Rehabilitasi Sawah Rawa Pasang Surut Sulfat

advertisement
Ketersediaan Hara
Ketersediaan hara P, Ca, Mg dan Na lebih besar pada lokasi tipe luapan
C dibandingkan dengan tipe luapan B, begitu pula halnya dengan KTK dan KB.
Tingginya kandungan Ca dan Mg pada lokasi tipe luapan C berarti pemberian
amelioran dolomit sangat berperan pada lokasi tipe luapan C dibanding pada
lokasi tipe luapan B. Namun apabila dihubungkan dengan hara daun ternyata
kandungan Ca pada daun termasuk rendah.
Rendahnya serapan Ca pada
daun disebabkan Ca terjerap dengan Fe yang memang kandungannya cukup
tinggi dalam tanah. Kalau dihubungkan dengan hasil gabah bahwa pada lokasi
tipe luapan C yang ketersediaan haranya cukup tinggi ternyata hasil gabahnya
lebih rendah dibandingkan dengan tipe luapan B yang ketersediaan haranya
lebih rendah.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya ketersediaan air pada lokasi
luapan C sehingga kelarutan hara menjadi rendah. Kelarutan yang rendah ini
menyebabkan hara tersebut kurang
bisa diserap oleh akar tanaman.
Rendahnya hasil gabah pada tipe luapan C dibanding tipe
luapan B
kemungkinan disebabkan oleh ketersediaan air yang berbeda antara kedua
lokasi tersebut, dimana penanaman MT2 dilakukan pada musim kemarau. Pada
lokasi tipe luapan C hanya mendapatkan air yang berasal dari hujan, sedangkan
untuk tipe luapan B selain air hujan juga dari air pasang besar. Cekaman yang
dominan pada lokasi tipe luapan B adalah keracunan Fe sedangkan pada tipe
luapan C adalah kekurangan air.
Ditinjau dari gabah kering giling yang dihasilkan dibanding potensi
hasilnya menunjukkan bahwa rendahnya hasil gabah disebabkan tingginya
kandungan Fe jaringan daun.
Untuk lokasi tipe luapan B, kombinasi varietas
Banyuasin dengan amelioran lengkap dolomit dan fosfat alam mampu
menghasilkan gabah 72% dibanding potensi varietas (Lampiran 5, 6, 7 dan 8),
sedangkan Lalan (70%) untuk lokasi tipe luapan C.
Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat kendala keracunan Fe tanah masih cukup tinggi. Masih cukup
tingginya tingkat keracunan Fe pada MT2 ditunjukkan varietas IR-64 yang
hanya mampu mencapai potensi hasil gabah 59%.
Dalam penelitian tentang
anatomi akar, varietas IR-64 menunjukkan adanya endapan besi pada bagian
mucilage yang merupakan zona pertukaran kation tanah. Tingginya kandungan
besi pada bagian mucilage ini menunjukkan bahwa besi akan menjadi banyak
terserap masuk ke bagian internal tanaman padi. Hal ini ditunjukkan dengan
tingginya kandungan Fe daun varietas IR-64 (peka Fe). Adanya besi tersebut
mengakibatkan terganggunya serapan unsur hara lain terutama K, karena K
adalah kation bervalensi 1 (rendah dari valensi Fe).
Hal ini ditunjukkan dari
hasil bahwa kandungan K jaringan daun varietas IR-64 pada fase vegetatif
rendah (0.95 - 0.96%).
Karena ion K merupakan kation valensi 1 diganti
kedudukannya oleh kation - kation valensi lainnya yang lebih tinggi.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Marschner (1995) bahwa keracunan Fe
menyebabkan defisiensi K.
Tingginya kandungan Fe menyebabkan ketidak-
seimbangan hara sehingga timbul gejala bronzing pada daun tanaman padi.
