Pengelolaan tanaman cabai keriting hibrida TM 999

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Cabai
Cabai merupakan salah satu tanaman perdu dari famili Solanaceae.
Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan dan disebarluaskan ke seluruh dunia
oleh para pelancong. Jenis dan ragam tanaman cabai cukup banyak, diperkirakan
terdapat 20 jenis cabai di seluruh dunia. Jenis cabai yang umum dibudidayakan
oleh masyarakat adalah C. annuum, C. frutescens, C. chinense, C. pendulum dan
C. pubescens (Basu et al. 2003). Buah cabai memiliki rasa dan aroma yang khas,
beberapa jenis kuliner nusantara menggunakan cabai sebagai salah bahan
pelengkapnya. Buah cabai mengandung vitamin, gizi, protein, lemak, karbohidrat,
kalsium, vitamin A, B1, dan vitamin C. Buah cabai tidak hanya dimanfaatan
sebagai bahan penambah rasa, aroma atau hiasan pada makanan, buah cabai juga
digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan obat-obatan (Duke 2002).
Klasifikasi
Kingdom
Divisi
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
: Tumbuhan
: Magnoliophyta
: Magnoliopsida
: Solanales
: Solanaceae
: Capsicum
: annum
Agronomi. Cabai merupakan tanaman berkayu dengan panjang batang
utama berkisar antara 20-28 cm dan diameter batang antara 1.5-2.5 cm
(Hewindati 2006). Percabangan batang berwarna hijau dengan panjang mencapai
5-7 cm dengan diameter cabang dikotom sekitar 0.5-1 cm. Bentuk percabangan
menggarpu dengan posisi daun berselang-seling, daun berbentuk hati, lonjong
atau agak bulat telur (Dermawan 2010).
Bunga cabai berbentuk seperti terompet atau bintang dengan warna bunga
umumnya putih, namun ada beberapa jenis cabai yang memiliki warna bunga
ungu. Bunga cabai termasuk bunga sempurna, karena mempunyai struktur bunga
yang lengkap seperti tangkai, dasar, kelopak, mahkota bunga, alat kelamin jantan
dan alat kelamin betina. Buah cabai berbentuk kerucut memanjang, lurus atau
bengkok. Bagian ujung buah meruncing, mempunyai permukaan yang licin dan
mengkilap, posisi buah menggantung pada cabang tanaman. Buah cabai
mempunyai bentuk dan warna yang beragam, namun setelah masak sebagian
besar berwarna merah.
4
Cabai Keriting Hibrida TM 999
Cabai keriting hibrida TM 999 merupakan salah satu varietas dari C.
annuum yang berasal dari Hungnong, Korea. Tanaman tegak dengan pertumbuhan
tanaman yang kuat dan kokoh, tanaman ini memiliki ketinggian sekitar 110-140
cm. Pembungaan berlangsung terus-menerus sehingga dapat dipanen dalam
jangka waktu yang panjang. Bentuk buah yang dihasilkan ramping dengan ujung
buah runcing, buah berukuran 12.5 x 0.8 cm dengan berat buah sekitar 5-6
g. Buah muda berwarna hijau dengan kulit buah agak mengkilat, setelah masak
warna buah berubah menjadi merah. Panen dapat dilakukan setelah tanaman
berumur 90 hst untuk dataran rendah dan 105 hst pada dataran tinggi. Produksi
cabai keriting hibrida TM 999 berkisar antara 0.8-1.2 kg setiap tanamannya.
Budidaya Tanaman Cabai
Persiapan lahan meliputi kegiatan pembersihan lahan dari sampah dan sisa
tanaman, kemudian dilakukan penggemburan tanah. Penggemburan tanah
dilakukan dengan menggunakan cangkul atau traktor dengan kedalaman tanah
kurang lebih 30 cm. Kegiatan selanjutnya adalah pembuatan bedeng, umumnya
tinggi bedeng sekitar 0.4 m, lebar 1 m dan jarak antar bedeng 40-50 cm. Bedeng
yang telah siap kemudian ditutup dengan menggunakan mulsa perak. Pembuatan
lubang tanam dilakukan dengan jarak sekitar 60 cm.
Kegiatan persemaian dimulai dengan menyiapkan media semai, media
semai yang digunakan adalah campuran tanah dan kompos dengan perbandingan
2 : 1. Campuran tersebut diaduk secara merata dan dimasukkan ke dalam polibag
yang berukuran 4 x 6 cm. Benih yang telah diperam dimasukan kedalam polibag
yang telah disediakan, kemudian ditutup dengan sedikit media semai. Polibag
yang telah terisi benih cabai kemudian diletakkan pada petak semai. Penyiraman
dilakukan dua kali sehari atau disesuaikan dengan kondisi cuaca.
