BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (M. tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga menyerang organ lain (Ditjen PP&PL, 2012) dan perjalanan penyakitnya secara menahun dengan karakteristik adanya granuloma (Clinical Practice Guidline in the SNHS, 2010). 2.2 Etiologi Tuberkulosis disebabkan oleh M. tuberculosis, merupakan kuman aerob, gram positif, immobile, dan tidak berspora (Clinical Practice Guidline in the SNHS, 2010, Knechel, 2009). Mycobacterium tuberculosis berukuran 0,5 µm-3 µm, yang diklasifikasikan sebagai basil tahan asam dan mempunyai struktur dinding sel yang unik untuk pertahanan tubuhnya (Knechel, 2009). Struktur ini menurunkan permeabilitas dinding sel sehingga mengurangi efektivitas terhadap antibiotik (Wijaya, 2012). Dinding sel berisi asam lemak, asam mikolat, dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya, sebagai barrier (Knechel, 2009; Wijaya, 2012) yang berguna untuk perubahan fisiologi karakteristik tuberkulosis termasuk resistensi OAT (Knechel, 2009). Lipoarabinomannan suatu molekul lain dalam dinding sel mycobacteria berperan dalam interaksi antara inang dan patogen menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofag. Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya misalnya dengan pewarnaan Gram. Namun sekali diberi warna oleh pewarnaan Gram, maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam sehingga disebut Basil Tahan Asam (Wijaya, 2012). 5 6 2.3 Epidemiologi Pada tahun 1990-an, situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah besar TB atau high burden countries termasuk Indonesia (Ditjen PP & PL, 2012). World Health Organization memprediksi bahwa setiap tahun ada 9 juta kasus baru TB di dunia dan 1,8 juta orang meninggal akibat TB, sesudah Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) (Kumar et al, 2010). Kasus TB ditemukan di seluruh propinsi yang ada di Indonesia dengan Papua, DKI Jakarta, dan Banten adalah 3 propinsi dengan jumlah kasus TB terbesar di Indonesia. Estimasi prevalensi TB semua kasus di Indonesia adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru pertahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian pertahunnya (Ditjen PP & PL, 2011). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa progresifitas penyakit TB umumnya terjadi pada wanita dengan usia 25-34 tahun, dan laki-laki dengan usia diatas 40 tahun (Babamahmoodi et al, 2015). Penelitian yang dilakukan Ajagbe et al (2014) menunjukkan bahwa penderita TB lebih banyak pada laki-laki 66,2% dibandingkan dengan perempuan (66,2%: 33,8%), hal ini dikarenakan gaya hidup laki-laki seperti merokok, minum alkohol, dan lain-lain. Tujuh puluh lima persen tuberkulosis juga lebih banyak diderita pada usia produktif yaitu pada usia 15-45 tahun (Kumar et al, 2010). Faktor resiko terjadinya TB yaitu usia, jenis kelamin, infeksi HIV, merokok, asma, dan riwayat kontak dengan penderita TB. Kemiskinan, peperangan, perpindahan penduduk, gangguan sosial, dan tuna wisma merupakan hal penting yang berperan sebagi penyebaran TB (Babamahmoodi et al, 2015). 2.4 Transmisi Sumber penularan tuberkulosis adalah pasien TB paru dengan BTA positif (Wijaya, 2012) yaitu M. tuberculosis menyebar melalui droplet (percikan ludah) yang infeksius ke udara pada saat batuk (sekitar 3.000 droplet), bersin (sekitar 1 juta droplet), berbicara atau bernyanyi oleh orang dengan TB (Knechel, 2009; Ditjen PP & PL, 2012; Wijaya, 2012). Droplet tersebut dengan cepat menjadi 7 kering dan menjadi partikel yang sangat halus di udara. Ukuran diameter droplet yang infeksius tersebut hanya sekitar 1-5 milimikron (Ditjen PP & PL, 2012). Droplet tersebut dapat bertahan hidup selama beberapa menit sampai beberapa jam (Knechel, 2009; Wijaya, 2012). Pada keadaan gelap dan lembab kuman TB dalam droplet dapat hidup lebih lama sedangkan jika terpapar sinar matahari langsung maka kuman TB tersebut akan cepat mati (Ditjen PP & PL, 2012). Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan dan daya tahan tubuh seseorang dalam keadaan lemah (Wijaya, 2013). Transmisi TB dipengaruhi oleh jumlah basil dalam droplet, virulensi basil, paparan basil terhadap sinar ultraviolet, konsentrasi basil di udara yang ditentukan oleh volume ruangan dan ventilasi, serta lama waktu pajanan menghirup udara (aerosol) yang tercemar (Knechel, 2009). Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan resiko penularan lebih besar dibandingkan dengan pasien TB paru BTA negatif (Wijaya, 2013). 