Kapitalisme dan Masa Depan Kebijakan Anti Kemiskinan di Indonesia Staff Students Sponsors Email contact : Iqrak Sulhin :::- Proses Kebijakan publik, khususnya kebijakan anti kemiskinan tidak akan lepas dari peran paradigma. Paradigma memberikan acuan kepada setiap analis kebijakan tentang apa yang menjadi masalah dan bagaimana cara penyelesaiannya. Dalam perkembangannya, dua paradigma utama yang berpengaruh dalam proses kebijakan publik tersebut adalah Kapitalisme dan Sosialisme. Kapitalisme di satu sisi menganjurkan kebijakan publik diserahkan kepada mekanisme pasar, individualisasi kesejahteraan, kemodifikasi, dan minimalisasi peran negara. Sebaliknya, Sosialisme menekankan keterlibatan aktif negara dalam kebijakan publik, serta mendukung upaya menciptakan pemerataan dan keadilan sosial. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui perdebatan paradigmatik dalam pengembangan kebijakan publik, khususnya kebijakan anti kemiskinan di Indonesia. Khususnya kritik sosialisme di tengah hegemoni kapitalisme. Namun sosialisme yang dimaksud oleh tulisan ini tidak seperti model negara sentralistik (etatisme), yang tidak mengakui hak milik serta inisiatif individu. Sosialisme dalam hal ini adalah paradigma yang menekankan keberpihakan proses kebijakan publik pada kepentingan masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi dan politik. Negara dalam hal ini tidak dominatif, namun menjalankan kewajibannya menjamin kesejahteraan sosial. Untuk menjelaskan perdebatan paradigma tersebut, tulisan ini melakukan penelusuran kepustakaan berupa buku, artikel media massa, makalah dan tulisan ilmiah, yang ditulis oleh sejumlah stakeholder aktif dalam analisis kebijakan anti kemiskinan. Stakeholder aktif tersebut direpresentasi oleh elit negara, kalangan swasta, dan unsur masyarakat sipil. Sementara itu, periode yang menjadi konteks penelitian ini adalah Orde Baru dan Pascanya. Tulisan ini menyimpulkan, bahwa perdebatan paradigmatik dalam pengembangan kebijkan anti kemiskinan di Indonesia didominasi oleh Kapitalisme. Dominasi ini terjadi karena proses kebijakan publik yang kapitalistik tersebut bersifat elitis dan teknokratis. Hal ini terkait dengan dominannya peran elit intelektual serta elit negara pro pasar dalam proses kebijakan. Selain itu, dominasi ini juga disebabkan oleh adanya tekanan lembaga keuangan global, seperti IMF. Tekanan ini membuat Indonesia memiliki alternatif kebijakan publik yang terbatas. Lebih dari tiga dasawarsa Orde Baru, Kapitalisme berperan besar dalam mengarahkan kebijakan publik. Sementara era reformasi lebih merupakan sebuah keberlanjutan hegemoni kapitalisme tersebut. Latar yang memungkinkan dominasi kapitalisme tersebut sekaligus menjelaskan kekalahan wacana-wacana sosialistik dalam pengembangan kebijakan publik di Indonesia. Namun demikian, kasus Indonesia memperlihatkan pula adanya dualisme paradigma dalam praktek kebijakan publik. Di tengah dominasi kapitalisme selama Orde Baru dan pascanya, pemerintah dalam kasus tertentu memperlihatkan keberpihakannya pada wacana-wacana sosialistik. Seperti yang diperlihatkan oleh kebijakan Inpres desa Tertinggal mulai tahun 1994, dan bantuan langsung tunai sebagai kompensasi atas kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak pasca krisis ekonomi.