RESUME BAHASA INDONESIA BAB III OBJEK LINGUISTIK BAHASA Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah : Kajian Bahasa Indonesia Dosen Pengampu : Drs. Umar Samadhy, M.Pd Disusun oleh: Nadzifa Ulfah 1402408272 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2008 OBJEK LINGUISTIK BAHASA A. Pengertian Bahasa Kata bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu makna atau pengertian. Coba perhatikan pemakaian kata bahasa dalam kalimatkalimat berikut! 1. Dika belajar bahasa Inggris, Nita belajar bahasa Jepang. 2. Manusia mempunyai bahasa, sedangkan binatang tidak. 3. Hati-hati bergaul dengan anak yang tidak tahun bahasa itu. 4. Dalam kauss itu ternyata lurah dan camat tidak mempunyai bahasa yang sama. 5. Katakanlah dengan bahasa bunga! 6. Pertikaian itu tifak bisa diselesaikan dengan bahasa militer. 7. Kalau dia memberi kuliah bahasanya penuh dengan kata daripada dan akhiran ken. 8. Kabarnya, nabi sulaiman mengerti bahasa semut. Kata bahasa pada kalimat (1) jelas menunjukkan pada bahasa tertentu. Menurut peristilahan de saussure adalah sebuah langue. Kalimat (2) kata bahasa menunjukkan bahasa pada umumnya; jadi, suatu langage. Kalimat (3) kata bahasa berarti ‘sopan santun’; kalimat (4) kata bahasa berarti ‘kebijakan dalam bertindak’; kalimat (5) kata bahasa berarti ‘maksud-maksud dengan bunga sebagai lambang’ dan kalimat (7) kata bahasa berarti ‘ujarnya, yang sama dengan parole menurut peristilahan de Saussure. Kalimat (8) kata bahasa bersifat hipotesis. Kalimat (1),(2), dan (7) kata bahasa itu digunakan secara harfiah, sedangkan pada kalimat lain digunakan secara kias. Bahasa sebagai objek linguistik adalah pada kalimat (1), (2), dan (7). Pada kalimat (1) bahasa sebagai langue, pada kalimat (2) bahasa sebagai langage dan (7) bahasa sebagai parole. Sebagai objek kajian linguistik, parole merupakan objekkonkret karena parole itu berwujud ujaran nyata yang diucapkan oleh para bahasawan dari suatu masyarakat bahasa. Langue. Merupakan objek yang abstrak karena langue itu berwujud sistem suatu bahasa tertentu secara keseluruhan; langage merupakan objek yang paling abstrak karena dia berwujud sistem bahasa secara universal. Yang dikaji linguistik secara langsung adalah parole itu, karena parole itulah yang berwujud konkret, yang nyata, yang dapat diamati, atau diobservasi. Banyak juga pakar yang membuat definisi tentang bahasa dengan pertama-tama menonjolkan segi fungsinya itu, seperti Sapir (1221:8). Badudu (1989:3) dan Keraf (1984:16). Jawaban terhadap pertanyaan “Apakah bahasa itu?” yang tidak menonjolkan fungsi, tetapi menonjolkan “sosok” bahasa itu adalah seperti yang dikemukakan Kridalaksana (1983, dan juga dalam Djoko Kentjono 1982); “Bahasa adalah sistem lambang bunyi arbiter yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri”. Definisi ini sejalan dengan definisi dari Barber (1964:21), Wardhaugh (1977:3), Trager (1949:18), de Saussure (1966:16) dan Bolinger (1975:15). Masalah lain yang berkenan dengan pengertian bahasa adalah sebuah tuturan disebut bahasa, yang berbeda dengan bahasa lainnya; bilamana hanya dianggap sebagai varian dari suatu bahasa. Dua buah tuturan bisa disebut sebagai dua bahasa yang berbeda berdasarkan dua buah patokan, yaitu patokan linguistik dan patokan politis. Secara linguistik dua buah tuturan dianggap sebagai dua buah bahasa yang berbeda, kalau anggota-anggota dari dua masyarakat tuturan itu tidak saling mengerti. Karena rumitnya menentukan suatu parole bahasa atau bukan, hanya dialek saja dari bahasa yang lain, maka hingga kini belum pernah ada angka yang pasti berapa jumlah bahasa yang ada di dunia ini (lihat Crystal 1988:284). B. Hakikat Bahasa Kridaleksana yang dikutip pada sub bab A didapatkan beberapa ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa. Sifat atau ciri itu antara lain: (1) bahasa itu sebuah sistem, (2) berwujud lambang, (3) berupa bunyi, (4) bersifat arbiter, (5) bermakna, (6) bersifat konvensional, (7) bersifat unik, (8) bersifat universal (9) bersifat produktif, (10) bervariasi, (11) bersifat dinamis, (12) alat interaksi sosial. 