BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan TB paru dan MDR

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan TB paru dan MDR TB di Indonesia
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi permasalahan di
dunia kesehatan hingga saat ini. Dalam situasi TB di dunia yang memburuk dengan
meningkatnya jumlah kasus TB dan pasien TB yang tidak berhasil disembuhkan terutama di 22
negara dengan beban TB paling tinggi di dunia, World Health Organization (WHO) melaporkan
dalam Global Tuberculosis Report 2011 terdapat perbaikan bermakna dalam pengendalian TB
dengan menurunnya angka penemuan kasus dan angka kematian akibat TB dalam dua dekade
terakhir ini. Insidens TB secara global dilaporkan menurun dengan laju 2,2% pada tahun 2010-2011. Walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti ini, beban global akibat TB masih tetap
besar. Diperkirakan pada tahun 2011 insidens kasus TB mencapai 8,7 juta (termasuk 1,1 juta
dengan koinfeksi HIV) dan 990 ribu orang meninggal karena TB. Secara global diperkirakan
insidens TB resisten obat adalah 3,7% kasus baru dan 20% kasus dengan riwayat pengobatan.
Sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi di negara berkembang.
(Depkes,2013)
Indonesia telah melakukan beberapa survei untuk mendapatkan data resistensi OAT.
Survei tersebut diantaranya dilakukan di Kabupaten Timika Papua pada tahun 2004,
menunjukkan data kasus MDR TB diantara kasus baru TB adalah sebesar 2 %; di Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2006, data kasus MDR TB diantara kasus baru TB adalah 1,9 % dan kasus
MDR TB pada TB yang pernah diobati sebelumnya adalah 17,1 %; di Kota Makasar pada tahun
6
Universitas Sumatera Utara
2007, data kasus MDR TB diantara kasus baru TB adalah sebesar 4,1 % dan pada TB yang
pernah diobati sebelumnya adalah 19,2 %. Hasil Survei terbaru yang dilakukan di Provinsi Jawa
Timur pada tahun 2010 menunjukkan angka 2% untuk kasus baru dan 9,7% untuk kasus
pengobatan ulang. Hasil penelitian Nofizar dkk. (2010) menyimpulkan sebanyak 92% pasien TB
MDR telah memiliki riwayat pengobatan TB lebih dari satu kali sebelumnya. Sebagian besar
kasus merupakan kasus kronik/gagal pengobatan kategori dua. Hasil penelitian Sihombing.
(2012) menyimpulkan dari 85 subyek penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan ditemukan
resistensi primer sebanyak 35 orang (41,18%), terdiri atas: monoresistensi primer sebanyak 18
orang (21,18%), poliresisten primer sebanyak 13 orang (15,29%), dan MDR primer sebanyak 4
orang (4,71%).
Meskipun Program Pengendalian TB Nasional telah berhasil mencapai target angka
penemuan dan angka kesembuhan, penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit dan
praktik swasta belum sesuai dengan strategi Directly Observed Treatment Short--course (DOTS)
dan penerapan standar pelayanan berdasar International Standards for Tuberculosis Care
(ISTC). Laporan hasil evaluasi Joint External TB Monitoring Mission (JEMM) 2011
menyebutkan, dari sekitar 1523 rumah sakit di Indonesia, hanya 38% yang melaksanakan
program DOTS. Berdasarkan laporan Subdit TB Depkes RI tahun 2009, proporsi putus obat pada
pasien TB paru kasus baru dengan hasil basil tahan asam (BTA) positif berkisar antara 0,6%-19,2% dengan angka putus obat tertinggi yaitu di provinsi Papua Barat; angka putus obat di
Jakarta pada tahun 2009 sebesar 5,7%.
Fakta menunjukkan bahwa TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
Indonesia, antara lain (Depkes,2013)
7
Universitas Sumatera Utara
•
Pada tahun 2011 Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-4 di dunia
setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Menurut WHO tahun 2015, Indonesia menduduki
peringkat kedua setelah India. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,7%
dari total jumlah pasien TB dunia, dengan setiap tahun ada 450.000 kasus baru dan
65.000 kematian. Penemuan kasus TB apusan dahak basil tahan asam (BTA) positif
sejumlah 19.797 pada tahun 2011.
•
•
Pada tahun 2009, prevalens HIV pada kelompok TB di Indonesia adalah sekitar 2,8%.
Prevalens TB resisten OAT ganda (multidrug resistance = MDR) di antara kasus TB baru
adalah sebesar 2%, dan di antara kasus pengobatan ulang adalah sebesar 12%, sesuai
laporan WHO tahun 2012.
•
Pada tahun 2005, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa
penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskular
dan penyakit saluran napas pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan
penyakit infeksi.
•
Hasil survei TB di Indonesia pada tahun 2004 menunjukkan bahwa prevalens TB dengan
apusan dahak BTA positif secara nasional adalah 110 per 100.000 penduduk.
WHO merekomendasi pemeriksaan uji resistensi rifampisin dan/atau isoniazid
terhadap kelompok pasien berikut ini pada saat mulai pengobatan:
•
Semua pasien dengan riwayat OAT TB resisten obat banyak didapatkan pada pasien
dengan riwayat gagal terapi.
•
Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif khususnya mereka yang tinggal di
daerah dengan prevalens sedang atau tinggi TB resisten obat.
•
Pasien dengan TB aktif setelah terpajan dengan pasien TB resisten obat.
8
Universitas Sumatera Utara
•
Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resisten obat primer >3%.
•
Pasien baru atau riwayat OAT dengan apusan dahak BTA tetap positif pada akhir fase
intensif maka sebaiknya melakukan apusan dahak BTA pada bulan berikutnya. Jika hasil
apusan BTA tersebut masih positif maka biakan M.tuberculosis dan uji resistensi obat
atau pemeriksaan Gen-Xpert MTB/RIF harus dilakukan.
Tabel 1. Laporan kasus TB tahun 2013.
Kasus baru
BTA positif
BTA negatif
BTA tidak jelas/
tidak dilakukan
Ekstrapulmonal
Lain lain
Total kasus baru
Total kasus baru dan
relaps
2.2.
197.797
101.750
(%)
(63)
(32)
14.054
(4)
Kasus pengobatan berulang
Relaps
5.348
Pengobatan setelah gagal 432
Pengobatan setelah putus 933
berobat
Lain-lain
994
313.601
Total pengobatan
kembali
7.707
318.949
Total kasus yang
dilaporkan
321.308
(%)
(69)
(6)
(12)
(13)
Kuman Tuberkulosis Paru
Basil tuberkulosis berukuran sangat kecil berbentuk batang tipis, agak bengkok,
bergranular, berpasangan yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop. M. tuberculosis
memiliki kekhasan tersendiri, karena bakteri tersebut hidup intraselular. Berukuran panjang 1-4
µm dan lebar 0,3-0,6 µm.1,2,5 dan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37°C dengan tingkat
pH optimal (6,4-7,0) membelah diri yang membutuhkan waktu 14-20 jam. Kuman tuberkulosis
terdiri dari lemak lebih dari 30% berat dinding kuman, asam stearat, asam mikolik, mycosides,
sulfolipid serta cord factor dan protein terdiri dari tuberkuloprotein/tuberculin. Kuman tidak
berspora dan tidak berkapsul. Pada pewarnaan Ziehl-Neilsen tampak kuman berwarna merah
dengan latar belakang berwarna biru. Kuman sulit diwarnai dengan cara Gram, tetapi bila
9
Universitas Sumatera Utara
berhasil maka hasilnya adalah gram positif. Pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron
memperlihatkan dinding sel yang tebal, mesosom yang mengandung. lemak. Besarnya
kandungan lemak memberikan sifat khas pada mikobakterium, yaitu tahan terhadap kekeringan,
alkohol, zat asam, alkali dan germisida tertentu. Menurut Barsdake dan Kim, sifat tahan asam
dari sel mikobakterium oleh adanya perangkap fuksin intrasel, suatu pertahanan yang dihasilkan
dari kompleks mikolat fuksin yang terbentuk di dinding (Hasan, 2010)
Gambar. 1 Bakteri Mycobacterium tuberculosis pada pengecatan Ziehl Neelsen
Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup dalam
keadaan dingin. Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini
kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan TB aktif lagi. Di dalam jaringan, kuman hidup
sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula
memfagositosis malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain
kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang
tinggi kandungan oksigennya.
Berdasarkan sifat metabolisme basil, terdapat 4 jenis populasi basil tuberkulosis, yaitu:
1. Populasi A, terdiri atas bakteri yang secara aktif berkembang biak dengan cepat, terdapat
pada dinding kavitas atau dalam lesi yang mempunyai pH netral.
10
Universitas Sumatera Utara
2. Populasi B, terdiri atas bakteri yang tumbuhnya sangat lambat dan berada dalam
lingkungan pH rendah, yang melindunginya terhadap obat anti-tuberkulosis tertentu.
3. Populasi C, terdiri atas bakteri yang berada dalam keadaan dormant hampir sepanjang
waktu, sehingga jarang mengadakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat.
4. Populasi D, terdiri atas bakteri yang sepenuhnya bersifat dormant sehingga sama sekali
tidak bisa dipengaruhi oleh obat-obat antituberkulosis (Hasan,2010)
Sumber penularan yang utama adalah penderita TB paru dengan BTA positif, yang
ditularkan melalui percikan dahak (droplet) yang mengandung basil TB pada saat batuk, bersin
maupun bicara (Miller, 2002). Orang lain akan tertular apabila droplet tersebut terhirup dan
masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan, dan dari paru ke bahagian tubuh lainnya
(extrapulmonar) melalui melalui bronchus (saluran napas), sistem peredaran darah, sistem
saluran limfe, atau percontinuitatum (melalui penyebaran langsung). Daya penularan dari
seseorang penderita ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut. Penderita TB paru yang dalam pemeriksaan dahak BTA (-), penderita tersebut
dianggap tidak menular (PDPI, 2011)
2.3. Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada
program tuberkulosis nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan
mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak
11
Universitas Sumatera Utara
selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis
(Depkes,2013)
A. Gejala klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal (gejala lokal sesuai
organ yang terlibat) dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratori.
1.Gejala respiratori
- batuk> 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup
berat tergantung dari luas lesi. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar.
2.Gejala sistemik
- Demam meriang lebih dari satu bulan
-Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam tanpa kegiatan fisik,
anoreksia dan berat badan menurun
Mengingat prevalensi tuberkulosis di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang
datang dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga (presumtif) tuberkulosis
dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
12
Universitas Sumatera Utara
Semua orang dengan batuk produktif dua sampai tiga minggu yang tidak dapat dijelaskan
sebaiknya dievaluasi untuk TB (Standar 1 International Standards for Tuberculosis Care )
3.
Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat
cairan.
B. Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru.Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama
daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada
pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum (PDPI,2011)
Defenisi pasien TB
•
Pasien TB berdasarkan konfirmasi hasil pemeriksaan bakteriologis.
Adalah seorang pasien TB yang hasil pemeriksaan spesimen dahaknya positif dengan
pemeriksaan mikroskopis, biakan atau diagnostik cepat yang dicatat tanpa memandang apakah
pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.
Termasuk dalam tipe pasien tersebut adalah :
Pasien TB paru BTA positif :
13
Universitas Sumatera Utara
1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) hasilnya BTA
positif.
2. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran
TB.
3. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
4.Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.
