ADAKAH KITAB TUHAN DENGAN NASKAH ASLI? Terlalu sering orang-orang Kristen mendengar pengkritik melontar ucapanucapan tidak intelek dan tanpa bukti: “Alkitabmu telah kalian ubah”, “Alkitabmu korup”. Kini secara fair, akankah pengkritik berhati lapang untuk mendapati bahwa ucapan yang sama boleh jadi akan tertuding balik kepada mereka? Baik! Kita berdialog dan bukan bermonolog. Sekalipun manuskrip asli Perjanjian Baru tidak kita miliki, namun seperti yang telah diperlihatkan kita memiliki amat banyak salinan-salinan asli versiversi terjemahan, dan kutipan-kutipan tekstual yang sangat tua, yang kesemuanya diturunkan atau diterjemahkan dari satu sumber ajaran doktrinal yang sama. Tuduhan bahwa isi Perjanjian Baru ada berbagai versi, jelas hanyalah karena pemahaman yang salah, atau memang kesengajaan untuk melantangkan ucapan yang merendahkan. Sebab isi Perjanjian Baru selalu satu, dengan berbagai versi terjemahan. Dalam bahasa Inggris, ada versi The King James, The New King James, The American Standart, Revised Standart, dan lain-lain. Dalam bahasa Indonesia, ada terjemahan lama, terjemahan baru, bahasa sehari-hari dan seterusnya (sama halnya dengan Quran yang juga diterjemahkan dalam banyak versi). Namun semuanya ini hanyalah terjemahan yang tetap sesuai dengan salinan asli Perjanjian Baru bahasa Yunani dan Perjanjian Lama Ibrani yang telah terpelihara jauh sebelum kedatangan Islam. Penyalin-penyalin di zaman dulu telah mempertaruhkan jiwanya dan raganya untuk melakukan penyalinan yang benar atas kebenaran Firman Tuhan (ancaman terhadap raganya didekritkan oleh penguasa-penguasa Romawi yang anti Kristus, dan ancaman jiwa dipertaruhkan atas kutukan Tuhan bagi siapasiapa yang berani memalsukan ayat-ayatNya). Itu sebabnya walau ada sejumlah ayat-ayat Alkitab yang sepintas tampaknya sebagai tidak pas dan sulit dicernakan, namun ayat-ayat tersebut itupun tetap dibiarkan berdiri tegar dalam keaslian salinannya. Mereka tidak pernah mengambil tindakan seperti yang diambil oleh Khalifah Utsman yang meresmikan satu mushaf Quran Utsmani sambil memerintahkan memusnahkan himpunan naskah-naskah lainnya yang justru merupakan naskah-naskah primer. (Dr. Niftrik & Dr. Boland, Dogmatika Masa Kini, hal 281). “Utsman mengirim kepada setiap propinsi satu Kitab yang telah mereka salin, dan memerintahkan agar semua naskah-naskah Al Quran yang lain, apakah dalam bentuk yang terbagi-bagi, atau yang lengkap, harus dibakar” (Hadis Shahih Bukhari, VI, Hal 476). Perintah pemusnahan oleh Utsman ini terjadi setelah team panitia Zaid (bersama 3 orang lainnya yang ditunjuk oleh Utsman) berhasil menyusun ulang naskah-naskah Quran dalam satu standar baru yang disebut Mushaf Utsmani demi menggantikan “koleksi naskah Abu bakar/Hafsah” dan semua koleksi naskah Quran atau lepasan-lepasannya yang ada sebelumnya. Perlu Kritis Disinilah pembaca perlu kritis bertanya ada apa dibalik perintah pemusnahan terhadap naskah-naskah primer yang begitu penting itu yang seharusnya justru diamankan sebagai bukti sejarah dan bukti keotentikan? Periksalah dengan cermat berbagai informasi asli dari hadis dan Sirat dan lainlain tulisan (yang jarang ditampilkan) dan jangan otomatis menerima begitu saja tulisan-tulisan dari satu pihak (yang sering disodorkan). Kita tahu bahwa Quran hingga meninggalnya Muhammad, merupakan ayatayat yang masih direferensikan secara oral. Berlawanan dengan apa yang sering diasumsikan bahwa diakhir hidup Muhammad semua ayat-ayat sudah tertulis seolah-olah sudah lengkap, tertib, terurut dan dihafal teratur dalam bimbingan Muhammad, namun fakta-fakta mendasar berbicara lain daripada asumsi umum. Ada satu tokoh penting yang tampak-tampaknya “tidak begitu setuju” dengan asumsi orang-orang tentang telah tersusunnya ketertiban urutan, kepersisan, dan kelengkapan ayat-ayat tersebut. Orang itu tak lain tak bukan adalah Zaid bin Tsabit, juru tulis utama dari Muhammad sendiri. Walau dirinya juga penghafal dan pencatat ayat-ayat, namun ia toh merasa begitu tidak yakin ketika dimintai oleh Khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan Quran dan menyusunnya secara urut, tertib, utuh dan benar. Hal ini bisa dimengerti mengingat terdapat begitu banyak lepasan-lepasan ayat yang “direkam” sendirisendiri pada daun, batu, tulang, pelepah, kulit, kayu dan ingatan-ingatan di otak diantara tiap individu-individu yang berbeda. Kerisauan zaid yang amat sangat ini tentu harus diartikan bahwa ayat-ayat yang ada masih sangat “berserakan” dan sama sekali tidak mudah dihimpun dalam aturan “pewahyuan langsung” yang tidak mentolerir kesalahan yang terkecil sekalipun! Itu sebabnya Zaid menjawab permintaan Abu bakar dengan kata-kata yang mencerminkan luar biasa berat tugas tersebut: “Demi Allah! Ini adalah pekerjaan yang berat bagiku. Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidaklah lebih berat bagiku daripada mengumpulkan Al Quran yang engkau perintahkan itu” (Al Quran Dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Muqaddimah, hal 23) Hanya dengan bujukan dan permintaan yang kuat dari pemimpin pemerintahan, maka akhirnya Zaid menerima tugas raksasa ini. Akhirnya ia berhasil menghimpun naskah Quran dalam lembaran-lembaran tertulis untuk pertama kalinya dalam tahun 12 H. Lembaran-lembaran “naskah Abu Bakar” inilah yang dianggap lengkap dan resmi sepanjang 2 Khalifah pertama. Dan seterusnya ia disimpan oleh Hafsah (puteri Umar dan istri Muhammad), hingga digantikan oleh Mushaf Utsman di tahun 26 h, sejak dekrit Utsman dikeluarkan untuk memusnahkan semua naskah-naskah Quran yang lain. Tetapi disamping koleksi naskah Abu Bakar/Hafsah ini, terdapat pula koleksi-koleksi tertulis lainnya yang berwibawa seperti koleksi naskah Ali bin thalib, juga Ubai bin Ka’b dan Ibn Mas’ud. Mereka adalah tokoh dan sahabatsahabat Muhammad yang paling dekat yang adalah saksi-saksi mata dan telinga dari segala apa yang diucapkan Muhammad. Mereka sendiri-sendiri menyusun koleksi ayat-ayat seperti apa yang mereka dengar dari Muhammad, diingat, dicatat, ataupun disalin diantaranya dari pemilik ayat lainnya. (TQTB, hal 110). Dengan dekrit Utsman, maka koleksi Ali dan Ubai segera termusnah. Namun koleksi Abu Bakar/Hafsah belum bisa dibakar pada waktu itu karena Utsman sendiri masih terikat dengan sumpahnya untuk mengembalikannya kepada Hafsah setelah dipinjamnya dalam rangka standarisasi naskah oleh panitia Zaid. Dari kutipan Kitab Al-Masahif oleh Ibn Abi Dawud (isnad Salim bin Abdulla), Dr. Campbell menulis sebagai berikut: “Setelah Utsman meninggal, Marwan yang gebernur Medina itupun mengirim utusan kepada Hafsah untuk menuntut pemusnahan koleksi ini. Hafsah menolak dan mempertahankannya hingga akhir hayatnya. Namun Marwan begitu bernafsu untuk mendapatkannya, sehingga ketika Hafsah meninggal, sebegitu selesai melayati penguburannya, Marwanpun segera mengirim utusan untuk mendapatkan koleksi Abu Bakar itu Akhirnya kakak Hafsah (Abdullah bin Umar) mengirimkannya juga kepada Marwan, dan musnahlah koleksi naskah yang paling primer ini dibawah perintah Marwan.” Lalu bagaimana dengan koleksi naskah Ibn Mas’ud? Walau perintah pemusnahan telah dikirim oleh Utsman kepada Ibn Mas’ud di Irak namun Mas’ud – seperti halnya Hafsah – menolak untuk membakar naskahnya (walau akhirnya hilang di masa Ijtihad (TQTB, hal 118,121). Kenapa berani menolak? Tentu saja karena ia merasa naskahnyalah yang paling berwibawa. Dan hal ini tidak bisa dikatakan salah karena tradisi memang mengatakan kepada kita bahwa diantara pengikut-pengikut Muhammad maka Ibn Mas’ud-lah yang dianggap Muhammad mempunyai otoritas terbaik mengenai teks dan mengaji Al Quran.*). *) .Hadis Shahih Bukhari V, hal 96,97 dan Hadis Shahih Muslim IV, hal 1313 dimana nama Ibn Mas’ud disebut paling pertama oleh Muhammad diantara 4 orang yang pantas mengajar mengaji Quran: “Belajarlah mengaji Quran dari 4 orang: dari Abdullah bin Mas’ud, Salim – budak Abu Hudaifa yang telah dibebaskan, Mu’ad bin Jabal’, dan Ubai bin Ka’b” Ibn Mas’ud –lah yang termasuk salah satu dari guru-guru mengaji yang paling awal. Dia pulalah yang menjadi saksi mata yang hadir atas 2 peperangan penting bersama Muhammad, yaitu perang Badar dan Uhud. Ia juga yang mendemonstrasikan mampu mengaji hingga lebih dari 70 Surat dalam suatu acara khusus yang juga dihadiri Muhammad, dan tidak ada seorangpun dari yang hadir disitu yang menyalahkan pengajiannya (Hadis Shahih Muslim IV, hal 1312). Dan koleksi naskah Ibn Mas’ud yang dianggap berotoritas itu ternyata berbeda teks dengan naskah-naskah lainnya, termasuk berbeda dengan naskah Abu Bakar/Hafsah (John Gilchrist, The Textual History of the Quran and the Bible, Villach, Light of Life, 1988, hal 18). Dalam perselisihan mempertahankan keabsahan naskah masing-masing, tradisi mencatat bahwa antara sesama Muslim (tentara-tentara Irak yang pro koleksi Ibn Mas’ud dan tentara-tentara Syria yang pro koleksi Ubai) sampai saling menuduh pihak yang lainnya sebagai tidak beriman. (TQTB, hal 111). Tuduhan “kafir” ini tentunya tidak akan diberikan bilamana perbedaan-perbedaan naskah diantara pihakpihak yang berselisih itu hanyalah marginal dan tidak dianggap sebagai serius. Arthur Jefferey, seorang arkeolog terkemuka Eropa menulis buku berjudul “Materials for the History of the Text of the Quran”, dimana ia menyingkapkan semua perbedaan teks naskah primer Quran sebelum distandarisasi oleh Utsman. Mengejutkan bahwa ditemukan begitu banyak teks koleksi Mas’ud yang berbeda dengan naskah-naskah lain (termasuk beda dengan naskah Abu bakar/Hafsah) sehingga diperlukan tidak kurang dari 90 halaman bagi Jefferey untuk memaparkannya dalam bukunya (mulai halaman 24 s/d 114). Dalam Surat A Baqarah saja terdapat tak kurang dari 149 kasus dimana teks Ibn Mas’ud berbeda dengan koleksi naskah-naskah lain, khususnya teks dari koleksi Abu Bakar/Hafsah. (John Gilchrist, hal 19). Jefferey memaparkan bahwa perbedaan bacaan bukanlah semata-mata dalam masalah ejaan atau dialek (seperti yang sering diperdengarkan oleh orangorang Muslim) melainkan menyangkut pula anak kalimat, atau bahkan kalimat penuh sehingga Jefferey menyimpulkan “amat jelas bahwa teks Mushaf yang dikanonisasi oleh Utsman hanyalah salah satu dari banyak teks tandingan. (N.L. Geisler & Abdul Saleeb, Answering Islam, Michigan, backer books, 192) Cerita tentang bukti-bukti perbedaan naskah dapat memprihatinkan atau mengagetkan. Kita petikkan beberapa saja secara ringkas. Misalnya ada kelainan-kelainan urutan Surat-surat, antara lain koleksi Ali bin Abi Thalib bukan dimulai dengan Surat 1 tetapi mulai dengan Surat 96 secara kronologis menuruti pewahyuan. Di lain pihak koleksi Mas’ud, dimulai dengan Surat 2 lalu 4, lalu 3, Surat 1, 113, 114 tidak terdapat di dalamnya (YQYB, hal 110). Dan ketika ia diminta untuk menyamakan pola penulisannya seperti Mushaf Utsmani, maka Ibn Mas’ud merasa jengkel dan berkata: “Apakah saya harus meninggalkan apa yang saya peroleh langsung dari mulutnya Nabi Allah? Demi Allah, saya telah memetik dari mutunya sekitar 70 Surat. Demi Allah, para pengikut Nabi telah tahu