1. Bahasa sebagai sistem Kata sistem sudah biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan makna ‘cara’ atau ‘aturan’, seperti dalam kalimat “Kalau tahu sistemnya, tentu mudah mengerjakannya”. Tetapi dalam kaitan dengan keilmuan, sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. Sistem ini dibentuk oleh sejumlah unsur atau komponen yang satu dengan lainnya berhubungan secara fungsional. Bahasa terdiri dari unsur-unsur atau komponen-komponen yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu, dan membentuk suatu kesatuan. Sebagai sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Sistemis artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak, secara sembarangan. Sistemis artinya bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri juga dari sub-subsistem; atau sistem bawahan. Di sini dapat disebutkan antara lain: subsistem fonologi, subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis dan subsistem semantik. Agak berbeda dengan subsistem- subsistem dalam sepeda, subsistem- subsistem bahasa, terutama subsistem fonologi, morfologi dan sintaksis tersusun secara hierarkial. Artinya, subsistemyang satu terletak di bawah subsistem yang lain; lalu subsistem yang lain ini terletak pula di bawah subsistem lainnya lagi. Ketiga subsistem itu (fonologi, morfologi dan sintaksis) terkait dengan subsistem semantik. Sedangkan subsistem leksokon yang juga diliputi subsis temsemantik, berada di luar ketiga subsistem struktural itu. Jenjang subsistem ini dalam linguistik dikenal dengan nama tataran linguistik atau tataran bahasa. Jika diurutkan dari tataran yang terendah sampai tataran yang tertinggi, dalam hal ini yang menyangkut ketiga subsistem struktural di atas adalah tataran fonem, morfem, frase, klausa, kalimat dan wacana. Kajian linguistik itu sendiri dibagi dalam beberapa tataran, yaitu tataran fonologi, tataran morfologi, tataran sintaksis, tataran semantik dan tataran leksikon. Tataran morfologi sering bergabung dengan tataran sintaksis menjadi, yang diserbut tataran gramatika, atau tata bahasa. 2. Bahasa Sebagai Lambang Kata lambang sering dipadankan dengan kata simbol dengan pengertian yang sama. Ilmu semiotika atau semiologi yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia, termasuk bahasa. Dalam semiotika atau semiologi (yang di Amerika ditokohi oleh Charles Sanders Peirce dan di Eropa oleh Ferdinand de Saussure) dibedakan adanya beberapa jenis tanda, yaitu antara lain tanda (sign), lambang (simbol), sinyal (signal), gejala (sympotom), gerak isyarat (gesture), kode, indeks dan ikon. Tanda, selain dipakai sebagai istilah sebagai salah satu dari unsur satu dari unsur spesifik kajian semiotika itu, adalah suatu atau sesuatu yang menandai atau mewakili ide,pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara langsung dan alamiah. Lambang atau simbol tidak bersifat langsung dan alamiah. Lambang menandai sesuatu yang lain secara konvensional, tidak secara alamiah dan langsung. Lambang itu sering disebut bersifat arbiter, sebaliknya tanda seperti yang sudah dibicarakan di atas, tidak bersifat arbiter. Arbiter adalah tidak adanya hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya. Earns Cassirer, seorang sarjana dan filosof mengatakan bahwa manusia adalah makhluk bersimbol (animal symbolicum). Mengapa kata, sebagai satuan bahasa itu, disebut lambang dan bukannya tanda? Karena lambang bersifat arbiter. Ferdinand de Saussure tidak menggunakan istilah lambang atau simbol, meainkan istilah danda (signe) atau tanda linguistik (signe linguistique). Oleh karena itu dalam kepustakaan kita ada yang menyatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda (lihat Samsuri 19780. Akhir-akhir ini sudah biasa juga digunakan istilah-istilah penanda untuk ‘yang menandai’ (signifie menurut peristilahan de Saussure) dan petanda untuk ‘yang ditandai’ (signifiant menurut peristilahan de Saussure); lihat, misalnya, Kridalaksana 1988, dan 1989. Tanda-tanda itu adalah sinyal, gerak isyaerat (gesture), gejala, kode, indeks dan ikon. Sinyal atau isyarat adalah tanda yang disengaja yag dibuat oleh pemberi sinyal agar si penerima sinyal melakukan sesuatu. Jadi, sinyal ini dapat dikatakan bersifat imperatif. Misalnya,letusan pistol dalam lomba lari. Letusan pistol yang ditembakkan dengan sengaja merupakan sinyal atau isyarat bagi para pelari yang ikut berlomba untuk melakukan tindakan lari. Yang jelas, tanda bersifat alami (ada asap tandanya ada api), lambang bersifat konvensi (gambar padi dan kapas lambang keadilan sosial), sedangkan sionyal bersifat imperatif. Gerak isyarat atau gesture adalah tanda yang dilakukan dengan gerakan anggota badan, dan tidak bersifat imperatif seperti pada sinyal. Gerak isyarat ini mungkin merupakan tanda mungkin skuga merupakan simbol. Gejala atau symptom adalah suatu tanda yang tidak disengaja, yang dihasilkan tanpa maksud, tetapi alamiah untuk meninjukkan atau mengungkapkan bahwa sesuatu akan terjadi. Ikon adalah tanda yang paling mudah dipahami karena kemiripannya dengan sesuatu yang diwakilinya. