tablet 2 KDT + 5 tablet etambutol Tabel V. Dosis Panduan untuk OAT Kombipak Kategori 2 (Ditjen PP dan PL, 2011) Obat Tahap Intensif (Dosis Harian) Lama Lama pengobatan 2 pengobatan 1 bulan bulan Tahap Lanjutan 14 (Dosis 3x seminggu) Tablet Isoniazid @300 mg 1 1 2 Kaplet Rifampisin @450 mg 1 1 1 Tablet Pirazinamid @500 mg 3 3 - Tablet Etambutol @250 mg 3 3 1 Tablet Etambutol @400 mg - - 2 Streptomisin inj. 0,75 g - - Jumlah hari/kali menelan obat 56 28 60 Keterangan: - Untuk pasien yang berumur 60 tahun keatas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa memerhatikan berat badan. - Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus. - Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml (1 ml=250 mg). 3) Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan, diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan dan penderita TB ekstra paru ringan. Tahap Pengobatan Tabel VI. Dosis untuk Panduan OAT Kombipak untuk Kategori 3 (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005) Lama Dosis per hari/kali Pengobatan Tablet Kaplet Tablet Jumlah Isoniazid@ Rifampisin Pirazinamid hari/kali 300 mg @450 mg @500 mg menelan obat Intensif 2 bulan 1 1 3 56 Lanjutan 4 bulan 2 1 - 50 4) OAT Sisipan (HRZE) 15 OAT sisipan diberikan pada penderita yang pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan OAT sisipan (HRZE) setiap hari selama satu bulan. Tabel VII. Dosis untuk Panduan OAT KDT untuk Sisipan (Ditjen PP dan PL, 2011) Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275) 30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT 38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT 55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT 71 kg 5 tablet 4 KDT Tabel VIII. Dosis untuk Panduan OAT Kombipak untuk Sisipan (Ditjen PP dan PL, 2011) Tahap Pengobatan Lama Pengobatan Intensif 2 bulan Tablet INH @300 mg 1 Dosis per hari/kali Kaplet Tablet RIF PZA @450 @500 mg mg 1 3 Tablet ETB @250 mg 3 Jumlah hari/kali menelan obat 28 3. Faktor – Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pengobatan TB a. Kepatuhan Salah satu kunci keberhasilan pengobatan TB adalah kepatuhan penderita terhadap farmakoterapi. Kemungkinan ketidakpatuhan pasien TB dalam menjalani terapi sangat besar karena pemakaian OAT dalam jangka waktu yang lama, jumlah obat yang diminum per hari cukup banyak, efek samping yang mungkin timbul dan kurangnya kesadaran pasien akan penyakitnya. Kepatuhan adalah keterlibatan penderita dalam penyembuhan dirinya. Kepatuhan yang meningkat diharapkan dapat mencegah timbulnya resistensi yang dapat merugikan 16 penderita sendiri maupun lingkungan sekitar, kekambuhan bahkan kematian (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). Penyakit tuberkulosis dapat disembuhkan jika pasien menjalani pengobatan lengkap, tetapi ketidakpatuhan terhadap pengobatan merupakan masalah yang sering ditemui. Bentukbentuk ketidakpatuhan dalam farmakoterapi TB yaitu pasien tidak mengambil obat pada waktunya, minum obat dengan dosis yang salah, minum obat tidak pada waktunya, lupa minum obat dan berhenti minum obat sebelum waktunya. Sedangkan penyebab ketidakpatuhan dari pasien TB sendiri, yaitu asimtomatik, pemakaian obat yang lama (kronis), pelupa, regimen kompleks, jumlah obat yang banyak, ukuran obat yang relatif besar, kekhawatiran pasien terhadap timbulnya efek samping dan komunikasi yang buruk antara pasien dengan tenaga medis yang menangani (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005; Dept. Health, 2014). Kepatuhan pasien didefinisikan sebagai derajat kesesuaian antara riwayat dosis yang sebenarnya dengan regimen dosis obat yang diresepkan. Oleh karena itu, pengukuran kepatuhan sebenarnya merepresentasikan perbandingan antara dua rangkaian kejadian, yaitu bagaimana obat diminum dan bagaimana obat seharusnya diminum sesuai resep (Dusing, Lottermoser, & Mengden, 2001). Tipe ketidakpatuhan pasien antara lain (University of South Australia, 1998): 1. Tidak meminum obat sama sekali 2. Tidak meminum obat dalam dosis yang tepat (terlalu besar atau terlalu kecil). 