bab iii objek linguistik bahasa

advertisement
RESUME
BAHASA INDONESIA
BAB III OBJEK LINGUISTIK BAHASA
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah
: Kajian Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu : Drs. Umar Samadhy, M.Pd
Disusun oleh:
Nadzifa Ulfah
1402408272
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2008
OBJEK LINGUISTIK
BAHASA
A. Pengertian Bahasa
Kata bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu makna
atau pengertian. Coba perhatikan pemakaian kata bahasa dalam kalimatkalimat berikut!
1. Dika belajar bahasa Inggris, Nita belajar bahasa Jepang.
2. Manusia mempunyai bahasa, sedangkan binatang tidak.
3. Hati-hati bergaul dengan anak yang tidak tahun bahasa itu.
4. Dalam kauss itu ternyata lurah dan camat tidak mempunyai bahasa yang
sama.
5. Katakanlah dengan bahasa bunga!
6. Pertikaian itu tifak bisa diselesaikan dengan bahasa militer.
7. Kalau dia memberi kuliah bahasanya penuh dengan kata daripada dan
akhiran ken.
8. Kabarnya, nabi sulaiman mengerti bahasa semut.
Kata bahasa pada kalimat (1) jelas menunjukkan pada bahasa tertentu.
Menurut peristilahan de saussure adalah sebuah langue. Kalimat (2) kata
bahasa menunjukkan bahasa pada umumnya; jadi, suatu langage. Kalimat (3)
kata bahasa berarti ‘sopan santun’; kalimat (4) kata bahasa berarti ‘kebijakan
dalam bertindak’; kalimat (5) kata bahasa berarti ‘maksud-maksud dengan
bunga sebagai lambang’ dan kalimat (7) kata bahasa berarti ‘ujarnya, yang
sama dengan parole menurut peristilahan de Saussure. Kalimat (8) kata
bahasa bersifat hipotesis. Kalimat (1),(2), dan (7) kata bahasa itu digunakan
secara harfiah, sedangkan pada kalimat lain digunakan secara kias. Bahasa
sebagai objek linguistik adalah pada kalimat (1), (2), dan (7). Pada kalimat (1)
bahasa sebagai langue, pada kalimat (2) bahasa sebagai langage dan (7)
bahasa sebagai parole.
Sebagai objek kajian linguistik, parole merupakan objekkonkret karena
parole itu berwujud ujaran nyata yang diucapkan oleh para bahasawan dari
suatu masyarakat bahasa. Langue. Merupakan objek yang abstrak karena
langue itu berwujud sistem suatu bahasa tertentu secara keseluruhan; langage
merupakan objek yang paling abstrak karena dia berwujud sistem bahasa
secara universal. Yang dikaji linguistik secara langsung adalah parole itu,
karena parole itulah yang berwujud konkret, yang nyata, yang dapat diamati,
atau diobservasi.
Banyak juga pakar yang membuat definisi tentang bahasa dengan
pertama-tama menonjolkan segi fungsinya itu, seperti Sapir (1221:8). Badudu
(1989:3) dan Keraf (1984:16). Jawaban terhadap pertanyaan “Apakah bahasa
itu?” yang tidak menonjolkan fungsi, tetapi menonjolkan “sosok” bahasa itu
adalah seperti yang dikemukakan Kridalaksana (1983, dan juga dalam Djoko
Kentjono 1982); “Bahasa adalah sistem lambang bunyi arbiter yang digunakan
oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi dan
mengidentifikasikan diri”. Definisi ini sejalan dengan definisi dari Barber
(1964:21), Wardhaugh (1977:3), Trager (1949:18), de Saussure (1966:16) dan
Bolinger (1975:15).
Masalah lain yang berkenan dengan pengertian bahasa adalah sebuah
tuturan disebut bahasa, yang berbeda dengan bahasa lainnya; bilamana hanya
dianggap sebagai varian dari suatu bahasa. Dua buah tuturan bisa disebut
sebagai dua bahasa yang berbeda berdasarkan dua buah patokan, yaitu patokan
linguistik dan patokan politis. Secara linguistik dua buah tuturan dianggap
sebagai dua buah bahasa yang berbeda, kalau anggota-anggota dari dua
masyarakat tuturan itu tidak saling mengerti. Karena rumitnya menentukan
suatu parole bahasa atau bukan, hanya dialek saja dari bahasa yang lain, maka
hingga kini belum pernah ada angka yang pasti berapa jumlah bahasa yang
ada di dunia ini (lihat Crystal 1988:284).
B. Hakikat Bahasa
Kridaleksana yang dikutip pada sub bab A didapatkan beberapa ciri
atau sifat yang hakiki dari bahasa. Sifat atau ciri itu antara lain: (1) bahasa itu
sebuah sistem, (2) berwujud lambang, (3) berupa bunyi, (4) bersifat arbiter, (5)
bermakna, (6) bersifat konvensional, (7) bersifat unik, (8) bersifat universal
(9) bersifat produktif, (10) bervariasi, (11) bersifat dinamis, (12) alat interaksi
sosial.
1. Bahasa sebagai sistem
Kata sistem sudah biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari
dengan makna ‘cara’ atau ‘aturan’, seperti dalam kalimat “Kalau tahu
sistemnya, tentu mudah mengerjakannya”. Tetapi dalam kaitan dengan
keilmuan, sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu
keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. Sistem ini dibentuk oleh
sejumlah unsur atau komponen yang satu dengan lainnya berhubungan
secara fungsional.