5.Pasien TB yang hasil pemeriksaan sediaan dahaknya positif dengan cara pemeriksaan
mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat (misalnya GenXpert)
Pasien TB paru BTA negatif :
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
2. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB.
3. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
4. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif
1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif →
Mikroskopik positif
Bila 3 kali negatif → Mikroskopik negatif
14
Universitas Sumatera Utara
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease)
•
Negatif, tidak ditemukan kuman BTA dalam 100 lapang pandang
•
Scanty: Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
•
1+: Ditemukan 10-99 kuman BTA dalam 100 lapang pandang
•
2+: Ditemukan 1-10 kuman BTA dalam 1 lapang pandang
•
3+: Ditemukan > 10 kuman BTA dalam 1 lapang pandang (PDPI,2011)
C. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas
indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat
memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmensuperior lobus bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:
•
Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
•
Penebalan pleura ( schwarte )
15
Universitas Sumatera Utara
•
Kalsifikasi
Pembagian secara radiologis ( Luas lesi )
•
Tuberkulosis minimal, yaitu terdapatnya sebagian kecil infiltrat non kavitas pada satu
paru maupun kedua paru, tapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
•
Moderate advanced tuberkulosis, yaitu adanya kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4
cm, jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya
kasar tidak lebih dari satu pertiga bagian satu paru.
•
Far advanced tuberkulosis, yaitu terdapatnya infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan
pada moderate advanced tuberculosis (Hasan,2010)
Gambar 2. Alur diagnosis TB Paru (sumber: Depkes,2013)
16
Universitas Sumatera Utara
Guna menghindari terjadinya over diagnosis dan situasi yang merugikan pasien,
pemberian pengobatan TB berdasarkan diagnosis klinis hanya dianjurkan pada pasien dengan
dengan pertimbangan sebagai berikut :
•
Keluhan, gejala dan kondisi klinis sangat kuat mendukung TB
•
Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan misal : pada TB meningen, TB milier,
pasien dengan HIV positif dsb.
•
Tindakan pengobatan untuk kepentingan pasien dan sebaiknya diberikan atas persetujuan
tertulis dari pasien atau yang diberi kuasa.
•
Apabila fasilitas memungkinkan, segera diupayakan pemeriksaan penunjang yang sesuai
misal : pemeriksaan biakan, pemeriksaan diagnostik cepat untuk memastikan diagnosis.
Semua orang dengan batuk produktif dua sampai tiga minggu yang tidak dapat dijelaskan
sebaiknya dievaluasi untuk TB (Standar 1 International Standards for Tuberculosis Care )
2.4. Multidrug Resistant Tuberkulosis (MDR TB)
Multidrug resistant tuberkulosis didefinisikan sebagai kasus tuberkulosis yang dinyatakan
resisten terhadap dua atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap Rifampicin dan Isoniazid
berdasarkan hasil uji kepekaan antimikroba. Penyebab utama terjadinya adalah man made
phenomenon. Dari sisi mikrobiologi, resistensi tersebut akibat mutasi genetik sehingga obat tidak
lagi efektif melawan kuman TB. Dari segi klinis dan program, penatalaksanaan yang tidak
adekuat dapat menyebabkan strain kuman yang resisten menjadi dominan.
Resistensi obat berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Pada pasien
dengan riwayat pengobatan sebelumnya, kemungkinan terjadi resistensi sebesar 4 kali lipat
sedangkan terjadinya TB-MDR sebesar 10 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan pasien yang
belum pernah diobati. Lebih lanjut, pasien TB-MDR sering tidak bergejala sebelumnya sehingga
17
Universitas Sumatera Utara
dapat menularkan penyakitnya sebelum ia menjadi sakit. Oleh karena itu, prevalensi TB-MDR
dapat 3 kali lebih besar dari insidensi sebenarnya yaitu mendekati atau melampaui 1 juta. Data
penelitian di RS Persahabatan tahun 1997 menunjukkan angka resisten terhadap rifampisin 1.6%,
INH 5.92%, dan streptomisin 2.1%.
Resisten TB secara klinis dibagi atas dua jenis, yaitu primer dan sekunder. Resisten
primer terjadi pada pasien yang belum pernah menggunakan OAT. Resisten sekunder adalah
resisten yang terjadi pada pasien yang pernah menggunakan OAT minimal 4 minggu atau lebih.
Resisten inisial adalah bila tidak diketahui pasti apakah sudah ada riwayat pengobatan OAT
sebelumnya. Resisten inisial digunakan oleh WHO untuk kasus yang belum jelas apakah pasien
sudah pernah mendapat OAT. Resisten inisial mencerminkan kualitas dan efikasi program
pengobatan TB dan angka resisten inisial tinggi menunjukkan buruknya program pengobatan TB
(PDPI,2011)
Secara bakteriologis suatu populasi Mycobacterium tuberculosis (M.Tb) dikatakan
resisten jika 1% atau lebih kuman pada suatu populasi resisten terhadap obat dengan konsentrasi
yang dianjurkan. Faktor-faktor risiko pada kelompok tertentu untuk yang dicurigai sebagai TBMDR dan dilakukan uji resistensi adalah:
1.
Gagal Kategori 2/ Kasus kronik dibuktikan dengan rekam medis sebelumnya
2.
Dahak tetap postif setelah bulan ke-3 pengobatan kategori 2 dibuktikan dengan register TB
atau rekam medik
3.
Pasien yang pernah diobati, termasuk pemakaian OAT lini kedua seperti kuinolon dan
kanamisin
4.
Pasien gagal pengobatan denga OAT lini pertama (kategori 1)
18
Universitas Sumatera Utara
5.
Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah bulan ke-3 pengobatan dengan
OAT lini pertama (kategori 1)
6.
Kasus TB kambuh
7.
Pasien yang kembali setelah lalai/default (setelah pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2)
8.
Suspek TB dengan keluhan yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi,
termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR
9.
TB dengan komorbid HIV - AIDS
Kasus MDR-TB memerlukan pengobatan yang sangat lama bahkan bisa 24 bulan dengan
obat yang lebih mahal namun aktivitas antimikroba yang lebih lemah daripada rifampisin dan
INH. Tingkat keberhasilan pengobatan MDR-TB sampai saat ini pun masih rendah. Kegagalan
terapi TB dengan resisten akan menyebabkan rantai penularan kuman resisten terus terjadi
terhadap orang disekitarnya dan meningkatkan terjadinya resisten primer (Hasan,2010)
Gambar 3. Mekanisme terjadinya MDR TB (sumber: Sujay, 2015)
19
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. Alur Diagnosis MDR TB (sumber: Depkes,2013)
Tinjauan biologis tuberkulosis resisten obat
Kini dipahami bahwa terjadinya resisten juga berhubungan dengan gen tertentu. Kuman
yang resisten timbul karena terjadi perubahan kode genetik pada kuman secara spontan (mutasi).
Makin banyak jumlah kuman makin besar kemungkinan timbul mutasi. Mutasi ini tidak
berhubungan (unlinked) dan terjadi pada frekuensi yang rendah sekitar 1/106-1/108 replikasi.
Penggunaan lebih dari satu macam obat dapat mencegah resisten obat melalui suatu mekanisme
tertentu karena mutasi yang terjadi tidak berhubungan. Resisten terhadap obat INH dapat
20
Universitas Sumatera Utara
dibunuh dengan rifampisin dan resisten mutasi rifampisin dapat dibunuh dengan obat INH
(Mirsyam, 2015)
Genom pada kebanyakan spesies mikobakteria mengandung elemen DN repetitif. Gen
M.Tuberculosis kompleks yaitu 1S6110 dan M.paratuberculosis 1S900 metode
DNA
sequencing-based untuk mendeteksi mutasi gen obat resisten. Elemen yang sifatnya spesifik
untuk spesies tertentu ini digunakan sebagai pelacak hibridisasi dan target amplifikasi DNA
untuk mendeteksi dan identifikasi mikobakteria di dalam spesimen.
Tabel 2. Gen yang berperan pada resisten terhadap OAT
Obat antituberkulosis
Mutasi gen
% mutasi
Produksi gen
Isoniazid
KatG
40-60%
Katalase-peroksidase
Isoniazid-etionamid
inhA
15-43%
Analog reduktase
Isoniazid
ahpC
10%
Reduktase
hydroperoksidase
Isoniazid
kasA
Tidak diketahui
Sintesis
protein
carrier
Rifampisin
rpoB
>96%
Polimerase RNA
Pirazinamid
pncA
72-97%
Pirazinamidase
Etambutol
embB
47-65%
Arabinosil tranferase
Streptomisin
rpsL
70%
Protein
robosomal
S12
Streptomisin
Rrs
70%
165 rRNA
Fluorokuinolon
GyrA
75-94%
Subunit
girase
A
DNA
21
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme imunologis tuberkulosis resisten obat
Sistem imun adaptif terhadap M. tuberculosis terutama mengandalkan sel T CD4.
Peranan sel T CD 4 yang menghasilkan sitokin interferon gamma (IFN-γ) terhadap kejadian
resistensi primer tuberkulosis telah berhasil diidentifikasi. Meski demikian, sel T CD8 juga
memainkan peranan penting dalam pengendalian TB MDR, hal ini dibuktikan dengan keadaan
dimana terjadi penurunan jumlah sel T CD8, ternyata penderita memiliki kerentanan yang lebih
tinggi terhadap tuberkulosis. Efek mikobakterisidal dari sel T yang menghasilkan IFN-γ
melibatkan produksi nitrit oksida dan berbagai radikal reactive oxygen (Pinheiro, 2008).
Sebagaimana telah dibuktikan pada studi terhadap mencit, IFN-γ memainkan peranan
penting dalam proteksi TB. Hal ini dikuatkan dengan fakta dari beberapa penelitian yang
menyatakan bahwa adanya mutasi pada gen yang menyandi IFN-γ reseptor, IL-12 dan
reseptornya dan gen STAT-1 akan meningkatkan kerentanan seseorang mengalami infeksi
tuberkulosis.
Berbagai studi mencoba mengidentifikasi peran ESAT-6 (Early secreted antigenic target
6 kDa) sebagai antigen mikobakteri yang menentukan produksi IFN-γ dari sel limfosit T. Studi
tersebut menemukan bawa pasien MDR TB memperlihatkan kadar IFN-γ yang lebih rendah dan
meningkat jauh lebih lambat dibandingkan dengan TB biasa, baik sebelum maupun sesudah
pengobatan. (Pinheiro, 2008).
Sitokin penting lainnya yang turut terlibat adalah TNFα. Telah terbukti bahwa pasien
yang diterapi dengan antagonis TNFα ternyata lebih rentan mengalami infeksi tuberkulosis yang
mana ini berarti TNFα penting dalam pertahanan seluler terhadap pathogen intrasel. (Pinheiro,
2008). Studi lain menemukan juga fakta bahwa pada pasien MDR TB ternyata respons terhadap
keberadaan TNFα sangat jauh menurun dibandingkan dengan kasus TB biasa. Hal ini
22
Universitas Sumatera Utara
dikarenakan adanya IL-10 yang beredar dan menghambat akitivitas TNFα. Studi yang senada
juga menemukan fakta tambahan bahwa ternyata pada pasien MDR TB, sel T mengalami
polarisasi lebih cenderung ke arah Th2 (Sujay,2015)
Meskipun hasil penelitian sangat beragam terhadap peranan dikotomi Th1 (IFN-γ) dan
Th2 (IL4 dan IL10) sebagai faktor yang bertanggung jawab dengan resistensi atau suseptibilitas
TB terhadap OAT, tentunya masih diperlukan lebih banyak studi lagi untuk benar benar
memahami respons imun pada kasus MDR TB.