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya sesuatu yanglain, seperti asap yang menunjukkan adanya api. Tanda terakhir yang kita bicarakan adalah kode. Ciri kode sebagai tanda adalah adanya sistem, baik yang berupa simbol, sinyal, maupun gerak isyarat yang dapat mewakili pikiran, perasaan, ide benda dan tindakan yang disepakati untuk maksud tertentu. Bahasa rahasia itu bisa juga disebut sebagai kode. Bahwa bahasa adalah suatu sistem lambang dalam wujud bunyi-bahasa, bukan dalam wujud yang lain, seperti yang akan kita bicarakan dalam pasal berikut. 3. Bahasa adalah bunyi Bahasa adalah sistem lambang bunyi. Kridalaksana (1983:27) bunyi adalah kesanpada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara.. bunyi bahasa atau bunyi ujaran (speeech sound) adalah satuan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang di dalam fonetik diamati sebagai “fon” dan di dalam fenemik sebagai “fonem”. Dalam linguistik yang disebut bahasa, yang primer adalah yang diucapkan, yang dilisankan, yang keluar dari alat ucap manusia. Hakikat bahasa adalah bunyi, atau bahasa lisan. 4. Bahasa itu bermakna Bahasa adalah sistem lambang yang berwujud bunyi atau bunyi ujar. Sebagai lambang tentu ada yang dilambangkan. Yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi itu. Maka dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna. Lebih umum dikatakan lambang bunyi tersebut tiak punya referen, tidak punya rujukan. Lambang-lambang bunyi bahasa yang bermakna itu di dalam bahasa berupa satuan-satuan bahasa yang berwujud morfem, kata, frase, klausa, kalimat dan wacana. Makna yang berkenaan dengan morfem dankata disebut makna leksikal; yang berkenan dengan frase, klausa dan kalimat disebut makna gramatikal; dan yang berkenan dengan wacana disebut makna pragmatik atau makna konteks. Segala ucapan yang tidak mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa. Fungsi bahasa adalah menyampaikan pesan, konsep, ide atau pemikiran. 5. Bahasa itu arbiter Kata arbiter bisa diartikan ‘sewenang-wenang. Berubahubah, tidak tetap, mana suka’. Yang dimaksud istilah arbiter itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Ferdinand de Saussure (1966:67) dalam dikotominya membedakan apa yang disebut signifiant (Inggris: signifier) dan signifie (Inggris: signified). Signifiant adalah lambang bunyi itu, sedangkan signifie adalah konsep yang dikandung signifiant. Istilah penanda untuk lambang bunyi atau signifiant itu dan istilah petanda untuk konsep yang dikandungnya. Hubungan antara signifiant dengan signifie disebut bersifat arbiter, sewenang-weang, atau tidak ada hubungan wajiblambang yang berupa bunyi itu tidak memberi “saran” atau “petunjuk”. Tidak adanya hubungan antara signifiant dan signifie menyebabkan Bolinger (1975:22) mengatakan: seandainya ada hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya itu, maka seseorang yang tidak tahu suatu bahasa tertentu akan dapat menebak makna sebuahkata apabila dia mendengar kata itu diucapkan. Di sini kata-kata yang disebut onoimatope (kata yang berasal dari tiruan bunyi) ini lambangnya memberi “saran” atau “petunjuk” bagi konsep yang dilambangkannya. Dapat dikatakan hubungan antara lambang dengan konsep yang dilambangkannya tidak bersifatarbiter. Karena paling tidak ada “saran” bunyi yang menyatakan hubungan. Bunyi benda yang sama terdengar berbeda oleh dua penutur bahasa yang berlainan, sebagai akibat kearbitreran bahasa itu, atau juga karena sistem bunyi bahasabahasa itu tidak sama. 6. Bahasa itu konvensional Penggunaan lambang untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Kearbitreran bahasa terletak pada hubungan antara lambang-lambang dan bunyi dengan konsep yang dilambangkannya. Hubungan lambang konsep yang dilambangkannya serta konvensional dari bahasa itu, ada tiga masalah berkaitan yang perlu dikemukakan, yaitu: (1) mungkinkah sebuah lambang dapat melambangkan lebih dari sebuah konsep, (2) mungkinkah sebuah konsep bisa dilambangkan dengan lebih dari sebuha lambang, (3) mungkinkah kita dapat “menyodoran”. Kata yang merupakan lambang “siap pakai”, sudah ada tanpa harus diciptakan dulu, istilah merupakan lambang “yang dibuat” untuk menampung konsep yang ada tetapi belum ada lambangnya. 