Analisis Keefektifan Kebijakan Fiskal Terhadap

advertisement
III. KERANGKA TEORI
Pada bagian ini, konsep dan model teoretis diuraikan sebagai acuan kerja
penelitian. Uraian dimulai dengan konsep mengenai (1) kebijakan fiskal, kemudian
(2) investasi, (3) konsumsi, (4) kinerja sektor pertanian, dan (5) kinerja agroindustri,
serta (6) analisis data deret waktu (time series).
Asumsi dalam penjelasan teori untuk menyusun model penelitian adalah:
Indonesia sebagai small open-economy country. Ciri dalam perekonomian ini yaitu,
negara kecil, dengan ekonomi terbuka dan mobilitas kapital berlangsung sempurna.
Untuk analisis sektor pertanian dan agroindustri, negara kecil diekspresikan dengan
pangsa (share) produk pertanian dan agroindustri Indonesia di pasar dunia yang
kecil. Beras dalam kasus Indonesia adalah sebagai negara besar (dengan share
permintaan dunia yang besar). Namun beras adalah satu bagian komoditi tanaman
pangan yang di dalam studi ini merupakan bagian kecil dari berbagai komoditi
tanaman pangan, perkebunan, hotikultura, peternakan, perikanan dan komoditi
agroindustri yang kesemuanya memiliki pangsa (share) kecil di pasar dunia.
Sehingga asumsi small open-economy country dalam analisis studi ini masih
relevan.
Keseimbangan ekonomi dihasilkan secara domestik dan dari luar negeri.
Identitas keseimbangan tersebut dijelaskan dengan pendekatan model MundellFleming (MF). Model ini merupakan pengembangan model IS-LM, dengan
memasukkan komponen eksternal (net ekspor) untuk mengetahui hubungan dengan
lingkungan rest of the world.
56
3.1. Kebijakan Fiskal
Soediyono (1985), mendefinisikan kebijakan fiskal adalah bentuk tindakan
pemerintah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian dengan maksud agar
keadaan perekonomian tidak terlalu menyimpang dari keadaan yang diinginkan
dengan alat (policy instrument variable) berupa pajak (T), transfer pemerintah (Tr),
dan pengeluaran pemerintah (G). Mankiw (2000) mendefinisikan, kebijakan fiskal
sebagai ”The government’s choice regarding levels of spending and taxation”.
Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan anggaran (budgetary policy) yang
dilakukan melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kebijakan
fiskal atau anggaran memiliki tiga fungsi yaitu, (1) fungsi alokasi (allocation
function), (2) fungsi distribusi (distribution function), dan (3) fungsi stabilisasi
(stabilization function). Fungsi alokasi berkaitan dengan penyediaan barang sosial
(social goods) atau proses penggunaan sumberdaya keseluruhan yang dibagi
diantara barang privat (private goods) dan barang sosial (social goods) dan
kombinasi barang sosial yang dipilih. Fungsi distribusi berkaitan dengan pembagian
pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan merata di masyarakat. Sedangkan
fungsi stabilisasi
untuk mempertahankan tingkat pekerjaan yang tinggi (high
employment), stabilitas tingkat harga-harga, dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang
sesuai, yang berpengaruh pada neraca perdagangan dan pembayaran.
Instrumen kebijakan fiskal adalah variabel belanja pemerintah (G) atau
pajak (T). Bersama-sama dengan variabel konsumsi masyarakat (C), investasi
swasta (I) dan net ekspor (X-M) merupakan komponen yang mempengaruhi output
(Y) dalam keseimbangan makro:
Y = C + I + G + (X-M)
(3.1)
57
3.1.1. Jalur Keynesian Pengaruh Kebijakan Fiskal
Menurut Keynes; dalam perekonomian yang mengalami krisis (sebagaimana
Indonesia pada akhir periode 1990an) dan depresi, kebijakan moneter melalui
penurunan tingkat suku bunga tidak efektif. Permintaan agregat dapat dinaikkan
dengan cepat hanya melalui kebijakan fiskal (Romer, 2001). Anggaran pemerintah
(government budget) adalah bagian penting dalam model makroekonomi Keynes
untuk mengatur permintaan agregat dalam perekonomian. Jika perekonomian
berada di bawah full employment, permintaan agregat dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan pengeluaran pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T). Dalam
pandangan Keynes, pemerintah mempunyai peranan penting untuk mengatur
permintaan agregat (AD) dalam rangka mempertahankan atau menjaga agar
perekonomian mendekati tingkat kesempatan kerja penuh (full employment level).
Keseimbangan makro perekonomian tertutup (internal balance):
a. Keseimbangan pasar barang: Y = C + I + G
(3.2)
b. Keseimbangan pasar uang: M/P = (r,Y)
(3.3)
dimana:
M = stok uang,
P = tingkat harga, dan
r = tingkat bungan domestik.
Keseimbangan makro perekonomian terbuka (external balance):
Disebut juga Model Mundell-Fleming, tingkat suku bunga domestik (r) ditentukan
oleh tingkat suku bunga dunia (r*). Sehingga secara matematis ditulis: r = r*.
a. Keseimbangan pasar barang (sebagaimana persamaan (3.1):
Y = C + I + G + (X-M)
58
dimana:
X = ekspor,
M = impor.
Konsumsi tergantung pada disposable income (Y-T), investasi dipengaruhi secara
negatif oleh suku bunga dunia (r*), pengeluaran pemerintah dipengaruhi secara
negatif oleh defisit pada neraca pembayarannya (D), dan ekspor netto (NX)
dipengaruhi oleh nilai tukar (e). Sehingga persamaan (3.1) dapat ditulis seperti
pada persamaan (3.4) sebagai persamaan pasar barang atau fungsi IS.
Y = C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e)
(3.4)
b. Keseimbangan pasar uang:
Permintaan uang riil dipengaruhi secara negatif oleh tingkat suku bunga, dalam
hal ini telah disamakan dengan tingkat suku bunga dunia (r*), dan secara positif
oleh pendapatan. Secara matematis dinyatakan:
M/P = L(r*,Y)
(3.5)
Keseimbangan pasar barang dan pasar uang menurut model Mundell-Fleming,
dijelaskan melalui dua persamaan:
Y
= C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e)
M/P = L(r*,Y)
(3.4)
(3.5)
Variabel eksogen meliputi kebijakan fiskal ([G] dan [T]), kebijakan moneter (M),
tingkat harga (P) dan suku bunga (r*). Variabel endogen meliputi pendapatan (Y)
dan nilai tukar (e). Secara grafis, jalur Keynesian pengaruh kebijakan fiskal
diuraikan pada bagian berikut:
3.1.1.1. Kebijakan Fiskal pada Perekonomian Tertutup (Internal Balance)
Dalam pandangan Keynesian, kebijakan fiskal diyakini paling efektif dalam
59
mengatasi pengangguran dan meningkatkan output. Keyakinan tersebut didasarkan
pada besarnya efek multiplier kebijakan fiskal terhadap perubahan output dan
sensitivitas permintaan uang terhadap perubahan suku bunga, dimana perubahan
suku bunga akan menimbulkan perubahan yang besar pada permintaan uang untuk
spekulasi. Hal ini merupakan implikasi dari posisi kurva LM yang cenderung
landai. Dari sisi suplai, Keynesian juga mengasumsikan bahwa kurva AS adalah
horizontal atau cenderung landai.
Kurva AS Keynesian horizontal atau cenderung landai karena ekonomi
berada pada kondisi unemployment tinggi, sehingga perusahaan dapat memperoleh
tenaga kerja sebanyak yang diperlukan dengan upah yang berlaku. Dengan kondisi
demikian upah diasumsikan tidak berubah. Keynesian juga mengasumsikan
informasi tidak sempurna (0<p<1), yang mengakibatkan pekerja tidak melakukan
penyesuaian terhadap perubahan harga, sehingga model Keynesian dapat disebut
juga sebagai imperfect foresight model. Secara grafis, keseimbangan makro melalui
pendekatan Keynesian disajikan pada Gambar 1 (Mankiw, 2003; Sukirno, 2005).
Pada Gambar 1, kebijakan fiskal dilakukan pada keseimbangan awal (A)
dengan tingkat employment pada N1. Pada kondisi tersebut unemployment sangat
besar, sehingga pemerintah meningkatkan G (government expenditure) untuk
meningkatkan employment. Hal ini menyebabkan kurva IS bergeser ke atas (IS1 ke
IS2). Peningkatan G tersebut meningkatkan Y. Peningkatan Y pada tingkat harga
tetap P1 dan suku bunga r1 akan meningkatkan permintaan uang, sehingga
meningkatkan suku bunga sepanjang kurva LM1, menurunkan investasi dan terjadi
crowding out effect.
60
r
LM2
B
r3
r2
LM1
IS2
A
r1
IS1
0
Y1 Y3
Y
Y2
P
AS
P2
B
A
P1
AD2
AD1
0
Y1
Y3
Y2
Y
Y
Y3
A
Y1
0
N1
B
Y=Y(N)
N2
W
P2e.g(N)
B
w2
w1
N
P1e.g(N)
W2D=P2.f
A
W1D=P1.f
0
N1
N2
N
Sumber: Mankiw (2003); Sukirno (2005)
Gambar 1. Keseimbangan Makro dalam Pendekatan Keynesian
61
Pada sisi permintaan, dampak lebih lanjut adalah peningkatan output,
agregate demand (AD) meningkat (AD1 ke AD2). Memperketat pasar uang,
meningkatkan r dan menurunkan investasi. Pada sisi penawaran, peningkatan harga
direspons oleh pengusaha dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja, sehingga
kurva permintaan tenaga kerja bergeser ke atas.
Karena asumsi imperfect informations (0<p<1), maka pada saat yang sama,
peningkatan permintaan tenaga kerja karena meningkatnya P direspon oleh buruh
dengan menaikkan upah ke W2 dan menggeser kurva penawaran tenaga kerja ke
kiri, yaitu ke Pe2.g(N), tetapi pergeseran kurva penawaran lebih kecil dari
pergeseran kurva permintaan tenaga kerja. Keseimbangan pasar tenaga kerja
meningkat dari N1 ke N2. Peningkatan P terus berlangsung sampai ekses demand
dapat dihilangkan, yaitu pada P2Y3. Employment meningkat ke N2 dan upah
meningkat ke W2. Upah riil menurun, tetapi jika elastisitas permintaan tenaga kerja
pada keseimbangan baru lebih besar dari pada elastisitas pada keseimbangan awal,
maka upah riil akan meningkat.
Keseimbangan baru (B), output akhir adalah Y3 yang lebih besar dari
keseimbangan awal (terjadi growth). Dampak akhir adalah peningkatan suku bunga
(r), penurunan investasi (I), peningkatan upah nominal (W).
3.1.1.2. Kebijakan Fiskal pada Perekonomian Terbuka (External Balance)
Persoalan ekonomi mendasar dari hampir seluruh negara berkembang adalah
masalah current account deficit
(external imbalance), tingginya
tingkat
pengangguran dan inflasi (internal imbalance). Untuk mengatasi masalah
unemployment diperlukan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cepat. Namun
kebijakan ekspansi untuk meningkatkan pertumbuhan seringkali menyebabkan
62
demand tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan kapasitas supply. Hal ini
berdampak pada masalah external balance, yaitu: (1) meningkatnya impor
sementara ekspor turun, sehingga memperlebar external imbalance, dan (2) excess
demand menyebabkan inflasi meningkat berpengaruh pada memburuknya
keunggulan kompetitif negara di lingkup internasional, dengan demikian semakin
memperburuk external imbalance. Sehingga, tujuan meningkatkan employment
justru seringkali berdampak pada memburuknya current account pada balance of
payment (BOP).
Konflik antara external dan internal balance mengharuskan ada instrumen
kebijakan efektif sesuai dengan apa yang dijadikan target. Instrumen kebijakan akan
cocok untuk satu kebijakan tertentu tetapi bisa jadi memiliki dampak yang kurang
menguntungkan bagi lainnya, sehingga tidak seluruh instrumen cocok untuk setiap
target. Dengan demikian instrumen apa yang akan digunakan untuk tujuan tertentu
adalah instrumen yang akan memberikan efektivitas maksimum. Secara historis
negara-negara berkembang sangat menggantungkan kebijakan ekspansi fiskal untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi. Model Mundell-Fleming dengan model standard
IS-LM melalui pendekatan Keynesians dapat menjelaskan keadaan historis tersebut.