Gaffner (2009) melakukan penelitian yang menyatakan data bahwa strain kuman M.Tb
yang berbeda beda akan menginduksi reaksi imun yang berbeda juga. M.Tb strain M akan
menghasilkan respon IFN-γ yang lemah dibandingkan dengan strain N. Akan tetapi strain M
akan menginduksi kadar IL-4 yang paling tinggi dari sel T CD4 dan CD8 pada pasien MDR TB,
meskipun aktivitas limfosit T sitotoksik sangat rendah.
2.5. GenXpert MTB/RIF
GenXpert MTB/RIF adalah suatu alat uji yang menggunakan catridge berdasarkan
Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) secara automatis untuk mendeteksi kasus TB dan
resistensi rifampisin, cocok untuk negara endemis (WHO, 2013) dan dapat dilakukan walaupun
sampel sputum hanya 1 ml (Hakeem et al, 2013). Uji konvensional untuk mendiagnosa TB
resisten OAT yang mengandalkan kultur bakteri dan uji kepekaan obat yang telah lama
digunakan merupakan proses yang lama dan tidak praktis. Pada saat ada kemungkinan pasien
menerima pengobatan yang tidak tepat, strain M. tuberculosis yang resisten obat dapat menyebar
dan resistensi dapat menjadi lebih luas (WHO, 2013).
23
Universitas Sumatera Utara
Meskipun metode molekuler yang telah ada sebelumnya untuk mendiagnosa TB resisten
OAT, tetapi alat uji yang ada seperti PCR konvensional atau LPA, memakai metode yang terlalu
rumit untuk selalu dilakukan di negara berkembang. Sampel yang selalu diproses dan DNA
yang diekstraksi menambah kesulitan untuk dilakukan karena sumber daya manusia kurang.
GenXpert, suatu perangkat platform, yang diluncurkan oleh Cepheid pada tahun 2004 dan
menyederhanakan uji molekuler yang terintegrasi dan automatis dengan 3 proses (persiapan
sampel, amplifikasi, dan deteksi) berdasarkan real time PCR (WHO, 2013). Uji Xpert MTB/RIF
dikembangkan oleh Foundation for Inovative New Diagnostic (FIND),Chepeid, University of
Medicine and Dentistry of New Jersey yang dipimpin oleh David Alland (Boulware et al, 2013;
WHO, 2013) dengan pembiayaan dari National Institutes of Health (NIH) Amerika Serikat dan
the Bill andMelinda Gates Foundation. GenXpert sebagai alat uji diagnostik TB dan resistensi
rifampisin terus mengalami perkembangan
Teknologi yang didukung oleh WHO ini, pada 30 Juni 2013 total 3,2 juta catridge dan
1402 mesin GenXpert (yang terdiri dari 7533 modul mesin) telah digunakan pada 88 negara dari
145 negara yang memenuhi syarat untuk memperoleh mesin dan catridge dengan harga yang
lebih murah (Boulware, 2013; WHO, 2013). World Health Organization merekomendasikan
pemakaian GenXpert (Cepheid) untuk mengevaluasi pasien tersangka MDR TB dan pasien
dengan BTA negatif (Boehme et al, 2010; WHO 2013)
Sistem GenXpert terdiri dari alat GenXpert, komputer dan disposible catridge (Boehme,
2009). Alat ini membersihkan, mengkonsentrasi dan mengamplifikasi (dengan cepat, real time
PCR) dan mengidentifikasi target asam nukleat dalam gen M. tuberculosis dan memberikan hasil
dari sampel sputum yang tidak perlu diproses hanya dalam waktu kurang lebih 2 jam, dengan
minimal penggunaan tangan. GenXpertMTB/RIF menggunakan catridge yang berisi semua
24
Universitas Sumatera Utara
elemen yang dibutuhkan untuk reaksi, termasuk reagen lyophilized, liquid buffer serta wash
solution (WHO, 2013) dan bekerja dengan cara menangkap bakteri setelah proses pencucian
kemudian DNA bebas dan masuk ke chamber pembuangan (Boehme, 2009).
GenXpert MTB/RIF dirancang dengan sistem tertutup untuk mengurangi atau
mengeliminasi resiko kontaminasi amplikon. Sekali tertutup, catridge jangan pernah dibuka
kembali (Boehme, 2009) oleh karena itu sebaiknya tidak membuka catridge jika belum siap
untuk memulai pemeriksaan GenXpert MTB/RIF (Halilu et al, 2014). Masing-masing instrumen
GenXpert berisi 4 modul yang dapat diakses secara individu. Ukuran instrumen yang lain berisi
antara 1-72 modul. Masing-masing modul terdiri dari jarum suntik untuk mengambil atau
mengeluarkan cairan, sebuah ultrasonik untuk melisiskan sel, sebuah thermocycler, dan optical
sign untuk mendeteksi komponen. Single usecatridge berisi a) chamber untuk menyimpan
sampel dan reagen, b) valvebody berisi sebuah plunger dan syringe barrel, c) sebuah sistem
rotary valve untuk mengendalikan pergerakan diantara chamber, d) sebuah ruang untuk
menangkap, menyatukan, mencuci, dan melisis sel, e) reagen lyophilizeeal-time PCR dan buffer
pencuci dan f) tabung reaksi PCR yang terintegrasi yang secara automatis diisi instrumen
(Boehme, 2009).
Uji GenXpert MTB/RIF berdasarkan prinsip multipleks, semi-nested quantitative realtime PCR dengan amplifikasi gen target rpoB (Boehme,2009; Blakemore et al, 2010; WHO,
2011; Calligaro et al, 2014) dan untuk meningkatkan sensitivitas, GenXpert MTB/RIF
menggunakan molecular beacon dengan target gen rpoB (Boehme, 2009; Blakemore et al, 2010;
Calligaro et al, 2014). GenXpert mendeteksi 81 bp core region dari gen rpoB yang dikode oleh
lokasi aktif enzim (Lawn dan Nicol, 2011; Marlow et al,2011). Core region rpoB terletak di
samping M. tuberculosis urutan DNA spesifik. Oleh karena itu, sangat memungkinkan untuk
25
Universitas Sumatera Utara
mendeteksi M.tuberculosis dan resistensi rifampisin secara bersamaan dengan menggunakan
teknologi PCR (Lawn dan Nicol, 2011).
Molecular beacon merupakan urutan oligonukleotida yang berisi urutan probe yang
terdapat diantara dua tangkai urutan DNA. Molecular beacon digunakan untuk mendeteksi
keberadaan M. tuberculosis dan mendiagnosa resistensi rifampisin sebagai tanda pengganti
untuk TB MDR secara bersamaan (Boehme, 2009). Molecular beacon menggunakan fluorophor
dan quencher untuk mendeteksi hibridisasi pada masing-masing dari lima region target
amplifikasi gen (WHO 2011). Salah satu dari molecular beacon probes dibuat untuk mendeteksi
DNA pada sampel kontrol Bacillus globigi (Boehme, 2009; WHO, 2011), suatu organisme tanah
yang berspora, bertindak sebagai penguji kualitas untuk perangkap bakteri, lisis bakteri, ekstraksi
DNA, amplifikasi dan deteksi probe (WHO, 2011). Lima molecular beacon lainnya dibuat untuk
hibridisasi pada region core rpoB amplikon (Boehme,2009).
Prosedur Pemakaian GenXpert
Pemakaian GenXpert secara manual sangat mudah: buffer ditambahkan pada sampel
sputum dengan perbandingan volume yang telah ditentukan (2:1), masukkan sampel ke dalam
catridge chamber kemudian catridge dimasukkan ke dalam GenXpert. Setelah itu, semua proses
yang terjadi adalah secara automatis: GenXpert pada awalnya menangkap organisme M.
tuberculosis dari sampel sputum pada filter membran. Inhibitor mencuci sel organisme yang
ditangkap dengan buffer kemudian dilisiskan dengan sumber energi ultrasonik dan DNA yang
terlepas dielusi (dialirkan) melalui saringan membran. Solusi DNA akhirnya dicampur dengan
reagen PCR kering kemudian dipindahkan ke dalam tabung PCR untuk real-time PCR dan
dideteksi. Hasilnya dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 2 jam. Adanya semua lima sinyal
26
Universitas Sumatera Utara
fluoresensi menunjukkan rifampisin sensitif terhadap DNA M. tuberculosis. Jika 2-<5 sinyal
fluoresensi diindikasikan bahwa M. tuberculosis resisten rifampisin. Jika sinyal fluoresensi tidak
ada atau hanya 1 mengindikasikan tidak adanya DNA M. tuberculosis (Boehme,2009).
Gambar 5. Prosedur Pemeriksaan GenXpert Mtb/Rif (Sumber: Boehme, 2009)
Sensitivitas GenXpert MTB/RIF lebih baik daripada pemeriksaan mikroskopis (WHO,
2013a; Hakeem et al, 2013) dan sensitivitasnya sama dengan kultur media padat (WHO, 2013a).
Hal ini dibuktikan pada saat sesudah dilakukan penyempurnaan pada Xpert kemudian dilakukan
validasi klinis pada pasien di daerah Afrika Selatan, India, Peru, Jerman dan Azerbaijan. Ada
sekitar 4.500 spesimen sputum dari 1.500 suspek TB. Hasilnya Xpert mempunyai spesifisitas
dan sensitivitas tinggi untuk mendeteksi DNA
M.tuberculosis pada hampir semua apusan
sputum positif dan kultur positif. Sedangkan resisten rifampisin dideteksi dengan akurasi yang
tinggi (Boehme, 2009).
Uji GenXpert MTB/RIF merupakan uji diagnostik TB yang memiliki banyak kelebihan
diantaranya: mudah dipakai, mengurangi pemakaian biosafety cabinet, hasil diperoleh lebih
27
Universitas Sumatera Utara
cepat yaitu kurang lebih 2 jam, dan tidak memerlukan tenaga ahli khusus untuk melakukannya.
Tetapi GenXpertMTB/RIF juga memiliki keterbatasan, diantaranya yaitu: adanya batasan masa
pakai catridge, suhu pengoperasian/ kelembaban (Boehme, 2009; VanRie et al, 2010; Evans,
2011; Trébucq et al, 2011) dibawah 300C sehingga di negara tropis membutuhkan penyejuk
udara yang tetap menyala, biaya mahal (Van Rie et al, 2010; Trébucq et al, 2011), ketersediaan
aliran listrik, dan memerlukan perawatan tahunan serta kalibrasi tiap mesin (Van Rie et al, 2010;
Evans, 2011; Trébucq et al, 2011).
2.6. Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap OAT. M.tuberculosis merupakan kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan
kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan
dengan satu obat.Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah
dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelah yang dimiliki
mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan penemuan obat
antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat dibandingkan antibakteri lain (Istiantoro dan
Setiabudy, 2007).
28
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3. Jenis OAT
Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu
kelompok pertama dan kelompok kedua. Kelompok obat pertama yaitu rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, etambutol dan streptomisin. Kelompok obat ini memperlihatkan efektivitas yang
tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. (Depkes RI, 2013)
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap
intensif atau awal pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk
mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian
besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien
mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan
penting untuk membunuh kuman sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Paduan obat anti
tuberkulosis yang digunakan oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis di Indonesia
dibagi dalam dua kategori.