7. Bahasa itu produktif Kata produktif adalah bentuk ajektif dari kata benda produksi. Arti produktif adalah “banyak hasilnya”. Atau lebih tepat “terus menerus menghasilkan”. Bahasa itu dikatakan produktif, maksudnya meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbtas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu. Keproduktifan bahasa ada batasnya. Dapat dibedakan adanya dua macam keterbatrasan, yaitu keterbatasan pada tingkat parole dan keterbatasan pada tingkat langue. Keterbatasan pada tingkat parole adalah pada ketidaklaziman atau kebelumlaziman bentuk-bentuk yang dihasilkan. Pada tingkat langue keproduktifan itu dibatasi karena kaidah atau sistem yang berlaku. 8. Bahasa itu unik Unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain. Lalu, kalau bahasa dikatakan bersifat unik, artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem lainnya. Salah satu keunikan bahasa Indonesia adalah bahwa tekanan kata tidak bersifat morfemis, melainkan sintaksis. Kalau keunikan terjadi pada sekelompok bahasa yang berada dalam satu rumpun atau satu kelompok bahasa, lebih baik jangan disebut keunikan, melainkan ciri dari rumpun atau golongan bahasa itu. 9. Bahasa itu universal Bahasa bersifat universal. Artinya ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Ciri-ciri universal merupakan unsur bahasa yang paling umum. Bahasa itu berupa ujaran, ciri universal dari bahasa yang paling umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan. Bahasa Indonesia, mempunyai 6 vokal an 22 buah konsonan, bahasa Arab mempunyai 3 buah vokal pendek dan 3 buah vokal panjang serta 28 buah konsonan (Al-Khuli 1982:321). Bahasa Inggris memiliki 16 buah vokal (termasuk diftong) dan 24 buah konsonan (Al-Khuli 1982:320). Bukti lain dari keuniversalan bahasa adalah bahwa setiap bahasa mempunyai satuansatuan bahasa yang bermakna, entah satuan yang namanya kata, frase, klausa, kalimatdan wacana. 10. Bahasa itu dinamis Bahasa adalah satu-satunya miliki manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Kata sebagai satuan bahasa terkecil, adalah sarana atau wadah untuk menampung suatu konsep yang ada dalam masyarakat bahasa. Perkembangan leksikon dalam bahasa Indonesia dapat kita lihat kalau dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta yang hanya berjumlah sekitar 23.000 buah. 11. Bahasa itu bervariasi Yang termasuk dalam satu masuarakat bahasa adalah mereka yang merasa menggunakan bahasa yang sama. Masyarakat bahasa Indonesia adalah semua orang yang merasa memiliki dan menggunakan bahasa Indonesia. Variasi bahasa ada tiga istilah yang perlu diketahui, yaitu idiolek, dialek dan ragam. Misalnya Hamka, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamingway atau mark Twain. Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu. Misalnya bahasa jawa dialek Banyumas, bahasa Jawa dialek Tegal, bahasa Jawa dialek Surabaya. Variasi bahasa berdasarkan tempat ini lazim disebut dengan nama dialek regional, dialek areal,atau dialek geografi. Variasi bahasa yang digunakan pada masa tertentu, misalnya bahasa Indonesia zaman Balai Pustaka, Orede Baru, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, disebut dialek temporal atau juga kronolek. Variasi bahasa yang digunakan sekelompok anggota masyarakat dengan status sosial tertentu dialek sosial atau sosiolek. Ragam atau ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan atau untuk keperluan tertentu. Situasi formal digunakan ragam bahasa yang disebut ragam baku atau ragam standar, situasi yang tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau ragam nonstandar. Sarana yang digunakan ragam lisan dan ragam tulisan. 