tinjauan pustaka - Universitas Sumatera Utara

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Lemeduk (Barbodes schwanenfeldii )
Ikan Lemeduk merupakan nama lain dari ikan Lampam. Nama sinonim ikan
Lampam yaitu Barbonymus schwanefeldi, Barbus pentazona schwanefeldi, Barbodes
schwanefeldi, Barbus schwanefeldi, Systomus schwanefeldi, Puntius schwanefeldi,
Barbodes schwanefeldii. Nama umum ikan lampam yaitu tinfoil barb dan nama
lokalnya sering disebut ikan lampam, lempam, lempem, kepiat, sala, tenadak merah
dan kapiek (Setiawan, 2007).
Ikan Kapiek adalah salah satu spesies ikan air tawar penghuni daerah tropis.
Ikan ini hidup di perairan sungai, danau, atau rawa dan ditemukan di Negara-negara
Indonesia. Ikan kapiek di Indonesia ditemukan di sumatera dan Kalimantan barat.
Berdasarkan evolusinya, ikan kapiek digolongkan pada ikan air tawar utama (primary
freshwater fishes) yaitu golongan ikan air tawar yang telah menghuni perairan
tersebut sejak awal pertama ikan telestoi muncul di perairan ini (Siregar, 1989).
Barbodes schwanenfeldii atau yang baru saja dikenal sebagai Barbonymus
schwanenfeldii adalah dikenal sebagai lampam sungai di Peninsular Malaysia dan
tengadak di daerah Sarawak. Dari segi morfologi ikan ini sangat mirip dengan
Puntius gonionotus atau biasa dikenal dengan ikan Tawes. Ikan ini tersebar di daerah
Sungai dan danau sekitar Semenanjung Malaysia terutama dalam Pahang, Perak,
Kelantan dan Terengganu dan Selangor (Rahim dkk., 2009).
Ikan tengadak atau ikan lampam (Barbonymus schwanenfeldii) merupakan
ikan air tawar yang memiliki wilayah penyebaran di Kalimantan, Sumatera, Sungai
Mekong, Chao Phraya, Peninsula (Pahang, Perak, Kelantan, Terengganu, Selangor),
Universitas Sumatera Utara
dan Sarawak Malaysia. Keberadaan ikan tengadak sudah mulai berkurang akibat
tingginya tingkat penangkapan di alam dan tingginya tingkat pencemaran di habitat
aslinya (Alavi dkk., 2009 diacu oleh Hapsari, 2013 ).
Adapun Klasifikasi ikan tersebut adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Actinopterygi
Ordo
: Ostariophysi
Family
: Cyprinidae
Genus
: Barbodes
Spesies
: Barbodes schwanenfeldii
Gambar 2. Ikan Lemeduk (Barbodes schwanenfeldii)
Ikan kapiek merupakan ikan yang hidup di sungai dan danau. Pada musim
banjir ikan ini masuk ke rawa-rawa dan tempat-tempat yang baru tergenang. Ikan ini
sering tertangkap di tempat-tempat yang digunakan untuk keperluan rumah tangga
dan pada malam hari berada di daerah pinggir dan tempat bervegetasi. Distribusi ikan
kapiek terdapat diperairan Indonesia yaitu di Riau, Padang, Palembang, lampung,
Sungai Kapuas, Sungai Mahakam, Pontianak, dan Samarinda. Sumber lain
Universitas Sumatera Utara
mengatakan bahwa ikan lampam tersebar di wilayah Asia seperti Sungai Mekong,
Chao Praya, Semenanjung Malaysia, Sumatera dan Kalimantan (Setiawan, 2007).
Genus Puntius termasuk sub famili Cyprininae dari famili Cyprinidae dengan
ciri khas mempunyai dua pasang sungut (Nelson, 1994). Menurut Kottelat, Whitten,
Kartikasari dan Wirjoatmodjo (1993) Puntius mempunyai karakteristik pada sisik
yang mempunyai proyeksi dari pusat ke pinggir terlihat seperti jari-jari pada roda,
jari-jari yang ke arah samping tidak melengkung ke belakang dan tidak terdapat
tonjolan keras (Vitri dkk., 2012).
