III. KERANGKA TEORI Pada bagian ini, konsep dan model teoretis diuraikan sebagai acuan kerja penelitian. Uraian dimulai dengan konsep mengenai (1) kebijakan fiskal, kemudian (2) investasi, (3) konsumsi, (4) kinerja sektor pertanian, dan (5) kinerja agroindustri, serta (6) analisis data deret waktu (time series). Asumsi dalam penjelasan teori untuk menyusun model penelitian adalah: Indonesia sebagai small open-economy country. Ciri dalam perekonomian ini yaitu, negara kecil, dengan ekonomi terbuka dan mobilitas kapital berlangsung sempurna. Untuk analisis sektor pertanian dan agroindustri, negara kecil diekspresikan dengan pangsa (share) produk pertanian dan agroindustri Indonesia di pasar dunia yang kecil. Beras dalam kasus Indonesia adalah sebagai negara besar (dengan share permintaan dunia yang besar). Namun beras adalah satu bagian komoditi tanaman pangan yang di dalam studi ini merupakan bagian kecil dari berbagai komoditi tanaman pangan, perkebunan, hotikultura, peternakan, perikanan dan komoditi agroindustri yang kesemuanya memiliki pangsa (share) kecil di pasar dunia. Sehingga asumsi small open-economy country dalam analisis studi ini masih relevan. Keseimbangan ekonomi dihasilkan secara domestik dan dari luar negeri. Identitas keseimbangan tersebut dijelaskan dengan pendekatan model MundellFleming (MF). Model ini merupakan pengembangan model IS-LM, dengan memasukkan komponen eksternal (net ekspor) untuk mengetahui hubungan dengan lingkungan rest of the world. 56 3.1. Kebijakan Fiskal Soediyono (1985), mendefinisikan kebijakan fiskal adalah bentuk tindakan pemerintah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian dengan maksud agar keadaan perekonomian tidak terlalu menyimpang dari keadaan yang diinginkan dengan alat (policy instrument variable) berupa pajak (T), transfer pemerintah (Tr), dan pengeluaran pemerintah (G). Mankiw (2000) mendefinisikan, kebijakan fiskal sebagai ”The government’s choice regarding levels of spending and taxation”. Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan anggaran (budgetary policy) yang dilakukan melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kebijakan fiskal atau anggaran memiliki tiga fungsi yaitu, (1) fungsi alokasi (allocation function), (2) fungsi distribusi (distribution function), dan (3) fungsi stabilisasi (stabilization function). Fungsi alokasi berkaitan dengan penyediaan barang sosial (social goods) atau proses penggunaan sumberdaya keseluruhan yang dibagi diantara barang privat (private goods) dan barang sosial (social goods) dan kombinasi barang sosial yang dipilih. Fungsi distribusi berkaitan dengan pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan merata di masyarakat. Sedangkan fungsi stabilisasi untuk mempertahankan tingkat pekerjaan yang tinggi (high employment), stabilitas tingkat harga-harga, dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sesuai, yang berpengaruh pada neraca perdagangan dan pembayaran. Instrumen kebijakan fiskal adalah variabel belanja pemerintah (G) atau pajak (T). Bersama-sama dengan variabel konsumsi masyarakat (C), investasi swasta (I) dan net ekspor (X-M) merupakan komponen yang mempengaruhi output (Y) dalam keseimbangan makro: Y = C + I + G + (X-M) (3.1) 57 3.1.1. Jalur Keynesian Pengaruh Kebijakan Fiskal Menurut Keynes; dalam perekonomian yang mengalami krisis (sebagaimana Indonesia pada akhir periode 1990an) dan depresi, kebijakan moneter melalui penurunan tingkat suku bunga tidak efektif. Permintaan agregat dapat dinaikkan dengan cepat hanya melalui kebijakan fiskal (Romer, 2001). Anggaran pemerintah (government budget) adalah bagian penting dalam model makroekonomi Keynes untuk mengatur permintaan agregat dalam perekonomian. Jika perekonomian berada di bawah full employment, permintaan agregat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T). Dalam pandangan Keynes, pemerintah mempunyai peranan penting untuk mengatur permintaan agregat (AD) dalam rangka mempertahankan atau menjaga agar perekonomian mendekati tingkat kesempatan kerja penuh (full employment level). Keseimbangan makro perekonomian tertutup (internal balance): a. Keseimbangan pasar barang: Y = C + I + G (3.2) b. Keseimbangan pasar uang: M/P = (r,Y) (3.3) dimana: M = stok uang, P = tingkat harga, dan r = tingkat bungan domestik. Keseimbangan makro perekonomian terbuka (external balance): Disebut juga Model Mundell-Fleming, tingkat suku bunga domestik (r) ditentukan oleh tingkat suku bunga dunia (r*). Sehingga secara matematis ditulis: r = r*. a. Keseimbangan pasar barang (sebagaimana persamaan (3.1): Y = C + I + G + (X-M) 58 dimana: X = ekspor, M = impor. Konsumsi tergantung pada disposable income (Y-T), investasi dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga dunia (r*), pengeluaran pemerintah dipengaruhi secara negatif oleh defisit pada neraca pembayarannya (D), dan ekspor netto (NX) dipengaruhi oleh nilai tukar (e). Sehingga persamaan (3.1) dapat ditulis seperti pada persamaan (3.4) sebagai persamaan pasar barang atau fungsi IS. Y = C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e) (3.4) b. Keseimbangan pasar uang: Permintaan uang riil dipengaruhi secara negatif oleh tingkat suku bunga, dalam hal ini telah disamakan dengan tingkat suku bunga dunia (r*), dan secara positif oleh pendapatan. Secara matematis dinyatakan: M/P = L(r*,Y) (3.5) Keseimbangan pasar barang dan pasar uang menurut model Mundell-Fleming, dijelaskan melalui dua persamaan: Y = C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e) M/P = L(r*,Y) (3.4) (3.5) Variabel eksogen meliputi kebijakan fiskal ([G] dan [T]), kebijakan moneter (M), tingkat harga (P) dan suku bunga (r*). Variabel endogen meliputi pendapatan (Y) dan nilai tukar (e). Secara grafis, jalur Keynesian pengaruh kebijakan fiskal diuraikan pada bagian berikut: 3.1.1.1. Kebijakan Fiskal pada Perekonomian Tertutup (Internal Balance) Dalam pandangan Keynesian, kebijakan fiskal diyakini paling efektif dalam 59 mengatasi pengangguran dan meningkatkan output. Keyakinan tersebut didasarkan pada besarnya efek multiplier kebijakan fiskal terhadap perubahan output dan sensitivitas permintaan uang terhadap perubahan suku bunga, dimana perubahan suku bunga akan menimbulkan perubahan yang besar pada permintaan uang untuk spekulasi. Hal ini merupakan implikasi dari posisi kurva LM yang cenderung landai. Dari sisi suplai, Keynesian juga mengasumsikan bahwa kurva AS adalah horizontal atau cenderung landai. Kurva AS Keynesian horizontal atau cenderung landai karena ekonomi berada pada kondisi unemployment tinggi, sehingga perusahaan dapat memperoleh tenaga kerja sebanyak yang diperlukan dengan upah yang berlaku. Dengan kondisi demikian upah diasumsikan tidak berubah. Keynesian juga mengasumsikan informasi tidak sempurna (0<p<1), yang mengakibatkan pekerja tidak melakukan penyesuaian terhadap perubahan harga, sehingga model Keynesian dapat disebut juga sebagai imperfect foresight model. Secara grafis, keseimbangan makro melalui pendekatan Keynesian disajikan pada Gambar 1 (Mankiw, 2003; Sukirno, 2005). Pada Gambar 1, kebijakan fiskal dilakukan pada keseimbangan awal (A) dengan tingkat employment pada N1. Pada kondisi tersebut unemployment sangat besar, sehingga pemerintah meningkatkan G (government expenditure) untuk meningkatkan employment. Hal ini menyebabkan kurva IS bergeser ke atas (IS1 ke IS2). Peningkatan G tersebut meningkatkan Y. Peningkatan Y pada tingkat harga tetap P1 dan suku bunga r1 akan meningkatkan permintaan uang, sehingga meningkatkan suku bunga sepanjang kurva LM1, menurunkan investasi dan terjadi crowding out effect. 60 r LM2 B r3 r2 LM1 IS2 A r1 IS1 0 Y1 Y3 Y Y2 P AS P2 B A P1 AD2 AD1 0 Y1 Y3 Y2 Y Y Y3 A Y1 0 N1 B Y=Y(N) N2 W P2e.g(N) B w2 w1 N P1e.g(N) W2D=P2.f A W1D=P1.f 0 N1 N2 N Sumber: Mankiw (2003); Sukirno (2005) Gambar 1. Keseimbangan Makro dalam Pendekatan Keynesian 61 Pada sisi permintaan, dampak lebih lanjut adalah peningkatan output, agregate demand (AD) meningkat (AD1 ke AD2). Memperketat pasar uang, meningkatkan r dan menurunkan investasi. Pada sisi penawaran, peningkatan harga direspons oleh pengusaha dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja, sehingga kurva permintaan tenaga kerja bergeser ke atas. Karena asumsi imperfect informations (0<p<1), maka pada saat yang sama, peningkatan permintaan tenaga kerja karena meningkatnya P direspon oleh buruh dengan menaikkan upah ke W2 dan menggeser kurva penawaran tenaga kerja ke kiri, yaitu ke Pe2.g(N), tetapi pergeseran kurva penawaran lebih kecil dari pergeseran kurva permintaan tenaga kerja. Keseimbangan pasar tenaga kerja meningkat dari N1 ke N2. Peningkatan P terus berlangsung sampai ekses demand dapat dihilangkan, yaitu pada P2Y3. Employment meningkat ke N2 dan upah meningkat ke W2. Upah riil menurun, tetapi jika elastisitas permintaan tenaga kerja pada keseimbangan baru lebih besar dari pada elastisitas pada keseimbangan awal, maka upah riil akan meningkat. Keseimbangan baru (B), output akhir adalah Y3 yang lebih besar dari keseimbangan awal (terjadi growth). Dampak akhir adalah peningkatan suku bunga (r), penurunan investasi (I), peningkatan upah nominal (W). 