bahwa saya paling terdidik dalam pengetahuan tentang Kitab Allah. (The True Guidance, part IV, An introduction to Qurania Studies, Light of Life, Villach, Austria, hal 58,59). Dengan perkataan lain, Ibn Mas’ud menolak pembakuan teks Utsmani karena tidak dianggap mewakili kesempurnaan teks Allah. Paling tidak ke-70 Surat yang langsung diperoleh Ibn Mas’ud dari mulut Nabi sendiri, dan yang telah didemonstrasikan pengajiannya di muka Nabi (tanpa disanggah oleh para hadirin yang mendengarnya), haruslah dianggap purna-otentik dan berotoritas sebagai ayat-ayat Allah. Hal ini diperkeras dengan fakta-fakta sejarah tentang latar belakang kematian Utsman menyusul tindak standarisasinya terhadap teks Quran. “… tetapi ia (Utsman) menimbulkan perlawanan hebat, jauh lebih hebat daripada yang mungkin diduganya. Lawan-lawannya dengan sangat keras dapat membantah bahwa karena Amirul Mu’minin (khalifah) sama sekali tidak dimaksudkan untuk memiliki otoritas atau pandangan yang lebih besar daripada orang muslim lainnya, dia tidak memiliki otoritas untuk menetapkan edisi Al Quran yang dibukukan itu. Dengan perkataan lain, mereka mengemukakan, Utsman secara tidak benar menggunakan kekuasaan keagamaan yang tidak dimilikinya… Menjelang akhir masa pemerintahannya, perlawanan ini telah menjadi sedemikian kuatnya sehingga orang-orang yang merasa berhutang budi kepadanyapun terpaksa menentang kebijakan-kebijakannya. Akhirnya suatu utusan yang terdiri dari beberapa ratus orang angguta suku-suku dari Irak dan juga dari Mesir dalam jumlah yang sama datang dari Medinah untuk menuntut penyelesaian terhadap hal-hal yang meresahkan mereka … setelah terjadi perdebatan, diskusi dan perbedaan pendapat yang diwarnai kemarahan dan tanpa hasil selama hamper 50 hari, orang-orang Mesir menyerbu masuk dan membunuh orang tua malang (Utsman), yang ditinggal pergi oleh para pengikutnya dari Medinah itu” (MA. Shaban, Sejarah Islam, Raja Grafindo Persada, 1993, hal 100-101, petikan dari Balazuri, Ansab, Vol V;28, 59-105, dan Tabari I:2941-3050). Juga mendatangkan perselisihan kenapa dalam Quran sekarang ini tidak terdapat satu ayatpun tentang perajaman batu bagi orang-orang yang kedapatan berzinah (sementara Taurat dan Injil masih membicarakannya, walau dalam legalitas yang berbeda). Padahal khalifah Umar selama pemerintahannya menyatakan bahwa ada beberapa ayat yang diucapkan oleh Muhammad semasa hidupnya, yang mengharuskan perajaman terhadap pelaku-pelaku zinah (lihat Ibn Ishaq, Sirat Rasulullah, hal 684 – John Gilchrist, hal 16,17). Sebagian ahli mempertanyakan apakan ayat-ayat tersebut mungkin di nasakh-kan (ganti ayat pewahyuan) dengan QS 24:2? Tetapi siapa yang menasakhkannya? Tetapi yang memprihatinkan dan mengagetkan tetaplah perintah penghancuran naskah-naskah Quran yang paling primer oleh Utsman. Pemusnahan yang diperintahkan ini mau tidak mau mengundang orang yang paling tidak berprasangkapun untuk bertanya tentang ada apa dibalik pemusnahan naskah-naskah tersebut oleh pemuka-pemuka Islam sendiri sehingga naskah primer yang telah dikumpulkan lebih awal itu tidak dibiarkan hadir dalam keasliannya? Jangankan pada tingkat “pelestarian Kalimat Allah” seperti ini, sedang pada tingkat “pelestarian benda-benda arkeologi” pun para ilmuwan tidak membenarkan pemusnahan materi primer yang terkecil sekalipun! Dr. Champbell mengungkapkan selanjutnya bahwa andaikata koleksi naskah-naskah primer itu tidak dimusnahkan, maka paling tidak dunia mempunyai satu Quran dengan 4 testimoni primer (penyaksian awal-awal) yaitu dari para penyaksi yang sangat berotoritas seperti Ali, Ubai, Ibn Mas’ud dan Zaid/ Abu Bakar/Hafsah. Dan hal ini mirip seperti Injil yang memang satu, namun telah di testified oleh 4 penulis Injil yang berbeda, dibimbing oleh pengilhaman Roh Tuhan. Ke 4 penulis Injil masing-masing telah menulis Injil menurut kesaksian-kesaksian langsung baik yang diperoleh dari dirinya sendiri sebagai saksi mata, maupun dari orang-orang lain yang menjadi saksi mata langsung, ditambah dengan pengilhaman Roh Kudus demi memfinalkan otoritas penulisan menjadi sebuah Firman Tuhan yang dipersaksikan ! Itu sebabnya “keempat Injil” (atau persisnya “Injil yang ditulis oleh 4 penulis”) itu tetap dibiarkan berdiri sendiri-sendiri membentuk satu Kesatuan Injil yang tidak terpisahkan, sekalipun pada permukaannya, sesekali tampak seperti ada kontradiksi di antara keempatnya (yang kelak ternyata hanyalah kontradiksi semu belaka!) Bapak-bapak Gereja-awal tidak butuh, tidak berniat, dan tidak berani untuk menyusun baru dari apa yang asli “4 kesaksian Injil” menjadi “1 Injil bacaan baru” hasil standarisasi manusia belaka. Apalagi kalau 4 Injil teks asli itu mesti dimusnahkan, APAPUN ALASANNYA! Kini tentu saja Sejarah Tekstual Quran akan menghadapi sederetan pertanyaan logis apa yang dilakukan oleh Khalifah Utsman: 1. Jikalau asumsi para muslim benar, bahwa teks Allah memang sudah hadir tersusun tertib, benar, lengkap dan sah dikala ada Muhammad, lalu mengapa Zaid beranggapan bahwa mengumpulkan Quran yang 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. sudah “siap” itu adalah lebih berat kerjanya ketimbang memindahkan sebuah bukit? Lebih jauh lagi kenapa Utsman masih perlu-perlunya menstandarkan sebuah teks umum jikalau teks standar memang sudah hadir dalam keaslian? Kenapa Teks-Allah yang sudah tergores dalam lauhul mahfuzh yang diturunkan dalam bahasa Arab yang terang dan terpelihara itu (QS 16:103, 15:9) ternyata harus melewati pelbagai tahap yang terkesan “kurang terang” dan “kurang terpelihara” karena harus dihilangkan/dimusnahkan untuk yang satu, dan disusun baru untuk yang lain tanpa disaksikan Muhammad? Kenapakah, atau ada masalah apakah dibalik dua kali penyusunan yang harus dilakukan oleh Zaid dimana justru naskah-naskah yang sah dan lebih tua/primer itu tidak diizinkan exist sebagai saksi sejarah dan keotentikan? Bukankah penghancuran seluruh naskah-naskah primer itu makin membenarkan dugaan bahwa panitia penyusun naskah tidak cukup percaya diri atas “kemutlakan-kebenaran” naskah yang satu terhadap naskah yang lain? Di dalamnya terkandung masalah-masalah yang serius yang tidak bisa diserasikan kecuali harus dihilangkan dengan dekrit pemusnahan? Siapakah di antara para ahli yang telah menunjukkan bahwa naskah Abu Bakar/Hafsah adalah satu-satunya koleksi yang paling sempurna dibandingkan dengan naskah-naskah lain? Atas dasar apakah koleksi ini dianggap lebih layak daripada naskah Ibn Mas’ud? Bila Muhammad telah menegaskan (tercatat dalam hadis Shahi Bukhari dan Muslim yang dianggap terpercaya) agar orang-orang belajar mengaji dari 4 ahli, diantaranya Ibn Mas’ud, maka atas dasar apakah justru peran dan koleksi Ibn Mas’ud ini tidak disebut-sebut dan juga tidak diikut sertakan dalam standarisasi penyusunan teks Quran? Kenapa banyak pihak merasa tidak puas bahkan menolak teks Utsman dan tetap mempertahankan teks mereka sendiri? Bahkan kematian Utsman pun adalah akibat dari penolakan tersebut? Atas wewenang yang diberikan siapakah maka Utsman merasa berhak untuk memusnahkan Kalimat-kalimat Allah yang telah dipercayakan Muhammad kepada beberapa sahabat-sahabatnya yang terbukti ahli mengajar mengaji? Dengan kejadian ini, bagaimana pengertian “wahyu yang langsung, mutlak dan final” harus diartikan kepada Al Quran? Karena kriteria “langsung, mutlak dan final” inilah maka dibutuhkan sebuah manuskrip Quran yang utuh siap pakai yang ditinggalkan oleh Muhammad langsung kepada masyarakatnya. Hanya dari beliau sendirilah pantas dimushafkan sebuah Quran secara final, dan tidak dibiarkan untuk difinalkan oleh orang-orang lain tanpa kehadirannya. Dengan membiarkan ayat-ayat lepas (di antara tulisan-tulisan pada daun, kulit, batu, tulang, ingatan-ingatan penghafal ayat, dan lain-lain) untuk dimanuskripkan “final” oleh gagasan-gagasan orang lain (Umar dan Abu Bakar) tanpa penyaksian Muhammad, dimana naskah ini harus dimusnahkan sesudah “difinalkan” lagi dalam mushaf Utsman, tentulah hal ini mengundang persoalan tentang definisi keaslian, langsung, finalitas dan kemutlakan Kitab Quran itu sendiri (catatan: Definisi keaslian naskah Kitab Suci selalu menuntut keabsahan kehadiran saksi mata langsung dari Firman (sebagai penulis atau penyaksi), dan ini tidak bisa diwakilkan in-absensia. Jadi bukan sekedar “asli” dalam artian “tidak ada perubahan tekstual” atau “salinan asli”). Sebab bukankah hal ini memberikan pembenaran bagi kesimpulan para ahli yang mengatakan bahwa: “Sekalipun Quran sekarang ini benar merupakan salinan yang sempurna terhadap mushaf Utsman di abad ke 7, namun tidaklah benar bahwa itu merupakan salinan asli persis seperti yang diwariskan oleh Muhammad” (N.L. Geisler & Abdul Saleeb, Answering Islam, Michigan, Baker Books, 1995, hlm 191). Naskah asli hanya pantas dimusnahkan lawan bukan kawan “Alkitabmu korup!” Itulah tuduhan yang sering kita dengar. Apa jawaban kita? Sederhana saja: Sekalipun Alkitab mengalami di sana-sini perbedaan bacaan pada naskah salinannya, namun berlainan dengan Quran, perbedaan-perbedaan tersebut tetap dibiarkan eksis demi kebenaran. Tidak pernah tercatat dalam sejarah bahwa naskah atau salinan Alkitab dimusnahkan oleh orang-orang kalangan sendiri. Yang ada justru dimusnahkan lawan-lawan, musuh-musuh dan pendengki Alkitab seperti halnya oleh Kaum Yahudi dan kerajaan Romawi awal-awal abad Masehi. Kini menjadi pertanyaan terbuka, dimanakah di dunia ini bisa kita temukan Kitab-kitab yang mutlak asli bagi Taurat, Injil dan Quran? Dari sejumlah bincang-bincang kami dengan teman-teman Muslim, ternyata mereka “sangat sadar” bahwa Taurat dan Injil tidak memiliki manuskrip mutlak asli, namun pada waktu yang sama mereka “sangat tidak sadar” bahwa Quranpun tidak memiliki wujud keaslian mutlak. Terlebih-lebih tidak pernah menyangka bahwa keaslian susunan Utsmanpun sempat mendapat tantangan para ahli! Ketika ditanya “Apakah memang ada naskah Quran yang asli?”, maka mereka menjawab dengan yakin: “Ada!” dan ketika ditanya lagi “dimanakah itu disimpan?” maka mereka seolah tersentak lalu memberikan jawaban yang kabur. Bahkan pengkritik pakarpun menjawabnya dengan spekulatif! Masyhud dalam bukunya “Dialog Santri-Pendeta” (hlm 163) tertulis dengan huruf tebaltebal sebagai berikut: Alquran yang asli ini ada di Museum London. Maka kita ingin bertanya: Apakah Alquran asli itu maksudnya asli dari lempenganlempengan tulisan semasa Muhammad hingga tahun 632 M? (10 H) atau asli koleksi Abu Bakar/Hafsah tahun 12 H? atau asli Mushaf Utsmani, tahun ± 650 M (26-30 H) Atau lainnya? Soalnya di British Library cuma terdapat copy dari Quran dengan penanggalan tertua tahun ± 770 M, dan itupun sampai saat ini dianggap sebagai tanggal tertua bagi copy Quran yang lengkap, walau sudah melewati 160 tahun sejak pewahyuan pertama diturunkan bagi Muhammad (TQTB halaman 146, 157, 158). JIKALAU BENAR PERNAH ADA INJIL HAKIKI ISLAMI Apabila penuduhan tentang pemalsuan dan pelenyapan Alkitab Hakiki dipaksakan terus, maka konsekwensi pahit akan menimpa balik para penuduhnya dengan tidak alang-kepalang. Para