Hasil penelitian menunjukkan skor gejala keracunan Fe pada daun tanaman
padi varietas unggul tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata antara varietas
unggul dengan varietas Siam Unus. Rendahnya kandungan K jaringan daun
menyebabkan pendeknya juga akar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
varietas tenggang Fe memiliki akar yang lebih panjang dibanding IR-64 (peka
Fe). Akar pada tanaman berfungsi dalam menyerap hara dari dalam tanah.
Semakin panjang akar, maka kemampuan tanaman untuk menjangkau hara
semakin lebih baik.
Dengan demikian penyerapan hara pada varietas
tenggang Fe akan lebih baik.
Namun satu ha1 yang tejadi pada Siam Unus
bahwa walaupun memiliki akar yang lebih panjang, tetapi kandungan hara
daunnya tetap rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa varietas Siam Unus untuk
tumbuhnya cukup dengan jumlah hara yang minimal.
Walaupun tingkat kendala keracunan Fe tanah masih cukup tinggi
varietas Lalan mampu berproduksi sebanyak 70% dari potensi hasil. Hal ini
ditunjukkan dari hubungan antara hasil gabah kering giling dengan kandungan
Fe jaringan daun, dimana semakin tinggi kandungan Fe jaringan daun
memberikan hasil gabah yang semakin menurun (dilihat pada varietas padi
unggul) (Gambar 14). Berdasarkan analisis regresi antara kandungan Fe
dengan hasil gabah pada lokasi tipe luapan B diperoleh bentuk hubungan yang
negatif (R= - 0.996) dengan persamaan: Y= - 0.0011 x
+ 4.7665;
R~=
0.991
yang artinya bahwa semakin tinggi tingkat keracunan Fe, maka hasil gabah
akan semakin menurun.
Dari nilai korelasi pada lokasi tipe luapan B terdapat
hubungan yang sangat erat antara kandungan Fe daun dengan hasil gabah.
Dengan demikian bahwa keracunan Fe pada lokasi tipe luapan B merupakan
faktor yang dominan dalam menurunkan hasil tanaman, namun sebaliknya
pada tipe luapan C. Hal ini berarti bahwa keracunan Fe pada lokasi tipe luapan
C, masih belum mencapai tingkat yang sangat berpengaruh dabm rnenurunlcan
Hal sesuai Yamauchi (1989) bahwa 700 ppm merupakan m
hasil gabah.
a
Mtls keracunan Fe pacia jarlngan daun. Disarnpaing f a h r fain yang juga
berpenganrh, seperti kurangnya k M i a a n air pada maim tanam kemarau.
3.9
H
Tiw Lua~anB
3.8 -
Y=-0.0011X + 4,7665
3.7 -
i ;
3-8
3.5
*
3.4
800
1
I
u
900
1000
t9OO
1200
Kandungan Fe daun (ppm)
-
3
T i p Luapau C
8
2.8 -
4
Y=0.0014X + 1,7653
R*4.0499
L!
2.2
2
450
1
I
1
475
500
525
t
550
I
575
600
Kandungan Fa daun (ppm)
A
Gambar 14. Hubungan Antara Kandungan Fe Jaringan Daun dengan
Hasil Gabah Kering Giling Tanaman Padt
Model Usaha Pertanian dan Teknologinya
Perbedaan yang mendasar antara lokasi tipe luapan B dengan tipe
luapan C, yaitu kedalaman lapisan pirit. Perbedaan lainnya adalah kedalaman
letaknya pirit.
Pada tipe luapan B, letak pirit dangkal 20-40 cm dibawah
permukaan tanah, sedangkan pada tipe luapan C pada kedalaman 60-80 cm.
Pada lokasi tipe luapan B, pengolahan tanah sebaiknya dilakukan dengan cara
olah tanah minimum (OTM) sehingga tidak membongkar lapisan pirit yang
letaknya sangat dangkal. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan traMor
tangan yang mata bajaknya tidak dalam. Sebaliknya pada lokasi tipe luapan C,
karena tanahnya keras dan letak lapisan pirit jauh di bawah permukaan tanah
dapat menggunakan mata bajak dalam. Dalam penelitian ini pemberian
amelioran (dolomit dan fosfat alam) secara bersama mampu memberikan hasil
gabah kering giling paling tinggi pada lokasi tipe luapan B maupun tipe luapan
C.
