BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Pendengaran Dhingra (2010) mengklasifikasikan sistem pendengaran manusia menjadi 2 bagian besar, yaitu: 1. Sistem pendengaran perifer. Terdiri atas struktur yang terletak di luar batang otak atau otak, yaitu telinga dan nervus koklearis. 2. Sistem pendengaran sentral. Terdiri atas struktur saraf pendengaran setelah nervus koklearis, yaitu kompleks nukleus koklearis, kompleks nukleus olivarius superior, lemniskus lateral, kolikulus inferior, korpus genikulatum medial dan korteks pendengaran. 2.2 Anatomi Telinga Telinga terdiri dari 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Gambar 2.1). Bagian telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga. Bagian telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius dan sel-sel mastoid (Oghalai and Brownell, 2008). Gambar 2.1 Anatomi Telinga. 9 Universitas Sumatera Utara 10 Telinga bagian dalam disebut juga sebagai labirin dan merupakan organ yang penting untuk pendengaran dan keseimbangan. Labirin terdiri dari labirin bagian membran dan labirin bagian tulang. Labirin bagian membran berisi cairan endolimfe sedangkan ruangan diantara bagian membran dan bagian tulang berisi cairan perilimfe (Dhingra, 2010). 2.2.1 Koklea Koklea merupakan saluran tulang yang menyerupai cangkang siput dan bergulung 2½ putaran, dengan panjang kurang lebih 35 mm dengan pusatnya yang disebut modiolus (Moller, 2006). Koklea terbagi atas skala vestibuli, skala media dan skala timpani (Gambar 2.2). Bagian atas koklea adalah skala vestibuli berisi cairan perilimfe dan dipisahkan dari skala media oleh membran Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani yang juga mengandung cairan perilimfe dan dipisahkan dari skala media oleh lamina spiralis oseus dan membran basilaris. Cairan perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema (Dhingra, 2010). Skala media berada di bagian tengah berisi cairan endolimfe (Mills, Khariwala and Weber, 2006). Gambar 2.2 Koklea. Universitas Sumatera Utara 11 Pada skala media terdapat bagian berbentuk lidah yang disebut membran tektoria dan pada membran basilaris melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam dan sel rambut luar dan kanalis Corti yang membentuk organ Corti. Pada bagian lateral terdapat stria vaskularis yang terdiri dari 3 lapisan sel yaitu sel marginal, sel intermediet dan sel basal. Sel-sel stria vaskularis merupakan satu-satunya sel yang berhubungan dengan pembuluh darah di koklea. Stria vaskularis bertanggung jawab menghasilkan dan menjaga konsentrasi ion K+ tetap tinggi dalam cairan endolimfe serta menghasilkan potensial endokoklear untuk proses transduksi suara (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006). 2.2.2 Organ Corti Organ Corti terletak di atas membran basilaris dari basis sampai ke apeks koklea yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Komponen utama organ Corti terdiri dari sel sensoris (sel rambut dalam dan sel rambut luar), 3 lapis sel penyokong (sel Deiters, Hensen dan Claudius) dan membran tektorial (Gambar 2.3) (Pawlowsky, 2004). Sel rambut dalam terdiri dari satu baris (3.000 sampai 3.500) dan sel rambut luar terdiri dari tiga baris (12.000) (Moller, 2006). Fungsi sel rambut dalam sebagai mekanoreseptor utama yang mengirimkan sinyal saraf ke neuron pendengaran ganglion spiral dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi sel rambut luar adalah meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang yang berjalan dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris pada frekuensi tertentu (Gillespie, 2006). Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin yang membentuk pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler (stereosilia) (Pawlowsky, 2004). Universitas Sumatera Utara 12 Gambar 2.3 Organ Corti. 