Kerangka Acuan Diskusi Publik Penggalakkan Isu K3 di Indonesia: Sebuah Studi dan Advokasi dalam Rangka Meningkatkan serta Menguatkan Kesadaran Serikat Buruh di Indonesia I. Latar Belakang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan hal yang penting bagi buruh karena tidak ada buruh yang bekerja untuk mempertaruhkan nyawanya. International Labour Organization (ILO) pada tahun 2008 mengeluarkan hasil survey mengenai jumlah kecelakaan kerja yang terjadi di 53 negara di dunia. Hasil survey menunjukkan Indonesia menempati peringkat kedua sebagai Negara dengan angka kecelakaan tertinggi di dunia, di bawah Rusia. Sepanjang tahun 2007 tercatat 65.474 kecelakaan kerja di Indonesia. Dari angka tersebut, 1.451 orang tenaga kerja meninggal dunia, 5.326 cacat tetap, dan 58.697 sembuh tanpa cacat1. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, pada bulan Agustus 2007, tercatat 99.930.217 tenaga kerja yang bekerja di berbagai sektor di Indonesia2. Kalau kedua data ini dibandingkan maka kita akan menemukan beberapa fakta menarik. Sepanjang tahun 2007, dari 1500 orang yang bekerja, terdapat satu orang mengalami kecelakaan kerja, baik meninggal dunia, cacat tetap, maupun sembuh tanpa cacat. Setiap hari sepanjang tahun 2007, terdapat 179 buruh mengalami kecelakaan kerja, dan dari jumlah itu tiga buruh meninggal dunia akibat kecelakaan kerja. Data yang digunakan ILO sebagai dasar survey tersebut diambil dari data klaim kecelakaan kerja melalui PT Jamsostek. Padahal dari seluruh jumlah buruh formal di Indonesia, hanya 50% yang didaftarkan mengikuti Jamsostek3. Dan menurut Jamsostek sendiri, peserta Jamsostek yang aktif hanya mencapai delapan juta orang, sementara sebanyak 17 juta orang lainnya non-aktif4. Jadi, angka kecelakaan kerja di Indonesia sebenarnya lebih besar daripada yang dicatat Jamsostek, maupun ILO dalam surveynya, karena masih ada sekitar 74 juta pekerja yang tidak terdaftar dalam Jamsostek. Kondisi ini menunjukkan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja belum menjadi perhatian bagi semua pihak terkait di Indonesia. Oleh karenanya, pada pertengahan Juni 2008 TURC mengadakan sebuah penelitian dengan tema ”Penggalakkan isu K3 di Indonesia: sebuah studi dan advokasi dalam rangka meningkatkan serta menguatkan kesadaran Serikat Buruh di Indonesia”. Adapun penelitian ini dilakukan pada tiga sektor industri yaitu sektor elektronik di Batam, sektor kimia di Serang dan Cilegon serta sektor otomotif di Jakarta. Penelitian lapangan yang dilakukan ini berhasil mewawancarai 22 serikat buruh tingkat perusahaan di sektor elektronik di Batam, 21 serikat buruh tingkat perusahaan di sektor kimia di Serang dan Cilegon, 10 serikat buruh tingkat perusahaan di sektor otomotif di Jakarta dan sekitarnya, serta pihak-pihak terkait seperti Dinas Tenaga Kerja, Jamsostek, anggota Dewan, APINDO dan pengurus serikat buruh, baik tingkat wilayah maupun cabang. Ketiga sektor ini dipilih 1 Kecelakaan Kerja RI Terbesar Kedua http://www.indopos.co.id, Kecelakaan Kerja RI Terbesar Kedua, 3 April 2008. Lihat http://www.nakertrans.go.id/pusdatin.html,4,233,pnaker, diakses November 2008. 3 ”Kecelakaan Kerja di Indonesia Tertinggi di Dunia”. Sinar Harapan. 17 Februari 2007. 4 ”Klaim Kecelakaan Kerja Terbanyak” http://kompas.co.id/read/xml/2008/11/04/18081282/klaim.kecelakaan.kerja. terbanyak, 4 November 2008. 2 1 karena ketiga sektor ini merupakan sektor yang dikenal sebagai sektor manufaktur yang cenderung lebih ”elit” dibandingkan dengan sektor manufaktur lainnya seperti garmen dan tekstil. Pada sektor ini, upah yang diterima pada umumnya cenderung lebih tinggi. Fakta ini menimbulkan asumsi masyarakat umum bahwa kondisi K3 di sektor-sektor ini telah berjalan dengan baik, selain itu ketiga sektor ini dikenal dengan minimnya angka kecelakaan kerja. Setelah melakukan penelitian lapangan, secara garis besar ada enam temuan permasalahan K3, yang secara umum dapat dijabarkan sebagai berikut: Pertama, pada tiga sektor industri ditemukan minimnya perusahaan yang memiliki Panitia Pembina K3 (P2K3) dan Sistim Manajemen K3 (SMK3). Padahal Kewajiban perusahaan untuk membentuk P2K3 tertuang dalam