Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Metodologi Tafsir -------------------------------------Dr. H. Hasblullah Diman, Lc. MA Dosen Tafsir-Hadits IAIN Pontianak Kaliantan Barat ----------------------------------------- Tafsir dan wawasan Al-Qur'an tentu tidak terlepas dari pembicaraan metodologi tafsirnya. Menurut gagasan Abdul Hay Al-Farma>wi dalam bukunya, al-Bida>yah Fi> al-Tafsi>r alMawd}u’iy terdapat empat metode tafsir yang menjadi pijakan dalam memahami Al-Qur'an, yang dikenal, yaitu, (1). Metode ijma>ly ( global ), (2). Metode tah}li>ly ( analitis ) (3). Metode muqa>rin ( perbandingan )(4), dan metode maud}u>’iy ( tematik ). Metodologi tafsir bagi para mufasir merupakan sebuah alat bantu memahami kasus-kasus dalam studi Islam (Islamic Studies). Di antara contoh konteks ini, adalah studi tafsir dalam memahami kasus pernikahan beda agama, yang sering kali muncul di tengah masyarakat. Terdapat banyak ragam pernafsiran terkait, pernikahan beda agama, menurut para ulama tafsir, terhadap teks-teks QS. al-Baqarah[2]:221, al-Maidah[5]:5, dan al-Mumtahanah [60]:10, dan telah menuai banyak perdebatan, antara yang menolak maupun yang menerima. Perdebatan ulama tafsir itu, mulai dari kalangan sahabat, zaman klasik (salaf), zaman modern hingga kontemporer, berkenaan term al-mushrika>t, maupun term ahl al-Kita>b, Maju>si dan S}a>bi'in. Berdasarkan hasil penilitian, terdapat dua kelompok pendapat ulama, tehadap penafsiran ayat-ayat pernikahan beda agama di atas, di antaranya: Pertama : Perndapat yang menolak secara mutlak terhadap pernikahan seorang muslim dengan non muslim karena memandang mereka adalah musyrik. Kelompok ini berpendapat, bahwa, term al-mushrika>t (QS.Al-Baqarah[2]:221), adalah umum, mencakup semua jenis kemusyrikan, penyembah berhala (wathaniyah), termasuk ahl al-kita>b (Yahudi dan Nasrani), Maju>si dan Sa>bi’ah. Pandangan ini, dilontarkan oleh kalangan sahabat di antaranya, Abdullah bin Umar r.a (w.73 H/692 M), yang mengatakan, bahwa tidak ada kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan, bahwa Tuhan adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah ‚. Pendapat ini diikuti oleh Imam Fakhruddin Al-Ra>zi (w.606 H), Mufassir abad ke-7 H, bahwa al-mushrika>t dalam ayat al-Baqarah[2]:221, statusnya ka>fir, berdasarkan QS. al-Taubah[9]:30 termasuk Yahudi dan Nasrani, karena keyakinan mereka kepada trinitas berdasarkan QS.al- Maidah[5]:73.Pendapat ini diikuti sejumlah kalngan ulama Indonesia, yang tergabung dalam Majlis Ulama Indonesia (MUI), dalam keputusannya,[Musyawarah Nasional VII, tgl 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/ 26-29 Juli 2005]. Kedua : Pendapat yang membolehkan dengan bersyarat, karena memandang wanita ahl al-Kita>b itu, berstatus muh}s}ana>t, baik apakah Ia Yahudi atau Nasrani. Pendapat ini, berasal dari Ibn Abba>s r.a, yang diikuti kalangan sahabat lain, seperti, Usman bin Affan r.a, Sa’ad bin Abi Waqqa>s, Ja>bir, T}alha dan Hudhaifah, Mālik Bin Anas, Sofyan Thauri, Al-Awza'i, kelompok Mazhab Shā’fi’i dan Ma>liki. Mereka berpendapat, bahwa QS. al-Maidah[5]:5, sebagai pengkhususan (takh}s}i>s}) terhadap QS. al-Baqarah/2:221, artinya boleh menikahi wanita ahl al- Kita>b yang berstatus al-muh}s{ana>t (terhormat). Beberapa Mufassir yang mendukung pendapat ini, seperti, al-Zamakhshari (w. 538 H), al-Qurt}ubi (w. 671 H), Ibn Kathi>r (w.774 H), al-Suyu>t}i (w. 911 H), al-Alu>si (w.1270 H), Muhammad Quraish Shihab dan lainnya. Pandangan lain, yang