Tradisi Nyadran sebagai Komunikai Ritual - Blog UB

advertisement
Tradisi Nyadran sebagai Komunikai Ritual
(Studi Kasus di Desa Sonoageng, Kabupaten Nganjuk)
Siti Noer Tyas Tuti
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya
[email protected]
Abstrak
Tradisi merupakan suatu adat atau kebiasaan yang diwariskan oleh
nenek moyang dan dilakukan secara turun temurun. Salah satu bentuk tradisi di
Indonesia adalah upacara tradisional. Nyadran adalah salah satu bentuk upacara
tradisional yang ada di Pulau Jawa. Tradisi Nyadran merupakan peninggalan
penganut peninggalan Hindu yang dipadukan sentuhan ajaran Islam didalamnya.
Tradisi nyadran adalah salah satu bentuk Komunikasi Ritual dikalangan
masyarakat Jawa, Karena dalam nyadran masyarakat melakukan ritual nyekar
(ziarah makam) yang dipercaya mampu menghubungkan kepada Sang pencipta
dan para leluhur desa. Dalam nyadran terdapat ritual sebagai perwujudan rasa
syukur kepada Sang Pencipta.
Kata Kunci : Tradisi, Nyadran, Komunikasi ritual
Pendahuluan
Suatu tradisi merupakan pewarisan serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai
yang diwariskan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya (Isyanti, 2007).
Nilai-nilai
yang
diwariskan
berupa
nilai-nilai
yang
oleh
masyarakat
pendukungnya masih dianggap baik, serta relevan dengan kebutuhan kelompok
(Isyanti, 2007). Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), tradisi
adalah adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan
di masyarakat, tradisi juga merupakan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara
yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Tradisi tidak bisa
dilepaskan dari unsur budaya karena mengandung unsur budaya yang terus
dilestarikan (Hutagaol, 2013). Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2000).
Salah satu bentuk tradisi dikalangan masyarakat Indonesia adalah
upacara tradisional. Upacara tradisional merupakan warisan budaya leluhur yang
dipandang sebagai usaha manusia untuk dapat berhubungan dengan Sang
Pencipta dan
arwah para leluhur. Upacara tradisional atau upacara adat
dikalangan masyarakat merupakan salah satu bentuk komunikasi ritual. Salah
satu bentuk upacara adat yang ada di Indonesia terutama di Pulau Jawa adalah
Tradisi Nyadran.
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya 1
Kata nyadran juga memiliki pengertian lain yaitu slametan ing sasi Ruwah
nylameti para leluwur (kang lumrah ana ing kuburan utawa papan sing kramat
ngiras reresik tuwin ngirim kembang) ‘selamatan di bulan Ruwah menghormati
para leluhur (biasanya di
makam atau tempat yang keramat sekaligus
membersihkan dan mengirim bunga) (Mumfanganti, 2007). Tradisi Nyadran di
bulan (Jawa) Ruwah atau yang lazim disebut Sadranan atau ada juga yang
menyebut sebagai ruwahan merupakan suatu tradisi yang sudah kental didalam
kehidupan sosial masyarakat Jawa (Handayani, 1995). Handayani juga
menjelaskan bahwa Tradisi Nyadran ini ada yang mengatakan merupakan
peninggalan penganut peninggalan Hindu yang kemudian diberi sentuhan ajaran
Islam didalamnya. Hal ini berkaitan erat dengan penyebaran Islam yang
dilakukan oleh Wali Sanga di Pulau Jawa dengan menggunakan pendekatan
persuasif tanpa menghapus tradisi dan kesenian yang ada namun memberikan
sentuhan baru. Menurut Poerwadarminto (1937 dalam Nur, 2013) kata nyadran
memiliki arti selamatan (sesaji) ing papan sing kramat. Bagi masyarakat Jawa,
kegiatan tahunan yang bernama nyadran atau sadranan merupakan ungkapan
refleksi sosial keagamaan.
Dalam hal ini penulis mengambil Tradisi Nyadran di Desa Sono Ageng
Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk sebagai salah satu contoh tradisi
Nyadran yang ada di Pulau Jawa. Tradisi Nyadran di Sono Ageng di kenal
sebagai Tradisi Nyadran terbesar di wilayah Jawa Timur yang rutin diadakan
setiap tahun tepatnya kamis Legi malam Jumat Kliwon1. Tradisi ini sebagi wujud
rasa syukur masyarakat atas rizki dan keselamatan yang diberikan Sang
Pencipta. Tradisi tersebut dipercaya mampu mendatangkan berkah bagi
masyarakat terutama kalangan pedagang dan petani. Pengunjung dalam Tradisi
Nyadran di desa Sono Ageng tidak hanya masyarakat sekitar desa Sono Ageng
saja, namun masyakat daerah atau kota lain juga meramaikan acara tersebut.