3.1.1.2. Kebijakan Fiskal pada Perekonomian Terbuka (External Balance) Persoalan ekonomi mendasar dari hampir seluruh negara berkembang adalah masalah current account deficit (external imbalance), tingginya tingkat pengangguran dan inflasi (internal imbalance). Untuk mengatasi masalah unemployment diperlukan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cepat. Namun kebijakan ekspansi untuk meningkatkan pertumbuhan seringkali menyebabkan 62 demand tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan kapasitas supply. Hal ini berdampak pada masalah external balance, yaitu: (1) meningkatnya impor sementara ekspor turun, sehingga memperlebar external imbalance, dan (2) excess demand menyebabkan inflasi meningkat berpengaruh pada memburuknya keunggulan kompetitif negara di lingkup internasional, dengan demikian semakin memperburuk external imbalance. Sehingga, tujuan meningkatkan employment justru seringkali berdampak pada memburuknya current account pada balance of payment (BOP). Konflik antara external dan internal balance mengharuskan ada instrumen kebijakan efektif sesuai dengan apa yang dijadikan target. Instrumen kebijakan akan cocok untuk satu kebijakan tertentu tetapi bisa jadi memiliki dampak yang kurang menguntungkan bagi lainnya, sehingga tidak seluruh instrumen cocok untuk setiap target. Dengan demikian instrumen apa yang akan digunakan untuk tujuan tertentu adalah instrumen yang akan memberikan efektivitas maksimum. Secara historis negara-negara berkembang sangat menggantungkan kebijakan ekspansi fiskal untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Model Mundell-Fleming dengan model standard IS-LM melalui pendekatan Keynesians dapat menjelaskan keadaan historis tersebut. Asumsi dalam model Mundell-Fleming (MF) (pengembangan bagian 3.1.1 pada persamaan [3.4] dan [3.5] dengan memasukkan Balance of Payment/BOP) adalah: (1) upah nominal dan harga fixed, (2) permintaan agregat berhubungan positif terhadap pengeluaran pemerintah (G), output luar negeri (Yf), dan nilai tukar (e) berhubungan negatif dengan tingkat suku bunga domestik (rd), (3) permintaan uang merupakan fungsi negatif dari tingkat suku bunga dunia (r*) dan fungsi positif terhadap tingkat pendapatan domestik, (4) supply uang secara negatif 63 dipengaruhi oleh deviasi antara nilai tukar (e) dan target nilai tukar tertentu (e*), dan (5) nilai perdagangan ditentukan oleh tingkat output domestik (Yd) dan tingkat output luar negeri (Yf), serta (6) capital account ditentukan oleh perbedaan tingkat suku bunga domestik dan luar negeri (Husain and Chowdhury, 2001). Derajad mobilitas kapital yang ditentukan melalui sensitivitas perbedaan suku bunga (r dan r*) mempunyai peranan penting dalam model Mundell- Fleming (MF), sebagai berikut: Y = C(Y -T) + I(r*) + G(D) + NX(e) (3.6) M/P = f(r*,Y) (3.7) BOP = f (Yf, Y, ER, r,r*) (3.8) Persamaan (3.8) menunjukkan kurva BOP atau BOP=0 untuk berbagai kombinasi pendapatan domestik (Y) dan tingkat suku bunga domestik (r). Dalam hal ini pengeluaran pemerintah (G), nilai tukar (e) dan pendapatan dari luar negeri (Yf) merupakan variabel shifter positif. Slope BOP menunjukkan derajad mobilitas kapital. Jika kurva BOP vertikal artinya tidak ada mobilitas kapital. Sebaliknya pada waktu mobilitas kapital sempurna, slope cenderung tak hingga/horisontal. Kurva BOP horizontal berimplikasi bahwa ada sedikit perbedaan antara tingkat suku bunga domestik dan asing yang akan mendorong adanya aliran kapital. Efektivitas kebijakan fiskal dalam perekonomian terbuka pada model MF tergantung dari derajad mobilitas kapital dan kondisi exchange rate. Untuk negaranegara di Asia Timur (termasuk Indonesia), meskipun dalam kondisi perekonomian terbuka, tidak banyak menarik investasi asing, berarti slope BOP sangat curam atau mendekati vertikal, yang menunjukkan terbatasnya mobilitas kapital. Demikian pula halnya dengan tingkat suku bunga tidak menunjukkan peran berarti pada 64 permintaan uang di hampir semua negara-negara sedang berkembang. Hal ini berimplikasi kurva LM relatif curam. a. Kebijakan Fiskal pada Kondisi Kurs Tetap dan Mobilitas Kapital Terbatas Dengan beberapa pertimbangan di atas, model MF pada kasus Indonesia ER dianggap fixed atau terkendali, mobilitas kapital terbatas dan kurva LM dipertimbangkan memiliki slope yang lebih curam atau lebih landai relatif terhadap kurva BOP. Kebijakan ekspansi fiskal menggeser kurva IS ke IS1 (Romer, 2001; Sukirno, 2005). Pada kondisi kurva BOP lebih curam dari kurva LM (Gambar 2.a) keseimbangan internal yang baru menyebabkan BOP defisit. Ketika Bank Sentral melakukan intervensi pada pasar uang, kurva LM bergeser ke kiri mengurangi efektifitas kebijakan ekspansi fiskal. Pada kondisi kurva BOP lebih landai dari kurva LM (Gambar 2.b), keseimbangan internal baru (titik E1 ) menghasilkan BOP surplus, sehingga respons money supply meningkat. Kurva LM bergeser ke kanan dan jika capital inflow tidak disterilisasi, maka akan memperbesar efektifitas kebijakan ekspansi fiskal. Sehingga pada sistem fixed exchange rate, efektifitas kebijakan fiskal diperbesar dengan meningkatnya mobilitas kapital. b. Kebijakan Fiskal pada Kurs Flexibel dan Mobilitas Kapital Terbatas Pada Gambar 3, menunjukkan kondisi dimana negara menganut sistem flexibel ER (Romer, 2001; Sukirno, 2005). Pada kasus kurva BOP lebih curam dari kurva LM (Gambar 3.a), kebijakan ekspansi fiskal akan menyebabkan BOP defisit 65 dan nilai tukar riil terdepresiasi. Dampaknya, daya saing meningkat dan ekspor meningkat sehingga kurva IS maupun kurva BOP akan bergeser ke kanan. Titik (a) BOP=0 rd LM1 E2 rd2 LM0 E1 rd1 rd0 E0 IS1 IS0 0 (b) Yd0 Yd2 LM0 rd Yd Yd1 LM1 BOP0=0 E1 rd1 rd2 E2 rd0 E0 IS1 IS0 0 Yd0 Yd1 Yd2 Sumber: Romer (2001), Sukirno (2005) Gambar 2. Efektifitas Kebijakan Fiskal pada Kurs Tetap dan Modal Terbatas. Yd 66 (a) BOP0=0 rd BOP1=0 LM0 E2 rd2 E1 rd1 rd0 IS2 E0 IS1 IS0 Yd0 0 Yd1 Yd2 Yd LM0 rd (b) E1 BOP1=0 rd1 E2 BOP0=0 rd2 IS1 rd0 E0 IS2 IS0 0 Yd0 Yd2 Yd1 Yd Sumber: Romer (2001), Sukirno (2005) Gambar 3. Efektifitas Kebijakan Fiskal pada Kurs Fleksibel dan Modal Terbatas 67 keseimbangan yang baru adalah E2 dimana efektifitas kebijakan fiskal menjadi sangat besar. Kurva BOP lebih landai dari kurva LM (Gambar 3.b) kebijakan ekspansi fiskal menyebabkan surplus BOP. Surplus BOP mengakibatkan nilai tukar riil terapresiasi, daya saing menurun dan mengurangi ekspor. Keseimbangan akhir, baik kurva IS maupun BOP bergeser ke kiri, keseimbangan eksternal dan internal di E2. Pada ER flexibel semakin tinggi sensitivitas mobilitas kapital terhadap perubahan tingkat suku bunga, efektifitas kebijakan fiskal semakin berkurang. 3.1.2. Penerimaan Pemerintah Sumber penerimaan pemerintah berasal dari: pajak, non pajak, dan hibah. Pajak meliputi pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, dan pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah. Jenis pajak pusat adalah pajak penghasilan (PPh), pajak pertambanan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB) serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), bea meterai, cukai, pajak/pungutan ekspor, dan bea masuk (Hutahaean, et. al., 2002). Pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn) mempunyai efek/transmisi cepat terhadap perubahan perilaku menabung, investasi dan ekspansi usaha perusahaan (James and Nobes, 1992). Dalam kasus Indonesia PPh dan PPn sensitif terhadap perubahan perilaku rumahtangga dan perusahaan. Dari sisi pajak, intervensi pemerintah untuk mempengaruhi kinerja sektoral akan efektif dengan instrumen PPh dan PPn. Analisis sistem pajak kombinasi; antara pajak pendapatan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn), ditemukan dalam Atkinson and Stiglizt (1976), Mirrlees 68 (1976), dan Revez (1986) dalam Myles (1997). Dalam model ini diasumsikan bahwa terdapat n barang yang disediakan oleh produsen sebagai barang 1 dan tingkat upah w. Seperti aturan normalisasi, pajak linear terhadap n barang, ditetapkan 0. Dengan aturan ini keterbatasan anggaran (qx) yang dihadapai seorang konsumen dengan kemampuan membayar pajak s dan tingkat pajak T berbentuk: n ∑q x i=2 i i = swx1 − T ( swx1 ) (3.9) Untuk penyederhanaan derifasi, teknologi produksi ditetapkan linear sehingga kemungkinan produksi dibatasi oleh hubungan: n ∞ ∞ ∑ ∫ x (s)γ (s)ds ≤ ∫ swx (s)γ (s)ds − z i=2 0 (3.10) G 1 i 0 dimana, zG : pengenaan pajak pemerintah. Dengan teknologi linear memungkinkan untuk mengambil harga produsen dari setiap barang 2,...,n menjadi 1. Pajak optimal dapat diperoleh dengan memperlakukan U(s) sebagai variabel riil dan xi(s), i =1,…, n-1 sebagai variabel kontrol, dengan xn(S) ditentukan dari identitas U(s) = U(x1(s),...,xn(s)). Persyaratan orde pertama untuk self selection diturunkan dengan menggunakan fakta bahwa notasi u s = − U x1 x1 . s us = − U l2 s 2 =− Ull s atau dalam Pendekatan orde pertama Hamiltonian untuk maksimisasi dapat ditulis dengan menggunakan (3.10) sebagai: n x1U x1 ⎡ ⎡ ⎤⎤ H = ⎢U + λ ⎢ swx1 − ∑ xi ⎥ ⎥γ ( s ) − μ s i=2 ⎦⎦ ⎣ ⎣ (3.11) Untuk memilih xk(s),k = 2,...,n-1, menggunakan fakta bahwa Ux ∂xn =− k U xn ∂xk (3.12) Syarat perlu untuk optimalitas adalah: ⎡ Ux ⎤ Ux ⎤ μx ⎡ − λ ⎢1 − k ⎥γ − 1 ⎢U x1xk − U x1xn k ⎥ = 0, k = 2,..., n s ⎢⎣ U xn ⎥⎦ ⎢⎣ U xn ⎥⎦ (3.13) 69 Dari syarat perlu tersebut maksimisasi utilitas rumahtangga adalah: U xk U xn = 1 + tk 1 (3.14) Substitusi (3.14) ke dalam (3.13), dan setelah disusun ulang, pajak optimal (tk) dapat ditulis sebagai: tk = μx1U xk λγs ⎡ ⎡U x ⎤ ⎤ ⎢ d log ⎢ k ⎥ ⎥ ⎢ ⎢⎣U xn ⎥⎦ ⎥ ⎢ ⎥, k = 2,..., n − 1 dx 1 ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎣ ⎦ (3.15) ⎡U x ⎤ d log ⎢ k ⎥ ⎢⎣U xn ⎥⎦ = 0 , untuk Hasil dari (3.15) menyatakan dua fakta. Pertama jika dx1 semua k = 2,.., n-l, yang dianggap tetap jika fungsi utilitas dapat dipisahkan secara lemah antara tenaga kerja dan semua komoditas lainnya, maka pajak optimal (tk) untuk semua k=2,.., n-1. Ini adalah hasil utama dari Atkinson and Stiglitz (1976). Dalam keadaan ini pajak pertambahan nilai (PPn) tidak diperlukan dan pajak penghasilan (PPh) cukup untuk mencapai tujuan kesejahteraan. Hasil ini diturunkan dari sistem pajak yang berusaha untuk memajak kemampuan awal dari rumah tangga, tetapi apabila dianggap terpisah, terdapat hubungan yang lemah antara pilihan konsumsi dan kemampuan untuk pajak pertambahan nilai. Konsekuensi kedua dari (3.15) adalah anggapan semua variabel lainnya konstan, bahwa tarif pajak terhadap suatu barang akan berhubungan secara positif terhadap tingkat perubahan tarif marjinal atas substitusi antara barang tersebut dan faktor input. Karena itu, barang-barang yang secara relatif lebih disukai oleh konsumen yang menawarkan paling banyak input (tenaga kerja), akan dipajak lebih besar. Menggunakan kerangka yang lebih umum, Mirrlees (1976) menekankan 70 kesimpulan ini untuk menunjukkan bahwa tarif PPn akan mejadi paling tinggi pada barang paling disukai oleh rumah tangga yang berkemampuan tinggi. 