9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Pendengaran Dhingra

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Pendengaran
Dhingra (2010) mengklasifikasikan sistem pendengaran manusia
menjadi 2 bagian besar, yaitu:
1. Sistem pendengaran perifer.
Terdiri atas struktur yang terletak di luar batang otak atau otak, yaitu
telinga dan nervus koklearis.
2. Sistem pendengaran sentral.
Terdiri atas struktur saraf pendengaran setelah nervus koklearis, yaitu
kompleks nukleus koklearis, kompleks nukleus olivarius superior,
lemniskus lateral, kolikulus inferior, korpus genikulatum medial dan
korteks pendengaran.
2.2 Anatomi Telinga
Telinga terdiri dari 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan
telinga dalam (Gambar 2.1). Bagian telinga luar terdiri dari daun telinga
dan liang telinga. Bagian telinga tengah terdiri dari membran timpani,
kavum timpani, tuba Eustachius dan sel-sel mastoid (Oghalai and
Brownell, 2008).
Gambar 2.1 Anatomi Telinga.
9
Universitas Sumatera Utara
10
Telinga bagian dalam disebut juga sebagai labirin dan merupakan
organ yang penting untuk pendengaran dan keseimbangan. Labirin terdiri
dari labirin bagian membran dan labirin bagian tulang. Labirin bagian
membran berisi cairan endolimfe sedangkan ruangan diantara bagian
membran dan bagian tulang berisi cairan perilimfe (Dhingra, 2010).
2.2.1 Koklea
Koklea merupakan saluran tulang yang menyerupai cangkang siput
dan bergulung 2½ putaran, dengan panjang kurang lebih 35 mm dengan
pusatnya yang disebut modiolus (Moller, 2006). Koklea terbagi atas skala
vestibuli, skala media dan skala timpani (Gambar 2.2). Bagian atas koklea
adalah skala vestibuli berisi cairan perilimfe dan dipisahkan dari skala
media oleh membran Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala
timpani yang juga mengandung cairan perilimfe dan dipisahkan dari skala
media oleh lamina spiralis oseus dan membran basilaris. Cairan perilimfe
pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea melalui suatu celah
yang dikenal sebagai helikotrema (Dhingra, 2010). Skala media berada di
bagian tengah berisi cairan endolimfe (Mills, Khariwala and Weber, 2006).
Gambar 2.2 Koklea.
Universitas Sumatera Utara
11
Pada skala media terdapat bagian berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria dan pada membran basilaris melekat sel rambut yang
terdiri dari sel rambut dalam dan sel rambut luar dan kanalis Corti yang
membentuk organ Corti. Pada bagian lateral terdapat stria vaskularis yang
terdiri dari 3 lapisan sel yaitu sel marginal, sel intermediet dan sel basal.
Sel-sel stria vaskularis merupakan satu-satunya sel yang berhubungan
dengan pembuluh darah di koklea. Stria vaskularis bertanggung jawab
menghasilkan dan menjaga konsentrasi ion K+ tetap tinggi dalam cairan
endolimfe serta menghasilkan potensial endokoklear untuk proses
transduksi suara (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006).
2.2.2 Organ Corti
Organ Corti terletak di atas membran basilaris dari basis sampai ke
apeks
koklea
yang
mengandung
organel-organel
penting
untuk
mekanisme saraf perifer pendengaran. Komponen utama organ Corti
terdiri dari sel sensoris (sel rambut dalam dan sel rambut luar), 3 lapis sel
penyokong (sel Deiters, Hensen dan Claudius) dan membran tektorial
(Gambar 2.3) (Pawlowsky, 2004). Sel rambut dalam terdiri dari satu baris
(3.000 sampai 3.500) dan sel rambut luar terdiri dari tiga baris (12.000)
(Moller, 2006). Fungsi sel rambut dalam sebagai mekanoreseptor utama
yang mengirimkan sinyal saraf ke neuron pendengaran ganglion spiral
dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi sel rambut luar adalah
meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang yang berjalan
dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris pada frekuensi tertentu
(Gillespie, 2006). Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin yang
membentuk pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler (stereosilia)
(Pawlowsky, 2004).
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 2.3 Organ Corti.
