Begini Cara Kerja Bintang – Bagian 3: Reaksi Nuklir

advertisement
Begini Cara Kerja Bintang – Bagian 3: Reaksi Nuklir di dalam Bintang
Pada bagian pertama kita telah mengetahui perihal kestabilan bintang yang ditopang oleh gaya
tekanan radiasi dan gaya gravitasi. Selanjutnya, pada bagian kedua, kita mengikuti proses olah
pikir yang menyimpulkan bahwa energi radiasi dihasilkan dari proses radioaktif dan bahwa
pengamatan spektrum cahaya Matahari sepanjang abad ke-19 menunjukkan bahwa Matahari
penuh dengan Hidrogen.
Pada tahun 1868, secara hampir bersamaan, astronom Perancis Pierre Janssen dan astronom
Inggris Norman Lockyer mengamati adanya unsur misterius pada Matahari. Sebuah unsur yang
tidak ditemukan di Bumi. Lockyer kemudian menamai unsur misterius ini Helium, dari kata
Bahasa Yunani “Helios” yang berarti Matahari.
Baru sekitar 30 tahun kemudian pada tahun 1895, kimiawan Skotlandia, William Ramsay secara
tak sengaja menemukan gas Helium di Bumi. Ramsay membakar asam belerang untuk mencari
Argon, namun setelah memisahkan gas Nitrogen dan Oksigen yang tercipta dari hasil
pembakaran tersebut, Ramsay melihat adanya spektrum unsur misterius Helium tersebut.
Bersama-sama, Hidrogen dan Helium pada umumnya adalah dua unsur paling berlimpah dalam
sebuah bintang. Matahari kita, misalnya, mengandung 34% Hidrogen dan 64% Helium, dan 2%
adalah gabungan unsur lain-lainnya.
Rahasia berabad-abad tentang penyusun dasar Matahari telah terjawab. Ketika astronom
mengarahkan spektroskopnya ke arah bintang-bintang lain, terkuaklah misteri lain tentang
hakikat bintang: spektrum bintang ternyata sama dengan Matahari! Dengan kata lain, Matahari
adalah bintang yang letaknya sangat dekat dengan kita. Bintang dan Matahari adalah objek yang
sama namun jarak bintang jauh lebih besar daripada jarak Bumi kita menuju Matahari. Besarnya
peran spektroskopi dalam menguak rahasia alam ini kemudian dikenang dengan memparodikan
teks lagu Bintang Kecil dalam Bahasa Inggris:
Twinkle Twinkle little star,
I don’t wonder what you are;
For by spectroscopic ken,
I know that you’re hydrogen;
Twinkle Twinkle little star,
I don’t wonder what you are.
Kenapa Matahari dan bintang dapat bersinar? Dari mana energinya? Penelitian pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20 mengenai hakikat atom dan radioaktivitas menyimpulkan bahwa
reaksi nuklirlah yang membangkitkan energi Matahari. Pada bagian kedua, kita telah melihat
bahwa Hidrogen yang jumlahnya berlimpah di dalam Matahari dapat melangsungkan reaksi
nuklir hingga milyaran tahun. Seperti bagaimanakah reaksi nuklir ini?
Reaksi fusi dapat terjadi dalam kondisi yang teramat ekstrim, dan telah diperkirakan bahwa inti
Matahari cukup ekstrim untuk dapat melangsungkan reaksi tersebut. Sebagaimana kita ketahui,
suhu pada inti Matahari berkisar 15 juta Kelvin. Dalam teori dinamika gas, suhu suatu gas
menyatakan energi kinetik yang terkandung dalam gas tersebut, akibat gerakan-gerakan atom
dari gas tersebut. Suhu yang amat tinggi dalam suatu gas menyatakan gerakan atom yang amat
luar biasa. Tekanan yang amat tinggi juga dapat menyatakan kerapatan dari gas tersebut.
Semakin rapat suatu gas, semakin dekat jarak antar nukleus atom satu sama lain.