3.1.3. Pengeluaran Pemerintah Struktur pengeluaran/belanja pemerintah menurut I-Account APBN meliputi: (1) belanja pemerintah pusat (pengeluaran rutin dan pembangunan), (2) dana perimbangan, dan (3) dana otonomi khusus dan penyeimbang. Pendekatan untuk melihat keterkaitan antara belanja negara dan pendanaannya adalah melalui apa yang dikenal dengan Government's (public sector's) financial balance, yang persamaannya ditulis sebagai berikut: (T- Cg - Ig) = Bgp +∆H + Bgf (3.16) dimana: T = tax revenue (penerimaan pajak), Cg = government consumption (konsumsi pemerintah), Ig = government investment (investasi pemerintah), Bgp = government borrowing from private sector (pinjaman pemerintah dari sektor swasta), ∆H = stock change in high-powered money (perubahan stok dari pencetakan uang), dan Bgf = government borrowing from foreigners (pinjaman pemerintah dari luar negeri). Sisi kiri persamaan menggambarkan defisit fiskal dan sisi kanan persamaan menunjukkan cara pendanaannya. Jika pemerintah ingin meningkatkan expenditure, maka dapat dibiayai melalui peningkatan penerimaan pajak tanpa mempengaruhi defisit fiskal. 71 Tingkat belanja negara yang memadai ditentukan oleh penerimaan dan defisit anggaran yang harus dibiayainya. Jika peningkatan pengeluaran pemerintah tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan pajak maka akan menyebabkan defisit fiskal yang lebih besar. Langkah selanjutnya adalah mencari sumber pendanaan untuk menutup defisit melalui: (a) pinjaman dari sektor swasta, (b) mencetak uang (money creation) dan (c) pinjaman dari luar negeri. Selain itu, masih ada sumber pembiayaan lainnya, yaitu : (1) pengurangan simpanan devisa (dapat menyebabkan krisis nilai tukar), (2) penjualan aset negara (privatisasi), dan (3) akumulasi tunggakan (arrears). Untuk menutup defisit umumnya dilakukan dengan kombinasi antara berbagai sumber pendanaan tersebut. Alternatif pendekatan yang digunakan untuk melihat kedua masalah tersebut melalui the economy's saving-investment balance, persamaannya ditulis: (T- Cg-Ig) = (Sp -Ip) + (M-X) (3.17) dimana: T = tax revenue (penerimaan pajak), Cg = government consumption (konsumsi pemerintah), Ig = government investment (investasi pemerintah), Sp = private saving (tabungan swasta), Ip = private investment (investasi swasta), M = impor, X = ekspor, dan (M - X) menggambarkan external current account defisit. Melalui pendekatan ini terlihat bahwa defisit fiskal sama dengan jumlah savinginvestment gap dari sektor swasta ditambah external current account deficit. 72 Selanjutnya bila pendekatan pertama (3.16) dan kedua (3.17) digabungkan, diperoleh persamaan sebagai berikut. Sp - Ip = Bgp + ∆H- Bpf (3.18) M - X = Bgf + Bpf (3.19) dimana: Bpf = utang swasta (private sector borrowing) dari sumber luar negeri. Persamaan (3.18) menyatakan bahwa kelebihan tabungan sektor swasta sama dengan uang yang dipinjamkan kepada pemerintah dan uang yang dipegangnya sendiri dikurangi dengan utang luar negerinya. Sedangkan persamaan (3.19) menyatakan bahwa external current account deficit dibiayai dari utang luar negeri pemerintah dan utang luar negeri sektor swasta, yang bersumber dari foreign saving. Dengan mensubstitusikan persamaan (3.18) dan (3.19) kedalam persamaan (3.17) akan menghasilkan persamaan (3.16). 3.1.4. Pengeluaran Pemerintah Sektoral Selain klasifikasi anggaran ke dalam belanja rutin dan pengeluaran pembangunan (klasifikasi ekonomi), yang lebih lazim dan dikenal sesuai dengan klasifikasi internasional adalah klasifikasi berdasarkan sektoral. Sampai saat ini, secara sektoral APBN mengklasifikasikan belanja negara ke dalam 20 sektor. Sementara itu, IMF melalui format GFS (Government Finance Statistic) terbaru telah mengembangkan konsep klasifikasi belanja negara. Tujuan konsep tersebut untuk membantu menunjukkan sifat, komposisi dan dampak dari penerimaan, hibah, pengeluaran, pinjaman bersih, pembiayaan dan utang, serta transaksi keuangan pemerintah yang dikelompokkan berdasarkan jenis kegiatannya. Dalam kaitannya dengan belanja negara, di dalam konsep GFS, pengeluaran pemerintah (pusat) diklasifikasikan berdasarkan sifat ekonomi dan berdasarkan fungsi. 73 Secara ekonomis, pengeluaran dikelompokkan menjadi pengeluaran lancar (rutin) dan pengeluaran modal (pembangunan). Dalam hal ini, pembagian sektorsektor ekonomi dititikberatkan pada bagaimana seluruh kegiatan ekonomi dalam suatu negara dapat dibagi menurut bagian-bagiannya, dan sejauhmana pembagian tersebut sesuai dengan struktur ekonomi yang diterapkan di negara yang bersangkutan. Sedangkan secara fungsional, pengeluaran (dan pinjaman bersih) dikelompokkan sesuai dengan tujuan pokok atau fungsi untuk sektor mana mereka dibentuk, apakah untuk pertahanan, pendidikan, pertanian, dan lain sebagainya. 3.1.5. Subsidi Norton (2002) mengemukakan bahwa di negara berkembang, subsidi khususnya pertanian penting sebagai instrumen fiskal untuk mendorong produktivitas dan peningkatan kesejahteraan petani. Subsidi adalah bentuk transfer pemerintah yang efisien sekaligus sebagai alat redistribusi kesejahteraan antar penduduk dan antar produsen dan konsumen. Inilah pokok pentingnya subsidi, sehingga pada perekonomian majupun masih menggunakan instrumen subsidi dari pemerintah untuk sektor swasta. Dampak dari subsidi pemerintah (s) dapat dilihat pada Gambar 4 (Stiglitz, 2000). Gambaran kurva penawaran produk pertanian dalam jangka pendek (SR) (Gambar 4.a) diasumsikan sangat tidak elastis karena memproduksi produk pertanian membutuhkan waktu yang panjang bahkan musiman. Jika pemerintah membayar agregat subsidi untuk produk pertanian, dampaknya adalah terjadi peningkatan permintaan produk pertanian (kurva permintaan bergeser ke kanan atas). Dampaknya harga produk pertanian naik, tetapi kenyataannya petani hampir tidak bisa meningkatkan produksinya. 74 SSR Harga Produk Ps Harga Produk Ds P SLR Ps P Ds D 0 QQs D Produk 0 (a) Q Qs Produk (b) Sumber: Stiglitz (2000). Gambar 4. Dampak Subsidi terhadap Peningkatan Produksi Pertanian Dalam jangka panjang (LR), penyesuaian meningkat besar seperti pada Gambar (4.b) kurva penawaran relatif lebih elastis/datar. Peningkatan harga yang sedikit berdampak kepada peningkatan produksi yang besar. Hal tersebut merupakan tujuan dari subsidi yaitu meningkatkan produktivitas untuk mencapai peningkatan produk agregat dalam jangka panjang. 3.1.6. Dampak Pengeluaran Pemerintah Seberapa besar dampak kebijakan fiskal (melalui peningkatan pengeluaran pemerintah) akan meningkatkan output, tergantung pada besaran multiplier effect yang dapat diturunkan sebagai berikut (notasi dalam bentuk riil dengan definisi notasi seperti pada bagian sebelumnya) (Romer, 2001): Kurva IS mencerminkan keseimbangan pada pasar barang: y = c(y-t(y)) + i(r) + g dan kurva LM mencerminkan kondisi keseimbangan pada pasar uang: (3.20) 75 M = l(r) + k(y) Po (3.21) dimana fungsi konsumsi dan pajak mempunyai slope positif tetapi lebih kecil dari satu atau 0 < c’, t’ < 1, slope investasi dan permintaan uang i’ < 0 dan l’ < 0, serta slope transaksi permintaan uang k’ > 0 (tanda [’] menunjukkan nilai tertentu). Dengan menurunkan persamaan (3.20), diperoleh: dy = c’ (dy – t’ dy) + i’ dr + dg = c’ (1-t’)dy + i’dr + dg (3.22) M Menurunkan persamaan (3.21) dengan — konstan, akan diperoleh: P 0 = l’ dr + k’ dy k' dr = - — dy l’ dengan mensubstitusikan ke persamaan (3.22) diperoleh: 1 dy = 1 − c' (1 − t ' ) + i' k ' l' (3.23) dg Karena c’ (1 – t’) kurang dari satu dan i 'k ' l' positif maka multiplier tersebut i' k ' − , = menunjukkan penurunan investasi yang berasal dari l' i' k ' − peningkatan r, sewaktu y dan r meningkat sepanjang kurva LM, dan l' bernilai positif. merupakan slope kurva LM, sehingga jika kurva LM mempunyai slope = 0, atau kurva LM horizontal, maka multiplier akan menjadi: dy = dg 1 = dg 1 − c' (1 − t ' ) 1 − MPC (3.24) Artinya, perubahan pengeluaran pemerintah (g) meskipun kecil akan menghasilkan perubahan output yang besar, karena adanya multiplier effect tersebut. Efek perubahan output akan makin besar dengan bentuk kurva LM yang horizontal. 