BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Jenis Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang disebut sebagai keanekaragaman hayati (biodiversity). Keanekaragaman ekosistim, jenis dan genetik dalam definisi yang luas ialah keanekaragaman hayati, yang merupakan keanekaragaman kehidupan dalam semua bentuk dan tingkatan termasuk struktur, fungsi dan proses-proses ekologi di semua tingkatan. Primack et al. (1998) mendefinisikan keanekaragaman hayati adalah kekayaan hidup di bumi, jutaan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, genetika yang dikandungnya, dan ekosistem yang dibangunnya menjadi lingkungan hidup. Dalam arti bahwa keanekaragaman hayati merupakan inti dari biologi konservasi. Jadi keanekaragaman harus dilihat dari tiga tingkatan: pada tingkatan spesies mencakup seluruh organisme di bumi, mulai bakteri, protista, jamur, dunia tumbuhan dan hewan. Pada skala lebih kecil mencakup variasi genetik di dalam spesies, di antara populasi terpisah secara geografik dan antara individu di dalam suatu populasi. Keanekaragaman hayati meliputi variasi di dalam komunitas biologi, ekosistem dan interaksi antara spesies tersebut. Dalam memberikan definisi lebih operasional, Crow et al. (1994) mengidentifikasi keanekaragaman menjadi tiga tipe atau sub kelompok keanekaragaman, yakni : komposisi, struktural dan fungsional. Keanekaragaman komposisi adalah keanekaragaman sesuatu dalam suatu wilayah, seperti jenis dalam suatu tegakan hutan. Keanekaragaman struktur dicirikan dengan distribusi vertikal dan horizontal tumbuhan, ukuran tumbuhan, atau distribusi umur. Sedang keanekaragaman fungsional dicirikan dengan proses ekologi, aliran energi dan hubungan trophic level. Pada tipe tersebut keanekaragaman dilihat dari berbagai tingkatan organisasi biologi, yaitu tingkatan ekosistem, jenis/spesies atau genetik (Probst and Crow, 1991). Menurut (Bappenas, 2003) ada tiga tingkatan keanekaragaman hayati yaitu ekosistem, jenis dan gen. Keanekaragaman ekosistem mencakup keanekaan bentuk dan susunan bentang alam, daratan maupun perairan, dimana makhluk atau organisme hidup (tumbuhan, hewan dan mikroorganisme) berinteraksi membentuk jaring keterkaitan dengan lingkungan fisik. Keanekaragaman jenis adalah keanekaragaman jenis organisme yang menempati suatu ekosistem Selanjutnya, setiap organisme mempunyai ciri berbeda satu dengan yang lain. Keanekaragaman genetis adalah keanekaan individu di dalam jenis. Keanekaan ini disebabkan perbedaan genetis antara individu. Soegianto (1994) mengatakan bahwa, keanekaragaman jenis adalah karakteristik tingkatan komunitas berdasar organisasi biologis, yang digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan spesies sama atau hampir sama. Sebaliknya jika komunitas itu disusun sangat sedikit spesies, dan jika hanya sedikit saja spesies dominan, maka keanekaragamannya rendah. Keanekaragaman jenis tinggi menunjukan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi, karena dalam komunitas itu terjadi interaksi spesies yang tinggi pula. Jadi dalam suatu komunitas yang mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi akan terjadi interaksi spesies yang melibatkan transfer energi (jejaring makanan), predasi, kompetisi, dan pembagian relung yang secara teoritis lebih kompleks. Keanekaragaman jenis (species diversity) pada dasarnya disusun dari dua komponen. Pertama adalah jumlah spesies dalam suatu areal, yang mana para ahli ekologi menyatakan sebagai kekayaan jenis (species richness). Komponen kedua adalah kemerataan (species evenness). Selanjutnya dikembangkan lagi suatu indeks yang berupaya mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan kedalam suatu nilai tunggal yang disebut sebagai indeks kelimpahan jenis . 