2.5 Patofisiologi TB Seseorang akan terinfeksi kuman TB jika menghirup droplet yang mengandung kuman TB yang masih hidup dan kuman tersebut mencapai alveoli paru dan dapat tanpa gejala/asimptomatik. Sekali kuman tersebut mencapai paru maka kuman ini akan ditangkap oleh makrofag dan selanjutnya dapat menyebar ke seluruh tubuh (Ditjen PP & PL, 2012). Setelah terpapar kuman TB ada empat keadaan yang bisa terjadi yaitu pertama tidak terjadi infeksi (ditandai dengan tes tuberkulin negatif), kedua terjadi infeksi kemudian menjadi TB yang aktif (TB primer), ketiga menjadi TB laten dimana mekanisme imun mencegah progresivitas penyakit menjadi TB aktif dan keempat menjadi TB laten tetapi kemudian terjadi reaktivasi dan berkembang menjadi TB aktif dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian (Marin dan Hasibuan, 2010). Partikel yang terinfeksi terhirup, hanya bagian terkecil yang menjauhi pertahanan di permukaan saluran pernafasan dan mencapai alveolus, di paru-paru, kemudian makrofag berhasil menelan basil melaui proses fagositosis. Basil memperbanyak diri di dalam makrofag dan sekali dihancurkan dan kuman berada 8 di ekstaselular, di saluran limf menuju mediastinal limfnodes dan darah ke sistem tubuh (Clinical Practice Guidline in the SNHS, 2010). Menurut Kumar et al dalam Widjaja et al (2010) saat ini para ahli menduga adanya gangguan sistem imun pada penderita TB. Sel T helper-1 (Th 1) sangat berperan pada sistem pertahanan tubuh terutama dalam menghadapi infeksi bakteri intraseluler. Salah satu sitokin yang diproduksi sel Th 1 adalah interferon gama yang berperan penting dalam mengeliminasi kuman TB dengan memperkuat potensi fagosit dari makrofag yang terinfeksi kuman TB dan menstimulasi pembentukan radikal bebas untuk menghancurkan komponen bakteri M. tuberculosis yaitu dinding sel bakteri dan deoxyribonucleic acid (DNA). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widjaja et al (2010) menunjukkan bahwa pada penderita TB terjadi penurunan kadar interferon gamma pada penderita TB. 2.6 Gejala Klinis Gejala klinis TB paru tidak spesifik, tanda dan gejalanya tergantung lokasi dan kadang terlambat diketahui sehingga pada beberapa pasien telah terjadi infeksi (Clinical Practice Guidline in the SNHS, 2010). Laporan Thorson et al dalam Feng et al (2012) menunjukkan bahwa gambaran radiologis wanita umumnya lebih berat oleh karena wanita hanya sedikit menunjukkan gejala klinis TB sehingga terlambat berobat. Penelitian penderita TB patut dicurigai bila pasien gejala demam tanpa sebab atau batuk produktif lebih dari 3 minggu, khususnya bila batuk berdarah (Clinical Practice Guidline in the SNHS, 2010). Gejala utama TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari 1 bulan (Sudoyo, 2009; Wijaya, 2013, Zumla, 2013). Gejala ini semakin lama semakin berat dan hilang timbul secara tidak teratur (Sudoyo, 2009; Zumla et al, 2013). Penelitian yang dilakukan Sanmuganathan (2015) di Malaysia menunjukkan bahwa gejala klinis yang paling sering ditemui adalah batuk lama dan penurunan berat badan (27,5%) diikuti dengan batuk lama dengan sputum, penurunan berat badan, 9 demam dan berkeringat pada malam hari dengan 15%. Penelitian yang dilakukan oleh Feng et al (2012) di Taiwan menunjukkan bahwa batuk lebih dari 3 minggu berhubungan dengan rendahnya mortalitas. Menurut Law dalam Feng et al (2012) gejala respiratorik khususnya batuk kronis, merupakan indikator penting bagi dokter adanya kemungkinan TB paru di daerah endemik, sebaliknya penderita TB paru tanpa gejala respiratorik kemungkinan karena terlambatnya diagnosa yang berakibat terhadap terlambatnya pengobatan dan outcome pengobatan yang lebih buruk 2.7 Diagnosa Berdasarkan pada Pedoman Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru, maka diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan berdasarkan gejala/pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratorium (Soetikno dan Derry, 2011). Diagnosa TB di negara berkembang dengan menggunakan apusan dahak, kemudian dikonfirmasi dengan kultur bakteri dan uji kepekaan obat. Sesuai dengan rekomendasi WHO, maka diagnosis TB paru berdasarkan pemeriksaan sputum secara mikroskopis,oleh karena pemeriksaan ini efisien, mudah, murah, dan cukup cepat (hanya 2 hari) (Srikanth et al, 2009; Zumla et al, 2013). Pemeriksaan sputum bertujuan untuk menilai kemajuan pengobatan dan menentukan tingkat penularan. American Tuberculosis Association menyatakan bahwa diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman M. tuberculosis dalam sputum atau jaringan paru secara biakan (Srikanth et al, 2009; Soetikno dan Derry, 2011). Pada negara dengan kejadian TB tinggi, pengendalian TB dengan cara penemuan kasus secara pasif yaitu pasien yang datang ke fasilitas kesehatan, diikuti dengan diagnosa lain berdasarkan gejala klinik atau pemeriksaan laboratorium menggunakan apusan dahak secara mikroskopik yaitu sputum sewaktu pagi sewaktu (SPS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir 85% kasus TB dideteksi spesimen dahak pertama, 11,9% dengan spesimen dahak kedua dan 3,1% dengan spesimen yang ketiga jika spesimen dahak yang kedua hasilnya negatif (Parson et al, 2011). Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang pertama yang membantu untuk menegakkan diagnosis TB paru, memonitor respon pengobatan, dan 10 membantu dalam menghambat penyebaran penyakit, memberikan gambaran radiologis TB paru pada TB dengan BTA negatif maupun BTA positif. Foto toraks dapat sebagai penyokong untuk menegakkan diagnosis TB paru (Soetikno dan Derry, 2011; Srikanth et al, 2009). Pemeriksaan interferon-gamma release dan tuberkulin tes tidak digunakan untuk mendiagnoasa penyakit aktif (Zumla et al, 2013). Diagnosa dini TB paru sangat berguna untuk mencegah penyebaran penyakit bahkan untuk mencegah kematian pada penderita (Babamahmoodi et al, 2015). Pemeriksaan lain untuk menegakkan diagnosa TB paru dengan rapid test yang telah dianjurkan oleh WHO yaitu GeneXpert MTB/RIF yang dapat digunakan untuk mendiagnosa TB dan resistensi rifampisin (WHO, 2013). 