2.3 Fisiologi Pendengaran Getaran suara dihantarkan ke liang telinga dan telinga tengah. Getaran diteruskan ke telinga dalam melalui footplate dari stapes, menimbulkan suatu gelombang yang berjalan di sepanjang cairan koklea yang akan menggerakkan membran basilaris dan organ Corti. Puncak gelombang yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat melengkungnya stereosilia, dengan demikian menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8 (Moller, 2006; Gacek, 2009). Serabut-serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis tengah dan berjalan naik menuju komplek olivari superior, namun sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya pada inti lemniskus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior jaras pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks pendengaran pada lobus temporalis (Gacek, 2009). Universitas Sumatera Utara 13 2.4 Proses Transduksi di Koklea Proses transduksi adalah proses konversi dari suatu bentuk energi menjadi bentuk energi yang lain. Pada koklea proses transduksi terjadi pada sel rambut dalam dimana energi mekanis (getaran) diubah menjadi energi elektrokimia yaitu potensial membran atau potensial aksi (Beurg, et al., 2008). Ujung dari stereosilia terdapat filamen halus yang disebut dengan tip link. Filamen halus ini menghubungkan ujung stereosilia dengan yang lain. Bila saat sel rambut defleksi ke arah menjauhi modiolus (eksitasi), tip link akan meregang. Peregangan inilah yang nantinya akan membuka saluran pada bagian atas stereosilia yang akan dikenal sebagai saluran Mekanoelektrik Transduksi (MET) dan sebaliknya bila saat sel rambut defleksi ke arah mendekati modiolus (inhibisi), tip link akan mengendur dan membuat saluran MET tertutup (Haryuna, 2013). Gerakan membran basilaris ke atas akan membengkokkan stereosilia ke arah stereosilia yang lebih tinggi pada fase depolarisasi mengakibatkan terjadinya peregangan pada serabut tip link di puncak stereosilia. Ketika tip link meregang langsung membuka saluran MET pada membran stereosilia dan menyebabkan kation kalium (K+) dan kalsium (Ca2+) mengalir ke dalam sel rambut (Despopoulos and Silbernagl, 2008). Masuknya Ca2+ mengakibatkan terjadinya pelepasan neurotransmitter kimia dari vesikula sinaptik di dasar sel dan ditangkap oleh reseptor aferen saraf koklearis (Gambar 2.4) (Gillespie, 2006). Saraf-saraf pendengaran merespon neurotransmitter dengan menghasilkan potensial aksi, lonjakan arus listrik merambat dan diteruskan dari serabut saraf koklearis menuju nukleus koklearis dalam sekian detik dan diterjemahkan oleh otak, sehingga kita dapat mendengar (Haryuna, 2013). Universitas Sumatera Utara 14 Gambar 2.4 Proses Transduksi di Koklea. 2.5 Diabetes Mellitus 2.5.1 Definisi Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar gula dalam darah yang melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan salah satu tanda khas penyakit DM (PERKENI, 2011). DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, disfungsi insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada DM berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Purnamasari, 2009; Amod, et al., 2012; ADA, 2016). Universitas Sumatera Utara 15 2.5.2 Klasifikasi Secara klinik, DM dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok (ADA, 2016): 1. DM tipe 1 (adanya kerusakan dari sel beta pankreas yang menyebabkan defisiensi insulin), 2. DM tipe 2 (pengaruh dari progresif sekresi insulin yang menyebabkan resistensi insulin), 3. Gestational diabetes mellitus (GDM) (diabetes yang didiagnosis selama kehamilan trimester ke-2 dan ke-3), 4. DM tipe spesifik, misalnya sindrom diabetes monogenik (seperti DM pada neonatal), penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis) dan obat atau bahan kimia yang dapat menyebabkan DM (seperti dengan penggunaan glukokortikoid, dalam pengobatan HIV / AIDS atau setelah transplantasi organ). 