1. Kekayaan Jenis Kekayaan jenis pertama kali di kemukakan McIntosh tahun 1967. Konsep yang dikemukakan mengenai kekayaan jenis adalah jumlah jenis dalam suatu komunitas. Kempton (1979), diacu dalam Santosa (1995) mendefinisikan kekayaan jenis sebagai jumlah jenis dalam sejumlah individu tertentu. 2. Kemerataan Jenis Konsep ini menunjukan derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap jenis. Ukuran kemerataan pertama kali dikemukakan oleh Lloyd dan Ghelardi (1964) dalam Magurran (1988) dapat pula digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi di antara setiap jenis dalam suatu komunitas. 3. Kelimpahan Jenis Istilah heterogenitas pertama kali dikemukakan Good (1953), diacu dalam Krebs (1989). Istilah lain untuk konsep ini adalah kelimpahan atau species abundance (Magurran 1988). Seperti dikemukakan semula bahwa konsep ini merupakan indeks tunggal mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Jadi kelimpahan jenis adalah parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi relatif spesies organisme dalam komunitas, yang berhubungan dengan densitas berdasarkan penaksiran kualitatif. Menurut Indriyanto (2006), penaksiran kualitatif, kelimpahan dapat dikelompokkan menjadi lima yaitu sangat jarang, kadang-kadang atau jarang, sering atau tidak banyak, banyak atau berlimpah dan sangat banyak. Dalam hubungan dengan komunitas hutan, keanekaragaman jenis bervariasi dari suatu tipe hutan dengan tipe hutan lain. Keanekaragaman bervariasi sesuai kondisi lahan. Bruenig (1995) mengemukakan bahwa keanekaragaman jenis secara konsisten menurun dari kandungan humus podsol dalam menuju dangkal sesuai kajian pada beberapa tipe hutan (Dipterocarpaceae campuran – kerangas perbukitan – hutan kerapah) di Sarawak, Brunei dan Cina selatan, serta Bana daerah Amazone. Kekayaan spesies berhubungan dan dibatasi kondisi tanah dimana terdapat zona perakaran, aerasi dan kelembaban tanah, kandungan hara dan kualitas humus. Penelitian ini juga di lakukan terhadap jenis liana. P´erez-Salicrup dan Meijere (2005) mengatakan bahwa liana penting bagi komponen floristik hutan tropis, dimana kelimpahan liana yang tinggi digunakan untuk membedakan hutan tropis dari hutan temperat. Liana mengurangi pertumbuhan individu pohon oleh persaingan pohon terhadap sumber daya cahaya, air, dan nutrisi. Liana mengurangi produksi buah di pohon dan kerusakan pohon secara fisik. 2.2. Vegetasi Hutan Vegetasi adalah masyarakat tumbuhan atau sebuah komunitas tumbuhan. Masyarakat ini terbentuk dari beragam populasi yang merupakan kumpulan individu tumbuhan sebagai unit terkecil yang dapat dilihat, dikaji dan dibedakan satu sama lain secara mata telanjang (Muhadiono 2004). Nilai dan manfaat vegetasi ini salah satunya adalah faktor menentukan kelestarian kehadiran jenis di permukaan bumi. Produktivitas berkaitan dengan kepentingan ekonomi manusia, sementara sistem lainnya erat hubungan dengan kepentingan ekologinya. Nasendi (1987) mendefinisikan hutan merupakan tempat atau tanah yang bertumbuh tumbuhan pohon-pohonan, kayu-kayuan atau semak, yang membentuk suatu komunitas. Hutan lindung mempunyai fungsi melindungi dalam arti menyelamatkan hutan, tanah, air dan segala isi didalamnya. Hutan lindung terutama terdiri dari jenis pohon kayu dan di tanah, berpengaruh besar terhadap keadaan air, iklim, perekonomian negara dan lain-lain bertalian dengan kepentingan umum. Hutan produksi berfungsi ekonomis, memberi produksi atau penghasilan langsung (tangible benefit) yaitu terutama terdiri kayu, bahan bakar (energi), kulit kayu, getah, buah, minyak, produksi non kayu dan sebagainya. Menurut Nasendi (1989), Hutan mempunyai fungsi menguasai hajat hidup orang antara lain : 1. Mengatur tata air, mencegah dan membatasi bahaya banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah 2. Memenuhi produksi hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan, industri dan ekspor 3. Membantu pembangunan ekonomi nasional pada umumnya dan mendorong industri hasil hutan pada khususnya 4. Melindungi