Asumsi dalam model Mundell-Fleming (MF) (pengembangan bagian 3.1.1
pada persamaan [3.4] dan [3.5] dengan memasukkan Balance of Payment/BOP)
adalah: (1) upah nominal dan harga fixed, (2) permintaan agregat berhubungan
positif terhadap pengeluaran pemerintah (G), output luar negeri (Yf), dan nilai tukar
(e) berhubungan negatif dengan tingkat suku bunga domestik (rd), (3) permintaan
uang merupakan fungsi negatif dari tingkat suku bunga dunia (r*) dan fungsi
positif terhadap tingkat pendapatan domestik,
(4) supply uang secara negatif
63
dipengaruhi oleh deviasi antara nilai tukar (e) dan target nilai tukar tertentu (e*),
dan (5) nilai perdagangan ditentukan oleh tingkat output domestik (Yd) dan tingkat
output luar negeri (Yf), serta (6) capital account ditentukan oleh perbedaan tingkat
suku bunga domestik dan luar negeri (Husain and Chowdhury, 2001).
Derajad
mobilitas
kapital
yang
ditentukan
melalui
sensitivitas
perbedaan suku bunga (r dan r*) mempunyai peranan penting dalam model
Mundell- Fleming (MF), sebagai berikut:
Y
= C(Y -T) + I(r*) + G(D) + NX(e)
(3.6)
M/P = f(r*,Y)
(3.7)
BOP = f (Yf, Y, ER, r,r*)
(3.8)
Persamaan (3.8) menunjukkan kurva BOP atau BOP=0 untuk berbagai
kombinasi pendapatan domestik (Y) dan tingkat suku bunga domestik (r). Dalam
hal ini pengeluaran pemerintah (G), nilai tukar (e) dan pendapatan dari luar negeri
(Yf) merupakan variabel shifter positif. Slope BOP menunjukkan derajad mobilitas
kapital. Jika kurva BOP vertikal artinya tidak ada mobilitas kapital. Sebaliknya
pada waktu mobilitas kapital sempurna, slope cenderung tak hingga/horisontal.
Kurva BOP horizontal berimplikasi bahwa ada sedikit perbedaan antara tingkat
suku bunga domestik dan asing yang akan mendorong adanya aliran kapital.
Efektivitas kebijakan fiskal dalam perekonomian terbuka pada model MF
tergantung dari derajad mobilitas kapital dan kondisi exchange rate. Untuk negaranegara di Asia Timur (termasuk Indonesia), meskipun dalam kondisi perekonomian
terbuka, tidak banyak menarik investasi asing, berarti slope BOP sangat curam atau
mendekati vertikal, yang menunjukkan terbatasnya mobilitas kapital. Demikian pula
halnya dengan tingkat suku bunga tidak menunjukkan peran berarti pada
64
permintaan uang di hampir semua negara-negara sedang berkembang. Hal ini
berimplikasi kurva LM relatif curam.
a. Kebijakan Fiskal pada Kondisi Kurs Tetap dan Mobilitas Kapital Terbatas
Dengan beberapa pertimbangan di atas, model MF pada kasus Indonesia ER
dianggap fixed atau terkendali, mobilitas kapital terbatas dan kurva LM
dipertimbangkan memiliki slope yang lebih curam atau lebih landai relatif terhadap
kurva BOP. Kebijakan ekspansi fiskal menggeser kurva IS ke IS1 (Romer, 2001;
Sukirno, 2005).
Pada kondisi kurva BOP lebih curam dari kurva LM (Gambar 2.a)
keseimbangan internal yang baru menyebabkan BOP defisit. Ketika Bank Sentral
melakukan intervensi pada pasar uang, kurva LM bergeser ke kiri mengurangi
efektifitas kebijakan ekspansi fiskal.
Pada kondisi kurva BOP lebih landai dari kurva LM (Gambar 2.b),
keseimbangan internal baru (titik E1 ) menghasilkan BOP surplus, sehingga respons
money supply meningkat. Kurva LM bergeser ke kanan dan jika capital inflow
tidak disterilisasi, maka akan memperbesar efektifitas kebijakan ekspansi fiskal.
Sehingga pada sistem fixed exchange rate, efektifitas kebijakan fiskal diperbesar
dengan meningkatnya mobilitas kapital.
b. Kebijakan Fiskal pada Kurs Flexibel dan Mobilitas Kapital Terbatas
Pada Gambar 3, menunjukkan kondisi dimana negara menganut sistem
flexibel ER (Romer, 2001; Sukirno, 2005). Pada kasus kurva BOP lebih curam dari
kurva LM (Gambar 3.a), kebijakan ekspansi fiskal akan menyebabkan BOP defisit
65
dan nilai tukar riil terdepresiasi. Dampaknya, daya saing meningkat dan ekspor
meningkat sehingga kurva IS maupun kurva BOP akan bergeser ke kanan. Titik
(a)
BOP=0
rd
LM1
E2
rd2
LM0
E1
rd1
rd0
E0
IS1
IS0
0
(b)
Yd0
Yd2
LM0
rd
Yd
Yd1
LM1
BOP0=0
E1
rd1
rd2
E2
rd0
E0
IS1
IS0
0
Yd0
Yd1
Yd2
Sumber: Romer (2001), Sukirno (2005)
Gambar 2. Efektifitas Kebijakan Fiskal pada Kurs Tetap dan
Modal Terbatas.
Yd
66
(a)
BOP0=0
rd
BOP1=0
LM0
E2
rd2
E1
rd1
rd0
IS2
E0
IS1
IS0
Yd0
0
Yd1
Yd2
Yd
LM0
rd
(b)
E1
BOP1=0
rd1
E2
BOP0=0
rd2
IS1
rd0
E0
IS2
IS0
0
Yd0
Yd2
Yd1
Yd
Sumber: Romer (2001), Sukirno (2005)
Gambar 3. Efektifitas Kebijakan Fiskal pada Kurs Fleksibel dan Modal
Terbatas
67
keseimbangan yang baru adalah E2 dimana efektifitas kebijakan fiskal menjadi
sangat besar.
Kurva BOP lebih landai dari kurva LM (Gambar 3.b) kebijakan ekspansi
fiskal menyebabkan surplus BOP. Surplus BOP mengakibatkan nilai tukar riil
terapresiasi, daya saing menurun dan mengurangi ekspor. Keseimbangan akhir, baik
kurva IS maupun BOP bergeser ke kiri, keseimbangan eksternal dan internal di E2.
Pada ER flexibel semakin tinggi sensitivitas mobilitas kapital terhadap perubahan
tingkat suku bunga, efektifitas kebijakan fiskal semakin berkurang.
3.1.2. Penerimaan Pemerintah
Sumber penerimaan pemerintah berasal dari: pajak, non pajak, dan hibah.
Pajak meliputi pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, dan
pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah. Jenis pajak pusat
adalah pajak penghasilan (PPh), pajak pertambanan nilai barang dan jasa dan pajak
penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB)
serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), bea meterai, cukai,
pajak/pungutan ekspor, dan bea masuk (Hutahaean, et. al., 2002).
Pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn) mempunyai
efek/transmisi cepat terhadap perubahan perilaku menabung, investasi dan ekspansi
usaha perusahaan (James and Nobes, 1992). Dalam kasus Indonesia PPh dan PPn
sensitif terhadap perubahan perilaku rumahtangga dan perusahaan. Dari sisi pajak,
intervensi pemerintah untuk mempengaruhi kinerja sektoral akan efektif dengan
instrumen PPh dan PPn.
Analisis sistem pajak kombinasi; antara pajak pendapatan (PPh) dan pajak
pertambahan nilai (PPn), ditemukan dalam Atkinson and Stiglizt (1976), Mirrlees
68
(1976), dan Revez (1986) dalam Myles (1997). Dalam model ini diasumsikan
bahwa terdapat n barang yang disediakan oleh produsen sebagai barang 1 dan
tingkat upah w. Seperti aturan normalisasi, pajak linear terhadap n barang,
ditetapkan 0. Dengan aturan ini keterbatasan anggaran (qx) yang dihadapai seorang
konsumen dengan kemampuan membayar pajak s dan tingkat pajak T berbentuk:
n
∑q x
i=2
i
i
= swx1 − T ( swx1 )
(3.9)
Untuk penyederhanaan derifasi, teknologi produksi ditetapkan linear sehingga
kemungkinan produksi dibatasi oleh hubungan:
n ∞
∞
∑ ∫ x (s)γ (s)ds ≤ ∫ swx (s)γ (s)ds − z
i=2 0
(3.10)
G
1
i
0
dimana, zG : pengenaan pajak pemerintah. Dengan teknologi linear memungkinkan
untuk mengambil harga produsen dari setiap barang 2,...,n menjadi 1.
Pajak optimal dapat diperoleh dengan memperlakukan U(s) sebagai variabel
riil dan xi(s), i =1,…, n-1 sebagai variabel kontrol, dengan xn(S) ditentukan dari
identitas U(s) = U(x1(s),...,xn(s)). Persyaratan orde pertama untuk self selection
diturunkan dengan menggunakan fakta bahwa
notasi u s = −
U x1 x1
.
s
us = −
U l2
s
2
=−
Ull
s
atau dalam
Pendekatan orde pertama Hamiltonian untuk maksimisasi dapat
ditulis dengan menggunakan (3.10) sebagai:
n
x1U x1
⎡
⎡
⎤⎤
H = ⎢U + λ ⎢ swx1 − ∑ xi ⎥ ⎥γ ( s ) − μ
s
i=2
⎦⎦
⎣
⎣
(3.11)
Untuk memilih xk(s),k = 2,...,n-1, menggunakan fakta bahwa
Ux
∂xn
=− k
U xn
∂xk
(3.12)
Syarat perlu untuk optimalitas adalah:
⎡ Ux ⎤
Ux ⎤
μx ⎡
− λ ⎢1 − k ⎥γ − 1 ⎢U x1xk − U x1xn k ⎥ = 0, k = 2,..., n
s ⎢⎣
U xn ⎥⎦
⎢⎣ U xn ⎥⎦
(3.13)
69
Dari syarat perlu tersebut maksimisasi utilitas rumahtangga adalah:
U xk
U xn
=
1 + tk
1
(3.14)
Substitusi (3.14) ke dalam (3.13), dan setelah disusun ulang, pajak optimal
(tk) dapat ditulis sebagai:
tk =
μx1U xk
λγs
⎡
⎡U x ⎤ ⎤
⎢ d log ⎢ k ⎥ ⎥
⎢
⎢⎣U xn ⎥⎦ ⎥
⎢
⎥, k = 2,..., n − 1
dx
1
⎢
⎥
⎢
⎥
⎣
⎦
(3.15)
⎡U x ⎤
d log ⎢ k ⎥
⎢⎣U xn ⎥⎦
= 0 , untuk
Hasil dari (3.15) menyatakan dua fakta. Pertama jika
dx1
semua k = 2,.., n-l, yang dianggap tetap jika fungsi utilitas dapat dipisahkan secara
lemah antara tenaga kerja dan semua komoditas lainnya, maka pajak optimal (tk)
untuk semua k=2,.., n-1. Ini adalah hasil utama dari Atkinson and Stiglitz (1976).
Dalam keadaan ini pajak pertambahan nilai (PPn) tidak diperlukan dan pajak
penghasilan (PPh) cukup untuk mencapai tujuan kesejahteraan. Hasil ini diturunkan
dari sistem pajak yang berusaha untuk memajak kemampuan awal dari rumah
tangga, tetapi apabila dianggap terpisah, terdapat hubungan yang lemah antara
pilihan konsumsi dan kemampuan untuk pajak pertambahan nilai.
Konsekuensi kedua dari (3.15) adalah anggapan semua variabel lainnya
konstan, bahwa tarif pajak terhadap suatu barang akan berhubungan secara positif
terhadap tingkat perubahan tarif marjinal atas substitusi antara barang tersebut dan
faktor input. Karena itu, barang-barang yang secara relatif lebih disukai oleh
konsumen yang menawarkan paling banyak input (tenaga kerja), akan dipajak lebih
besar. Menggunakan kerangka yang lebih umum, Mirrlees (1976) menekankan
70
kesimpulan ini untuk menunjukkan bahwa tarif PPn akan mejadi paling tinggi pada
barang paling disukai oleh rumah tangga yang berkemampuan tinggi.