serupa dengan ini, dilontarkan oleh Ibn Jari>r al-T}abari (w.310 H), yang memilih pendapatnya yang bersumber dari riwayat Qata>dah, bahwa, term musyrik dalam teks QS.al-Baqarah[2]:221 itu, menurutnya tidak termasuk ahl al-Kita>b. Dan bersumber dari riwayat Ibn Abba>s r.a juga, Ia menyatakan, bahwa musyrik dalam ayat al-Baqarah 221 itu, bukan Kristen dan bukan Yahudi, tetapi orang-orang musyrik bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci. Sejalan dengan pendapat ini, dolontarkan oleh Muhammad Abduh (1323H/1905 M) dan Rashi>d Rid}a (w.1354 H/1935 M), yang menyatakan, bahwa musyrik dalam ayat alBaqarah[2]:221 ini, mencakup ahl al-Kita>b dan non ahl al-Kita>b. Namun berdasarkan QS. alBaqarah[2]:105 dan QS. al-Bayinah[98]:1, bahwa kriteria al-ka>fir berbeda dengan al-mushrika>t dan berbeda juga dengan ahl al-kita>b, maka dengan demikian masuk kriteria ahl al-Kita>b dan non ahl al-Kita>b. Maka berdasarkan kedua ayat tersebut, jelas kebolehan perintah untuk menikahi wanita ahl al-Kita>b, sebagaimana menurut QS.al-Maidah[5]:5, karena alasannya telah di-tah}s}i>s}. Pendapat kelompok kedua ini diikuti kalangan ulama-ulama Indonesia, di antaranya para ulama yang tergabung dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, termasuk, Nurchalis Madjid (w. 2005 M), serta cendikiawan muslim lainnya, yang tergabung dalam kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL). Perbedaan pendapat ulama di atas, juga perlu dilihat apakah disebabkan karena perbedaan metodologi tafsir yang diterapkan, baik pendekatan tekstual, pendekatan kontekstual, atau pendekatan hermeneutika. Dan hal itu juga dimungkinkan, karena beberapa alasan, di antaranya, yaitu : Pertama, Bertolak pada metode penafsiran, yang digagas oleh Abdul Hay Al-Farma>wi mencakup metode, Ijma>ly (global), Tahli>ly (analitis), Muqa>rin (perbandingan) dan Maud}u>'iy (tematik), bahwa penafsiran terhadap ayat pernikahan beda agama, QS. al-Baqarah[2]:221, terdapat ragam pendapat. Pendapat kelompok pertama, ayat tersebut di atas dipahami umum. Mengacu pada penjelasan Rasulullah S.A.W dan para sahabat, Al-Qur’an ditafsirkan masih sangat global (mujmal), tidak memberikan rincian yang memadai, karena dipahami oleh kalangan sahabat, maksud yang umum itu adalah wanita para penyembah berhala ( ahl awtha>n), lalu masuk lagi kriteria, ahl al-kita>b yang bersumber dari ungkapan, Yahudi dan Nasrani, [Uzeir adalah anak Tuhan menurut Yahudi dan al-Masih putra Allah menurut Nasrani], yang menurut keyakinan, maknanya bertentangan dengan keimanan yang benar. Berawal dari pemahaman inilah, kelompok pertama yang dipelopori Abdullah bin Umar r.a, menyatakan ahl al-kita>b termasuk Yahudi dan Nasrani adalah musyrik. Penafsiran kelompok ini, bersumber dari riwayat-riwayat secara tekstual, merupakan penafsiran Rasulullah S.A.W yang disampaikan kalangan sahabat atau sesama sahabat. Penafsiran sahabat yang didukung dengan riwayat yang sahih, tidaklah diragukan lagi kwalitasnya, dan menjadi hukum yang marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah S.A.W). Metode tafsir yang disampaikan, merupakan jalan yang paling tepat, dan mendekati kebenaran, karena bersumber dari sahabat yang langsung menyaksikan turunnya wahyu, dan hasil penafsirannya, penolakan pernikahan dengan ahl al-kita>b, termasuk Yahudi dan Nasrani, Maju>si, dan Sa>bi’ah, karena mereka dinyatakan musyrik. Pandangan seperti ini, diikuti ulama kalangan Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah al-Zaidiyah, yang bersumber dari riwayat Abdullah bin Umar r.a dan riwayat Abdullah bin Abba>s r.a, yang dipertegas dengan riwayat al-Nuha>s. Abu Ja’far Al-Nuha>s meriwayatkan, dengan sanadnya yang sahih, bersumber dari Nafi’, bahwa Abdulah bin Umar r.a, ketika ditanyakan tentang prihal menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, Ia hanya berkata, Allah SWT telah melarang menikahi wanita-wanita musyrik dengan orang-orang Islam. Dan Ibn Umar berkata: Tidak ada kemusyrikan yang lebih besar dari perkataan seorang wanita, bahwa tuhannya adalah Isa atau seorang hamba dari hamba Allah. (Abu Ja’far al-Nuha>s, Kita>b al-Na>sikh Wa al-Mansu>kh Fi> al-Qur’an al-Kari>m, 1357H/1938 M ) Kedua, Kelompok yang membolehkan bersyarat, mereka tidak memasukkan ahl al-kita>b dalam katagori al-mushrika>t, dengan alasan tah}s}i>s (pengkhususan}) dengan QS.al-Maidah/5:5. Pendapat kelompok kedua ini dibedakan dengan dua kriteria (variabel) penting, yaitu, (1). Menurut pendapat ulama yang membolehkan pernikahan dengan ahl al-kita>b, menyatakan, bahwa ahl al-kita>b adalah bertsatus muh}s}ana>t (wanita terpelihara dan terhormat), atau wanitawanita yang telah beriman yang berasal dari kalangan Yahudi dan Nasrani saja. Pandangan seperti ini, membenarkan pernikahan dengan ahl al-kita>b, sebagaimana fakta sejarah, para sahabat, termasuk Usman bin Affan r.a, Sa’ad bin Abi Waqa>s r.a, Ja>bir bin Abdullah r.a, T}alhah dan Hudhaifah telah menikahi wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Uraian metodologi tafsir kelompok ini, berawal dari metode tafsir ijma>ly (global), beralih kepada metode tafsir tahli>ly (analitis), menjelaskan status ayat dengan ayat lain, atau menjelaskan dengan pendapatpendapat sahabat berdasarkan riwayat atau hadith Nabi. Nampak sekilas secara tekstual, pendapat kelompok ini, telah dimasuki unsur-unsur kepentingan, sosiologi, politik, dan sebagainya, sebagai fakta sejarah, Umar bin al-Khattab r.a memisahkan (menceraikan) Hudhaifah dengan istrinya yang berasal dari Yahudi, tidak berdasarkan teks al-Qur’an, melainkan atas dasar kehati-hatian dan kewaspadaan, karena kwawatir umat Islam akan berpaling dari wanita-wanita muslimah dan mengikuti jejaknya.1 Secara metodologis, kelompok ini, tidak hanya menggunakan riwayat, tetapi juga menggunakan ra’yi mengedepankan pemikiran dalam menafsirkan ayat yang bersifat umum kepada yang khusus berdasarkan riwayat, dan juga pemikiran secara kontekstual. Pendekatan tafsir bi ra’yi atau kontekstual, telah memberikan interpretasi yang luas, terhadap penafsiran ayat al-Qur’an yang diizinkan oleh syara’, selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah penafsiran yang mu’tabar (diakui), dan bagian dari penafsiran bi al-ra’yi yang dibolehkan. Berpedoman dengan kaidah-kaidah yang mu’tabar, kedudukan tafsir bi al-ra’yi, atau pendekatan kontekstual dibenarkan. Pengkhususan terhadap wanita ahl al-kita>b, masuk dalam kriteria wanita yang muh}s}ana>t, merupakan hasil pendekatan kontekstual. Ulama yang berpendapat semacam ini, dipelopori oleh Ibn Jauzi (w. 1 Sebuah Kisah, Hudhaifah menikah dengan perempuan Yahudi, lalu Umar r.a berkirim surat agar Hudhaifah menceraikan istrinya itu. Hudhaifah bertanya kepada Umar, ‛ Apakah anda menyangka bahwa pernikahan dengan ahl al-kitab itu haram ? Umar menjawab : ‛ Tidak, Saya hanya khawatir. Dari kisah tersebut, dapat disimpulakan, bahwa ketidaksetujuan Umar r.a tidak didasarkan satu teks Al-Qur’an, melainkan karena kehati-hatian dan kewaspadaan (Sadd al-Zari>'ah). Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n ( ditahqi>q : Abdullah bin Muhaisin al-Turki ) (Kairo:Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M), Cet. I, 716. 597H), yang diikuti kalangan fuqaha, dan para ulama tafsir, seperti, Ibn Arabi, al-Baid}a>wi, Abu Hayya>n, Fakhuruddin al-Ra>zi, Ibn Kathi>r, al-Suyu>ti dan al-Shauka>ni. Kelompok lain yang senada menyatakan naskh juz'i (menasakh sebagian), seperti yang dilontarkan, oleh para ulama fiqh, seperti, Imam Maliki, Sofyan al-Thauri, Awza'i, dan kalangan ulama tafsir, seperti, alQurt}ubi, Ibn Hazm, al-Kha>zin, Abu Su'ud dan al-Alu>si, berdasarkan riwayat yang bersumber dari Ibn Abbas ra. Pada variabel ke (2), Pendapat para ulama yang berpedoman, pada pola penafsiran dari lafaz} yang umum kepada yang khusus, penafsiran tidak lagi menerapkan metode, tahli>ly, ijma>ly, melainkan metode maudu>’i atau muqa>rin, menjelaskan satu ayat dengan ayat lain, menjelaskan dengan hadith Nabi, mengambil suatu tema kemudian menjelaskan dan membandingkannya, maka kriteria musyrik dalam QS. Al-Baqarah 221 ditujukkan pada lafaz} ( )المشركات, dan kriteria ahl al-kita>b dalam QS.Al-Maidah :5, ditujukkan pada lafaz} ( )الرين أوتورتأالاورت, sehingga dapat dipahami, bahwa ayat al-Baqarah ditujukkan khusus untuk orang musyrik penyembah berhala, sedangkan ayat al-Ma>idah ditujukkan kepada ahl al-kita>b, karena itu pemahaman mereka, tentang ahl al-kita>b berbeda dengan al-mushrika>t dan berbeda dengan ka>fir, dengan landasan QS.Al-Baqarah[2]:105, dan QS. Al-Bayyinah[98]:1. Pandangan seperti ini, dilontarkan oleh Ibn Jari>r al-T}abari (w.310 H), Mufassir klasik abad 3 H, yang menyatakan, bahwa QS.al-Baqarah 221 itu, diturunkan secara umum dan dita’wilkan secara khusus, yang menurutnya, bahwa ahl al-kita>b, bukanlah bagian dari ayat yang dimaksudkan, melainkan karena Allah S.W.T telah menghalalkan status pernikahan dengan mereka, dengan turunnya QS.al-Maidah 5. Sedangan kriteria al-mushrika>t, telah dijelaskan menurut QS.al-Mumtahanah[60]:10, mereka adalah wanita bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci dan penyembah berhala. Metode tafsir alT}abari, yaitu Mufassir dengan julukan ‚ Bapak Para Mufassir [The Father of Tafsir ]‛, memadukan dua pendekatan antara tafsir bi a'-ma'thu>r dan tafsir bi al-ra'yi dengan pemilihan pendapat dengan riwayat yang sahih, dari kalangan sahabat, uraian sastra dan i'ra>b-nya, kemudian ber-istimbat}, dengan ta'wil dan pendekatan hermenutika, karena itu, orang musyrik dipahami adalah wanita bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci dan penyembah berhala. Pandangan Ibn Jari>r al-T}abari tersebut, diikuti oleh Muhammad Rashi>d Rid}a dalam tafsir al-Mana>r, Mufassir modern-kontemporer yang Idealis, luas pengetahuan sunnah-nya, dengan memperluas cakupan ahl al-Kita>b, masuk pada penganut agama, selain Yahudi dan Nasrani, seperti, agama Budha, Hindu, dengan alasan, kriteria al-Mushrika>t, hanyalah ditujukkan kepada wanita-wanita bangsa Arab. Sependapat dengan pendapat itu juga, Cendekiawan Muslim Indonesia diantaranya, Nurchalis Madjid (w.2005), yang mengutip pendapat Abu ‘Ala alMaudu>di, bahwa pemeluk agama Hindu dan Budha adalah ahl al-Kita>b. Juga Ia mengutip pendapat Rashi>d Rid}a, berdasarkan sebuah hadith, yang bersumber kepada Ali bin Abi T}alib r.a, bahwa kaum maju>si tergolong ahl al-kita>b, dan menurutnya juga, bahwa di luar Yahudi dan Nasrani terdapat ahl al-Kita>b, tetapi tidak