iklim dan memberi daya pengaruh baik 5. Memberi keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata dan taman buru untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pariwisata 6. Merupakan unsur basis strategi pertahanan nasional 7. Memberi manfaat lain berguna bagi umum 2.2.1. Tipe Hutan Menurut Indriyanto (2005) tipe hutan di Indonesia dibagi 2 kelompok besar. Kelompok pertama adalah hutan yang dipengaruhi iklim (temperatur, kelembaban udara, intensitas cahaya dan angin) disebut "formasi klimatis" terdiri atas (1) Hutan Hujan Tropika (Tropical Rain Forest), (2) Hutan Musim (Monsoon atau Deciduous Forest), (3) Hutan Gambut (Peat Forest). Kelompok kedua adalah hutan yang dipengaruhi oleh keadaan tanah (sifat fisika, kimia, sifat biologi dan kelembaban) disebut "formasi edaphis" terdiri atas (1) Hutan Rawa (Swamp Forest), (2) Hutan Payau (Mangrove Forest) dan (3) Hutan Pantai (Coastal Forest). Menurut Soerianegara dan Indrawan (2005) bahwa formasi hutan dipengaruhi oleh faktor edafis dan perbedaan vegetasi yang terdiri dari : hutan payau, hutan rawa, hutan pantai, hutan gambut, hutan kerangas, hutan hujan tropika dan hutan musim. Hutan hujan tropika dibedakan menjadi 3 zone yaitu : hutan hujan bawah (2-1000 m dpl), hutan hujan tengah (1000-3000 m dpl) dan hutan hujan atas (3000-4000 m dpl). Sedangkan hutan musim dibagi menjadi 2 zone yaitu : hutan musim bawah (2-1000 m dpl) dan hutan musim tengah atas (1000-4000 m dpl) Secara umum di Indonesia hutan hujan tropika dibagi tiga zona menurut tinggi di permukaan laut, yaitu (1) zona hutan hujan bawah ketinggian 0-1.000 m dpl; (2) zona hutan hujan tengah ketinggian 1.000-3.300 m dpl; (3) zona hutan hujan atas ketinggian 3.300-4.100 m dpl (Indriyanto 2005). Berdasarkan letak geografis Indonesia yang berada di antara benua Asia dan Australia, di sekitar khatulistiwa mengakibatkan adanya zone vegetasi dan tipe-tipe hutan. Zone vegetasi terdiri dari : (a) Zone barat yang berada dibawah pengaruh vegetasi Asia meliputi pulau Sumatera dan sebagian Kalimantan. (b) Zone timur berada dibawah pengaruh vegetasi Australia meliputi pulau Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. (c) Zone peralihan dimana dipengaruhi kedua benua meliputi pulau Jawa dan Sulawesi (Soerianegara dan Indrawan 2005). 2.3. Struktur Tegakan Struktur tegakan ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu : struktur tegakan vertikal dan horisontal (Ibie, 1997). Struktur tegakan vertikal oleh Richard (1964) dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan tajuk (stratifikasi). Sedangkan Huch et al. (1982) menyatakan bahwa struktur tegakan horisontal merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis pohon dengan dimensi, diameter pohon dalam suatu kawasan hutan. Struktur tegakan hutan biasa digambarkan melalui diagram profil. Diagram ini merupakan suatu sketsa semua pohon berada pada areal memiliki ukuran lebar 7,5 m dan panjang 60 meter. Untuk gambaran vertikal pohon, umumnya pohon tinggi > 4,5 m atau 6 m relatif dimuat dalam diagram. Selanjutnya lebih diutamakan atau terbatas pada pohon berada pada fase dewasa (Whitmore, 1986). Oliver dan Larson (1990), menjelaskan bahwa struktur tegakan adalah sebaran sementara dan sebaran fisik pohon dalam suatu tegakan. Sebaran digambarkan berdasarkan : (1) jenis pohon, (2) bentuk ruang horisontal dan vertikal, (3) besar pohon atau bagian pohon mencakup volume tajuk, luas daun dan lain-lain, (4) umur pohon, (5) kombinasi kondisi yang telah disebutkan sebelumnya. Struktur tegakan baik horisontal maupun vertikal suatu tegakan hutan merupakan gambaran berguna untuk memelihara keaanekaragaman jenis yang ada (Kohyama, 1993). Pengetahuan menyangkut struktur tegakan memberi informasi dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis mulai tingkat semai, pancang, tihang dan pohon maupun tumbuhan bawah (Marsono dan