12. Bahasa itu manusiawi Dapat dikatakan bahwa binatang tidak mempunyai bahasa. Binatang dapat berkomunikasi dengan sesama jenisnya. Lebah madu, misalnya seperti dilaporkan Karl Von Frisch (lihat fromkin 1974 atau Akmajian 1979) menggunakan gerak tari tertentu untuk menyampaikan berita adanya sumber madu kepada teman-temannya. Yang membuat alat komunikasi manusia itu, yaitu bahasa, produktif dan dinamis. Manusia disebut-sebut sebagai homo sapien ‘makhluk yang berpikir’, homo sosio ‘makhluk yang bermasyarakat’, homofaber ‘makhluk pencipta alat-alat’, dan juga animal rationale ‘makhluk rasional yang berakal budi’. Alat komunikasi manusia yang namanya bahasa adalah bersifat manusiawi, dalam arti hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia. C. Bahasa dan faktor luar bahasa Faktor-faktor di luar bahasa itu tidak lain daripada segala hal yang berkaitan dengan kegiatan manusia di dalam masyarakat, sebab tidak ada kegiatan yang tanpa berhubungan dengan bahasa. Hal-hal yang menjadi objek kajian linguistik makro kegiatan berbahasa, seperti penerjemahan, penyusunan kamus, pendidikan bahasa. 1. Masyarakat bahasa Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang sama. Titik berat pengertian masyarakat bahasa pada “merasa menggunakan bahasa yang sama”, maka konsep masyarakat bahasa dapat menjadi luas dan dapat menjadi sempit. Masyarkat bahasa ini ada masalah, bagaimana dengan masyarakat yang bilingual atau multilingual. Orang Indonesia pada umunya adalah bilingual, yaitu menggunakan bahasa Indonesia dan menggunkan bahasa daerahnya. Banyak juga yang multilingual, karena selain menguasai bahasa Indonesia, menguasai bahasa daerahnya sendiri, bahasa daerah lain atau bahasa asing. 2. Variasi dan status sosial bahasa Berdasarkan penuturnya adanya dialek-dialek, regional maupun sosial. Berdasarkan penggunaannya raga-ragam bahasa, seperti ragam jurnalistik, ragam sastra, ragam ilmiah dan sebagainya. Dua macam variasi bahasa yang dibedakan berdasarkan status pemakaiannya. Yang pertama adalah variasi bahasa tinggi (biasa disingkat variasi bahasa T), dan yang lain variasi bahasa rendah (biasanya disingkat R). Variasi T digunakan dalam situasi-situasi resmi, seperti pidato kenegaraan, bahasa pengantar dalam pendidikan, khotbah, surat-menyurat resmi, dan buku pelajaran. Bahasa R digunakan dalam situasi yang tidak formal, seperti di rumah, di warung, di jalan, dalam surat-suratpribadi. Adanya pembedaan variasi bahasa T dan bahasa R disebut dengan istilah diglosia (Ferguson 1964). Masyarakat yang mengadakan pembedaan ini disebut masyarakat diglosis Variasi bahasa YunaniT disebut katherevusa dan bahasa Yunani R disebut dhimotiki; variasi bahasa Arab T disebutal-fusha dan variasi bahasa Arab R disebut ad-darij; variasi bahasa Jerman Swiss T disebut schriftsdrache dan variasi bahasa jerman Swiss R disebut schweizerdeutsch. 3. Penggunaan Bahasa Hymes (1974) pakar sosiolinguistik mengatakan, bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur, yang diakronimkan menjadi speaking, yakni: a. Setting and scence, yaitu unsur yang berkenan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan. b. Participants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan. c. Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan. d. Act sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan. e. Key, yaitu yang menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan. f. Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan atau bukan. g. Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan. h. Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan. 4. Kontak bahasa Dalam masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat, akan terjadilah apa yang disebut kontak bahasa. Yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya atau terdapatnya yang disebut bilingualisme dan multingualisme. Orang yang hanya menguasai satu bahasa disebut monolingual, unilingual atau monoglot yang menguasai dua disebut bilingual, sedangkan yang menguasai lebih dari dua bahasa disebut multilingual, plurilingial atau poligot. Boloomfiled mengartikan bilingual ini sebagai penguasaan yang sama baiknya oleh seseorang teradap dua bahasa. Uriel Weinrich (1968) mengartikan sebagai pemakaian dua bahasa oleh seseorang secara bergantian. Einar Haugen (1966) mengartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya. Masyarakat yang bilingual atau multilingual akibat adanya kontak bahasa (dan juga kontak budaya), terjadi peristiwa atau kasus yang disebut interferensi, integrasi, alihkode (code-switching) dan campurkode (codemixing). Keempat peristiwa gejalanya sama, yaitu adanya unsur bahasa lain dalam bahasa yang digunakan. Interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang sedang digunakan itu. Interferensi biasanya dibedakan dari integrasi. Dalam bahasa Indonesia yang sekarang dieja menjadi montir, riset, sopir dan dongkrak adalah contoh yang sudah berintegrasi. Dalam masyarakat yang bilingual maupun yang multilingual seringkali terjadi yang disebut alihkode, yaitu beralihnya penggunaan suatu kode (entah bahasa ataupun ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain (bahasa atau ragam bahasa lain). Alih kode dibedakan dari campur kode. Kalau alih kode terjadi karena bersebab, sedangkan campur kode terjadi tanpa sebab. 