2.3 Fisiologi Pendengaran
Getaran suara dihantarkan ke liang telinga dan telinga tengah. Getaran
diteruskan ke telinga dalam melalui footplate dari stapes, menimbulkan
suatu gelombang yang berjalan di sepanjang cairan koklea yang akan
menggerakkan membran basilaris dan organ Corti. Puncak gelombang
yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm
tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat
melengkungnya stereosilia, dengan demikian menimbulkan depolarisasi
sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf
pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis
diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui
saraf kranialis ke-8 (Moller, 2006; Gacek, 2009).
Serabut-serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis
dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis tengah dan
berjalan naik menuju komplek olivari superior, namun sebagian serabut
tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya pada inti lemniskus
lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior jaras pendengaran
berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks pendengaran
pada lobus temporalis (Gacek, 2009).
Universitas Sumatera Utara
13
2.4 Proses Transduksi di Koklea
Proses transduksi adalah proses konversi dari suatu bentuk energi
menjadi bentuk energi yang lain. Pada koklea proses transduksi terjadi
pada sel rambut dalam dimana energi mekanis (getaran) diubah menjadi
energi elektrokimia yaitu potensial membran atau potensial aksi (Beurg, et
al., 2008).
Ujung dari stereosilia terdapat filamen halus yang disebut dengan tip
link. Filamen halus ini menghubungkan ujung stereosilia dengan yang lain.
Bila saat sel rambut defleksi ke arah menjauhi modiolus (eksitasi), tip link
akan meregang. Peregangan inilah yang nantinya akan membuka saluran
pada bagian atas stereosilia yang akan dikenal sebagai saluran
Mekanoelektrik Transduksi (MET) dan sebaliknya bila saat sel rambut
defleksi ke arah mendekati modiolus (inhibisi), tip link akan mengendur
dan membuat saluran MET tertutup (Haryuna, 2013).
Gerakan membran basilaris ke atas akan membengkokkan stereosilia
ke arah stereosilia yang lebih tinggi pada fase depolarisasi mengakibatkan
terjadinya peregangan pada serabut tip link di puncak stereosilia. Ketika
tip link meregang langsung membuka saluran MET pada membran
stereosilia dan menyebabkan kation kalium (K+) dan kalsium (Ca2+)
mengalir ke dalam sel rambut (Despopoulos and Silbernagl, 2008).
Masuknya Ca2+ mengakibatkan terjadinya pelepasan neurotransmitter
kimia dari vesikula sinaptik di dasar sel dan ditangkap oleh reseptor aferen
saraf koklearis (Gambar 2.4) (Gillespie, 2006). Saraf-saraf pendengaran
merespon neurotransmitter dengan menghasilkan potensial aksi, lonjakan
arus listrik merambat dan diteruskan dari serabut saraf koklearis menuju
nukleus koklearis dalam sekian detik dan diterjemahkan oleh otak,
sehingga kita dapat mendengar (Haryuna, 2013).
Universitas Sumatera Utara
14
Gambar 2.4 Proses Transduksi di Koklea.
2.5 Diabetes Mellitus
2.5.1 Definisi
Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar
gula dalam darah yang melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan
salah satu tanda khas penyakit DM (PERKENI, 2011). DM merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia
kronik dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein,
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, disfungsi insulin atau
keduanya. Hiperglikemia kronik pada DM berhubungan dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Purnamasari, 2009;
Amod, et al., 2012; ADA, 2016).
Universitas Sumatera Utara
15
2.5.2 Klasifikasi
Secara klinik, DM dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok
(ADA, 2016):
1. DM tipe 1 (adanya kerusakan dari sel beta pankreas yang
menyebabkan defisiensi insulin),
2. DM tipe 2 (pengaruh dari progresif sekresi insulin yang menyebabkan
resistensi insulin),
3. Gestational diabetes mellitus (GDM) (diabetes yang didiagnosis
selama kehamilan trimester ke-2 dan ke-3),
4. DM tipe spesifik, misalnya sindrom diabetes monogenik (seperti DM
pada neonatal), penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis)
dan obat atau bahan kimia yang dapat menyebabkan DM (seperti
dengan penggunaan glukokortikoid, dalam pengobatan HIV / AIDS
atau setelah transplantasi organ).
2.5.3 Gejala klinis dan diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan
dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer (PERKENI, 2011).
Gejala klinis pada DM dapat berupa (PERKENI, 2011):
1. Gejala klasik: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Gejala lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi
ereksi pada pria dan pruritus vulva pada wanita.