Tradisi nyadran di desa Sono Ageng juga disebut sebagai bersih desa,
sedekah bumi dan pesta rakyat paska panen raya. Terdapat rentetan ritual yang
dilakukan masyarakat diantaranya adalah kirab dan ziarah ke makam danyang
desa Sono Ageng. Masyarakat menyebutnya sebagai orang yang mbau rekso
1
Menurut juru kunci (Mbah Bayan Podo), pengambilan Kamis legi malam jum’at Pahing
merupakan warisan dari nenek moyang yang telah bertahun-yahun melaksanakannya.
Berdasarkan keterangan bahwa pada hari tersebut merupakan hari Mbah Sahid (danyang)
meninggal dunia.
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya 2
(menjaga) dan mbabat alas (pendiri desa Sono Ageng). Selain itu, dalam tradisi
ini digunakan sebagai sarana berkumpulnya sanak saudara yang jauh dan
sedekah masyarakat. Tradisi nyadran sendiri menjadi menarik karena seiring
perkembangan jaman yang membawa perubahan pada perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, masyarakat masih mampu untuk
memegang teguh tradisi nyadran yang dimiliki dan menjaga nilai-nilai yang
terkandung dalam tradisi nyadran tersebut.
Landasan Teori
Komunikasi sebagai Ritual
Dalam kaitannya terhadap tradisi, komunikasi merupakan unsur budaya
yang berfungsi untuk menjalin hubungan antar manusia dan yang digunakan
secara turun temurun (Hutagaol, 2013). James W. Carey (1992) seorang ahli
komunikasi mengembangkan komunikasi dalam perspektif budaya dan melihat
komunikasi berkaitan dengan upaya untuk membangun komunitas (maintain
community). Menurut Carey, komunikasi lekat dengan kata sharing (saling
berbagi), partisipasi, asosiasi, pengikut,dan kepemilikan akan keyakinan
bersama. Praktik-praktik komunikasi yang dilakukan manusia pada dasarnya
ditujukan untuk menjalin interaksi. Carey juga menjelaskan bahwa proses
komunikasi pada konteks ritual juga tidak sekedar mengirim dan menerima
pesan, akan tetapi ditujukan untuk menjaga dan memelihara nilai dan norma
yang telah dibentuk sejak lama. Dapat diambil kesimpulan bahwa komunikasi
dalam konsep ritual memandang komunikasi sebagai milik bersama yang
digunakan untuk memelihara suatu nilai dan norma tertentu dalam masyarakat.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian tradisi Nyadran di Desa
Sono Ageng, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur adalah
penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriftif kualitatif adalah (Moleong,
2010) penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pengumpulan data dilakukan
dengan tiga metode. Pertama, Focus Group Discussion (FGD). Focus Group
Discussion atau FGD (kelompok diskusi terfokus) adalah metode riset di mana
periset memilih orang-orang yang dianggap mewakili sejumlah publik atau
populasi yang berbeda (Kriyantono, 2012).Kedua, metode wawancara mendalam
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya 3
(depth interview). Metode wawancara mendalam adalah metode riset di mana
periset melakukan kegiatan wawancara tatap muka secara mendalam dan terusmenerus (lebih dari satu kali) untuk menggali informasi dari responden
(Kriyantono, 2012). Ketiga, metode observasi. Metode observasi adalah metode
di mana periset mengamati langsung objek yang diteliti (Kriyantono, 2012).
Pembahasan
Prosesi Ritual Nyadran
Tiga hari sebelum menjelang pelaksanaan nyadran¸ warga Sonoageng
mengadakan nyekar dan tradisi manganan (kondangan). Nyekar berasal dari
kata sekar yang berarti kembang/bunga, dapat dikatakan bahwa nyekar adalah
sebagai satu bentuk tradisi ziarah kubur dengan membawa bunga kemudian
ditaburkan pada makam yang ditujukan kepada nenek moyang dan arwah
leluhur. Ziarah makam merupakan satu dari sekian tradisi yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat Jawa (Mumfanganti, 2007). Tradisi nyekar atau
ziarah kubur ini ditujukan kepada Mbah Sahid dan leluhur masyarakat desa
Sonoageng yang lain. Dalam melakukan ziarah kubur, masyarakat membawa
sesaji dan ubarampe (pelengkap). Setelah ritual ziarah kubur dilanjutkan dengan
manganan (kondangan) di komplek makam. Isi sesaji antara lain berupa
makanan yang dimasukkan ke dalam takir (tempat makanan yang terbuat dari
daun pisang), ingkung (ayam panggang), nasi lauk pauk dalam wadah yang
besar yang disebut lengkong (terbuat dari pohon pisang yang dirangkai dengan
serutan bambu dan dibentuk persegi.