3.1.3. Pengeluaran Pemerintah
Struktur
pengeluaran/belanja
pemerintah
menurut
I-Account
APBN
meliputi: (1) belanja pemerintah pusat (pengeluaran rutin dan pembangunan), (2)
dana perimbangan, dan (3) dana otonomi khusus dan penyeimbang.
Pendekatan
untuk
melihat
keterkaitan antara belanja negara dan
pendanaannya adalah melalui apa yang dikenal dengan Government's (public
sector's) financial balance, yang persamaannya ditulis sebagai berikut:
(T- Cg - Ig) = Bgp +∆H + Bgf
(3.16)
dimana:
T
= tax revenue (penerimaan pajak),
Cg
= government consumption (konsumsi pemerintah),
Ig
= government investment (investasi pemerintah),
Bgp
= government borrowing from private sector (pinjaman pemerintah
dari sektor swasta),
∆H
= stock change in high-powered money (perubahan stok dari
pencetakan uang), dan
Bgf
= government borrowing from foreigners (pinjaman pemerintah
dari luar negeri).
Sisi kiri persamaan menggambarkan defisit fiskal dan sisi kanan persamaan
menunjukkan cara pendanaannya. Jika pemerintah ingin meningkatkan expenditure,
maka dapat dibiayai melalui peningkatan penerimaan pajak tanpa mempengaruhi
defisit fiskal.
71
Tingkat belanja negara yang memadai ditentukan oleh penerimaan dan
defisit anggaran yang harus dibiayainya. Jika peningkatan pengeluaran pemerintah
tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan pajak maka akan menyebabkan
defisit fiskal yang lebih besar. Langkah selanjutnya adalah mencari sumber
pendanaan untuk menutup defisit melalui: (a) pinjaman dari sektor swasta, (b)
mencetak uang (money creation) dan (c) pinjaman dari luar negeri. Selain itu, masih
ada sumber pembiayaan lainnya, yaitu : (1) pengurangan simpanan devisa (dapat
menyebabkan krisis nilai tukar), (2) penjualan aset negara (privatisasi), dan (3)
akumulasi tunggakan (arrears). Untuk menutup defisit umumnya dilakukan dengan
kombinasi antara berbagai sumber pendanaan tersebut.
Alternatif pendekatan yang digunakan untuk melihat kedua masalah tersebut
melalui the economy's saving-investment balance, persamaannya ditulis:
(T- Cg-Ig) = (Sp -Ip) + (M-X)
(3.17)
dimana:
T
= tax revenue (penerimaan pajak),
Cg
= government consumption (konsumsi pemerintah),
Ig
= government investment (investasi pemerintah),
Sp
= private saving (tabungan swasta),
Ip
= private investment (investasi swasta),
M
= impor,
X
= ekspor, dan
(M - X) menggambarkan external current account defisit.
Melalui pendekatan ini terlihat bahwa defisit fiskal sama dengan jumlah savinginvestment gap dari sektor swasta ditambah external current account deficit.
72
Selanjutnya bila pendekatan pertama (3.16) dan kedua (3.17) digabungkan,
diperoleh persamaan sebagai berikut.
Sp - Ip = Bgp + ∆H- Bpf
(3.18)
M - X = Bgf + Bpf
(3.19)
dimana: Bpf = utang swasta (private sector borrowing) dari sumber luar negeri.
Persamaan (3.18) menyatakan bahwa kelebihan tabungan sektor swasta
sama dengan uang yang dipinjamkan kepada pemerintah dan uang yang
dipegangnya sendiri dikurangi dengan utang luar negerinya. Sedangkan persamaan
(3.19) menyatakan bahwa external current account deficit dibiayai dari utang luar
negeri pemerintah dan utang luar negeri sektor swasta, yang bersumber dari foreign
saving. Dengan mensubstitusikan persamaan (3.18) dan (3.19) kedalam persamaan
(3.17) akan menghasilkan persamaan (3.16).
3.1.4. Pengeluaran Pemerintah Sektoral
Selain klasifikasi anggaran ke dalam belanja rutin dan pengeluaran
pembangunan (klasifikasi ekonomi), yang lebih lazim dan dikenal sesuai dengan
klasifikasi internasional adalah klasifikasi berdasarkan sektoral. Sampai saat ini,
secara sektoral APBN mengklasifikasikan belanja negara ke dalam 20 sektor.
Sementara itu, IMF melalui format GFS (Government Finance Statistic) terbaru
telah mengembangkan konsep klasifikasi belanja negara. Tujuan konsep tersebut
untuk membantu menunjukkan sifat, komposisi dan dampak dari penerimaan,
hibah, pengeluaran, pinjaman bersih, pembiayaan dan utang, serta transaksi
keuangan pemerintah yang dikelompokkan berdasarkan jenis kegiatannya. Dalam
kaitannya dengan belanja negara, di dalam konsep GFS, pengeluaran pemerintah
(pusat) diklasifikasikan berdasarkan sifat ekonomi dan berdasarkan fungsi.
73
Secara ekonomis, pengeluaran dikelompokkan menjadi pengeluaran lancar
(rutin) dan pengeluaran modal (pembangunan). Dalam hal ini, pembagian sektorsektor ekonomi dititikberatkan pada bagaimana seluruh kegiatan ekonomi dalam
suatu negara dapat dibagi menurut bagian-bagiannya, dan sejauhmana pembagian
tersebut sesuai dengan struktur ekonomi yang diterapkan di negara yang
bersangkutan. Sedangkan secara fungsional, pengeluaran (dan pinjaman bersih)
dikelompokkan sesuai dengan tujuan pokok atau fungsi untuk sektor mana mereka
dibentuk, apakah untuk pertahanan, pendidikan, pertanian, dan lain sebagainya.
3.1.5. Subsidi
Norton (2002) mengemukakan bahwa di negara berkembang, subsidi
khususnya pertanian penting sebagai instrumen fiskal untuk mendorong
produktivitas dan peningkatan kesejahteraan petani. Subsidi adalah bentuk transfer
pemerintah yang efisien sekaligus sebagai alat redistribusi kesejahteraan antar
penduduk dan antar produsen dan konsumen. Inilah pokok pentingnya subsidi,
sehingga pada perekonomian majupun masih menggunakan instrumen subsidi dari
pemerintah untuk sektor swasta.
Dampak dari subsidi pemerintah (s) dapat dilihat pada Gambar 4 (Stiglitz,
2000). Gambaran kurva penawaran produk pertanian dalam jangka pendek (SR)
(Gambar 4.a) diasumsikan sangat tidak elastis karena memproduksi produk
pertanian membutuhkan waktu yang panjang bahkan musiman. Jika pemerintah
membayar agregat subsidi untuk produk pertanian, dampaknya adalah terjadi
peningkatan permintaan produk pertanian (kurva permintaan bergeser ke kanan
atas). Dampaknya harga produk pertanian naik, tetapi kenyataannya petani hampir
tidak bisa meningkatkan produksinya.
74
SSR
Harga
Produk
Ps
Harga
Produk
Ds
P
SLR
Ps
P
Ds
D
0
QQs
D
Produk
0
(a)
Q
Qs
Produk
(b)
Sumber: Stiglitz (2000).
Gambar 4. Dampak Subsidi terhadap Peningkatan Produksi Pertanian
Dalam jangka panjang (LR), penyesuaian meningkat besar seperti pada
Gambar (4.b) kurva penawaran relatif lebih elastis/datar. Peningkatan harga yang
sedikit berdampak kepada peningkatan produksi yang besar. Hal tersebut
merupakan tujuan dari subsidi yaitu meningkatkan produktivitas untuk mencapai
peningkatan produk agregat dalam jangka panjang.
3.1.6. Dampak Pengeluaran Pemerintah
Seberapa besar dampak kebijakan fiskal (melalui peningkatan pengeluaran
pemerintah) akan meningkatkan output, tergantung pada besaran multiplier effect
yang dapat diturunkan sebagai berikut (notasi dalam bentuk riil dengan definisi
notasi seperti pada bagian sebelumnya) (Romer, 2001):
Kurva IS mencerminkan keseimbangan pada pasar barang:
y = c(y-t(y)) + i(r) + g
dan kurva LM mencerminkan kondisi keseimbangan pada pasar uang:
(3.20)
75
M
= l(r) + k(y)
Po
(3.21)
dimana fungsi konsumsi dan pajak mempunyai slope positif tetapi lebih kecil dari
satu atau 0 < c’, t’ < 1, slope investasi dan permintaan uang i’ < 0 dan l’ < 0, serta
slope transaksi permintaan uang k’ > 0 (tanda [’] menunjukkan nilai tertentu).
Dengan menurunkan persamaan (3.20), diperoleh:
dy = c’ (dy – t’ dy) + i’ dr + dg
= c’ (1-t’)dy + i’dr + dg
(3.22)
M
Menurunkan persamaan (3.21) dengan — konstan, akan diperoleh:
P
0 = l’ dr + k’ dy
k'
dr = - — dy
l’
dengan mensubstitusikan ke persamaan (3.22) diperoleh:
1
dy =
1 − c' (1 − t ' ) +
i' k '
l'
(3.23)
dg
Karena c’ (1 – t’) kurang dari satu dan
i 'k '
l'
positif maka multiplier tersebut
i' k '
− , = menunjukkan penurunan investasi yang berasal dari
l'
i' k '
−
peningkatan r, sewaktu y dan r meningkat sepanjang kurva LM, dan
l'
bernilai positif.
merupakan slope kurva LM, sehingga jika kurva LM mempunyai slope = 0, atau
kurva LM horizontal, maka multiplier akan menjadi:
dy =
dg
1
=
dg
1 − c' (1 − t ' ) 1 − MPC
(3.24)
Artinya, perubahan pengeluaran pemerintah (g) meskipun kecil akan menghasilkan
perubahan output yang besar, karena adanya multiplier effect tersebut. Efek
perubahan output akan makin besar dengan bentuk kurva LM yang horizontal.
76
3.1.7. Keseimbangan Fiskal
Keseimbangan primer (primary balance) adalah selisih antara penerimaan
dan pengeluaran, tidak termasuk cicilan utang dan bunga. Defisit anggaran
pemerintah terdiri atas defisit luar negeri dan defisit dalam negeri. Defisit anggaran
luar negeri adalah pengeluaran mata uang asing dikurangi penerimaannya. Defisit
total pemerintah dalam neraca anggaran dengan memperhitungkan defisit anggaran
luar negeri dan domestik dirumuskan (Subagjo, 2005):
D = (GD+FG) - (RD+RF) – KG
(3.25)
KG = K-KP
(3.26)
K = RE + CA
(3.27)
dimana:
CA
= current account dalam neraca pembayaran,
D
= neraca anggaran (defisit/surplus),
FG
= pengeluaran pemerintah luar negeri,
GD
= pengeluaran pemerintah domestik,
K
= arus kapital total,
KG
= arus kapital pemerintah,
KP
= arus kapital swasta,
RD
= penerimaan pemerintah domestik,
RE
= cadangan devisa, dan
RF
= penerimaan pemerintah luar negeri.
Pada persamaan (3.27) diasumsikan bahwa bank sentral akan meningkatkan
kredit netonya kepada pemerintah, apabila pengeluaran pemerintah melebihi
penerimaannya dengan selisih yang lebih besar dari arus masuk kapital neto.
77
Defisit anggaran ditentukan oleh selisih tingkat suku bunga domestik dan
suku bunga luar negeri yang menentukan arus kapital, beban utang pemerintah
yang menentukan besarnya cicilan dan bunga utang, dan neraca pembayaran. Secara
agregat defisit anggaran (D) merupakan fungsi dari suku bunga domestik (r),
tingkat suku bunga dunia (r*), utang pemerintah (B), dan penerimaan pemerintah
(R). Sehingga fungsi defisit anggaran dapat dituliskan sebagai berikut:
D = d(r,r*,B,R)
(3.28)
Komponen fiskal meliputi variabel-variabel: pengeluaran, penerimaan pajak,
defisit, utang, dan obligasi pemerintah (domestik dan luar negeri) sebagai sumber
pembiayaan tambahan bagi pemerintah. Alternatif pembiayaan melalui pencetakan
uang tidak diperhitungkan sebagai sumber pembiayaan. Hal ini didasarkan pada
kenyataan mengenai posisi independent bank sentral. Akibatnya pemerintah tidak
bisa mencetak uang untuk menutup gap dalam anggarannya.