Untuk memicu adanya reaksi fusi, dua buah atom harus dapat mengatasi gaya tolak antara
keduanya. Inti atom memiliki muatan positif yang saling tolak-menolak apabila bertemu muatan
sejenis. Akibatnya, dua buah atom Hidrogen yang dipertemukan akan saling menolak. Gaya
tolak ini akan semakin besar apabila jaraknya semakin dekat. Namun apabila jarak antara dua
atom ini sangat dekat maka gaya tarik yang disebut gaya nuklir kuat dapat mengatasi gaya tolak-
menolak antara kedua nukleus, mengikat kedua inti Hidrogen dan membentuk Helium. Berapa
jarak minimal yang harus dicapai dua atom Hidrogen agar dapat melebur menjadi Helium?
Dengan berbekal pengetahuan fisika nuklir, Fritz Houtermans mencoba menjawab pertanyaan
ini. Ia lahir di Zoppod, sebuah kota kecil di dekat Danzig di Jerman Baltik (kini bernama
Gdansk dan berada di Polandia). Pada tahun 1920an ia bekerja sebagai peneliti di Gottingen,
Jerman, dan bekerjasama dengan peneliti Inggris bernama Robert d’Escourt Atkinson untuk
menjelaskan reaksi nuklir dalam Matahari. Bersama-sama, mereka menghitung bahwa jarak
minimal yang harus dicapai kedua atom adalah 10-15 meter atau satu per satu trilyun milimeter(!)
Mereka yakin bahwa kerapatan gas di pusat Matahari sangat tinggi sehingga jarak antar atom
akan sangat dekat, dan terlebih lagi energi kinetiknya akan sangat tinggi sehingga gerakan
mereka akan sangat cepat. Besar kemungkinan akan ada atom-atom yang dapat mencapai jarak
sekecil ini dan memicu reaksi nuklir. Hasil perhitungan mereka dipublikasikan dalam jurnal
ilmiah Zeitschrift für Physik pada tahun 1929. Begitu senangnya Houtermans dengan hasil
perhitungan mereka, sehingga sorenya ia membanggakan hasil penemuannya pada gadis yang
dikencaninya. Malam itu, bintang-bintang bersinar terang dan pacarnya berkata, “cantik sekali
ya sinar bintang-bintang itu?” Houtermans menjawab, “Sejak kemarin aku sudah tahu apa yang
menyebabkan mereka bersinar.” Charlotte Riefenstahl, gadis itu, dengan terkagum-kagum
kemudian menikahinya.
Houtermans boleh berbangga diri, namun masih ada problem dengan temuannya mengenai jarak
minimal yang dapat memicu reaksi fusi. Pada jarak kritis ini, besarnya energi potensial yang
ditimbulkan kedua atom adalah sekitar 1000 kilo elektron Volt. Apabila sebuah atom yang telah
mencapai jarak kritis ini tidak memiliki energi yang lebih besar daripada energi ini, maka
peleburan tidak akan terjadi. Jadi ada semacam “dinding” potensial yang harus ditembus sebuah
atom Hidrogen apabila ia ingin melebur dengan atom Hidrogen lain. Namun, setiap atom
Hidrogen rata-rata hanya memiliki energi sebesar 1 keV, 1000 kali lebih kecil daripada energi
kritis yang harus ditembus. Menurut statistik, sebagian kecil partikel memiliki energi yang sama
atau bahkan jauh lebih besar daripada energi kritis ini. Akan tetapi, jumlah partikel yang
berenergi tinggi ini sangatlah kecil sehingga reaksi nuklir yang terjadi tidak akan cukup besar
untuk dapat berlangsung selama milyaran tahun. Bagaimanakah kita menjawab problem ini?