Kriteria diagnosis DM dapat ditegakkan berdasarkan (PERKENI, 2011):

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah
kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau

Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban 75 gram, atau
Universitas Sumatera Utara
16

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan
klasik, atau

Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode HighPerformance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
2.6 Gangguan Pendengaran Pada Diabetes Mellitus
Penelitian hubungan antara DM dengan gangguan pendengaran sudah
lama dilakukan. Publikasi pertama hubungan antara DM dengan
gangguan pendengaran adalah laporan kasus gangguan pendengaran
yang dihubungkan dengan koma diabetes oleh Jordao pada tahun 1857.
Sebelum adanya laporan tersebut, penelitian mengenai DM hanya
difokuskan pada komplikasi DM yang dapat mengancam kehidupan
(Helzner, 2014).
Baru-baru ini, peningkatan prevalensi DM telah menginspirasi banyak
studi mengenai hubungan antara gangguan pendengaran dengan DM.
Horikawa, et al., (2013) melakukan penelitian meta-analisis mengenai
hubungan antara DM dengan risiko gangguan pendengaran. Mereka
melaporkan bahwa penderita DM 2,15 kali lebih mungkin mengalami
gangguan pendengaran dibandingkan tidak mengalami DM tanpa
memandang usia. Diniz dan Guida (2009) melaporkan adanya hubungan
antara gangguan pendengaran pada penderita DM dimana dijumpai
penurunan ambang dengar penderita DM yang diperiksa dengan
menggunakan audiomtri nada murni. Lee, et al., (2008) melaporkan
bahwa keadaan hiperglikemia kronik dan obesitas dapat mempercepat
terjadinya gangguan pendengaran yang diteliti pada tikus obesitas.
Bainbridge, Hoffman dan Cowie (2008) melaporkan dari 5.742 peserta
National Health and Nutrition Examination, penderita DM lebih banyak
mengalami gangguan pendengaran dibandingkan yang tidak mengalami
DM. Ditemukan adanya penurunan pendengaran sebanyak 31% pada
Universitas Sumatera Utara
17
penderita DM pada frekuensi 4000 Hz dan 34% pada frekuensi 8000 Hz.
Klinik Diabetes Rumah Sakit Gordan di Iran melaporkan prevalensi
gangguan pendengaran pada penderita DM tipe 2 sebesar 16% dan
hanya 5% pada kelompok yang tidak mengalami DM atau penderita DM
memiliki risiko 3,2 kali lebih besar menderita gangguan pendengaran
dibandingkan orang sehat (Taziki and Mansourian, 2011). Di RSUP H.
Adam Malik Medan, Yarisman (2014) juga melaporkan terdapat
perbedaan
yang
bermakna
secara
statistik
terjadinya
gangguan
pendengaran pada penderita DM dibandingkan yang tidak menderita DM.
2.7 Pengaruh Diabetes Mellitus terhadap Organ Pendengaran
Beberapa etiologi yang penting pada gangguan pendengaran yang
diakibatkan DM adalah neuropati dan mikroangiopati (Mozaffari, et al.,
2008). Gangguan pendengaran pada penderita DM memiliki karakteristik
progresif, bilateral dan merupakan tuli jenis sensorineural dengan onset
bersifat bertahap yang secara dominan mengenai frekuensi tinggi
(Malucelli, et al., 2012). Penurunan pendengaran yang terjadi pada
penderita DM adalah pada frekuensi tinggi dan dapat dijelaskan sebagai
berikut (Kakarlapudi, Sawyer and Staecker, 2003) :
1. Sel-sel rambut luar mengandung glikogen lebih banyak dari pada selsel rambut dalam dan jumlahnya di bagian basal lebih sedikit
dibandingkan di bagian apeks.
2. Sel-sel rambut di daerah basal lebih panjang sehingga untuk dapat
meneruskan rangsangan ke serabut-serabut saraf memerlukan energi
lebih besar.
3. Potensial endolimfatik pada bagian basal lebih tinggi sehingga
memerlukan energi lebih banyak.
4. Skala timpani pada bagian basal lebih besar sehingga kebutuhan
akan sumber energi eksternal (glukosa) dan oksigen lebih besar.