Ikan ini memiliki ciri bentuk tubuh pipih dan berwarna putih keperak-perakan
atau kuning keemasan, sirip punggung berwarna merah keperak-perakan, sirip
punggung berwarna merah dengan bercak hitam pada ujungnya, sirip dada sirip perut
dan sirip dubur berwarna merah, sirip ekor berwarna orange atau merah dengan
pinggiran garis hitam dan putih sepanjang sirip ekor (Setiawan, 2007).
B. schwanenfeldii adalah ikan air tawar yang terdapat di danau dan sungai
pada kisaran pH antara 6,5 dan 7.0, di daerah tropis pada suhu 20,4-33,7º C.
Ukuran rata-rata adalah antara 10 cm dan 25 cm dan berat sekitar 200-600 g. Ikan ini
dapat mencapai ukuran maksimal dengan panjang 30 cm dan bobot lebih dari 1,0 kg.
Ikan ini merupakan ikan yang berkembang biak dengan cepat, dua kali dalam 15
bulan. Menurut Steven dkk., ( 1999), betina memiliki indung telur matang sesekali
sedangkan jantan dari semua ukuran memiliki testis matang sepanjang tahun. Induk
betina biasanya menumpahkan telur mereka di hulu sungai (Isa dkk., 2012).
Di daerah Riau, ikan kapiek (Barbodes schwanenfeldii) merupakan salah satu
ikan hasil utama sungai Kampar dan pada perairan umum lain di sekitarnya. Ikan
kapiek tertangkap dengan alat tangkap seperti rawai, jala, jaring insang dan pancing.
Universitas Sumatera Utara
Penangkapan ikan dilakukan sepanjang tahun. Puncak penangkapannya adalah pada
musim kemarau yaitu pada saat permukaan air sungai mencapai titik yang paling
rendah. Pada waktu tersebut kadang-kadang penangkapan dilakukan beramai-ramai
dengan menggunakan jaring atau alat penangkap yang terbuat dari daun kelapa.
Dengan jaring atau alat tersebut terdahulu, gerombolan ikan digiring ke bagian
pinggir sungai yang berkerikil atau berpasir beramai-ramai
(Siregar, 1989).
Morfometrik
Karakterisasi populasi bisa dilakukan dengan berbagai metode, salah satunya
menggunakan analisis morfometrik (Tschibwabwa, 1997; Sudarto, 2003; Gustiano,
2003). Morfometrik adalah perbandingan ukuran relatif bagian-bagian tubuh ikan
yang
mencerminkan
perbedaan
morfologi
antar
individu
dan
data
dihasilkan adalah data yang tidak terpisah atau continous data (Manly, 1989
yang
diacu
oleh Muflikah dan Arif, 2009).
Karakter morfologi (morfometrik dan meristik) telah lama digunakan dalam
biologi perikanan untuk mengukur jarak dan hubungan kekerabatan dalam
pengkategorian variasi dalam taksonomi. Hal ini juga banyak membantu dalam
menyediakan informasi untuk pendugaan stok ikan. Meskipun demikian pembatas
utama dari karakter morfologi dalam tingkat intra species (ras) adalah variasi fenotip
yang tidak selalu tepat dibawah kontrol genetik tapi dipengaruhi oleh perubahan
lingkungan. Pembentukan fenotip dari ikan memungkinkan ikan dalam merespon
secara adaptif perubahan dari lingkungan melalui modifikasi fisiologi dan kebiasaan.
Lingkungan mempengaruhi variasi fenotip, walau bagaimanapun karakter morfologi
Universitas Sumatera Utara
telah
dapat
memberikan
manfaat
dalam
identifikasi
stok dalam suatu populasi yang besar (Turan, 1998 diacu oleh Akbar, 2008).