Teori Kuantum menyelamatkan problem ini dengan menawarkan cara pandang yang berbeda
dalam fisika. Apabila fisika abad ke-18 begitu deterministik dengan mengatakan bahwa posisi
sebuah partikel dapat kita ketahui dari waktu-ke-waktu, maka teori kuantum mengatakan bahwa
kita hanya dapat mengetahui peluang menemukan sebuah partikel pada lokasi tertentu. Pada
skala kecil dalam dunia partikel, posisi sebuah partikel sama sekali tidak pasti. Ia dapat berada
di mana saja dan yang dapat kita tentukan hanyalah kebolehjadian bahwa ia akan berada di suatu
lokasi. Dengan berbekal cara pandang ini, fisikawan kelahiran Ukraina, George Gamow,
menyelesaikan problem halangan potensial ini melalui fenomena yang disebutnya “efek
terowongan kuantum.” Melalui perspektif fisika kuantum, kita dapat menghitung peluang untuk
dapat menemukan sebuah partikel berada di dalam jarak kritis tersebut, dan dengan demikian
dapat melebur dan memulai reaksi nuklir. Peluang ini semakin meningkat dengan semakin
tingginya energi partikel tersebut, dan dengan membandingkannya dengan distribusi energi
suatu kumpulan partikel, dapat dihitung rentang energi di mana reaksi nuklir paling mungkin
terjadi. Perubahan cara pandang ini memungkinkan kita menyelesaikan problem pembangkitan
energi di dalam bintang. Gamow, fisikawan Uni Soviet yang kemudian melarikan diri ke
Amerika Serikat, memikirkan efek terowongan untuk menjelaskan fenomena peluruhan dalam
perspektif fisika kuantum. Namun kemudian diketahui bahwa efek terowongan ini juga berlaku
secara umum dan dapat digunakan pula untuk menjelaskan fenomena sebaliknya yaitu
bergabungnya inti-inti atom.
Pekerjaan Houtermans tentang reaksi nuklir dalam bintang kemudian dilanjutkan oleh Hans
Bethe. Lahir di Straßburg, Jerman (kemudian menjadi Strasbourg dan masuk ke wilayah
Perancis) pada tahun 1906, Bethe memperoleh gelar Doktornya dari Universitas Muenchen,
Jerman, di bawah bimbingan Arnold Sommerfeld. Setelah bekerja di Cambridge dan di Roma
bersama Enrico Fermi, Bethe mengajar di Universitas Tübingen hingga tahun 1933. Saat itu
Partai Nazi berkuasa dan Bethe dipecat dari pekerjaannya karena ibunya orang Yahudi. Bethe
pindah ke Inggris dan pada tahun 1935 pindah ke Amerika Serikat. Bersama banyak fisikawan
nuklir lainnya, Bethe kemudian bekerja mengembangkan bom atom di Laboratorium Los
Alamos, dan memimpin Divisi Teoritis.
Bidang kerja Bethe mengenai fisika nuklir memungkinkannya mengidentifikasi jalur-jalur reaksi
fusi yang memungkinkan terciptanya inti Helium yang stabil. Atom sebuah unsur memiliki
bermacam-macam jenis yang disebut isotop. Yang membedakan isotop sebuah unsur dengan
yang lain adalah jumlah neutron yang terkandung di dalam nukleusnya. Hidrogen netral atau
Protium, misalnya, memiliki 1 proton dan 1 elektron. Deuterium, salah satu isotop Hidrogen,
memiliki tambahan 1 neutron dan relatif stabil. Helium-3 dan Helium-4 adalah dua dari 8 isotop
atom Helium yang stabil, masing-masing memiliki 1 dan 2 neutron pada intinya. Houtermans
mengharapkan bahwa reaksi fusi dalam bintang terjadi melalui penggabungan dua inti Hidrogen
netral menjadi Diproton, isotop Helium yang sangat ringan dan tak stabil. Dua buah neutron
dibutuhkan untuk menciptakan isotop Helium yang stabil, namun pada saat Houtermans dan
Atkinson menulis makalah mereka pada tahun 1929, keberadaan neutron masih merupakan
hipotesis. Akibatnya perhitungan Houtermans belumlah lengkap.