Sastrosumarto 1981). Tumbuhan bawah dalam hubungan struktur tegakan hutan adalah penting, karena tumbuhan bawah merupakan elemen indikator fungsi dan struktur sistem ekologi hutan (Crow 1990). Selain itu struktur tegakan dalam ukuran elemen pohon membentuk tegakan serta sebaran jenis diyakini mempengaruhi terbentuknya karakteristik tumbuhan bawah (Kohyama 1993; Jones 2002). Stratifikasi terjadi karena 2 hal penting yang dimiliki atau dialami oleh tumbuhan dalam persekutuan hidupnya dengan tumbuhan lain yaitu akibat persaingan antar tumbuhan dan sifat toleransi spesies pohon terhadap radiasi matahari (Indriyanto 2006). Oliver dan Larson (1990), menjelaskan bahwa struktur tegakan adalah sebaran sementara dan sebaran fisik pohon-pohon dalam suatu tegakan. Sebarannya dapat digambarkan berdasarkan : (1) jenis pohon, (2) bentuk ruang horisontal dan vertikal, (3) besarnya pohon atau bagian pohon yang mencakup volume tajuk, luas daun dan (4) umur pohon. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan struktur tegakan adalah lebih mengarah ke struktur tegakan horisontal dan vertikal, yakni menyangkut luas bidang dasar, frekwensi dan kerapatan pohon. 2.4. Pemanfaatan Vegetasi Indonesia kaya tumbuhan bermanfaat, menurut Kartawinata (2004) ada sekitar 5000 jenis tumbuhan bermanfaat, di antaranya 1259 jenis kayu, 1050 jenis tumbuhan obat, 984 jenis tumbuhan dimakan ( sayur-mayur, buah-buahan, bijibijian dan umbi), 520 jenis tumbuhan mengandung minyak, resin dan produk alami lain, 328 jenis makanan hewan dan 885 jenis tumbuhan digunakan masyarakat untuk berbagai kebutuhan. Meskipun begitu, jumlah jenis tumbuhan bermanfaat di Indonesia hanya 17% dari total jumlah jenis di Indonesia dan tumbuhan obat-obatan hanya 3%. Pada masyarakat tradisional, sistem pengetahuan sumber daya alam khususnya keanekaragaman jenis tumbuhan, merupakan pengetahuan dasar yang penting demi kelangsungan hidup. Tingkat pengetahuan pengelolaan keanekaragaman jenis tumbuhan setiap suku atau kelompok masyarakat berbeda satu dengan suku atau kelompok masyarakat lain. Lebih khusus di Papua yang memiliki jumlah etnis 235 atau 42,7% total etnis di Indonesia dan memiliki bahasa sebanyak 240 bahasa maka sangat kaya dengan keragaman pengetahuan lokal. Pada masyarakat yang memiliki tingkat kebudayaan tinggi, mereka mampu memanfaatkan, mengelola secara optimal untuk kepentingan hidupnya, tidak hanya kepentingan kelompok tetapi juga untuk kepentingan komersial. Sebaliknya masyarakat yang memiliki kebudayaan tertinggal, pengelolaan lingkungan didasarkan kepentingan jangka pendek memenuhi keperluan hidup sehari-hari khususnya kebutuhan kelompok. Purwanto (2004b), mengemukakan bahwa secara sederhana masyarakat tradisional mengelompokan dunia tumbuhan menjadi dua kelompok yaitu tumbuhan berguna dan tumbuhan tidak berguna. Khusus tumbuhan berguna, berdasarkan pemanfaatannya dapat dikelompokkan sebagai : tumbuhan bahan pangan, bahan sandang, bahan bangunan, bahan alat (rumah tangga, pertanian, perang), kerajinan, kesenian, obat-obatan tradisional dan kosmetika, perlengkapan upacara adat, kayu bakar, dan lain-lain. Menurut Pandey dan Chadha (1996), ada tiga kebutuhan dasar manusia yaitu : makanan, tempat berlindung dan pakaian yang semua disediakan tumbuhan; bahkan hewan baik karnivor maupun herbivor juga bergantung pada tumbuhan karena makanannya, dan secara ekonomi selain tumbuhan menghasilkan makanan juga menghasilkan serat, kayu, getah, minyak, gula, kertas, minuman, kulit, bumbu dan obat serta berperan pada kesuburan tanah dan konservasi. Flora New Guinea dimasukan kedalam subdivisi timur pembagian flora Indo-Malasia, mempunyai tanaman berguna paling kaya bagi umat manusia. Muhadiono (2004), mengatakan bahwa hutan dataran Papua menunjukan kekayaan jenis luar biasa. Di antara penghuninya, yang penting adalah Intsia bijuga, Pometia pinnata, Pterocarpus indicus, Vitex