Evaluasi berbagai karakteristik ikan merupakan bagian penting dari setiap
studi aspek biologi yang bertujuan untuk perbaikan genetik dari stok ikan. Variasi
fenotipe antara strain dan korelasi antara studi karakteristik, baik di alam maupun di
dalam ruangan memiliki pertumbuhan tertentu berupa karakteristik yang paling
menonjol, yang dapat digunakan sebagai indikator untuk meningkatkan Reproduksi
dalam budidaya (Akhter dkk., 2003).
Morfometrik merupakan salah satu cara untuk mendeskripsikan jenis ikan dan
menentukan unit stok pada suatu perairan dengan berdasarkan atas perbedaan
morfologi spesies yang diamati. Pengukuran morfometrik dapat dilakukan antara lain
panjang standar, moncong atau bibir, sirip punggung, atau tinggi batang ekor
(Rahmat, 2011).
Studi
morfometrik
secara
kuantitatif
memiliki
tiga
manfaat
yaitu
membedakan jenis kelamin dan spesies, mendeskripsikan pola-pola keragaman
morfologis antar spesies, dan mengklasifikasikan serta menduga hubungan filogenik.
Perbedaan morfologis antar populasi atau spesies biasanya digambarkan sebagai
kontras dalam bentuk tubuh secara keseluruhan atau ciri-ciri anatomi tertentu. Hal
yang sama dapat dilakukan pada ciri-ciri meristik. Terdapat perbedaan yang
mendasar antara ciri morfometrik dan meristik, yaitu ciri meristik memiliki jumlah
yang lebih stabil selama masa pertumbuhan, sedangkan ciri morfometrik berubah
secara kontinu sejalan dengan ukuran dan umur (Strauss and Bond 1990 diacu oleh
Rachmawati, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Karakter morfometrik dapat membantu dalam menyediakan informasi untuk
pendugaan stok sebaran populasi dalam habitat atau lingkungan perairan tempat
hidupnya. Hasil dari kajian morfometrik dapat digunakan sebagai salah satu
perangkat manajemen sumberdaya biota di alam, menjadikan kajian morfometrik ini
cukup banyak dipelajari oleh para ahli perikanan (Anggraini 1991diacu oleh
Muzammil, 2010).
Ciri morfometrik pada ikan merupakan beberapa ukuran baku, antara lain
panjang. Tinggi dan lebar badan. Tiap spesies ikan mempunyai ukuran mutlak yang
berbeda-beda yang disebabkan oleh umur, jenis kelamin dan lingkungan hidupnya.
Faktor lingkungan yang dimaksud antara lain makanan, suhu, pH dan salinitas.
Ukuran tiap individu ikan berbeda sehingga ukuran ikan mutlak tidak dapat
digunakan sebagai patokan dalam perbandingan
(Affandi dkk.,
1992 diacu oleh Surawijaya, 2004).
Menurut Kusrini dkk., (2008) Pengukuran secara morfometrik merupakan
suatu teknik yang lebih baik untuk membedakan bentuk tubuh pada populasi.
Pengukuran keragaman genetik berdasarkan karakter fenotipe dengan metode
morfometrik lebih mudah dilakukan dengan biaya yang jauh lebih murah
dibandingkan dengan pengukuran berdasarkan karakter genotipenya. Morfometrik
dapat dilakukan dengan tujuan antara lain untuk membedakan strain/spesies/populasi
menentukan jarak genetik dan mencari indikator morfologi untuk tujuan seleksi.
Perbedaan morfologi antar populasi atau spesies digambarkan sebagai kontras
dalam bentuk tubuh secara keseluruhan atau dengan anatomis tertentu. Jika suatu
spesies mempunyai bentuk tubuh lebih sempit dan lebih dalam daripada spesies
lainnya atau memiliki mata yang relative besar ukurannya merupakan deskripsi
Universitas Sumatera Utara
kualitatif. Deskripsi kualitatif dianggap belum memadai, sehingga seringkali
diperlukan ekpresi kuantitatif dengan mengambil ukuran dari individu. Manfaat dari
studi morfometri secara kuantitatif yaitu dapat membedakan individu antar jenis
kelamin atau spesiesnya, menggambarkan pola-pola keragaman morfometrik antar
populasi maupun spesies (Suci, 2007).