2.8 Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR TB/TB MDR) dan GeneXpert MTB/RIF Multidrug resistant tuberculosis yaitu tuberkulosis yang resisten terhadap rifampisin dan isoniazid dengan atau tanpa OAT lainnya (WHO, 2013) dan merupakan suatu man made phenomenon atau fenomena buatan manusia, disebabkan karena pengobatan pasien TB yang tidak adekuat maupun penularan dari pasien TB resistensi OAT (Ditjen PP&PL, 2013), pengobatan yang terputus ataupun tidak sesuai dengan standar Directly Observed Treatment, Short-Course (DOTS) juga dapat berakibat pada munculnya kasus TB MDR (Sarwani, 2012). Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) tahun 2013 menyebutkan bahwa suspek TB resisten obat adalah semua orang yang mempunyai gejala TB yang memenuhi satu atau lebih kriteria suspek di bawah ini: 1. Pasien TB kronik. 2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan. 3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta menggunakan kuinolon atau obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan. 4. Pasien TB kategori 1 yang gagal. 11 5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan pengobatan. 6. Pasien TB kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan kategori 2. 7. Pasien TB kasus kambuh setelah loss to follow-up (lalai berobat/default). 8. Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR. 9. Pasien koinfeksi TB-HIV yang tidak respon terhadap pemberian OAT. Mekanisme Resistensi M. tuberculosisTerhadap OAT Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan terjadi secara spontan serta berdiri sendiri menghasilkan resistensi OAT (Hanafi dan Prasenohadi, 2010). Populasi basil TB awalnya berkurang ketika diobati dengan 1 jenis obat karena membunuh populasi TB yang sensitif dan pada sputum smear (apusan dahak) sering memberikan hasil yang negatif (menunjukkan bahwa organisme hanya sedikit). Organisme yang bertahan pada fase awal adalah mutan yang resisten obat, kemudian berproliferasi dan akhirnya menyebabkan seluruh populasi basil menjadi resisten obat dan terus menerus melakukan proliferasi sampai jumlah basil yang resisten obat cukup untuk menyebabkan gejala dan pada sputum smear memberikan hasil positif, inilah yang disebut dengan “fall and rise phenomenon” (Patel et al, 2012). Kasus baru resisten OAT yaitu terdapat galur M. tuberculosis pada pasien baru yang didiagnosis TB dan sebelumnya tidak pernah diobati dengan OAT atau mendapat OAT kurang dari 1 bulan kemudian terinfeksi galur M. tuberculosis yang resisten OAT disebut resistensi primer. Tuberkulosis resisten OAT terjadi karena pada awalnya terinfeksi galur M. tuberculosis yang masih sensitif obat tetapi selama pengobatan timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi obat didapat atau resistensi sekunder (Hanafi dan Prasenohadi, 2010). Resistensi obat intrinsik M. tuberculosis terjadi karena adanya struktur asam mikolat yang terkandung dalam dinding sel sehingga permeabilitas bakteri rendah terhadap berbagai jenis bahan seperti antibiotik dan obat kemoterapi lainnya. Resistensi obat didapat M. Tuberculosis disebabkan karena mutasi spontan gen kromosomal dan menghasilkan seleksi strain M. tuberculosis resisten selama pemakaian obat yang kurang optimal (Da Silva dan Palomino, 2011). 12 Resistensi terhadap isoniazid merupakan proses yang rumit karena terjadi mutasi pada beberapa gen termasuk katG, ahpC, inhA, kasA dan ndh (Da Silva dan Palomino, 2011). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bahwa penyebab utama resistensi isoniazid yaitu mutasi pada katG dan mutasi pada inhA atau lebih, dalam region promoter (Zhang dan Yew, 2009; Da Silva dan Palomino, 2011). Resistensi rifampisin terjadi karena mutasi gen rpoB yang dikode βsubunit RNA polymerase. Mutasi pada hot spot region pada 81 base phare (bp) dari rpoB telah ditemukan pada sekitar 96% M. tuberculosis yang resisten rifampisin (Da Silva dan Palomino, 2011). Beberapa penelitian melaporkan adanya mutasi di luar hot spot region rpoB dari M. tuberculosis resisten rifampisin yang diisolasi (Minh et al, 2012). Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa semua strain M. tuberculosis yang resisten rifampisin juga menunjukkan resisten terhadap obat lain, khususnya isoniazid. Resistensi pirazinamid terjadi karena mutasi pada pncA. Perubahan terbanyak terjadi pada region 561 bp atau pada region 82 bp putative promoter (Da Silva dan Palomino, 2011). Resistensi streptomisin disebabkan oleh mutasi pada S12 protein yang dikode oleh gen rpsL dan 16S rRNA yang dikode gen rrs (Zhang dan Yew, 2009). Penelitian isolate M. tuberculosis resisten etambutol, menunjukkan bahwa hampir 50% terjadi mutasi pada kodon 306 embB. Penelitian lebih lanjut yang dilakukan Sreevatsan et al menunjukkan adanya hubungan embB dengan resistensi terhadap etambutol (Da Silva dan Palomino, 2011). Diagnosis TB resisten obat dipastikan berdasarkan uji kepekaan M. tuberculosis baik secara metode konvensional maupun rapid test atau metode cepat (Ditjen PP dan PL, 2013). Metode konvensional yaitu dengan uji kepekaan obat yang merupakan gold standar atau baku emas, dengan sensitivitas tinggi yang dapat mengidentifikasi M. tuberculosis dan membedakan antara obat yang sensitif dengan obat yang resisten. Tetapi kultur M. tuberculosis mempunyai banyak keterbatasan, memerlukan waktu lama, menghambat dokter untuk membuat keputusan pengobatan dan kultur juga membutuhkan biosafety infrastruktur yang tidak dapat dilaksanakan dengan mudah pada keadaan dengan sumber daya yang terbatas(Van Rie et al, 2010). 