Pemindahan bibit cabai ke lahan dilakukkan ketika bibit sudah berumur 25
hari setelah semai (hss) atau ketika tanaman telah memiliki daun sebanyak 4-5
helai. Bibit yang akan ditanam terlebih dahulu dikeluarkan dari polibag dengan
cara mengepal polibag terlebih dahulu sebelum merobeknya. Bibit dimasukkan ke
dalam lubang tanam dengan posisi tegak dan ditutup dengan tanah. Pemberian ajir
dilakukan pada umur 7 hari setelah tanam (hst) pada bagian luar lubang tanam
dengan jarak sekitar 10 cm. Setelah cabai berumur 15-21 hst dilakukan pengikatan
dengan menggunakan tali.
Pemupukan dilakukan setelah tanaman cabai berumur 3, 6 dan 9 minggu
setelah tanam (mst). Pupuk yang diberikan adalah Urea, Suprphos dan KCL
dengan perbandingan 2:1:1 pada umur tanaman 3 mst, 1:1:1 pada umur tanaman 6
mst dan 1:2:2 pada umur 9 mst. Dosis dan perbandingan pupuk sangat tergantung
pada kondisi lahan yang digunakan, sehingga kemungkinan adanya perbedaan
mengenai dosis dan perbandingan pada masing-masing daerah sangat besar.
Pemupukan dilakukan dengan memasukkan pupuk tersebut ke dalam lubang
tanam sebanyak 10 gram dengan jarak pemberian pupuk dari tanaman cabai
sekitar 15 cm.
5
Panen dilakukan ketika buah telah berwarna merah secara keseluruhan,
umumnya panen dilakukan ketika tanaman cabai berumur 2 bulan. Panen
dilakukan dengan memetik buah beserta tangkainya atau dengan menarik buah
secara berlawanan dengan arah buah. Interval panen 3-5 hari sekali dengan masa
panen 1-2 bulan atau lebih. Buah yang cacat (karena penyakit atau penyebab lain)
dipisahkan dari buah yang lain.
Budidaya Konvensional. Budidaya konvensional pada tanaman cabai
merupakan kegiatan budidaya tanaman yang umum dilakukan oleh petani,
penggunaan pupuk dan pestisida kimia dilakukan secara intensif. Penggunaan
pupuk dan pestisida kimia secara intensif dimulai sejak munculnya gerakan
revolusi hijau di Indonesia. Selama revolusi hijau, teknologi di bidang pertanian
berkembang pesat dan telah digunakan dalam meningkatkan produktivitas
pertanian.
Penggunaan pupuk dan pestisida kimia memang terbukti berhasil
meningkatkan produktivitas pertanian, namun dampak negatif yang ditimbulkan
cukup besar bagi pertanian. Sekitar akhir tahun 1970 beberapa ahli pertanian
melaporkan adanya berbagai permasalahan yang muncul dari penggunaan
pestisida kimia dalam bidang pertanian (Oka 1978). Permasalahan yang muncul
seperti resistensi hama, munculnya outbreak hama dan penyakit, pencemaran
lingkungan dan gangguan kesehatan pada manusia (Resosudarmo et al. 2011).
Penggunaan pestisida kimia dalam mengendalikan hama dan penyakit
tanaman masih tetap dilakukan petani sampai saat ini. Petani masih menganggap
bahwa penggunaan pestisida kimia merupakan pilihan yang tepat dalam
mengendalikan keberadaan hama dan penyakit. Dampak negatif yang ditimbulkan
dari aplikasi pestisida yang dilakukan oleh petani semakin besar karena
penggunaannya yang tidak sesuai dengan aturan dan dosis yang berlaku. Kondisi
ini dipicu oleh minimnya informasi mengenai dampak negatif yang ditimbulkan
oleh penggunaan pestisida, serta tingginya tingkat kekhawatiran petani terhadap
kemungkinan gagal panen.
Budidaya Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Stern et al. (1959)
memperkenalkan konsep “pengendalian terpadu” ketika penggunaan pestisida
kimia seperti organoklorin, organopospat (Ops) dan karbamat menjadi pilihan
utama dalam mengendalikan hama dan penyakit. Konsep pengendalian hama
terpadu (PHT) didasarkan pada ambang ekonomi dan ekologi, dimana
pengendalian kimia dan biologi dikembangkan secara bersama-sama dan sinergis.