Yuliana dkk., (2013) menyatakan bahwa morfometri untuk setiap individu
sering menunjukkan hasil pengukuran
yang berbeda-beda, beberapa hal yang
mempengaruhinya adalah umur, jenis kelamin, makanan yang cukup, persentase
unsur kimia dalam perairan dan keadaan lingkungan hidupnya.
Pengukuran karakter morfometrik perlu diperhatikan, agar tidak terjadi
kesalahan. Hal tersebut penting karena karakter morfometrik salah satu cara
identifikasi. Cara pengukuran yang dipakai harus mengikuti kaidah yang berlaku,
contoh: untuk mengukur panjang standar diukur dari bagian terdepan moncong atau
bibir atas sampai pangkal sirip ekor. Pangkal sirip ekor dapat diketahui dengan cara
menekukkan sirip ekornya (Nurdawati dkk., 2007).
Genus Barbodes mempunyai ciri morfologi mulut kecil, terminal/ sub
terminal, celahnya tidak memanjang melebihi garis vertical yang melalui pinggiran
depan mata, mempunyai bibir halus berpapila atau tidak tetapi tanpa lipatan, bibir
bagian atas terpisah dari moncongnya oleh satu lekukan yang jelas, pangkal bibir atas
tertutup oleh lipatan kulit moncong, pada ujung rahang bawah tidak ada ada tonjolan.
Bagian perut di depan sirip perut datar atau membulat tidak memipih membentuk
geligir tajam, jika terdapat geligir hanya di bagian belakang sirip perut (Surawijaya,
2004).
Universitas Sumatera Utara
Meristik
Ciri-ciri meristik adalah jumlah bagian-bagian tubuh ikan misalnya jari-jari
sirip dan sisik yang akan digunakan untuk mengidentifikasi serta mengklasifikasinya.
Dengan sifat-sifat meristik dapat diketahui kemantapan sifat suatu spesies tertentu,
yang mungkin berubah karena seleksi habitat atau tekanan-tekanan pengelolaan
sumberdaya perairan itu (Surawijaya, 2004).
Karakter meristik juga merupakan cara untuk mengidentifikasi ikan. Adapun
bagian tubuh ikan yang sering dilakukan secara meristik adalah sirip. Penghitungan
sirip yang sering digunakan dalam identifikasi adalah sirip punggung, sirip perut,
sirip dubur, dan sirip dada. Sedang sirip ekor hanya dihitung pada kelompok ikan
tertentu. Perhitungan sirip dibedakan antara jumlah jari-jari keras dan jari-jari lunak
(Nurdawati dkk., 2007).
Perbedaan morfologis antar populasi atau spesies biasanya digambarkan
sebagai kontras dalam bentuk tubuh secara keseluruhan atau ciri-ciri anatomis
tertentu. Terdapat perbedaan mendasar antara ciri morfometrik dan meristik, yaitu
ciri meristik lebih stabil jumlahnya selama masa pertumbuhan, sedangkan karakter
morfometrik berubah secara kontinu sejalan ukuran dan umur (Widiyanto, 2008).