3.1.8. Utang Pemerintah
Jika pengeluaran melampaui penerimaan maka kebijakan fiskal akan
berkaitan dengan aspek pinjaman/utang (Subiyantoro dan Riphat, 2004). Langkah
paling lazim dalam menutup defisit anggaran pemerintah (D) adalah dengan utang,
baik berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. The law of motion dari utang
pemerintah, seperti dikemukakan oleh Cohen (2002) dalam Soelistyaningsih
(2005):
Dt = (1+r)Dt-1 + Gt – Tt
dimana:
(Gt – Tt)
= primary balance deficit,
Dt-1 + Gt – Tt = overall balance deficit.
(3.29)
78
Dalam bentuk Present Value, persamaan (3.29) dibagi dengan discount factor
1/(1+r)t sehingga menjadi:
Dt = Dt −1 + Gt − T t
t
t −1
t
(1+ r ) (1+ r )
(1+ r )
(3.30)
Jika inisial time t=0, maka perolehan masa depan adalah:
t
G −T t
Dt =
(1 + r ) = ∑ t
t D −1
t
t = 0 (1+ r )
(1+ r )
(3.31)
Dengan persamaan tersebut di atas, maka meningkatnya utang (secara PV)
adalah penjumlahan dari PV defisit utama (present value of the primary deficit).
Jika t tak terhingga, maka persamaan tersebut akan menjadi:
∞
Dt =
D −T t
(1 + r ) = ∑ t
D
1
−
t
t
t → ∞ (1+ r )
t = 0 (1+ r )
lim
(3.32)
Utang pemerintah solvent apabila persamaan sisi kiri menuju nol, disebut
transversality condition. Kondisi ini menyatakan bahwa PV utang pemerintah
jangka panjang akan menuju nol dan solvent, sehingga:
∞
∞
Gt
∑ T t t = D −1(1 + r ) + ∑
t
t = 0 (1+ r )
t = 0 (1+ r )
(3.33)
Pada kasus dimana perekonomian tumbuh, pajak menjadi salah satu sumber
penggerak perekonomian yang bersifat eksogen, dinyatakan:
Tt = T0(1+n)t
(3.34)
dimana n adalah pertumbuhan ekonomi. Diasumsikan suku bunga r lebih tinggi
dibandingkan n (r>n), dan pertumbuhan ekonomi dipicu oleh pengeluaran
pemerintah yang tumbuh sebesar n.
Gt = G0(1+n)t
(3.35)
Melalui persamaan (3.35), maka PV dari primary deficit adalah:
∞
G t −T t
t
t = 0 (1 + r )
∑
1+ r
= (G 0 − T 0 )
r−n
(3.36)
79
Utang pemerintah dikatakan solvent, jika dan hanya jika:
D−1 ≤
T 0 − G0
(3.37)
( r − n)
Maka primary surplus dari anggaran pemerintah akan sama dengan:
dan,
Tt-Gt ≥ (r-n)Dt-1
(3.38)
Dt = (1+n)Dt-1
(3.39)
Persamaan (3.38) dan (3.39) memberikan implikasi:
Dt
lim (1+ r )
t →∞
=
t
⎛1+ n ⎞
D 0 lim ⎜⎝ 1 + r ⎠⎟
t
=0
(3.40)
t →∞
Kondisi solvency tidak berarti bahwa utang harus distabilkan. Utang tumbuh secara
tak terhingga, tetapi utang seharusnya tumbuh tidak lebih cepat dari penerimaan
pajak. Dengan kata lain, rasio utang terhadap pajak seharusnya ada batas atasnya.
3.1.9. Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal antar tingkat pemerintahan menggambarkan hubungan
keuangan (financial relations) diantara berbagai tingkat pemerintahan, yang
meliputi berbagai aktivitas keuangan pemerintah seperti perpajakan, pengeluaran,
pinjaman, subsidi, transfer dan hibah. Transfer fiskal antar tingkat pemerintahan
(intergovernmental fiscal transfers) terdiri atas hibah (grants), dan bagi hasil
(revenue-sharing) merupakan sumber penerimaan yang dominan bagi tingkat
pemerintah daerah di banyak negara sedang berkembang (Litvack, et.al., 1998
dalam Nanga, 2006). Tiga peran potensial dari hibah (grants) yaitu, (1) internalisasi
spillover benefits terhadap yurisdiksi lain, (2) pemerataan (equalization) fiskal antar
yurisdiksi, dan (3) meningkatkan/memperbaiki sistem pajak secara menyeluruh.
Hibah dapat dibedakan ke dalam dua bentuk utama (Oates, 1999), yaitu
hibah atau bantuan bersyarat (conditional grants) dan hibah tak bersyarat
80
(unconditional grants). Bantuan bersyarat atau bantuan khusus (specific grants)
adalah bantuan yang memiliki persyaratan tertentu yang terkait di dalam bantuan
tersebut, dan diberikan untuk mendorong pemerintah daerah dalam menambah
barang dan jasa publik tertentu. Dalam kasus bantuan khusus ini, pemerintah daerah
tidak memiliki kebebasan dalam pengalokasian dana karena penggunaan dana
tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Bantuan tak bersyarat atau bantuan blok (block grant) adalah jenis bantuan
yang tidak dikaitkan dengan program pengeluaran tertentu, dalam kasus Indonesia
diistilahkan dana alokasi umum (DAU). Ciri khusus yang menjadi kekuatan jenis
bantuan ini adalah dapat meningkatkan sumberdaya lokal dan sekaligus
mempertahankan pilihan fiskal yang ada dalam kewenangan pemerintah daerah.
Dalam kasus bantuan blok ini, pemerintah daerah memiliki keleluasan dalam
mengalokasikan dana yang diterima ke dalam berbagai kemungkinan pengeluaran
yang sesuai dengan pilihan dan kepentingan daerah yang bersangkutan.
Pengaruh atau dampak dari masing-masing bantuan tersebut dijelaskan pada
Gambar 5 dan 6. Dalam Gambar 5 dan 6 posisi pemerintah daerah sebelum ada
bantuan (grant) ditunjukkan titik E dan jumlah barang G dan H yang dikonsumsi
masing-masing adalah G1 dan H1. Apabila ada bantuan dari pemerintah pusat dalam
bentuk block grant, maka garis anggaran (budget line) dalam Gambar 5 akan
bergeser dari AB menjadi CD, posisi pemerintah Daerah sekarang berada di titik F
dan jumlah barang G dan H yang dikonsumsi menjadi G2 dan H2. Konsumsi
pemerintah daerah baik untuk barang G maupun H meningkat dan hal ini
menunjukkan pula bahwa kepuasan dari pemerintah bertambah karena berada pada
indifference curve yang lebih tinggi yaitu I2 dimana I2 > I1.
81
Barang H
Barang H
C
A
H2
H1
I2
I1
E
A I1 I2
H1
H2
F
E
F’
D’
0
G1
G2
B
D Barang G 0 G1
G'2
B
Barang G
Sumber: Oates (1999)
Gambar 5. Jalur Efek Block Grant
Gambar 6. Jalur Efek Specific Grant
Sebaliknya, pemerintah pusat memberikan bantuan dalam bentuk spesifik
(specific grant), dampak yang ditimbulkan adalah penurunan harga (biaya produksi
barang G) dan budget line bergeser dari AB ke AD'. Posisi pemerintah daerah kini
berada di titik F' dan jumlah barang G yang dikonsumsi menjadi G2’. Berarti
bantuan spesifik meningkatkan produksi barang G.
Bantuan spesifik juga
meningkatkan kepuasan pemerintah daerah karena sekarang berada di titik F' yang
terletak pada indifference curve I2 dimana I2 > I1. Dampak spesifik grant tidak
dapat diprediksi secara langsung karena tergantung pada bentuk indifference curve
maupun income dan price elasticity of demand dari kedua jenis barang tersebut.
Price effect dari subsidi atau bantuan cenderung menurunkan produksi barang H,
tetapi sebalikannya pada income effect. Dalam beberapa kasus seperti tampak dalam
Gambar 6, efek netto yang ditimbulkan oleh bantuan spesifik adalah penurunan
secara absolut di dalam produksi H.
82
Secara teoretis disimpulkan; block grant dampaknya terhadap produksi atau
konsumsi dapat diprediksi secara langsung, dan hanya menghasilkan income effect,
sedangkan specific grant tidak dapat menghasilkan income effect juga substitution
effect dan price effect.
3.2. Investasi
Insentif ekonomi atas keputusan investasi
tergantung kepada tingkat
keuntungan yang diperoleh investor. Investasi netto (net investment) bergantung
kepada perbedaan antara produk marjinal modal dan biaya modal. Dengan
menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dijelaskan bagaimana
perekonomian aktual mengubah modal dan tenaga kerja menjadi barang dan jasa
(Mankiw, 2003). Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah:
Y = AKαL1-α
(3.41)
dimana:
Y = output,
K = modal,
L = tenaga kerja,
A = parameter tingkat teknologi, dan
α = parameter yang mengukur bagian modal atas output (0<α<1).
Produk marjinal modal adalah:
MPK = αA(L/K)1-α
(3.42)
Sewa riil (R/P) sama dengan produk marjinal modal dalam equilibrium dapat
ditulis:
R/P = αA(L/K)1-α
(3.43)
83
Persamaan (3.43) mengidentifikasi variabel yang menentukan harga sewa riil
dimana, (1) semakin kecil persediaan modal, semakin tinggi harga sewa riil dari
modal, (2) semakin besar jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan, semakin tinggi
harga sewa riil dari modal, (3) semakin baik teknologi, semakin tinggi harga sewa
riil dari modal. Biaya modal (CK) untuk suatu periode adalah:
CK = iPK - ∆PK + δPK
= PK(i - ∆PK/PK + δ)
(3.44)
dimana:
CK = biaya modal,
iPK = biaya bunga,
∆PK= keuntungan dari modal, dan
δPK = biaya penyusutan (δ adalah tingkat penyusutan).
Dengan memperhatikan inflasi, maka ∆PK/PK sama dengan tingkat inflasi
keseluruhan π. Karena i- π sama dengan tingkat bunga riil r, biaya modal dapat
ditulis: CK = PK(r + δ). Biaya modal riil (real cost of capital) yang diukur dalam
unit output perekonomian tergantung pada harga relatif barang modal (PK/P),
tingkat bunga riil r dan tingkat penyusutan δ ditulis:
CK = (PK/P)(r + δ)
(3.45)
Tingkat keuntungan investasi (π) diperoleh dari selisih antara penerimaan riil (3.43)
dengan biaya riil (3.45). Dengan mensubstitusi persamaan (3.42) ke (3.43)
keuntungan investasi dapat dituliskan:
π = MPK - (PK/P)(r + δ)
(3.46)
dimana MPK = marginal product of capital. Investor akan menambah investasi jika
produksi marjinal melebihi biaya modal, ditulis:
84
∆K = In [MPK-(PK/P)(r + δ])
(3.47)
Dimana In[ ] adalah fungsi yang menunjukkan berapa banyak investasi neto
merespon insentif untuk investasi. Dari persamaan (3.41) sampai dengan (3.47)
dapat membuat persamaan investasi:
I = In [MPK-(PK/P)(r + δ)]+ δK
(3.48)
Investasi (bisnis) bergantung kepada produk marjinal modal, biaya modal, dan
jumlah penyusutan atau depresiasi.
Sumber pembiayaan investasi pertanian di Indonesia terdiri atas investasi
pemerintah, investasi swasta domestik (PMDN), investasi swasta asing (PMA) dan
investasi masyarakat (non-fasilitas). Investasi swasta asing merupakan sumber
pembiayaan investasi pembangunan di banyak negara berkembang sejak
berakhirnya Perang Dunia II. Hal ini terutama disebabkan karena pada negaranegara berkembang seperti Indonesia, kemampuan menabung masih rendah
sehingga kemampuan investasi rendah.