13 Metode cepat yang telah disetujui oleh WHO yaitu GeneXpert MTB/RIF yang merupakan suatu alat uji yang menggunakan catridge berdasarkan Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) secara automatis untuk mendeteksi kasus TB dan resistensi rifampisin. Sistem GeneXpert terdiri dari alat GeneXpert, komputer dan disposible catridge (Boehme, 2009). Uji GeneXpert MTB/RIF berdasarkan prinsip multipleks, semi-nested quantitative real-time Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan amplifikasi gen target rpoB (Boehme, 2009; Blakemore et al, 2010). GeneXpert MTB/RIF dapat mengidentifikasi target asam nukleat dalam gen M. tuberculosis dan memberikan hasil dari sampel sputum yang tidak perlu diproses hanya dalam waktu kurang lebih 2 jam (WHO, 2013). Adanya semua lima sinyal fluoresensi menunjukkan rifampisin sensitif terhadap DNA M. tuberculosis, jika 2-<5 sinyal fluoresensi diindikasikan bahwa M. tuberculosis resisten rifampisin dan jika sinyal fluoresensi tidak ada atau hanya 1 mengindikasikan tidak adanya DNA M. tuberculosis (Boehme, 2009). 2.9 Pengobatan TB Pengobatan menurut WHO dalam Wijaya (2013) dengan strategis DOTS OAT dibagi dalam 3 kategori: 1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) dengan tahap intensif obat diberikan setiap hari selama 2 bulan terdiri isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Tahap lanjutan terdiri dari isoniazid dan rifampisin diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan.kategori diberikan pada penderita baru BTA positif, penderita paru BTA negatif dengan rontgen positif yang sakit berat, dan penderita TB ekstra paru berat. 2. Kategori 2 (2HRZES/HRSE/5H3R3E3) diberikan pada penderita BTA positif yang pernah mendapat OAT selama sebulan yaitu penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure) dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default). Obat anti tuberkulosis kategori 2 pada fase intensif diberikan HRZE/HRE setiap hari selama 2 bulan ditambah suntikan streptomisin setiap hari.pada fase lanjutan diberikan obat HRE selama 5 bulan dengan 3 kali dalam seminggu. 14 3. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan dan penderita TB extra paru ringan yaitu Tb kelenjar limfe, pleuritis eksudativa, TB kulit, TB tulang (kecuali TB tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. Evaluasi pengobatan pada penderita TB paru meliputi evaluasi klinis, bakteriologis, radiologis, efek samping obat, penanganan efek samping obat serta keteraturan berobat. Evaluasi klinis dilakukan setiap dua minggu pada satu bulan pertama pengobatan, selanjutnya setiap satu bulan. Evaluasi bakteriologik merupakan pemeriksaan yang penting dalam menilai respon pengobatan dan bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi sputum (Soetikno dan Derry, 2011). Pengobatan TB yang adekuat penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas, dan untuk mencegah penyebaran penyakit (Nijenbandring et al, 2014). 2.10 Merokok Merokok adalah tindakan seseorang menghisap rokok (PDPI, 2011) dan umumnya tembakau yang paling banyak digunakan di dunia dalam bentuk rokok (U.S Department of Health and Human Service, 2010). Kata rokok berasal dari bahasa Belanda roken. Tembakau diperkenalkan di Indonesia oleh bangsa Belanda sekitar 2 abad yang lalu dan penggunaannya pertama kali oleh masyarakat Indonesia ketika elit lokal Indonesia meniru kebiasaan merokok bangsa Belanda (PDPI, 2011). Jumlah perokok didunia meningkat secara bermakna, saat ini diperkirakan sebanyak 1,3 milyar perokok dan meningkat menjadi 1,7 milyar perokok pada tahun 2025. Sebanyak 65–85% tembakau telah dikonsumsi diseluruh dunia dalam bentuk rokok yang menyebabkan kematian setiap detik (Zainul et al, 2011). Data WHO menunjukan Indonesia sebagai negara dengan konsumsi rokok terbesar ke3 setelah Cina dan India dan diikuti Rusia dan Amerika. Padahal dari jumlah penduduk, Indonesia berada di posisike-4 setelah Cina, India dan Amerika. Berbeda dengan jumlah perokok Amerika yang cenderung menurun, jumlah perokok Indonesia justru bertambah dalam 9 tahun terakhir. Pertumbuhan rokok Indonesia pada periode 2000–2008 adalah 0,9% pertahun (WHO, 2011; Zainul, 2012). Survey di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi merokok terus 15 meningkat baik pada laki-laki maupun perempuan. Prevalensi merokok pada perempuan meningkat empat kali lipat dari 1.3% pada tahun 2001 menjadi 5.2% pada tahun 2007 (TCSC, 2012). 