Bahasa terdiri dari unsur-unsur atau komponen-komponen yang
secara teratur tersusun menurut pola tertentu, dan membentuk suatu
kesatuan. Sebagai sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis
dan sistemis. Sistemis artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola,
tidak tersusun secara acak, secara sembarangan. Sistemis artinya bahasa
itu bukan merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri juga dari sub-subsistem;
atau sistem bawahan. Di sini dapat disebutkan antara lain: subsistem
fonologi, subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis dan
subsistem semantik.
Agak berbeda dengan subsistem- subsistem dalam sepeda,
subsistem- subsistem bahasa, terutama subsistem fonologi, morfologi dan
sintaksis tersusun secara hierarkial. Artinya, subsistemyang satu terletak di
bawah subsistem yang lain; lalu subsistem yang lain ini terletak pula di
bawah subsistem lainnya lagi. Ketiga subsistem itu (fonologi, morfologi
dan sintaksis) terkait dengan subsistem semantik. Sedangkan subsistem
leksokon yang juga diliputi subsis temsemantik, berada di luar ketiga
subsistem struktural itu.
Jenjang subsistem ini dalam linguistik dikenal dengan nama tataran
linguistik atau tataran bahasa. Jika diurutkan dari tataran yang terendah
sampai tataran yang tertinggi, dalam hal ini yang menyangkut ketiga
subsistem struktural di atas adalah tataran fonem, morfem, frase, klausa,
kalimat dan wacana.
Kajian linguistik itu sendiri dibagi dalam beberapa tataran, yaitu
tataran fonologi, tataran morfologi, tataran sintaksis, tataran semantik dan
tataran leksikon. Tataran morfologi sering bergabung dengan tataran
sintaksis menjadi, yang diserbut tataran gramatika, atau tata bahasa.
2. Bahasa Sebagai Lambang
Kata lambang sering dipadankan dengan kata simbol dengan
pengertian yang sama. Ilmu semiotika atau semiologi yaitu ilmu yang
mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia, termasuk
bahasa. Dalam semiotika atau semiologi (yang di Amerika ditokohi oleh
Charles Sanders Peirce dan di Eropa oleh Ferdinand de Saussure)
dibedakan adanya beberapa jenis tanda, yaitu antara lain tanda (sign),
lambang (simbol), sinyal (signal), gejala (sympotom), gerak isyarat
(gesture), kode, indeks dan ikon.
Tanda, selain dipakai sebagai istilah sebagai salah satu dari unsur
satu dari unsur spesifik kajian semiotika itu, adalah suatu atau sesuatu
yang menandai atau mewakili ide,pikiran, perasaan, benda, dan tindakan
secara langsung dan alamiah. Lambang atau simbol tidak bersifat langsung
dan alamiah. Lambang menandai sesuatu yang lain secara konvensional,
tidak secara alamiah dan langsung. Lambang itu sering disebut bersifat
arbiter, sebaliknya tanda seperti yang sudah dibicarakan di atas, tidak
bersifat arbiter. Arbiter adalah tidak adanya hubungan langsung yang
bersifat wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya.
Earns Cassirer, seorang sarjana dan filosof mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk bersimbol (animal symbolicum). Mengapa kata,
sebagai satuan bahasa itu, disebut lambang dan bukannya tanda? Karena
lambang bersifat arbiter.
Ferdinand de Saussure tidak menggunakan istilah lambang atau
simbol, meainkan istilah danda (signe) atau tanda linguistik (signe
linguistique). Oleh karena itu dalam kepustakaan kita ada yang
menyatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda (lihat Samsuri 19780.
Akhir-akhir ini sudah biasa juga digunakan istilah-istilah penanda untuk
‘yang menandai’ (signifie menurut peristilahan de Saussure) dan petanda
untuk ‘yang ditandai’ (signifiant menurut peristilahan de Saussure); lihat,
misalnya, Kridalaksana 1988, dan 1989.
Tanda-tanda itu adalah sinyal, gerak isyaerat (gesture), gejala,
kode, indeks dan ikon. Sinyal atau isyarat adalah tanda yang disengaja yag
dibuat oleh pemberi sinyal agar si penerima sinyal melakukan sesuatu.
Jadi, sinyal ini dapat dikatakan bersifat imperatif. Misalnya,letusan pistol
dalam lomba lari. Letusan pistol yang ditembakkan dengan sengaja
merupakan sinyal atau isyarat bagi para pelari yang ikut berlomba untuk
melakukan tindakan lari. Yang jelas, tanda bersifat alami (ada asap
tandanya ada api), lambang bersifat konvensi (gambar padi dan kapas
lambang keadilan sosial), sedangkan sionyal bersifat imperatif.
Gerak isyarat atau gesture adalah tanda yang dilakukan dengan
gerakan anggota badan, dan tidak bersifat imperatif seperti pada sinyal.