3.3. Konsumsi
Konsumen bertindak rasional serta memiliki alternatif pilihan yang lengkap
dan konsisten tentang sederetan preferensi konsumsi. Pilihan preferensi dapat di
formulasikan dalam rangka maksimisasi utilitas yang dibatasi oleh kendala
pendapatannya atau income opportunity set, oleh karena itu terdapat masalah
pemilihan kombinasi atau bundel komoditi yang optimum di dalam opportinity
setnya (Pindyck and Rubinfeld, 1995).
Preferensi konsumen merupakan fungsi transformasi U (utility function),
yang mempunyai sifat-sifat: (1) merupakan fungsi terbatas, positif dan mempunyai
85
nilai riil, (2) fungsi U kontinyu, dimana terdapat consistency dan transitivity of
choice, (3) rata (smoothness), (4) monotonik, (5) fungsi transformasi U merupakan
fungsi yang konvek, (6) fungsi U dapat diturunkan dua kali, dan (7) fungsi U
merupakan fungsi tertutup (boundedness) (Koutsoyiannis, 1979).
Jika fungsi utilitas U = f(Qi) menggambarkan deretan preferensi konsumen,
yang digambarkan dalam sederetan vektor komoditi Qi dimana Qi = (Q1, Q2,...,Qn).
U = f(Qi)
(3.49)
Maksimisasi utilitas konsumen dalam mengkonsumsi komoditi dibatasi oleh
kendala pendapatan tertentu (Y°), didefinisikan sebagai fungsi yang linear,
Y° = Pi.Qi
(3.50)
dimana: Pi, elemen kolom dari vektor harga, maka maksimisasi utilitas dengan
kendala pendapatan tertentu adalah masalah mendapatkan vektor Q*(P,Y°) yang
optimal. Berdasarkan persamaan pengganda Lagrang (L),
kondisi maksimisasi
utilitas konsumen dapat dirumuskan dengan memaksimumkan U sebagai berikut:
Max. L = U-λ(Y°-ΣPi.Qi)
(3.51)
dimana:
Pi = harga komoditi Qi, Pi (P1, P2,....., Pn),
Qi = komoditi Qi (Q1,Q2......, Qn),
Y° = pendapatan konsumen untuk mengkonsumsi q1 dan q2, dan
λ
= pengganda Lagrang.
Syarat perlu (first ordinary necessary condition) untuk maksimisasi utilitas
adalah turunan parsial terhadap Qi dan λ sama dengan nol, yaitu:
δL δU
=
− λ Pi = 0, atau
δQi δQi
δU
= λ Pi
δQi
(3.52)
86
δL
o
= Y o − ∑ Pi. Qi = 0, atau Y = ∑ Pi.Qi
δλ
Utilitas
konsumen
maksimum
(keseimbangan
(3.53)
konsumen)
dicapai
berdasarkan persamaan (3.52) dan (3.53), yakni pada saat MRS (Marginal rate of
substitution) sama dengan rasio harga kedua komoditi tersebut (slope garis
anggarannya) seperti pada persamaan (3.54):
⎧⎛ δ U
⎪⎜
⎪ ⎜⎝ δ Q i
−⎨
⎪
⎪⎩
⎞
⎟⎟
⎠
⎫
⎪
⎪ PQn
=
⎛ δ U ⎞ ⎬⎪ PQi
⎜⎜
⎟⎟
⎝ δ Q n ⎠ ⎪⎭
U = konstan
(3.54)
3.4. Kinerja Sektor Pertanian
3.4.1. Pertumbuhan Output
Pada perekonomian, pertumbuhan dapat dijelaskan melalui peubah antara
yaitu teknologi (ekspresi produktivitas dan efisiensi) dari penggunaan faktor
produksi (Syafa’at, et.al., 2005). Jika fungsi produksi agregat adalah,
Yt = F(Ct, Lt, At)
(3.55)
maka laju pertumbuhan dapat ditulis sebagai berikut:
g = η(I/Y)t + γ(Å/A)t
dimana:
Yt
= output,
Ct
= kapital,
Lt
= tenaga kerja,
At
= teknologi,
g
= laju pertumbuhan,
I
= investasi,
η, γ
= elastisitas, dan
(3.56)
87
t
= waktu.
Pertumbuhan output/produk pertanian dapat dilihat dari relasi antara
pertumbuhan kontribusi PDB pertanian, dan laju pertumbuhan relatif produk neto
pertanian dengan non pertanian. Jika Pp = produk neto pertanian, PNp = produk neto
non pertanian, dan PN = total produk nasional atau PDB, maka relasi tersebut dapat
dijelaskan dengan rumus Kuznet (Ghatak and Ingersent, 1984):
PDB = PP + PNP
dan,
(3.57)
∂PDB = (∂PP/ PP) PP + (∂PNP/ PNP) PNP
anggap rP = (∂PP/ PP), dan rNP = (∂PNP/ PNP), maka:
dan,
∂PDB = PP rP + PNP rNP
(3.58)
PP rP = ∂PDB - PNP rNP
(3.59)
PP rP/∂PDB = 1 - PNP rNP/∂PDB
(3.60)
Substitusi persamaan (3.58) ke bagian kanan persamaan (3.60):
= 1 – [PNP rNP/( PP rP + PNP rNP)]
= (PP rP + PNP rNP - PNP rNP)/( PP rP + PNP rNP)
= PP rP/( PP rP + PNP rNP)
= 1/( PP rP + PNP rNP)/ PP rP
= 1/( 1 + PNP rNP/ PP rP)
(3.61)
Rumus Kuznets ini mengekspresikan suatu relasi terbalik antara
pertumbuhan pangsa PDB dari pertanian (Pprp/PDB) dan hasil dari rasio pangsapangsa sektoral dari PDB (PNP/PP) serta rasio laju pertumbuhan output sektoral
(rNP/rP) seperti yang diberikan di persamaan (3.61). Selanjutnya, besarnya setiap
perubahan di dalam rasio produk non pertanian terhadap produk pertanian sebagian
ditentukan oleh perbedaan dalam laju pertumbuhan sektoral sehingga,
∆(PNP/ PP) = (P1NP/ P1P) – (P0NP/ P0P)
(3.62)
88
dimana setiap variabel berhubungan dengan waktu.
P0NP(1 + rNP) - P0NP
P
=
P0P(1 + rP) P0P
P0NP [(1 + rNP) - (1 + rP)]
(3.63)
P
=
∆(PNP/ PP) =
P0P(1 + rP)
P0NP (rNP - rP)
P0P(1 + rP)
(3.64)
(3.65)
Ada dua deduksi utama dari persamaan (3.65). Pertama, besarnya
perubahan dalam pangsa sektoral tergantung pada: (1) rasio awal (P0NP/P0p), (2) laju
pertumbuhan output pertanian (rp), dan perbedaan dalam laju pertumbuhan output
sektoral (rNP - rP). Dari persamaan (3.62) hingga (3.65), apabila yang lain-lainnya
tetap tidak berubah, ∆(PNP/PP) bisa besar atau kecil. Kedua, tanda (negatif atau
positif) dari perubahan di dalam pangsa sektoral tergantung dari perbedaan rNP - rP.
Jika rNP - rP > 0 menandakan kenaikan di dalam pangsa PDB dari non pertanian;
sedangkan rNP - rP < 0 menandakan suatu penurunan pangsa non pertanian.
Laju penurunan peran sektor pertanian dalam ekonomi cenderung
berasosiasi dengan kombinasi tiga hal, (1) pangsa PDB sektor non pertanian relatif
lebih tinggi daripada pangsa PDB pertanian, (2) laju pertumbuhan output pertanian
yang relatif rendah, dan (3) laju pertumbuhan output non pertanian yang relatif
tinggi (yang membuat suatu perbedaan positif yang besar antara pangsa PDB non
pertanian dengan pangsa PDB pertanian).
3.4.2. Penyerapan Tenaga Kerja
Konsep penyerapan tenaga kerja sektoral dapat didekati dengan teori alokasi
89
tenaga kerja dalam perekonomian. Di negara-negara berkembang umumnya
mengikuti teori ekonomi Neo Klasik, teori ekonomi Keynes dan teori ekonomi
Harris-Todaro (Todaro, 1994; Sipayung, 2000).
Teori alokasi tenaga kerja yang lebih relevan untuk menjelaskan fenomena
pasar tenga kerja di negara berkembangan, termasuk Indonesia adalah teori HarrisTodaro (Model H-T). Asumsi model H-T: (1) pada sektor modern berlaku upah
minimum yang ditentukan secara kelembagaan, (2) pada sektor pertanian berlaku
fleksibilitas upah, dan (3) tenaga kerja yang tidak terserap pada sektor modern dan
tidak bersedia bekerja di sektor pertanian bermigrasi ke sektor informal dengan
pendapatan atau tingkat upah antara sektor pertanian dan sektor modern.
Dalam Model H-T, perekonomian dibagi
atas tiga sektor (sebagai
penyederhanaan) yakni sektor pertanian, sektor modern dan sektor informal.
Sektor pertanian mempunyai fungsi produksi yang ditentukan oleh penggunaan
tenaga kerja dan kapital. Demikian juga sektor modern, produksi sektor modern
tergantung pada penggunaan tenaga kerja dan kapital. Mengikuti Model H-T, maka
ketiga sektor tersebut dicerminkan oleh fungsi:
YA = YA(LA, KA)
(3.66)
YM = YM (LM, KM)
(3.67)
WA =∂YA/∂LA
(3.68)
WA =(LM/(LM+L,))WM
(3.69)
WM = PA/PM(∂YM/∂LM)
(3.70)
L = LA + LM + LI
(3.71)
dimana:
YA
= produksi sektor pertanian,
LA
= tenaga kerja yang terserap pada sektor pertanian,
90
KA
= kapital pada sektor pertanian,
WA
= upah sektor pertanian,
YM
= produksi sektor modern,
LM
= tenaga kerja yang terserap pada sektor modern,
KM
= kapital pada sektor modern,
WM
= upah sektor modern,
LI
= tenaga kerja pada sektor informal,
PA
= harga produk sektor pertanian,
PM
= harga produk sektor modern, dan
L
= total angkatan kerja nasional.
Mengikuti Model H-T, keseimbangan alokasi tenaga kerja antar ketiga
sektor tersebut diperlihatkan pada Gambar 7. Menurut Harris-Todaro, bila upah di
sektor modern sebesar WM2, maka mengikuti kurva H-T, upah sektor pertanian
sebesar WA1. Dengan demikian jumlah tenaga kerja yang terserap pada sektor
pertanian sebesar ALA3; pada sektor modern sebesar MLM sedangkan pada sektor
informal sebesar LA3LM. Tenaga kerja yang masuk ke sektor informal ini
merupakan tenaga kerja yang tidak dapat masuk ke sektor modern dan tidak
bersedia bekerja di sektor pertanian.
Pada Gambar 7, WA3 = WM2 adalah upah keseimbangan Keynes. WA2 =
WM1 adalah upah keseimbangan Neo-Klasik.
Kurva permintaan tenaga kerja
sektor pertanian (DA), kurva permintaan tenaga kerja sektor modern (DM). Kurva
Harris-Todaro untuk sektor informal (H-T) mengikuti persaman LM maka WM =
WA (LM + LA).