2.5.3 Gejala klinis dan diagnosis Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer (PERKENI, 2011). Gejala klinis pada DM dapat berupa (PERKENI, 2011): 1. Gejala klasik: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. 2. Gejala lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulva pada wanita. Kriteria diagnosis DM dapat ditegakkan berdasarkan (PERKENI, 2011): Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban 75 gram, atau Universitas Sumatera Utara 16 Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik, atau Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode HighPerformance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP). 2.6 Gangguan Pendengaran Pada Diabetes Mellitus Penelitian hubungan antara DM dengan gangguan pendengaran sudah lama dilakukan. Publikasi pertama hubungan antara DM dengan gangguan pendengaran adalah laporan kasus gangguan pendengaran yang dihubungkan dengan koma diabetes oleh Jordao pada tahun 1857. Sebelum adanya laporan tersebut, penelitian mengenai DM hanya difokuskan pada komplikasi DM yang dapat mengancam kehidupan (Helzner, 2014). Baru-baru ini, peningkatan prevalensi DM telah menginspirasi banyak studi mengenai hubungan antara gangguan pendengaran dengan DM. Horikawa, et al., (2013) melakukan penelitian meta-analisis mengenai hubungan antara DM dengan risiko gangguan pendengaran. Mereka melaporkan bahwa penderita DM 2,15 kali lebih mungkin mengalami gangguan pendengaran dibandingkan tidak mengalami DM tanpa memandang usia. Diniz dan Guida (2009) melaporkan adanya hubungan antara gangguan pendengaran pada penderita DM dimana dijumpai penurunan ambang dengar penderita DM yang diperiksa dengan menggunakan audiomtri nada murni. Lee, et al., (2008) melaporkan bahwa keadaan hiperglikemia kronik dan obesitas dapat mempercepat terjadinya gangguan pendengaran yang diteliti pada tikus obesitas. Bainbridge, Hoffman dan Cowie (2008) melaporkan dari 5.742 peserta National Health and Nutrition Examination, penderita DM lebih banyak mengalami gangguan pendengaran dibandingkan yang tidak mengalami DM. Ditemukan adanya penurunan pendengaran sebanyak 31% pada Universitas Sumatera Utara 17 penderita DM pada frekuensi 4000 Hz dan 34% pada frekuensi 8000 Hz. Klinik Diabetes Rumah Sakit Gordan di Iran melaporkan prevalensi gangguan pendengaran pada penderita DM tipe 2 sebesar 16% dan hanya 5% pada kelompok yang tidak mengalami DM atau penderita DM memiliki risiko 3,2 kali lebih besar menderita gangguan pendengaran dibandingkan orang sehat (Taziki and Mansourian, 2011). Di RSUP H. Adam Malik Medan, Yarisman (2014) juga melaporkan terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik terjadinya gangguan pendengaran pada penderita DM dibandingkan yang tidak menderita DM. 2.7 Pengaruh Diabetes Mellitus terhadap Organ Pendengaran Beberapa etiologi yang penting pada gangguan pendengaran yang diakibatkan DM adalah neuropati dan mikroangiopati (Mozaffari, et al., 2008). Gangguan pendengaran pada penderita DM memiliki karakteristik progresif, bilateral dan merupakan tuli jenis sensorineural dengan onset bersifat bertahap yang secara dominan mengenai frekuensi tinggi (Malucelli, et al., 2012). Penurunan pendengaran yang terjadi pada penderita DM adalah pada frekuensi tinggi dan dapat dijelaskan sebagai berikut (Kakarlapudi, Sawyer and Staecker, 2003) : 1. Sel-sel rambut luar mengandung glikogen lebih banyak dari pada selsel rambut dalam dan jumlahnya di bagian basal lebih sedikit dibandingkan di bagian apeks. 