76 3.1.7. Keseimbangan Fiskal Keseimbangan primer (primary balance) adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran, tidak termasuk cicilan utang dan bunga. Defisit anggaran pemerintah terdiri atas defisit luar negeri dan defisit dalam negeri. Defisit anggaran luar negeri adalah pengeluaran mata uang asing dikurangi penerimaannya. Defisit total pemerintah dalam neraca anggaran dengan memperhitungkan defisit anggaran luar negeri dan domestik dirumuskan (Subagjo, 2005): D = (GD+FG) - (RD+RF) – KG (3.25) KG = K-KP (3.26) K = RE + CA (3.27) dimana: CA = current account dalam neraca pembayaran, D = neraca anggaran (defisit/surplus), FG = pengeluaran pemerintah luar negeri, GD = pengeluaran pemerintah domestik, K = arus kapital total, KG = arus kapital pemerintah, KP = arus kapital swasta, RD = penerimaan pemerintah domestik, RE = cadangan devisa, dan RF = penerimaan pemerintah luar negeri. Pada persamaan (3.27) diasumsikan bahwa bank sentral akan meningkatkan kredit netonya kepada pemerintah, apabila pengeluaran pemerintah melebihi penerimaannya dengan selisih yang lebih besar dari arus masuk kapital neto. 77 Defisit anggaran ditentukan oleh selisih tingkat suku bunga domestik dan suku bunga luar negeri yang menentukan arus kapital, beban utang pemerintah yang menentukan besarnya cicilan dan bunga utang, dan neraca pembayaran. Secara agregat defisit anggaran (D) merupakan fungsi dari suku bunga domestik (r), tingkat suku bunga dunia (r*), utang pemerintah (B), dan penerimaan pemerintah (R). Sehingga fungsi defisit anggaran dapat dituliskan sebagai berikut: D = d(r,r*,B,R) (3.28) Komponen fiskal meliputi variabel-variabel: pengeluaran, penerimaan pajak, defisit, utang, dan obligasi pemerintah (domestik dan luar negeri) sebagai sumber pembiayaan tambahan bagi pemerintah. Alternatif pembiayaan melalui pencetakan uang tidak diperhitungkan sebagai sumber pembiayaan. Hal ini didasarkan pada kenyataan mengenai posisi independent bank sentral. Akibatnya pemerintah tidak bisa mencetak uang untuk menutup gap dalam anggarannya. 3.1.8. Utang Pemerintah Jika pengeluaran melampaui penerimaan maka kebijakan fiskal akan berkaitan dengan aspek pinjaman/utang (Subiyantoro dan Riphat, 2004). Langkah paling lazim dalam menutup defisit anggaran pemerintah (D) adalah dengan utang, baik berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. The law of motion dari utang pemerintah, seperti dikemukakan oleh Cohen (2002) dalam Soelistyaningsih (2005): Dt = (1+r)Dt-1 + Gt – Tt dimana: (Gt – Tt) = primary balance deficit, Dt-1 + Gt – Tt = overall balance deficit. (3.29) 78 Dalam bentuk Present Value, persamaan (3.29) dibagi dengan discount factor 1/(1+r)t sehingga menjadi: Dt = Dt −1 + Gt − T t t t −1 t (1+ r ) (1+ r ) (1+ r ) (3.30) Jika inisial time t=0, maka perolehan masa depan adalah: t G −T t Dt = (1 + r ) = ∑ t t D −1 t t = 0 (1+ r ) (1+ r ) (3.31) Dengan persamaan tersebut di atas, maka meningkatnya utang (secara PV) adalah penjumlahan dari PV defisit utama (present value of the primary deficit). Jika t tak terhingga, maka persamaan tersebut akan menjadi: ∞ Dt = D −T t (1 + r ) = ∑ t D 1 − t t t → ∞ (1+ r ) t = 0 (1+ r ) lim (3.32) Utang pemerintah solvent apabila persamaan sisi kiri menuju nol, disebut transversality condition. Kondisi ini menyatakan bahwa PV utang pemerintah jangka panjang akan menuju nol dan solvent, sehingga: ∞ ∞ Gt ∑ T t t = D −1(1 + r ) + ∑ t t = 0 (1+ r ) t = 0 (1+ r ) (3.33) Pada kasus dimana perekonomian tumbuh, pajak menjadi salah satu sumber penggerak perekonomian yang bersifat eksogen, dinyatakan: Tt = T0(1+n)t (3.34) dimana n adalah pertumbuhan ekonomi. Diasumsikan suku bunga r lebih tinggi dibandingkan n (r>n), dan pertumbuhan ekonomi dipicu oleh pengeluaran pemerintah yang tumbuh sebesar n. Gt = G0(1+n)t (3.35) Melalui persamaan (3.35), maka PV dari primary deficit adalah: ∞ G t −T t t t = 0 (1 + r ) ∑ 1+ r = (G 0 − T 0 ) r−n (3.36) 79 Utang pemerintah dikatakan solvent, jika dan hanya jika: D−1 ≤ T 0 − G0 (3.37) ( r − n) Maka primary surplus dari anggaran pemerintah akan sama dengan: dan, Tt-Gt ≥ (r-n)Dt-1 (3.38) Dt = (1+n)Dt-1 (3.39) Persamaan (3.38) dan (3.39) memberikan implikasi: Dt lim (1+ r ) t →∞ = t ⎛1+ n ⎞ D 0 lim ⎜⎝ 1 + r ⎠⎟ t =0 (3.40) t →∞ Kondisi solvency tidak berarti bahwa utang harus distabilkan. Utang tumbuh secara tak terhingga, tetapi utang seharusnya tumbuh tidak lebih cepat dari penerimaan pajak. Dengan kata lain, rasio utang terhadap pajak seharusnya ada batas atasnya. 3.1.9. Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal antar tingkat pemerintahan menggambarkan hubungan keuangan (financial relations) diantara berbagai tingkat pemerintahan, yang meliputi berbagai aktivitas keuangan pemerintah seperti perpajakan, pengeluaran, pinjaman, subsidi, transfer dan hibah. Transfer fiskal antar tingkat pemerintahan (intergovernmental fiscal transfers) terdiri atas hibah (grants), dan bagi hasil (revenue-sharing) merupakan sumber penerimaan yang dominan bagi tingkat pemerintah daerah di banyak negara sedang berkembang (Litvack, et.al., 1998 dalam Nanga, 2006). Tiga peran potensial dari hibah (grants) yaitu, (1) internalisasi spillover benefits terhadap yurisdiksi lain, (2) pemerataan (equalization) fiskal antar yurisdiksi, dan (3) meningkatkan/memperbaiki sistem pajak secara menyeluruh. Hibah dapat dibedakan ke dalam dua bentuk utama (Oates, 1999), yaitu hibah atau bantuan bersyarat (conditional grants) dan hibah tak bersyarat 80 (unconditional grants). Bantuan bersyarat atau bantuan khusus (specific grants) adalah bantuan yang memiliki persyaratan tertentu yang terkait di dalam bantuan tersebut, dan diberikan untuk mendorong pemerintah daerah dalam menambah barang dan jasa publik tertentu. Dalam kasus bantuan khusus ini, pemerintah daerah tidak memiliki kebebasan dalam pengalokasian dana karena penggunaan dana tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Bantuan tak bersyarat atau bantuan blok (block grant) adalah jenis bantuan yang tidak dikaitkan dengan program pengeluaran tertentu, dalam kasus Indonesia diistilahkan dana alokasi umum (DAU). Ciri khusus yang menjadi kekuatan jenis bantuan ini adalah dapat meningkatkan sumberdaya lokal dan sekaligus mempertahankan pilihan fiskal yang ada dalam kewenangan pemerintah daerah. Dalam kasus bantuan blok ini, pemerintah daerah memiliki keleluasan dalam mengalokasikan dana yang diterima ke dalam berbagai kemungkinan pengeluaran yang sesuai dengan pilihan dan kepentingan daerah yang bersangkutan. Pengaruh atau dampak dari masing-masing bantuan tersebut dijelaskan pada Gambar 5 dan 6. Dalam Gambar 5 dan 6 posisi pemerintah daerah sebelum ada bantuan (grant) ditunjukkan titik E dan jumlah barang G dan H yang dikonsumsi masing-masing adalah G1 dan H1. Apabila ada bantuan dari pemerintah pusat dalam bentuk block grant, maka garis anggaran (budget line) dalam Gambar 5 akan bergeser dari AB menjadi CD, posisi pemerintah Daerah sekarang berada di titik F dan jumlah barang G dan H yang dikonsumsi menjadi G2 dan H2. Konsumsi pemerintah daerah baik untuk barang G maupun H meningkat dan hal ini menunjukkan pula bahwa kepuasan dari pemerintah bertambah karena berada pada indifference curve yang lebih tinggi yaitu I2 dimana I2 > I1. 81 Barang H Barang H C A H2 H1 I2 I1 E A I1 I2 H1 H2 F E F’ D’ 0 G1 G2 B D Barang G 0 G1 G'2 B Barang G Sumber: Oates (1999) Gambar 5. Jalur Efek Block Grant Gambar 6. Jalur Efek Specific Grant Sebaliknya, pemerintah pusat memberikan bantuan dalam bentuk spesifik (specific grant), dampak yang ditimbulkan adalah penurunan harga (biaya produksi barang G) dan budget line bergeser dari AB ke AD'. Posisi pemerintah daerah kini berada di titik F' dan jumlah barang G yang dikonsumsi menjadi G2’. Berarti bantuan spesifik meningkatkan produksi barang G. Bantuan spesifik juga meningkatkan kepuasan pemerintah daerah karena sekarang berada di titik F' yang terletak pada indifference curve I2 dimana I2 > I1. Dampak spesifik grant tidak dapat diprediksi secara langsung karena tergantung pada bentuk indifference curve maupun income dan price elasticity of demand dari kedua jenis barang tersebut. Price effect dari subsidi atau bantuan cenderung menurunkan produksi barang H, tetapi sebalikannya pada income effect. Dalam beberapa kasus seperti tampak dalam Gambar 6, efek netto yang ditimbulkan oleh bantuan spesifik adalah penurunan secara absolut di dalam produksi H. 82 Secara teoretis disimpulkan; block grant dampaknya terhadap produksi atau konsumsi dapat diprediksi secara langsung, dan hanya menghasilkan income effect, sedangkan specific grant tidak dapat menghasilkan income effect juga substitution effect dan price effect. 3.2. Investasi Insentif ekonomi atas keputusan investasi tergantung kepada tingkat keuntungan yang diperoleh investor. Investasi netto (net investment) bergantung kepada perbedaan antara produk marjinal modal dan biaya modal. Dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dijelaskan bagaimana perekonomian aktual mengubah modal dan tenaga kerja menjadi barang dan jasa (Mankiw, 2003). Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah: Y = AKαL1-α (3.41) dimana: Y = output, K = modal, L = tenaga kerja, A = parameter tingkat teknologi, dan α = parameter yang mengukur bagian modal atas output (0<α<1). Produk marjinal modal adalah: MPK = αA(L/K)1-α (3.42) Sewa riil (R/P) sama dengan produk marjinal modal dalam equilibrium dapat ditulis: R/P = αA(L/K)1-α (3.43) 83 Persamaan (3.43) mengidentifikasi variabel yang menentukan harga sewa riil dimana, (1) semakin kecil persediaan modal, semakin tinggi harga sewa riil dari modal, (2) semakin besar jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan, semakin tinggi harga sewa riil dari modal, (3) semakin baik teknologi, semakin tinggi harga sewa riil dari modal. Biaya modal (CK) untuk suatu periode adalah: CK = iPK - ∆PK + δPK = PK(i - ∆PK/PK + δ) (3.44) dimana: CK = biaya modal, iPK = biaya bunga, ∆PK= keuntungan dari modal, dan δPK = biaya penyusutan (δ adalah tingkat penyusutan). Dengan memperhatikan inflasi, maka ∆PK/PK sama dengan tingkat inflasi keseluruhan π. Karena i- π sama dengan tingkat bunga riil r, biaya modal dapat ditulis: CK = PK(r + δ). Biaya modal riil (real cost of capital) yang diukur dalam unit output perekonomian tergantung pada harga relatif barang modal (PK/P), tingkat bunga riil r dan tingkat penyusutan δ ditulis: CK = (PK/P)(r + δ) (3.45) Tingkat keuntungan investasi (π) diperoleh dari selisih antara penerimaan riil (3.43) dengan biaya riil (3.45). Dengan mensubstitusi persamaan (3.42) ke (3.43) keuntungan investasi dapat dituliskan: π = MPK - (PK/P)(r + δ) (3.46) dimana MPK = marginal product of capital. Investor akan menambah investasi jika produksi marjinal melebihi biaya modal, ditulis: 84 ∆K = In [MPK-(PK/P)(r + δ]) (3.47) Dimana In[ ] adalah fungsi yang menunjukkan berapa banyak investasi neto merespon insentif untuk investasi. Dari persamaan (3.41) sampai dengan (3.47) dapat membuat persamaan investasi: I = In [MPK-(PK/P)(r + δ)]+ δK (3.48) Investasi (bisnis) bergantung kepada produk marjinal modal, biaya modal, dan jumlah penyusutan atau depresiasi. Sumber pembiayaan investasi pertanian di Indonesia terdiri atas investasi pemerintah, investasi swasta domestik (PMDN), investasi swasta asing (PMA) dan investasi masyarakat (non-fasilitas). Investasi swasta asing merupakan sumber pembiayaan investasi pembangunan di banyak negara berkembang sejak berakhirnya Perang Dunia II. Hal ini terutama disebabkan karena pada negaranegara berkembang seperti Indonesia, kemampuan menabung masih rendah sehingga kemampuan investasi rendah. 3.3. Konsumsi Konsumen bertindak rasional serta memiliki alternatif pilihan yang lengkap dan konsisten tentang sederetan preferensi konsumsi. Pilihan preferensi dapat di formulasikan dalam rangka maksimisasi utilitas yang dibatasi oleh kendala pendapatannya atau income opportunity set, oleh karena itu terdapat masalah pemilihan kombinasi atau bundel komoditi yang optimum di dalam opportinity setnya (Pindyck and Rubinfeld, 1995). Preferensi konsumen merupakan fungsi transformasi U (utility function), yang mempunyai sifat-sifat: (1) merupakan fungsi terbatas, positif dan mempunyai 85 nilai riil, (2) fungsi U kontinyu, dimana terdapat consistency dan transitivity of choice, (3) rata (smoothness), (4) monotonik, (5) fungsi transformasi U merupakan fungsi yang konvek, (6) fungsi U dapat diturunkan dua kali, dan (7) fungsi U merupakan fungsi tertutup (boundedness) (Koutsoyiannis, 1979). Jika fungsi utilitas U = f(Qi) menggambarkan deretan preferensi konsumen, yang digambarkan dalam sederetan vektor komoditi Qi dimana Qi = (Q1, Q2,...,Qn). U = f(Qi) (3.49) Maksimisasi utilitas konsumen dalam mengkonsumsi komoditi dibatasi oleh kendala pendapatan tertentu (Y°), didefinisikan sebagai fungsi yang linear, Y° = Pi.Qi (3.50) dimana: Pi, elemen kolom dari vektor harga, maka maksimisasi utilitas dengan kendala pendapatan tertentu adalah masalah mendapatkan vektor Q*(P,Y°) yang optimal. Berdasarkan persamaan pengganda Lagrang (L), kondisi maksimisasi utilitas konsumen dapat dirumuskan dengan memaksimumkan U sebagai berikut: Max. L = U-λ(Y°-ΣPi.Qi) (3.51) dimana: Pi = harga komoditi Qi, Pi (P1, P2,....., Pn), Qi = komoditi Qi (Q1,Q2......, Qn), Y° = pendapatan konsumen untuk mengkonsumsi q1 dan q2, dan λ = pengganda Lagrang. Syarat perlu (first ordinary necessary condition) untuk maksimisasi utilitas adalah turunan parsial terhadap Qi dan λ sama dengan nol, yaitu: δL δU = − λ Pi = 0, atau δQi δQi δU = λ Pi δQi (3.52) 86 δL o = Y o − ∑ Pi. Qi = 0, atau Y = ∑ Pi.Qi δλ Utilitas konsumen maksimum (keseimbangan (3.53) konsumen) dicapai berdasarkan persamaan (3.52) dan (3.53), yakni pada saat MRS (Marginal rate of substitution) sama dengan rasio harga kedua komoditi tersebut (slope garis anggarannya) seperti pada persamaan (3.54): ⎧⎛ δ U ⎪⎜ ⎪ ⎜⎝ δ Q i −⎨ ⎪ ⎪⎩ ⎞ ⎟⎟ ⎠ ⎫ ⎪ ⎪ PQn = ⎛ δ U ⎞ ⎬⎪ PQi ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ δ Q n ⎠ ⎪⎭ U = konstan (3.54) 3.4. Kinerja Sektor Pertanian 3.4.1. Pertumbuhan Output Pada perekonomian, pertumbuhan dapat dijelaskan melalui peubah antara yaitu teknologi (ekspresi produktivitas dan efisiensi) dari penggunaan faktor produksi (Syafa’at, et.al., 2005). Jika fungsi produksi agregat adalah, Yt = F(Ct, Lt, At) (3.55) maka laju pertumbuhan dapat ditulis sebagai berikut: g = η(I/Y)t + γ(Å/A)t dimana: Yt = output, Ct = kapital, Lt = tenaga kerja, At = teknologi, g = laju pertumbuhan, I = investasi, η, γ = elastisitas, dan (3.56) 87 t = waktu. Pertumbuhan output/produk pertanian dapat dilihat dari relasi antara pertumbuhan kontribusi PDB pertanian, dan laju pertumbuhan relatif produk neto pertanian dengan non pertanian. Jika Pp = produk neto pertanian, PNp = produk neto non pertanian, dan PN = total produk nasional atau PDB, maka relasi tersebut dapat dijelaskan dengan rumus Kuznet (Ghatak and Ingersent, 1984): PDB = PP + PNP dan, (3.57) ∂PDB = (∂PP/ PP) PP + (∂PNP/ PNP) PNP anggap rP = (∂PP/ PP), dan rNP = (∂PNP/ PNP), maka: dan, ∂PDB = PP rP + PNP rNP (3.58) PP rP = ∂PDB - PNP rNP (3.59) PP rP/∂PDB = 1 - PNP rNP/∂PDB (3.60) Substitusi persamaan (3.58) ke bagian kanan persamaan (3.60): = 1 – [PNP rNP/( PP rP + PNP rNP)] = (PP rP + PNP rNP - PNP rNP)/( PP rP + PNP rNP) = PP rP/( PP rP + PNP rNP) = 1/( PP rP + PNP rNP)/ PP rP = 1/( 1 + PNP rNP/ PP rP) (3.61) Rumus Kuznets ini mengekspresikan suatu relasi terbalik antara pertumbuhan pangsa PDB dari pertanian (Pprp/PDB) dan hasil dari rasio pangsapangsa sektoral dari PDB (PNP/PP) serta rasio laju pertumbuhan output sektoral (rNP/rP) seperti yang diberikan di persamaan (3.61). Selanjutnya, besarnya setiap perubahan di dalam rasio produk non pertanian terhadap produk pertanian sebagian ditentukan oleh perbedaan dalam laju pertumbuhan sektoral sehingga, ∆(PNP/ PP) = (P1NP/ P1P) – (P0NP/ P0P) (3.62) 88 dimana setiap variabel berhubungan dengan waktu. P0NP(1 + rNP) - P0NP P = P0P(1 + rP) P0P P0NP [(1 + rNP) - (1 + rP)] (3.63) P = ∆(PNP/ PP) = P0P(1 + rP) P0NP (rNP - rP) P0P(1 + rP) (3.64) (3.65) Ada dua deduksi utama dari persamaan (3.65). Pertama, besarnya perubahan dalam pangsa sektoral tergantung pada: (1) rasio awal (P0NP/P0p), (2) laju pertumbuhan output pertanian (rp), dan perbedaan dalam laju pertumbuhan output sektoral (rNP - rP). Dari persamaan (3.62) hingga (3.65), apabila yang lain-lainnya tetap tidak berubah, ∆(PNP/PP) bisa besar atau kecil. Kedua, tanda (negatif atau positif) dari perubahan di dalam pangsa sektoral tergantung dari perbedaan rNP - rP. Jika rNP - rP > 0 menandakan kenaikan di dalam pangsa PDB dari non pertanian; sedangkan rNP - rP < 0 menandakan suatu penurunan pangsa non pertanian. Laju penurunan peran sektor pertanian dalam ekonomi cenderung berasosiasi dengan kombinasi tiga hal, (1) pangsa PDB sektor non pertanian relatif lebih tinggi daripada pangsa PDB pertanian, (2) laju pertumbuhan output pertanian yang relatif rendah, dan (3) laju pertumbuhan output non pertanian yang relatif tinggi (yang membuat suatu perbedaan positif yang besar antara pangsa PDB non pertanian dengan pangsa PDB pertanian). 3.4.2. Penyerapan Tenaga Kerja Konsep penyerapan tenaga kerja sektoral dapat didekati dengan teori alokasi 89 tenaga kerja dalam perekonomian. Di negara-negara berkembang umumnya mengikuti teori ekonomi Neo Klasik, teori ekonomi Keynes dan teori ekonomi Harris-Todaro (Todaro, 1994; Sipayung, 2000). Teori alokasi tenaga kerja yang lebih relevan untuk menjelaskan fenomena pasar tenga kerja di negara berkembangan, termasuk Indonesia adalah teori HarrisTodaro (Model H-T). Asumsi model H-T: (1) pada sektor modern berlaku upah minimum yang ditentukan secara kelembagaan, (2) pada sektor pertanian berlaku fleksibilitas upah, dan (3) tenaga kerja yang tidak terserap pada sektor modern dan tidak bersedia bekerja di sektor pertanian bermigrasi ke sektor informal dengan pendapatan atau tingkat upah antara sektor pertanian dan sektor modern. Dalam Model H-T, perekonomian dibagi atas tiga sektor (sebagai penyederhanaan) yakni sektor pertanian, sektor modern dan sektor informal. Sektor pertanian mempunyai fungsi produksi yang ditentukan oleh penggunaan tenaga kerja dan kapital. Demikian juga sektor modern, produksi sektor modern tergantung pada penggunaan tenaga kerja dan kapital. Mengikuti Model H-T, maka ketiga sektor tersebut dicerminkan oleh fungsi: YA = YA(LA, KA) (3.66) YM = YM (LM, KM) (3.67) WA =∂YA/∂LA (3.68) WA =(LM/(LM+L,))WM (3.69) WM = PA/PM(∂YM/∂LM) (3.70) L = LA + LM + LI (3.71) dimana: YA = produksi sektor pertanian, LA = tenaga kerja yang terserap pada sektor pertanian, 90 KA = kapital pada sektor pertanian, WA = upah sektor pertanian, YM = produksi sektor modern, LM = tenaga kerja yang terserap pada sektor modern, KM = kapital pada sektor modern, WM = upah sektor modern, LI = tenaga kerja pada sektor informal, PA = harga produk sektor pertanian, PM = harga produk sektor modern, dan L = total angkatan kerja nasional. Mengikuti Model H-T, keseimbangan alokasi tenaga kerja antar ketiga sektor tersebut diperlihatkan pada Gambar 7. Menurut Harris-Todaro, bila upah di sektor modern sebesar WM2, maka mengikuti kurva H-T, upah sektor pertanian sebesar WA1. Dengan demikian jumlah tenaga kerja yang terserap pada sektor pertanian sebesar ALA3; pada sektor modern sebesar MLM sedangkan pada sektor informal sebesar LA3LM. Tenaga kerja yang masuk ke sektor informal ini merupakan tenaga kerja yang tidak dapat masuk ke sektor modern dan tidak bersedia bekerja di sektor pertanian. Pada Gambar 7, WA3 = WM2 adalah upah keseimbangan Keynes. WA2 = WM1 adalah upah keseimbangan Neo-Klasik. Kurva permintaan tenaga kerja sektor pertanian (DA), kurva permintaan tenaga kerja sektor modern (DM). Kurva Harris-Todaro untuk sektor informal (H-T) mengikuti persaman LM maka WM = WA (LM + LA). 