29
Universitas Sumatera Utara
1. Kategori satu
Kategori satu diobati dengan kombinasi 2(HRZE)/4(HR)3. Tahap intensif terdiri dari
HRZE diberikan setiap hari selama dua bulan, kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang
terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama empat bulan.
Pasien yang termasuk kategori satu yaitu pasien baru tuberkulosis paru dengan hasil uji BTA
positif, pasien tuberkulosis paru dengan hasil uji BTA negatif tetapi hasil foto toraks positif dan
pasien tuberkulosis ekstra paru.
Tabel 4. Dosis kategori satu
2. Kategori dua
Kategori dua diobati dengan kombinasi 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)3. Tahap intensif
diberikan selama tiga bulan, yang terdiri dari dua bulan dengan HRZES setiap hari, dilanjutkan 1
bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan
dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Paduan obat antituberkulosis ini
diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya yaitu pasien kambuh, pasien
gagal, pasien dengan pengobatan setelah default (terputus).
30
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5. Dosis kategori dua
Pengobatan MDR TB
WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi dan
efikasinya, sebagai berikut (World Health Organization, 2013) :
1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat ditoleransi dengan
baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan dan digunakan dalam dosis maksimal.
2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergi digunakan
kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah kuman dibuktikan rendah
melalui hasil kultur negatif
3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bakterisidal tinggi, misal levofloksasin. Semua pasien yang
sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam regimennya
4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid), ethionamid, dan
sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obat-obat oral lini pertama dan
kuinolon.
5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat, dan makrolid
baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis
pada pasien MDR TB masih minimal.
31
Universitas Sumatera Utara
Tabel 6. Jenis OAT MDR TB
Tabel 7. Dosis OAT MDR TB
32
Universitas Sumatera Utara
Menurut WHO guidelines 2008 membuat pentahapan sebagai berikut:
Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih menunjukkan efikasi
Tahap 2 : tambahkan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi berdasarkan
hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan
Tahap 3 : tambahkan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan fluorokuinolon
Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari obat golongan
4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang mungkin efektif
Tahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari golongan 5
(melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR) apabila dirasakan belum ada 4 obat
yang efektif dari golongan 1 sampai 4.
Gambar 6. Mekanisme Kerja Obat MDR TB (Sumber: WHO,2013)
Prinsip dasar pengobatan MDR TB (WHO,2013):
(1) Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita.
(2) Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan obat lini
kedua yang berada di area / negara tersebut.
(3) Regimen minimal terdiri 4 obat yang jelas diketahui efektifitasnya.
(4) Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan.
33
Universitas Sumatera Utara
(5) Obat diberikan sekurang-kurangnya 6 hari dalam seminggu, apabila mungkin etambutol,
pirazinamid, dan fluoro kuinolon diberikan setiap hari oleh karena konsentrasi dalam serum
yang tinggi memberikan efikasi.
(6) Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi.
(7) Apabila terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak
memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh
(8) Pirazinamid dapat digunakan dalam keseluruhan pengobatan apabila dipertimbangkan efektif.
Sebagian besar penderita MDR TB memiliki peradangan kronik di parunya, dimana secara
teoritis menghasilkan suasana asam dan pirazinamid bekerja aktif.
(9) Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilan
Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap lanjutan.
Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan TB bukan MDR, yaitu
sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat obat anti tuberkulosis lini kedua
minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap
lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal.
Evaluasi pada pasien MDR TB adalah: (1) penilaian klinis termasuk berat badan, (2) penilaian
segera bila ada efek samping, (3) pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2
bulan pada fase lanjutan, (4) pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi
biakan, (5) uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan
pengobatan, (6) Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan
(Kanamisin dan Kapreomisin), (7) pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada
tanda-tanda hipotiroid
Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:
Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:
1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah
sebagai berikut:
Cm – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
34
Universitas Sumatera Utara
2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar adalah sebagai
berikut:
Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR) maka
paduan standar adalah sebagai berikut:
Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR secara
laboratoris. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama paling sedikit 6
bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan
OAT oral tanpa suntikan. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi
konversi biakan. Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan (WHO,2013)
2.7. Hematopoiesis
Hematopoiesis ialah proses pembentukan darah. Pada orang dewasa dalam keadaan
fisiologik semua hematopoesis terjadi pada sumsum tulang. Untuk kelangsungan hemopoesis
diperlukan :
1. Sel induk hemopoetik (hematopoietic stem cell)
Sel induk hemopoetik ialah sel-sel yang akan berkembang menjadi sel-sel darah, termasuk
eritrosit, leukosit, trombosit, dan beberapa sel dalam sumsum tulang seperti fibroblast. Sel induk
yang paling primitif sebagai pluripotent (totipotent) stem cell.
Sel induk pluripotent mempunyai sifat :
a. Self renewal : kemampuan memperbarui diri sendiri sehingga tidak akan pernah habis
meskipun terus membelah;
b. Proliferative : kemampuan membelah atau memperbanyak diri;
c. Diferensiatif : kemampuan untuk mematangkan diri menjadi sel dengan fungsi tertentu.
35
Universitas Sumatera Utara
Menurut sifat kemampuan diferensiasinya maka sel induk hemopoetik dapat dibagi menjadi :
a. Pluripotent (totipotent)stem cell : sel induk yang mempunyai yang mempunyai kemampuan
untuk menurunkan seluruh jenis sel-sel darah.
b. Committeed stem cell : sel induk yang mempunyai komitmet untuk berdiferensiasi melalui
salah satu garis turunan sel (cell line). Sel induk yang termasuk golongan ini ialah sel induk
myeloid dan sel induk limfoid.
c. Oligopotent stem cell : sel induk yang dapat berdiferensiasi menjadi hanya beberapa jenis sel.
Misalnya CFU-GM (colony forming unit-granulocytelmonocyte) yang dapat berkembang hanya
menjadi sel-sel granulosit dan sel-sel monosit.
d. Unipotent stem cell : sel induk yang hanya mampu berkembang menjadi satu jenis sel saja.
Contoh CFU-E (colony forming unit-erythrocyte) hanya dapat menjadi eritrosit, CFU-G (colony
forming unit-granulocyte) hanya mampu berkembang menjadi granulosit. (Dave ,2008)
36
Universitas Sumatera Utara
Gambar 7. Proses Hematopoesis (sumber: clinical medicine,2008)
Sel Darah Putih (leukosit)
Berbeda dengan sel darah merah, sel darah putih memiliki bentuk yang tidak tetap atau
bersifat amuboid dan mempunyai inti sel. Setiap satu milimeter kubik darah mengandung sekitar
8.000 sel darah putih. Fungsi utama sel darah putih adalah membentuk antibodi. Peningkatan
jumlah leukosit merupakan petunjuk adanya infeksi. Jika jumlah leukosit sampai di bawah 6.000
37
Universitas Sumatera Utara
sel per cc darah, maka disebut sebagai kondisi leukopeni. Jika jumlah leukosit melebihi normal
(di atas 9.000 sel per cc), maka disebut leukositosis.Berdasarkan ada atau tidaknya butir-butir
kasar (granula) dalam sitoplasma, leukosit dapat dibedakan menjadi granulosit dan agranulosit..
Leukosit jenis granulosit terdiri atas eosinofil, basofil, dan netrofil. Agranulosit terdiri atas
limfosit dan monosit.
Gambar 8. Jenis sel darah putih.(sumber:Amaylia,2008)
2.7.1. Neutrofil
Sel ini merupakan 60 -70 % dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um, satu
inti dan 2-5 lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik (0,3-0,8um)
mendekati batas resolusi optik, berwarna salmon pinkoleh . Neutrofil memiliki jumlah terbanyak
di dalam darah yaitu 4.000-10.000 mm3.
38
Universitas Sumatera Utara
Adapun morfologi terdiri dari :
a. Neutrofil batang :

Ukuran rata-rata 12 μm, sitoplasma tidak berwarna penuh dengan granula-granula
yang sangat kecil dan berwarna coklat kemerahan sampai merah muda. Kira-kira
2/3nya merupakan granula spesifik sedangkan yang 1/3nya merupakan granula
azurofilik (merah biru-ungu). Nukleus lebih tebal, berbentuk huruf U dengan
kromatin kasar dan rongga parakromatin yang agak jelas batasnya. Jumlahnya 06% dari leukosit total (0-0,7×109/L).
b. Neutrofil segmen

Ukuran rata-rata 12 μm,sitoplasma dan granula sama dengan neutrofil batang.
Nukleus gelap, berbentuk seperti huruf E, Z, atau S yang terpisah menjadi
segmen/lobus yang dihubungkan oleh filamen-filamen yang halus. Banyaknya
lobus pada neutrofil normal berkisar antara 2-5 lobus, dengan rata-rata tiga lobus.
Jumlahnya 54-68% dari leukosit total (1,3-7,0×109/L).
Granul pada neutrofil terdiri dari Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan
peroksidase, dan granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal
(protein Kationik) yang dinamakan fagositin. Adanya asam amino D oksidase dalam granula
azurofilik penting dalam dinding sel bakteri yang mengandung asam amino. Selama proses
fagositosis dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan
dengan peroksida dan halida bekerja pada molekul tirosin dinding sel bakteri dan
menghancurkannya. Dibawah pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin toksin streptokokus
membran granula-granula neutrofil pecah, mengakibatkan proses pembengkakan diikuti oleh
aglutulasi organel-organel dan destruksi neutrofil. Neutrofil mempunyai metabolisme yang
39
Universitas Sumatera Utara
sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob maupun anaerob. Kemampuan
neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena dapat
membunuh
bakteri
dan
membantu
membersihkan
debris
pada
jaringan
nekrotik.
(Vermeulen,1996)
2.7.2 Limfosit
Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8 um, 20-30% leukosit darah. Normal,
inti relatif besar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, anak inti baru terlihat
dengan electron mikroskop. Sitoplasma sedikit sekali, sedikit basofilik, mengandung granulagranula azurofilik. Yang berwarna ungu dengan Romonovsky mengandung ribosom bebas dan
poliribisom. Klasifikasi lainnya dari limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler
khusus pada permukaan membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptor
seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Sel limfosit besar yang
berada dalam kelenjar getah bening dan akan tampak dalam darah dalam keadaan patologis,
pada sel limfosit besar ini inti vasikuler dengan anak inti yang jelas.