UU No 1 Tahun 19970 tentang Keselamatan Kerja. Pasal 10 UU No 1 Tahun 1970 menyatakan ”Adapun tujuan pembentukan P2K3 menurut UU ini adalah agar tercipta suatu kerjasama saling pengertian, partisipatif dan efektif diantara pengusaha dan buruh di tempat kerja dalam bidang K3 untuk kelancaran produksi”. Sedangkan pelaksanaan SMK3 merupakan kewajiban yang harus dipenuhi pengusaha seperti yang telah diatur oleh pasal 87 UU No. 13/2003 mengenai Ketenagakerjaan. Pasal 87 mengamanatkan bahwa setiap perusahaan harus menerapkan SMK3 yang diintegrasikan dengan sistim manajemen perusahaan. Kedua, pada ketiga sektor standar sertifikasi merupakan hal yang umumnya dimiliki oleh suatu perusahaan. Misalnya saja, standar sertifikasi ISO 9000, ISO 14000, CE Mark, QS 9000 maupun OHSAS 18000. Dilapangan ditemukan penerapan berbagai standar sertifikasi internasional bagi suatu perusahaan pada dasarnya merupakan suatu keharusan demi memenuhi tuntutan pasar (market driven) untuk membentuk citra perusahaan yang baik (image driven). Hal ini meyebabkan kecenderungan perusahaan untuk memenuhi standar sertifikasi demi kepentingan image dan bukan demi keselamatan atau kesejahteraan buruh. Ketiga, ditemukan praktek cost down dan pengalihan resiko yang dilakukan oleh perusahaan. Definisi penurunan biaya (cost down) dalam penelitian ini adalah suatu usaha untuk menekan biaya seminimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan keselamatan buruh. Dalam penelitian ini ditemukan bentuk-bentuk penurunan biaya yang dilakukan oleh pengusaha yang pada akhirnya merugikan keselamatan buruh. Selama melakukan penelitian ditemukan bahwa lazimnya perusahaan melakukan pengalihan sebagian pekerjaan kepada perusahaan supplier atau sub-kontraktor5, dan ternyata situasi fasilitas keselamatan kerja pada perusahaan sub-kontraktor atau supplier jauh lebih minim dibandingkan situasi di perusahaan pemberi pekerjaan. Keempat, sulitnya menemukan penyakit akibat kerja (PAK). Selama melakukan penelitian ini tidak satupun ditemukan keputusan dokter Hiperkes bahwa seorang buruh menderita sakit akibat kerja. Hal ini menjadi sebuah permasalahan tersendiri karena pada saat wawancara dilakukan, sebenarnya ditemukan banyak keluhan sakit yang diderita oleh buruh. Ada enam faktor yang meyebabkan sulitnya menemukan PAK, yaitu: 1. Praktek outsourcing. Hal ini secara khusus ditemukan berdasarkan pengakuan buruh dan serikat buruh yang diwawancarai di Batam. Kebanyakan penyakit akibat kerja baru dikeluhkan setelah 5 Sub-kontraktor adalah organisasi yang memberikan suatu produk atau jasa kepada pemasok, Sub-kontraktor bisa disebut juga sebagai supplier. Pemasok adalah organisasi yang memberikan produk dan jasa kepada pelanggan (Nevizond Chatab :1996) 2 2. 3. 4. 5. 6. buruh tidak bekerja lagi. Penyebabnya antara lain karena habis masa kontrak ataupun karena berhenti akibat sakit yang cukup kronis dan pulang kampung. Situasi ini terjadi pada umumnya karena kebanyakan buruh di Batam merupakan buruh outsourcing yang berasal dari pulau Jawa, Sumatera dan beberapa tempat lainnya di luar Batam. Situasi ini seringkali dijadikan alasan bagi perusahan untuk tidak memperpanjang kontrak kerja. Pensiun. Jika pada sektor elektronik banyak keluhan timbul PAK setelah buruh habis masa kontrak karena merupakan buruh outsourcing maka ditemukan kondisi yang berbeda pada sektor kimia. Mayoritas buruh pada sektor kimia adalah buruh dengan status buruh tetap. Pada sektor ini risiko mengalami penyakit akibat kerja cukup besar. Hal ini disebabkan setiap hari buruh pada perusahaan kimia terpajan bahan-bahan kimia berbahaya. Meskipun perusahaan telah menyediakan APD, seperti masker, tetapi buruh tetap memiliki risiko mengalami penyakit akibat kerja yang biasanya timbul setelah jangka waktu yang lama. Buruh justru mengundurkan diri jika menderita sakit karena merasa tidak mampu lagi bekerja. Praktek mempekerjakan buruh harian lepas (BHL). Dalam praktek biasanya BHL tidak mendapatkan perlindungan apapun, padahal mereka juga mempunyai risiko berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja. Status harian lepas membuat perusahaan, secara hukum, tidak bertanggung