penuduh terlalu sering melemparkan isu-isu dengan mendasari potongan-potongan lepas “fakta-fakta” atau ayat-ayat tertentu yang diplintir-plintirkan demi mengalurkan suatu kelogisan semu untuk dicocokkan kepada basic asumptionnya bahwa “Injil itu palsu”. Namun prosedur ini bukanlah suatu pembuktian. Karena alur kelogisannya kalau diteruskan dengan fakta lain (yang diam-diam dianggap tiada/disembunyikan), justru akan memunculkan konsekwensi-konsekwensi yang tidak terselesaikan. Mari kita memperlihatkannya dengan meminjam model peng-andaian “jikalau” seperti yang sering dimanfaatkan oleh para pengkritik sendiri dalam mengalurkan kelogisannya: A. Vakum – Wahyu “Jika memang benar Allah telah mengirim Kitab Taurat, Injil dan Quran dan ketiganya dinyatakan ada, benar dan perkataan Allah tidak akan berubah (QS. Yunus 10:64) dan tidak tertukarkan (Al Anam 34), maka kenapakah Allah gagal mengamankan Taurat dan Injil, sehingga menjadi hilang (seperti yang dituduhkan oleh para pengkritik) sehingga terjadi kekosongan wahyu (vakum wahyu) yang begitu lama di seluruh dunia, yaitu antara abad-abad permulaan Masehi hingga turunnya Quran pada abad ketujuh. Siapakah yang mempercayai bahwa Allah baru tergerak hati untuk mengutus malaikat Jibril kedua kalinya sesudah wahyu Allah dihilangkan dan disesatkan oleh si jahil selama 600 tahun? Utusan pertama adalah ke Nazaret, ketika malaikat Gabriel menemui Maria dengan membawa berita “kesukaan besar untuk seluruh bangsa”, dengan menegaskan sebanyak dua kali bahwa Yesus itu Anak Tuhan: “Sesungguhnya engkau akan … melahirkan seorang anak laki-laki … (yang) akan disebut Anak Tuhan yang Mahatinggi … anak yang akan kau lahirkan itu akan disebut kudus, Anak Tuhan” (Lukas 1:31;,32,36). Utusan kedua adalah ke Mekah di amna Jibril menemui Muhammad dengan berita yang total berlawanan: “Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia …” (QS. 19:35) (Namun Kitab Suci memberitahukan kita bahwa kunjungan Gabriel kepada Maria diikuti dengan bukti tentang Sang Anak, hal mana juga dibenarkan Quran, dan betul ia melahirkan seorang putra secara ajaib, dari Roh Tuhan dan KalimatNya. Sementara kunjungan Jibril kepada Muhammad tidak disertai dengan bukti/saksi luar) Maka bukan saja terjadi vakum-wahyu dalam hal ini, melainkan sebuah wahyu sesat yang teramat penting telah dibiarkan Allah untuk “berfirman” sendirian secara efektif selama 600 tahun, sebelum Allah menegakkan kembali KalimatNya dari kesesatan. Mungkinkah wahyu Allah bisa dikosongkan sedunia selama berabadabad, sekali ia sudah diturunkan kepada Musa dan Isa? Bukankah ia malahan akan makin meluas menjalar dan menggejala sekalipun ia dibakar, dilarang, dihukum dan sebagainya? Sebab kalau kita percaya bahwa Firman tuhan itu berkuasa, maka tidak ada kuasa lainnya yang mampu mengosongkan firman-Nya yang “ditakdirkan” untuk go internasional-go universal! “Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman Tuhan kita tetap untuk selama-lamanya” (Yesaya 40:8). “Demikian firmanKu yang keluar dari mulutKu, ia tidak akan kembali kepadaKu dengan sia-sia” (Yesaya 55:11). “Aku datang untuk mengumpulkan segala bangsa dari semua bahasa dan akan mengutus dari antara mereka orang-orang yang terluput kepada bangsa-bangsa, yakni Tarsis (Spanyol), Pul dan Lud (Etiopia), ke Mesekh dan Rosy, ke Tubal dan Yawan (Yunani), ke pulau-pulau yang jauh yang belum pernah melihat kemuliaanKu, supaya mereka memberitakan kemuliaanKu di antara bangsa-bangsa (Yesaya 66:18,19). Jadi baik menurut pengertian Islam, maupun Kristen, Tuhan tidak akan hanya mengamankan wahyu-Nya untuk disimpan dalam museum, atau terlebih-lebih mengosongkannya dari sejarah dunia, melainkan PASTI akan meluaskan distribusi Firman sampai menjangkau segala bangsa-bangsa. Injil Hakiki vs Injil Palsu (I) Marilah kita merenungi suatu kebenaran yang sederhana bahwa tidaklah mungkin “Injil Hakiki” hilang lenyap, sementara “Injil Palsu” diberkati Tuhan dengan pemerataan kehadirannya ke segala bangsa! Apapun silat lidah orang, yang dapat lenyap adalah barang yang fana, namun Firman Tuhan adalah baka. Disamping kaidah sederhana di atas, kita masih pula diyakinkan dengan kaidah kedua yang tidak terbantah, berkaitan dengan nubuat Yesus hampir 2000 tahun yang lalu yang kini digenapi secara tepat nan ajaib. Injil Hakiki vs Injil Palsu (II) Walau Kitab Suci dan Kitab Palsu kedua-duanya dapat tersebar luas ke segala penjuru, namun suatu Kitab Suci pastilah bukan Injil bilamana ia tidak dapat tersebar ke seluruh suku dan bangsa, karena itulah yang ternubuat untuk “nasibnya” sebuah Injil Yang Benar: “Tetapi Injil harus diberitakan dahulu kepada semua bangsa” (Markus 13:10) “Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya” (akhir zaman/kiamat) (Matius 24:14). Dan apa kenyataannya sekarang? Yang dianggap sebagai “Injil Hakiki” tersebar senyap ke dunia “antah berantah”. Namun yang dianggap sebagai “Injil Palsu” telah tersebar praktis ke seluruh suku dan bangsa. Tercatat hari ini Alkitab sudah tersebar dalam 2123 bahasa dunia bagi segala suku bangsa. Baiklah para pengkritik juga menyadari dengan tidak berprasangka bahwa Tuhan pasti tidak HANYA akan mengamankan Quran dan tidak wahyu-wahyu lainnya, sebab Quran sendiri menyatakan bahwa kesemuanya sama-sama kalimat Allah yang dibenarkan yang tersimpan dalam induk Alkitab di sisi Allah (lihat QS Az Zukhruf 43). B. Dua Nabi Besar Dengan Hasil Kerdil “Jika Allah gagal mengamankan “Alkitab Hakiki” itu dari kelancangankelancangan orang-orang kafir (seperti halnya