Limfosit yang bersikulasi terutama berasal dari timus dan organ limfoid perifer, limpa,
limfonodus, tonsil dan sebagainya. Akan tetapi mungkin semua sel pregenitor limfosit berasal
dari sum-sum tulang, beberapa diantara limfositnya secara relatif tidak mengalami diferensiasi
ini bermigrasi ke timus, lalu memperbanyak diri, disini sel limfosit ini memperoleh sifat limfosit
T, kemudian dapat masuk kembali kedalam aliran darah, kembali kedalam sum-sum tulang atau
ke organ limfoid perifer dan dapat hidup beberapa bulan atau tahun. Sel-sel T bertanggung jawab
terhadap reaksi imun seluler dan mempunyai reseptor permukaan yang spesifik untuk mengenal
antigen asing. Limfosit lain tetap diam disum-sum tulang berdiferensiasi menjadi limfosit B
berdiam dan berkembang didalam kompartemennya sendiri. Sel B bertugas untuk memproduksi
40
Universitas Sumatera Utara
antibodi humoral antibody yang beredar dalam peredaran darah dan mengikat secara khusus
dengan antigen asing menyebabkan kompleks ini mempertinggi fagositosis, lisis sel dan sel
pembunuh (Natural Killer) dari organisme yang menyerang. Sel T dan sel B secara morfologis
hanya dapat dibedakan ketika diaktifkan oleh antigen. Tahap akhir dari diferensiasi sel-sel B
yang diaktifkan berwujud sebagai sel plasma. Sel plasma mempunyai retikulum endoplasma
kasar yang luas penuh dengan molekul-molekul antibodi (Crevel,2002)
2.8. Imunopatogenesa TB Paru
Pada tahun 1882 Robert Koch mengidentifikasi Mycobacterium tuberculosis sebagai
bakteri penyebab tuberkulosis dan pertama sekali dipahami bahwa keberhasilan pengobatan TB
tergantung kepada kekuatan respon imun penderita. Sekarang dimengerti peranan dari leukosit
dan sitokin-sitokin yang disekresikan yang mendasari keseimbangan antara strategi yang
digunakan terhadap M.tuberculosis terhadap pertahanan penjamu dan upaya dari penjamu untuk
membunuh kuman tersebut (Dheda,2010)
Infeksi M.tuberculosis dimulai dengan fagositosis basil oleh fagositosik sel-sel antigen
penyaji di paru termasuk alveolar makrofag dan sel dendrit. Bagian mikroba yang spesifik yang
dikenal oleh sistem imun tubuh sebagai pathogen associated molecular pattern (PAMP) oleh
spesifik
pathogen
recognition
receptors
(PRRs)
terutama
untuk
memulai
dan
mengkoordinasikan respon imun spesifik penjamu. M.tuberculosis diinternalisasikan melalui
reseptor yang berbeda dan penjalanan penyakit yang berbeda. Komponen M.tuberculosis dikenal
oleh reseptor penjamu termasuk Toll-like receptors (TLRs), nucleotide-binding oligomerization
domain (NOD-) like receptors (NLRs) dan C-type lectin. Reseptor C-type lectin termasuk
mannose receptor (CD207), dendritic cell-specific intercellular adhesion molecule grabbing
41
Universitas Sumatera Utara
nonintegrin (DC-SIGN) dan Dectin-1.Reseptor potensial lainnya termasuk reseptor komplemen,
scavenger receptors, reseptor surfactant protein A (Sp-A) dan reseptor kolesterol. Beberapa
reseptor ini (misalnya TLRs) diekspresikan baik pada sel-sel imun (seperti makrofag, sel dendrit,
sel B, sel T jenis spesifik) maupun sel-sel nonimun ( fibroblast dan sel-sel epitelial).
Interaksi M.tuberculosis dengan TLRs memulai kaskade signal intraselular yang
meningkat pada respon inflamasi (menguntungkan pejamu), namun demikian bakteri juga
mengubah strategi yang dapat memicu signal yang mengurangi dan memodulasi respon imun
nonspesifik (yang menguntungkan patogen). Berbagai ikatan membrane PRRs (CD207, DCSIGN, dan Dectin-1) berkonstribusi untuk menyampaikan signal inflamasi sitosol PRRs (seperti
Nod-like receptor) memodulasi penjamu mengenal patogen. Reseptor TLR yang terlibat
terutama TLR2 dan TLR4, dengan komponen M.tuberculosis adalah peristiwa tahap awal
terhadap reaksi patogen dengan sel-sel penjamu dan signal TLR terutama pada imun nonspesifik
selama terjadinya infeksi M.tuberculosis. Polimorfisme TLR mengatur respon imun non spesifik
terhadap lipopeptida mikobakterium dan secara klinis rentan terhadap patogen. Pada
umumnya,signal ditimbulkan oleh interaksi TLRs dengan ligands pada M.tuberculosis
menginduksi aktivasi proinflamasi dan respon non spesifik antimikroba. Interaksi dari ligan
M.tuberkulosis dengan TLRs pada akhirnya mengaktivasi dari nuclear transcription factor (NF)kB dan memproduksi sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF-α), interleukin
(IL)-1, IL-12, kemokin dan nitrat oksida baik melalui myeloid differentiation primary respon
protein 88 (MyD88) dependen maupun MyD88 jalur independen. Restriksi TLR-yang
menginduksi signal proinflamasi penting untuk mencegah risiko produksi inflamasi yang
berlebihan yang akan merusak jaringan penjamu. Lipoprotein 19kDa M.tuberculosis adalah
agonis TLRs memodulasi imun non spesifik dan fungsi antigen presenting cell (APC). Penelitian
42
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa signal TLR2 yang berkepanjangan oleh M.tuberculosis menginhibisi
ekspresi major histocompability comples II (MHC-II) dan pengolahan antigen oleh makrofag.
Dengan demikian, subset makrofag yang terinfeksi dan penurunan fungsi APC tidak dapat
mempresentasikan antigen M.tuberculosis pada sel T CD4+ mengakibatkan penurunan aktivitas
sel T efektor menyebabkan bakteri tetap hidup dan persisten. Inhibisi respon makrofag terhadap
M.tuberculosis yang menimbulkan infeksi dan selanjutnya ketahanan hidup M.tuberculosis di
dalam makrofag .ManLAM
berdampak pada maturisasi fagolisosom. (Crevel,2002;
Lyadova,2007)
Gambar 9. Fagositosis dan rekognisi M.Tb (sumber: Clark,2009)
Sitokin
Sitokin merupakan messenger kimia atau perantara dalam komunikasi interselular yang sangat
poten, disusun oleh suatu peptida atau glikoprotein yang terutama disekresi oleh sel makrofag,
sel limfosit T helper dan sel endotel ke ekstraseluler serta mempunyai efek pada sel yang sama
(aktiviti otokrin) atau pada sel yang lain (aktiviti parakrin). Sitokin bekerja dengan mengikat
reseptor membran spesifik, yang kemudian membawa sinyal ke sel melalui second messenger
43
Universitas Sumatera Utara
(tirosin kinase), untuk mengubah aktivitasnya (ekspresi gen).Sitokin tidak spesifik untuk
penyakit tertentu, maka kenaikan kadar suatu sitokin bisa terjadi pada berbagai keadaan patologi.
Sitokin pro inflamatorik terhadap infeksi M.tuberculosis
Pengenalan M.tuberculosis oleh sel fagositik menyebabkan aktivasi sel dan produksi
sitokin, yang mana hal ini lebih lanjut memicu aktivasi dan produksi sitokin melalui proses
regulasi silang yang rumit. Jaringan sitokin ini memainkan peranan penting dalam respon
inflamasi dan outcome infeksi M.Tb. (Kuby,1994)
TNFα. Rangsang monosit, makrofag dan sel dendritik oleh M.Tb atau produk M.Tb memicu
produksi TNFα, suatu prototype sitokin pro inflamatorik. TNFα berperan dalam pembentukan
granuloma, memicu aktivasi makrofag, dan imunoregulatory. Pada tikus TNFα juga penting
untuk mengisolasi infeksi laten di dalam granuloma. Pada pasien TB produksi TNFα terjadi di
lokasi penyakit. Menyebarnya TNFα secara sistemik dapat menimbulkan efek inflamatorik yang
tidak diinginkan seperti demam dan berkeringat. Gangguan klinis awal pada pengobatan
berkaitan dengan peningkatan TNFα dalam plasma dan pemulihan klinis yang cepat
berhubungan dengan penurunan TNFα dengan cepat di dalam plasma. Untuk membatasi efek
buruk TNFα produksi TNFα dikurangi dan reseptor TNFα yang menghambat aktivitas TNFα
ditingkatkan. Pada tikus yang tidak dapat memproduksi TNFα atau reseptor TNFα lebih rentan
terhadap M.Tb. Pada manusia belum ditemukan mutasi gen TNFα dan belum ditetapkan bahwa
antara variasi gen TNFα berakibat pada kerentanan terhadap TB.
Interleukin-1β. Seperti TNFα, IL-1β dihasilkan oleh monosit, makrofag, dan sel dendritik. Pada
pasien TB, IL-1β diekspresikan berlebihan di lokasi penyakit. Studi pada tikus menyatakan suatu
peranan penting IL-1β pada TB: defisiensi IL-1β melipatgandakan kerentanan tikus dan
44
Universitas Sumatera Utara
defisiensi reseptor IL-1 (yang menyebabkan tidak respon terhadap IL-1) menampilkan
peningkatan pertumbuhan M.Tb dan pembentukan granuloma yang buruk setelah infeksi M.Tb
Interleukin-6. IL-6 dapat bersifat pro dan anti inflamatorik.IL-6 dihasilkan selama infeksi awal
M.Tb di lokasi infeksi.IL-6 berbahaya bagi infeksi M.Tb karena menghambat produksi TNFα
dan IL-1β. Studi lainnya menyatakan suatu peranan protektif IL-6: Defisiensi IL-6 pada tikus
menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi M.Tb yang mana berhubungan dengan
defisiensi produksi IFN-ɣ sewaktu infeksi awal, sebelum imunitas adaptif sel T terbentuk.
Interleukin-12. IL-12 dihasilkan oleh sel fagositik, dan fagositosis M.Tb penting untuk
produksinya. IL-12 memicu produksi IFN-ɣ. IL-12 terdeteksi di infitrat paru, cairan pleura,
granuloma dan kelenjar getah bening. Kelihatannya, IL-12 merupakan suatu sitokin pengendali
yang menghubungkan respon alami dan adaptif penjamu terhadap M.Tb dan efek protektifnya
terutama dengan cara memicu produksi IFN-ɣ. IL-18 dan IL-15 keduanya memiliki fungsi yang
sama dengan IL-12 meningkatkan produksi IFN-ɣ. Penelitian terbaru menyatakan defisiensi IL12R banyak teridentifikasi pada pasien TB abdomen.
Interferon Gamma. Peranan protektif IFN-ɣ berhubungan dengan imunitas spesifik sel T.
Produksi IFN-ɣ yang spesifik terhadap antigen M.Tb dapat menjadi marker adanya infeksi M.Tb.
Sel yang bertanggung jawab terhadap produksi IFN-ɣ yaitu: 1. Sebelum imunitas adaptif sel T
berkembang penuh sel NK menjadi penghasil utama IFN-ɣ sebagai respon terhadap IL-12 dan
IL-18 atau pajanan langsung terhadap oligodeoksinukleotida M.Tb. 2. Makrofag paru juga
dijumpai menghasilkan IFN-ɣ namun hal ini masih memerlukan konfirmasi.3.Sel T yang
mengekspresikan reseptor ɣδ dan sel T-CD1 juga dapat memproduksi IFN-ɣ selama infeksi awal.
IFN-γ yang dihasilkan selain berperan dalam pembentukan Th1 juga akan memberikan umpan
balik positif terhadap produksi IL-12 oleh sel makrofag sedangkan IL-4 dan IL-10 yang
45
Universitas Sumatera Utara
dihasilkan oleh sel Th2 memberikan umpan balik negatif sehingga dapat menghambat produksi
IL-12. Selain itu peningkatan produksi IL-12 oleh sel makrofag dapat juga terjadi karena
hambatan IFN-γ terhadap produksi IL-10 endogen oleh makrofag. Sel Th1 dan sel NK
menghasilkan IFN-γ yang akan mengaktifkan makrofag alveolar memproduksi berbagai macam
substansi,diantaranya adalah oksigen reaktif dan nitrogen oksida. Kedua gas ini akan
menghambat pertumbuhan dan membunuh kuman. Makrofag juga menghasilkan IL-12 yang
merupakan umpan balik positif dan makin memperkuat jalur tersebut. Meskipun IL-4 dan IL-10
bisa menghambat fungsi makrofag dan sel NK namun IFN-γ yang banyak terdapat dalam paru
pasien TB mampu menekan fungsi sel Th2.(Kuby,1994)
Sitokin anti inflamatorik
Respon pro-inflamatorik yang dirangsang M.Tb dilawan oleh mekanisme anti inflamatorik.