Pada saat Bethe melanjutkan pekerjaan Houtermans, gambaran kita mengenai dunia atom sudah
lebih lengkap. Dua buah atom Hidrogen netral dapat melebur terlebih dahulu untuk membentuk
Deuterium. Selanjutnya, Bethe melihat Deuterium ini dapat menangkap 1 atom Hidrogen netral
lain untuk membentuk Helium-3 yang relatif cukup stabil. Dua buah Helium-3 ini kemudian
dapat melebur untuk membentuk Helium-4 yang lebih stabil dan nonradioaktif. Sebagai produk
samping, dua buah atom Hidrogen akan dilepaskan. Reaksi ini kemudian dikenal dengan Reaksi
Proton-Proton atau Reaksi PP, karena semuanya berawal dari dua buah Proton yang melebur.
Reaksi Proton-Proton masih dapat dilanjutkan menjadi Reaksi PP-II. Helium-3 dan Helium-4
dapat melebur untuk membentuk Berilium-7 yang dapat menangkap sebuah elektron untuk
menjadi Litium-7 yang stabil. Selanjutnya Litium-7 dapat menangkap sebuah atom Hidrogen
dan berubah menjadi 2 buah atom Helium-4. Ini terjadi bila suhu inti berkisar antara 14 hingga
23 Juta Kelvin. Pada suhu inti di atas 23 Kelvin, terjadi reaksi PP-III: Berilium-7 akan
menangkap Hidrogen netral dan berubah menjadi Boron-8. Karena Boron-8 tak stabil, ia akan
meluruh menjadi Berilium-8, yang pada gilirannya akan meluruh menjadi 2 buah atom Helium.
Selain Reaksi PP, Bethe juga mengusulkan rute lain untuk menciptakan rute lain yang
menggunakan atom Karbon sebagai pemicu yang berfungsi menangkap atom Hidrogen. Bila di
dalam inti Matahari terdapat Karbon-12, maka setiap inti Karbon-12 akan dapat menangkap
Hidrogen untuk membentuk inti atom-atom yang lebih berat, yaitu berturut-turut Nitrogen dan
Oksigen. Nitrogen-15 (lihat gambar) tidak stabil sifatnya dan akan melebur kembali menjadi
Karbon-12 dan akan kembali menangkap sebuah atom Hidrogen untuk memulai siklus ini
kembali ke awal. Karena reaksi rantai ini membentuk sebuah siklus, maka rangkaian reaksi ini
dinamakan Siklus atau Daur Karbon.
Pada awalnya dua reaksi nuklir ini masih bersifat spekulasi. Fisikawan-fisikawan lain kemudian
memeriksa perhitungan-perhitungan Bethe dan memastikan bahwa reaksi ini dapat terjadi
apabila kondisinya tepat.
Pada tahun 1940an jelaslah bahwa reaksi-reaksi inti ini memang benar-benar terjadi di dalam
“tungku” Matahari. Pengamatan spektrum matahari lagi-lagi menjadi kunci karena kelimpahan
unsur-unsur kimia yang dihasilkan dari reaksi-reaksi ini dapat dikonfirmasi melalui spektroskopi
Matahari. Atas jasa-jasa Bethe mengidentifikasi produksi energi bintang-bintang, ia diganjar
Hadiah Nobel pada tahun 1967.
Setelah melihat bentuk Reaksi PP maupun Siklus Karbon, kita mungkin dapat melihat bahwa
reaksi ini pada intinya mengubah Hidrogen menjadi Helium. Perlahan tapi pasti, Hidrogen
berubah bentuk menjadi Helium dan dapat habis. Pada akhirnya, apabila sebuah bintang tak
dapat lagi membakar Hidrogen menjadi Helium, maka cara lain untuk membangkitkan energi
yang dapat mengimbangi tekanan gravitasi harus terjadi. Apabila tidak ada, maka bintang tak
akan sanggup menahan tekanan gravitasi dan akan runtuh. Apakah masih ada cara lain?