Penggunaan agen hayati dan pendekatan rasional merupakan kunci utama strategi
PHT yang mampu memenuhi tantangan di bidang pertanian (Ishaaya 2003;
Horowitz dan Ishaaya 2004; Ishaaya et al. 2005). Ehler et al. (2006) dalam Weiss
et al. (2009) memaparkan bahwa PHT merupakan suatu kegiatan bersama yang
mencakup pengelolaan hama, monitoring hama, musuh alami dan agen antagonis.
Penggunaan pestisida dan taktik pengendalian hama berdasarkan nilai ambang
ekonomi.
Penerapan PHT secara operasional mencakup upaya pengendalian hama
dan penyakit secara preemtif dan responsif. Upaya preemtif adalah upaya
pengendalian yang didasarkan pada informasi dan pengalaman mengenai status
hama dan penyakit pada waktu sebelumnya. Upaya ini mencakup penentuan pola
6
tanam, penentuan varietas, penentuan waktu tanam, keserentakan tanam,
pemupukan, pengairan, jarak tanam, penyiangan, penggunaan agen antagonis dan
budidaya lainnya. Sedangkan upaya responsif adalah upaya pengendalian yang
didasarkan pada informasi status hama dan penyakit dan faktor yang berpengaruh
pada musim yang sedang berlangsung, serta pertimbangan biaya dari tindakan
yang perlu dilakukan. Upaya ini meliputi penggunaan musuh alami, pestisida
nabati, pengendalian mekanis, antraktan dan pestisida kimia.
Konsep PHT di Indonesia mulai dilaksanakan pada tahun 1976, pada tahun
1989 dikembangkan program PHT yang fokus pada tanaman padi. Pemerintah
mendukung pengembangan PHT dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No.3
tahun 1986 mengenai pelarangan 57 formulasi insektisida pada tanaman padi.
Perkembangan PHT cukup signifikan dalam periode tahun periode 1989-1999
melalui program sekolah lapang PHT (SLPHT). Program ini membantu petani
untuk menerapkan konsep PHT pada budidaya padi dan tanaman pangan, melalui
serangkaian kuliah dan praktek langsung di lapangan.
Budidaya PHT terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman dan meminimalisir penggunaan bahan-bahan kimia, serta
mendukung pertanian yang berkelanjutan. Minimnya penggunaan bahan kimia
berdampak positif bagi kesehatan tanah dan mendukung perkembangan
mikroorganisme yang berguna bagi tanaman. Secara teknis budidaya PHT
memang terkesan lebih rumit daripada budidaya konvensional, kemungkinan hal
inilah yang menyebabkan budidaya PHT kurang diminati oleh petani. Kurangnya
informasi mengenai program PHT dan berbagai hal yang mendukungnya
merupakan permasalahan utama dalam penerapan PHT di Indonesia.
Hama dan Penyakit Tanaman Cabai
Empoasca sp.
Empoasca sp. merupakan serangga penghisap cairan tanaman yang
berukuran kecil (sekitar 3-4 mm). Umumnya serangga ini berbentuk
brachyptera, yaitu serangga yang memiliki sayap pendek dan aktif pada malam
hari (Capinera 2001). Serangga ini menjadi hama penting pada tanaman kapas,
selain kapas serangga ini juga menyerang rumput, bunga, sayuran, buah, semak,
palem dan gulma.
Serangan Empoasca sp. terlihat dari munculnya bercak berwarna putih pada
permukaan daun. Serangga ini menghisap cairan tanaman pada mesofil dan
jaringan pembuluh (floem dan xylem) daun. Empoasca sp. lebih menyukai daerah
yang teduh, sehingga serangan yang berat sering terlihat pada daun bagian bawah.
Pengendalian dilakukan dengan menggunakan teknik pengendalian fisik,
mekanik, biologi dan kimia. Pemanfaatan musuh alami dilaporkan mampu
mengendalikan serangan hama ini.
7
Kutu Kebul
Bemisia tabaci (Genn) (Hemiptera : Aleyrodidae)
Kutu kebul merupakan salah satu serangga dari famili Aleyrodidae yang
dijumpai menyerang tanaman cabai di daerah tropis dan sub-tropis. Kisaran
inang serangga ini cukup luas dan dapat mencapai populasi yang besar dalam
waktu yang cepat apabila kondisi kondisi lingkungan menguntungkan. Beberapa
tanaman pertanian yang menjadi inang kutu kebul adalah kentang, timun, melon,
labu, terong, cabai, lettuce dan brokoli.