Gerak isyarat ini mungkin merupakan tanda mungkin skuga merupakan
simbol. Gejala atau symptom adalah suatu tanda yang tidak disengaja,
yang dihasilkan tanpa maksud, tetapi alamiah untuk meninjukkan atau
mengungkapkan bahwa sesuatu akan terjadi. Ikon adalah tanda yang
paling mudah dipahami karena kemiripannya dengan sesuatu yang
diwakilinya. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya sesuatu
yanglain, seperti asap yang menunjukkan adanya api. Tanda terakhir yang
kita bicarakan adalah kode. Ciri kode sebagai tanda adalah adanya sistem,
baik yang berupa simbol, sinyal, maupun gerak isyarat yang dapat
mewakili pikiran, perasaan, ide benda dan tindakan yang disepakati untuk
maksud tertentu. Bahasa rahasia itu bisa juga disebut sebagai kode. Bahwa
bahasa adalah suatu sistem lambang dalam wujud bunyi-bahasa, bukan
dalam wujud yang lain, seperti yang akan kita bicarakan dalam pasal
berikut.
3. Bahasa adalah bunyi
Bahasa adalah sistem lambang bunyi. Kridalaksana (1983:27)
bunyi adalah kesanpada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang
telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara..
bunyi bahasa atau bunyi ujaran (speeech sound) adalah satuan bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia yang di dalam fonetik diamati sebagai
“fon” dan di dalam fenemik sebagai “fonem”. Dalam linguistik yang
disebut bahasa, yang primer adalah yang diucapkan, yang dilisankan, yang
keluar dari alat ucap manusia. Hakikat bahasa adalah bunyi, atau bahasa
lisan.
4. Bahasa itu bermakna
Bahasa adalah sistem lambang yang berwujud bunyi atau bunyi
ujar. Sebagai lambang tentu ada yang dilambangkan. Yang dilambangkan
itu adalah suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran
yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi itu. Maka dapat dikatakan
bahwa bahasa itu mempunyai makna. Lebih umum dikatakan lambang
bunyi tersebut tiak punya referen, tidak punya rujukan.
Lambang-lambang bunyi bahasa yang bermakna itu di dalam
bahasa berupa satuan-satuan bahasa yang berwujud morfem, kata, frase,
klausa, kalimat dan wacana. Makna yang berkenaan dengan morfem
dankata disebut makna leksikal; yang berkenan dengan frase, klausa dan
kalimat disebut makna gramatikal; dan yang berkenan dengan wacana
disebut makna pragmatik atau makna konteks. Segala ucapan yang tidak
mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa. Fungsi bahasa adalah
menyampaikan pesan, konsep, ide atau pemikiran.
5. Bahasa itu arbiter
Kata arbiter bisa diartikan ‘sewenang-wenang. Berubahubah, tidak
tetap, mana suka’. Yang dimaksud istilah arbiter itu adalah tidak adanya
hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi) dengan
konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut.
Ferdinand de Saussure (1966:67) dalam dikotominya membedakan
apa yang disebut signifiant (Inggris: signifier) dan signifie (Inggris:
signified). Signifiant adalah lambang bunyi itu, sedangkan signifie adalah
konsep yang dikandung signifiant. Istilah penanda untuk lambang bunyi
atau signifiant itu dan istilah petanda untuk konsep yang dikandungnya.
Hubungan antara signifiant dengan signifie disebut bersifat arbiter,
sewenang-weang, atau tidak ada hubungan wajiblambang yang berupa
bunyi itu tidak memberi “saran” atau “petunjuk”. Tidak adanya hubungan
antara
signifiant
dan
signifie
menyebabkan
Bolinger
(1975:22)
mengatakan: seandainya ada hubungan antara lambang dengan yang
dilambangkannya itu, maka seseorang yang tidak tahu suatu bahasa
tertentu akan dapat menebak makna sebuahkata apabila dia mendengar
kata itu diucapkan.
Di sini kata-kata yang disebut onoimatope (kata yang berasal dari
tiruan bunyi) ini lambangnya memberi “saran” atau “petunjuk” bagi
konsep yang dilambangkannya. Dapat dikatakan hubungan antara lambang
dengan konsep yang dilambangkannya tidak bersifatarbiter. Karena paling
tidak ada “saran” bunyi yang menyatakan hubungan. Bunyi benda yang
sama terdengar berbeda oleh dua penutur bahasa yang berlainan, sebagai
akibat kearbitreran bahasa itu, atau juga karena sistem bunyi bahasabahasa itu tidak sama.
6. Bahasa itu konvensional
Penggunaan lambang untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional.
Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa
lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya.
Kearbitreran bahasa terletak pada hubungan antara lambang-lambang dan
bunyi dengan konsep yang dilambangkannya. Hubungan lambang konsep
yang dilambangkannya serta konvensional dari bahasa itu, ada tiga
masalah berkaitan yang perlu dikemukakan, yaitu: (1) mungkinkah sebuah
lambang dapat melambangkan lebih dari sebuah konsep, (2) mungkinkah
sebuah konsep bisa dilambangkan dengan lebih dari sebuha lambang, (3)
mungkinkah kita dapat “menyodoran”. Kata yang merupakan lambang
“siap pakai”, sudah ada tanpa harus diciptakan dulu, istilah merupakan
lambang “yang dibuat” untuk menampung konsep yang ada tetapi belum
ada lambangnya.
