PENDAHULUAN Lata, Belakang Kasus gang9uan diare dan gastroenteritis di Indonesia pada tahun 2003 sebanyak 160-430 per 1000 penduduk dan menduduki urutan pertama (8,0%) dari 10 peringkat utama pasien rawat inap. Dari jumlah tersebut 70-80% te~adi pada anak-anak dan bayi dibawah 5 tahun (Statistik Rumah Sakit Indonesia 2004). Data WHQ (2003) menunjukkan bahwa lebih dari 2 juta bayi dan anak berusia dibawah 5 tahun di dunia meninggal setiap tahunnya dan berkaitan erat dengan kondisi malnutrisi. Scaletsky at aJ. (2002) me:aporkan bahwa enteropathogenic Escherichia coli (EPEe) merupakan penyebab diare paling saring terjadi diantara enteroinvasive E. coli (EIEC), enterohaemorrhagic E. coli (EHEC), enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroaggregative E. coli (EAEC) dan diffusely adherent E. coli (DAEC) Salmonella spp, Shigella spp., Campylobacter spp., Yersenia entero/ffica, Rotavirus, Giardia lamblia, Entamoeba histolytica, dan Cryptosporidium spp. pada bayi dan anak di negara berkembang. Budiarti (1997) melaporkan bahwa 55% sam pel feses hasil survei bayi dan anak-anak yang menderita diare didaerah Purwodadi Jawa Tengah, Depok, Ciamis dan Ciawi Jawa Barat serta Sambas Kalimantan Barat, positif EPEC. Infeksi EPEC menyebabkan 30 sampai 40% penderita mengalami kematian akibat dehidrasi pada bayi dibawah 2 tahun (cenderung pada bayi berusia dibawah 6 bulan, prematur atau berat lahirnya dibawah normal) dengan gejala diare akut berair, muntah dan sedikit demam (Co/lington et al. 1998). Program pencegahan infeksi dengan memberikan ASI, memperhatikan sanitasi dan mencegah kontak feca/-oral tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan, sedangkan upaya memanfaatkan teknologi vaksinasi belum ada yang melakukan (Nataro & Kaper 1998). Pengobatan dilakukan dengan memberi rehidrasi peroral maupun rehidrasi parenteral (Nataro & Kaper 1998), sedangkan pemberian antibiotik kadang-kadang berhasil, namun sebagain besar mengalami resistensi (Donnenberg et al. 1995). Rancang bangun penggunaan vaksin aktif sulit dilakukan karena sistem imun bayi belurn berkembang (Hatta et al. 1993). Penggunaan imunisasi pasif peroral dapat menghambat perlekatan bakteri pada permukaan sel intestinal akibat ikata:1 spesifik antara patogen dengan antibodi yang akan membantu musin dan sma untuk mengeluarkan patogen (Sunwoo et 81. 2002). Irnunoterapi pasip peroral biasanya menggunakan imunoglobulin G (lgG) serum darah mamalia dimana proses produksinya 2 memiliki keterbatasan teknis, ekonomis imunoglobulin (lgY) telur ayam animal dan berpeluang welfare, sehingga sebagai lrnunoterapi peroral menggantikan IgG (i\lline 1997) dan berperan sebagai nutraceutical food (Stadelman 1999; Sunwoo et 01. 2003) IgY merupakan antibodi pada kuning telur ayam yang akan ditransferkan kepada anak ayam selama proses penetasan untuk digunakan sebagai kekebalan anak ayam setelah ditetaskan. Jenis dan jumlah antibodi spesifik dalam kuning telur, .menggambarkan jenis dan jumlah antibodi serum darah induk yang diperoleh akibat infeksi alami maupun vaksinasi (Davis & Reeves 2002). Produksi IgY melalui kuning telur menunjukkan produktivitas lebih tinggi, pembiayaan lebih murah dan prosedur pemanenannya lebih memperhatikan animal welfare dibandingkan produksi IgG melalui serum darah (Li-Chan 2000). Penggunaan IgY sebagai imunisasi pasif peroral pada kasus Salmonellosis (Yokoyama et al.1998), Human Rotavirus (Halta et al. 1993) darl Cystic vibrosis (Car1ender 2002) menunjukkan efikasi yang baik, sehingga penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan IgY anti EPEC. Pemanfaatan IgY spesifik kuning telur segar memberikan efikasi yang lebih baik dibandingkan memanfaatkan komponen IgY yang telah dipisahkan dari komponen kuning telur lainnya (Schmidt et al. 1993), namun penggunaan IgY kuning telur segar anti EPEe pada bayi merupakan hal yang sulit dilakukan. IgY kuning telur dapat dipisahkan dari komponen kuning telur lainnnya dengan menggunakan water dl7ution method yang dlkembangkan oleh Akita & Nakai (1992). Metode ini memenuhi persyaratan teknik pemisahan bahan pangan disamping praktis, ekonomis dan dapat dilakukan pada skala industri, namun meningkatkan volome water soluble fraction (WSF) menjadi 10 kali volorne kuning telur (Akita & Na!<ai 1993). Upctya mengurangi pelarut air pada IgY tersebut disarankan menggunakan teknik freeze drying dibandingkan teknik spray drying untuk mengurangi kontaminasi mikroba selama proses produksi (Rousell & McCue 1991) selain dapat mempertahankan aktivitas netralisasim IgY sampai 2 tahun (Sunwoo et al. 2002). Perumusan Masalah 1. EPEC merupakan patogen yang hanya menyerang bayi dan anak (Tobe & Sasakawa 2002), sehingga vaksinasi EPEC pada ayam be/um dapat dipastikan dapat memberikan respon pembentukan antibodi dalam jumlah yang memadai. Disisi lain, penggunaan imunoglobulin untuk keper1uan 3 imunoterapi peroral memer1ukan dosis yang besar akibat denaturasi pH dan enzim saturan pencemaan setelah diberikan melalui peroral pada bayi (Hatta et al. 1993). 2. Aktivitas netralisasi IgY akan berkurang atau hilang akibat proses pemisahan IgY dan komponen kuning telur (Schmidt et al. 1993) dan pengenngan beku (Skrabanja et al. 1994). Tujuan Penelitian 1. Menghasilkan fwtraceutical food berupa imunoglobulin Y (lgY) Kering Beku anti EPEe yang memiliki efikasi untuk mencegah infeksi EPEe. 2. Menghitung biaya tambahan untuk menghasilkan telur berkasiat obat. Manfaat Penelitian Menghasilkan teknologi produksi nutraceutical food IgY Kering Beku anti EPEe dan menghasilkan kajian prospek pengembangan teknologi tersebut dalam mengembangkan usaha produksi telur berkasiat obat. Hipotesa 1. IgY Kering Beku anti EPEe dapat digunakan sebagai imunoterapi infeksi EPEe 2. Teknologi produksi telur yang mengandung IgY berkasiat obat memberi peluang nilai tam bah bagi usaha petemakan ayam petelur dan industri hilir lainnya.