2. Sel-sel rambut di daerah basal lebih panjang sehingga untuk dapat meneruskan rangsangan ke serabut-serabut saraf memerlukan energi lebih besar. 3. Potensial endolimfatik pada bagian basal lebih tinggi sehingga memerlukan energi lebih banyak. 4. Skala timpani pada bagian basal lebih besar sehingga kebutuhan akan sumber energi eksternal (glukosa) dan oksigen lebih besar. Universitas Sumatera Utara 18 Pada sistem pendengaran, keadaan DM dapat menyebabkan atrofi ganglion spiralis, degenerasi mielin saraf vestibulokoklearis, pengurangan jumlah serabut saraf dalam lamina spiralis dan sebagainya (Malucelli, et al., 2012). Keadaan DM juga dapat mengakibatkan gangguan pada transportasi nutrisi karena dinding kapiler yang menebal sehingga aliran menjadi berkurang serta dapat mengakibatkan degenerasi dari saraf vestibulokoklearis (Rust, et al., 1991). Angiopati dapat terjadi terutama di stria vaskuleris dan ligamentum spiralis (Ishikawa, et al., 1995). Atrofi ganglion spiralis dan demielinasi saraf vestibulokoklearis pada penderita DM menunjukkan bahwa gangguan metabolisme mielin mungkin memiliki peran dalam patogenesis neuropati diabetes. Pada pengamatan dengan menggunakan mikroskop optik, demielinasi saraf pendengaran oleh degenerasi selubung mielin ditunjukkan dengan adanya perubahan akson ringan dan fibrosis perineurium. Selain itu juga dijumpai atrofi berat di ganglion spiralis dan berkurangnya jumlah serabut saraf dari lamina spiralis (Malucelli, et al., 2012). Fukushima, et al., (2006) meneliti efek DM terhadap koklea manusia dan melaporkan bahwa penderita DM mengalami mikroangiopati koklea dan degenerasi stria vaskuleris. Metabolisme glukosa secara signifikan mempengaruhi telinga dalam. Baik kadar gula yang rendah maupun tinggi dapat mempengaruhi fungsi telinga dalam. Telinga bagian dalam akan berfungsi dengan baik bila terdapat keseimbangan antara kadar glukosa dengan insulin. Namun pada keadaan DM, glukosa yang terdapat di dalam darah tidak dapat masuk ke sel telinga bagian dalam akibat ketidak seimbangan insulin dan pada akhirnya akan mengakibatkan gangguan fungsional telinga dalam. Hal ini juga dianggap sebagai penyebab penting pada gangguan pendengaran akibat DM (Malucelli, 2012). Universitas Sumatera Utara 19 2.8 Respon Intraseluler terhadap Diabetes Mellitus Hiperglikemia melatarbelakangi perkembangan mikroangiopati diabetik. Banyak perubahan awal vaskuler akibat hiperglikemia seperti perubahan hemodinamik, disfungsi endotil, aktivasi sel inflamasi, serta perubahan ekspresi faktor vaskuler dan neurotropik. Urutan patogenesisnya diawali oleh abnormalitas biokimiawi yang terkait dengan hiperglikemia, termasuk stres oksidatif, aliran berlebihan (flux) polyol dan hexamine pathway, pembentukan Advanced Glycosylation Endproduct (AGE) dan aktivasi PKC. Perubahan ini akan mengganggu remodelling vaskuler yang ditandai oleh berubahnya siklus sel, tonus vaskuler dan permeabilitas serta pola koagulasi. Semuanya bervariasi tergantung dari organ sasaran (Djokomoeljanto, 2007). Dalam keadaan normal, sebagian besar glukosa mengalami metabolisme lewat jalur glikolitik dan pentose shunt. Apabila terjadi hiperglikemia, glukosa akan cenderung meningkat sehingga glukosa juga diubah menjadi sorbitol. Sebagian dari glukosa yang berlebih akan bereaksi secara nonenzimatik dengan protein atau bahan lain di dalam sirkulasi maupun jaringan sehingga mempercepat glikasi nonenzimatik. Di samping itu, glukosa akan mengalami otooksidasi bersama dengan radikal bebas yang terbentuk dari beberapa reaksi enzimatik maupun nonenzimatik yang mengakibatkan terjadinya