Genus Barbodes mempunyai sisik dengan struktur beberapa jari-jari sisik
sejajar atau melengkung ke ujung, sedikit atau tidak ada proyeksi jari-jari ke
samping. Ada tonjolan sangat kecil yang memanjang dari tulang mata sampai ke
moncong dan dari dahi sampai ke antara mata. Bibir bagian atas terpisah dari
moncongnya oleh suatu lekukan yang jelas. Pangkal bibir atas tertutup oleh lipatan
kulit moncong. Bagian perut di depan sirip perut datar atau membulat tidak memipih
membentuk geligir tajam. jika terdapat geligir hanya terbatas di bagian belakang sirip
Universitas Sumatera Utara
perut. Tidak ada tonjolan di ujung rahang bawah. Terdapat 5 – 81/2 jari-jari
bercabang pada sirip dubur. Tidak ada duri mendatar di depan sirippunggung. Jarijari terakhir sirip punggung lemah atau keras, tapi tidak bergerigi. Jari-jari terakhir
sirip punggung halus atau bergerigi di belakangnya, 7- 10,5 jari-jari bercabang pada
sirip punggung. Gurat sisi tidak sempurna, tidak ada atau berakhir di pertengahan
pangkal sirip ekor. Tidak ada pori tambahan pada sisik sepanjang gurat sisi. Pori-pori
pada kepala terisolasi, tidak membentuk barisan sejajar yang padat. Mulut terminal
atau subterminal. Mempunyai bibir halus berpapila atau tidak, tetapi tanpa lipatan.
Mulut kecil, celahnya tidak memanjang melebihi garis vertical yang melalui
pinggiran depan mata. Jari-jari sirip dubur tidak mengeras (Kottelat dkk., 1993).
Barbodes schwanenfeldii memiliki ciri meristik yaitu gurat sisi sempurna, 13
sisik sebelum awal sirip punggung, 8 sisik antara sirip punggung dan gurat sisi, badan
berwarna perak dan kuning keemasan, sirip punggung merah dan bercak hitam pada
ujungnya, sirip dada, sirip perut dan sirip dubur berwarna merah, sirip ekor berwarna
oranye atau merah dengan pinggiran garis hitam dan putih sepanjang cupang sirip
ekor (Kottelat dkk., 1993).
Perbedaan karakter meristik bilateral dapat terjadi karena tidak stabilnya
perkembangan individu bagi faktor gentik maupun faktor lingkungan. Keadaan
organisme yang memiliki perkembangan genetik yang teratur disebut Homeostatis,
dimana kondisi stabilitas
perkembangan tetap terjaga dan fisiologis organisme
terhadap fluktuasi lingkungan dalam kisaran normal. Organisme yang dikatakan
normal adalah organisme yang memiliki ciri-ciri fenotipe mendekati ciri-ciri fenotip
yang dimiliki oleh populasi normal dan memiliki daya homeostatis yang tinggi
(Yusuf, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Faktor Fisika dan Kimia Perairan
Suhu
Suhu mempengaruhi aktifitas metabolisme organisme, karena itu penyebaran
organisme baik dilautan maupun di perairan air tawar dibatasi oleh suhu perairan
tersebut. Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan biota air.
Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu, dapat
menekan kehidupan hewan budidaya bahkan menyebabkan kematian bila
peningkatan suhu sampai ekstrim (Ghufran dkk., 2010).
Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan
air. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi
pertumbuhannya. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas
dalam air. Peningkatan suhu perairan sebesar 100 C menyebabkan terjadinya
peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat (Effendi,
2003).
pH (Derajat Keasaman)
pH singkatan dari Puissance negatif de H yaitu logaritma dari kepekatan ionion hydrogen yang terlepas dalam suatu cairan. Derajat keasaman atau pH air
menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai
konsentrasi ion hydrogen pada suhu tertentu (Ghufran dkk., 2010).
pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium
yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah.
Ammonium bersifat toksik. Namun pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak
Universitas Sumatera Utara
ditemukan amoniak yang tidak terionisasi dan bersifat toksik. Amonia tak terionisasi
ini lebih mudah terserap kedalam tubuh organism akuatik dengan ammonium.
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH
sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat berpengaruh pada proses biokimiawi perairan (Effendi,
2003).
Nilai pH air tidak berpengaruh langsung terhadap kehidupan biota akuatik,
tetapi melalui mekanisme peningkatan daya racun misalnya peningkatan ammonia
tidak terionisasi pada pH diatas 7. Sedangkan pH air yang rendah menyebabkan
peningkatan H2S dan daya racun nitrit, gangguan fisiologis sehingga dapat
mengalami
setress
dan
peningkatan
kematian
pada
perairan.