91 Upah Sektor Modern Upah Pertanian T WA3 WM2 WA2 WM1 WA1 H DA DM A LA1 LA2 LA3 LM M Sumber: Todaro (1994), Sipayung (2000) Gambar 7. Alokasi Tenaga Kerja antar Sektor Model Harris-Todaro Bila sektor modern dan sektor informal disebut sebagai sektor non pertanian, perubahan jumlah tenaga kerja di sektor non pertanian menurut HarrisTodaro dirumuskan sebagai berikut : d(LM + LI) = M[LM/( LM + LI)]WM-WA (3.72) dimana : M > 0 Persamaan (3.72) menjelaskan bahwa perbedaan upah antara sektor pertanian dan sektor modern merupakan faktor penarik migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Migrasi tenaga kerja ini menyebabkan perubahan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, sektor modern dan sektor informal. Dengan melakukan defrensial total dari kombinasi persamaan (3.68) dan (3.69), perubahan tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhi dapat dijelaskan sebagai berikut: 92 (1 + Ea. Sa / (1-Sa)) .LA = KA + Ea / (1-Sa) .L - Ea. (WM + LM) (3.73) dimana: Ea = elastisitas permintaan tenaga kerja terhadap upah sektor pertanian; Ea > 0, Sa = pangsa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dari total angkatan kerja; 0 < Sa < 1, LA = pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, KA = pertumbuhan kapital sektor pertanian, L = pertumbuhan total angkatan kerja nasional, WM = pertumbuhan upah sektor modern, dan LM = pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sektor modern. Persamaan (3.73) menjelaskan bahwa peningkatan kapital di sektor pertanian dan pertumbuhan total angkatan kerja nasional akan meningkatkan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian. Selain itu, peningkatan kesempatan kerja di sektor modern akan menurunkan tenaga kerja di sektor pertanian. 3.4.3. Perdagangan Internasional Komoditi Pertanian Ekspor dan impor komoditi oleh suatu negara disebabkan adanya perbedaan harga komoditi di pasar domestik dan dunia. Jika harga di pasar domestik lebih rendah dibandingkan harga dunia akan terjadi ekspor, sebagai kelebihan penawaran (excess supply), dan jika harga domestik lebih tinggi dibandingkan harga dunia akan terjadi impor, sebagai kelebihan permintaan (excess demand). Penawaran ekspor atau permintaan impor komoditi oleh suatu negara dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berpengaruh terhadap permintaan dan 93 penawaran komoditi di pasar domestik dan kebijakan perdagangan masing-masing negara atau kelompok negara yang mempengaruhi ekspor dan impor komoditi di pasar dunia (Darmansyah, 2003). Ekspor dan impor dapat dinyatakan dalam persamaan identitas berikut (Labys, 1973): Xt = Qt-Dt ± ∆Pt (3.74) Mt =Dt-Qt ± ∆Pt (3.75) dimana: Xt = ekspor pada periode ke-t, Mt = impor pada periode ke-t, Qt = produksi domestik pada periode ke-t, Dt = konsumsi domestik pada periode ke-t, dan ∆Pt = perubahan stok atau persediaan pada periode ke-t. Nilai ∆Pt pada persamaan (3.74) menunjukkan besaran perubahan stok dari negara pengekspor antara periode tahun t dengan tahun t-1, sedangkan nilai ∆Pt pada persamaan (3.75) menunjukkan besaran perubahan stok dari negara pengimpor antara periode tahun t dengan tahun t-1. Nilai ∆Pt pada persamaan (3.74) dan (3.75) dapat bertanda positif atau negatif, dalam hal ini: (1) persamaan (3.74) bertanda positif berarti produksi komoditi negara tersebut lebih tinggi dari pada tahun sebelumnya atau surplus setelah kebutuhan konsumsi domestik dan ekspor terpenuhi, dalam hal ini konsumsi domestik lebih diutamakan sedangkan ekspor sebagai residu. Jika bertanda negatif berarti negara tersebut melakukan impor, meskipun volumenya lebih kecil dibandingkan ekspor, dan (2) pada persamaan (3.75) negara tersebut sebagai pengimpor komoditi, besaran persediaan yang positif menunjukkan terdapat aktifitas penyimpanan untuk keperluan stabilisasi atau buffer 94 stock, sebaliknya bernilai negatif berarti terdapat aktivitas ekspor, meskipun dalam volume yang lebih kecil dibandingkan volume impornya. Adanya penyelundupan komoditi pertanian antar negara dan kegiatan penimbunan komoditi pertanian oleh pedagang besar atau importir, besaran ∆Pt didekati stok tercatat dan stok tak tercatat, sehingga persamaan impor (3.75) bisa di ekspresikan sebagai: Mt = Dt – Qt – STt-1 - STTt (3.76) dimana: Mt = jumlah ekspor atau impor komoditi pada periode ke-t, STt-1 = jumlah stok resmi pemerintah (tercatat) pada periode ke-t-1, dan STTt = jumlah stok tak tercatat pada periode ke-t. Keseimbangan pasar komoditi domestik (market clearing), jika penawaran sama dengan permintaan: St = Dt (3.77) Penawaran komoditi domestik sebagai penjumlahan produksi, impor dan stok komoditi seperti pada persamaan (3.76) jika disubstitusikan ke persamaan (3.77), diperoleh: St =Qt +Mt +STt-1 + STTt (3.78) dimana, St = penawaran komoditi pada periode ke-t Nilai STTt pada persamaan (3.78) dapat bertanda positif atau negatif, jika STTt bertanda positif berarti terdapat sejumlah komoditi tak tercatat atau diselundupkan yang diperdagangkan di pasar domestik, dan sebaliknya jika bertanda negatif berarti sejumlah tertentu komoditi yang diselundupkan keluar negeri atau ditimbun. 95 Fungsi ekspor, impor dan stok tak tercatat berdasarkan model penyesuaian Nerlove juga dipengaruhi oleh lag variabelnya. Dengan demikian fungsi ekspor impor dan stok komoditi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan komoditi domestik, pasar dunia, lag variabelnya, dan faktor-faktor yang terkait dengan kebijakan perdagangan komoditi di pasar domestik maupun dunia (Darmansyah, 2003). Persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: Xit = f (PWit, ERI, Qit, Xit-1) (3.79) Mit = f (PWit, ERI, Dit, Mit-1) (3.80) STit = f (PWit, ERI, IRI, Qit, Dit, STit-1) (3.81) dimana: PWit = harga dunia komoditi i pada periode ke-t, ERI = nilai tukar mata uang domestik terhadap asing (US$), dan IRI = nilai suku bunga bank pada periode ke-t. 3.4.4. Kesejahteraan Petani Kesejahteraan petani, diberbagai literatur diukur dengan Nilai Tukar Petani (NTP) (terms of tade). Ukuran ini dapat mengetahui kemampuan tukar produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani untuk berproduksi. Terdapat dua kategori NTP yaitu, domestik dan internasional terms of trade (disebut net-barter terms of trade) (Siregar, 2004). NTP dalam kategori domestic terms of trade dapat dirumuskan: NTP = (It/Ib).100 (3.82) 96 dimana: It : indeks harga yang diterima petani, dan Ib : indeks harga yang dibayar petani. Apabila NTP > 100 berarti NTP pada periode tertentu lebih baik dibandingkan dengan NTP pada tahun dasar. Bila NTP=100 kondisinya sama dengan tahun dasar, dan bila NTP < 100 maka NTP periode tersebut menurun dibandingkan dengan tahun dasar. Formula untuk menghitung It, Ib dan NTP (BPS, 2004) adalah dengan Indeks Laspeyres yang dikembangkan (Modified Laspeyres Indeces), yaitu: m In = Pni ∑ P(n − 1) P(n − 1)iQoi i =1 m ∑ Poi.Qoi (3.83) i =1 dimana, In : Indeks harga bulan ke-n (It maupun Ib), Pni : harga bulan ke-n untuk jenis barang ke-i, P(n-1)i: harga bulan ke-(n-1) untuk jenis barang ke-i, Pni/P(n-1)i: relatif harga bulan ke-n untuk jenis barang ke-i, Poi : harga pada tahun dasar untuk jenis barang ke-i, Qoi : kuantitas pada tahun dasar untuk jenis barang ke-i, dan m : banyaknya jenis barang yang tercakup dalam paket komoditi. Menurut Siregar (2004) pada perekonomian terbuka pendekatan NTP (domestic terms of trade) memiliki keterbatasan, dan sebagian besar literatur telah menggunakan konsep kedua yaitu net-barter terms of trade, yang juga disebut comodity term of trade (NT) dirumuskan: NT = (PX/PM) x 100% (3.84) dimana, PX adalah indeks harga ekspor yang diterima oleh suatu negara dan PM adalah indeks harga impor yang dibayar oleh suatu negara. Mengacu pada Siregar (2004), NT dihitung untuk sektor pertanian. 97 3.5. Kinerja Agroindustri 3.5.1. Nilai Tambah Unit Input dan Output Tambunan dan Ubaidillah (2004) mengemukakan bahwa sumbangan nilai tambah dapat digunakan sebagai petunjuk yang baik untuk melihat efek empirik ekonomi global. Hipotesis kerjanya adalah apabila terjadi kenaikan sumbangan nilai tambah dalam pertumbuhan ekonomi dapat digunakan sebagai gambaran bagaimana pasar global secara sistematis atau acak mempengaruhi kinerja suatu sektor di berbagai sektor ekonomi. Menurut Wainai (1984), Shimizu and Wainai (1991), dan Direktorat Bina Produksi (2003) penghitungan nilai tambah dengan direct growth accounting method yang disebut Produktivity Total Factor (PTF) dianggap yang sesuai dan terbaik untuk negara yang sedang berkembang yang langka data. Metode ini secara resmi dipilih dan dipakai oleh Asian Productivity Organization (APO) Tokyo, untuk perhitungan PTF negara-negara anggotanya. Jika pertumbuhan sebagai akumulasi nilai tambah dalam perekonomian (productivity-driven growth) antar waktu maka peningkatan produktivitas (efisiensi) faktor produksi menjadi penting sebagai pencerminan progres (T). Menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dijelaskan: Yt = T F(Kt,Lt) (3.85) dimana: T progres teknologi. Dalam bentuk linear logaritmik ditulis: ln Yt = lnTt + αlnKt + βLt (3.86) Dengan asumsi skala hasil yang konstan, maka α+β = 1 sehingga α=1-β. Persamaan (3.86) dapat ditulis: ln Yt = lnTt + (1-β) lnKt + βLt 98 = lnTt + lnKt + β(Lt - lnKt) ln Yt - lnKt = lnTt + β(Lt - lnKt) ln (Yt / lnKt) = lnTt + β(Lt - lnKt) Yt /Kt = Tt(Lt /Kt) β (3.87) Dari persamaan (3.87) dapat diketahui Yt /Kt adalah nilai tambah output sebagai akibat penggunaan input. Koefisien β dan (1-β) menunjukkan alokator nilai tambah input (kapital dan tenaga kerja) (Tambunan, 2003a). 