KETIDAKRASIONALAN INVESTOR Pidato Pengukuhan

advertisement
KETIDAKRASIONALAN INVESTOR
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Mada
Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar
Universitas Gadjah Mada
Pada tanggal 6 Desember 2003
Di Yogyakarta
“Pergeseran” yang terjadi pada kecenderungan (trend) di kalangan peneliti dalam
mengamati perilaku investor di pasar modal”
“Pergeseran dari pendekatan yang cenderung lebih mengandalkan model-model
statistika-ekonometrika ke arah yang lebih memperhatikan (dan menjelaskan) aspekaspek psikologis yang mempengaruhi perilaku investor, melalui pemahaman konsep
Behavioral Finance”

Sejarah pasar modal
Manajemen investasi membahas teori-teori yang berkenaan dengan proses pengambilan
keputusan investor untuk membeli atau menjual surat berharga, baik saham, obligasi, maupun
sekuritas derivatif.
Terminology “bourse” (yang kemudian di Indonesia dikenal dengan istilah “bursa” sudah
dikenal sejak abad ke 16, ketika kediaman keluarga Van der Beurs di Bruge menjadi pusat
perdagangan aset-aset financial dan surat berharga. Bursa pertama yang lebih formal didirikan
di Amsterdam pada tahun 1613, kemudian diikuti di beberapa negara Eropa lainnya.
Manajemen investasi bagaikan sebuah gedung yang sedang dan terus dibangun dengan
beberapa teori sebagai pilar utama antara lain
1. Portfolio Theory (Markowitz, 1952)
2. Capital Asset Pricing Theory [Sharpe, (1964) Lintner (1965), dan Mossin (1969)]
3. Efficient Market Hypothesis (Farna, 1970)
4. Option Pricing Theory (Black and Scholes, 1973)
Teori-teori investasi pada umumnya dibangun atas dasar berbagai asumsi . salah satu asumsi di
antaranya adalah asumsi bahwa
1. manusia selalu berpikir rasional salam setiap proses pengambilan keputusan.
2. Mau memperhatikan semua informasi yang tersedia
3. Mampu mengevaluasi dengan seksama dan
4. Mampu mencari jawaban berdasarkan hasil analisis rasional atas informasi-informasi
tersebut
Asumsi tentang perilaku investor ini pada dasarnya bersumber pada literature ekonomi klasik
dan neoklasik, di mana manusia dipandang sebagai makhluk yang mampu membuat keputusan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sangat logis dan transparan. Manusia (homo
economicus) dianggap sebagai makhluk yang selalu mampu untuk menghitung dan menemukan
titik optimal sebagai jawaban bagi persoalan-persoalan ekonomi keuangan yang dihadapinya.
Titik optimal merupakan titik yang mampu memberikan utilitas maksimal bagi diri seorang
pembuat keputusan. Teori-teori investasi yang dikemukakan di atas merupakan beberapa
contoh teori keuangan dan investasi yang baik secara eksplisit maupun implisit,
mengasumsikan rasionalitas investor di pasar modal.
Benarkah investor selalu rasional ?
Para investor di pasar modal kerap kali menunjukkan perilaku irasional (irrational
behavior) disamping melakukan tindakan berdasarkan judgment yang jauh menyimpang
dari asumsi rasionalitas.
Pasar mungkin saja memberikan reaksi cepat terhadap informasi (seperti yang disyaratkan oleh
Efficient Market Hypothesis) namun tidak tertutup kemungkinan adanya unsur subjektivitas,
emosi, dan berbagai faktor psikologis lainnya yang justru lebih dominan mempengaruhi reaksi
itu. Jatuhnya harga saham di pasar sering terjadi karena hysteria massa yang berlebihan, yang
tidak dapat dijelaskan dengan logika.