Dua buah atom Helium-4 dapat bergabung untuk membentuk Berilium-8, yang pada gilirannya
dapat menangkap sebuah atom Helium-4 lain untuk menjadi Karbon-12. Reaksi ini sangat
penting perannya karena merupakan satu-satunya reaksi nuklir yang dapat menciptakan unsur
Karbon dalam jumlah signifikan di jagad raya ini. Namun banyak problem yang menghambat
reaksi ini dapat terjadi. Reaksi ini hanya dapat terjadi pada suhu yang ekstrim tinggi, yaitu pada
suhu 100 Juta Kelvin. Syarat lain untuk dapat terjadi adalah apabila terdapat atom Helium-4
dalam jumlah besar. Masalah berikutnya adalah Berilium-8 merupakan atom yang sangat tak
stabil dan hanya mampu bertahan dalam waktu kurang dari 10-18 detik atau hanya satu per
milyar milyar detik, amat sangat singkat! Hampir tak mungkin Berilium-8—sebelum
peluruhannya —dapat menangkap Helium-4 terdekat untuk berubah menjadi Karbon-12.
Bahkan bila ini dapat terjadi pun, masih ada rintangan lain yang harus dihadapi.
Massa gabungan Helium-4 dengan Berilium-8 lebih besar daripada massa Karbon-12, jadi
apabila kedua atom dapat bergabung sekalipun, akan ada kelebihan massa yang harus dibuang.
Tentu saja kelebihan massa ini akan diubah menjadi energi melalui persamaan E = mc2, namun
semakin besar perbedaan massanya maka waktu reaksinya akan semakin lama dan Berilium-8,
yang waktu peluruhannya sangat cepat, tidak punya waktu untuk menunggu reaksi ini selesai.
Karbon-12 harus terbentuk dengan segera karena usia Berilium-8 teramat sangat pendek.
Karbon adalah unsur paling berlimpah di alam semesta setelah Hidrogen, Helium, dan Oksigen.
George Gamow dan mahasiswa bimbingannya, Ralph Alpher, menemukan bahwa dalam waktu
beberapa menit sesudah big bang terjadi, alam semesta terdiri atas 75% Hidrogen dan 25%
Helium, namun unsur-unsur yang lebih berat dari itu tidak tercipta karena alam semesta keburu
mendingin sebelum terjadi reaksi fusi yang memungkinkan terjadinya pembentukan unsur-unsur
berat. Namun kenyataannya, di Bumi ini kita menemukan unsur-unsur berat, mulai dari
Hidrogen, Helium, Litium, hingga Uranium, Plutonium, dan seterusnya. Di Bumi kita, elemenelemen berat seperti Silikon, Aluminium, Besi, adalah unsur-unsur paling berlimpah. Tubuh
manusia mengandung 18.5% Karbon dan kita mengetahui Karbon adalah unsur yang selalu
hadir dalam hampir segala bentuk kehidupan. Menjawab pertanyaan mengenai asal-usul unsur
berat ini sama artinya dengan menjawab sebagian pertanyaan mengenai asal-usul kehidupan,
sebuah pertanyaan yang terus-menerus ditanyakan peradaban manusia.
Untuk menjelaskan pembentukan unsur-unsur berat di alam semesta inilah, Fred Hoyle,
astrofisikawan Inggris, menciptakan reaksi Triple-Alpha. Ia menemukan bahwa satu-satunya
cara untuk menciptakan Karbon adalah melalui reaksi nuklir di alam inti bintang yang luar biasa
panas dan penuh dengan Helium. Namun reaksi ini pun, bila dapat terjadi, amat bermasalah.
Pertama, Berilium-8 teramat tidak stabil dan tak dapat bertahan lama. Kedua, perubahan Helium
dan Berilium menjadi Karbon membutuhkan waktu yang cukup signifikan karena adanya
perbedaan massa yang besar. Nampaknya tidak ada solusi atas situasi ini, namun Hoyle mampu
menyelesaikannya dengan brilian. Proses olah pikir Hoyle dalam menjawab masalah ini akan
menjadi topik berikutnya.
Download