Menurut masyarakat setempat, isi sesaji berupa makanan merupakan
perwujudan rasa syukur keluarga atas nikmat yang telah dianugerahkan oleh
Sang Pencipta. Banyak pandangan mengenai maksud dari sesaji yang
disuguhkan antara lain : sesaji disedekahkan kepada pengunjung di makam
dengan harapan para leluhur di alam kubur dapat merasakan nikmatnya
makanan yang dimakan bersama-sama, dan ada anggapan bahwa sesaji berupa
makanan sebagai sedekah dan pahala dari sedekah dapat sampai pada leluhur.
Menurut adat yang berlaku semua warga yang terlahir dari keluarga dari desa
Sonoageng secara bergantian melakukan prosesi nyekar dan manganan
di
komplek makam. Selain itu tradisi manganan (slametan) juga dilaksanakan
dirumah masyarakat masing-masing.Tradisi manganan dirumah dilaksanakan
karena dalam acara nyadran
sendiri menjadi sarana berkumpulnya sanak
saudara yang jauh. Terdapat kepercayaan masyarakat Sonoageng bahwa
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya 4
barang siapa yang tidak melakukan nyadran, maka ketidak beruntungan akan
menimpa keluarga yang berangkutan.
Setelah prosesi nyekar dan manganan dilanjutkan dengan prosesi awal
nyadran yang jatuh pada hari Kamis Legi yang diawali dengan warga
membersihkan makam dan mempersiapkan sesaji. Dalam prosesi nyadran
dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak yang kemudian digunakan
untuk munjung/ater-ater (dibagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, antar
tetangga dan sebagai ubarampe. Hal tersebut dilakukan sebagai ungkapan
solidaritas diakalangan masyarakat Desa Sonoageng.
Dilanjutkan prosesi kirab/arak-arakan yang dimui pada pukul13.00 WIB.
Dalam prosesi ini baik laki-laki maupun perempuan memakai pakaian adat Jawa.
Dalam acara kirab selalu dihadiri oleh Bupati Nganjuk, sesepuh adat desa
Sonoageng, pemuda dan pemudi desa, ibu-ibu dan bapak-bapak masyarakat
Desa Sonoageng. Dalam kirab masyarakat mengarak sesaji mulai dari balai desa
menuju makam Mbah Sahid dengan berjalan kaki. Sesaji tersebut antara lain
berupa berupa tumpeng (ayam bakar dan lauk pauk lengakap), gunungan hasil
bumi berupa padi, jagung,ketela, aneka buah dan aneka sayuran serta gunungn
yang berisi alat-alat dapur. Dalam prosesi ini disamping kanan dan kiri jalan
banyak penonton atau pengunjung yang datang untuk menyaksikan kirab dari
berbagai daerah.
Pada saat sampai dimakam, sesaji yang dibawa diletakkan dibawah
pohon beringin besar yang terletak sebelah tenggara makam Mbah Sahid.
Masyarakat percaya
bahwa sesaji tersebut mampu membawa berkah dan
keberuntungan yang berupa kemudahan usaha dagang, panen melimpah, sehat
badan, mudah jodoh, ketenangan dan kerukuanan antar warga masyarakat.
Ketika peletakkan sesaji, dengan antusias masyarakat yang tidak menjadi
peserta kirab saling berebut sesaji. Sesaji
yang menurut susunan acara
diperebutkan sesudah pembukaan, namun diperebutkan lebih awal.
Didalam makam yang berbentuk joglo, panitia nyadran, pemangku adat
desa, pejabat, ibu-ibu dan para pemuda duduk bersila dengan formasi segi
empat mengelilingi makam Mbah Sahid. Kemudian dilanjutkan dengan rentetan
acara yaitu: pembukaan, prakata dari pemangku adat, pembacaan sejarah Mbah
Sahid dan Desa Sonoageng, pembacaan tujuan prosesi nyadran, sambutan
kepala desa, sambutan Bupati Nganjuk,t abur bungan dan doa. Semua prosesi
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya 5
dilakukan dengan menggunakan bahasa Jawa Kromo kecuali doa yang
dibacakan dengan menggunakan Bahasa Arab.
Setelah prosesi kirab selesai disusul dengan tanggapan (tontonan) pada
malam hari hingga dini hari. Banyak jenis tontonan yang digelar, antara lain
wayang krucil, wayang kulit, dan jaranan. Pada acara puncak nyadran yaitu
malam Jumat Kliwon banyak pedangang dan pengunjung yang datang dari
berbagai daerah. Selain memberikan keuntungan bagi para pedagang,
banyaknya pengunjung yang datang pada nyadran tersebut membawa
keuntungan tersendiri bagi masyarakat desa Sonoageng. Dalam hal ini
masyarakat mempunyai peluang usaha untuk membuka parkir dan berjualan
sehingga mampu meraup keuntungan.