cofassus, Homalium foetidum, Chrysophyllum roxburghii, Terminalia complanata, Celtis spp, Buchanania macrocarpa, Cryptocarya massoia, Palaquium spp, Intsia palembanica, Dracontomelon mangiferum, Canarium spp, Adina multifolia, Anisoptera spp, Mastixiodendron Koordersiodendron pachyclados, pinnatum, Azadirachata Manilkara excelsa, fasciculata, Mimosops elengi, Pericopsis mooniana, Alstonia scholaris, Pometia acuminata, P. Coriacea dan Vatica papuana. (Nasendi 1989), mengatakan bahwa jenis pohon lain yang penting adalah sagu (Metroxylon sagu) dan pohon cemara Casuarina equisetifolia, C. papuana dan C. nodiflora. Pemanfaatan 550 jenis tumbuhan oleh masyarakat lembah Baliem Papua terdiri 526 jenis liar dan 24 jenis kultivar (Purwanto 2004a). Masyarakat Tanimbar-Kei di Maluku Tenggara memanfaatkan 112 jenis tumbuhan sebagai bahan pangan, 172 jenis tumbuhan sebagai bahan obat-obatan, 40 jenis tumbuhan sebagai bahan bangunan, 42 jenis tumbuhan sebagai bahan kayu bakar dan 4 jenis tumbuhan sebagai bahan baku racun ikan (Purwanto 2004b). Analisa nilai manfaat Uoga et al. (2000) ada 12 kategori pemanfaatan langsung diketahui yaitu arang batu bara terbesar kontribusinya ( 18.3%) diikuti kayu bakar ( 16.8%) dan medis ( 15.7%). Kebanyakan jenis yang digunakan membuat arang adalah famili/subfamili Caesalpinioideae, Combretaceae, Mimosoideae, dan Papilionoideae yang meliputi 76% total nilai pemanfaatan untuk arang batu bara. Hasil analisis vegetasi di hutan hujan dataran rendah Yongsu dan Mamberamo ditemukan 412 spesies di antaranya 8 spesies merupakan spesies baru ditemukan yang belum ada di herbarium Bogoriense (spesimen contoh). Tingkat kanopi didominasi oleh Manilkara fasciculata, Mastixiodendron pachyclados, Palaquium ridleyi, Pometia pinnata, Vatica rassak, Ceratopetalum succirubun dan Parastemon urophyllus. Jumlah spesies yang ditemukan kebanyakan digunakan oleh masyarakat untuk pembuatan rumah dan perahu (CABS at al. 2000). Di Wapoga Papua ditemukan 430 jenis tumbuhan berpembuluh kayu, palem 269 jenis dan 32 jenis semak dan herba. Khusus palem yang teridentifikasi 24 jenis, sisanya dianggap jenis baru karena belum ada spesimen contoh di herbarium Bogoriense salah satunya palem raksasa Licuala sp. Sebagian besar dari jenis-jenis yang ditemukan dimanfaatkan oleh masyarakat (CABS at al. 1998). Pemanfaatan tumbuhan oleh Masyarakat Kabupaten Teluk Wondama disekitar CAPW sebagai bahan pangan, bahan sandang, bahan bangunan, bahan alat (rumah tangga, pertanian, berburu), kerajinan, kesenian, obat-obatan tradisional, kayu bakar dan perlengkapan upacara adat. Berdasar pengalaman pemanfaatan tumbuhan secara alami dimiliki masyarakat dan mampu mengklasifikasikan setiap jenis tumbuhan berdasar fungsi dan kegunaan. 2.5. Sistem Pengetahuan Tradisional Pengetahuan merupakan kapasitas manusia memahami dan menginterpretasikan baik hasil pengamatan maupun pengalaman, sehingga bisa digunakan untuk meramal ataupun sebagai dasar pertimbangan mengambil keputusan. Pengetahuan merupakan keluaran dari proses pembelajaran, penjelasan berdasar persepsi dan tercakup pula pemahaman dan interpretasi masuk akal. Kondisi dan hambatan karena norma budaya atau kewajiban dapat mempengaruhi arah keputusan diambil, sehingga dikatakan sistem pengetahuan bersifat dinamis, karena terus berubah sesuai dengan waktu (Sunaryo dan Joshi 2003). Pengetahuan tradisional secara umum diartikan sebagai pengetahuan yang digunakan masyarakat tradisional untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan khusus (Warren 1991). Istilah ini sering digunakan dalam pembangunan berkelanjutan dan rancu dengan pengetahuan teknis, pengetahuan lingkungan tradisional dan pengetahuan pedesaan. Batasan lebih rinci diberikan Johnson (1992), pengetahuan tradisional adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan ini juga merupakan hasil kreativitas dan uji coba