Hasil gabah kering giling pada lokasi tipe luapan B yang diberi amelioran
dolomit saja meningkat sebesar 11.8% yang diberi fosfat alam saja meningkat
sebesar 11.7%, serta yang diberi dolomit dan fosfat alam secara bersama
meningkat sebesar 12.9% dibanding tanpa amelioran (3.35 t GKG/ha).
Sebaliknya pada lokasi tipe luapan C, peningkatan hasil berturut-turut adalah
1166%, 1100% dan 1400% dibanding tanpa amelioran (0.3 t GKG/ha).
Peranan amelioran sangat besar pada lokasi tipe luapan C sehingga upaya
untuk membuat sawah pada lokasi ini cukup berhasil, dan dapat meningkatkan
luas tanam.
Hasil gabah kering giling yang diperoleh pada MT2 di lokasi tipe luapan B
untuk Banyuasin, Lalan, IR-64 dan Siam Unus berturut-turut adalah 4.43; 4.12;
3.59 dan 1.9 ton GKG/ha.
Hasil ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian
Vadari et a1 (1990) yang mereklamasi tanah sulfat masam di Unit Tatas
Kalimantan Tengah dengan perlakuan air pasang, pelumpuran dan pemberian
kalsit dan pupuk P dengan menggunakan IR-42 memperoleh hasil 2,39 ton
GKG/ha. Untuk varietas yang sama (IR-64), hasil tersebut masih rendah
dibandingkan dengan penelitian Subagyono et a1 (1991) yang menerapkan
kombinasi teknologi pengelolaan tanah dan air serta pemupukan dan
pengapuran di Barambai Kalimantan Selatan (tipe luapan B), varietas IR-64
(peka Fe) pada MT4 memperoleh hasil gabah hingga 4 ton GKG/ha (Subagyono
et al., 1991). Jika dilihat pada hasil ini memang rendah, namun sudah cukup
menjanjikan karena penelitian Subagyono et al. (1991) tersebut diperoleh pada
MT4 sedangkan penelitian yang dilakukan menghasilkan gabah 4.34 t GKG/ha
pada MT2.
Hal ini berarti bahwa perbaikan lahan lebih cepat sehingga efektif
dalam meningkatkan hasil. Teknologi budidaya padi sawah yang dianjurkan
meliputi: (1). Pengenalan tipologi dan jenis tanah, (2). Teknik pengolahan
tanah dengan pelumpuran (puddling) dan pembuatan bangunan sawah dengan
tidak membongkar lapisan pirit, (3). Memberikan amelioran (dolomit dan/atau
fosfat alam).
Berdasarkan interaksi perlakuan yang diperoleh ternyata terdapat teknik
budidaya spesifik tertentu pada masing-masing lokasi penelitian.
Dari ketiga
perlakuan yang dicobakan varietas padi berinteraksi dengan amelioran. Semua
varietas padi dengan tanpa amelioran menghasilkan gabah paling rendah, dan
tinggi pada amelioran lengkap dolomit dan fosfat alam.
Namun bila diberi
dolomit saja atau fosfat alam saja, maka varietas Banyuasin di tipe luapan B
dan varietas Lalan di tipe luapan C mampu menunjukkan hasil gabah yang
cukup tinggi.
Untuk proyek pemerintah, seperti pembukaan lahan pertanian
transmigrasi pada rawa pasang surut sulfat masam sebaiknya menerapkan
teknik pemberian amelioran, saluran cacing dan penggunaan varietas unggul
yang berproduksi tinggi spesifik lokasi.