(Chien, 1992 diacu oleh Ameliawati, 2003).
DO (Disolved oxygen)
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan
hewan dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari
kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang
dibutuhkan untuk kehidupan. Konsentrasi oksigen terlarut minimal untuk
kehidupan biota tidak boleh kurang dari 6 ppm (Fardiaz, 1992 diacu oleh Umiyati,
2002).
Ketersediaan DO berperan penting dalam penguraian proses bahan organik.
Pada kadar DO yang rendah, proses penguraian bahan organik akan menjadi lambat.
Jika proses penguraian berlangsung secara anaerob, maka perairan akan
menghasilkan H2S dan NH3N yang bersifat reduktif dan toksik
(Purnomo,
1998 diacu oleh Ameliawati, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Arus
Arus adalah gerakan massa air yang arah gerakannya horizontal maupun
vertikal. Arus sungai adalah gerakan massa air sungai yang arahnya searah dengan
aliran sungai menuju hilir atau muara. Faktor yang mempengaruhi arus, yaitu tahanan
dasar, perbedaan densitas (Agustini dkk. 2013)
Kecepatan arus penting diamati sebab menurut Angelier (2003) merupakan
faktor pembatas kehadiran organism di dalam sungai. Kecepatan arus sungai
berfluktuasi (0,09 - 1,40 m/detik) yang semakin melambat ke hilir. Faktor gravitasi,
lebar sungai dan material yang dibawa oleh air sungai membuat kecepatan arus di
hulu paling besar (Siahaan dkk, 2012)
Kekeruhan
Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan intensitas cahaya sampai
pada suatu nilau optimum tertentu (cahaya saturasi). Diatas nilai tersebut, cahaya
merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi), sedangkan dibawahnya
merupakan cahaya pembatas pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan
respirasi. Penetrasi sinar matahari kedalam kolom air dipengaruhi oleh tingkat
kekeruhan air (Ameliawati, 2003).
Kecerahan air sungai dipengaruhi oleh banyaknya material tersuspensi yang
ada di dalam air sungai. Material ini akan mengurangi masuknya sinar matahari ke air
sungai. Semakin ke hilir semakin banyak material yang ada di dalam air sungai yang
semakin menurunkan kecerahan air sungai berakibat pada penurunan kecerahan air
sungai (Siahaan dkk., 2012).
Universitas Sumatera Utara
Kekeruhan dapat disebabkan oleh bahan-bahan tarsuspensi yang bervariasi,
dari ukuran kolodial sampai dispersi kasar, tergantung dari derajat turbulensinya.
Kebanyakan bahan-bahan ini berupa zat organik dan anorganik. Didaerah
pemukiman, kekeruhan disebabkan oleh buangan penduduk dan buangan industri
baik yang telah diolah maupun belum mengamati pengolahan. Kekeruhan yang
terlalu tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem pernafasan organisme
akuatik, menghalangi penetrasi cahaya dan menurunkan kualitas perairan (Umiyati,
2002).
Menurut Boyd (1982) diacu oleh Johan dan Edirmawan (2011) perairan yang
memiliki kecerahan 0,60 m – 0,90 m dianggap cukup baik untuk menunjang
kehidupan ikan dan organisme lainnya. Akan tetapi jika kecerahan < 0,30 m, maka
dapat menimbulkan masalah bagi ketersediaan oksigen terlarut diperairan. Kisaran
kekeruhan 13,65 – 18,94 NTU secara umum cukup baik dan masih mendukung
kehidupan organisme aquatik. Alearts dan Santika (1984) menambahkan bahwa nilai
minimum untuk kekeruhan adalah 5 NTU dan maksimum yang diperbolehkan adalah
25 NTU.
Universitas Sumatera Utara
Download