yang dituduhkan pengkritik Alkitab) lalu apa perlu-perlunya Allah mengutus Yesus? Bukankah kepada Yesus diturunkan Injil (Hakiki) yang dikatakan mirip dengan Taurat itu karena diasumsikan secara dangkal bahwa Yesus mengajar Taurat, melakukan Taurat, dan tidak mengubah Taurat). Tetapi manakah Injil Hakiki tersebut? Begitukah Tuhan yang MahaKuasa merancang semesta rencana, namun begitu gagal menampilkan ujud FirmanNya sendiri (dalam bentuk Kitab Taurat dan Injil Hakiki)? Terlalu sulit untuk mempercayai sesuatu yang tidak dinubuatkan baik oleh Yesus dan Muhammad, bahwa Allah merelakan FirmanNya yang berwibawa itu untuk di depak manusia durhaka dan hilang selama ribuan tahun dan terus hilang sampai sekarangpun! Bukankah mengutus Nabi Yahya saja sudah lebih dari cukup untuk memberi peringatan kepada kaumnya (bangsa Israel) agar menyembah Allah yang Esa dengan syariah dan ibadah cara Taurat? Ingat, bahwa Nabi Yahya diakui secara khas oleh Quran, dan oleh Injil disebut-sebut sebagai Nabi di atas Nabi (Matius 11:9-11). Namanya malahan diberikan langsung oleh Allah lewat Jibril! Jadi semestinya ia cukup mampu untuk mengemban jenis peran kenabian yang tadinya dibawakan Isa, kalau misi Isa dianggap hanya terbatas untuk mengamankan Taurat atau “TauratPlus” yang diasumsikan sama dengan Injil Hakiki belaka. Sungguh tidak efektif karya Allah sekali ini ketika Dia mendampingkan dua Nabi besar dalam satu kurun waktu yang sama tetapi yang keduaduanya toh tidak berhasil mengamankan Injil (dan Taurat) “Hakiki”, melainkan hanya untuk menelorkan pada akhirnya suatu “Injil Palsu” yang menyesatkan miliaran manusia ciptaanNya? Siapa yang bisa membantah bahwa kerisauan kita yang satu ini tidak beralasan? Dan bagaimana persoalan ini harus dijawab? Baiklah kita mengkonfrontasikan intelegensi kita terhadap suatu fakta keras bahwa jikalau Allah sampai mendatangkan 2 Nabi Besar dalam 1 kurun waktu, maka pastilah zaman tersebut dianggap sangat penting dan teramat vital oleh Allah. Tiada tolak bandingannya duanya! Tetapi apa pula vitalnya kalau Isa dalam Injil Islami itu hanyalah manusia nabi yang gagal misiNya? Yang malahan disinis oleh pengkritik sebagai “Tuhan” yang lemah dengan operasi dakwah yang jemu dan salah masa? (IQMB halaman 158). Ketika Injil dinyatakan hilang atau tidak bisa dipercayai, maka tampak bahwa Islam tidak mempunyai jawaban apapun mengenai tentang pembagian peran dan karya kenabian di antara Yahya dan Isa bagi umat Israel. Sehingga kita tidak terkejut mendapati kedua Nabi Besar ini dinilai berakhir dengan kekalahan dengan istilah “operasi dakwah-Nya yang jemu dan salah masa”. Syukurlah Injil Doktrinal telah menerangkan misiNya secara amat berbeda dan amat menghibur dengan KABAR BAIKNYA yang berkemenangan: “Akulah gembala yang baik… Aku memberikan nyawaku bagi dombadombaKu… Aku memberikan nyawaKu untuk menerimanya kembali (bangkit kembali)…” (Yohanes 10:14, 15, 17) “… Aku telah mengalahkan dunia.” (Yohanes 16:33) Jadi itulah Yesus yang datang dengan peran khusus untuk menebuskan nyawaNya demi menyelamatkan umat manusia secara berkepastian dan berkemenangan. Sedangkan Yahya sengaja diutus untuk mempersiapkan bagi Tuhan Yesus seuatu umat yang layak bagiNya (Lukas 1:17). Serta menyaksikan dua kebenaran utama, doktrin Injil (A) bahwa Yesus itu Anak Tuhan, dan doktrin Injil (B) bahwa Yesus mati disalib untuk pengampunan dosa manusia. Dan benarlah, Yohanes berkata: “Ia inilah Anak Tuhan” dan “Lihatlah Anak Domba Tuhan, yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29, 34). Jadi, dua Nabi Besar yang sengaja diutus “berdampingan” dalam satu kurun waktu, pasti dimaksudkan untuk menunaikan sebuah rencana Tuhan yang tiada bandingan. Dan itulah yang telah terjadi dengan persisinya: the grand mission accomplished! C. Isa Yang Kehilangan Segala-galanya Ketika Yesus dilahirkan, gegap gempitalah bala tentara surga (malaikat) memberi puji-pujian bagi Tuhan. Lalu berkatalah seorang malaikat Tuhan (Jibril) kepada para gembala: “Aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa; Hari ini telah lahir bagimu juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan di kota Daud”. Siapakah diantara orang-orang beriman yang meragukan seruan malaikat Tuhan di hadapan umum? Tidak ada yang berani, bukan? Kalau begitu kita harus mencoba untuk percaya bahwa kita telah diberi Injil (yaitu Kabar Baik) tentang seorang Juruselamat, Kristus Yesus sendiri. Janganlah kita membutakan hati dengan tetap memaksa diri untuk berkutat percaya bahwa Injil Kristus itu hilang, sesuatu yang justru tidak terwahyu di Quran. Pendalih-pendalih yang terus mencoba menyodorkan kekaburan bahkan ketiadaan Injil itu hanyalah orang-orang yang ingin mencari pembenarandiri, bukan mencari kebenaran itu sendiri. Mereka adalah orang-orang yang terlanjur alergi terhadap Injil dan otoritas Yesus Kristus. Namun teori-teori pengaburan dan penghilangan itu justru memukul balik keras dan telak dengan apa yang disebut Teori Tiga Hilang yang mustahil: Teori Tiga Hilang 1. Isa pribadi yang berbadan manusia normal, mendadak hilang lenyap tanpa jejak, tanpa saksi, yaitu ketika disalibkan (atau bahkan sebelumnya, atau sesudahnya, entahlah bagaimana versi-versi pengkritik, bertalian dengan QS. 4:157-158) 2. Injil Isa yang memuat kata “Ahmad”/”Muhammad”, ternyata hilang, tidak diamankan oleh Allah maupun orang-orang Islam yang menyesali kehilangannya. Ajaran-ajaran Isa Islami hilang misterius tanpa jejak tanpa saksi. Untuk argumentasi, lalu ditambahkan teori bahwa ajaran Isa adalah Taurat! 