secara terus-menerus melibatkan inovasi internal dan pengaruh eksternal dalam usaha menyesuaikan kondisi baru. Oleh karena itu salah jika kita berpikir bahwa pengetahuan tradisional itu kuno, terbelakang, statis atau tak berubah (Sunaryo dan Joshi 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa pengetahuan tradisional tidak hanya sebatas pada apa dicerminkan dalam metode dan teknik saja, tetapi juga mencakup pemahaman (insight), persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition) berkaitan dengan lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakan bulan atau matahari, astrologi, kondisi geologis dan meteorologis. Pengetahuan tradisional sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya, dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu cukup lama akan menjadi suatu 'kearifan tradisional'. Pengetahuan tradisional mengalami proses evolusi berdasar perkembangan dan perubahan kondisi alami (Purwanto 2000). Perkembangan pengetahuan tradisional dan modern sangat signifikan maka perlu keseimbangan pemahaman terhadap kedua pengetahuan tersebut di masa globalisasi. Menurut Choesin (2002) bahwa model connection sebagai reaksi simbol proses belajar dapat menggambarkan interaksi dan pertemuan pengetahuan lama dan pengetahuan baru yang datang dari luar melalui informasi diproses bersama sehingga dapat memahami perubahan yang terjadi. Dalam konteks pengelolaan lingkungan Winarto dan Choesin (2001) menyatakan bahwa model koneksi mendukung pembentukan dan pengayaan pengetahuan tradisional melalui penguatan institusi dan pranata sosial yang telah ada. 2.6. Sistem Konservasi Secara Tradisional Praktik konservasi tradisional merupakan kesatuan sistem pengetahuan tradisional masyarakat setempat, diperoleh dari interaksi manusia dengan lingkungan serta seluruh aspek kebudayaan yang umumnya melalui warisan leluhur dan pengalaman selama bertahun-tahun, sehingga dalam perkembangan masyarakat tersebut mempraktekkan kaidah konservasi yang memiliki kekhasan khusus sesuai kondisi daerah (Wiratno et al, 2001). Praktek konservasi di Indonesia selama ini masih kurang memperhatikan dan melibatkan masyarakat tradisional sehingga hampir setiap kawasan konservasi belum dapat diterima secara sosial, ekonomi dan budaya (Iskandar 1992). Padahal, jika strategi konservasi didasarkan pada potensi dan aspirasi masyarakat tradisional maka biaya pembangunan kawasan konservasi sangat murah, karena pengetahuan dan kearifan tradisional menjadi energi sosial untuk tumbuh kembang komunitas di unit tradisional menuju tingkat kehidupan yang lebih baik (Wiratno et al. 2002). Contohnya dapat dilihat pada berbagai komunitas adat, seperti sistem "sasi" di Maluku, sistem "subak" di Bali, dan masih banyak lagi sistem pengelolaan tradisional yang belum terdokumentasi. 2.7. Sistem Konservasi Tradisional Masyarakat Papua Sistem konservasi secara tradisional oleh masyarakat Papua sudah lama dikenal secara turun temurun dari nenek moyang secara lisan pada setiap suku antara lain: a. Karar Salah satu kebiasaan yang sampai sekarang dilakukan masyarakat pedesaan Biak Numfor dikenal dengan sebutan "karar". Istilah karar berhubungan dengan kebiasaan di mana kebun kelapa kepunyaan penduduk desa/dusun dilarang untuk diambil hasil selama jangka waktu tertentu dengan maksud agar sampai waktu ditentukan dapat diperoleh hasil lebih baik (Ap dan Prioyulianto 1995). b. Sasi Sasi merupakan larangan menangkap ikan pada daerah perairan tertentu selama jangka waktu tertentu; sasi merupakan tradisi dipakai masyarakat Ormu di kabupaten Jayapura. Larangan itu dilakukan pada masa pancaroba yaitu masa peralihan antara musim angin barat ke musim angin timur. Tujuannya adalah agar ikan yang telah memasuki perairan teluk di sekitar kawasan pemukiman tidak terdesak pindah ke kawasan lain serta dimaksudkan agar ikan yang ada dapat berkembang biak lebih banyak (Ap dan Prioyulianto 1995). c. Igya Ser Hanjop Konsep Igya Ser Hanjop diambil dalam bahasa Hatam sebagai terjemahan dari istilah konservasi dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Hatam dalam istilah tersebut karena Suku Hatam merupakan suku mayoritas di Pegunungan Arfak dan bahasanya dimengerti oleh suku-suku yang lain. Sejak dahulu masyarakat Pegunungan Arfak menerapkan konsep hanjop (batas) dalam kehidupan sehari-hari. Batas yang dimaksud adalah batas kepemilikan terutama lahan atau wilayah kampung. Masyarakat saling menjaga dan menghormati batas yang telah menjadi miliknya dan milik orang lain sehingga aktivitas yang dilakukan tidak diluar dari batas kepemilikan. Dalam penentuan daerah konservasi juga digunakan konsep hanjop. Masyarakat tidak boleh melakukan aktivitas tertentu seperti yang telah diatur dalam aturan konservasi di dalam batas (hanjop) tersebut. Akhirnya, pengertian tentang konservasi diterjemahkan ke dalam bahasa Hatam sebagai Igya Ser Hanjop. Istilah tersebut berasal dari kata Igya, Ser dan Hanjop. Igya artinya kita berdiri, Ser artinya penghalang atau penjaga dan Hanjop artinya batas. Jadi arti harafiah Igya Ser Hanjop kurang lebih adalah kita berdiri menjaga batas. Istilah tersebut semacam peringatan kepada masyarakat agar menjaga batas dengan tidak melewati batas telah ditentukan pada saat mengambil dan memanfaatkan hasil hutan. Lebih lanjut, istilah Igya Ser Hanjop diartikan mari kita bersama-sama menjaga hutan untuk kepentingan bersama (Laksono et al. 2001) 2.8. Konsep Ekologi-Budaya Purwanto (2000) berpendapat bahwa ekologi budaya merupakan suatu dasar dalam mengkaji keterkaitan hubungan antara teknologi suatu kebudayaan dan lingkungan, antara lain dengan menganalisis pola hubungan pola tata kelakuan dalam suatu komunitas dengan teknologi yang digunakan dan yang mempengaruhi sikap dan pandangan mereka, sehingga masyarakat dari suatu kebudayaan dapat melakukan aktivitas mereka dan akhimya mampu bertahan hidup terus. Berdasar pendapat tersebut, dalam analisis terdapat bagian inti dari sistem budaya yang sangat responsif terhadap adaptasi ekologis. Dalam hal ini, Geerzt (1983) berasumsi bahwa analisis ekologis hanya relevan pada aspek inti kebudayaan, melalui analisis ekologis mampu ditunjukkan konstelasi unsur penting paling erat berkaitan dengan pengaturan kehidupan, sehingga secara empirik pola sosial, politik dan agama diduga erat berkaitan dengan pengaturan pola kehidupan. Oleh karena itu, pusat perhatian ekologi budaya lebih berdasar pengalaman empirik, terutama yang paling erat berkaitan dengan pemanfaatan lingkungan. Perbedaan karakteristik lingkungan (alam, sosial, binaan) menunjukkan strategi adaptasi yang dikembangkan masyarakat. Strategi adaptasi berdasar pengetahuan diperoleh dari pengalaman adaptasi terhadap lingkungan yang khas, karena itu suatu komunitas mengembangkan modal sosial yang adaptif terhadap lingkungan. Kearifan lingkungan terkait sistem kultur sosial, yang menurut Keesing (1999) dibentuk oleh ide, aktivitas dan material; KLH (1997) menyebutkan bahwa sistem sosial kultur terdiri tiga unsur, yakni infrastruktur material, struktur sosial dan supra struktur ideologis. Sistem sosial kultural mengacu pada sekumpulan orang yang memakai berbagai cara untuk (1) beradaptasi dengan lingkungan mereka, (2) bertindak menurut bentuk perilaku sosio-ekologis yang sudah terpolakan, dan (3) menciptakan kepercayaan atau nilai bersama yang dirancang untuk memberi makna pada berbagai pola tindakan kolektif mereka. Kementrian Negera Lingkungan Hidup (1997) menjelaskan bahwa ketiga unsur sistem sosial kultural saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lain, di sisi lain perangkat ini juga tidak terlepas dari pengaruh lingkungan biofisik. Manfaat yang diperoleh manusia dari lingkungan, terutama masyarakat subsisten terhadap alam yang memberikan penghidupan