Contoh kasus
Market crash di Pasar Modal Amerika
11 September 1986 (Black Thursday)
19 Oktober 1987 (Black Monday)
Peristiwa pertama dipicu oleh pembicaraan (yang justru terjadi di Eropa) antar berbagai
kalangan tentang kenaikan tingkat inflasi di Amerika Serikat pada hari Kamis 11 September
1986. Topik pembicaraan ini mengakibatkan harga futures contracts atas obligasi pemerintah
AS (disebut T-Bonds Futures) mengalami penuruanan, meskipun sebenarnya tidak terlalu
“serius” dibandingkan dengan penurunan rata-rata selama seminggu terakhir. Namun ketika
NYSE di Amerika dibuka (perlu diingat bahwa meskipun ada perbedaan waktu antara kedua
tempat, para pelaku pasar modal adalah orang-orang yang “tidak pernah tidur”) justru muncul
“badai” yang semakin lama semakin membesar. Ada semacam invisible hands yang mendorong
orang untuk menjual saham dengan segera. Terjadilah panic selling dan harga sahampun mulai
berjatuhan. Selanjutnya, karena harga underlying stocks jatuh, maka harga-harga derivative
securities pun mengalami “kehancuran” hanya dalam waktu satu (dua) hari. Hari itu indeks
industrial jatuh 78 points, dan berlanjut dengan 34 points pada hari berikutnya.
Hal yang lebih tidak masuk akal terjadi pada peristiwa kedua, pada Senin tanggal 19 Oktober
1987. Pada peristiwa itu, harga-harga saham di NYSE dalam waktu yang hampir bersamaan
mengalami penurunan yang sangat tajam dan hari itu tercatat sebagai hari terburuk bagi pasar
modal Amerika sejak tahun 1929 (great depression crash). Beberapa bursa lain di berbagai
penjuru dunia mengalami hal yang sama akibat adanya efek penularan (contagious effect)
sesama bursa. Terjadi kepanikan luar biasa di kalangan investor, global tidal wave of selling,
dan pasar sangat menjadi sangat tidak terkendali. Dow Jones Industrial Average kehilangan
22,6 % dalam waktu sehari, jauh lebih besar daripada kerugian 12,9% di tahun 1929.
Tidak ada seorang pun yang dapat menjelaskan secara rasional latar belakang kedua kejadian
tersebut. Segera setelah kejadian tersebut Shiller (1986) mengirimkan kuesioner ke 175 investor
institusional dan 125 investor individual besar secara acak di seantero amerika. Pada intinya
pertanyaan yang diajukan menyangkut alasan yang melatarbelakangi para investor menjual
saham pada periode sekitar crash, dari 113 balasan yang diterima, hanya 3 responden yang
mengacu pada “economic and financial news and rumors”. Selebihnya mengatakan bahwa
mereka menjual karena orang lain menjual dan pasar mulai mengalami kejatuhan.
Shiller (1997) menemukan hal yang serupa berkenaan dengan crash di tahun 1987. Dari tanggal
19 hingga 23 oktober 1987 ia menyebarkan tidak kurang dari 2000 kuesioner kepada investor
individual dan 1000 kepada investor institusional. Dari masing-masing 605 dan 284 balasan
yang diterima oleh Shiller, lebih dari 2 per tiganya emberikan jawabab yang tidak ada kaitannya
dengan pertimbangan ekonomi, finansial, atau bahkan politik. Mereka memutuskan untuk
menjual karena harganya semakin jatuh. Shiller kemudian menyimpulkan bahwa tindakan para
investor yang tidak terkendali lebih dilatarbelakangi oleh faktor-faktor psikologis. Faktor
ketakut(fear), ketamakan (greed) dan ke”gila”an, kepanikan (madness) para investor lebih
dominan dalam situasi saat itu.
Bernstein (1995) mengatakan bahwa apabila manusia menghadapi ketidakpastian (uncertainty)
mereka cenderung untuk membuat keputusan yang lebih bersifat tidak rasional dan tidak
konsisten, sehingga reaksi investor terhadap sebuah informasi semakin sulit untuk diprediksi.