2.10.1 Rokok dan Tembakau Rokok mengandung banyak bahan kimia dan setiap satu batang rokok dibakar, mengeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia (Kumar et al, 2010), 40 jenis diantaranya bersifat karsinogenik (Tandra, 2009, Kumar et al, 2010) diantaranya adalah nikotin, karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen, sianida, ammonia, akrolein, benzena, dan etanol (Tandra, 2009; Kumar et al, 2010). Rokok memiliki dua komponen yaitu1) komponen gas, bagian yang dapat melewati filter ataupun hasil dari pembakaran tidak sempurna rokok antara lain CO, CO2, oksida-oksida nitrogen, amonia, gas N-nitrosamine, hidrogen sianida, aldehid, keton, sianogen, peroksida oksidan senyawa belerang, 2) komponen padat, bagian hasil saringan yang tertinggal pada filter rokok, sebagian besar terdiri dari unsur nikotin dan tar (Basuki et al, 2013). Laporan WHO dalam Tanuwihardja dan Susanto (2012) menyebutkan bahwa rokok yang dibakar selain membahayakan si perokok, asap rokok yng dihasilkan juga membahayakan orang-orang di sekitarnya sebagai perokok pasif atau second –hand smoker. Asap rokok menebarkan berbagai zat kimia berbahaya hasil pembakaran rokok seperti nikotin, tar, karbon monoksida dan lain-lain, yang dihasilkan baik dari asap aliran utama (main stream smokes) yang dihisap langsung perokok, maupun asap sampingan (side stream smokes) yang terisap oleh perokok pasif yang berada di sekitar lingkungannya (Zulfarman et al, 2010). Penelitian Susanna et al dalam Tanuwihardja dan Susanto (2012) menemukan bahwa asap rokok yang dihembuskan oleh perokok memilikikadar nikotin 4-6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan asap yang masuk ke perokok. Karbon monoksida yang terhirup dari rokok yang dibakar diserap mealui paru-paru dan masuk ke aliran darah (Kumar et al, 2010). Komponen terpenting dalam tembakau adalah nikotin yang terdapat dalam tanaman tembakau Nicotiana tabacum dan Nicotiana rustic bersifat racun tinggi (Zulfarman et al, 2010), merupakan alkaloid alam (1 metil-2{3-piridil} pirolidin) 16 berbentuk cairan (alkaloid cair yang terdiri dari sebuah cincin piridin dan sebuah pirolidin), tidak berwarna dan merupakan suatu basa lemah yang mudah menguap serta dapat melewati sawar darah otak (Zulfarman et al, 2010; Tanuwihardja dan Susanto, 2012). Jika kontak dengan udara, nikotin berwaran coklat dan berbau tembakau (Zulfarman et al, 2010). Kadar nikotin dalam tembakau hanya berkisar 1-2%, memiliki sifat toksik dan sangat menimbulkan ketergantungan psikis. Nikotin dapat diserap dari jalan napas, rongga mulut, dan kulit. Metabolisme nikotin terutama di hati dan dapat juga dimetabolisme di paru dan ginjal. Nikotin yang diinhalasi dimetabolisme di paru dan dapat mencapai otak hanya dalam waktu 6 detik (Tanuwihardja dan Susanto, 2012). Gambar 2.1 Berbagai zat racun yang terkandung pada rokok dan asap rokok Sumber: Tanuwihardja dan Susanto, 2012 Menurut Bustan dalam Harahap (2013) rokok terdiri dari: a. Berdasarkan penggunaan filter, rokok dibagi dua jenis yaitu: 1. Rokok Filter (RF) : rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus. Filter rokok yang terbuat dari asetat selulosa, salah satu produk plastik, digunakan untuk mengurangi kadar tar dan nikotin. Filter tersebut terdiri 17 dari 12.000 platik seperti serat atau serabut. Pengujian dari 12 merk rokok terkenal menunjukkan bahwa serat tersebut ikut terhirup dan tertelan, hasil dari scanning menunjukkan bahwa ada serat filter di paru-paru (Novotny et al, 2009). 2. Rokok Non Filter (RNF): rokok yang pada bagian pangkalnya tidak terdapat gabus. b. Berdasarkan jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak per hari. Jenis rokok dapat dibagi atas tiga (3) kelompok yaitu: 1. Perokok ringan apabila merokok kurang dari 10 batang rokok per hari. 2. Perokok sedang jika menghisap 10-20 batang rokok per hari. 3. Perokok berat jika menghisap lebih dari 20 batang rokok per hari. c. Berdasarkan lama menghisap rokok dikategorikan: 1. Menghisap rokok < 10 tahun. 2. Menghisap rokok > 10 tahun. d. Berdasarkan cara menghisap rokok dapat dibedakan menjadi: 1. Begitu menghisap langsung dihembuskan (secara dangkal) 2. Ditelan sampai ke dalam mulut (di mulut saja) 3. Ditelan sampai di kerongkongan (isapan dalam) 2.10.2 Pengaruh Rokok terhadap Pertahanan Respirasi Merokok merupakan masalah kesehatan utama yang memerlukan pencegahan untuk mengurangi resiko kematian dini. Penelitian dengan metode case control yang dilakukan Jha et al di India pada tahun 2008 menemukan bahwa terdapat 1,1 juta kematian akibat TB, 1,7 kali lebih tinggi pada penderita yang perokok dibandingkan yang tidak perokok (Sinh et al, 2013). Paru merupakan organ yang menderita kerusakan paling parah akibat merokok (Wijaya, 2012). Merokok menyebabkan beberapa patofisiologi berubah di sistem pernapasan termasuk sistem kekebalan tubuh dan menurunkan kemampuan untuk membersihan patogen yang terinhalasi (Feng et al, 2011). Trakea, bronkus dan bronkiolus yang membentuk saluran udara yang memasok udara ke paru memberikan garis pertahanan pertama dengan mencegah kuman TB untuk mencapai alveoli (Wijaya, 2012). Merokok menyebabkan 18 terjadinya mekanisme 1) ketidak seimbangan fungsi mukosiliar; 2) kerusakan epitel saluran pernafasan bawah dan inflamasi; 3) konstriksi alveolar; 4) meningkatnya jumlah sirkulasi makrofag alveoar (sel target oleh tuberkulosis); 5) terjadinya kolaps di bronkiolus (Singh et al, 2013). Epitel pernapasan merupakan pertahanan pertama melawan agen lingkungan yang merugikan dan melindungi dengan cara menyapu partikel keluar dalam