hanya menyebutkan kaum Maju>si (Zaroastri), dan S{a>bi’in saja, melainkan pemeluk agama Hindu, Budha dan Khonghuchu. (Nurchalis Madjid, Fiqh Lintas Agama, 2004). Berdasarkan keterangan-keterangan serta perbedaan pendapat dan alasan-alasan yang dikemukakan kedua kelompok di atas, terdapat tiga kriteria penafsiran ayat-ayat pernikahan beda agama, yang dapat disimpulkan, yaitu : Pertama, bahwa metode dan pendekatan tafsir yang diterapkan masing-masing kelompok ulama berbeda, maka hasil penafsiran mereka juga berbeda. Ulama kelompok pertama, menerapkan pendekatan atau manhaj secara tekstual (ma’thur) dengan metode ijmaly, sedangkan ulama kelompok kedua, selain menggunakan pendekatan riwayat tetapi juga menggunakan ra’yi (pemikiran), dengan mengedepankan pendekatan kontekstual dan hermeneutika dengan metode tahli>ly, maudu>’iy dan muqa>ran. Metodologi kelompok pertama termasuk, menurut Abdullah bin Umar r.a, menafsirkan secara tekstual, sedangkan kelompok kedua, selain menafsirkan secara tekstual, juga menggunakan pemikiran (ra’yi), atau secara kontekstual yang bersumber pada riwayat dan fakta sejarah, mengedepankan sosiologi, politik, sejarah-sosial dan sebagainya, berijtihad dan berinterpretasi melalui pendekatan hermeneutika. Dengan demikian, maka pendapat kelompok ulama yang menggunakan pendekatan tekstual (riwayat) secara murni, hasilnya menolak pernikahan beda agama, sedangkan kelompok yang menerapkan dua pendekatan dengan memadukan, antara pendekatan tekstual (ma’thur), dan kontekstual (rasio dan akal), serta hermeneutika (ta’wil), hasilnya membolehkan pernikahan beda agama. Kedua, Berdasarkan corak (laun) penafsiran kedua kelompok di atas, bahwa penafsiran Para Ulama Tafsir dilandaskan atas episteme dan paradigma masing-masing kelompok mufassir, kelompok pertama, bahwa penafsiran sahabat dan kalangan mufassir klasik, tentang penafsiran ayat-ayat pernikahan beda agama, cenderung kepada teologis (tafsir i’tiqa>dy), sedangkan kelompok kedua, lebih cenderung kepada pemikiran dan ideologis (kepentingan), dan juga atas dasar kecenderungan ilmiah (corak ‘ilmi). Sehingga metode atau pendekatan serta corak tafsir yang diterapkan masing-masing kelompok berbeda, yang sudah pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Ketiga, berdasarkan waktu (periode), kelompok pertama, kalangan sahabat, mufassir klasik, bahwa penafsiran al-Qur’an lebih banyak didominasi atas dasar tafsir bi al-ma’thu>r (tekstual), yang kental dengan nalar al-baya>ni (logical statement), yang tidak mengedepankan kritisme, melainkan menerima apa adanya, sedangkan pada periode pertengahan, para mufassir, tafsiran mereka berbasiskan kepada nalar ideologis (ideological of reason), yang berangkat dari ketidak puasan model penafsiran bi al-ma’thu>r, yang dipandang kurang memadai dan tidak menafsirkan semua teks al-Qur’an. Maka muncullah penafsiran dengan pendekatan bi ra’yi (kontekstual), yang didominasi atas dasar kepentingan ideologis (mazhab politik, atau keilmuan tertentu), akibatnya muncul, fanatisme, sektarianisme mazhab dan sebagainya. Sedangkan pada periode atau di era modern-kontemporer, penafsiran berbasiskan pada nalar kritis, dengan banyaknya muncul pendekatan, seperti, hermeneutika, nuansa penafsirannya dinilai sangat idealis, kritis, yang mengarah kepada kecenderungan ilmiah, dengan memberikan kritik dan revisi terhadap karya-karya mufassir sebelumnya, mengklaim kebenaran dan realitas, sehingga sering menyimpang dari maksud dan tujuan utama