stres oksidatif (Di Mario, 2003). Pada keadaan hiperglikemia akan terjadi ketidak seimbangan radikal bebas sehingga menyebabkan stres oksidatif yang dapat merusak protein sel (Djokomoeljanto, 2007). Selain itu, stres oksidatif juga dapat menyebabkan disfungsi sel beta pankreas dan insulin resisten (Votey and Peters, 2008). Di sisi lain, terbentuknya AGE juga dapat merusak sel karena mengganggu struktur protein intra dan ekstrasel seperti kolagen. Pada endotel mikrovaskuler manusia, AGEs dapat menghambat produksi prostasiklin dan menginduksi Plasmin Activator Inhibitor-1 (PAI-1) dan Universitas Sumatera Utara 20 dapat mengakibatkan trombosis (Sheetz and King, 2006; Djokomoeljanto, 2007). Sistem PA / plasmin / PAI juga terlibat dalam degrasi MES (Ban and Twigg, 2008). Keadaan DM juga berhubungan dengan ketidak seimbangan sistem sirkulasi MMP, dimana terjadi peningkatan MMP-9 yang merupakan protein penghancur kolagen tipe IV baik pada DM tipe 1 ataupun DM tipe 2 walaupun belum terjadi komplikasi (Ban and Twigg, 2008). Aktivasi Glukosamine Fruktose Amidotransferase (GFAT) yang disebabkan kadar gula darah yang tinggi juga dapat meningkatkan MMPs (Votey and Peters, 2008). Dinding lateral koklea tersusun dari jaringan MES sebagai struktur penyangga, dimana terdapat fibroblas yang menghasilkan kolagen. Kolagen adalah suatu makromolekul yang merupakan komponen utama dari MES dengan kandungan protein yang paling besar pada tubuh manusia. Perubahan yang terjadi pada fibroblas berpengaruh pada kolagen dan dapat mengganggu fungsi pendengaran. Kolagen tipe IV disebut paling rawan (the most vulnerable) terhadap efek bising, sehingga kerusakan terjadi lebih dominan (Purnami, 2009; Haryuna, 2013). Pada penelitian terakhir, Haryuna (2013) melaporkankan adanya kerusakan kolagen tipe IV pada fibroblas dinding lateral koklea tikus yang diinduksi bising. 2.9 Kolagen Tipe IV Kolagen adalah suatu makromolekul yang merupakan komponen utama dari MES dengan kandungan protein yang paling besar pada tubuh manusia (Purnami, 2009). Saat ini, ada sebanyak 25 jenis kolagen telah dapat diidentifikasi. Kolagen tipe I adalah tipe yang paling banyak dijumpai (Daniels, 2006). Universitas Sumatera Utara 21 Kolagen tipe IV ditemukan pada daerah perifer sistem auditori yang meliputi membran tektorial, membran basal, stria vaskuleris, serat saraf pendengaran yang bermielin, ligamentum spiralis, spiral prominence, spiral limbus, skala media dan sel epitel (Frisina, Mapes and Kim, 2006). Membran basal dari organ Corti dibentuk oleh kolagen tipe IV, kapsul koklea bagian tulang oleh kolagen tipe I dan membran tektorial mengandung kolagen tipe II, V, IX dan XI. Dinding lateral koklea terdapat kolagen tipe I, II, III dan IV. Diketahui bahwa kerusakan terjadi terutama pada kolagen tipe IV yang mana paling rawan terhadap efek bising (Purnami, 2009). 2.10 Curcuminoid Curcumin merupakan bagian terbesar pigmen kuning yang terdapat dalam rimpang kunyit (Curcuma longa Linnaeus) yang memiliki berbagai aktivitas biologis seperti antioksidan, antiinflamasi dan antineoplastik. Oleh penduduk Asia, utamanya India dan Indonesia, zat warna kuning dari curcumin tersebut sering digunakan sebagai bahan makanan tambahan, bumbu atau obat-obatan dan tidak menimbulkan efek toksik yang merugikan (Rochmad, 2004). Selama dua dekade belakangan ini penelitian tentang curcumin sebagai bahan aktif untuk beberapa penyakit telah banyak dilakukan. Diantara penelitian-penelitian tersebut antara lain melaporkan tentang efek curcumin sebagai antioksidan (Majeed, et al., 1995; Rao, 1997), antiinflamasi (Van der Goot, 1997; Sardjiman, 1997), antikolesterol (Bourne, et al., 1999), antiinfeksi (Sajithlal, et al., 1998), antikanker (Huang, et al., 1997; Singletary, et al., 1998; Huang, et al., 1998) dan anti HIV (Mazumder, et al., 1997; Barthelemy, et al., 1998) (Rochmad, 2004). Habitat asli tanaman ini adalah wilayah Asia, khususnya Asia Tenggara. Kunyit dapat tumbuh di berbagai tempat, tumbuh liar di ladang, di hutan (misalnya hutan jati) ataupun ditanam di pekarangan rumah, di Universitas Sumatera Utara 22 dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian 200 m di atas permukaan laut. Selain itu, kunyit dapat tumbuh dengan baik di tanah yang baik tata pengairannya dan curah hujan yang tinggi (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2001). Komponen utama dalam kunyit adalah curcuminoid dan atsiri. Salah satu komponen kimia dalam kunyit yang berkhasiat sebagai obat adalah curcuminoid. Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) bahwa kandungan curcumin rimpang kunyit rata-rata 10,92%. Selain kunyit, ada juga beberapa tanaman yang mengandung curcumin misalnya temulawak dan temuhitam (Sidik, Mulyono dan Ahmad, 1995; Haryuna, 2013). Curcumin mempunyai potensi yang baik untuk berbagai penyakit. Pada fase I percobaan klinik mengindikasikan sebanyak 12 gram curcumin perhari selama 3 bulan dapat ditoleransi oleh tubuh manusia. Dosis optimum curcumin untuk pengobatan suatu penyakit belum jelas. Data menunjukkan bahwa curcumin memiliki bioavaibilitas yang rendah (Aggarwal, et al., 2007). Penelitian mengenai curcumin menunjukkan bahwa toksisitas curcumin tidak signifikan. Pada tikus yang diberi curcumin pada makanannya dengan dosis 0,1-2,0% (0,1-2,7 mmol/kgBB/hari) selama 8 minggu, tidak ada efek pada nafsu makan, peningkatan berat badan, hematologi, kimia serum atau perubahan histologi saluran pencernaan, hati, limpa dan ginjal yang diperiksa. Penelitian yang serupa, tikus diberikan curcumin hingga 1.000 mg/kgbb/hari per oral selama 3 bulan dan tidak ada efek samping pada pertumbuhan, perilaku, parameter biokimia dan histopatologi (Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996). Curcumin telah terbukti mengganggu jalur sinyal beberapa sel, termasuk siklus sel (cyclin D1 dan cyclin E), apoptosis (aktivasi caspases dan “down-regulation” dari produk gen anti apoptosis), proliferasi (HER-2, EGFR dan AP-1), kelangsungan hidup (jalur PI3K), invasi (MMP-9 dan Universitas Sumatera Utara 23 molekul adhesi), angiogenesis (VEGF), metastasis (CXCR-4) dan peradangan (NFκB, TNF, IL-6, IL-1, COX-2 dan 5-LOX) (Anand, et al., 2008). Li, et al., (2013) melaporkan bahwa curcumin mampu menetral TGF-β1 yang diinduksi epithelial-to-mesenchymal transition (EMT) dalam sel epitel tubulus ginjal. Gaedeke, Noble dan Border (2005) melaporkan curcumin dapat menghambat beberapa jalur sinyal TGF-β pada sel ginjal. Haryuna, (2013) melaporkankan curcuminoid mampu menekan produksi MMP-9 pada fibroblas dinding lateral koklea tikus yang diinduksi bising, sehingga degradasi kolagen tipe IV yang merupakan penyusun utama membran basilaris dan MES dapat diminimalisir. 2.11 Perbandingan Struktur dan Fungsi Pendengaran Spesies Berbeda Pada perkembangannya, fungsi pendengaran hewan dibanding manusia mempunyai perbedaan mendasar. Pada hewan stimulus suara sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup, mencari makan, mobilitas dan menghindari musuh. Sedangkan pada manusia fungsi auditori untuk komunikasi lebih menonjol perannya sehingga dapat dimengerti bahwa rentang frekuensi penangkapan indra pendengaran manusia lebih pendek yaitu berkisar 20-20.000 Hz, lebih terfokus pada frekuensi untuk komunikasi. Sedangkan pada tikus bisa mencapai pada frekuensi ultrasonik yaitu 1-60 kHz dengan rentang yang lebih panjang dibanding spesies manusia (Heffner and Heffner, 