lapisan mukus, memfagositosis juga merekrut sel imun lain. Merokok secara langsung membahayakan integritas barier fisik, meningkatkan permeabilitas epitel pernapasan dan mengganggu bersihan mukosilier. Pajanan asap rokok akut mengakibatkan supresi epitel pernapasan dan secara kronik dapat mengakibatkan inflamasi dan kerusakan sehingga menyebabkan perubahan bentuk sel epitel (Wijaya, 2012). Asap rokok memiliki efek di paru-paru baik proinflamasi maupun imunosupresif pada sistem kekebalan tubuh. Banyak zat yang bersifat karsinogenik dan beracun terhadap sel namun tar dan nikotin telah terbukti imunosupresif dengan mempengaruhi respons kekebalan tubuh bawaan dari pejamu dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Makrofag mempunyai peran yang strategis di alveolar. Makrofag alveolar mempunyai peran kunci dalam merusak dan mengeliminasi agen mikrobial pada saat awal bila ada infeksi. Rokok meningkatkan jumlah makrofag alveolar juga sel epitelial dan mengaktivasinya untuk menghasilkan mediator proinflamasi mikro sirkulasi paru, Reactive Oxygen Species (ROS) dan enzim proteolitik dengan demikian memberikan mekanisme seluler yang menghubungkan rokok dengan inflamasi dan kerusakan jaringan (Wijaya, 2012). Rokok juga mengganggu mekanisme pertahanan alamiah yang dimediasi oleh makrofag, sel epitel, sel dendritik, dan sel natural killer (NK) sehingga meningkatkan risiko, keparahan, dan durasi infeksi. Pengaruh rokok dalam hubungannya dengan peningkatan penyakit hinggá menjadi lebih berat ditandai dengan gangguan kemampuan makrofag untuk membunuh bakteri atau virus dan hilangnya kemampuan untuk membersihkan sel-sel mati. Hilangnya pertahanan mukosa dapat mengakibatkan kolonisasi bakteri (Stampfli, 2009). 19 2.10.3 Merokok dan Tuberkulosis Hubungan antara merokok dan TB pertamakali dilaporkan pada awal abad ke-20. Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya diketahui namun telah banyak penelitian mengenai hubungan antara merokok danTB (Wijaya, 2012). Adanya hubungan antara merokok dengan tuberkulosis telah diperkuat dengan adanya bukti histopatologi kerusakan paru-paru perokok dan meningkatkan terjadinya infeksi paru-paru yang lebih luas (Singh et al, 2013). Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara merokok dan tuberkulosis (Nijenbandring et al, 2014) dan hubungan meningkatnya resiko kematian penderita TB yang merokok (Reed et al, 2013). Menurut Bates et al dalam Singh (2013) resiko terjadinya TB pada perokok umunya pada dewasa (pekerja di bidang kesehatan, pengungsi, pasien, orang tua, narapidana). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa merokok berhubungan dengan tuberkulosis. Resiko merokok 2,3-2,7 kali menderita TB dibandingkan dengan yang tidak merokok (Narasimhan et al, 2013). Hubungan ini bisa dijelaskan bahwa dengan racun yang dibawanya, rokok merusak mekanisme pertahanan paru-paru. Bulu getar dan alat lain dalam paru-paru yang berfungsi menahan infeksi rusak akibat asap rokok. Asap rokok meningkatkan tahanan pelan napas (airway resistance). Akibatnya, pembuluh darah di paru mudah bocor dan merusak sel pemakan bakteri pengganggu dan menurunkan respon terhadap antigen, sehingga bila benda asing masuk ke dalam paru-paru, tidak ada pendeteksinya (PPTI, 2011). Merokok tembakau merupakan faktor penting yang dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga dapat mempengaruhi kesembuhan pengobatan penderita TB paru (Leung, 2010). 2.11 Konversi Kejadian konversi merupakan perubahan yang terjadi pada penderita TB paru BTA positif menjadi BTA negatif setelah 2 bulan pengobatan (Kurniati, 2010). Konversi BTA sputum dari BTA (+) menjadi BTA (-) biasanya dinilai pada akhir pengobatan fase intensif (Oktia et al, 2014). Pemeriksaan ulang dahak, terutama bulan kedua setelah menjalani masa pengobatan yang intensif, akan menentukan dosis obat untuk pengobatan yang selanjutnya. Pemeriksaan ulang 20 dahak secara mikroskopik bersifat spesifik dan cukup sensitif dalam mengikuti kemajuan pengobatan (Kurniati, 2010). Standar WHO pada progran nasional TB menyebutkan bahwa rata-rata konversi sputum paling sedikit 75% diantara kasus baru TB Paru BTA positif (Kayigamba et al, 2012). Menurut Nainggolan (2013) ada dua faktor yang mempengaruhi konversi pada pasien TB paru yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berhubungan dengan karakteristik dan perilaku pasien itu sendiri seperti umur, pendidikan, perilaku merokok. Faktor eksternal adalah faktor lingkungan atau faktor sosial yang berada di sekitar pasien, seperti kondisi rumah, peran pengawas minum obat, peran petugas kesehatan, kepatuhan minum obat dan lain-lain. Keberhasilan angka konversi tergantung pada keteratuan minum obat, pada fase awal dan pengawasan pengobatan, serta dosis obat yang diminum. Angka konversi yang tinggi akan diikuti dengan angka kesembuhan yang tinggi pula (Kurniati, 2010). Apusan sputum positif pada akhir fase intensif mengindikasikan rendahnya supervisi pada pengobatan fase intensif, rendahnya kepatuhan pasien, rendahnya kualitas OAT, dosis OAT tidak sesuai standar, lambatnya perubahan disebabkan karena kavitasi di paru-paru dan bacillary load tinggi, adanya penyakit komorbid yang mempengaruhi penyakit