Universitas Sumatera Utara
18
Pada sistem pendengaran, keadaan DM dapat menyebabkan atrofi
ganglion spiralis, degenerasi mielin saraf vestibulokoklearis, pengurangan
jumlah serabut saraf dalam lamina spiralis dan sebagainya (Malucelli, et
al., 2012). Keadaan DM juga dapat mengakibatkan gangguan pada
transportasi nutrisi karena dinding kapiler yang menebal sehingga aliran
menjadi berkurang serta dapat mengakibatkan degenerasi dari saraf
vestibulokoklearis (Rust, et al., 1991). Angiopati dapat terjadi terutama di
stria vaskuleris dan ligamentum spiralis (Ishikawa, et al., 1995).
Atrofi ganglion spiralis dan demielinasi saraf vestibulokoklearis pada
penderita DM menunjukkan bahwa gangguan metabolisme mielin mungkin
memiliki peran dalam patogenesis neuropati diabetes. Pada pengamatan
dengan menggunakan mikroskop optik, demielinasi saraf pendengaran
oleh degenerasi selubung mielin ditunjukkan dengan adanya perubahan
akson ringan dan fibrosis perineurium. Selain itu juga dijumpai atrofi berat
di ganglion spiralis dan berkurangnya jumlah serabut saraf dari lamina
spiralis (Malucelli, et al., 2012). Fukushima, et al., (2006) meneliti efek DM
terhadap koklea manusia dan melaporkan bahwa penderita DM
mengalami mikroangiopati koklea dan degenerasi stria vaskuleris.
Metabolisme glukosa secara signifikan mempengaruhi telinga dalam. Baik
kadar gula yang rendah maupun tinggi dapat mempengaruhi fungsi telinga
dalam.
Telinga bagian dalam akan berfungsi dengan baik bila terdapat
keseimbangan antara kadar glukosa dengan insulin. Namun pada
keadaan DM, glukosa yang terdapat di dalam darah tidak dapat masuk ke
sel telinga bagian dalam akibat ketidak seimbangan insulin dan pada
akhirnya akan mengakibatkan gangguan fungsional telinga dalam. Hal ini
juga dianggap sebagai penyebab penting pada gangguan pendengaran
akibat DM (Malucelli, 2012).
Universitas Sumatera Utara
19
2.8 Respon Intraseluler terhadap Diabetes Mellitus
Hiperglikemia melatarbelakangi perkembangan mikroangiopati diabetik.
Banyak perubahan awal vaskuler akibat hiperglikemia seperti perubahan
hemodinamik, disfungsi endotil, aktivasi sel inflamasi, serta perubahan
ekspresi faktor vaskuler dan neurotropik. Urutan patogenesisnya diawali
oleh abnormalitas biokimiawi yang terkait dengan hiperglikemia, termasuk
stres oksidatif, aliran berlebihan (flux) polyol dan hexamine pathway,
pembentukan Advanced Glycosylation Endproduct (AGE) dan aktivasi
PKC. Perubahan ini akan mengganggu remodelling vaskuler yang ditandai
oleh berubahnya siklus sel, tonus vaskuler dan permeabilitas serta pola
koagulasi.
Semuanya
bervariasi
tergantung
dari
organ
sasaran
(Djokomoeljanto, 2007).
Dalam
keadaan
normal,
sebagian
besar
glukosa
mengalami
metabolisme lewat jalur glikolitik dan pentose shunt. Apabila terjadi
hiperglikemia, glukosa akan cenderung meningkat sehingga glukosa juga
diubah menjadi sorbitol. Sebagian dari glukosa yang berlebih akan
bereaksi secara nonenzimatik dengan protein atau bahan lain di dalam
sirkulasi maupun jaringan sehingga mempercepat glikasi nonenzimatik. Di
samping itu, glukosa akan mengalami otooksidasi bersama dengan radikal
bebas
yang
terbentuk
dari
beberapa
reaksi
enzimatik
maupun
nonenzimatik yang mengakibatkan terjadinya stres oksidatif (Di Mario,
2003). Pada keadaan hiperglikemia akan terjadi ketidak seimbangan
radikal bebas sehingga menyebabkan stres oksidatif yang dapat merusak
protein sel (Djokomoeljanto, 2007). Selain itu, stres oksidatif juga dapat
menyebabkan disfungsi sel beta pankreas dan insulin resisten (Votey and
Peters, 2008).