5. Bahasa dan budaya Objek kajian linguistik makro adalah mengenai hubungan bahasa dengan budaya atau kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan. Dalam sejarah linguistik ada suatu hipotesis yang sangat terkenal mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan ini. Hipotesis ini dikeluarkan oleh dua orang pakar, yaitu Edwad sapir dan Benjamin Lee Whorf (dan oleh karena itu disebut hipotesis Sapir-Whorf) yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan. D. Klasifikasi Bahasa Berkembangnya studi linguistik historis komparatif, studi yang mengkhusus pada telaah perbandingan bahasa, maka orang mulai membuat klasifikasi terhadap bahasa-bahasa yang ada di dunia ini dilakukan dengan melihat kesamaan ciri yang ada pada setiap bahasa. menurutGreenberg (1957:66) suatu klasifikasi yang baik harus memenuhi persyaratan nonarbitrer, ekshaustik dan unik. Nonarbitrer adalah bahwa kriteria klasifikasi itu tidak boleh semaunya, hanya harus ada satu kriteria. Maka hasilnya akan ekshaustik. Artinya, setelah klasifikasi dilakukan tidak ada lagi sisanya. Hasil klasifikasi juga harus bersifat unik, kalua suatu bahasa sudah masuk ke dalam salah satu kelomok, dia tidak bisa masuk lagi dalam kelompok yang lain. Tiga persyaratan yang diajukan Greenberg itu tidak dapat dilaksanakan, sebab banyak sekali ciri-ciri bahasa yang dapat digunakan untuk membuat klasifikasi itu. Yang terpenting, dan bisa disebutkan di sini adalah (1) pendekatan genetis, (2) pendekatan tipologis, (3) pendekatan areal, dan (4) pendekatan sosiolinguistik. Pendekatan genetis hanya melihat garis keturunan bahasa itu, hasilnya disebutkan klasifikasi genetis atau geneologis. Pendekatan tipologis menggunakan kesamaan-kesamaan tipologi, entah fonologi, morfologi, maupun sintaksis untuk membuat klasifikasi. Hasilnya disebut klasifikasi tipologis. Pendekatan areal menggunakan pengaruh timbalbalik antara suatu bahasa dengan bahasa yang lain untuk membuat klasifikasi. Hasilnya juga disebut klasifikasi areal. Sedangkan pendekatan sosiolinguistik membuat klasifikasi berdasarkan hubungan bahasa itu dengan keadaan masyarakat. Hasilnya disebut klasifikasi sosiolinguistik. 1. Klasifikasi genetis Klasifikasi genetis, disebut juga klasifikasi geneologis, dilakukan berdasarkan garis keturunan bahasa-bahasa itu. Artinya, suatu bahasa berasal atau diturunkan dari bahasa yang lebih tua. Sebuah bahasa menjadi sejumlah bahasa lain dengan cabang-cabang dan ranting-rantingnya memberi gambaran seperti batang pohon yang berbalik. Penemu teori ini, yaitu A. Schleicher, menamakannya batang pohon (bahasa Jerman: Stammbaumtheorie). Dilengkapi oleh J. Schmidt dalam tahun 1872 dengan teori gelombang (bahasa Jerman: Wellentheorie). Maksud teori gelombang ini adalah bahwa perkembangan atau perpecahan bahasa itu dapat diumpamakan seperti gelombang yang disebabkan oleh sebuah batu yang jatuh ke tanah kolam. Bahasa itu bisa menyebardan kemudian berubah. Penyebaran bahasa itu biasanya terjadikarena penuturnya menyebar atau berpindah tempat sebagai akibat adanya peperangan atau bencana alam. Klasifikasi genetis dilakukan berdasarkan kriteria bunyi dan arti, yaitu atas kesamaan bentuk (bunyi) dan makna yang dikandungnya. Hasil klasifikasi yang telah dilakukan dan banyak diterima orang secara umum adalah bahwa bahasabahasa yang ada di dunia ini terbagi dalam sebelas rumpun besar. Setiap rumpun dapat dibagi lagi atas subrumpun, dan sub-subrumpun yang lebih kecil. Kesebelas rumpun itu adalah: a. Rumpun Indo eropa, yakni bahasa-bahasa German, Indo-Iran, Armenia, Baltik, Slavik, Roaman, Keltik dan Gaulis. b. Rumpun Hamito-Semit atau Afro-Asiatik, yakni bahasa-bahasa Koptis, Berber, Kushid, Chad yang termasuk dalam subrumpun hamit; dan bahasa Arab, Etiopik, dan Ibrani yang termasuk subrumpun Semit. c. Rumpun Chari-Nil, yakni bahasa-bahasa Swahili, Bantuk dan Khoisan. d. Rumpun Dravida, yaitu bahasa-bahasa Telugu, Tamil, Kanari dan Malayalam. e. Rumpun