91
Upah Sektor Modern
Upah Pertanian
T
WA3
WM2
WA2
WM1
WA1
H
DA
DM
A
LA1
LA2
LA3
LM
M
Sumber: Todaro (1994), Sipayung (2000)
Gambar 7. Alokasi Tenaga Kerja antar Sektor Model Harris-Todaro
Bila sektor modern dan sektor informal disebut sebagai sektor non
pertanian, perubahan jumlah tenaga kerja di sektor non pertanian menurut HarrisTodaro dirumuskan sebagai berikut :
d(LM + LI) = M[LM/( LM + LI)]WM-WA
(3.72)
dimana : M > 0
Persamaan (3.72) menjelaskan bahwa perbedaan upah antara sektor
pertanian dan sektor modern merupakan faktor penarik migrasi tenaga kerja dari
sektor pertanian ke sektor non pertanian. Migrasi tenaga kerja ini menyebabkan
perubahan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, sektor modern dan sektor
informal. Dengan melakukan defrensial total dari kombinasi persamaan (3.68) dan
(3.69), perubahan tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhi dapat dijelaskan
sebagai berikut:
92
(1 + Ea. Sa / (1-Sa)) .LA = KA + Ea / (1-Sa) .L - Ea. (WM + LM)
(3.73)
dimana:
Ea
= elastisitas permintaan tenaga kerja terhadap upah sektor pertanian; Ea > 0,
Sa
= pangsa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dari total angkatan kerja; 0 < Sa < 1,
LA
= pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian,
KA
= pertumbuhan kapital sektor pertanian,
L
= pertumbuhan total angkatan kerja nasional,
WM
= pertumbuhan upah sektor modern, dan
LM
= pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sektor modern.
Persamaan (3.73) menjelaskan bahwa peningkatan kapital di sektor
pertanian dan pertumbuhan total angkatan kerja nasional akan meningkatkan jumlah
tenaga kerja di sektor pertanian. Selain itu, peningkatan kesempatan kerja di
sektor modern akan menurunkan tenaga kerja di sektor pertanian.
3.4.3. Perdagangan Internasional Komoditi Pertanian
Ekspor dan impor komoditi oleh suatu negara disebabkan adanya perbedaan
harga komoditi di pasar domestik dan dunia. Jika harga di pasar domestik lebih
rendah dibandingkan harga dunia akan terjadi ekspor, sebagai kelebihan penawaran
(excess supply), dan jika harga domestik lebih tinggi dibandingkan harga dunia akan
terjadi impor, sebagai kelebihan permintaan (excess demand).
Penawaran ekspor atau permintaan impor komoditi oleh suatu negara
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berpengaruh terhadap permintaan dan
93
penawaran komoditi di pasar domestik dan kebijakan perdagangan masing-masing
negara atau kelompok negara yang mempengaruhi ekspor dan impor komoditi di
pasar dunia (Darmansyah, 2003). Ekspor dan impor dapat dinyatakan dalam
persamaan identitas berikut (Labys, 1973):
Xt = Qt-Dt ± ∆Pt
(3.74)
Mt =Dt-Qt ± ∆Pt
(3.75)
dimana:
Xt
= ekspor pada periode ke-t,
Mt
= impor pada periode ke-t,
Qt
= produksi domestik pada periode ke-t,
Dt
= konsumsi domestik pada periode ke-t, dan
∆Pt
= perubahan stok atau persediaan pada periode ke-t.
Nilai ∆Pt pada persamaan (3.74) menunjukkan besaran perubahan stok dari
negara pengekspor antara periode tahun t dengan tahun t-1, sedangkan nilai ∆Pt
pada persamaan (3.75) menunjukkan besaran perubahan stok dari negara pengimpor
antara periode tahun t dengan tahun t-1. Nilai ∆Pt pada persamaan (3.74) dan (3.75)
dapat bertanda positif atau negatif, dalam hal ini: (1) persamaan (3.74) bertanda
positif berarti produksi komoditi negara tersebut lebih tinggi dari pada tahun
sebelumnya atau surplus setelah kebutuhan konsumsi domestik dan ekspor
terpenuhi, dalam hal ini konsumsi domestik lebih diutamakan sedangkan ekspor
sebagai residu. Jika bertanda negatif berarti negara tersebut melakukan impor,
meskipun volumenya lebih kecil dibandingkan ekspor, dan (2) pada persamaan
(3.75) negara tersebut sebagai pengimpor komoditi, besaran persediaan yang positif
menunjukkan terdapat aktifitas penyimpanan untuk keperluan stabilisasi atau buffer
94
stock, sebaliknya bernilai negatif berarti terdapat aktivitas ekspor, meskipun dalam
volume yang lebih kecil dibandingkan volume impornya.
Adanya penyelundupan komoditi pertanian antar negara dan kegiatan
penimbunan komoditi pertanian oleh pedagang besar atau importir, besaran ∆Pt
didekati stok tercatat dan stok tak tercatat, sehingga persamaan impor (3.75) bisa di
ekspresikan sebagai:
Mt = Dt – Qt – STt-1 - STTt
(3.76)
dimana:
Mt
= jumlah ekspor atau impor komoditi pada periode ke-t,
STt-1
= jumlah stok resmi pemerintah (tercatat) pada periode ke-t-1, dan
STTt
= jumlah stok tak tercatat pada periode ke-t.
Keseimbangan pasar komoditi domestik (market clearing), jika penawaran
sama dengan permintaan:
St = Dt
(3.77)
Penawaran komoditi domestik sebagai penjumlahan produksi, impor dan
stok komoditi seperti pada persamaan (3.76) jika disubstitusikan ke persamaan
(3.77), diperoleh:
St =Qt +Mt +STt-1 + STTt
(3.78)
dimana, St = penawaran komoditi pada periode ke-t
Nilai STTt pada persamaan (3.78) dapat bertanda positif atau negatif, jika STTt
bertanda positif berarti terdapat sejumlah komoditi tak tercatat atau diselundupkan
yang diperdagangkan di pasar domestik, dan sebaliknya jika bertanda negatif berarti
sejumlah tertentu komoditi yang diselundupkan keluar negeri atau ditimbun.
95
Fungsi ekspor, impor dan stok tak tercatat berdasarkan model penyesuaian
Nerlove juga dipengaruhi oleh lag variabelnya. Dengan demikian fungsi ekspor
impor dan stok komoditi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
penawaran dan permintaan komoditi domestik, pasar dunia, lag variabelnya, dan
faktor-faktor yang terkait dengan kebijakan perdagangan komoditi di pasar
domestik maupun dunia (Darmansyah, 2003). Persamaan tersebut dapat dituliskan
sebagai berikut:
Xit = f (PWit, ERI, Qit, Xit-1)
(3.79)
Mit = f (PWit, ERI, Dit, Mit-1)
(3.80)
STit = f (PWit, ERI, IRI, Qit, Dit, STit-1)
(3.81)
dimana:
PWit
= harga dunia komoditi i pada periode ke-t,
ERI
= nilai tukar mata uang domestik terhadap asing (US$), dan
IRI
= nilai suku bunga bank pada periode ke-t.
3.4.4. Kesejahteraan Petani
Kesejahteraan petani, diberbagai literatur diukur dengan Nilai Tukar Petani
(NTP) (terms of tade). Ukuran ini dapat mengetahui kemampuan tukar produk
yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani untuk berproduksi.
Terdapat dua kategori NTP yaitu, domestik dan internasional terms of trade (disebut
net-barter terms of trade) (Siregar, 2004). NTP dalam kategori domestic terms of
trade dapat dirumuskan:
NTP = (It/Ib).100
(3.82)
96
dimana: It : indeks harga yang diterima petani, dan Ib : indeks harga yang dibayar
petani. Apabila NTP > 100 berarti NTP pada periode tertentu lebih baik
dibandingkan dengan NTP pada tahun dasar. Bila NTP=100 kondisinya sama
dengan tahun dasar, dan bila NTP < 100 maka NTP periode tersebut menurun
dibandingkan dengan tahun dasar. Formula untuk menghitung It, Ib dan NTP (BPS,
2004) adalah dengan Indeks Laspeyres yang dikembangkan (Modified Laspeyres
Indeces), yaitu:
m
In =
Pni
∑ P(n − 1) P(n − 1)iQoi
i =1
m
∑ Poi.Qoi
(3.83)
i =1
dimana, In : Indeks harga bulan ke-n (It maupun Ib), Pni : harga bulan ke-n untuk
jenis barang ke-i, P(n-1)i: harga bulan ke-(n-1) untuk jenis barang ke-i, Pni/P(n-1)i:
relatif harga bulan ke-n untuk jenis barang ke-i, Poi : harga pada tahun dasar untuk
jenis barang ke-i, Qoi : kuantitas pada tahun dasar untuk jenis barang ke-i, dan m :
banyaknya jenis barang yang tercakup dalam paket komoditi.
Menurut Siregar (2004) pada perekonomian terbuka pendekatan NTP
(domestic terms of trade) memiliki keterbatasan, dan sebagian besar literatur telah
menggunakan konsep kedua yaitu net-barter terms of trade, yang juga disebut
comodity term of trade (NT) dirumuskan:
NT = (PX/PM) x 100%
(3.84)
dimana, PX adalah indeks harga ekspor yang diterima oleh suatu negara dan PM
adalah indeks harga impor yang dibayar oleh suatu negara. Mengacu pada Siregar
(2004), NT dihitung untuk sektor pertanian.
97
3.5. Kinerja Agroindustri
3.5.1. Nilai Tambah Unit Input dan Output
Tambunan dan Ubaidillah (2004) mengemukakan bahwa sumbangan nilai
tambah dapat digunakan sebagai petunjuk yang baik untuk melihat efek empirik
ekonomi global. Hipotesis kerjanya adalah apabila terjadi kenaikan sumbangan nilai
tambah dalam pertumbuhan ekonomi dapat digunakan sebagai gambaran bagaimana
pasar global secara sistematis atau acak mempengaruhi kinerja suatu sektor di
berbagai sektor ekonomi.
Menurut Wainai (1984), Shimizu and Wainai (1991), dan Direktorat Bina
Produksi (2003) penghitungan nilai tambah dengan direct growth accounting
method yang disebut Produktivity Total Factor (PTF) dianggap yang sesuai dan
terbaik untuk negara yang sedang berkembang yang langka data. Metode ini secara
resmi dipilih dan dipakai oleh Asian Productivity Organization (APO) Tokyo,
untuk perhitungan PTF negara-negara anggotanya.
Jika pertumbuhan sebagai akumulasi nilai tambah dalam perekonomian
(productivity-driven growth) antar waktu maka peningkatan produktivitas (efisiensi)
faktor produksi menjadi penting sebagai pencerminan progres (T). Menggunakan
fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dijelaskan:
Yt = T F(Kt,Lt)
(3.85)
dimana: T progres teknologi. Dalam bentuk linear logaritmik ditulis:
ln Yt = lnTt + αlnKt + βLt
(3.86)
Dengan asumsi skala hasil yang konstan, maka α+β = 1 sehingga α=1-β. Persamaan
(3.86) dapat ditulis:
ln Yt = lnTt + (1-β) lnKt + βLt
98
= lnTt + lnKt + β(Lt - lnKt)
ln Yt - lnKt = lnTt + β(Lt - lnKt)
ln (Yt / lnKt) = lnTt + β(Lt - lnKt)
Yt /Kt = Tt(Lt /Kt) β
(3.87)
Dari persamaan (3.87) dapat diketahui Yt /Kt adalah nilai tambah output sebagai
akibat penggunaan input. Koefisien β dan (1-β) menunjukkan alokator nilai tambah
input (kapital dan tenaga kerja) (Tambunan, 2003a).
3.5.2. Daya Saing Agroindustri
Dalam analisis daya saing, metode yang sering digunakan dalam berbagai
literatur adalah Revealed Comparative Advantage (RCA), Revealed Trade
Advantage (RTA), dan Acceleration Ratio (AR). Untuk mengetahui posisi daya
saing komoditi ekspor agroindustri Indonesia dalam penelitian ini, hanya akan
digunakan indeks RCA. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa komoditi
ekspor agroindustri yang diamati merupakan komoditi unggulan ekspor, nilai
impornya relatif kecil sehingga tidak diamati (Herjanto, 2003 dan Joewono, 2008).
Sementara metode RTA maupun AR memerlukan data, baik ekspor maupun impor
dari suatu komoditi, sehingga tidak sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini.
Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) adalah suatu indeks yang
umum digunakan untuk menunjukkan posisi relatif keunggulan komparatif suatu
produk ekspor terhadap kinerja ekspor menyeluruh. Indeks RCA didefinisikan
sebagai rasio pangsa pasar produk tertentu suatu negara terhadap pangsa pasar
dunia dari produk yang sama (Lall and Rao, 1995) dirumuskan:
(Xa / TX)
RCA = ——————
(XWa/TXW)
(3.88)
99
di mana:
Xa
= nilai ekspor komoditi a suatu negara,
TX
= total ekspor negara yang bersangkutan,
XWa
= ekspor dunia komoditi a, dan
TXW
= total ekspor dunia.