3.5.2. Daya Saing Agroindustri Dalam analisis daya saing, metode yang sering digunakan dalam berbagai literatur adalah Revealed Comparative Advantage (RCA), Revealed Trade Advantage (RTA), dan Acceleration Ratio (AR). Untuk mengetahui posisi daya saing komoditi ekspor agroindustri Indonesia dalam penelitian ini, hanya akan digunakan indeks RCA. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa komoditi ekspor agroindustri yang diamati merupakan komoditi unggulan ekspor, nilai impornya relatif kecil sehingga tidak diamati (Herjanto, 2003 dan Joewono, 2008). Sementara metode RTA maupun AR memerlukan data, baik ekspor maupun impor dari suatu komoditi, sehingga tidak sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini. Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) adalah suatu indeks yang umum digunakan untuk menunjukkan posisi relatif keunggulan komparatif suatu produk ekspor terhadap kinerja ekspor menyeluruh. Indeks RCA didefinisikan sebagai rasio pangsa pasar produk tertentu suatu negara terhadap pangsa pasar dunia dari produk yang sama (Lall and Rao, 1995) dirumuskan: (Xa / TX) RCA = —————— (XWa/TXW) (3.88) 99 di mana: Xa = nilai ekspor komoditi a suatu negara, TX = total ekspor negara yang bersangkutan, XWa = ekspor dunia komoditi a, dan TXW = total ekspor dunia. Nilai Indeks RCA di bawah satu menunjukkan relatif disadvantage dalam mengekspor produk itu, sedangkan di atas satu menunjukkan relatif advantage. RCA dapat dirinci lagi dalam empat jenis. Emerging Comparative Advantage, mengindikasikan produk selama kurun waktu tersebut memiliki peningkatan RCA dari di bawah satu menjadi lebih dari satu. Continuing Comparative Advantage adalah kelompok produk yang mempertahankan RCA yang tinggi (di atas satu), artinya pola keunggulan komparatifnya tidak terlalu dinamis. Continuing Comparative Disadvantage mengindikasikan produk yang memiliki RCA di bawah satu. Declining Comparative Advantage menunjukkan produk yang RCA-nya dari atas satu turun menjadi di bawah satu. Negara dengan RCA komoditi low skill exports lebih tinggi daripada high skill exports, dimana RCA high skill exports lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa negara tersebut tidak memiliki keunggulan relatif dalam mengekspor produk yang skill intensif. 3.6. Analisis Deret Waktu 3.6.1. Metode Vector Autoregresive dan Vector Error Correction Model Metode VAR merupakan salah satu bentuk model makro-ekonometrika yang sering digunakan untuk melihat permasalahan makroekonomi yang fluktuatif. 100 Model terakhir yang telah banyak dikembangkan adalah model VAR dan Structural Vector Autoregresive (SVAR). Pendekatan ini mampu mengatasi kritik Lucas yang ditujukan pada analisis kebijakan untuk model makroekonomi dinamik dan stokastik. Kritik Lucas adalah, pada model makro ekonomi tradisional menganggap model yang diestimasi pada keadaan tertentu dapat digunakan untuk peramalan pada kondisi rezim kebijakan yang berbeda (Thomas, 1997; Verbeek, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa parameter yang diestimasi tidak berubah pada kebijakan dimanapun perekonomian berada sehingga model ekonomi secara logik menjadi tidak valid dan menghasilkan kesimpulan yang spurious. Dilain pihak VAR tidak hanya menghasilkan rekomendasi berdasarkan keluaran modelnya dalam merespon adanya suatu guncangan dalam perekonomi tetapi membiarkan hal ini bekerja melalui model teoretik dan dapat melihat respon jangka panjang berdasarkan data historisnya (Irawan, 2005). Vector Autoregresive (VAR) adalah sistem persamaan yang memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi linear dari konstanta, nilai lag (lampau) dari variabel tersebut dan nilai lag dari variabel lain yang ada dalam sistem. Dalam sistem VAR hanya terdapat variabel endogen. Hal ini mengakomodasi kritik Sims, dimana adanya variabel eksogen dalam suatu model menunjukkan kebijakan yang tidak lagi forward looking. Sebab, pembuat kebijakan dapat membuat keputusan rasional berdasarkan pengalaman sebelumnya dan keputusan yang diambil akan berbeda untuk setiap rezim yang berbeda. VAR membutuhkan identifikasi restriksi yang sangat ketat untuk mencapai persamaan melalui interpretasi persamaan. Restriksi- 101 restriski persamaan dilakukan dalam struktural VAR apabila diperlukan dan didasarkan pada teori ekonomi yang relevan. Dalam kasus dua variabel, misalkan suatu seri {yt} dipengaruhi oleh realisasinya pada saat ini dan masa yang lalu (lag) dari seri {yt}, dan {zt} dipengaruhi oleh realisasi saat ini dan yang lalu dari seri {zt}. Hubungan tersebut diilustrasikan dalam sistem bivarian sederhana, yang disebut struktural-VAR (SVAR) atau sistem primitif sebagai berikut (Enders, 2004): yt = b10 – b12zt +γ11 yt-i + γ12 zt-i + εyt (3.89) zt = b20 – b21zt + γ21 yt-i + γ22 zt-i + εzt (3.90) Diasumsikan bahwa: (1) yt dan zt, stasioner, (2) εyt dan εzt adalah white noise disturbance dengan standar deviasi σy dan σz, (3) {εyt} dan { εzt } white noise disturbance yang tidak berkorelasi. Persamaan (3.89) dan (3.90) adalah VAR tingkat satu, karena lag terpanjangnya adalah satu. Struktur dari sistem ini memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara yt dan zt. Misalkan –b12 adalah dampak sementara (contemporaneus effect) dari perubahan satu unit zt terhadap yt , dan γ21 adalah perubahan satu unit yt-1 terhadap zt. Faktor εyt dan εzt murni merupakan inovasi (shock) pada yt , dan zt. Dengan menggunakan aljabar matrik, sistem persamaan (3.89) dan (3.90) dapat dituliskan sebagai berikut: ⎡ ⎢1 ⎢ ⎢⎣b21 b ⎤⎥ ⎡⎢ y ⎤⎥ = ⎡b ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎢ 1 ⎥⎦ ⎣ z ⎦ ⎣b 12 t t ⎤ ⎡γ 11 ⎥+⎢ ⎥ ⎢⎢γ 21 20 ⎦ ⎣ 10 γ γ ⎤⎡ ⎤⎡ ⎤ ⎥ ⎢ y t −1⎥ ⎢ε yt ⎥ ⎥⎢ ⎥⎢ ⎥ ⎥ ⎣ z t −1 ⎦ ⎣ε zt ⎦ 22 ⎦ 12 Bxt = Г0 + Г1xt-1 + εt dimana: B ⎡1 =⎢ ⎢ ⎢⎣b21 b ⎤⎥ ⎥ 1 ⎥⎦ , 12 ⎡γ ⎡b10 ⎤ 11 = Γ0 = ⎢⎢ ⎥⎥ , Γ1 ⎢⎢⎢γ 21 ⎣ ⎣b 20 ⎦ (3.91) (3.92) ⎡ε yt ⎤ ⎡y ⎤ γ ⎤⎥ t⎥ =⎢ ⎥ ⎢ = ε t x ⎢⎣ε zt ⎦⎥ . γ ⎥⎥⎦ , 1 ⎢⎣ z t ⎥⎦ , dan 12 22 102 Dengan menggunakan pengali B-1 persamaan (3.92) diubah menjadi model VAR sebagai berikut: xt = A0 + A1xt-1 + et (3.93) dimana: A0 = B-1Г0 , A1 = B-1Г1 , dan et = B-1 εt . Jika notasi a10 didefisikan sebagai elemen i dari vektor A0, aij sebagai elemen pada baris i dan kolom j dari matriks A1 , dan eit sebagai elemen i dari vektor et. Dengan menggunakan notasi baru ini, persamaan (3.93) disebut VAR bentuk standar, sehingga: yt = a10 + a11yt-1 + a12zt-1 + e1t (3.94) zt = a20 + a21yt-1 + a22zt-1 + e2t (3.95) Error terms (e 1t dan e2t) adalah gabungan dari dua shock εyt dan εzt yang dihitung sebagai berikut: e1t = (εyt +b12 εzt)/(1- b12b21) (3.96) e2t = (εzt – b21 εyt)/(1- b12b21) (3.97) VAR dengan ordo p dan n buah variabel tak bebas pada waktu ke-t dapat dimodelkan sebagai berikut (Thomas, 1997): yt = ao + a1yt-1 +a2yt-2 ......+ apyt-p + εt dimana: yt = vektor variabel tak bebas (y1-t, y2-t, yn-t), ao = vektor intersep berukuran n x 1, a1 = matrik parameter berukuran n x 1, dan εt = vektor sisaan (εt1-t, εt2-t, εtn-t) berukuran n x 1. (3.98) 103 Pendekatan untuk mengatasi persamaan regresi yang spurious adalah dengan menarik diferensiasi atas variabel endogen dan eksogennya, sehingga diperoleh variabel yang stasioner dengan pendiferensialan I(n). Kestasioneran data melalui pendiferensialan ternyata belum cukup, hal ini mengindikasikan model VAR biasa tidak dapat digunakan secara langsung karena mempertimbangkan tercakup ada tidaknya informasi jangka panjang dan jangka pendek dalam model. Ada dua pilihan yang dapat dilakukan yaitu, model VAR dengan pendiferensialan untuk data yang tidak terkointegrasi. Jika pilihan ini dilakukan, maka informasi jangka panjang hilang karena hanya menerangkan hubungan jangka pendek. Hubungan antara variabel in level menjadi hilang karena berdasarkan parameter yang tidak terkointegrasi. Pendekatan alternatif untuk mengatasi hal ini adalah pilihan kedua yaitu Error Correction Model (ECM) jika persamaan tunggal atau Vector Error Correction Model (VECM) jika persamaan non tunggal. Derivasi vector error correction (VEC) didasarkan pada teorema Johansen. Misalkan {Z} adalah tingkat derajat VAR ke-p dan Zt ={Y:X), dimana Y adalah vektor variabel endogen dan X adalah vektor variabel eksogen; dapat dinyatakan sebagai berikut: p Z t = ∑ ΠiZ dimana: i =1 t −1 + Ψ yW t + a 0 + ε t Π = matrik keseimbangan jangka pendek, Ψ = matrik keseimbagan jangka panjang, Wt = vektor variabel-variabel stationer, α0 = vektor intersep, dan εt = vektor gaussian error term (white noice). (3.99) 104 Satu vektor time series Zt dalam first difference (∆Zt), mempunyai representasi error correction jika ia diekspresikan sebagai berikut: ΔZ t = p −1 ∑ Γ ΔZ i i =1 t −1 + Π Z Ψ W + a ⎡Π ⎤ = ⎢ y ⎥ , dan ⎢⎣0 ⎥⎦ Γ t− p + y t 0 +ε (3.100) t dimana: Γ = − Ι + ∏ + ... + Π , (i = 1,2,…, p-1) i Π 1 i = −(Ι − Π1 − ... − Π p ) = α β ⎡ε yt ⎤ ε t = ⎢⎢ ⎥⎥ , ⎣ε xt ⎦ ⎡a y 0 ⎤ a0 = ⎢⎢ ⎥⎥ , ⎣a x 0 ⎦ ' Π i ⎡Γ yi ⎤ =⎢ ⎥ ⎢⎣Γ xi ⎦⎥ . Ada dua cara untuk mengestimasi persamaan regresi (3.100). Pertama, Johansen memberikan prosedur unified maximum likelihood yang mana α dan β diperoleh dari dekomposisi matrik П. Kedua, Engle and Granger (1987) mengajukan dua langkah estimasi menggunakan regresi kointegrasi sehingga β'Zt-1, residual estimasi (estimated residual) di masukkan (be imposed) pada persamaan regresi di atas. 3.6.2. Kointegrasi Kointegrasi adalah hubungan jangka panjang antara dua atau lebih variabel (k) yang secara individu non-stasioner, namun deviasi dari variabel secara keseluruhan bersifat stasioner. Bentuk umum dari persamaan kointegrasi: k −1 ' Δxt = ∑ Γi Δxt −i + μ 0 + μ1 t + αβ xt −1 + et i =1 dimana: ∆xt = vektor time series x (xt – xt-1), k-1 = Ordo VECM dari VAR, Гi = matrik koefisien regresi, μo = vektor intersep, μ1 = vektor koefisien regresi, (3.101) 105 α = matrik loading, β’ = vektor kointegrasi, et = error term, xt = variabel in level, dan t = waktu. Pengujian pada model VEC dilakukan melalui prosedur dua tahap dengan menggunakan pendekatan Engel-Granger, yang meliputi: (1) pembentukan residual dari persamaan jangka panjang pada variabel-variabel non-stasioner, (2) uji stasionaritas dari residual. Apabila hasil pengujian menunjukkan bahwa residual bersifat stasioner, dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel yang diuji berkointegrasi. Pengujian kointegrasi dimaksudkan untuk menentukan jumlah hubungan kointegrasi dalam sistem, melalui dua tes statistik sebagai berikut (Enders, 2004): k λ trace = −T ∑ ln(1 − λ ) (3.102) λ max = −T ln(1 − λ (3.103) i = r +1 i ) r +1 dimana: λ = nilai estimasi dari akar karakteristik (eigenvalue), T = jumlah observasi. 