Di sisi lain, terbentuknya AGE juga dapat merusak sel karena
mengganggu struktur protein intra dan ekstrasel seperti kolagen. Pada
endotel mikrovaskuler manusia, AGEs dapat menghambat produksi
prostasiklin dan menginduksi Plasmin Activator Inhibitor-1 (PAI-1) dan
Universitas Sumatera Utara
20
dapat mengakibatkan trombosis (Sheetz and King, 2006; Djokomoeljanto,
2007). Sistem PA / plasmin / PAI juga terlibat dalam degrasi MES (Ban
and Twigg, 2008).
Keadaan DM juga berhubungan dengan ketidak seimbangan sistem
sirkulasi MMP, dimana terjadi peningkatan MMP-9 yang merupakan
protein penghancur kolagen tipe IV baik pada DM tipe 1 ataupun DM tipe
2 walaupun belum terjadi komplikasi (Ban and Twigg, 2008). Aktivasi
Glukosamine Fruktose Amidotransferase (GFAT) yang disebabkan kadar
gula darah yang tinggi juga dapat meningkatkan MMPs (Votey and Peters,
2008).
Dinding lateral koklea tersusun dari jaringan MES sebagai struktur
penyangga, dimana terdapat fibroblas yang menghasilkan kolagen.
Kolagen adalah suatu makromolekul yang merupakan komponen utama
dari MES dengan kandungan protein yang paling besar pada tubuh
manusia. Perubahan yang terjadi pada fibroblas berpengaruh pada
kolagen dan dapat mengganggu fungsi pendengaran. Kolagen tipe IV
disebut paling rawan (the most vulnerable) terhadap efek bising, sehingga
kerusakan terjadi lebih dominan (Purnami, 2009; Haryuna, 2013). Pada
penelitian terakhir, Haryuna (2013) melaporkankan adanya kerusakan
kolagen tipe IV pada fibroblas dinding lateral koklea tikus yang diinduksi
bising.
2.9 Kolagen Tipe IV
Kolagen adalah suatu makromolekul yang merupakan komponen
utama dari MES dengan kandungan protein yang paling besar pada tubuh
manusia (Purnami, 2009). Saat ini, ada sebanyak 25 jenis kolagen telah
dapat diidentifikasi. Kolagen tipe I adalah tipe yang paling banyak dijumpai
(Daniels, 2006).
Universitas Sumatera Utara
21
Kolagen tipe IV ditemukan pada daerah perifer sistem auditori yang
meliputi membran tektorial, membran basal, stria vaskuleris, serat saraf
pendengaran yang bermielin, ligamentum spiralis, spiral prominence,
spiral limbus, skala media dan sel epitel (Frisina, Mapes and Kim, 2006).
Membran basal dari organ Corti dibentuk oleh kolagen tipe IV, kapsul
koklea bagian tulang oleh kolagen tipe I dan membran tektorial
mengandung kolagen tipe II, V, IX dan XI. Dinding lateral koklea terdapat
kolagen tipe I, II, III dan IV. Diketahui bahwa kerusakan terjadi terutama
pada kolagen tipe IV yang mana paling rawan terhadap efek bising
(Purnami, 2009).
2.10 Curcuminoid
Curcumin merupakan bagian terbesar pigmen kuning yang terdapat
dalam rimpang kunyit (Curcuma longa Linnaeus) yang memiliki berbagai
aktivitas biologis seperti antioksidan, antiinflamasi dan antineoplastik. Oleh
penduduk Asia, utamanya India dan Indonesia, zat warna kuning dari
curcumin tersebut sering digunakan sebagai bahan makanan tambahan,
bumbu atau obat-obatan dan tidak menimbulkan efek toksik yang
merugikan (Rochmad, 2004).
Selama dua dekade belakangan ini penelitian tentang curcumin
sebagai bahan aktif untuk beberapa penyakit telah banyak dilakukan.
Diantara penelitian-penelitian tersebut antara lain melaporkan tentang
efek curcumin sebagai antioksidan (Majeed, et al., 1995; Rao, 1997),
antiinflamasi (Van der Goot, 1997; Sardjiman, 1997), antikolesterol
(Bourne, et al., 1999), antiinfeksi (Sajithlal, et al., 1998), antikanker
(Huang, et al., 1997; Singletary, et al., 1998; Huang, et al., 1998) dan anti
HIV (Mazumder, et al., 1997; Barthelemy, et al., 1998) (Rochmad, 2004).