Nilai-nilai dalam Tradisi Nyadran
Menurut Isyanti (2007) dalam sebuaah tradisi ada nilai yang terkandung
di dalamnya yaitu nilai gotong royong, nilai persatuan dan kesatuan, nilai
musyawarah, nilai pengendalian sosial dan nilai kearifan lokal.
Sedangkan penerapan nilai-nilai tersebut dalam tradisi nyadran di Desa
Sonoageng, antara lain : pertama, nilai gotong royong, dalam tradisi nyadran
tersebut terlihat dalam penyelanggaraan mulai dari awal persiapan hingga akhir
acara dilaksanakan bersama-sama oleh masyarakat. Mulai dari persiapan
menghimpun dana untuk nyadran diadakan iuran tiap rukun tetangga dalam satu
bulan sekali, dan hasilnya digunakan bersama-sama untuk acara nyadran dari
awal, nanggap, hingga akhir. Para pemuda desa dan orang tua saling
bekerjasama untuk terselenggarakannya nyadran dengan lancar dan baik.
Kedua, nilai Persatuan dan Kesatuan yang tercermin pada saat pembagian
sedekah makanan dan makan bersama baik pada makam dan dirumah
masyarakat masing-masing.
Ketiga, nilai musyawarah yang ditunjukkan dalam tradisi nyadran
diselenggarakan dibentuk panitia nyadran dan dilakukan musyawarah bersama
antar warga masyarakat. Musyawarah ini biasanya disebut dengan rembug desa.
Keempat,
nilai pengendalian sosial,
dalam
tradisi
nyadran Sonoageng
masyarakat memberikan ucapan sekaligus perwujudan rasa syukur kepada Sang
Pencipta dan dengan nyadran masyarakat mampu untuk mempertahankan dan
menjaga tradisi leluhur. Kelima, nilai kearifan lokal yang ditunjukkan antara lain
pada saat kirab massyarakat mengarak sesaji, membacakan sejarah desa dan
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya 6
kemudian melakukan ziarah kubur. Sesaji yang dibawa untuk diperebutkan
masyarakat yang datang pada saat kirab. Dengan demikian tidak hanya
masyarakat
Sonoageng
saja
yang
menikmati
nyadran,
namun
semua
masyarakat dan semua golongan dapat menikmati tradisi nyadran.
Kesimpulan
Tradisi nyadran merupakan tradisi masyarakat Jawa yang awalnya dari
masyarakat dengan kepercayaan Hindu. Seiring berkembangnya jaman dan
masuknya ajaran Islam di Pulau Jawa yang disebarkan oleh Wali Sanga, tradisi
nyadran mendapat sentuhan Islam didalamnya. Tradisi nyadran diadakan
dibulan Ruwah sebelum bulan puasa. Di Desa Sonoageng Kabupaten Nganjuk,
tradisi nyadran juga dilaksanakan di bulan Ruwah tepatnya hari Kamis Legi
malam Jumat Kliwon. Tradisi nyadran merupakan salah satu bentuk komunikasi
ritual yang dipercaya mampu menghubungkan kepada Sang Pencipta dan para
leluhur. Dalam tradisi ini terdapat nilai-nilai yang dapat diambil yaitu nilai gotong
royong, persatuan dan kesatuan, pengendalian sosial, musyawarah dan nilai
kearifan lokal. Kelima nilai tersebut tercermin dalam kegiatan sebelum nyadran
dimulai hingga nyadran selesai. Tidak hanya masyarakatb Sonoageng saja yang
menikmati tradisi nyadran Sonoageng, namun masyarakat umum diberbagai
wilayah dari semua golongan dapat menikmati tradisi nyadran tersebut
Daftar Pustaka
Ana, P. A. (t.thn.). Komunikasi Ritual Natoni Masyarakat Adat Boti Dalam di Nusa
Tenggara Timur.
Carey, J. W. (1992). Communication as Culture Essays on Media and Society. New York:
Routledge.
Handayani, T. (1995). Tradisi Nyadran dan Perubahan.
Hutagaol, R. (2013). Penerapan Tradisi Batak Toba di Yogyakarta. Skripsi.
Isyanti. (2007). Tradisi Merti Bumi Suatu Refleksi Masyarakat Agraris. Jantra : Jurnal
Sejarah dan Budaya, 131-135.
Koentjaraningrat. (2000). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kriyantono, R. (2012). Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup.
Moleong, L. J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mumfanganti, T. (2007). Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa. Jantra :
Jurnal Sejarah dan Budaya, 152-158.
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya 7
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya 8
Download