Para peneliti juga telah banyak melakukan penelitian untuk membuktikan irasionalitasan
investor. Salah satunya adalah De Bondt bersama dengan Thales (1985). Berangkat dari
hasil-hasil penelitian psikologis eksperimental mengatakan bahwa “pada umunya orang
cenderung untuk bereaksi berlebihan (overreact) terhadap peristiwa atau berita (apalagi)
yang dramatis, mereka mencoba menguji apakah perilaku yang sama juga ditemukan di
pasar modal. De Bondt dan Thaler menemukan tanda-tanda terbuktinya overreact
hypothesis pada sampel penelitian mereka. Dalam bahasa finance mereka menemukan
bahwa saham-saham dengan return yang luar biasa rendah (losser) akan “berbalik arah”
menjadi penghasil retur yang luar biasa tinggi ; sebaliknya saham-saham yang
menghasilkan return yang luar biasa tinggi (winners) akan berubah menjadi saham yang
menghasilkan return yang sangat rendah. Terjadinta pembalikan arah (priced reversal)
ini diyakini sebagai bentuk self correction terhadap reaksi berlebihan yang telah
ditunjukkan sebelumnya. Tegasnya rasionalitas investor dalam memberikan reaksi
terhadap informasi tidak terbukti.
Keputusan untuk menjual surat berharga yang “bagus” terlalu cepat disebabkan sikap
seseorang yang terburu-buru, khawatir akan lepasnya keuntungan yang sudah di tangan
seandainya harga mengalami penurunan besok. Keputusan untuk menahan surat
berharga yang “jelek” berlama-lama banyak disebabkan oleh masih adanya harapan
(hope) akan adanya kenaikan harga atau keengganan untuk “mengakui” kesalahan
investasi yang telah dilakukan. Peristiwa ini dinamakan disposition effect.
Fakta yang ditemukan di pasar modal adalah bahwa sebelum memutuskan untuk
menjual surat berharga yang dimilikinya, investor pada umunya “menengok ke
belakang” yakni dengan membandingkan harga saat ini dengan (ketika akan menjual)
dengan harga saat ia membeli surat berharga tersebut. Yang menarik bahwa ternyata
banyak investor yang membatalkan niat untuk menjual surat berharga bila harga
sekarang lebih rendah daripada harga pembelian untuk menghindari pain and regret of
having made a bad investment, bukan karena merasa yakin bahwa besok atau lusa harga
pasar surat berharga tersebut akan membaik dan menghasilkan keuntungan
Selain itu di pasar modal juga ditemukan keengganan sebagian orang untuk menjadi
multimarket investors, yang menanamkan uangnya di berbagai bursa. Perilaku semacam
ini disebut home biased selection. Dalam hal ini cateris peribus, banyak investor yang
cenderung untuk memilih pasar domestic dengan alasan yang sulit dijelaskan. Perilaku
ini mungkin dapat dimengerti jika memang pasar domestic mampu menjanjikan return
yang lebih tinggi dibandingkan pasar di luar negeri. Tetapi ternyata perilaku ini juga
muncul pada investor yang berasal dari negara-negara yang mempuntai pasar domestic
kurang menjanjikan. Hal ini bertentangan dengan prinsio diversifikasi dari Markowitz
(1952)
Goldberg (1999) menyebutkan sebagai faktor psychology of sending message. Sebuah
Informasi dapat mempunyai nuansa yang berbeda bila cara penyampaiannya berbeda. Kalimat
“Perusahaan A membagikan separuh laba bersihnya” dan “Perusahaan A menahan separuh
laba bersihnya” sebenarnya mempunyai arti yang sama dan seharusnya reaksi terhadap kedua
kalomat tersebut sama. Goldberg mengatakan bahwa “bukan tidak mungkin investor akan
bereaksi positif jika kalomat pertama yang menjadi headline, dan sebaliknya akan bereaksi
negative jika kalimat kedua yang muncul.
Apa itu Behavioral Finance ?
Semakin banyaknya penyimpangan dari asumsi, semakin lebar jurang yang memisahkan
pendapatan para akademisi di perguruan tinggi (yang melakukan penelitian berdasarkan
pada teori dan konsep baku) dengan para praktisi yang berkecimpung langsung di
“lapangan”. Oleh para praktisi, para akademisi di bidang Keuangan seringkali dinilai
terlalu terikat rumus-rumus matematika statistika dan kurang memperhatikan variable
yang lebih “human” di lapangan. Sehingga hasil penelitian menjadi sulit untuk dipercaya
aplikabilitasnya.
Hal ini menjadi pemicu bagi sebagian peneliti di bidang Keuangan untuk “menoleh
kembali” pada aspek-aspek non-ekonomi (terutama psikologi) untuk dipelajari perannya
dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakuakn pada investor.