Kerusakan langsung pada tanaman disebabkan oleh aktivitas imago dan
nimfa yang mengisap cairan daun, gejala yang timbul berupa becak nekrotik pada
daun akibat rusaknya sel-sel dan jaringan daun. Ekskresi kutu kebul menghasilkan
embun madu, embun madu yang dihasilkan lebih susah dihilangkan daripada yang
dihasilkan oleh aphid, karena ukuran embun madu yang dihasilkan lebih besar.
Embun madu merupakan media yang baik bagi tumbuhnya embun jelaga,
keberadaan embun jelaga menyebabkan terganggunya proses fotosintesis pada
daun. Selain kerusakan langsung oleh isapan imago dan nimfa, kutu kebul sangat
berbahaya karena dapat bertindak sebagai vektor virus. Sampai saat ini tercatat 60
jenis virus yang ditularkan oleh kutu kebul antara lain Geminivirus, Closterovirus,
Nepovirus, Carlavirus, Potyvirus, Rod-shape DNA Virus.
Pengendalian dapat dilakukan dengan menerapkan sistem pergiliran
tanaman (rotasi) dengan tanaman bukan inang, seperti tanaman tomat, cabai,
kentang dan mentimun. Pemasangan perangkap warna, kelambu dan sanitasi
tanaman yang terserang merupakan pengendalian teknis yang mampu menekan
populasi hama ini. Secara biologi pengendalian dapat dilakukan dengan
menginfestasikan kumbang predator Menochilus sexmaculatus (Coccinelidae)
atau parasitoid nimfa Encarcia formosa.
Kutu daun melon
Aphis gossypii (Glover) (Hemiptera: Aphididae)
Penyebaran hama ini sangat luas, meliputi daerah beriklim tropis dan sedang
kecuali Canada bagian utara dan Asia bagian utara. Kisaran inang dari hama ini
cukup luas, seperti tanaman dari family Fabaceaae (Legumes, Lucerne),
Solanaceae, Cucurbitaceae dan asteraceae. Kutu daun menyebabkan kerusakan
yang cukup serius pada beberapa tanaman sayuran, seperti asparagus, cabai,
terong dan okra. Selain tanaman sayuran, kutu daun juga menyebabkan kerusakan
yang cukup parah pada jeruk, kapas dan melon.
Serangan berat biasanya terjadi pada musim kemarau. Bagian tanaman yang
diserang oleh nimfa dan imago biasanya pucuk tanaman dan daun muda. Daun
yang diserang akan mengkerut, mengeriting dan melingkar, menyebabkan
pertumbuhan tanaman terhambat dan tanaman menjadi kerdil. Hama ini juga
mengeluarkan cairan manis seperti madu, yang biasanya disebut dengan embun
madu. Embun madu menarik datangnya semut dan cendawan jelaga. Adanya
cendawan pada buah dapat menurunkan kualitas buah. Aphid juga dapat berperan
sebagai vektor virus (50 jenis virus) seperti, Papaya Ringspot Virus, Watermelon
Mosaic Virus, Cucumber MosaicVirus (CMV).
8
Pengendalian dapat dilakukan dengan menginfestasikan musuh alami
seperti, parasitoid Aphelinus gossypi (Timberlake), Lysiphlebus testaceipes
(Cresson), predator Coccinella transversalis atau cendawan entomopatogen
Neozygites fresenii.
Lalat Buah
Bactrocera dorsalis (Hendel) (Diptera: Tephritidae)
Keragaman jenis dari lalat buah (Tephhritidae) di seluruh dunia cukup
tinggi, kurang lebih terdapat sekitar 4000 jenis lalat buah yang tersebar di seluruh
dunia. Beberapa jenis dari serangga ini merupakan hama penting pada pertanian,
diantaranya adalah lalat buah dari genus Anastrepha, Ceratitis dan Bactrocera.
Genus Bactrocera terdiri dari 350-375 jenis, sedangkan jenis yang umum menjadi
hama pada genus ini adalah Bactrocera dorsalis (Hendel). Lalat buah tercatat
telah menyerang lebih dari 150 jenis buah dan sayuran, termasuk jeruk, jambu
biji, mangga, pepaya, alpukat, pisang, tomat, ceri Suriname, jambu, markisa,
kesemek, nanas, persik, pir, aprikot, ara, dan kopi. Alpukat, manga dan pepaya
merupakan buah-buahan yang sering diserang oleh hama ini.