2003). Rattus norvegicus merupakan hewan coba yang umum digunakan sebagai model penelitian biomedik yang penting untuk menjelaskan berbagai penyakit pada manusia. Struktur yang mirip dan kesamaan patobiologi telinga dalam menyebabkan hewan ini banyak digunakan untuk penelitian, selain karena mudah didapat, cepat berkembang biak sehingga mendapatkan populasi homogen yang diperlukan untuk Universitas Sumatera Utara 24 kesamaan genetik. Identifikasi gen dan sekuensnya homolog, dengan demikian tikus mempunyai potensi untuk pengembangan studi ketulian genetik. Selain itu perubahan histopatologis yang diamati dari hasil penelitian pada tikus juga mempunyai relevansi klinis dengan manusia (Gravel and Ruben, 1996; Cancian, 1997; Steel, 1998). 2.12 Teknik Imunohistokimia untuk Identifikasi Ekspresi Protein Teknik pemeriksaan identifikasi protein yang dilakukan yaitu antara lain dengan teknik imunohistokimia untuk mengetahui ekspresi variabel yang diperiksa di fibroblas sediaan jaringan koklea dengan menggunakan metode Avidin-Biotin kompleks. Reagen yang digunakan pada teknik ini adalah antibodi primer dan antibodi sekunder yang diikatkan secara kimia dengan biotin dan suatu kompleks glikoprotein yang diikatkan pada biotin dan peroksidase. Avidin memiliki nonimunologik dengan biotin. kemampuan berikatan secara Peroksidase akan bereaksi dengan Hydrogen Peroxide (H2O2), bila terdapat elektron donor membentuk molekul berwarna (Haryuna, 2013). Antibodi primer dan sekunder dapat melekat pada elemen jaringan yang bermuatan tinggi, seperti jaringan ikat sehingga menghasilkan reaksi warna yang positif ditempat yang tidak mengandung variabel yang diperiksa. Sebelum pewarnaan daerah ini dapat ditutup dengan menggunakan protein plasma non imun yang berasal dari binatang dengan spesies yang sama dengan binatang yang memproduksi antibodi sekunder. Penutupan ini bertujuan mengurangi perlekatan antibodi sekunder non spesifik dengan jaringan sehingga reaktivitas non spesifik menurun. Sebagian besar jaringan yang mengandung peroksidase akan bereaksi dengan substrat kromogen. Peroksidase endogen dapat dihambat dengan menambahkan H2O2 3% dalam larutan methanol (Haryuna, 2013). Universitas Sumatera Utara 25 2.13 Kerangka Konsep STZ Kolagen Tipe IV Degradasi MES Gambar 2.5 Kerangka Konsep. Universitas Sumatera Utara 26 2.13.1 Penjelasan kerangka konsep STZ yang diinjeksikan akan diabsorbsi sel beta pankreas dan dapat mengganggu fungsi sel beta yang dapat mengakibatkan penurunan sekresi insulin sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia akan menimbulkan berbagai jalur sinyal yang berpotensi meningkatkan komplikasi yang dapat mengakibatkan kerusakan MES. Kerusakan sel fibroblas dinding lateral koklea yang merupakan struktur dari MES dapat mempengaruhi produksi kolagen tipe IV. Kerusakan pada dinding lateral koklea menyebabkan gangguan transduksi impuls hingga gangguan fungsi pendengaran sebagai hasil akhir. Curcuminoid dapat meningkatkan ekspresi kolagen tipe IV sehingga dapat mencegah dan memperbaiki kerusakan MES akibat DM. Ekspresi kolagen tipe IV pada fibroblas dinding lateral koklea adalah protein yang kami teliti. 2.14 Hipotesis 2.14.1 Hipotesis mayor Curcuminoid dapat mencegah dan memperbaiki kerusakan fibroblas koklea. 2.14.2 Hipotesis minor 1. Curcuminoid dapat meningkatkan ekspresi kolagen tipe IV pada fibroblas dinding lateral koklea. 2. Ada hubungan antara dosis curcuminoid dengan ekspresi kolagen tipe IV. Semakin tinggi dosis curcuminoid maka semakin tinggi ekspresi kolagen tipe IV. 3. Ada manfaat lama waktu pemberian curcuminoid. Semakin lama waktu pemberian curcuminoid maka semakin tinggi ekspresi kolagen tipe IV. Universitas Sumatera Utara