7. Bahasa itu produktif
Kata produktif adalah bentuk ajektif dari kata benda produksi. Arti
produktif adalah “banyak hasilnya”. Atau lebih tepat “terus menerus
menghasilkan”. Bahasa itu dikatakan produktif, maksudnya meskipun
unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya
terbtas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang jumlahnya tidak
terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem yang berlaku dalam
bahasa itu.
Keproduktifan bahasa ada batasnya. Dapat dibedakan adanya dua
macam keterbatrasan, yaitu keterbatasan pada tingkat parole dan
keterbatasan pada tingkat langue. Keterbatasan pada tingkat parole adalah
pada ketidaklaziman atau kebelumlaziman bentuk-bentuk yang dihasilkan.
Pada tingkat langue keproduktifan itu dibatasi karena kaidah atau sistem
yang berlaku.
8. Bahasa itu unik
Unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki
oleh yang lain. Lalu, kalau bahasa dikatakan bersifat unik, artinya setiap
bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa
lainnya. Ciri khas ini menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata,
sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem lainnya. Salah satu
keunikan bahasa Indonesia adalah bahwa tekanan kata tidak bersifat
morfemis, melainkan sintaksis. Kalau keunikan terjadi pada sekelompok
bahasa yang berada dalam satu rumpun atau satu kelompok bahasa, lebih
baik jangan disebut keunikan, melainkan ciri dari rumpun atau golongan
bahasa itu.
9. Bahasa itu universal
Bahasa bersifat universal. Artinya ada ciri-ciri yang sama yang
dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Ciri-ciri universal
merupakan unsur bahasa yang paling umum. Bahasa itu berupa ujaran, ciri
universal dari bahasa yang paling umum adalah bahwa bahasa itu
mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan. Bahasa
Indonesia, mempunyai 6 vokal an 22 buah konsonan, bahasa Arab
mempunyai 3 buah vokal pendek dan 3 buah vokal panjang serta 28 buah
konsonan (Al-Khuli 1982:321). Bahasa Inggris memiliki 16 buah vokal
(termasuk diftong) dan 24 buah konsonan (Al-Khuli 1982:320). Bukti lain
dari keuniversalan bahasa adalah bahwa setiap bahasa mempunyai satuansatuan bahasa yang bermakna, entah satuan yang namanya kata, frase,
klausa, kalimatdan wacana.
10. Bahasa itu dinamis
Bahasa adalah satu-satunya miliki manusia yang tidak pernah lepas
dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu,
sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Kata sebagai satuan
bahasa terkecil, adalah sarana atau wadah untuk menampung suatu konsep
yang ada dalam masyarakat bahasa. Perkembangan leksikon dalam bahasa
Indonesia dapat kita lihat kalau dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
susunan W.J.S Poerwadarminta yang hanya berjumlah sekitar 23.000
buah.
11. Bahasa itu bervariasi
Yang termasuk dalam satu masuarakat bahasa adalah mereka yang
merasa menggunakan bahasa yang sama. Masyarakat bahasa Indonesia
adalah semua orang yang merasa memiliki dan menggunakan bahasa
Indonesia. Variasi bahasa ada tiga istilah yang perlu diketahui, yaitu
idiolek, dialek dan ragam. Misalnya Hamka, Sutan Takdir Alisyahbana,
Hamingway atau mark Twain.
Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok
anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu. Misalnya bahasa
jawa dialek Banyumas, bahasa Jawa dialek Tegal, bahasa Jawa dialek
Surabaya. Variasi bahasa berdasarkan tempat ini lazim disebut dengan
nama dialek regional, dialek areal,atau dialek geografi. Variasi bahasa
yang digunakan pada masa tertentu, misalnya bahasa Indonesia zaman
Balai Pustaka, Orede Baru, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, disebut
dialek temporal atau juga kronolek. Variasi bahasa yang digunakan
sekelompok anggota masyarakat dengan status sosial tertentu dialek sosial
atau sosiolek.
Ragam atau ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan
dalam situasi, keadaan atau untuk keperluan tertentu. Situasi formal
digunakan ragam bahasa yang disebut ragam baku atau ragam standar,
situasi yang tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau ragam
nonstandar. Sarana yang digunakan ragam lisan dan ragam tulisan.
12. Bahasa itu manusiawi
Dapat dikatakan bahwa binatang tidak mempunyai bahasa.
Binatang dapat berkomunikasi dengan sesama jenisnya. Lebah madu,
misalnya seperti dilaporkan Karl Von Frisch (lihat fromkin 1974 atau
Akmajian 1979) menggunakan gerak tari tertentu untuk menyampaikan
berita adanya sumber madu kepada teman-temannya. Yang membuat alat
komunikasi manusia itu, yaitu bahasa, produktif dan dinamis. Manusia
disebut-sebut sebagai homo sapien ‘makhluk yang berpikir’, homo sosio
‘makhluk yang bermasyarakat’, homofaber ‘makhluk pencipta alat-alat’,
dan juga animal rationale ‘makhluk rasional yang berakal budi’. Alat
komunikasi manusia yang namanya bahasa adalah bersifat manusiawi,
dalam arti hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia.
C. Bahasa dan faktor luar bahasa
Faktor-faktor di luar bahasa itu tidak lain daripada segala hal yang
berkaitan dengan kegiatan manusia di dalam masyarakat, sebab tidak ada
kegiatan yang tanpa berhubungan dengan bahasa. Hal-hal yang menjadi objek
kajian linguistik makro kegiatan berbahasa, seperti penerjemahan, penyusunan
kamus, pendidikan bahasa.