Hal ini memerlukan biaya untuk
pembelian amelioran dolomit dan fosfat alam yang cukup tinggi, bangunan
jaringan irigasi dan pengelolaan tata air yang tepat sesuai dengan karakteristik
dan tipologi lahan serta penyediaan benih padi yang bermutu tinggi agar pada
M T l dapat menghasilkan gabah. Sedangkan bagi masyarakat petani, dimana
pengusahaan sawah pada tahun-tahun awal dapat menerima kenyataan hasil
gabah yang rendah sebaiknya menerapkan teknik penggunaan saluran cacing
dan varietas padi yang bermutu tinggi saja. Setelah tingkat kendala keracunan
lahan rendah, sebaiknya petani memberikan kapur dan pupuk secukupnya
untuk meningkatkan kesuburan tanah yang tingkat kesuburannya sudah rendah
sehingga biaya produksi lebih efisien. Agar pengelolaan tata air lebih efisien,
maka pengusahaan sawah sebaiknya dalam satu hamparan petak tersier atau
hamparan petak handel.
Pola Tanam Duwitripa.
Pengembangan varietas unggul bersama-sama
dengan varietas lokal Siam Unus dimaksudkan untuk memberikan wawasan
kepada petani yang masih kurang mengerti secara benar menanam padi
unggul,
yaitu
menerapkan menanam
padi
unggul
bersama
dengan
kebiasaannya menanam varietas lokal, yang dikenal dengan istilah satu kali
mewiwit (menyemai) dua kali panen, disingkat sawitdupa.
Tetapi dalam
penelitian ini dilakukan penyempurnaan dimana varietas padi unggul ditanam
dua kali setahun bersamaan dengan penanaman varietas padi lokal pada MT2.
Dengan dapat diterapkannya pola tanam kombinasi varietas unggul dan lokal
diharapkan petani dapat mengenal sekaligus mengembangkan intensitas
pananaman yang semula hanya dapat satu kali panen dalam setahun
meningkat menjadi dua kali panen dalan setahun.
Pola tanam dua kali mewiwit (menyemai) tiga kali panen disingkat
Duwitripa merupakan pola tanam alternatif yang diterapkan bagi petani di
Kalimantan Tengah khususnya di daerah rawa pasang surut Kabupaten Kapuas,
terutama dianjurkan pada areal sawah opsus (Operasi khusus) Simpei Karuhei
dan PLG (Pengembangan Lahan Gambut) satu juta hektar.
Pola tanam
duwitripa ini juga dimasukkan karena tingkat pengetahuan (kelas kelompok
tani) para petani peserta opsus masih relatif rendah, dan mereka
belum
mampu mengadopsi teknologi pola tanam unggul-unggul yang diterapkan
pemerintah. Pola tanam duwitripa adalah menggabungkan penanaman padi
unggul dengan padi lokal yang biasa dilakukan oleh para petani secara
tradisional.
Dengan pola duwitripa diharapkah para petani mampu secara
perlahan-lahan sistem penanaman padi unggul dengan segala keuntungannya
baik dari segi umur maupun potensi hasil sehingga dapat meningkatkan
intensitas pertanaman (IP) dari 100 menjadi 200.
Pola tanam duwitripa lebih menguntungkan bagi petani dibanding
penanaman padi lokal yang mereka usahakan.
Pola tanam duwitripa pada
lokasi tipe luapan B, varietas Banyuasin dua kali panen dan padi lokal Siam
Unus satu kali panen menghasilkan 6.55 t GKG/ha, dibanding apabila hanya
padi lokal Siam Unus (2.12 t GKG/ha).
Sementara itu untuk lokasi tipe luapan
C, varietas Banyuasin dua kali panen dan padi lokal Siam Unus satu kali panen
menghasilkan 6.86 t GKG/ha, dibanding apabila hanya padi lokal Siam Unus
(2.84 t GKG/ha).
Kombinasi teknik budidaya untuk kedua lokasi adalah
amelioran K+P+, jarak saluran cacing S3 dengan varietas padi paling adaptif
masing-masing lokasi. Percobaan miniatur PLG Kalimantan Tengah tahun 1995
bahwa IR-64 menghasilkan gabah 5.28 t GKG/ha dan Siam Unus 1.80 t GKG/ha
(Diperta Kalimantan Tengah, 1999). Berdasarkan perhitungan masukan dan
keluaran kegiatan penanaman padi pada MTl dan MT2 diperoleh bahwa sistem
pola tanam duwitripa dapat menguntungkan.