Nilai Indeks RCA di bawah satu menunjukkan relatif disadvantage dalam
mengekspor produk itu, sedangkan di atas satu menunjukkan relatif advantage.
RCA dapat dirinci lagi dalam empat jenis. Emerging Comparative Advantage,
mengindikasikan produk selama kurun waktu tersebut memiliki peningkatan RCA
dari di bawah satu menjadi lebih dari satu. Continuing Comparative Advantage
adalah kelompok produk yang mempertahankan RCA yang tinggi (di atas satu),
artinya pola keunggulan komparatifnya tidak terlalu dinamis. Continuing
Comparative Disadvantage mengindikasikan produk yang memiliki RCA di bawah
satu. Declining Comparative Advantage menunjukkan produk yang RCA-nya dari
atas satu turun menjadi di bawah satu. Negara dengan RCA komoditi low skill
exports lebih tinggi daripada high skill exports, dimana RCA high skill exports lebih
kecil dari satu menunjukkan bahwa negara tersebut tidak memiliki keunggulan
relatif dalam mengekspor produk yang skill intensif.
3.6. Analisis Deret Waktu
3.6.1. Metode Vector Autoregresive dan Vector Error Correction Model
Metode VAR merupakan salah satu bentuk model makro-ekonometrika
yang sering digunakan untuk melihat permasalahan makroekonomi yang fluktuatif.
100
Model terakhir yang telah banyak dikembangkan adalah model VAR dan Structural
Vector Autoregresive (SVAR). Pendekatan ini mampu mengatasi kritik Lucas yang
ditujukan pada analisis kebijakan untuk model makroekonomi dinamik dan
stokastik.
Kritik Lucas adalah, pada model makro ekonomi tradisional menganggap
model yang diestimasi pada keadaan tertentu dapat digunakan untuk peramalan
pada kondisi rezim kebijakan yang berbeda (Thomas, 1997; Verbeek, 2000). Hal ini
menunjukkan bahwa parameter yang diestimasi tidak berubah pada kebijakan
dimanapun perekonomian berada sehingga model ekonomi secara logik menjadi
tidak valid dan menghasilkan kesimpulan yang spurious. Dilain pihak VAR tidak
hanya menghasilkan rekomendasi berdasarkan keluaran modelnya dalam merespon
adanya suatu guncangan dalam perekonomi tetapi membiarkan hal ini bekerja
melalui model teoretik dan dapat melihat respon jangka panjang berdasarkan data
historisnya (Irawan, 2005).
Vector Autoregresive (VAR) adalah sistem persamaan yang memperlihatkan
setiap variabel sebagai fungsi linear dari konstanta, nilai lag (lampau) dari variabel
tersebut dan nilai lag dari variabel lain yang ada dalam sistem. Dalam sistem VAR
hanya terdapat variabel endogen. Hal ini mengakomodasi kritik Sims, dimana
adanya variabel eksogen dalam suatu model menunjukkan kebijakan yang tidak lagi
forward looking. Sebab, pembuat kebijakan dapat membuat keputusan rasional
berdasarkan pengalaman sebelumnya dan keputusan yang diambil akan berbeda
untuk setiap rezim yang berbeda. VAR membutuhkan identifikasi restriksi yang
sangat ketat untuk mencapai persamaan melalui interpretasi persamaan. Restriksi-
101
restriski persamaan dilakukan dalam struktural VAR apabila diperlukan dan
didasarkan pada teori ekonomi yang relevan.
Dalam kasus dua variabel, misalkan suatu seri {yt} dipengaruhi oleh
realisasinya pada saat ini dan masa yang lalu (lag) dari seri {yt}, dan {zt}
dipengaruhi oleh realisasi saat ini dan yang lalu dari seri {zt}. Hubungan tersebut
diilustrasikan dalam sistem bivarian sederhana, yang disebut struktural-VAR (SVAR) atau sistem primitif sebagai berikut (Enders, 2004):
yt = b10 – b12zt +γ11 yt-i + γ12 zt-i + εyt
(3.89)
zt = b20 – b21zt + γ21 yt-i + γ22 zt-i + εzt
(3.90)
Diasumsikan bahwa: (1) yt dan zt, stasioner, (2) εyt dan εzt adalah white noise
disturbance dengan standar deviasi σy dan σz, (3) {εyt} dan { εzt } white noise
disturbance yang tidak berkorelasi. Persamaan (3.89) dan (3.90) adalah VAR
tingkat satu, karena lag terpanjangnya adalah satu.
Struktur dari sistem ini memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik
antara yt dan zt. Misalkan –b12 adalah dampak sementara (contemporaneus effect)
dari perubahan satu unit zt terhadap yt , dan γ21 adalah perubahan satu unit yt-1
terhadap zt. Faktor εyt dan εzt murni merupakan inovasi (shock) pada yt , dan zt.
Dengan menggunakan aljabar matrik, sistem persamaan (3.89) dan (3.90)
dapat dituliskan sebagai berikut:
⎡
⎢1
⎢
⎢⎣b21
b ⎤⎥ ⎡⎢ y ⎤⎥ = ⎡b
⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎢
1 ⎥⎦ ⎣ z ⎦ ⎣b
12
t
t
⎤ ⎡γ 11
⎥+⎢
⎥ ⎢⎢γ 21
20 ⎦
⎣
10
γ
γ
⎤⎡
⎤⎡ ⎤
⎥ ⎢ y t −1⎥ ⎢ε yt ⎥
⎥⎢
⎥⎢ ⎥
⎥ ⎣ z t −1 ⎦ ⎣ε zt ⎦
22 ⎦
12
Bxt = Г0 + Г1xt-1 + εt
dimana:
B
⎡1
=⎢
⎢
⎢⎣b21
b ⎤⎥
⎥
1 ⎥⎦ ,
12
⎡γ
⎡b10 ⎤
11
=
Γ0 = ⎢⎢ ⎥⎥ , Γ1 ⎢⎢⎢γ 21
⎣
⎣b 20 ⎦
(3.91)
(3.92)
⎡ε yt ⎤
⎡y ⎤
γ ⎤⎥
t⎥
=⎢ ⎥
⎢
=
ε
t
x
⎢⎣ε zt ⎦⎥ .
γ ⎥⎥⎦ , 1 ⎢⎣ z t ⎥⎦ , dan
12
22
102
Dengan menggunakan pengali B-1 persamaan (3.92) diubah menjadi model VAR
sebagai berikut:
xt = A0 + A1xt-1 + et
(3.93)
dimana: A0 = B-1Г0 , A1 = B-1Г1 , dan et = B-1 εt .
Jika notasi a10 didefisikan sebagai elemen i dari vektor A0, aij sebagai elemen pada
baris i dan kolom j dari matriks A1 , dan eit sebagai elemen i dari vektor et. Dengan
menggunakan notasi baru ini, persamaan (3.93) disebut VAR bentuk standar,
sehingga:
yt = a10 + a11yt-1 + a12zt-1 + e1t
(3.94)
zt = a20 + a21yt-1 + a22zt-1 + e2t
(3.95)
Error terms (e 1t dan e2t) adalah gabungan dari dua shock εyt dan εzt yang dihitung
sebagai berikut:
e1t = (εyt +b12 εzt)/(1- b12b21)
(3.96)
e2t = (εzt – b21 εyt)/(1- b12b21)
(3.97)
VAR dengan ordo p dan n buah variabel tak bebas pada waktu ke-t dapat
dimodelkan sebagai berikut (Thomas, 1997):
yt = ao + a1yt-1 +a2yt-2 ......+ apyt-p + εt
dimana:
yt
= vektor variabel tak bebas (y1-t, y2-t, yn-t),
ao
= vektor intersep berukuran n x 1,
a1
= matrik parameter berukuran n x 1, dan
εt
= vektor sisaan (εt1-t, εt2-t, εtn-t) berukuran n x 1.
(3.98)
103
Pendekatan untuk mengatasi persamaan regresi yang spurious adalah
dengan menarik diferensiasi atas variabel endogen dan eksogennya, sehingga
diperoleh variabel yang stasioner dengan pendiferensialan I(n). Kestasioneran data
melalui pendiferensialan ternyata belum cukup, hal ini mengindikasikan model
VAR biasa tidak dapat digunakan secara langsung karena mempertimbangkan
tercakup ada tidaknya informasi jangka panjang dan jangka pendek dalam model.
Ada dua pilihan yang dapat dilakukan yaitu, model VAR dengan pendiferensialan
untuk data yang tidak terkointegrasi. Jika pilihan ini dilakukan, maka informasi
jangka panjang hilang karena hanya menerangkan hubungan jangka pendek.
Hubungan antara variabel in level menjadi hilang karena berdasarkan parameter
yang tidak terkointegrasi. Pendekatan alternatif untuk mengatasi hal ini adalah
pilihan kedua yaitu Error Correction Model (ECM) jika persamaan tunggal atau
Vector Error Correction Model (VECM) jika persamaan non tunggal.
Derivasi vector error correction (VEC) didasarkan pada teorema Johansen.
Misalkan {Z} adalah tingkat derajat VAR ke-p dan Zt ={Y:X), dimana Y adalah
vektor variabel endogen dan X adalah vektor variabel eksogen; dapat dinyatakan
sebagai berikut:
p
Z t = ∑ ΠiZ
dimana:
i =1
t −1 +
Ψ yW t + a 0 + ε
t
Π = matrik keseimbangan jangka pendek,
Ψ = matrik keseimbagan jangka panjang,
Wt = vektor variabel-variabel stationer,
α0 = vektor intersep, dan
εt = vektor gaussian error term (white noice).
(3.99)
104
Satu vektor time series Zt dalam first difference (∆Zt), mempunyai representasi
error correction jika ia diekspresikan sebagai berikut:
ΔZ
t
=
p −1
∑ Γ ΔZ
i
i =1
t −1
+
Π Z
Ψ W
+
a
⎡Π ⎤
= ⎢ y ⎥ , dan
⎢⎣0 ⎥⎦
Γ
t− p
+
y
t
0
+ε
(3.100)
t
dimana:
Γ = − Ι + ∏ + ... + Π , (i = 1,2,…, p-1)
i
Π
1
i
= −(Ι − Π1 − ... − Π p ) = α β
⎡ε yt ⎤
ε t = ⎢⎢ ⎥⎥ ,
⎣ε xt ⎦
⎡a y 0 ⎤
a0 = ⎢⎢ ⎥⎥ ,
⎣a x 0 ⎦
'
Π
i
⎡Γ yi ⎤
=⎢ ⎥
⎢⎣Γ xi ⎦⎥
.
Ada dua cara untuk mengestimasi persamaan regresi (3.100). Pertama, Johansen
memberikan prosedur unified maximum likelihood yang mana α dan β diperoleh
dari dekomposisi matrik П. Kedua, Engle and Granger (1987) mengajukan dua
langkah estimasi menggunakan regresi kointegrasi sehingga β'Zt-1, residual estimasi
(estimated residual) di masukkan (be imposed) pada persamaan regresi di atas.
3.6.2. Kointegrasi
Kointegrasi adalah hubungan jangka panjang antara dua atau lebih variabel
(k) yang secara individu non-stasioner, namun deviasi dari variabel secara
keseluruhan bersifat stasioner. Bentuk umum dari persamaan kointegrasi:
k −1
'
Δxt = ∑ Γi Δxt −i + μ 0 + μ1 t + αβ xt −1 + et
i =1
dimana:
∆xt = vektor time series x (xt – xt-1),
k-1 = Ordo VECM dari VAR,
Гi
= matrik koefisien regresi,
μo
= vektor intersep,
μ1
= vektor koefisien regresi,
(3.101)
105
α
= matrik loading,
β’ = vektor kointegrasi,
et
= error term,
xt
= variabel in level, dan
t
= waktu.