sehingga di bentuk aturan dalam pengelolaan lingkungan secara sosial. Norma mengatur kelakuan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan, ditambah kearifan tradisional yang mereka miliki, merupakan etika lingkungan yang mempedomani perilaku manusia dalam mengelola lingkungan (Purwanto 2000). Mansoben (2003) mengatakan paling tidak ada tiga orientasi nilai budaya terhadap alam yang diwujudkan oleh masyarakat Papua. Pertama adalah alam merupakan sesuatu yang berpotensi dan harus dieksploitasi untuk kesejahteraan Kedua adalah alam merupakan sarana atau media bagi manusia untuk kelangsungan hidup dalam berekspresi melalui karyanya terhadap lingkungan. Hal ini menyebabkan manusia bersikap simpati dan solider dengan alam. Akibat dari sikap demikian ialah alam tidak boleh diperlakukan semena-mena misalnya dalam bentuk eksploitasi. Ketiga adalah alam merupakan sesuatu yang sakral, oleh karena itu tidak boleh diganggu. Konsekwensi dari nilai orientasi yang berbeda-beda inilah yang menyebabkan bentuk interaksi terhadap lingkungan alamnyapun berbeda-beda pula. Ketiga nilai orientasi budaya tersebut di atas dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan yang lestari, maka tidak dapat diperdebatkan, bahwa pada masyarakat pendukung kedua nilai orientasi budaya tersebut terakhir tidak terdapat persoalan yang amat serius dengan pelestarian lingkungannya. Hal ini berbeda dengan kelompok masyarakat pendukung nilai orientasi budaya yang disebut pertama. 2.9. Pendekatan Etnoekologi Akhir-akhir ini usaha menerapkan ekologi kedalam studi mengenai manusia merupakan suatu usaha untuk mendapat kerangka analisa mengenai seberapa jauh dan bagaimana cara kebudayaan manusia dibentuk oleh kondisi lingkungan dalam konsep ekosistem (Geerzt 1983). Selanjutnya Keesing (1999) menyatakan bahwa penafsiran deterministik lingkungan dengan melakukan pemahaman ekosistem dalam kerja lapang disebut sebagai etnografi. Etnografi dalam perkembangan terbentuk pendekatan baru dikenal sebagai metode etnosains yaitu analisis logik berdasar bahan etnografi (Poerwanto 2000). Pendekatan etnoekologi merupakan salah satu pendekatan yang ada dalam antropologi ekologi. Adapun tujuan dan metode pendekatan ini banyak berasal dari etnosains, sebagaimana diketahui bahwa etnosains bertujuan melukiskan lingkungan sebagaimana dilihat masyarakat yang diteliti. Berdasar perspektif tersebut, studi etnoekologi menurut Purwanto (2003) bertujuan untuk menganalisis dan mengevaluasi secara ekologis aktivitas intelektual dan tindakan praktis yang dilakukan sekelompok masyarakat atau etnik sesuai kondisi alamiah. Hal ini dimaksudkan untuk dapat menebak perilaku orang dalam berbagai aktivitas berkaitan dengan lingkungan. Pendekatan etnoekologi merupakan salah satu pendekatan tertentu, berbeda dengan pendekatan lain dalam antropologi ekologi. Pendekatan ini mempunyai ciri tertentu yang lain dari pendekatan lainnya. Arifin (2002) menunjukkan lima (5) ciri pendekatan etnoekologi, yaitu: (1) Etnoekologi menekankan "perceptual environment" dan secara umum kurang memperhatikan/mempertimbangkan secara serius interaksi antara domain kognitif atau dengan hasil lingkungan efektif yang hampir atau sedikit ada hubungan interaksional dengan pendekatan modern; (2) Etnoekologi dimaksudkan mendeskripsikan secara emik domain budaya, meliputi "perseptual environment". Secara mendasar, etnoekologi bermaksud menganalisis semantik secara formal; (3) Analisis etnoekologi dibatasi pada saling hubungan ekologis bersifat intra cultural: (4) Etnoekologi berkaitan lingkungan efektif, hal ini dimaksudkan untuk melakukan evaluasi dan prediksi efek kemungkinan perilaku bervariasi dalam partisipasi lingkungan mikro, yaitu lingkungan yang sering dibatasi untuk masyarakat lain; (5) Etnoekologi membuat asumsi dengan kadar tinggi terhadap homogenitas dan stabilitas di dalam kategorisasi budaya.