1. Masyarakat bahasa
Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa
menggunakan bahasa yang sama. Titik berat pengertian masyarakat bahasa
pada “merasa menggunakan bahasa yang sama”, maka konsep masyarakat
bahasa dapat menjadi luas dan dapat menjadi sempit. Masyarkat bahasa ini
ada masalah, bagaimana dengan masyarakat yang bilingual atau
multilingual. Orang Indonesia pada umunya adalah bilingual, yaitu
menggunakan bahasa Indonesia dan menggunkan bahasa daerahnya.
Banyak juga yang multilingual, karena selain menguasai bahasa Indonesia,
menguasai bahasa daerahnya sendiri, bahasa daerah lain atau bahasa asing.
2. Variasi dan status sosial bahasa
Berdasarkan penuturnya adanya dialek-dialek, regional maupun
sosial. Berdasarkan penggunaannya raga-ragam bahasa, seperti ragam
jurnalistik, ragam sastra, ragam ilmiah dan sebagainya. Dua macam variasi
bahasa yang dibedakan berdasarkan status pemakaiannya. Yang pertama
adalah variasi bahasa tinggi (biasa disingkat variasi bahasa T), dan yang
lain variasi bahasa rendah (biasanya disingkat R). Variasi T digunakan
dalam situasi-situasi resmi, seperti pidato kenegaraan, bahasa pengantar
dalam pendidikan, khotbah, surat-menyurat resmi, dan buku pelajaran.
Bahasa R digunakan dalam situasi yang tidak formal, seperti di rumah, di
warung, di jalan, dalam surat-suratpribadi. Adanya pembedaan variasi
bahasa T dan bahasa R disebut dengan istilah diglosia (Ferguson 1964).
Masyarakat yang mengadakan pembedaan ini disebut masyarakat diglosis
Variasi bahasa YunaniT disebut katherevusa dan bahasa Yunani R disebut
dhimotiki; variasi bahasa Arab T disebutal-fusha dan variasi bahasa Arab
R disebut ad-darij; variasi bahasa Jerman Swiss T disebut schriftsdrache
dan variasi bahasa jerman Swiss R disebut schweizerdeutsch.
3. Penggunaan Bahasa
Hymes (1974) pakar sosiolinguistik mengatakan, bahwa suatu
komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan
unsur, yang diakronimkan menjadi speaking, yakni:
a. Setting and scence, yaitu unsur yang berkenan dengan tempat dan
waktu terjadinya percakapan.
b. Participants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan.
c. Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan.
d. Act sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi
percakapan.
e. Key, yaitu yang menunjuk pada cara atau semangat dalam
melaksanakan percakapan.
f. Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan
apakah secara lisan atau bukan.
g. Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta
percakapan.
h. Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa
yang digunakan.
4. Kontak bahasa
Dalam masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya
dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu
atau lebih dari satu masyarakat, akan terjadilah apa yang disebut kontak
bahasa. Yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya
atau terdapatnya yang disebut bilingualisme dan multingualisme. Orang
yang hanya menguasai satu bahasa disebut monolingual, unilingual atau
monoglot yang menguasai dua disebut bilingual, sedangkan yang
menguasai lebih dari dua bahasa disebut multilingual, plurilingial atau
poligot.
Boloomfiled mengartikan bilingual ini sebagai penguasaan yang
sama baiknya oleh seseorang teradap dua bahasa. Uriel Weinrich (1968)
mengartikan sebagai pemakaian dua bahasa oleh seseorang secara
bergantian. Einar Haugen (1966) mengartikan sebagai kemampuan
seseorang untuk menghasilkan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam
bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya.
Masyarakat yang bilingual atau multilingual akibat adanya kontak
bahasa (dan juga kontak budaya), terjadi peristiwa atau kasus yang disebut
interferensi, integrasi, alihkode (code-switching) dan campurkode (codemixing). Keempat peristiwa gejalanya sama, yaitu adanya unsur bahasa
lain dalam bahasa yang digunakan. Interferensi adalah terbawa masuknya
unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan, sehingga
tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang sedang digunakan
itu. Interferensi biasanya dibedakan dari integrasi. Dalam bahasa Indonesia
yang sekarang dieja menjadi montir, riset, sopir dan dongkrak adalah
contoh yang sudah berintegrasi.
Dalam masyarakat yang bilingual maupun yang multilingual
seringkali terjadi yang disebut alihkode, yaitu beralihnya penggunaan
suatu kode (entah bahasa ataupun ragam bahasa tertentu) ke dalam kode
yang lain (bahasa atau ragam bahasa lain).
Alih kode dibedakan dari campur kode. Kalau alih kode terjadi
karena bersebab, sedangkan campur kode terjadi tanpa sebab.
5. Bahasa dan budaya
Objek kajian linguistik makro adalah mengenai hubungan bahasa
dengan budaya atau kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan.
Dalam sejarah linguistik ada suatu hipotesis yang sangat terkenal
mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan ini. Hipotesis ini dikeluarkan
oleh dua orang pakar, yaitu Edwad sapir dan Benjamin Lee Whorf (dan
oleh karena itu disebut hipotesis Sapir-Whorf) yang menyatakan bahwa
bahasa mempengaruhi kebudayaan.