Pendekatan “baru” yang dianggap lebih mampu untuk menjelaskan bagaimana proses
pengambilan keputusan para investor berlangsung. Pendekatan ini dikenal sebagai
“Behavioral Finance”. Pendekatan teori ini, investasi tidak lagi dipandang sebagai sebuah
teori yang kaku, melainkan sebuah teori yang mengikutsertakan aspek-aspek psikologi
yang mempengaruhi seorang investor dalam membuat keputusan
Bagaimana dengan Pasar Modal di Indonesia?
Karakteristik pertama yang banyak ditemukan di kalangan investor lazim disebut dengan
heuristik dealing terhadap informasi. Dalam hal ini heuristic diartikan sebagai the use of
experience and practical effort. Sehingga heuristic diartikan sebagai the use of experience and
practical efforts. Sehingga heuristic dealing terhadap informasi diartikan sebagai upaya untuk
mengartikan informasi secara cepat dengan mengandalkan pengalaman disertai dengan intuisi
secukupnya. Berkaitan dengan hal ini, Kahneman dan Tversky (1976) mengatakan bahwa
heuristic dealing lebih banyak terjadi dalam menghadapi peristiwa yang baru pertama dialami
seseorang. Pelaku pasar modal yang belum berpengalaman menghadapi suatu peristiwa tertentu,
misalnya market crash akan memberikan respon yang berbeda dengan mereka yang sudah
berpengalaman, manakala peristiwa itu terulang lagi.
Peristiw peledakan bom di Jakarta yang telah terjadi beberapa kali, sedikit banyak
memberikan “pelajaran” kepada investor di Bursa Efek Jakarta tentang Bagaimana
harus bersikap, sehingga ledakan “yang kesekian kalianya” tidak lagi membuat para
investor terlalu panic. Buktinya setelah ledakan di Hotel J.W. Marriot, indeks
harga saham di Bursa Efek Jakarta justru mengalami kenaikan hingga
menembus level 600
Peran Emosi dan Rasio dalam Proses Pengambilan Keputusan dan Investasi
Manusia memiliki emosi selain dengan rasio. Keduanya “bekerjasama” dalam
membentuk reaksi jangka pendek maupun jangka panjang manusia. Elster (1998)
menunjukkan beberapa variabel pemicu emosi.
1. Keyakinan akan sesuatu (beliefs)
2. Intentional objects atau emosi yang berkaitan sengan suatu objek tertentu
KESIMPULAN
1. Mempelajari teori investasi yang “standar” tetap diperlukan, karena banyak fenomena di
pasar modal yang memang harus dijelaskan secara konseptual
2. Sudah waktunya bagi para peneliti untuk mempeluas “wilayah” amatannya dengan
mempelajari aspek-aspke psikologi yang dapat diharapkan dapat menjelaskan “why”
tidak hanya “what”
3. Penelitian bersama antara akademisi di bidang keuangan, psikologi, dan praktisi perlu
mulai dilakukan
Bila itu dapat dilaksanakan, maka, seperti yang dikatakan Thales (1999), dalam jangka waktu
yang tidak lama lagi Behavioral Finance tidak lagi kontroversial, karena kita (akademisi,
praktisi, pemerhati, atau siapapun) memang tidak mempunyai pilihan lain, kecuali
membiasakan diri untuk memasukkan human factor ke dalam analisis yang kita lakukan.. kalau
tidak, kita menjadi tidak rasional.
Daftar Pustaka
De Bondt, W.F.M and and Thaler (1985) “Does the Stock Market Overreact?” Journal of
Finance, Vol XL, No 3 July
Elster, J. (1998), “Emotions and Economic Theory.” Journal of Economic Literature, 36, No 1
Farna, E.F (1970)., “Efficient Capital Market : A Review on Theory and Empirical Work,”
Journal of Finance, May
Kahneman, D. and A. Tversky (1979), “Prospect Theory:An Analysis of Decision Under
Risk,”Econometrica, Vol 47 pp 263-291.
Markowitz, H.M (1952), “Portofolio Selection,” Journal of Finance, March
Sharpe, W.F (1964) “Capital Asset Prices : A Theory of Market Equilibrium Under Condition of
Risk,” Journal of Finance, Sept.
Download