3. Pengikut-pengikut Isa yang asli semuanya hilang lenyap tanpa terjejaki, tanpa saksi. Ditelan habis oleh pengikut dan ajaran bidat Paulus yang lebih Berjaya ketimbang Isa Almasih (QS 3:45) yang para pengikutNya dinyatakan “menjadi orang-orang yang menang” (QS 61:14) Jadi Isa hilang. Injil dan ajaranNya hilang. Kata “Ahmad” hilang. MuridmuridNya hilang.itulah Isa Yang Maha Malang, yang walau menyandang segudang predikat Allah yang tiada banding, namun berakhir dengan segala hilang yang tiada banding. Namun Injil bukan mewartakan Berita Malang, melainkan KABAR BAIK, yang menyampaikan bahwa Yesus tidak hilang melainkan bangkit dengan tubuh kemuliaan/rohani, lalu naik ke surga, duduk di sebelah kanan Tuhan Bapa dan kelak akan turun kembali menghakimi setiap manusia. (lihat Bab 6 buku III). InjilNya tidak hilang, melainkan justru diberitakan ke segala suku bangsa dan bersifat kekal. Dan pengikut-pengikutNya tidak pernah hilang sejenakpun! Mereka adalah orang-orang yang terus bertambah, tidak terbinasa, apalagi terpunah. Mereka yang percaya akan Dia sebagai Anak Tuhan memperoleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). Pertanyaan berat: Apakah teori 3 hilang ini bisa dilayakkan pengkritik bagi seorang nabi sekaliber Isa? Apakah ini kabar “kesukaan besar untuk seluruh bangsa” yang dijanjikan oleh malaikat Tuhan? (Lihat Matius 2:10) Apakah ini sebentuk kesejahteraan yang dilimpahkan kepada Isa pada hari Ia meninggal dan pada hari Ia dibangkitkan. (QS. 19:33). Atau inikah seujud berkat yang dijanjikan Allah dimana saja Isa berada? (QS. 19:31). Apakah iman kita tidak galau mendapati seorang Nabi besar yang muncul dengan seabrek mujizat dan kemuliaan yang menggoncang jagad, tetapi justru berakhir dengan tiada juntrung? Almasih Isa putra Maryam seorang yang dinyatakan Allah sebagai terkemuka di dunia dan di akhirat (Surat Ali Imran 45), tidaklah akan sesuai dengan hakekat dan harkatNya bilamana Ia diturunkan ke dunia untuk misi yang hanya mempertontonkan sulap dan mujizat-mujizatNya yang tiada banding tetapi dibayar dengan sebuah sejarah tragis tentang jumlah kesesatan miliaran manusia yang tiada banding. DAN TIDAK BERHASIL DALAM PERAN APAPUN DI DUNIA INI! Isa Almasih seperti yang digambarkan pengkritik setidak-tidaknya pastilah bukan sosok yang terkemuka di dunia, entahlah kelak di akhirat. Juga bukanlah Yesus yang dijuluki oleh Gabriel sendiri sebagai Juruselamat. Ia hanya tepat bila dijuluki sebagai Jurubinasa yang paling tidak bertanggung jawab! D. Tuhan Yang Maha Esa Dengan Banyak “Bahasa Tuhan” Dalam Satu Induk Alkitab Muhammad selalu membenarkan Taurat dan Injil serta memerintahkan orang-orang mukmim untuk mengimaninya sesuai dengan Firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada RasulNya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” (QS 4:136). Tetapi oleh pengkritik telah dijabarkan dan dirangkum ketetapan “heroik” versi pribadinya sendiri sebagai berikut: “Seorang muslim yang tidak suka mengindahkan Perjanjian Baru (korup) yang memuat ajaran Injil Nabi Isa itu tidak dianggap salah, (walau) semestinya salah sebab Al-Quran pada prinsipnya menerima dan membenarkan ajaran Injil. Tetapi karena Injil-Injil itu dianggap tidak asli lagi menjadilah tidak salah, malahan bagi orang awam yang tidak mengetahui perbandingan agama dilarang membacanya sebab dikhawatirkan turut tersesat” (IQMB halaman 27, huruf miring oleh penulis). Kita boleh tersenyum melihat betapa pengkritik menempatkan dirinya sebagai penegak hukum Allah dengan memberi sederetan vonis dalam kaitannya kepada Injil seperti : “yang tidak suka”, “itu tidak dianggap salah”, “semestinya salah”, “menjadilah tidak salah”, “Injil dianggap tidak asli”, “dikhawatirkan”, “dilarang membaca Injil” vonis-vonis mana justru melebihi apa yang ada terwahyu di seluruh Quran. Apakah ini merupakan wahyu tandingan yang menuding bahwa Injil tidak asli/palsu, sekaligus seruan kepada umat awam untuk tidak boleh membaca Injil? Memang telah diperlihatkan di muka bahwa ayat-ayat Alkitab tidak mudah diserasikan dengan Quran. Namun hal ini tidak membela pembuktian bahwa Quran itu hakiki sedangkan Alkitab itu tidak hakiki. Suatu wahyu yang hakiki tidak akan otomatis benar berdasarkan klaim dan opini, melainkan berdasarkan pembenaran ilahi yang dibuktikan, termasuk nubuatnubuat para nabi yang dipenuhinya! Dan kehilangan Alkitab Islami sungguh tidak pernah dinubuatkan para nabi, dan tidak digenapi oleh fakta sejarah ataupun sains. Namun andaikata (menurut pandangan pengkritik) Taurat dan Injil Hakiki memang ada yang 100% Islami, maka tentulah dunia sekarang ini memiliki keseluruhan Kalimat-kalimat Allah yang serasi dalam Induk Alkitab (lihat QS 43:4). Tetapi tatkala hal itu terjadi, maka datanglah konsekuensi yang sama sulitnya yang harus dipertanggungjawabkan oleh pengkritik yang menteorikan pandangan ini. Sebab kitab-kitab tersebut bukan kitab manusia, maka semuanya itu (Taurat, Injil, Quran) pastilah harus dianggap sama diturunkan secara mutlak dan mekanis langsung diimlakan dari Allah dengan “bahasa Allah” sendiri tanpa proses manusia. Segera akan terlihat bahwa aka nada “bahasa Tuhan” yang berlainan yang diturunkan untuk Taurat dan Injil, yaitu bahasa Ajam/(Ibrani, Aram) dan untuk Quran dengan bahasa Arab. Ulama-ulama Islami (termasuk muslim dan Yahudi/Nasrani versi pengkritik) lalu sedikitnya harus menguasai “2 atau 3 bahasa langsung Allah” untuk membacakan ayat-ayat asli kepada umatNya yang sedikitnya harus pula mengerti beda kultur, langgam