Keuntungan menggunakan
masing-masing pola tanaman dan lokasi tipe luapan B dan C, disajikan pada
tabel berikut:
Pola Tanam
Lokasi Tipe Luapan B:
1. Unggul - unggul:
Banyuasin - Banyuasin
2. Lokal: Siam Unus
3. Duwitripa:
Banyuasin - Banyuasin
Siam Unus
Lokasi Tipe Luapan C:
1. Unggul - unggul:
Lalan - Lalan
2. Lokal: Siam Unus
3. Duwitripa:
Lalan - Lalan
Siam Unus
Keuntungan Bersih Setahun
(RP)
9.535.000,3.790.000,-
8.070.000,-
9.700.000,2.390.000,-
7.835.000,-
Keuntungan menggunakan pola tanam duwitripa selain hasil gabah
kering giling atau finansial yang diperoleh lebih sedikit dibanding pola tanam
unggul-unggul, tetapi waktu yang digunakan petani di sawah juga akan lebih
banyak. Berdasarkan hitungan masukan-hasil, maka sistem tanam duwitripa
dapat meningkatkan pendapatan petani dibanding menanam varietas padi lokal
secara tradisional. Diharapkan pola tanam transisi duwitripa bejalan melalui
proses waktu, maka kelas kelompok tani dan keterampilan petani juga
bertambah sehingga I P mencapai 200 bahkan 300 dapat diterapkan dengan
baik.
Sampai saat ini proyek lahan gambut sejuta hektar sudah berhenti
pengembangannya sehingga perlu inovasi dalam rangka menjalankan kembali
kegiatannya bersama dengan Pemerintah Kabupaten Kapuas, terutama bagi
petani yang sudah ada seluas 170.000 hektar (32.000 KK) pada blok
pengembangan A.
Sampai saat ini baru terealisasi luas tanam 30.000 ha
dengan asumsi nilai rata-rata varietas unggul-unggul sebesar 4.01 ton/ha/MT,
maka dapat diperoleh 240.600 ton GKG (setara 144.360 ton beras).
Bila jumlah penduduk Kalimantan Tengan 1.6 juta orang dan kebutuhan per
kapita 170 kg (Sajogyo, 1998),
ton.
maka total konsumsi beras per tahun 272.000
Bila hasil pertanian rakyat sebesar 127.640 ton beras dan hasil lahan
sejuta hektar 144.360 ton beras, maka Propinsi Kalimantan Tengah tahun 2002
masih kekurangan beras sekitar 20.000 ton.
Dengan demikian perbaikan
sawah dalam rangka peningkatan luas tanam sangat diperlukan.
Berdasarkan gambaran produktivitas padi Propinsi Kalimantan Tengah
di atas, maka kekurangan beras masih cukup besar. Oleh karena itu untuk
menanggulangi kekurangan beras tersebut, diharapkan adanya pengembangan
pertanian secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek sifat tanah
dan karakteristik lahan, penggunaan amelioran, pengaturan jarak saluran
cacing, serta pemanfaatan varietas adaptif sehingga tercapai peningkatan
produksi dan kesejahteraan petani.
Selama penelitian ini, antusiasme petani untuk ikut terlibat dalam setiap
kegiatan sangat besar. Keterlibatan petani dalam ha1 pengolahan tanah,
pembuatan saluran
cacing,
penanaman
dan
ceramah-ceramah yang
dilaksanakan oleh Dinas Pertanian bekejasama dengan peneliti, dan juga
petani terlibat dalam kegiatan pemanenan hasil.
Satu ha1 yang perlu menjadi
pemikiran bahwa walaupun mereka berhasil dalam menanam varietas unggul,
namun untuk konsumsi seharthari para petani lebih memilih varietas lokal
Siam Unus.
Oleh karena itu penanaman sistem sawitdupa sangat potensial
dalam arti bahwa hasil varietas lokal digunakan untuk konsumsi petani seharihari, sedangkan varietas unggul untuk dijual ke pasar.