Lalat buah oriental menyebabkan kebusukan pada buah, gejala pada buah
yang terserang ditandai dengan adanya titik hitam pada bagian pangkal buah,
gejala ini timbul karena bekas tusukan ovipositor lalat dewasa yang memasukkan
telurnya. Pengendalian hama ini cukup sulit untuk dilakukan, karena hama ini
menyerang dari dalam buah dan hanya stadia larva yang menjadi hama.
Umumnya pengendalian dilakukan dengan melakukan rotasi tanaman,
pembungkusan, perangkap feromon (metil eugenol) atau infestasi parasitoid.
Thrips
Thrips parvispinus (Karny) (Thripidae:Thysanoptera)
Thrips menjadi hama penting pada beberapa tanaman pertanian di Indonesia
dan mampu menyebabkan kerugian yang cukup besar. Hama ini berasal dari Asia
Tenggara, penyebaran hama ini meliputi Indonesia, Thailand, Malaysia, Papua
Nugini dan Australia Utara, Hawaii, kepulauan Mikronesia, dan Yunani. Di
Indonesia, serangga ini menyerang beberapa tanaman di provinsi Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, DI
Yogyakarta dan Jawa Timur. Hama ini bersifat polifag dengan tanaman inang
utama cabai, bawang merah, bawang daun dan jenis bawang lainnya dan
tomat.Sedangkan tanaman inang lainnya tembakau, kopi, ubi jalar, waluh, bayam,
kentang, kapas, tanaman dari famili Crusiferae, Crotalaria dan kacang-kacangan.
Thrips menyebabkan daun bagian bawah berwarna keperak-perakan,
kemudian daun mengeriting atau keriput. Hama ini menyerang dengan cara
menghisap cairan tanaman pada bagian daun atau bunga. Gejala awal ditandai
dengan adanya bercak-bercak berwarna putih atau keperak-perakan yang tidak
beraturan. Setelah beberapa waktu, noda keperakan tersebut akan berubah menjadi
cokelat tembaga, kemudian daun akan mengeriting/keriput dan mati. Serangan
yang berat dapat menyebabkan pucuk daun menggulung ke dalam dan timbul
9
benjolan seperti tumor. Pertumbuhan tanaman yang terserang akan terhambat,
kerdil bahkan mati pucuk. Thrips merupakan vektor penyakit virus mosaik dan
virus keriting. Pengendalian yang umum dilakukan oleh petani adalah dengan
memasang mulsa perak, melakukan sanitasi, pergiliran tanaman dan aplikasi
insektisida.
Ganjur Cabai
(Asphondylia sp) (Diptera: Ceccidomyiidae)
Hama ganjur cabai merupakan hama baru yang menyerang tanaman cabai.
Buah cabai yang terserang akan mengalami malformasi, bentuk buah memuntir
dan membengkak (Orphanides 1975; Harris 1975). Kerusakan yang ditimbulkan
menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas produksi buah. Serangan hama ini
sering terlihat pada buah muda daripada buah matang, buah muda yang terserang
masih berkembang dan matang meskipun dengan ukuran yang lebih kecil. Hama
ganjur cabai meletakkan telur pada saat cabai mulai berbunga, sehingga ketika
larva menetas mendapatkan makanan berupa jaringan daging buah muda. Gejala
serangan pada buah terlihat pada kisaran 7-10 hari setelah peneluran, lama
stadium telur dan larva masing-masing 3 dan 7 hari (Orphanides 1975).
Gallagheret et all. (2002) menyarankan pengendalian preventif dengan
memanfaatkan musuh alami dan tindkan pengendalian secara fisik, mekanik dan
kimia.
Antraknosa (Colletotrichum capsici)
Penyakit ini menyerang bagian buah cabai, baik buah yang masih muda
maupun yang sudah masak. Cendawan ini termasuk salah satu patogen yang
terbawa oleh benih. Penyebaran penyakit ini terjadi melalui percikan air, baik air
hujan maupun alat semprot. Suhu optimum bagi perkembangan cendawan ini
berkisar antara 20–24° C.
Gejala awal penyakit ini ditandai dengan munculnya bercak yang agak
mengkilap, sedikit terbenam dan berair, berwarna hitam, orange dan coklat.