3.6.3. Restriksi Jangka Panjang pada Sistem Kointegrasi Restriksi dilakukan untuk identifikasi dan mengakomodasi teori ekonomi ke dalam model. Langkah untuk mewujudkan variabel stasioner dengan didiferensiasi satu kali untuk menjadi stasioner. Konsekuensi dari langkah ini adalah hilangnya keterpengaruhan jangka panjang, sehingga kointegrasi menjadi isue penting. Pada 106 vektor (nx1) dari variabel yt dengan I(d) given, dikatakan variabel terkointegrasi dengan ordo (d-1) dan rank r<n. Jika peringkat penuh (full rank), maka (nxr)β disebut matrik kointegrasi, yaitu zt = β’y, adalah I(d-1). Hubungan itu terdapat r kombinasi linear dari elemen yt, yang nenunjukkan variabel dengan ordo integrasi yang lebih rendah. Kombinasi linear menunjukkan adanya keseimbangan jangka panjang antara variabel non-stasioner. Jika terdapat hubungan jangka panjang dalam matrik kointegrasi variabel, restriksi jangka panjang pada θ(1) dapat diterapkan. Pada identifikasi sistem segitiga, secara teoretis bukan merupakan sistem struktural. Penilaian teoretik yang relevan menyatakan bahwa restriksi ini akan menghasilkan estimasi (Dhrymes and Thomakos, 1997 dalam Supriana, 2003). Penerapan restriksi jangka panjang dalam matrik kointegrasi dalam sistem reduced form Var (k) mengandung komponen deterministik: k yt = ∑ ∏i yt +μ0 + μ1t + Ψdt + θwt + et i =1 (3.104) dimana μ0 merupakan vektor intersep, t trend linear, dt vektor variabel dummy musiman, wt vektor variabel dummy intervensi, dan e,~(0,∑). Persamaan (3.104) disebut juga Vector Error Correction (VEC) atau cointegrated VAR, bisa dinyatakan: k −1 ∆yt = ∑ Γi ∆yt-1+μ0 + μ1t +Ψdt + θwt +αβ’yt-1 +et (3.105) i =1 dimana, α adalah matrik loading, αβ’ ≡ Π dimana sistem dalam kondisi yt ~I(1) dan βyt = zt ~I(0). Parameter Γi dan Π diperoleh dari Πi dalam (3.104) dengan relasi : k Γi = - ∑ ∏ i m m = i +1 untuk i=1,...,k-1 k Π = -In + ∑ ∏i i =1 Dengan asumsi, akar persamaan determinan dari: (3.106) (3.107) 107 k −1 ⎛ ⎞ ⎜ I n − ∑ Γi Li ⎟(1 − L ) − Π L = 0 i =1 ⎠ ⎝ sehingga yt stasioner jika rank (Π) = n, terkointegrasi jika rank (Π)<n dan jika rank (Π)≤n. Ordo integrasi yt tergantung pada : k −1 k i =1 i =2 S = rank(α┴Γβ┴), dan Γ = -In + ∑ Γi= -In - ∑ (i-1)Πi dimana, α┴ dan β┴, merupakan matrik nx(n-r), orthogonal terhadap α dan β. Kondisi yt mencapai I(1), jika s=n-r, dan yt akan I(d) pada d≥2 jika terjadi s<n-r. Kondisi r<n, artinya terdapat kointegrasi, intersep akan meningkat ke arah trend linear dalam komponen I(1) dari sistem VEC, kecuali jika intersep terestriksi tetap pada Sp(α), yaitu ketika : μ0 = αb0 (3.108) dimana, b0 adalah vektor dengan dimensi r. Trend linear tidak akan meningkat menjadi trend kuadratik jika direstriksi oleh Sp(α ), yaitu ketika: μ1 = αb1 (3.109) dimana, b1 adalah vektor dengan dimensi r. Kombinasi komponen deterministik ini dan implikasinya dijelaskan pada Tabel 11. Untuk menyatukan komponen deterministik atau disebut juga trend polynomial dan rank kointegrasi seperti yang disarankan oleh Johansen (1988), dapat diuji dengan menggunakan uji statistik Trace : rmax Qr = -T ∑ log(1- λ̂ j ) untuk r=0,..., rmax-1 i = r +1 (3.110) dimana, λi adalah eigen value terbesar ke-i. Uji statistik, Ho: rank(Π)=r, dan Ha: rank(Π)=n. Hi(r) sebagai rank kointegrasi r pada model ke-i dan ci(r) adalah a% 108 sebagai kuantil dari distribusi asimptot (asymptotetic distribution) dari statistik Trace Q,(r). Tabel 11. Komponen Deterministik VEC dalam Sistem Variabel VARI(1) μ0 0 μ1 0 Uraian Mean = 0 dalam komponen I(0), Mean ≠ 0 dalam komponen I(1) αβ0 0 Mean ≠ 0 dalam komponen I(0) dan I(1) Tidak direstriksi 0 Mean ≠ 0 dalam komponen I(0), Trend linear dalam komponen I(1) Tidak direstriksi αβ1 Trend linear dalam komponen I(0) dan I(1) Tidak direstriksi Tidak direstriksi Trend linear dalam komponen I(0), Trend kuadratik dalam komponen I(1) Sumber: Siregar (2001) Siregar (2002) menggunakan metode lain (hanya intersep dan trend yang digunakan sebagai komponen deterministik) sebagai berikut: ∆yt = Γi ∆yt-1+α ⎛β ⎞ ⎜ 1⎟~ ⎜ μ0 ⎟ y ⎜ 1 ⎟ t −1 ⎝ μ1 ⎠ + α┴μ0* + α┴μ1* t +et (3.111) dimana, μ0 = α┴μ01 + α┴μ02, μ1 = α┴μ11 + α┴μ12, dan yt-1’=( yt-1’, 1, t) μ0* = (α’┴ α┴)-1 α’┴μ0 merupakan vektor berdimensi (n-r), slope trend linear dalam data. Sedangkan μ0* = (α’┴ α┴)-1 α’┴ μ1 vektor berdimensi (n-r), koefisien trend kuadratik dalam data. Distribusi yang bersifat asimptot dalam uji Likelihood-Ratio untuk r seperti pada (3.109) tergantung pada intervensi variabel dummy yang ada dalam sistem. 3.7. Kerangka Pemikiran Penelitian Deduksi dari uraian tinjauan pustaka dan kerangka teori adalah kerangka pemikiran untuk mencapai tujuan penelitian berdasarkan variabel terpilih. Bagan alur pemikiran dalam diagram keterkaitan, disajikan pada Gambar 8. 109 KEBIJAKAN FISKAL Penerimaan Pengeluaran Desen tralisasi Fiskal Infra stuktur Surplus R&DA Pertani an Utang PPn PPh Seimbang Subsidi Defisit PERUBAHAN KEBIJAKAN FISKAL SANGAT DINAMIS PERIODE 1970-2005 Keseimbangan Internal GDP A Sera pan TK Ekspor Impor Kesejah teraan Petani KINERJA SEKTOR PERTANIAN Keseimbangan Eksternal Investasi Konsumsi KINERJA AGROINDUSTRI Nilai Tambah Input Keterangan: Nilai Tambah Output Daya Saing = variabel yang diteliti, = aspek penelitian, = hubungan penjelas dan keterkaitan, = keterkaitan timbal balik antara aspek penelitian, dan = lingkungan yang mempengaruhi variabel. Gambar 8. Kerangka Alur Pemikiran Penelitian Berdasar Variabel Terpilih 110 a. Relasi Fakta dan Teori Secara teori (keynesian), kebijakan fiskal mempunyai transmisi lebih cepat mempengaruhi sektor riil termasuk kinerja pertanian dan agroindustri. Faktanya bahwa: (1) selama termin waktu tahun 1970 sampai dengan 2005 telah terjadi mainstream kebijakan fiskal yang dinamis lebih-lebih dipicu oleh pergantian regim pemerintahan yang telah berlangsung dengan pergantain Presiden sebanyak 5 (lima) kali. Dinamika fiskal selama periode tersebut menurut Hill (2000) meliputi: periode sustainable growth (1971-1981), periode penyesuaian harga minyak bumi (1982-1986), periode liberalisasi dan pemulihan (1987-1997), periode krisis ekonomi (1991-1999), dan periode pemulihan krisis dan kepercayaan (2000-2005). Dari aspek kinerja pertanian menurut Fuglie, (2004) meliputi periode sustained rapid growth dan green revolution (1968-92) dengan pertumbuhan rata-rata tahunan 4%, dan periode intensive shocks especialy macroeconomic shocks (1993-2005) dengan pertumbuhan rata-rata output tahunan hanya 1%. Keseimbangan ekonomi model Mundell-Fleming (MF) dihasilkan dari perekonomian domestik dan dari luar negeri. Identitas keseimbangan tersebut dijelaskan dengan memasukkan komponen eksternal (net ekspor) untuk mengetahui hubungan dengan lingkungan rest of the world (ROW). Fiskal (G) bersama-sama dengan investasi (I), konsumsi (C) dan net ekspor (NX) mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Y) disamping pengaruh dari perekonomian domestik lainnya dan perekonomian rest of the world (ROW). Secara sektoral, akumulasi relasi fiskal, investasi, konsumsi, dan net ekspor diperkirakan memunculkan kondisi kinerja sektor pertanian telah menurun tidak wajar, dan agroindustri tidak berkembang. 111 b. Kebijakan Fiskal, Investasi, dan Konsumsi Dari tinjauan pustaka (bagian 2.7.4) dan kerangka teori, determinan fiskal yang paling dominan mempengaruhi indikator kinerja utama sektoral pertanian dalam kasus Indonesia adalah: penerimaan pemerintah ((1) pajak PPh, (2) pajak PPn, (3) utang pemerintah); pengeluaran pemerintah ((4) sektor pertanian, (5) subsidi pertanian, (6) penelitian pengembangan sektor pertanian, (7) infrastruktur pertanian); keseimbangan fiskal ((8) defisit anggaran); dan (9) desentralisasi fiskal. Investasi dan konsumsi adalah komplemen yang diperhitungkan untuk menghindari undervalue atas pengaruh fiskal. Pengaruh kebijakan fiskal yang diekspresikan oleh instrumen kebijakan tersebut menggunakan kerangka kerja Keynesian dengan asumsi perekonomian Indonesia sebagai negara kecil terbuka (small open-economy country) dan digunakan kerangka model ekonomi Mundell-Fleming sehingga memperhatikan lingkungan keseimbangan internal dan eksternal. c. Kinerja Sektor Pertanian Pada penelitian ini pengukuran kinerja sektor petanian merupakan pengembangan penelitian sebelumnya dalam hubungan dengan kebijakan fiskal meliputi variabel yang lebih luas yaitu: (1) pertumbuhaan output, (2) penyerapan tenaga kerja, perdagangan ((3) ekspor, dan (4) impor), (5) kesejahteraan petani (dinyatakan dalam net-barter terms of trade). d. Kinerja Agroindustri Kebanyakan penelitian agroindustri hanya meliputi aktivitas suatu komoditi tertentu. Dalam penelitian ini kinerja agroindustri dianalisis dalam cakupan agregat dengan melakukan pengukuran kinerja yaitu: (1) nilai tambah input, (2) nilai tambah output, dan (3) daya saing.