Peranan Sarana dan Prasarana Tata Air
Pengelolaan air dengan memanfaatkan saluran cacing berfungsi untuk
mengurangi/mencuci air lahan yang mengandung racun bagi tanaman padi,
teknik pengelolaan tata air makro yaitu saluran tersier yaitu dengan sistem
pengaturan aliran air satu arah, disertai pintu-pintu air untuk mengatur tinggi
muka air tanah sesuai keperluan irigasi di petakan sawah dan selalu berada di
atas lapisan pirit, sehingga lahan berada dalam keadaan anaerob.
Peranan
tata air makro sangat menentukan untuk keberhasilan budidaya sawah di lokasi
tipe luapan B. Untuk memudahkan pengelolaan air melalui pintu-pintu air pada
lokasi tipe luapan C, maka pembangunan fisik saluran tata air makro jangan
sampai terlalu dalam dan tidak untuk tujuan sasaran transportasi.
Teknik
pengelolaan air mikro dengan membuat saluran cacing dengan jarak yang rapat
bagi tanah yang memiliki kandungan Fe tinggi, dan bagi kandungan Fe yang
lebih rendah dapat menggunakan jarak yang lebih jarang untuk melakukan
penggelontoran (flushing) air lahan sebanyak 2 - 3 kali sebelum tanam.
Dari pengalaman selama penelitian, jarak antara saluran sekunder yang
ada pada lokasi tipe luapan C telalu jauh (6000 m) sehingga saluran tersier
tidak dapat mengatur tata air dengan baik.
Untuk memperlancar keluar
masuknya air yang dapat menjamin ketersediaan air secara berkesinambungan
ke dalam petakan sawah, maka sebaiknya pembangunan jarak saluran
sekunder (panjangnya saluran tersier) dilakukan berkisar jarak 2000 - 3000 m.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada musim penghujan, jarak 2500 m
(blok 3) tersebut air terlalu dalam dan keseimbangan air tidak dapat diatur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak saluran cacing 3 m efektif
untuk mengurangi/mencuci kandungan Fe tanah terutama pada MTl.
Penggunaan jarak saluran cacing yang lebih rapat pada awal pembukaan lahan
sangat dianjurkan dalam budidaya padi sawah lahan pasang surut, namun
untuk selanjutnya setelah terjadi proses perbaikan lahan, penggunaan jarak
saluran yang lebih jarang juga memberikan hasil yang cukup baik.
Proses pengurangan/pencucian ion fero air tanah sepanjang MT2 pada
lokasi tipe luapan B mengikuti model polinominal cekung ke bawah: Y= 0.2725
x2- 9.715 X + 265.94;
R~ = 0.95 (Gambar 15).
Kombinasi jarak saluran cacing dengan amelioran dolomit, serta jarak
saluran cacing 3 m dan 6 m dengan amelioran fosfat alam menghasilkan
kandungan Ca daun tidak berbeda nyata dibanding kombinasi jarak saluran
Hal ini menunjukkan bahwa
cacing 3 m dengan amelioran lengkap (K+P+).
pengaruh kombinasi saluran cacing dengan
amelioran menghasilkan
kandungan Ca jaringan daun yang cukup dan tersedia bagi tanaman padi.
1
0
1
2
6
4
8
10
4
2
14l
W a k t u P e n g a m a t a n (m l n g g u k e )
Gambar 15. Kurva Regresi Kandungan Ion Fero Air Tanah Selama MT2
di Lokasi Tipe Luapan B
Perubahan ion fero air tanah pada MT2 (kemarau) cenderung menurun,
sebaliknya diduga akan menarik pada musim hujan. Proses penurunan ion fero
air tanah sepanjang MT2 mengikuti model polinominal cekung ke bawah:
Y = 0.35
x2- 10.69 X + 224.92;
R~ = 0.98 (Gambar 16).