Reseptor sitokin TNFα mencegah perlekatan sitokin ke reseptor seluler, sehingga menghambat
sinyal lebih lanjut. IL-1β dihambat oleh antagonis spesifik, IL1-Ra. Selain itu tiga sitokin anti
inflamatorik, IL-4, IL-10 dan transforming growth factor beta (TGF-β) dapat menghambat
produksi atau efek sitokin pro inflamatorik pada TB.
Interleukin-10. IL-10 dihasilkan makrofag setelah fagositosis M.Tb. Limfosit T juga
memproduksi IL-10. Pada pasien TB ekspresi mRNA IL-10 terjadi di dalam sel mononuklear
yang bersirkulasi, di dalam cairan pleura, dan cairan alveolar. IL-10 melawan respon sitokin pro
inflamatorik dengan cara menurunkan produksi IFN-ɣ, TNF-α dan IL-12.
Transforming Growth Factor Beta (TGF-β). Produk-produk M.Tb memicu produksi TGF-β
oleh monosit dan sel dendritik. Sama seperti IL-10, TGF-β diproduksi lebih banyak sewaktu
infeksi TB dan diekspresikan di lokasi penyakit. TGF-β menekan imunitas seluler: di dalam sel
T, TGF-β menghambat proliferasi dan produksi IFN-ɣ; di dalam makrofag TGF-β melawan
46
Universitas Sumatera Utara
presentasi antigen, produksi sitokin pro inflamatorik dan aktivasi seluler. TGF-β juga terlibat
dalam kerusakan jaringan dan fibrosis, karena memicu produksi dan penumpukan enzim
kolagenase dan matriks kolagen di dalam makrofag. TGF-β menghilangkan efek supresif sel
mononuklear pasien TB dan makrofag yang terinfeksi M.Tb. Respon inflamatorik TGF-β dan IL10 bersinergis: TGF-β merangsang produksi IL-10, dan kedua sitokin tersebut bersama-sama
menekan produksi IFN-ɣ.
Interleukin-4. Efek IL-4 pada tuberkulosis berakibat buruk karena menekan produksi IFN-ɣ
dan aktivasi makrofag. Pada tikus yang terinfeksi M.Tb perparahan penyakit dan reaktivasi
infeksi laten berhubungan dengan peningkatan produksi IL-4. Ekspresi berlebihan IL-4
mempercepat kerusakan jaringan sementara menghambat produksi IL-4 tidak meningkatkan
imunitas seluler.
Gambar 10. Sitokin pro inflamatorik pada infeksi M.Tb (sumber: Clark,2009)
Respon pro inflamatorik yang tidak dibatasi dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang
berlebihan, sementara dominasi efek anti inflamatorik dapat menguntungkan bagi pertumbuhan
M.tuberculosis.
47
Universitas Sumatera Utara
2.9. Peranan neutrofil dalam imunopatogenesa TB
Neutrofil merupakan sel yang pertama kali bertindak dalam pertahanan host melawan
patogen yang menyerang, dimana sel-sel ini menghancurkannya melalui mekanisme oksidatif
dengan cara NADPH Oksidase dependent fagositik dan non-oksidatif mengeluarkan enzim
oksidan dan proteolitik dari granulnya (degranulasi mikrobisidal). Reaksi neutrofil bertujuan
untuk menyerang patogen tetapi dapat menyebabkan kerusakan jaringan paru. Pada host yang
rentan terjadi akumulasi neutrofil di paru-paru lebih tinggi dibandingkan dengan yang resisten,
oleh karena itu keberadaan neutrofil lebih berperan dalam pembentukan patologi daripada
proteksi host. Walaupun sejak lama neutrofil diketahui muncul pada lokasi patogen tuberkulosis
peranannya dalam melawan M.Tb masih tidak jelas (Karthik,2013)
Berlawanan dengan makrofag, neutrofil tidak berkontak dengan M.Tb pada lokasi infeksi
awal. Neutrofil pada dasarnya merekrut granuloma sisa sebagai respon untuk menandakan bahwa
ada makrofag terinfeksi yang mati di dalam granuloma. Pada kebanyakan kasus TB, neutrofil
yang terinfeksi digambarkan sebagai makrofag yang mengandung banyak granuloma baik di lesi
yang baru terbentuk dan lanjut berupa kavitas. Studi-studi terdahulu menitikberatkan peranan
protektif neutrofil pada infeksi awal, sementara studi terbaru lebih berfokus pada peranan
patologisnya, terutama akumulasi neutrofil yang berlebihan pada infeksi lanjut. IL-8 suatu
kemokin yang spesifik dihasilkan neutrofil hanya merekrut neutrofil bukan makrofag sementara
leukotrien B4 merekrut neutrofil dan makofag.Temuan-temuan ini menandakan bahwa neutrofil
dan makrofag memiki respon kemotaksis yang berbeda. Perbedaan kapasitas fagositik makrofag
dan neutrofil ditandai dengan perbedaan respon makrofag yang secara aktif mendekati dan
memfagosit M.Tb sementara beberapa neutrofil yang tiba tidak berinteraksi dengan M.Tb
walaupun jaraknya berdekatan; mereka terus menerus bermigrasi dengan cepat melewati bakteri.
48
Universitas Sumatera Utara
Hal ini diduga bahwa M.Tb dengan aktif menghambat rekrutmen neutrofil. Kemampuan
neutrofil memfagosit M.Tb dimediasi oleh suatu komplemen opsonisasi.
Rekrutmen neutrofil ke dalam granuloma dimediasi oleh sinyal kematian sel yang berasal
dari makrofag terinfeksi. Neutrofil memiliki peranan protektif pada granuloma awal. Hanya
neutrofil yang bergerak aktif kelihatan memiliki kemampuan mikrobisidal ini dan mengikuti
sinyal kemotaktis. Sel-sel yang non-motil tidak membunuh bakteri, bahkan kelihatan mendukung
replikasi intraseluler bakteri. Sinyal dari makrofag granuloma yang sekarat terlihat
memperingatkan neutrofil, yang kemudian tiba dan dapat mengumpulkan M.Tb dari makrofag
melalui fagositosis dan membunuh mereka dengan mekanisme oksidatif. Penelitian
menunjukkan neutrofil dapat menjadi senjata bermata dua. Neutrofil suatu waktu bertindak
bagaikan bom bunuh diri, dengan membawa organisme tersebut ke organ lainnya dan
menyebarkan infeksi. Sifat kunci dari neutrofil adalah berumur pendek, mudah teraktivasi, tidak
bisa diawetkan dengan kropresipitasi, hal ini menyebabkan studi neutrofil tidak cocok dilakukan
secara invitro. Ada 3 jenis granul di dalam neutrofil: (Martineau,2007)
1.
Granul azurofilik (granula primer), berisi protein seperti Myeloperoksidase, bakterisidal
permebealiti increasing protein (BPI), defensin, dan serine protease neutrofil elastase.
2.
Granul spesifik ( granul sekunder), berisi lactoferin dan cathelicidin
3.
Granul tersier , berisi cathepsin dan gelatinase.
Ada 3 langkah yang dilakukan neutrofil setelah M.Tb masuk ke tubuh :
1.
Rekrutmen
Rekrutmen terjadi di lokasi infeksi M.Tb di daerah perivaskuler dalam satu jam setelah infeksi
Tb. Mekanisme rekrutmen IL-17 dan IL-23 yang diproduksi oleh sel Th 17 merupakan kunci
rekrutmen neutrofil. IL-8 dari makrofag juga berperan. Secara sederhana sinyal awal
49
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan sitokin inflamatorik yang mengaktivasi endotel lokal, yang bersama-sama dengan
meningkatnya molekul adhesi seperti Intraceluler Adhesion Molecules (ICAM ), E Selectin Pselectin. Sinyal–sinyal ini menyebabkan influksnya neutrofil.
2.
Rekognisi dan fagositosis
Neutrofil melingkupi M.Tb yang masuk melalui mekanisme pengenalan langsung. Toll like
reseptor-2 berikatan dengan ligandnya yaitu Lipoarabinon Manan (LAM).
3.
Opsonisasi
Terpisah dari pengenalan langsung opsonisasi memainkan peranan kunci dalam fagositosis
M.TB dalam neutrofil. Ada juga neutrofil yang tidak membunuh organisme tersebut, malahan
menyebarkan infeksi ke berbagai organ. Hal ini dikenal sebagai “kuda trojan’ granulositik. Suatu
golonganα-defensin HNP memainkan peranan utama dalam membunuh M.Tb. Makrofag
memakan HNP yang dikeluarkan neutrofil dan ini meningkatkan kemampuannya membunuh
M.Tb. Fagositosis neutrofil yang apoptosis oleh makrofag menghambat pertumbuhan
M.Tb.(Martineau,2007)
Kerjasama neutrofil makrofag
Makrofag membersihkan neutrofil yang sudah mati dan bersifat sitotoksik. Makrofag ini
tertarik dengan kemokin yang dikeluarkan neutrofil. Kemotaksis makrofag juga dirangsang oleh
lipoarabinomanan (LAM) M.Tb. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa makrofag memfagosit
neutrofil yang berapoptosis, karena itu peptida neutrofil menjadi anti mikobakterium yang
membunuh M.Tb di dalam makrofag. Peptida tesebut adalah : 1. AFA Defensins Human
Neutrophils (HNP1-3), 2. Human Catelichidin LL37. 3. Lipochalin-2 berikatan dengan
siderophores M.Tb. Siderophores adalah molekul yang mengatur transport zat besi ke dalam
50
Universitas Sumatera Utara
bakteri untuk menghambat perkembangan bakteri. Pada penelitian Martneau, dkk populasi kulit
hitam orang Afrika lebih rentan terkena TB dibanding ras lainnya. Hal ini didukung dengan
temuan rendahnya hitung neutrofil dan konsentrasi HNP1-3 dan lipochalin-2 yang rendah.
Apoptosis adalah suatu anti inflamatorik yang menginduksi TGFβ, TGE-2, dan menghambat IL6,IL-8,dan TNFα. Ingesti sel apoptosis dengan patogen dapat menimbulkan efek proinflamatorik.