D. Klasifikasi Bahasa
Berkembangnya studi linguistik historis komparatif, studi yang
mengkhusus pada telaah perbandingan bahasa, maka orang mulai
membuat klasifikasi terhadap bahasa-bahasa yang ada di dunia ini
dilakukan dengan melihat kesamaan ciri yang ada pada setiap bahasa.
menurutGreenberg (1957:66) suatu klasifikasi yang baik harus memenuhi
persyaratan nonarbitrer, ekshaustik dan unik. Nonarbitrer adalah bahwa
kriteria klasifikasi itu tidak boleh semaunya, hanya harus ada satu kriteria.
Maka hasilnya akan ekshaustik. Artinya, setelah klasifikasi dilakukan
tidak ada lagi sisanya. Hasil klasifikasi juga harus bersifat unik, kalua
suatu bahasa sudah masuk ke dalam salah satu kelomok, dia tidak bisa
masuk lagi dalam kelompok yang lain.
Tiga persyaratan yang diajukan Greenberg itu tidak dapat
dilaksanakan, sebab banyak sekali ciri-ciri bahasa yang dapat digunakan
untuk membuat klasifikasi itu. Yang terpenting, dan bisa disebutkan di sini
adalah (1) pendekatan genetis, (2) pendekatan tipologis, (3) pendekatan
areal, dan (4) pendekatan sosiolinguistik.
Pendekatan genetis hanya melihat garis keturunan bahasa itu,
hasilnya disebutkan klasifikasi genetis atau geneologis. Pendekatan
tipologis menggunakan kesamaan-kesamaan tipologi, entah fonologi,
morfologi, maupun sintaksis untuk membuat klasifikasi. Hasilnya disebut
klasifikasi tipologis. Pendekatan areal menggunakan pengaruh timbalbalik antara suatu bahasa dengan bahasa yang lain untuk membuat
klasifikasi. Hasilnya juga disebut klasifikasi areal. Sedangkan pendekatan
sosiolinguistik membuat klasifikasi berdasarkan hubungan bahasa itu
dengan keadaan masyarakat. Hasilnya disebut klasifikasi sosiolinguistik.
1. Klasifikasi genetis
Klasifikasi genetis, disebut juga klasifikasi geneologis, dilakukan
berdasarkan garis keturunan bahasa-bahasa itu. Artinya, suatu bahasa
berasal atau diturunkan dari bahasa yang lebih tua. Sebuah bahasa menjadi
sejumlah bahasa lain dengan cabang-cabang dan ranting-rantingnya
memberi gambaran seperti batang pohon yang berbalik. Penemu teori ini,
yaitu A. Schleicher, menamakannya batang pohon (bahasa Jerman:
Stammbaumtheorie). Dilengkapi oleh J. Schmidt dalam tahun 1872 dengan
teori gelombang (bahasa Jerman: Wellentheorie). Maksud teori gelombang
ini adalah bahwa perkembangan atau perpecahan bahasa itu dapat
diumpamakan seperti gelombang yang disebabkan oleh sebuah batu yang
jatuh ke tanah kolam.
Bahasa itu bisa menyebardan kemudian berubah. Penyebaran
bahasa itu biasanya terjadikarena penuturnya menyebar atau berpindah
tempat sebagai akibat adanya peperangan atau bencana alam. Klasifikasi
genetis dilakukan berdasarkan kriteria bunyi dan arti, yaitu atas kesamaan
bentuk (bunyi) dan makna yang dikandungnya. Hasil klasifikasi yang telah
dilakukan dan banyak diterima orang secara umum adalah bahwa bahasabahasa yang ada di dunia ini terbagi dalam sebelas rumpun besar. Setiap
rumpun dapat dibagi lagi atas subrumpun, dan sub-subrumpun yang lebih
kecil. Kesebelas rumpun itu adalah:
a. Rumpun Indo eropa, yakni bahasa-bahasa German, Indo-Iran,
Armenia, Baltik, Slavik, Roaman, Keltik dan Gaulis.
b. Rumpun Hamito-Semit atau Afro-Asiatik, yakni bahasa-bahasa Koptis,
Berber, Kushid, Chad yang termasuk dalam subrumpun hamit; dan
bahasa Arab, Etiopik, dan Ibrani yang termasuk subrumpun Semit.
c. Rumpun Chari-Nil, yakni bahasa-bahasa Swahili, Bantuk dan Khoisan.
d. Rumpun Dravida, yaitu bahasa-bahasa Telugu, Tamil, Kanari dan
Malayalam.
e. Rumpun Austronesia (disebut juga Melayu Polinesia), yaitu bahasabahasa Indonesia (Melayu, Austronesia Barat), Melanesia, Mikronesia
dan Polinesia.
f. Rumpun Kaukasus.
g. Rumpun Finno-ugris, yaitu bahasa-bahasa Hungar, Lapis dan
Samoyid.
h. Rumpun Paleo Asiatis atau Hiperbolis, yaitu bahasa-bahasa yang
terdapat di Siberia Timur.
i. Rumpun Ural-Altai, yaitu bahasa-bahasa Mongol, manchu Tungu,
Turki, Korea dan Jepang.
j. Rumpun Sino-Tibet, yakni bahasa-bahasa Yenisei, Ostyak, Tibeto,
Burma dan Cina.
k. Rumpun bahasa-bahasa indian, yakni bahasa-bahasa Eskimio, Aleut,
Na-Dene, Algonkin, Wakshan, Hokan, Sioux, Penutio, Aztek-Tanoan
dan sebagainya.