TB, keberadaan TB MDR (Babalik et al, 2012). Hasil penelitian menunjukkan beberapa faktor resiko terhadap konversi sputum penderita TB diantaranya yaitu: pengobatan tanpa strategi DOTS, usia, tingkat kepositifan sputum (smear grading), jenis kelamin, penyakit komorbid (diabetes melitus dan HIV/AIDS), nutrisi, adanya kavitasi (pemeriksaan radiologi) dan jumlah kuman BTA, TB MDR (reistensi rifampisin), dan merokok (Su et al, 2011). Penelitian Kuaban et al dalam Bouti et al (2013) menunjukkan bahwa usia ≥40 tahun sebagai prediktor independent gagal konversi. Penelitian lain menunjukkan bahwa pasien usia >60 tahun mempunyai 6 kali resiko gagal konversi dibandingkan dengan usia 21-40 tahun, sementara usia 41-60 tahun mempunyai resiko 2 kali terjadi gagal konversi tetapi alasan mengapa usia tua mempunyai resiko lebih tinggi terjadi gagal konversi belum diketahui. Penelitian yang dilakukan oleh Kigozi et al (2014) di Afrika Selatan menunjukkan bahwa 21 laki-laki dengan kelompok usia 48-57 tahun mempunyai hubungan yang signifikan dengan gagalnya konversi dibandingkan dengan kelompok usia lain (18-27 tahun, 28-37 tahun, 38-47 tahun). Tingkat kepositifan apusan sputum merupakan pengukuran langsung jumlah basil dalam apusan dahak dan menilai beratnya penyakit yang mempengaruhi konversi sputum dan outcome pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pentingnya penilaian tingkat kepositifan apusan dahak dan semakin tinggi tingkat kepositifannya menyebabkan konversi sputum lama karena outcome pengobatan tidak bagus (Tiwari et al, 2012). Penelitan yang dilakukan Behnaz et al (2015) menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan konversi sputum. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Feng et al (2012) di Taiwan yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan konversi sputum dan kultur konversi. Konversi sputum lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan dengan laki-laki (84,2%: 73,6%). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena laki-laki lebih banyak mempunyai kebiasaan merokok dibandingkan dengan wanita. Penelitian Janele et al dalam Feng et al (2012) adanya perbedaan hormon antara laki-laki dengan wanita juga dapat sebagai pertimbangan terjadinya konversi sputum. Penelitian secara in-vitro mengevaluasi dampak sex hormon terhadap respon kekebalan tubuh. Estrogen dapat meningkatkan sekresi interferon gama (IF-γ) dan aktivasi makrofag sedangkan testoteron kemungkinan dapat menghambat respon imun. Penelitian yang dilakukan Behnaz et al (2015) menunjukkan bahwa ada hubungan antara diabetes melitus (DM) dengan gagal konversi. Hal ini kemungkinan disebabkan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh pada penderita TB dengan DM, termasuk berkurangnya aktivitas makrofag alveolar dan produksi interleukin. Penelitian lain dengan jumlah penderita menunjukkan gagalnya konversi karena menurunnya absorsi obat pada penderita TB dengan DM disebabkan terjadinya gastroparesis. Penelitian yang dilakukan oleh Sengkoro et al di Tanzania (2010) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan konversi antar penderita TB HIV positif dengan penderita TB HIV negatif. 22 Kepatuhan dalam meminum obat ARV (Anti Retroviral) dan OAT yang menentukan terjadinya konversi sputum (Kwange dan Budambula, 2010). Kekurangan mikronutrien sering terjadi pada pasien TB. Beberapa mikronutrien yang penting untuk sistem imun yaitu vitamin A yang terdapat di plasma sebagai retinol, zinc sebagai mineral yang penting di dalam sel untuk sistem imun dan mobilisasi vitamin A dari hati ke plasma (Pakasi et al, 2010), dan vitamin D sebagai imunitas innate serta sebagai imunosuppresor pada imunitas adaptif dengan menekan INF gama, TNF alpha sebagai interleukin inflamasi (Siswanto et al, 2009). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zinc dan vitamin A berguna untuk terjadinya percepatan konversi sputum tetapi ada penelitian lain yang menyebutkan bahwa suplement zinc tidak menambah respon imun penderita TB dengan HIV (Pakasi et al, 2009). Penelitian yang dilakukan Nursyam dalam Siswanto et al (2009) yang memberikan vitamin D atau placebo dengan OAT selama 6 minggu menunjukkan bahwa terjadi konversi sputum sebesar 76,7% (p value 0,002). Hal ini menunjukkan bahwa vitamin D bisa mempercepat konversi sputum. Laporan Singla et al dalam Bouti et al (2013) menyebutkan bahwa jumlah basil yang banyak pada pemeriksaan apusan sputum sebelum pengobatan beresiko 6 kali gagal konversi dibandingkan dengan jumlah basil yang sedikit. Laporan Lienhardt et dalam Bouti et al (2013) menyebutkan bahwa konversi pada akhir fase intensif dengan apusan sputum sebelumnya 1+, 2+, dan 3+ menjadi 96,2%, 85,8%, dan 81,8%. 