dari al-Qur’an itu sendiri, yakni sebagai kitab petunjuk bagi manusia (hudan li al-na>s). Kesimpulan dari hasil tulisan ini, bahwa metode tafsir bil al-ma'thu>r mempunyai kedudukan yang tinggi nilainya, bila terdapat sanadnya yang sahih dan terhindar dari illa>t (cacat), tetapi jika tidak, maka posisinya rendah dan lemah kedudukannya. Perbedaan metodologi tafsir, pertentangan (ta’a>rud) antara tafsir bi ma’thu>r dan tafsir bi ra’yi, atau perbedaan pendekatan, antara tekstual, kontekstual bahkan hermeneutika adalah atas dasar argumentasi serta alasan-alasan tertentu. Akan tetapi dalam suatu pendapat, tentu ada yang benar dan ada yang kurang benar, ada yang kuat dan ada yang lemah, selain ada yang menyetujui dan juga ada yang menolak. Menurut Abdul Az}im al-Zarqa>ni dalam kitabnya, Mana>hil Irfa>n Fi Ulu>m al-Qur'an, 1995, bila terjadi pertentangan antara pendapat-pendapat itu, maka solusinya diselesaikan dengan metode tarji>h. Menurut Ibn Taymiyah (w.728 H), dalam kitabnya, Asba>b al-Khat}a’ Fi> al-Tafsi>r, 1425 H, yang dikutip oleh T}a>hir Mahmu>d Muhammad Ya’ku>b, bahwa, tafsir bi al-ma’thu>r, adalah sebaik-baik cara yang dilakukan dalam menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena cara ini adalah indah dan menarik, bisa ditemukan tafsirannya, melalui penjelasan ayat dengan ayat lain, dan bila tidak didapatkan, maka dapat ditafsirkan melalui al-sunnah, karena al-sunnah sebagai penjelas dari al-Qur’an, dan bila tidak ditemukan juga dari keduanya, baik dari al-Qur’an maupun al-sunnah, maka dapat ditafsirkan melalui perkataan sahabat (Qaul al-Sah}a>by), karena mereka lebih mengetahui dan meyaksikan turunnya wahyu, dan bila tidak mungkin, maka perkataan tabi’in, sebagai penafsirannya. Sejalan dengan itu juga, menurut Ibn Jazy al-Kaliby (w.741 H), yang dikutip oleh Ibrahim Haqqy dalam suatu kitab, yaitu Ulu>m al-Qur’an Min Khila>l Muqaddima>t al-Tafa>si>r, 1425H/2004, bila terjadi pertentangan antara yang umum dan yang khusus, maka didahulukan yang umum, kecuali adanya dalil atau na>s yang men-tah}s}i>s-nya, karena yang umum berstatus pokok (as}l), sedangkan yang khusus adalah statusnya cabang (far’u), maka yang pokok statusnya lebih kuat. Kaidah ini masyhur di kalangan ulama salaf, termasuk Imam al-Syafi’i menerapkannya, dan para ulama tafsir, seperti, Ibn Jarir al-T}abari, Makki bin Abi T}alib, Ibn Arabi, Alu>si dan sebagainya. Menurut Manna’ Khali>l al-Qatta>n, dalam kitabnya, Qawa>’id al- Tarji>h ‘Inda al-Mufassiri>n, 1417H/1996 M, menyatakan, bila terjadi suatu pertentangan antara nasakh dan naql atau yang ma’thur (riwayat), maka didahulukan yang naql atau yang ma’thu>r. Beberapa teori di atas didukung dan diperkuat oleh Kha>lid Abdurahman al-Ak dalam kitabnya, Us}u>l al-Tafsi>r Wa Qawa>’iduhu, 1424H/2003M, dan diperkuat oleh Yunus Hasan Abidu (Dosen Tafsir dan Ulum al-Qur’an, Fakultas Dakwah, Universitas Al-Azhar), dalam kitab [Dira>sah Wa Maba>h}ith Fi> Ta>ri>kh al-Tafsi>r Wa Manhaj al-Mufassirin, Linanon: Da>r Fikr], dialih bahasa oleh (Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq) dengan judul, Tafsir Al-Qur’an : Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir, Gaya Media Pratama, 2007]. Berdasarkan pendapat-pendapat ulama di atas, maka dapatlah disimpulkan, bahwa posisi tulisan ini, sependapat dan sejalan dengan kelompok pertama, yang menafsirkan ayat-ayat pernikahan beda agama secara tekstual (riwayat), dan juga berdasarkan teori al-Zarqani yang ke-2, setuju bahwa, penafsiran