Untuk mengetahui di mana letak bahasa-bahasa itu, lihatlah,
misalnya, Internasional Encyclopedia of Linguistitics oleh William Bright
(1992) atau sumber lainnya.
Klasifikasi genetis ini menunjukkan bahwa perkembangan bahasabahasa di dunia ini bersifat divergenetif, yakni memecah dan menyebar
menjadi banyak; tetapi pada masa mendatang karena situasi politik dan
perkembangan yang konvergensif tampaknya akan lebih mungkin dapat
terjadi.
2. Klasifikasi tipologis
Klasifikasi tipologis dilakukan berdasarkan kesamaan tipe atau
tipe-tipe yang terdapat pada sejumlah bahasa. Hasil klasifikasi ini menjadi
besifat arbitrer, karena tidak terikat oleh tipe tertentu, melainkan bebas
menggunakan tipe yang mana saja atau menggunakan berbagai macam
tipe.
Klasifikasi pada tataran morfologi pada abad XIX secara garis
besar dapat dibagi tiga kelompok, yaitu:
Kelompok pertama, adalah yang semata-mata menggunakan
bentuk bahasa sebagai dasar klasifikasi. Klasifikasi morfologi ini adalah
Fredrich Von Schlegel. Pada tahun 1808 menjadi dua kelompok, yaitu (1)
kelompok bahasa berafiks dan (2) kelompok bahasa berfleksi. August von
schlegel, pada tahun 1818 menjadi (1) bahasa tanpa struktur gramatikal
(seperti bahasa Cina); (2) bahasa berafiks (seperti bahasa Turki); dan (3)
bahasa berfleksi (seperti bahasa Sanskerta dan bahasa Latin). Wilhelm
Von Humbol (dan diikuti oleh A.F. Pott) yang membuat klasifikasi baru
menjadi (1) bahasa isolatif (sama dengan bahasa tanpa struktur), (2)
bahasa aglutunatif (sama dengan bahasa berafiks), (3) bahasa fleksi atau
sintesis dan (4) bahasa polisintesis atau bahasa inkorporasi. Yang terakhir
ini sebenarnya merupakan perincian dari bahasa aglutunatif.
Kelompok kedua, adalah menggunakan akar kata seabgai dasar
klasifikasi. Franz Bopp, yang membagi bahasa-bahasa di dunia ini atas
bahasa yang mempunyai (1) akar kata yang monosilabis, misalnya bahasa
cina, (2) akar kata yang mampu mengadakan komposisi, dan (3) akar kata
yangdisilabis dengan tiga konsonan, Max Muller, yang juga menggunakan
akar kat sebagai dasar klasifikasimembagi bahasa di dunia ini menjadi (1)
bahasa akar, (2)bahasa terminasional, (3) bahasa infleksional
Kelompok ketiga, adalah yang menggunakan bentuk sintaksis
sebagai dasar klasifikasi. Pakarnya antara lain, H. Seinthal yang membagi
bahasa-bahasa di dunia atas, (1) bahas-bahasa yang berbentuk, dan (2)
bahas-bahasa yang tidak berbentuk. Bahasa yang berbentuk adalah bahasa
yang di dalam kalimatnya ada relasi antar kata. Bahasa yang berbentuk ini
dibagi lagi menjadi (a) bahasa kolokatif, (b) bahasa derivatif dengan
jukstaposisi, (c) bahas Derivatif dengan perubahan pada akar kata, (d)
bahasa derivatif dengan sufiks yang sebenarnya. Kemudian bahas yang
tidak terbentuk dibagi lagi menjadi (a) bahasa kolokatif, (b) bahasa
derivatif dengan reduplikasi dan prefiks, (c) bahasa derivatif dengan
sufiks, (d) bahasa inkorporasi. Franz Misteli mengikuti jejak Steinthal
dengan sitematik yang agak berbeda. Bahas berbentuk hanya dibagi satu
kelompok yaitu bahasa dengan kata yang sesungguhnya (infleksi). Bahasa
tidak berbentuk dibagi atas (a) bahasa dengan kata yang berbentuk
kalimat, (b) bahasa asolatif akar, (c) bahasa isolatif dasar, (d) bahasa
jukstaposisi,(e) bahasa dengan kata yang jelas.
Pada abad XX ada juga dibuat pakar klasifikasi morfologi dengan
prinsip yang berbeda, misalnya, yang dibuat Sapir (1921) dan J. Greenberg
(1954)
Edward
Sapir
menggunakan
tiga
parameter
untuk
mengklasifikasikan bahasa-bahasa yang dada di dunia. Ketiga parameter
itu adalah (1) konsep-konsep gramatikal, (2) proses-proses gramatikal, dan
(3) tingkat penggabungan morfem dalam kata.
3. Klasifikasi Areal
Klasifikasi areal dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal
balik antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain di dalam suatu area
atau wilayah, tanpa memperhatikan apakah bahasa itu berkerabat secara
generik atau tidak.