3. Meminum obat untuk alasan yang salah. 4. Meminum obat lain disaat bersamaan sehingga menimbulkan interaksi obat. 5. Jarak waktu minum obat tidak tepat. Secara umum, hal-hal yang perlu dipahami dalam meningkatkan tingkat kepatuhan bahwa (WHO, 2003): 1. Pasien memerlukan dukungan, bukan disalahkan. 17 2. Konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap pengobatan jangka panjang adalah tidak tercapainya tujuan terapi dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan. 3. Peningkatan kepatuhan pasien dapat meningkatkan keamanan penggunaan obat. 4. Kepatuhan merupakan faktor penentu yang cukup penting dalam mencapai efektivitas suatu sistem kesehatan. 5. Memperbaiki kepatuhan dapat menjadi intervensi terbaik dalam penanganan secara efektif suatu penyakit kronis. 6. Diperlukan pendekatan multidisiplin dalam menyelesaikan masalah ketidakpatuhan. Apoteker dapat melakukan intervensi untuk meningkatkan kepatuhan terapi OAT dengan memberikan informasi sesuai kebutuhan penderita sehingga penderita memahami kondisi kondisi dan risiko kesehatannya, memahami risiko bahwa ketidakpatuhan dapat menyebabkan resistensi, memahami efektifitas pengobatan, dan juga meyakinkan bahwa penderita dapat melibatkan diri dalam proses penyembuhan penyakitnya (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). b. Efek Samping Obat Adanya efek samping obat anti tuberculosis (OAT) diketahui merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya default (CDC, 2007). Efek samping obat yang sering muncul adalah kehilangan nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan, rasa terbakar di kaki sampai dengan warna kemerahan di air seni. Efek samping yang lebih berat seperti tuli, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, icterus tanpa penyebab lain, bingung dan muntah-muntah (Depkes RI, 2008). Tabel IX. Efek Samping Ringan OAT (WHO, 2008). Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan 18 Tidak ada nafsu makan, mual, Rifampisin sakit perut Semua OAT diminum malam sebelum tidur Nyeri sendi Beri aspirin Pirazinamid Kesemutan sampai rasa terbakar Isoniazid di kaki Beri vitamin B6 (piridoksin) 100 mg per hari. Warna kemerahan pada air seni Cukup beri penjelasan pada pasien. Rifampisin Tabel X. Efek Samping Berat OAT (WHO, 2008). Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT kulit Berikan antihistamin sambil teruskan OAT dengan pengawasan ketat. Jika belum membaik, hentikan OAT hingga gatal atau kemerahan hilang. Jika kondisi makin buruk, pasien perlu dirujuk. Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol Ikterus tanpa penyebab Hampir lain OAT semua Hentikan semua OAT sampai icterus menghilang Bingung dan muntah- Hampir muntah OAT semua Hentikan semua OAT, lakukan tes fungsi hati Gangguan penglihatan Purpura (syok) dan Etambutol Hentikan Etambutol renjatan Rifampisin Hentikan Rifampisin c. Pengawas Menelan Obat (PMO) Salah satu elemen kunci dari pemberantasan TB dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yaitu pengawasan pengobatan langsung dengan menunjuk seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Peran seorang PMO dalam TB-DOTS meliputi 19 pengawasan menelan obat, memberikan motivasi kepada penderita TB, mengingatkan waktu pemeriksaan dahak ulang dan pengambilan obat, mengevaluasi dan menemukan efek samping obat, dan memberikan penyuluhan kepada keluarga atau yang tinggal bersama dengan penderita (Harminsyah, 2013). Pemilihan PMO harus disesuaikan dengan kondisi tempat penderita tinggal. Tenaga PMO bisa berasal dari petugas kesehatan setempat, keluarga dan tokoh masyarakat. Sebelum pengobatan dimulai PMO yang ditunjuk oleh petugas kesehatan dan penderita harus diberi pelatihan singkat tentang perlunya Pengawas Menelan Obat setiap hari agar mereka mengetahui tanda-tanda penyakit TB dan cara