jawab pada hak-hak normatif mereka sebagai buruh termasuk jaminan kesehatan bagi mereka. Keluhan-keluhan kesehatan amat mungkin mereka alami tapi tidak tercatat di perusahaan karena hubungan kerja yang tidak pasti. Masih jarang yang melakukan pemeriksaan medis berkala terhadap kondisi kesehatan buruhnya, padahal pemeriksaan medis berkala secara rutin merupakan faktor penting dalam penentuan PAK. Ketiadaan pemeriksaan kesehatan berkala membuat kesehatan buruh yang diakibatkan oleh risiko pekerjaan tidak dapat dipantau. Rumitnya prosedur penentuan PAK. Cara diagnosis penyakit akibat kerja berbeda dengan penyakit pada umumnya. Diperlukan pemeriksaan khusus dan data penunjang yang terkait dengan pekerjaan yang dilakukan. Dokter yang dapat menyatakan bahwa sebuah penyakit merupakan PAK atau tidak hanyalah dokter yang memiliki sertifikat Hiperkes. Setelah seorang dokter dengan sertifikat Hiperkes menyatakan suatu penyakit adalah PAK, keputusan tersebut belumlah dinyatakan mengikat. Kecurigaan terhadap PAK ini harus dilaporkan pada Jamsostek. Kemudian dokter penasehat Jamsostek harus melakukan penyelidikan dan mengeluarkan keputusan yang mengikat apakah suatu penyakit merupakan PAK. Apabila dokter penasehat Jamsostek menyatakan penyakit tersebut adalah PAK, barulah buruh dapat menerima jaminan kecelakaan kerja. Kelima, kinerja Pengawas terkait kondisi K3 masih lemah. Lemahnya pengawasan ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi minimnya ketaatan pengusaha terhadap aturan terkait K3. Keenam, berkaitan dengan peran serikat buruh. Dalam isu K3, serikat buruh seharusnya mempunyai kesempatan yang sama untuk memperjuangkan kepentingan. Hanya saja saat ini peluang ini masih belum diambil oleh serikat buruh. Padahal keberadaan serikat buruh dalam suatu perusahaan juga mempengaruhi kondisi K3 di suatu perusahaan. Setidaknya itulah yang terungkap dari beberapa kasus kecelakaan kerja yang kami temukan selama melakan penelitian pada tiga sektor di tiga daerah penelitian. Perhatian perusahaan akan berbeda terhadap korban K3 yang mendapat dukungan dari serikat buruh. Meskipun begitu, harus diakui bahwa peranan serikat buruh selama ini pada umumnya adalah sebatas mendampingi korban kecelakaan kerja. Padahal serikat buruh dapat mengambil peranan yang lebih besar seperti mengadvokasi kebijakan K3 yang diterapkan di perusahaan dan secara proaktif mengkritisi pelaksanaan penaatan aturan terkait K3. 3 Berdasarkan hasil penelitian tersebut Trade Union Rigths Centre (TURC) bermaksud mengadakan kegiatan Diskusi Publik Laporan Hasil Penelitian Bertajuk: ”Penggalakkan isu K3 di Indonesia: sebuah studi dan advokasi dalam rangka meningkatkan serta menguatkan kesadaran Serikat Buruh di Indonesia”.Diskusi publik ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk memperbaiki hasil penelitian dan mengkampanyekan isu K3 pada aktivis serikat buruh dan para pemangku kepentingan di Indonesia. II. Tujuan Diskusi Publik ini dilakukan dengan tujuan: a) Memaparkan hasil penelitian tentang kondisi K3 pada tiga sektor industri yaitu elektronik, kimia dan otomotif. b) Mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak terkait atas laporan penelitian guna melengkapi dan memperbaikinya. c) Mengkampanyekan isu K3 pada para pemangku kepentingan di Indonesia. III. Peserta Diskusi Publik ini akan diikuti oleh aktivis serikat buruh dan korban K3 yang berasal dari Jakarta dan sekitarnya, serta pihak Depnakertrans, Asosiasi ahli K3, Akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). IV. Waktu & Tempat Diskusi Publik ini akan dilaksanakan pada tanggal 30 November 2009 mulai pukul 09.00 s/d 13.00 yang bertempat di Hotel Sofyan Cikini, Jalan Cikini Raya No.79 Jakarta Pusat. V. Narasumber Narasumber dalam diskusi ini adalah : 1. Marina Pangaribuan, S.H & Nurus S Mufidah , S.H, Staff Riset TURC 2. Bambang Suryono, Sekretaris SP KEP 3. Ghazmahadi, ST, MM. Diretorat Jenderal Pembinaan pengawasan Depnakertrans (dalam Konfirmasi) 4. Asosiasi Ahli Kesehatan dan keselamatan kerja (dalam Konfirmasi) VI. Fasilitator Keseluruhan proses akan difasilitasi Oleh: 1. Nurus S Mufidah, S.H. 2. Marina Pangaribuan, S.H. 4