Ini terjadi karena aktivasi makrofag oleh protease neutrofil. Fagositosis sel apoptosis dapat
menghasilkan efek anti atau pro inflamatorik berdasarkan M.Tb di dalam neutrofil masih hidup
atau sudah mati. Jika organisme sudah mati akan muncul efek anti inflamatorik. Jika organisme
masih hidup akan muncul efek pro inflamatorik. (Martineau,2007)
Fagositosis neutrofil yang berapoptosis oleh makrofag menimbulkan respon anti
inflamatorik di dalam makrofag dengan cara menghasilkan heat shock protein60 dan 72 (HSP60, HSP-72) di intrasel dan HSP 72 keluar sel. HSP-72 meningkatkan respon pro inflamatorik
terhadap neutrofil yang apoptosis dan M.Tb. Peningkatan neutrofil apoptosis terlihat pada pasien
dengan TB aktif melalui jalur bergantung oksigen untuk mempertahankan homeostatis dan
menghindari keluarnya bahan-bahan toksik dari intraseluler, sel apoptosis dibersihkan oleh
makrofag. Neutrofil memproduksi IL-12 dan IL-10 yang akan menarik sel limfosit T dan
mematangkannya. Kromatin inti, DNA mitokondria dan granul protein antimikroba merupakan
penyusun jebakan neutrofil ekstraseluler (NETs). Rangsangan pro inflamatorik seperti IL-6, IL8, TNFα, akan membentuk NETs. NETs dapat menjebak M.Tb tetapi tidak dapat membunuh
M.Tb. Jadi NETs dapat melokalisasi M.Tb dan menghambat penyebarannya melalui
pembentukan granuloma. Pada penelitian Kartig,dkk dengan mengurangi granulosit pada tikus
sebelum injeksi intra tekal seratus ribu organisme, meningkatkan jumlah unit koloni di paru-paru
dan limpa. Stadium infeksi memainkan peranan penting pada penyakit TB lanjut. Hitung
51
Universitas Sumatera Utara
neutrofil yang lebih tinggi berhubungan dengan prognosis yang buruk. Degranulasi neutrofil
bertujuan menyerang patogen tetapi juga malah menghancurkan sel-sel di sekitarnya karena itu
pengaturan influks neutrofil penting untuk meminimalisir kerusakan jaringan.
Neutrofil selama infeksi M.Tb
Neutrofil dengan efisien memfagosit M.Tb tetapi kemampuannya untuk membunuh
M.Tb masih diragukan. Neutrofil yang distimulasi oleh IFN-ɣ juga gagal membunuh M.Tb. Pada
percobaan tikus neutrofil yang memiliki aktivitas anti mikroba yang rendah tidak dapat
ditingkatkan aktivitasnya dengan penambahan IFN-ɣ eksogen. Sementara neutrofil di dalam
sputum dan cairan bronkoalveolar pada pasien dengan TB aktif menunjukkan tanda-tanda
replikasi kuman M.Tb. Berdasarkan hal ini disimpulkan bahwa neutrofil memiliki aktivitas anti
mikobakterial yang buruk malah menyembunyikan M.Tb dari makrofag dan membiarkan M.Tb
bereplikasi di dalamnya. Telah dibuktikan bahwa orang Afrika kulit hitam memiliki hitung
neutrofil, konsentrsi HNP-3 dan lipokalin-2 yang lebih rendah daripada orang kulit putih. Pada
kontak TB hitung neutrofil darah perifer berbanding terbalik dengan risiko perkembangan TB
(Martineau, 2007).
Bertolak belakang dengan stadium awal infeksi TB, di mana neutrofil tidak banyak dan
dapat mengontrol M.Tb, selama penyakit aktif neutrofil semakin banyak dan dapat menyebabkan
patologi yang parah. Jumlah neutrofil yang banyak di cairan bronkoalveolar dikaitkan dengan
aktivitas dan kavitasi jaringan paru (Barry, dkk, 2009; Suither lIne, 2009). Neutrofil dipercaya
memberi kontribusi bagi perkembangan penyakit dengan cara melipatgandakan reaksi inflamasi
lokal dan memediasi kerusakan jaringan. Pertanyaan yang penting adalah apakah perkembangan
inflamasi yang ektensif adalah penyebab utama kerentanan host terhadap infeksi. Pada beberapa
52
Universitas Sumatera Utara
studi, granulosit dari tikus yang rentan terbukti memiliki kapasitas intrinsik yang tinggi untuk
bermigrasi sebagai respon terhadap rangsangan inflamasi. Namun, infiltrasi neutrofilik adalah
suatu ciri TB berat pada host yang berbeda gen. Tidak sepertinya bahwa mekanisme awal
kerentanan TB pada tikus ini sama. Stadium awal infeksi terjadi melalui jalan yang berbeda.
Contohnya adalah kegagalan host untuk menghambat pertumbuhan M.Tb, hiperaktivitas intrinsik
makrofag penjamu terhadap ligand M.Tb menyebabkan produksi berlebihan faktor-faktor yang
mengaktifkan neutrofil. Atau reaktivitas neutrofil yang berlebihan terhadap rangsangan
inflamatorik. Pada akhirnya, berbagai jalan yang berbeda tadi mengarah ke arah inflamasi yang
tidak terkontol ditandai dengan produksi faktor pro inflamatorik yang banyak dan infiltrasi
neutrofilik yang ekstensif. Reaksi inflamatorik ini menjadi dasar dari mekanisme patogen
perkembangan TB. Akan menarik jika kita mengetahui apakah neutrofil inflamatorik (neutrofil
yang tinggal dalam kondisi inflamatorik) tetap memiliki bakteri dan dapat paling tidak
mengontrol M.Tb atau pada stadium ini mereka hanya menunjukkan fungsi inflamatorik.
Pada penelitian Pedrosa dkk, (2000) ditemukan bahwa peranan neutrofil berbeda pada
stadium awal dan lanjut infeksi M.Tb. Pada stadium awal infeksi, suatu neutrofil tidak banyak
dan sitokin pro inflamatorik pengaktif neutrofil tidak berlimpah, neutrofil dapat mengkontrol
M.Tb. Pada stadium lanjut, kerja neutrofil bergantung pada kekuatan inflamasi lokal: jika
neutrofil berkumpul dalam jumlah besar dan dalam kondisi inflamatorik, mereka menjadi
berbahaya. Jadi, kekurangan neutrofil mengurangi kontrol M.Tb dan memperparah penyakit
pada tikus resisten, tapi inflamasi dan penyakit parah terjadi pada tikus yang rentan. Inflamasi
memainkan 2 peranan bagi respon imun penjamu terhadap M.Tb di satu sisi diperlukan untuk
mengeliminasi patogen. Di sisi lain, inflamasi menyebabkan kerusakan jaringan dan
perkembangan penyakit. Sewaktu infeksi awal reaksi inflamasi secara umum bersifat protektif;
53
Universitas Sumatera Utara
selama infeksi aktif efek kehancuran dari inflamasi muncul, menyebabkan inflamasi sebagai
faktor patogenik utama bagi perkembangan TB. Berdasarkan faktor gen dan jalur molekuler
yang mengarah kepada TB berat (gen yang berbeda pada penjamu yang berbeda), mekanisme
patogenetik yang berlangsung selama stadium lanjut penyakit umumnya sama. Hal ini meliputi
produksi berlebihan pro inflamatorik dan infltrasi neutrofil yang berlebihan ke dalam jaringan
paru. Suatu lingkaran umpan balik positif antara reaksi-reaksi ini ada (faktor pro inflamatorik
menyebabkan inflamasi neutrofilik; neutrofil memproduksi faktor proinflamatorik; keduanya
menyebabkan kerusakan jaringan, penyebaran M.Tb dan siklus inflamasi lainnya) membuat
pengendalian terhadap inflamasi yang sedang berlangsung sulit dilakukan. Suatu komponen baru
yang menandakan perkembangan TB adalah perubahan hematopoiesis penjamu yang
menyebabkan dikeluarkannya sel mieloid imatur, emigrasinya dan penumpukan yang nyata di
paru-paru. Peranan sel-sel mieloid imatur ini dalam perkembangan TB belum dapat dipastikan.
Pada mulanya respon alami terhadap M.Tb terjadi di kelenjar getah bening di
mediastinum paru, dan memerlukan transpor kuman M.Tb oleh sel dendritik yang bermigrasi ke
KGB lokal.
Pengamatan yang pernah dipublikasikan adalah : (Blomgran,2011)
1.
Neutrofil merupakan sel yang terinfeksi M.Tb yang pada waktu singkat populasinya
melonjak di paru-paru pada infeksi awal.
2.
Puncak dari neutrofil terinfeksi tersebut dengan cepat mengawali infeksi sel dendritik di
paru-paru, menggambarkan peranan neutrofil pada respon imun adaptif awal terhadap M.Tb.
Ditemukan bahwa walaupun jumlah neutrofil yang sedikit in vivo meningkatkan frekuensi selsel dendritik terinfeksi M.Tb di paru-paru, hal tersebut mengurangi pergerakan sel dendritik ke
KGB mediastinum. Kejadian ini menyebabkan tertundanya aktivasi dan proliferasi antigen sel T
54
Universitas Sumatera Utara
CD4 yang spesifik terhadap M.Tb di KGB mediastinum. Sel-sel dendritik yang terinfeksi M.Tb
melalui fagositosis neutrofil yang terinfeksi tidak dapat bermigrasi dengan baik. Penjelasan di
atas mengungkap suatu mekanisme dimana neutrofil merangsang respon imun adaptif terhadap
M.Tb dengan cara memindahkan kuman M.Tb ke dalam sel dendritik dalam bentuk sedemikian
rupa yang membuat sel dendritik lebih efektif untuk mengaktifkan sel T CD4 naive.
Pengamatan ini memberikan petunjuk terhadap suatu mekanisme di mana neutrofil
memicu respon imun adaptif pada TB. M.Tb tinggal di dalam fagosit-fagosit di paru dan
mencegah maturasi fagosom agar dapat bertahan hidup dan bereplikasi. Dibanding penyakit
ISPA lainnya seperti influenza A, dimana puncak proliferasi sel T terjadi 4 hari setelah infeksi,
respon CD4 terhadap M.Tb tertunda sampai 10-12 hari setelah infeksi melalui udara,
memberikan waktu bagi bakteri untuk menyebar dan membangun strategi untuk bertahan. PMN
neutrofil jumlahnya banyak sel-sel motil terlibat dalam respon imun alami dan membentuk
pertahanan awal melawan patogen mikroba. (Blomgran,2011)
Gambar11. Komponen seluler imun innate dan adaptif pada Tb paru
(sumber:Blmgran,2011)
55
Universitas Sumatera Utara
2.10. Peranan Limfosit Dalam Imunopatogenesa TB
Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem selular. Pada imunitas humoral,
sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba ekstraselular. Pada imunitas selular, sel T
mengaktifkan makrofag sebagai efektor untuk menghancurkan mikroba atau mengaktifkan sel
CTC/Tc sebagai efektor yang menghancurkan sel terinfeksi. (Dheda,2010)
Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular adalah mediator utama
pertahanan imun melawan M.Tb. Secara imunofenotipik sel T terdiri dari limfosit T helper,
disebut juga clusters of differentiation 4 (CD4) karena mempunyai molekul CD4+ pada
permukaannya, jumlahnya 65% dari limfosit T darah tepi. Sebagian kecil (35%) lainnya berupa
limfosit T supresor atau sitotoksik, mempunyai molekul CD8+ pada permukaannya dan sering
juga disebut CD8. Sel T helper (CD4) berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T helper 1
(Th1) dan sel T helper 2 (Th2). Sel T umumnya berperan pada inflamasi, aktivasi fagositosis
makrofag, aktivasi dan proliferasi sel B dalam produksi antibodi. Sel T juga berperan dalam
pengenalan dan penghancuran sel yang terinfeksi virus. Sel T terdapat dalam jumlah yang
banyak di dalam submukosa jalan napas dan dinding alveoli, tetapi sedikit di lumen bronkus
(Lyadova,2007) Subset sel T tidak dapat dibedakan secara morfologik tetapi dapat dibedakan
dari perbedaan sitokin yang diproduksinya. Sel Th1 membuat dan membebaskan sitokin tipe 1
meliputi IL-2, IL- 12, IFN-ɣ dan tumor nekrosis faktor alfa (TNF-α). Sitokin yang dibebaskan
oleh Th1 adalah activator yang efektif untuk membangkitkan respons imun seluler. Sel Th2
membuat dan membebaskan sitokin tipe 2 antara lain IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-10. Sitokin
tipe 2 menghambat proliferasi sel Th1, sebaliknya sitokin tipe 1 menghambat produksi dan
pembebasan sitokin tipe 2. (Kuby,1994)
56
Universitas Sumatera Utara
Kuman M.Tb dalam makrofag akan dipresentasikan ke sel Th1 melalui major
histocompatibility complex (MHC) kelas II. Sel Th1 selanjutnya akan mensekresi IFN-γ yang
akan mengaktifkan makrofag sehingga dapat menghancurkan kuman yang telah difagosit. Jika
kuman tetap hidup dan melepas antigennya ke sitoplasma maka akan merangsang sel CD8
melalui MHC kelas 1. Sitokin IFN γ yang disekresi oleh Th1 tidak hanya berguna untuk
meningkatkan makrofag melisiskan kuman tetapi juga mempunyai efek penting lainnya yaitu
merangsang sekresi TNF-α oleh sel makrofag. Hal ini terjadi karena substansi aktif dalam
komponen dinding sel kuman yaitu lipoarabinomanan (LAM) yang dapat merangsang sel
makrofag memproduksi TNF-α.