2.12 Merokok dan Konversi Sputum Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh merokok dengan konversi selama pengobatan (Nijenbandring et al, 2014). Efek merokok terhadap gagalnya konversi menyebabkan infeksi yang berkelanjutan dan meningkatkan resiko transmisi kepada yang lain. Gagalnya konversi setelah 2 bulan pengobatan dapat sebagai prediksi relapse setelah keberhasilan pengobatan (Wallis et al, 2010). Hanya sedikit data yang menunjukkan bahwa hubungan rokok dengan terlambat, gagal, dan lama konversi (Babalik et al, 2012). Hasil penelitian Su et al di Taiwan dalam Pefura-Yone et al (2014) menunjukkan bahwa faktor utama 23 yang berhubungan dengan tidak terjadinya konversi pada akhir fase intensif adalah pengobatan yang tidak adekuat atau tidak sesuai DOT dan adanya resistensi rifampisin. Empat hal utama yang ditemukan pada penelitian Pefura-Yone et al (2014) pada pasien yang gagal konversi adalah 1) lebih dari separuh pasien dengan gagal konversi mempunyai hasil positif M. tuberculosis pada saat dikultur; 2) perokok aktif dan hemoptysis merupakan hal utama terjadinya gagal konversi; 3) lebih kurang 4% pasien dengan gagal konversi merupakan TB MDR; 4) pengobatan yang gagal paling banyak terjadi pada pasien dengan kultur positif dibandingkan dengan hasil kultur negatif. Penelitian yang dilakukan oleh Su dalam Pefura-Yone et al (2014) menemukan bahwa dari 113 pasien yang gagal konversi pada fase intensif, 56% juga mempunyai hasil kultur yang positif M. tuberculosis. Petunjuk dari WHO untuk memperpanjang pengobatan fase intensif pada pasien gagal konversi dengan regimen yang berisi rifampisin (WHO, 2009). Rekomendasi ini penting berdasarkan fakta bahwa hasil apusan dahak positif pada pemeriksaan dahak langsung setelah fase intensif OAT merupakan indikator yang tidak bagus bagi outcome pengobatan TB. Hal ini yang menjadi dasar perlu adanya kultur sputum dan uji kepekaan obat pada semua pasien gagal konversi pada akhir fase intensif dan pada akhir 3 bulan pengobatan (Pefura-Yone et al, 2014). Tidak ada hubungan antara foto thorax atau gambaran bakteri dengan gagal konversi fase intensif pada penderita TB (Pefura-Yone et al, 2014). Penelitian di Taiwan melaporkan adanya kavitasi atau konsolidasi pada hasil foto thorax, sama halnya dengan tidak memakai DOT, berhubungan dengan gagal konversi (Su et al, 2010). Bacillary load yang tinggi ≥( 2+) mempunyai hubungan dengan terjadinya gagal konversi (Fitzwater et al, 2010). Hasil penelitian oleh Pefura-Yone et al (2014) menunjukkan bahwa adanya hemoptisis mempunyai hubungan yang signifikan dengan gagal konversi. Hasil penelitian Pefira Yone et al (2014) menunjukkan bahwa merokok berhubungan dengan gagal konversi. Hal ini dikaitkan dengan adanya penurunan fungsi pertahanan di paru-paru akibat rokok yang menyebabkan iritasi menetap. Penelitian di Kamerun menunjukkan lebih kurang 6-13% pasien TB dengan hasil apusan dahak positif 24 TB tetap positif setelah pengobatan fase intensif lengkap (Pefura-Yone et al, 2014). Hasil penelian Nijenbandring et al (2014) di RS Brazil menunjukkan adanya hubungan antara merokok dengan hasil kultur posistif M. tuberculosis setelah fase intensif. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkn adanya hubungan dosis dengan jumlah rokok yang dihisap perhari. Hal ini didukung oleh hipotesis bahwa sistem imun berubah menyebabkan merokok mempengaruhi pengobatan TB. Dua hal yang berhubungan dengan hipotesa tersebut menjelaskan gagalnya konversi diantara para perokok yaitu:1) kemungkinan karena adanya aktivitas nitric oxide (NO) yang merupakan molekul efektor dalam pertahanan melawan organisme intraselular. Aktivasi makrofag mempunyai kemampuan menekan multiplikasi atau membunuh, M. tuberculosis melepas nitric oxide synthase (NOS) yang penting untuk produksi NO, merupakan aktifitas antimikroba hilang ketika inhibitor NOS ada; 2) Hipotesis yang lain adalah berubahnya iron di alveoli makrofag, ketika jumlah iron berlebih, interaksi NO dengan iron-sulfur dalam enzim untuk mengeluarkan radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan protein intraselular yang menyebabkan hilangnya fungsi aktivasi makrofag termasuk kontrol pertumbuhan M. tuberculosis (Nijenbandring et al, 2014). Laporan oleh Thompson dalam Nijenbandring et al (2014) merokok 1 bungkus perhari mengandung 1,12 µg iron. Metabolisme iron memerlukan NO sehingga jika rokok menurunkan pertahanan tubuh dengan cara menginhibisi produksi NO dan produksi radikal beracun, kemungkinan merokok dapat menyebabkan terjadinya gagal konversi (Nijenbandring et al, 2014). Berhenti merokok memiliki manfaat bagi perokok jauh melampaui mengurang resiko TB, tetapi pengendalian tembakau yang baik dapatmempengaruhi tingkat kematian TB dan mengurangi beban kesehatan masyarakat dan dengan berhenti merokok bisa mengurangi hampir sepertiga dari kematian akibat TB. Resiko TB dapat dikurangi dengan hampir dua pertiga jika seseorang berhenti merokok adalah bukti kuat dalam peran penting dari merokok dalam penanggulangan TB (Wijaya, 2012). 25 2.13 Kerangka Teori Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka, maka kerangka teori penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Suspek TB Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan BTA (Sputum SPS) Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan GeneXpert MTB/RIF Diagnosa BTA Positif/TB Paru BTA Negatif Pengobatan Pengobatan Kategori II Kategori I Kategori III - Anamnesa Bukan perokok Kebiasaan merokok: lama, jumlah, dan jenis rokok Faktor demografi: usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan Status Gizi berdasarkan IMT Perokok BTA Minggu ke 8 Konversi Gagal Konversi Gambar 2.2 Kerangka Teori Pemeriksaan GeneXpert MTB/RIF