Pengujian pada model VEC dilakukan melalui prosedur dua tahap dengan
menggunakan pendekatan Engel-Granger, yang meliputi: (1) pembentukan residual
dari persamaan jangka panjang pada variabel-variabel non-stasioner, (2) uji
stasionaritas dari residual. Apabila hasil pengujian menunjukkan bahwa residual
bersifat stasioner, dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel yang diuji
berkointegrasi. Pengujian kointegrasi dimaksudkan untuk menentukan jumlah
hubungan kointegrasi dalam sistem, melalui dua tes statistik sebagai berikut
(Enders, 2004):
k
λ trace = −T ∑ ln(1 − λ )
(3.102)
λ max = −T ln(1 − λ
(3.103)
i = r +1
i
)
r +1
dimana:
λ = nilai estimasi dari akar karakteristik (eigenvalue),
T = jumlah observasi.
3.6.3. Restriksi Jangka Panjang pada Sistem Kointegrasi
Restriksi dilakukan untuk identifikasi dan mengakomodasi teori ekonomi ke
dalam model. Langkah untuk mewujudkan variabel stasioner dengan didiferensiasi
satu kali untuk menjadi stasioner. Konsekuensi dari langkah ini adalah hilangnya
keterpengaruhan jangka panjang, sehingga kointegrasi menjadi isue penting. Pada
106
vektor (nx1) dari variabel yt dengan I(d) given, dikatakan variabel terkointegrasi
dengan ordo (d-1) dan rank r<n. Jika peringkat penuh (full rank), maka (nxr)β
disebut matrik kointegrasi, yaitu zt = β’y, adalah I(d-1). Hubungan itu terdapat r
kombinasi linear dari elemen yt, yang nenunjukkan variabel dengan ordo integrasi
yang lebih rendah. Kombinasi linear menunjukkan adanya keseimbangan jangka
panjang antara variabel non-stasioner.
Jika terdapat hubungan jangka panjang dalam matrik kointegrasi variabel,
restriksi jangka panjang pada θ(1) dapat diterapkan. Pada identifikasi sistem
segitiga, secara teoretis bukan merupakan sistem struktural. Penilaian teoretik yang
relevan menyatakan bahwa restriksi ini akan menghasilkan estimasi (Dhrymes and
Thomakos, 1997 dalam Supriana, 2003).
Penerapan restriksi jangka panjang dalam matrik kointegrasi dalam sistem
reduced form Var (k) mengandung komponen deterministik:
k
yt = ∑ ∏i yt +μ0 + μ1t + Ψdt + θwt + et
i =1
(3.104)
dimana μ0 merupakan vektor intersep, t trend linear, dt vektor variabel dummy
musiman, wt vektor variabel dummy intervensi, dan e,~(0,∑).
Persamaan (3.104) disebut juga Vector Error Correction (VEC) atau
cointegrated VAR, bisa dinyatakan:
k −1
∆yt = ∑ Γi ∆yt-1+μ0 + μ1t +Ψdt + θwt +αβ’yt-1 +et
(3.105)
i =1
dimana, α adalah matrik loading, αβ’ ≡ Π dimana sistem dalam kondisi yt ~I(1) dan
βyt = zt ~I(0). Parameter Γi dan Π diperoleh dari Πi dalam (3.104) dengan relasi :
k
Γi = - ∑ ∏ i m
m = i +1
untuk i=1,...,k-1
k
Π = -In + ∑ ∏i
i =1
Dengan asumsi, akar persamaan determinan dari:
(3.106)
(3.107)
107
k −1
⎛
⎞
⎜ I n − ∑ Γi Li ⎟(1 − L ) − Π L = 0
i =1
⎠
⎝
sehingga yt stasioner jika rank (Π) = n, terkointegrasi jika rank (Π)<n dan jika rank
(Π)≤n. Ordo integrasi yt tergantung pada :
k −1
k
i =1
i =2
S = rank(α┴Γβ┴), dan Γ = -In + ∑ Γi= -In - ∑ (i-1)Πi
dimana, α┴ dan β┴, merupakan matrik nx(n-r), orthogonal terhadap α dan β. Kondisi
yt mencapai I(1), jika s=n-r, dan yt akan I(d) pada d≥2 jika terjadi s<n-r. Kondisi
r<n, artinya terdapat kointegrasi, intersep akan meningkat ke arah trend linear
dalam komponen I(1) dari sistem VEC, kecuali jika intersep terestriksi tetap pada
Sp(α), yaitu ketika :
μ0 = αb0
(3.108)
dimana, b0 adalah vektor dengan dimensi r. Trend linear tidak akan meningkat
menjadi trend kuadratik jika direstriksi oleh Sp(α ), yaitu ketika:
μ1 = αb1
(3.109)
dimana, b1 adalah vektor dengan dimensi r. Kombinasi komponen deterministik ini
dan implikasinya dijelaskan pada Tabel 11.
Untuk menyatukan komponen deterministik atau disebut juga trend polynomial dan
rank kointegrasi seperti yang disarankan oleh Johansen (1988), dapat diuji dengan
menggunakan uji statistik Trace :
rmax
Qr = -T ∑ log(1- λ̂ j ) untuk r=0,..., rmax-1
i = r +1
(3.110)
dimana, λi adalah eigen value terbesar ke-i. Uji statistik, Ho: rank(Π)=r, dan Ha:
rank(Π)=n.
Hi(r) sebagai rank kointegrasi r pada model ke-i dan ci(r) adalah a%
108
sebagai kuantil dari distribusi asimptot (asymptotetic distribution) dari statistik
Trace Q,(r).
Tabel 11. Komponen Deterministik VEC dalam Sistem Variabel VARI(1)
μ0
0
μ1
0
Uraian
Mean = 0 dalam komponen I(0),
Mean ≠ 0 dalam komponen I(1)
αβ0
0
Mean ≠ 0 dalam komponen I(0) dan I(1)
Tidak direstriksi
0
Mean ≠ 0 dalam komponen I(0),
Trend linear dalam komponen I(1)
Tidak direstriksi
αβ1
Trend linear dalam komponen I(0) dan I(1)
Tidak direstriksi Tidak direstriksi Trend linear dalam komponen I(0),
Trend kuadratik dalam komponen I(1)
Sumber: Siregar (2001)
Siregar (2002) menggunakan metode lain (hanya intersep dan trend yang
digunakan sebagai komponen deterministik) sebagai berikut:
∆yt = Γi ∆yt-1+α
⎛β ⎞
⎜ 1⎟~
⎜ μ0 ⎟ y
⎜ 1 ⎟ t −1
⎝ μ1 ⎠
+ α┴μ0* + α┴μ1* t +et
(3.111)
dimana, μ0 = α┴μ01 + α┴μ02, μ1 = α┴μ11 + α┴μ12, dan yt-1’=( yt-1’, 1, t)
μ0* = (α’┴ α┴)-1 α’┴μ0 merupakan vektor berdimensi (n-r), slope trend linear dalam
data. Sedangkan μ0* = (α’┴ α┴)-1 α’┴ μ1 vektor berdimensi (n-r), koefisien trend
kuadratik dalam data. Distribusi yang bersifat asimptot dalam uji Likelihood-Ratio
untuk r seperti pada (3.109) tergantung pada intervensi variabel dummy yang ada
dalam sistem.
3.7. Kerangka Pemikiran Penelitian
Deduksi dari uraian tinjauan pustaka dan kerangka teori adalah kerangka
pemikiran untuk mencapai tujuan penelitian berdasarkan variabel terpilih. Bagan
alur pemikiran dalam diagram keterkaitan, disajikan pada Gambar 8.
109
KEBIJAKAN FISKAL
Penerimaan
Pengeluaran
Desen
tralisasi
Fiskal
Infra
stuktur
Surplus
R&DA
Pertani
an
Utang
PPn
PPh
Seimbang
Subsidi
Defisit
PERUBAHAN KEBIJAKAN FISKAL SANGAT DINAMIS PERIODE 1970-2005
Keseimbangan
Internal
GDP
A
Sera pan
TK
Ekspor
Impor
Kesejah
teraan
Petani
KINERJA SEKTOR PERTANIAN
Keseimbangan
Eksternal
Investasi
Konsumsi
KINERJA AGROINDUSTRI
Nilai Tambah
Input
Keterangan:
Nilai Tambah
Output
Daya Saing
= variabel yang diteliti,
= aspek penelitian,
= hubungan penjelas dan keterkaitan,
= keterkaitan timbal balik antara aspek penelitian, dan
= lingkungan yang mempengaruhi variabel.
Gambar 8. Kerangka Alur Pemikiran Penelitian Berdasar Variabel Terpilih
110
a. Relasi Fakta dan Teori
Secara teori (keynesian), kebijakan fiskal mempunyai transmisi lebih cepat
mempengaruhi sektor riil termasuk kinerja pertanian dan agroindustri. Faktanya
bahwa: (1) selama termin waktu tahun 1970 sampai dengan 2005 telah terjadi
mainstream kebijakan fiskal yang dinamis lebih-lebih dipicu oleh pergantian regim
pemerintahan yang telah berlangsung dengan pergantain Presiden sebanyak 5 (lima)
kali. Dinamika fiskal selama periode tersebut menurut Hill
(2000) meliputi:
periode sustainable growth (1971-1981), periode penyesuaian harga minyak bumi
(1982-1986), periode liberalisasi dan pemulihan (1987-1997), periode krisis
ekonomi (1991-1999), dan periode pemulihan krisis dan kepercayaan (2000-2005).
Dari aspek kinerja pertanian menurut Fuglie, (2004) meliputi periode sustained
rapid growth dan green revolution (1968-92) dengan pertumbuhan rata-rata tahunan
4%, dan periode intensive shocks especialy macroeconomic shocks (1993-2005)
dengan pertumbuhan rata-rata output tahunan hanya 1%.
Keseimbangan ekonomi model Mundell-Fleming (MF) dihasilkan dari
perekonomian domestik dan dari luar negeri. Identitas keseimbangan tersebut
dijelaskan dengan memasukkan komponen eksternal (net ekspor) untuk mengetahui
hubungan dengan lingkungan rest of the world (ROW). Fiskal (G) bersama-sama
dengan investasi (I), konsumsi (C) dan net ekspor (NX) mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi (Y) disamping pengaruh dari perekonomian domestik
lainnya dan perekonomian rest of the world (ROW). Secara sektoral, akumulasi
relasi fiskal, investasi, konsumsi, dan net ekspor diperkirakan memunculkan kondisi
kinerja sektor pertanian telah menurun tidak wajar, dan agroindustri tidak
berkembang.
111
b. Kebijakan Fiskal, Investasi, dan Konsumsi
Dari tinjauan pustaka (bagian 2.7.4) dan kerangka teori, determinan fiskal
yang paling dominan mempengaruhi indikator kinerja utama sektoral pertanian
dalam kasus Indonesia adalah: penerimaan pemerintah ((1) pajak PPh, (2) pajak
PPn, (3) utang pemerintah); pengeluaran pemerintah ((4) sektor pertanian, (5)
subsidi pertanian, (6) penelitian pengembangan sektor pertanian, (7) infrastruktur
pertanian); keseimbangan fiskal ((8) defisit anggaran); dan (9) desentralisasi fiskal.
Investasi dan konsumsi adalah komplemen yang diperhitungkan untuk menghindari
undervalue atas pengaruh fiskal. Pengaruh kebijakan fiskal yang diekspresikan oleh
instrumen kebijakan tersebut menggunakan kerangka kerja Keynesian dengan
asumsi perekonomian Indonesia sebagai negara kecil terbuka (small open-economy
country) dan digunakan kerangka model ekonomi Mundell-Fleming sehingga
memperhatikan lingkungan keseimbangan internal dan eksternal.
c. Kinerja Sektor Pertanian
Pada penelitian ini pengukuran
kinerja sektor petanian merupakan
pengembangan penelitian sebelumnya dalam hubungan dengan kebijakan fiskal
meliputi variabel yang lebih luas yaitu: (1) pertumbuhaan output, (2) penyerapan
tenaga kerja, perdagangan ((3) ekspor, dan (4) impor), (5) kesejahteraan petani
(dinyatakan dalam net-barter terms of trade).
d. Kinerja Agroindustri
Kebanyakan penelitian agroindustri hanya meliputi aktivitas suatu komoditi
tertentu. Dalam penelitian ini kinerja agroindustri dianalisis dalam cakupan agregat
dengan melakukan pengukuran kinerja yaitu: (1) nilai tambah input, (2) nilai
tambah output, dan (3) daya saing.
Download