Usaha klasifikasi berdasarkan areal ini pernah dilakukan oleh
Wihelm Schmidt (1868-1954) dengan bukunya Die Sprachfamilien Und
Sprachenkreise Der Ende, yang dilampiri dengan peta
4. Kasifikasi Sosiolinguistik.
Klasifikasi sosiolinguistik dilakukan berdasarkan hubungan antara
bahasa dengan faktor-faktor yang berlaku dalam masyarakat; tepatnya,
berdasarkan status, fungsi, penilaian yang diberikan masyarakat terhadap
bahasa itu. Klasifikasi sosiolinguistik ini pernah dilakukan oleh William
A. Stuart tahun 1962 yang dapat kita baca dalam artikelnya “An Outline of
Linguistic Typology For Descrimbing Multi Lingualism”. Klasifikasi ini
dilakukan berdasarkan empat ciri atau kriteria, yaitu historisitas,
standardisasi, vitalitas, dan homogenesitas.
E. BAHASA TULIS DAN SISTEM AKSARA.
Linguistik sebenarnya juga tidak menutup diri terhadap bahasa tulis,
sebab seperti sudah disebutkan juga pada bagian terdahulu bahwa apapun
yang berkenaan dengan bahasa adalah juga menjadi objek linguistik. Maka
bagi linguistik bahasa lisan adalah primer, sedang bahasa tulis adalah
sekunder. Banyak unsur bahasa lisan, seperti tekanan, intonasi, dan nada.
Ada cerita yang mengatakan bahwa tulisa itu ditemukan oleh Cadmus,
seorang pangeran dari punisia, dan yang lalu membawanya ke Yunani (lihat
Fromkin 1974).
Para ahli dewasa ini, memperkirakan tulisan itu berawal dan tumbuh
dari gambar-gambar yang terdapat di gua-gua di Altamira di Sepanyol utara.
Gambar-gambar ini disebut piktogram, dan sebagai sistem tulisan disebut
piktograf. Sesudah perang dunia II, Karel Johnson, seorang jurnalis Belanda,
dan Andre Eckard, seorang sarjana Jerman, mencoba mengembangkan sistem
tulisan piktografik ini yang disebut Pikto. Aksara paku ini kemudian diambil
oleh orang Persia, yakni pada zaman Darius I (522-468), tetapi tidak untuk
menyatakan gambar, gagasan, atau kata, melainkan untuk menyatakan suku
kata. Sistem yang demikian, yang menggambarkan suku kata disebut aksara
silabis.
Orang Yunani mengembangkan tulisan yang bersifat alfabetis, yaitu
dengan menggambarkan setiap konsonan dan vokal dengan satu huruf.
Jauh sebelum tulisan romawi atau Latin itu tiba di Indonesia, berbagai bahasa
di Indonesia telah mengenal aksara, seperti yang dikenal dalam bahasa jawa,
bahasa sunda, bahasa bugis, bahasa makasar, bahasa lampung, bahasa batak,
dan bahasa sasak. Aksara Arab yang digunakan kini di Malaysia disebut
aksara jawi, yang dipakai untuk bahasa Indonesia (waktu dulu) disebut aksara
Arab Melayu atau Arab Indonesia, dan yang dipakai dalam bahasa jawa
disebut aksara pegon.
Huruf adalah istilah umum untuk graf dan grafem. Abjad atau alfabet
adalah urutan huruf-huruf dalam satu sistem aksara. Aksara adalah
keseluruhan sistem tulasan, misalnya aksara latin, aksara arab, dan aksara.
Graf adalah satuan terkecil dalam aksara
yang belum ditentukan
setatusnya.sedangkan grafem adalah satuan terkecil dalam aksara yang
menggambarkan fonem, suku kata, atau morfem, tergantung dari sistem aksara
yang bersangkutan. Alograf adalah varian dari gravem (bandingkan dengan
alofon dalam fonologi dan alomorf dalam morfologi).
Tulisan yang menjadi suatu karya seni disebut kaligrafi, atau secara
harafiah bisa diartikan sebagai seni menulis indah. Grafiti adalah corat-coret di
dinding, tembok pagar, dan sebagainya dengan huruf-huruf dan kata-kata
tertentu. Alat pelengkap aksara yang ada untuk menggambarkan unsur-unsur
bahasa lisan hanyalah huruf besar untuk memulai kalimat, koma untuk
menandai jeda, titik untuk menandai akhir kalimat, tanda tanya untuk
menyatakan interogasi, tanda seru untuk menyatakan interjeksi, dan tanda
hubung untuk menyatakan penggabungan. Aksara latin adalah aksara yang
tidak bersifat silabis. Jadi, setiap silabel akan dinyatakan dengan huruf vokal
dan huruf konsonan.
Hubungan anatara fonem (yaitu suatu bunyi terkecil yang dapat
membedakan makna dalam satu bahasa) dengan huruf atau grafem (yaitu
satuan unsur terkecil dalam aksara) ternyata juga bermacam-macam. Ada
pendapat umum yang mengatakan bahwa ejaan yang ideal adalah ejaan yang
melambangkan tiap fonem hanya dengan satu huruf atau sebaliknya setiap
huruf hanya dipakai untuk melambangkan satu fonem.
Download