Warna hitam merupakan struktur dari cendawan (mikro skelerotia dan aservulus),
apabila kondisi lingkungan lembab tubuh buah akan berwarna orange atau merah
muda. Luka yang ditimbulkan akan semakin melebar dan membentuk sebuah
lingkaran konsentris dengan ukuran diameter sekitar 30 mm atau lebih. Dalam
waktu yang tidak lama buah akan berubah menjadi coklat kehitaman dan
membusuk, ledakan penyakit ini sangat cepat pada musim hujan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan membersihkan lahan dan tanaman yang
terserang agar tidak menyebar. Seleksi benih atau menggunakan benih cabai yang
tahan terhadap penyakit ini perlu dilakukan mengingat penyakit ini termasuk
patogen tular benih. Hindari pengguanaan alat semprot, atau lakukan sanitasi
terlebih dahulu sebelum menggunakan alat semprot. Secara kimia, pengendalian
dapat dilakukan dengan aplikasi fungisida sistemik yang berbahan aktif
triadianefon dicampur dengan fungisida kontak berbahan aktif tembaga hidroksida
atau mankozeb.
10
Layu Bakteri (Pseudomonas solanacearum)
Penyakit ini disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum, bakteri ini
ditularkan melalui tanah, benih, bibit, sisa-sisa tanaman, pengairan, nematoda atau
alat-alat pertanian. Selain itu, bakteri ini mampu bertahan selama bertahun-tahun
di dalam tanah dalam keadaan tidak aktif. Penyakit ini cepat meluas terutama di
tanah dataran rendah.
Gejala awal ditandai dengan munculnya kelayuan yang tidak permanen pada
tanaman cabai, namun pada stadia lanjut kelayuan terjadi secara menyeluruh dan
permanen. Tanaman cabai mengalami kelayuan dan mati pada kurun waktu 3 hari
atau lebih. Keberadaan bakteri pada tanaman dapat diketahui dari adanya cairan
berwarna coklat susu berlendir, semacam asap yang keluar dari jaringan pembuluh
apabila batang dimasukkan ke dalam air.
Pengendalian dilakukan dengan menyingkirkan tanaman yang terserang
dengan segera sehingga tidak menyebar ke tanaman yang lain. Pencegahan dapat
dilakukan dengan cara menjaga bedengan tanam selalu dalam kondisi kering di
luar. Rotasi tanaman mampu mengurangi resiko serangan penyakit tersebut.
Secara kimiawi, pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan fungisida
berbahan aktif tembaga hidroksida, konsentrasi yang digunakan adalah 5 - 10
g/liter. Aplikasi dilakukan pada lubang tanam sebanyak 200 ml/tanaman dengan
interval waktu 10 - 14 hari dan dimulai saat tanaman mulai berbunga.
Bercak Daun (Cercospora capsici)
Bercak daun disebabkan oleh cendawan Cercospora capsici, cendawan ini
mampu bertahan hidup pada sisa-sisa tanaman. Gejala awal penyakit ditandai
dengan munculnya bercak berbentuk bulat pada daun tanaman cabai. Serangan
yang berat dapat menyebabkan daun berguguran, sehingga pertumbuhan tanaman
kurang optimal. Cendawan ini juga menyerang batang, tangkai daun serta tangkai
bunga.
Pengendalian terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan membuang
tanaman yang terserang sekaligus membersihkan lingkungan disekitar tanaman.
Secara kimia dapat juga dicegah dengan fungisida kontak berbahan aktif tembaga
hidroksida atau mankozeb.
Virus gemini
Cabai sangat rentan dengan berbagai macam jenis penyakit yang
ditimbulkan oleh virus, lebih dari 70 jenis virus dilaporkan mampu menyebabkan
penyakit pada tanaman cabai. Beberapa dari virus tersebut merupakan patogen
penting secara ekonomi, salah satunya adalah virus gemini. Penyebaran virus ini
meliputi daerah Amerika bagian Utara dan Selatan, Asia, Timur Tengah dan
daerah Mediterania. Selain cabai virus ini juga mampu menyerang tanaman tomat,
gula bit atau tanaman pertanian yang lain. Penyakit ini disebabkan oleh virus
gemini dengan diameter partikel isometri berukuran 18–22 nm. Virus gemini
mempunyai genome sirkular DNA tunggal.
11
Gejala serangan penyakit ini pada tanaman cabai terlihat dari adanya warna
kuning pada daun, penggulungan daun dan pertumbuhan tanaman yang tidak
sempurna. Penyakit ini menghambat jaringan floem, sehingga pertumbuhan
tanaman tidak sempurna dan kerdil. Keberadaan penyakit ini sangat merugikan
karena mampu mempengaruhi produksi buah.
Download