-E
-
200 0
P
C
E
t"
I 5 0 0
?i
e
I
LL
3
1 0 0 0 -
C
w
z
y(c) = 0 3564x2 - 10 693x + 224 92
R~ = 0 9 8 8 1
u
5 0 0 -
0 0
2
0
4
6
8
10
12
14
W a k t u P e n g a m a t a n (m i n g g u k e )
-
-
1
I
- -
Gambar 16. Kurva Regresi Kandungan Ion Fero Air Tanah Selama MT2
di Lokasi Tipe Luapan C
Kandungan ion fero air tanah yang berlimpah pada sawah yang
didrainase, efektif dikurangi dengan jarak saluran cacing 3 m dibandingkan
jarak lain yang lebih jarang. Proses penurunan kandungan ion fero air lahan
mengikuti model polinomial cekung kebawah. Hal ini sesuai dengan penelitian
Subagyono et al. (1998) di Barambai Kalimantan Selatan yang dilakukan selama
7 musim tanam (1988-1992). Karena pengamatan yang dilakukan selama MT2
(April-September, musim kemarau) menghasilkan model cekung menurun,
sehingga diduga pada MTl (Oktober-Maret: musim penghujan) model
polinomial yang dihasilkan akan cembung menaik.
Oleh karena proses
penurunan kandungan ion fero tanah mengikuti model polinomial, maka
diharapkan tingginya fluktuasi penurunan-menaiknya kandungan ion fero tidak
terlalu lebar. Agar fluktuasi tidak terlalu lebar, maka pengelolaan air harus
dilakukan secara tepat.
Peranan Varietas Tenggang
Varietas Banyuasin merupakan varietas yang paling adaptif untuk lokasi
tipe luapan B, sedangkan untuk lokasi tipe luapan C adalah varietas Lalan.
Pengembangan varietas yang tenggang terutama varietas spesifik lokasi pada
daerah sulfat masam perlu menjadi perhatian utama. Pengembangan ini bisa
dalam bentuk perakitan varietas maupun uji ketenggangan dalam arti kata
mengintrodusir galurlvarietas yang telah dikembangkan oleh balai penelitian
padi maupun perguruan tinggi di Indonesia untuk dicobakan di daerah pasang
surut.
Dalam rangka pengembangan hasil penelitian ini, maka perlu dilakukan
uji fisiologi dan biokimia terhadap cekaman keracunan Fe.
Hal yang perlu
dikaji adaptasi beberapa varietas padi dan mekanisme keracunan Fe,
diantaranya
peranan
enzim
SOD
(Superoksida
Dismutase)
dan
peroksidaselkatalase dalam mendetoksifikasi Fe serta percobaan pot untuk
melihat pengaruh Fe terhadap pemanjangan akar. Selain itu perlu dikaji untuk
meminimalkan kebutuhan amelioran, peranan penggelontoran/pencucian air
lahan, serta tingkat kandungan Fe tanah maupun ion fero yang tidak berlebihan
bagi tanaman padi.
Pertanian berkelanjutan merupakan usaha pengelolaan sumber daya
yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang
berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan
dan melestarikan sumber daya alam (Reijntjes, Haverkort dan Waters-Bayer,
1999). Peningkatan produktivitas padi sawah pada tanah sulfat masam di
daerah rawa pasang surut secara tangguh, kompetitif dan berkelanjutan perlu
diupayakan untuk mengatasi kekurangan beras sebesar 20.000 ton per tahun di
propinsi Kalimantan Tengah.
Keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan
pertanian pada tanah sulfat masam pasang surut tidak hanya ditentukan oleh
teknologi yang handal, tetapi juga oleh ketersediaan saranalprasarana dan
kelembagaan penunjang yang memadai serta partisipasi masyarakat dan
kebijaksanaan pemerintah yang kondusif. Oleh karena itu diperlukan koordinasi,
sinkronisasi dan keterpaduan kej a antar instansi terkait dalam arti nyata dalam
fokus dan orientasi kepada pencapaian sasaran peningkatan produksi padi di
Kalimantan Tengah.
Download