bi al-ma'thu>r statusnya qat’i (kuat), sedangkan penafsiran dengan bi ra'yi atau hermeneutik adalah zanny (lemah), maka didahulukan yang ma'thu>r dari yang ra’yi, karena yang ma’thur statusnya adalah qat’i (yakin), dan yang qat’i lebih kuat dan lebih yakin dari yang zanny. Sejalan dengan itu pula, tulisan ini, menolak pernyataan suatu kelompok [yang membolehkan], yaitu, yang menyatakan, bahwa pendapat Abdullah bin Umar r.a tidak beralasan (fala> h}ujatahlah), terhadap sikapnya, mengenai al-Baqarah ayat 221 dan al-Maidah ayat 5, di satu sisi menyatakan haram (tah}ri>m), dan di sisi lain, menyatakan boleh (tah}li>l), dan Ia juga tidak tegas, dan tidak menyatakan naskh, apakah ayat al-Baqarah yang na>sikhah (menasakh ) atau ayat al-Maidah yang mansu>khah (dinasakh) ? Akan tetapi beberapa alasan lain, pendapat Abdullah bin Umar r.a itu dibenarkan oleh salah satu mazhab (sebagian Mazhab Syafi’i), di antaranya, Makki bin Abi T>}a>lib al-Qaysi (w.437H) yang dalam suatu kitab, al-I>>da>h Lina>sikhi al-Qur’an Wa Mansu>khih}i,1406H/1987 M, 169 dan dalam kitab, Nawa>sikh al-Qur’a>n Li Al-Ala>mah Ibn Jauzi, 1404H/1983 M, yang menyatakan, bahwa ayat al-Baqarah 221 itu, bukanlah na>sikhah, dan bukan mansu>khah, dan bukan pula makhs}u>s}ah (pengkhususan), melainkan muh}kamah (muhkam), maka statusnya bersifat umum. Dalam hal ini, pendapat mereka tentang al-mushrika>t dipahami adalah wanita penyembah berhala (wathaniyah), dan semua jenis kemusyrikan, termasuk ahl al-Kita>b (Yahudi dan Nasrani), Maju>si, Sa>bi’ah dan sebagainya. Pendapat ini diperkuat dengan pendapat Abu Ja’far al-Nuha>s dalam [Kitab al- Na>sikh Wa al-Mansu>kh] dan salah satu hadits Nabi SAW riwayat al-Bukhari dalam kitab shahih-nya,[Fathu al-Ba>ri, 1416H/1996 M, hadith, ke-5285], dengan sanadnya yang sahih dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar r.a, ketika ditanya prihal menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, Abdullah bin Umar r.a hanyalah berkata : Allah S.W.T telah melarang menikahi wanita musyrik dengan orang-orang Islam, lalu Ibn Umar r.a berkata lagi,‛Tidak ada kemusyrikan yang lebih besar dari perkataan seseorang, bahwa Tuhanya adalah Isa atau salah seorang dari hamba Allah‚. [Abu Ja’far al-Nuha>s, Kita>b al-Na>sikh Wa al-Mansu>kh Fi> al-Qur’an al-Kari>m, 1357H/1938 M]. Kesimpulan akhir dari tulisan ini, bahwa pendekatan tafsir kelompok yang pertama dibenarkan, dan secara tekstual status pernikahan beda agama adalah ditolak. Sejumlah ulama tafsir Indonesia yang mendukung kelompok ini, di antaranya, menurut Hamka (Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah) dan para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam beberapa fatwahnya, yang terhimpun dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 1417 H/1997. Wallahu A’lam Bisyawab. ** Biodata Singkat Nama Lengkap : Dr. H. Hasbullah Diman, Lc, MA Lahir : Jakarta, 05 Juni 1968 Istri : Hj. Barkah Anak : 2 Putra, 1 Putri Riwayat Pendidikan Lulus KMI Pondok Modern Darussalam Gontor (1985-1989) Strata 1 (S1) Universitas Al-Azhar, Cairo-Mesir, Fakultas Dirasat Islamiyah Wal Arabiyah, 1999. Strata 2 (S2) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005 Strata 3 (S3) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 2013 Riwayat Pekerjaan Pernah Mengajar di Ma’had Dakwah dan Ilmu Pengetahuan Islam al-Husnayain, Bekasi-Barat (Program D-2) , ( Sejak 2002 s/d 2012 ) Dosen Tetap Tafsir-Hadits IAIN Pontianak Kalimantan Barat, sejak 2006 s/d sekarang.