100 % PERCAYA DIRI HASIL SENDIRI NISA KIMATANIYA K - 17406041 Kualitas moral sumber daya manusia masih menjadi persoalan utama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini tidak pernah lepas dari kondisi sistem pendidikan yang dijalankan secara tidak proporsional di negara Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia merupakan sistem pendidikan yang berorientasi pada aspek kognitif, hanya mengandalkan hafalan dan drilling, tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Sehingga siswa dididik seperti robot yang pasif, tidak ada inisiatif, tidak dapat berpikir kritis, tidak dapat menganalisis apalagi untuk mencari solusi suatu permasalahan, sehingga mudah dipengaruhi dan diprovokasi untuk melakukan hal-hal yang negatif. (Megawangi, 2005). Dalam UUD 1945 alenia IV, dinyatakan bahwa salah satu tujuan nasional Negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu wadah atau lembaga guna memfasilitasi jalannya proses pendidikan yang disebut sekolah. Demi mendapatkan sekolah yang diinginkan, seorang siswa dituntut berusaha lebih keras dan lebih giat membekali diri dengan berbagai macam pengetahuan di bidang akademik. Sehingga diharapkan siswa mampu menghadapi persaingan yang begitu ketat untuk memperjuangkan haknya dalam dunia pendidikan. Pada hakekatnya bagi siswa, inti dari pendidikan adalah belajar. Belajar merupakan suatu aktivitas mental atau psikis, berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahanperubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap (Winkel, 1987). Tujuan dari proses pembelajaran adalah mencapai prestasi belajar. Dimana dalam prosesnya, siswa banyak dihadapkan dengan berbagai macam ujian sebagai sarana evaluasi untuk mempertanggungjawabkan hasil belajar di sekolah. Keberhasilan evaluasi belajar sering dilihat dari tingginya perolehan nilai dalam ujian. Untuk mendapatkan nilai yang baik, idealnya siswa mempergunakan usaha positif melalui proses misalnya belajar dengan tekun, banyak latihan menjawab soal, mengurangi waktu bermain dan lain sebagainya. Namun pada kenyataannya terjadilah sebuah penyimpangan, banyak siswa kurang menghargai dan menyepelekan sebuah proses, dan hanya berorientasi pada nilai semata sehingga menggunakan usaha negatif dengan cara menyontek dalam ujian. Menurut Deighton (Alhadza, 2004), yang dimaksud dengan menyontek adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak jujur. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Bower (Alhadza, 2004), menyontek adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu untuk mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. Dari teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa faktor internal yang menyebabkan seorang siswa menyontek bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure atau apabila dorongan dan harapan untuk berprestasi jauh lebih besar daripada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan menyontek (Alhadza, 2004). Selain faktor internal siswa, kegiatan menyontek ini juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang bukan hanya terjadi semata-mata karena sifat bawaan dari wujud perilaku dan ekspresi mental dalam diri pelajar saja tetapi lebih merupakan hasil belajar/pengaruh dari interaksi dengan lingkungannya. Menurut hasil survei litbang Media Group yang dilakukan 19 April 2007 di enam kota besar di Indonesia (Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Medan) : menyatakan mayoritas anak didik di bangku sekolah dan perguruan tinggi melakukan kecurangan akademik dalam bentuk menyontek, disebabkan oleh faktor lingkungan sekolah atau pendidikan seperti pengaruh teman, minimnya kualitas pengajaran guru, pemberlakuan sanksi yang lemah dan sistem pengawasan yang longgar. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa faktor dominan yang menyebabkan budaya menyontek menjadi semakin subur di ranah pendidikan Indonesia adalah stigma masyarakat dimana kecerdasan dilihat dari pendidikan yang masih diukur dalam bentuk nilai/angka yang tertera dalam raport/ijazah. Orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor. Hal ini menyebabkan siswa bukannya berlomba-lomba untuk memahami ilmu tetapi malah termotivasi untuk mendapatkan nilai tinggi dengan mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek menyontek (Irawati, 2008). Kenyataannya, budaya menyontek tidak hanya biasa dilakukan dalam ulangan harian, Ujian Tengah Semester maupun Ujian Akhir Semester saja, penyimpangan dan kecurangan yang terjadi pada saat Ujian Nasional mulai semakin meresahkan banyak kalangan. Siswa, guru, kepala sekolah, pengawas sekolah hingga birokrat sekolah juga pihak-pihak yang berkepentingan dengan pendidikan berkonspirasi menciptakan sebuah sistem menyontek yang terstruktur dan terencana agar siswa dapat 100% lulus demi menjaga nama baik instansi yang bersangkutan. Secara tidak langsung, hal ini merupakan tindakan yang sangat merusak moral sebab mengajarkan ketidakjujuran kepada para siswa sekaligus mengingkari hakikat pendidikan itu sendiri dan ironisnya justru dilakukan oleh orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.