dan gaya dan semantik bahasa yang berbeda antara Ibrani/Aram dan Arab. Semuanya mutlak perlu dikuasai demi menjaga kemusrnian dan keaslian dan kepersisan makna ayat-ayat yang telah diturunkan dalam kebenaran yang final tanpa membedabedakan kesemua kitab-kitab Allah (lihat QS 2:136). Namun ini jelas merupakan konsekuensi yang tidak mudah diadopsi, karena banyak istilah, idiom dan pengertian yang sulit disesuaikan seperti yang tercantum dalam Buku I bab II. Sebagai missal nama “Allah” (sebagai nama pribadiNya) tidak pernah muncul dalam pengertian bahasa maupun pengetahuan nabi-nabi kecuali sebutan sacral YAHWEH ELOHIM. Padahal ALLAH telah dianggap sebagai nama hakikiNya Tuhan sejak kekal ke kekal. Begitu pula para nabi dan orang-orang Yahudi beriman telah memanggil Tuhannya sedari dahulu dengan sebutan “Bapa”, “Bapa kami”, atau “Bapa yang di surga” sesuatu yang tidak pernah diucapkan dalam Quran. Begitu pula Roh KudusNya sedari dulu bukanlah Jibril, melainkan Roh Tuhan Yang Maha Ada sebelum ada ciptaan apapun (lihat awal Alkitab ayat no 2). Bagaimanakah hal ini harus diserasikan? Tetapi hal yang paling melemahkan teori pengkritik adalah kenyataan bahwa Kitabullah dengan 2 atau lebih “bahasa Tuhan” ini tidak pernah diperkuat sekalipun oleh Muhammad maupun sahabatnya. Mereka tidak mengamankan satu copy Taurat dan Injil “Hakiki” tersebut sebagai bukti bisa berdampingannya teks Taurat Ibrani dan Injil Aram/Yunani (atau lainnya?) dengan Quran dalam bahasa Arab. Mereka tidak pula membacakan atau mengkoordinasikan suatu pembacaan Taurat dan Injil Hakiki, sebagai pembuktian nyata bahwa betullah Muhammad bukan hanya membenarkan Taurat dan Injil dengan klaim, namun juga memberi bukti bahwa Taurat dan Injil yang harus dibaca dalam bahasa Ajam itu adalah Kalimat Allah yang tidak dibeda-bedakan dengan Quran dalam bahasa Arab (QS 2:136). E. Pengkritik Alkitab Menjadi Pengkritik Quran Sederhana saja untuk menyadarkan para pengkritik, bahwa sekali mereka bersikeras memaksakan harus adanya Injil Hakiki Islami, maka tanpa disadari mereka sebenarnya menolak ayat Quran Surat 9:30a yang mengatakan: “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putra Allah..” Kenapa bisa begitu? Pertama-tama berkenaan dengan orang-orang Yahudi. Sejarah mencatat bahwa tidak ada orang Yahudi manapun yang pernah percaya pada seorang “Uzair” sebagai putra Tuhan. Yudaisme justru merupakan agama monotheisme yang absolute seperti halnya Islam. Andaikatapun Uzair itu benar dituhankan, tentulah itu akan muncul dalam buku-buku Yahudi bahwa kalangan mereka pernah berkata Uzair (Ezra) itu putera Tuhan, baik dalam Kitab Taurat, Kitab Nabi-nabi atau Kitab Hikmat dan Mazmur. Karena tidak pernah ada catatan dan tradisi demikian, maka pastilah kitab-kitab Yahudi ini adalah bagian dari Kitab “Hakiki Islam” yang siap menolak QS 9:30 di atas. Kedua, karena ayat tersebut justru memperlihatkan pengetahuan dan pengakuan Muhammad bahwa kaum Nasrani memang menganut Injil Doktrinal A (yaitu Yesus itu Anak Tuhan). Dengan demikian ayat tersebut seolah menegaskan bahwa Injnil Doktrinal itulah yang ada pada pengikutpengikut Yesus ketika itu dan bukannya “Injil Islami”! Dan bila ini dihubungkan langsung dengan seruan Muhammad yang membenarkan berulang kali Injil dan Taurat (yang ada di sisi kaum Nasrani dan Yahudi) maka dengan sendirinya Injil Doktrinal itulah yang dimaksudkan oleh Muhammad. Namun nyatanya konsep “Al Masih itu putera Tuhan” adalah hal yang dilaknati Allah. Dengan demikian akan terdapat kontradiksi ganda dalam setiap kritikan yang diarahkan pada keabsahan Alkitab: o Bila dibenarkan, ia (Injil) nyatanya tidak cocok dengan Quran. o Bila disalahkan, ia nyatanya telah dibenarkan Muhammad. Agar cocok dengan Quran, orang Nasrani dan Injilnya harus berkata sesuatu: “Al Masih itu putra Tuhan”. Tetapi ketika ia berkata: “Al Masih itu putra Tuhan”, ia otomatis tidak cocok dengan Quran. Kontradiksi masih terus berputar disepanjang isu ini. Di satu pihak kaum Nasrani (pengikut-pengikut Isa) dijadikan di atas orang-orang kafir hingga hari kiamat (QS 3:55). Mereka juga dinyatakan sebagai orang yang paling dekat kasih sayangnya terhadap orang-orang beriman (QS 5:82). Bahkan Alkitab mereka dibenarkan belasan kali, dan mereka dijadikan pemenangpemenang (QS 61:14). Namun dilain pihak, kaum Nasrani juga dikutuk dengan pelaknatan Allah (QS 9:30). Kenyataan-kenyataan ini adalah keras, sekaligus menyedihkan, namun harus diterima oleh pengkritik muslim, bahwa Alkitab adalah innocent dan tidak berurusan dengan kitab-kitab lainnya! Sekali Alkitab dikait-kaitkan dan diotak-atik tentang keabsahannya, mereka harus berbalik berurusan dengan Kitab mereka sendiri! Namun kenyataan keras ini bukanlah hal yang harus menyedihkan siapapun, melainkan justru perlu dilihat sebagai suatu grand-design Tuhan sendiri yang memang akan memperlengkapi Firman-Nya dengan “perangkat-ilahi” dalam membela dirinya sendiri. Mencari kehakikian Alkitab atas dasar asumsi pribadi tentang kepalsuan Taurat dan Injil, serta isu tentang kelenyapan Taurat dan Injil, adalah sungguh mencari kemustahilan! Tuhan sengaja mendesign kemustahilan ini untuk membela Firman (Alkitab)Nya. Namun Tuhan juga menempatkan kemustahilan ini sebagai tanda (ayat) bagi kaum pengkritik dan para skeptic untuk menerima kebenaranNya yang menyelamatkan manusia. Kita semua akan setapak lebih dekat kepada kebenaran bilamana mau bergerak mendekati kebenaran dan tidak terobsesi mati mencari-cari kambing hitam yang siluman (phantom scapegoat).