mengatasi bila ada efek samping yang terjadi. Selain bertugas sebagai pengawas, PMO juga membantu jadwal pengambilan obat penderita dan menepati waktu kunjungan berobat (Depkes, 2005). Dukungan PMO sebagai anggota keluarga penderita merupakan bentuk dukungan instrumen keluarga, yaitu memberikan pertolongan praktis terhadap kegiatan pemenuhan dan pemeliharaan kesehatan anggota keluarga. Semakin dekat hubungan antara pasien dengan PMO maka dapat meningkatkan peran PMO dalam kesembuhan pasien (Ma’arif, 2012). d. Tingkat Pengetahuan Pasien tentang TB Pengetahuan adalah hasil dari proses penginderaan seseorang terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan ini nantinya akan menjadi dasar bagi seseorang untuk mengambil keputusan atau menentukan tindakan dalam setiap masalah yang dihadapinya. Faktor-faktor yang memengaruhinya antara lain: a. Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri sendiri, misalnya inteligensia, minat dan kondisi fisik. b. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri, seperti keluarga, masyarakat dan sarana. 20 c. Faktor pendekatan belajar, yaitu faktor upaya belajar, misalnya strategi dan metode dalam pembelajaran. Tingkatan domain pengetahuan yaitu: 1. Tahu (Know) Yaitu mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. 2. Memahami (Comprehension) Suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. 4. Analisis Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam satu struktur organisasi dan ada kaitannya dengan yang lain. 5. Sintesa Yaitu suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan baru. 6. Evaluasi Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi/penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan akan membentuk sikap seseorang, dimana sikap adalah reaksi yang masih tertutup terhadap suatu stimulus. Sikap yang dikenai faktor pendukung, seperti fasilitas akan menghasilkan suatu tindakan. Dalam hal ini, pengetahuan tentang kesehatan pada tahap tertentu dapat membentuk tindakan atau perilaku hidup sehat seseorang (Notoatmodjo, 2003). 21 Pengetahuan adalah faktor yang memberikan pengaruh bermakna pada kejadian default pasien TB. Pasien yang memiliki tingkat pengetahuan rendah berpeluang putus obat 3,69 kali dibandingkan pasien dengan tingkat pengetahuan tinggi tentang TB. Pengetahuan sangat berperan dalam kepatuhan minum obat, keberhasilan pengobatan, kesuksesan program pengendalian dan pemberantasan TB (Safitri, 2001). Untuk meningkatkan pengetahuan pasien TB, tenaga medis baik perawat maupun dokter perlu memberikan penjelasan singkat tentang penyakit yang diderita, penyebab, tanda dan gejala, pencegahan, dan pengobatan yang akan dijalani pasien. Penjelasan atau edukasi juga bisa disampaikan melalui poster atau leaflet yang dapat dibaca oleh pasien atau keluarga yang mendampinginya. e. Hasil Pengobatan TB Hasil pengobatan akan menentukan langkah selanjutnya yang harus ditempuh dan dapat digolongkan menjadi: a. Sembuh Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan akhir (follow-up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan minimal satu pengobatannya sebelumnya negatif. b. Pengobatan lengkap Pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi syarat sembuh. c. Meninggal Pasien yang meninggal selama pemgobatan karena sebab apapun. 22 d. Pindah Pasien yang pindah berobat ke unit dengan register lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. e. Default (Putus Obat) Pasien yang tidak berobat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. f. Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau menjadi positif pada bulan kelima atau lebih setelah pengobatan. F. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik pasien TB paru, gambaran pola pengobatan, gambaran tingkat keberhasilan pengobatan dan faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pengobatan pasien TB paru yang menjalani terapi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.