Austronesia (disebut juga Melayu Polinesia), yaitu bahasabahasa Indonesia (Melayu, Austronesia Barat), Melanesia, Mikronesia dan Polinesia. f. Rumpun Kaukasus. g. Rumpun Finno-ugris, yaitu bahasa-bahasa Hungar, Lapis dan Samoyid. h. Rumpun Paleo Asiatis atau Hiperbolis, yaitu bahasa-bahasa yang terdapat di Siberia Timur. i. Rumpun Ural-Altai, yaitu bahasa-bahasa Mongol, manchu Tungu, Turki, Korea dan Jepang. j. Rumpun Sino-Tibet, yakni bahasa-bahasa Yenisei, Ostyak, Tibeto, Burma dan Cina. k. Rumpun bahasa-bahasa indian, yakni bahasa-bahasa Eskimio, Aleut, Na-Dene, Algonkin, Wakshan, Hokan, Sioux, Penutio, Aztek-Tanoan dan sebagainya. Untuk mengetahui di mana letak bahasa-bahasa itu, lihatlah, misalnya, Internasional Encyclopedia of Linguistitics oleh William Bright (1992) atau sumber lainnya. Klasifikasi genetis ini menunjukkan bahwa perkembangan bahasabahasa di dunia ini bersifat divergenetif, yakni memecah dan menyebar menjadi banyak; tetapi pada masa mendatang karena situasi politik dan perkembangan yang konvergensif tampaknya akan lebih mungkin dapat terjadi. 2. Klasifikasi tipologis Klasifikasi tipologis dilakukan berdasarkan kesamaan tipe atau tipe-tipe yang terdapat pada sejumlah bahasa. Hasil klasifikasi ini menjadi besifat arbitrer, karena tidak terikat oleh tipe tertentu, melainkan bebas menggunakan tipe yang mana saja atau menggunakan berbagai macam tipe. Klasifikasi pada tataran morfologi pada abad XIX secara garis besar dapat dibagi tiga kelompok, yaitu: Kelompok pertama, adalah yang semata-mata menggunakan bentuk bahasa sebagai dasar klasifikasi. Klasifikasi morfologi ini adalah Fredrich Von Schlegel. Pada tahun 1808 menjadi dua kelompok, yaitu (1) kelompok bahasa berafiks dan (2) kelompok bahasa berfleksi. August von schlegel, pada tahun 1818 menjadi (1) bahasa tanpa struktur gramatikal (seperti bahasa Cina); (2) bahasa berafiks (seperti bahasa Turki); dan (3) bahasa berfleksi (seperti bahasa Sanskerta dan bahasa Latin). Wilhelm Von Humbol (dan diikuti oleh A.F. Pott) yang membuat klasifikasi baru menjadi (1) bahasa isolatif (sama dengan bahasa tanpa struktur), (2) bahasa aglutunatif (sama dengan bahasa berafiks), (3) bahasa fleksi atau sintesis dan (4) bahasa polisintesis atau bahasa inkorporasi. Yang terakhir ini sebenarnya merupakan perincian dari bahasa aglutunatif. Kelompok kedua, adalah menggunakan akar kata seabgai dasar klasifikasi. Franz Bopp, yang membagi bahasa-bahasa di dunia ini atas bahasa yang mempunyai (1) akar kata yang monosilabis, misalnya bahasa cina, (2) akar kata yang mampu mengadakan komposisi, dan (3) akar kata yangdisilabis dengan tiga konsonan, Max Muller, yang juga menggunakan akar kat sebagai dasar klasifikasimembagi bahasa di dunia ini menjadi (1) bahasa akar, (2)bahasa terminasional, (3) bahasa infleksional Kelompok ketiga, adalah yang menggunakan bentuk sintaksis sebagai dasar klasifikasi. Pakarnya antara lain, H. Seinthal yang membagi bahasa-bahasa di dunia atas, (1) bahas-bahasa yang berbentuk, dan (2) bahas-bahasa yang tidak berbentuk. Bahasa yang berbentuk adalah bahasa yang di dalam kalimatnya ada relasi antar kata. Bahasa yang berbentuk ini dibagi lagi menjadi (a) bahasa kolokatif, (b) bahasa derivatif dengan jukstaposisi, (c) bahas Derivatif dengan perubahan pada akar kata, (d) bahasa derivatif dengan sufiks yang sebenarnya. Kemudian bahas yang tidak terbentuk dibagi lagi menjadi (a) bahasa kolokatif, (b) bahasa derivatif dengan reduplikasi dan prefiks, (c) bahasa derivatif dengan sufiks, (d) bahasa inkorporasi. Franz Misteli mengikuti jejak Steinthal dengan sitematik yang agak berbeda. Bahas berbentuk hanya dibagi satu kelompok yaitu bahasa dengan kata yang sesungguhnya (infleksi). Bahasa tidak berbentuk dibagi atas (a) bahasa dengan kata yang berbentuk kalimat, (b) bahasa asolatif akar, (c) bahasa isolatif dasar, (d) bahasa jukstaposisi,(e) bahasa dengan kata yang jelas. Pada abad XX ada juga dibuat pakar klasifikasi morfologi dengan prinsip yang berbeda, misalnya, yang dibuat Sapir (1921) dan J. Greenberg (1954) Edward Sapir menggunakan tiga parameter untuk mengklasifikasikan bahasa-bahasa yang dada di dunia. Ketiga parameter itu adalah (1) konsep-konsep gramatikal, (2) proses-proses gramatikal, dan (3) tingkat penggabungan morfem dalam kata. 3. Klasifikasi Areal Klasifikasi areal dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal balik antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain di dalam suatu area atau wilayah, tanpa memperhatikan apakah bahasa itu berkerabat secara generik atau tidak. Usaha klasifikasi berdasarkan areal ini pernah dilakukan oleh Wihelm Schmidt (1868-1954) dengan bukunya Die Sprachfamilien Und Sprachenkreise Der Ende, yang dilampiri dengan peta 4. Kasifikasi Sosiolinguistik. Klasifikasi sosiolinguistik dilakukan berdasarkan hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor yang berlaku dalam masyarakat; tepatnya, berdasarkan status, fungsi, penilaian yang diberikan masyarakat terhadap bahasa itu. Klasifikasi sosiolinguistik ini pernah dilakukan oleh William A. Stuart tahun 1962 yang dapat kita baca dalam artikelnya “An Outline of Linguistic Typology For Descrimbing Multi Lingualism”. Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan empat ciri atau kriteria, yaitu historisitas, standardisasi, vitalitas, dan homogenesitas. E. BAHASA TULIS DAN SISTEM AKSARA. Linguistik sebenarnya juga tidak menutup diri terhadap bahasa tulis, sebab seperti sudah disebutkan juga pada bagian terdahulu bahwa apapun yang berkenaan dengan bahasa adalah juga menjadi objek linguistik. Maka bagi linguistik bahasa lisan adalah primer, sedang bahasa tulis adalah sekunder. Banyak unsur bahasa lisan, seperti tekanan, intonasi, dan nada. Ada cerita yang mengatakan bahwa tulisa itu ditemukan oleh Cadmus, seorang pangeran dari punisia, dan yang lalu membawanya ke Yunani (lihat Fromkin 1974). Para ahli dewasa ini, memperkirakan tulisan itu berawal dan tumbuh dari gambar-gambar yang terdapat di gua-gua di Altamira di Sepanyol utara. Gambar-gambar ini disebut piktogram, dan sebagai sistem tulisan disebut piktograf. Sesudah perang dunia II, Karel Johnson, seorang jurnalis Belanda, dan Andre Eckard, seorang sarjana Jerman, mencoba mengembangkan sistem tulisan piktografik ini yang disebut Pikto. Aksara paku ini kemudian diambil oleh orang Persia, yakni pada zaman Darius I (522-468), tetapi tidak untuk menyatakan gambar, gagasan, atau kata, melainkan untuk menyatakan suku kata. Sistem yang demikian, yang menggambarkan suku kata disebut aksara silabis. Orang Yunani mengembangkan tulisan yang bersifat alfabetis, yaitu dengan menggambarkan setiap konsonan dan vokal dengan satu huruf. Jauh sebelum tulisan romawi atau Latin itu tiba di Indonesia, berbagai bahasa di Indonesia telah mengenal aksara, seperti yang dikenal dalam bahasa jawa, bahasa sunda, bahasa bugis, bahasa makasar, bahasa lampung, bahasa batak, dan bahasa sasak. Aksara Arab yang digunakan kini di Malaysia disebut aksara jawi, yang dipakai untuk bahasa Indonesia (waktu dulu) disebut aksara Arab Melayu atau Arab Indonesia, dan yang dipakai dalam bahasa jawa disebut aksara pegon. Huruf adalah istilah umum untuk graf dan grafem. Abjad atau alfabet adalah urutan huruf-huruf dalam satu sistem aksara. Aksara adalah keseluruhan sistem tulasan, misalnya aksara latin, aksara arab, dan aksara. Graf adalah satuan terkecil dalam aksara yang belum ditentukan setatusnya.sedangkan grafem adalah satuan terkecil dalam aksara yang menggambarkan fonem, suku kata, atau morfem, tergantung dari sistem aksara yang bersangkutan. Alograf adalah varian dari gravem (bandingkan dengan alofon dalam fonologi dan alomorf dalam morfologi). Tulisan yang menjadi suatu karya seni disebut kaligrafi, atau secara harafiah bisa diartikan sebagai seni menulis indah. Grafiti adalah corat-coret di dinding, tembok pagar, dan sebagainya dengan huruf-huruf dan kata-kata tertentu. Alat pelengkap aksara yang ada untuk menggambarkan unsur-unsur bahasa lisan hanyalah huruf besar untuk memulai kalimat, koma untuk menandai jeda, titik untuk menandai akhir kalimat, tanda tanya untuk menyatakan interogasi, tanda seru untuk menyatakan interjeksi, dan tanda hubung untuk menyatakan penggabungan. Aksara latin adalah aksara yang tidak bersifat silabis. Jadi, setiap silabel akan dinyatakan dengan huruf vokal dan huruf konsonan. Hubungan anatara fonem (yaitu suatu bunyi terkecil yang dapat membedakan makna dalam satu bahasa) dengan huruf atau grafem (yaitu satuan unsur terkecil dalam aksara) ternyata juga bermacam-macam. Ada pendapat umum yang mengatakan bahwa ejaan yang ideal adalah ejaan yang melambangkan tiap fonem hanya dengan satu huruf atau sebaliknya setiap huruf hanya dipakai untuk melambangkan satu fonem.