Makrofag yang terinfeksi dan sel dendritik mensekresi sitokin meliputi IL-12, IL-23, IL7, IL-15 dan TNF-α, dan mempresentasikan antigen untuk beberapa populasi sel T termasuk sel
T CD4 +(MHC kelas II), sel T CD8 + (MHC kelas I), CD1Restricted T cell (antigen glikolipid )
dan γδ T cell (phospholigands). Sel-sel T efektor yang menghasilkan sitokin IFN-γ, yang
mengaktifkan makrofag dalam hubungannya dengan TNF-α untuk membunuh mikobakteri
intraseluler melalui reactive oxyigen dan nitrogen intermediate. Selain itu, sel T sitotoksik
CD8+ dapat membunuh mikobakteri intraseluler melalui granulysin dan perforin-mediated
pathway.
6,10
Namun, sel Th2 CD4+ menghasilkan sitokin imunosupresif seperti IL-4, dan
regulatory sel T (T.reg) memproduksi IL-10 dan TGF-β yang dapat menekan mekanisme efektor
mycobactericidal. Sebuah subset baru dari T helper yang disebut Th17 yang diproduksi karena
adanya IL-23, dan ditandai dengan produksi IL-17, adalah modulator penting dari inflamasi dan
memberi respon memori. Sel Th17 sel dapat merekrut neutrofil dan monosit, dan IFN-γ yang
memproduksi sel T CD4+, dan menstimulasi ekspresi kemokin.IFN-γ pada gilirannya dapat
menekan IL-17 menghasilkan sel Th17.(Kuby,1994)
57
Universitas Sumatera Utara
Gambar 12. .Sistem imunitas spesifik pada infeksi TB.(Sumber: Crevel,2002)
2.11. Studi Neutrofil Limfosit Rasio (NLR)
Nilai Neutrofil limfosit rasio (NLR) adalah membagi jumlah neutrofil absolut terhadap
jumlah limfosit absolut. Hitung jenis leukosit (diff count) hanya menunjukkan jumlah relatif dari
masing-masing jenis sel.Untuk mendapatkan jumlah absolut dari masing-masing jenis sel maka
nilai relatif (%) dikalikan jumlah leukosit total (sel/μL). Nilai normal jumlah neutrofil absolut
adalah 3000-7000 µL (60-70%). Nilai normal jumlah limfosit absolut adalah 1000-4000 µL (2533%). Penelitian Kusnadi,Makassar,2010 mendapatkan dari 44 jumlah limfosit yang tidak
normal terdapat TB paru sebanyak 59,1% dan dari 109 jumlah limfosit yang normal terdapat TB
paru sebanyak 10,1% (p<0,0001). Dan dari 40 jumlah neutrofil yang tidak normal terdapat TB
paru sebanyak 52,5% dan dari 113 jumlah neutrofil yang normal terdapat TB paru sebanyak
14,2%.
Manfaat NLR telah diteliti dalam berbagai studi pada berbagai kondisi klinis spesifik
misalnya appendisitis, atau sebagai prediktor independen ketahanan hidup pasien dengan
beragam kondisi mulai dari penyakit onkologi sampai penyakit kardiovaskular. Beberapa studi
58
Universitas Sumatera Utara
terbaru didapati NLR memiliki nilai prognostik pada beberapa jenis tumor seperti kanker
kolorektal (Walsh, 2005), kanker lambung (Gwak,2007), kanker hati (Halazun 2009),
Adenokarsinoma pankreas (Bhatti,2010), kanker lambung (Ubukata, 2010), kanker esofagus
(Sharaiha,2011), kanker serviks (Lee, 2012), kanker payudara (Azab, 2013)
Penelitian terbaru Neul-Bom Yoon, Korea,2012, menyimpulkan NLR adalah marker
diagnostik yang paling baik (sensitifitas 91,1%, spesifisitas 81,9%, PPV 85,7%, NPV 88,5%,
dan akurasi 86,9%) dalam membedakan pasien TB paru dengan CAP bakterialis dibandingkan
marker inflamasi rutin yang sudah lama dikenal yaitu CRP, jumlah sel darah putih, jumlah
neutrofil dan limfosit. Desain kohort retrospektif dengan kriteria inklusinya: pasien suspek CAP
dewasa >18 tahun yang memiliki gejala dan tanda respirasi onset akut, gambaran infiltrat pada
foto toraks, dan tidak dirawat inap dari Januari 2009-Februari 2011. Kriteria eksklusi adalah
pasien yang menggunakan antibiotik >24 jam pada saat pengukuran, kelainan hematologi,
inflamasi kronis, yang menggunakan steroid, dan/atau riwayat steroid dalam 3 bulan sebelum
berobat RS, riwayat kemoterapi atau radioterapi dalam 4 minggu sebelum penelitian, tidak ada
data jumlah WBC atau CRP, atau perubahan dalam diagnosis seperti emboli paru, edema paru
atau kanker paru selama follow up. Dengan NLR <7 adalah cut off optimal untuk membedakan
pasien TB paru dari pasien CAP bakteri. Studi ini merupakan studi pertama untuk menunjukkan
kemampuan diagnostik NLR untuk membedakan TB paru dengan CAP bakteri.
Di dalam studi Iliaz, dkk di Turki (2014) meneliti nilai neutrofil limfosit rasio dapat
digunakan sebagai kemungkinan penanda diagnostik dalam membedakan TB Paru dan
sarkoidosis, dimana keduanya sama-sama merupakan penyakit granulomatosa. Studi retrospektif
ini menunjukkan dari 51 BTA positif dan atau kultur positif, dengan 43 kelompok kontrol
didapat 40 pasien dengan biopsi terbukti sarkoidosis. Hasilnya nilai NLR adalah signifikan lebih
59
Universitas Sumatera Utara
rendah pada kelompok TB dibandingkan dengan sarkoidosis (p<0,001) dengan nilai cut-off 2,55.
Dengan nilai sensitifitas 79%, spesifisitas 69%, nilai PPV dan NPV 73% dan 75%, AUC adalah
0,788, dan nilai akurasi sebesar 76%.
Studi Mutlhu, dkk di Turki (2012) mengevaluasi implikasi ratio NLR pada pasien dengan
Non Small Cell Lung Carcinoma (NSCLC). Mereka membagi subjek (n=207) menjadi dua
kelompok pasien, menurut NLR < 5 (n=127) dan NLR >5 (n=80). Hasilnya tidak ada perbedaan
karakteristik kanker secara histologis dan komorbiditas. Tetapi terdapat perbedaan signifikan di
antara dua kelompok terhadap stadium, status merokok, dan tingkat ketahanan hidup. Kelompok
NLR>5 memiliki tingkat ketahanan hidup 6,80 +_ 1,07 bulan, sementara kelompok pasien
NLR< 5 adalah 10,48 +_1,11 bulan. Pasien dengan NLR> 5 lebih banyak dijumpai pada stadium
lanjut. NLR yang lebih tinggi merupakan bagian dari patogenesis tumor pasien kanker, dan NLR
yang lebih tinggi (>5) dapat menjadi indikator untuk penyakit stadium lanjut NSCLC.Walaupun
NLR yang tinggi mempengaruhi ketahanan hidup tapi bukan merupakan faktor independent bagi
ketahanan hidup. Beberapa studi menemukan bahwa neutrofil merangsang angiogenesis tumor
dan studi ini sudah memastikan bahwa peningkatan rasio neutrofil terhadap limfosit merupakan
suatu faktor prognostik buruk terhadap NSCLC.
Penelitian NLR oleh Ersin, (2013) menemukan bahwa dari 269 pasien PPOK, 178 pasien
PPOK stabil nilai NLR PPOK stabil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang sehat
(p<0,001). NLR pada pasien PPOK eksaserbasi akut (n=91) menjadi lebih meningkat
dibandingkan pada waktu stabil. NLR berkorelasi positif dengan nilai CRP serum.
Kesimpulannya NLR dapat digunakan sebagai marker inflamatori untuk menilai inflamasi pada
pasien PPOK dengan analisa hitung darah lengkap yang cepat, murah dan mudah dilakukan.
60
Universitas Sumatera Utara
Dari studi Yong Xia, Cina, 2014, skor keparahan pneumonia (CURB 65), karakter klinis,
komplikasi dan outcome dihubungkan dengan NLR kemudian dibandingkan dengan CRP, hitung
neutrofil dan hitung sel darah putih. Desain studi yang digunakan adalah kohort prospektif
terhadap 395 pasien CAP. Hasilnya NLR lebih tinggi pada semua pasien CAP, dapat
memprediksi outcome medis, dan secara konsisten meningkat sejalan dengan peningkatan skor
CURB 65. Nilai NLR jauh lebih tinggi pada pasien yang meninggal dibanding dengan pasien
yang bertahan hidup. AUC NLR (0,701) lebih baik daripada hitung neutrofil (0,681), hitung sel
darah putih (0,672), hitung limfosit (0,630) dan CRP (0,565) dalam memprediksi mortalitas
pasien CAP. Kesimpulannya NLR pada Departemen Emergensi memprediksi keparahan dan
outcome CAP dengan akurasi prognostik yang lebih tinggi dibandingkan marker-marker lainnya.
Pada studi retrospektif NLR terbukti merupakan marker yang sederhana dan lebih baik
dalam memprediksi bakteremia dibanding parameter rutin lainnya seperti hitung sel darah putih
dan CRP. Dari total sampel (n=395, NLR 13,6) didapat bahwa pada pasien yang dirawat inap
(n=346, NLR 14,4 ) memiliki NLR yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang masuk
ICU (n=31, NLR 18,7) dan yang meninggal dunia (n=23, NLR 23,3). Pada pasien yang
menerima antibiotik sebelum masuk RS (n=148), kebanyakan pasien memiliki NLR <10 atau
lebih rendah dari NLR rata-rata. Peningkatan NLR terlihat pada pasien dengan skor CURB 65
yang meningkat, kultur darah positif dan outcome klinis yang buruk (rawat inap yang lama,
masuk ICU, dan meninggal).
61
Universitas Sumatera Utara
Download