Habitat asli tanaman ini adalah wilayah Asia, khususnya Asia
Tenggara. Kunyit dapat tumbuh di berbagai tempat, tumbuh liar di ladang,
di hutan (misalnya hutan jati) ataupun ditanam di pekarangan rumah, di
Universitas Sumatera Utara
22
dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian 200 m di atas
permukaan laut. Selain itu, kunyit dapat tumbuh dengan baik di tanah
yang baik tata pengairannya dan curah hujan yang tinggi (Departemen
Kesehatan
dan
Kesejahteraan
Sosial
RI
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kesehatan, 2001).
Komponen utama dalam kunyit adalah curcuminoid dan atsiri. Salah
satu komponen kimia dalam kunyit yang berkhasiat sebagai obat adalah
curcuminoid. Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat (Balittro) bahwa kandungan curcumin rimpang kunyit
rata-rata 10,92%. Selain kunyit, ada juga beberapa tanaman yang
mengandung curcumin misalnya temulawak dan temuhitam (Sidik,
Mulyono dan Ahmad, 1995; Haryuna, 2013).
Curcumin mempunyai potensi yang baik untuk berbagai penyakit. Pada
fase I percobaan klinik mengindikasikan sebanyak 12 gram curcumin
perhari selama 3 bulan dapat ditoleransi oleh tubuh manusia. Dosis
optimum curcumin untuk pengobatan suatu penyakit belum jelas. Data
menunjukkan bahwa curcumin memiliki bioavaibilitas yang rendah
(Aggarwal, et al., 2007).
Penelitian mengenai curcumin menunjukkan bahwa toksisitas curcumin
tidak signifikan. Pada tikus yang diberi curcumin pada makanannya
dengan dosis 0,1-2,0% (0,1-2,7 mmol/kgBB/hari) selama 8 minggu, tidak
ada efek pada nafsu makan, peningkatan berat badan, hematologi, kimia
serum atau perubahan histologi saluran pencernaan, hati, limpa dan ginjal
yang diperiksa. Penelitian yang serupa, tikus diberikan curcumin hingga
1.000 mg/kgbb/hari per oral selama 3 bulan dan tidak ada efek samping
pada pertumbuhan, perilaku, parameter biokimia dan histopatologi
(Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996).
Curcumin telah terbukti mengganggu jalur sinyal beberapa sel,
termasuk siklus sel (cyclin D1 dan cyclin E), apoptosis (aktivasi caspases
dan “down-regulation” dari produk gen anti apoptosis), proliferasi (HER-2,
EGFR dan AP-1), kelangsungan hidup (jalur PI3K), invasi (MMP-9 dan
Universitas Sumatera Utara
23
molekul adhesi), angiogenesis (VEGF), metastasis (CXCR-4) dan
peradangan (NFκB, TNF, IL-6, IL-1, COX-2 dan 5-LOX) (Anand, et al.,
2008).
Li, et al., (2013) melaporkan bahwa curcumin mampu menetral TGF-β1
yang diinduksi epithelial-to-mesenchymal transition (EMT) dalam sel epitel
tubulus ginjal. Gaedeke, Noble dan Border (2005) melaporkan curcumin
dapat menghambat beberapa jalur sinyal TGF-β pada sel ginjal. Haryuna,
(2013) melaporkankan curcuminoid mampu menekan produksi MMP-9
pada fibroblas dinding lateral koklea tikus yang diinduksi bising, sehingga
degradasi kolagen tipe IV yang merupakan penyusun utama membran
basilaris dan MES dapat diminimalisir.
2.11 Perbandingan Struktur dan Fungsi Pendengaran Spesies
Berbeda
Pada perkembangannya,
fungsi
pendengaran hewan dibanding
manusia mempunyai perbedaan mendasar. Pada hewan stimulus suara
sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup, mencari
makan, mobilitas dan menghindari musuh. Sedangkan pada manusia
fungsi auditori untuk komunikasi lebih menonjol perannya sehingga dapat
dimengerti bahwa rentang frekuensi penangkapan indra pendengaran
manusia lebih pendek yaitu berkisar 20-20.000 Hz, lebih terfokus pada
frekuensi untuk komunikasi. Sedangkan pada tikus bisa mencapai pada
frekuensi ultrasonik yaitu 1-60 kHz dengan rentang yang lebih panjang
dibanding spesies manusia (Heffner and Heffner, 2003).
Rattus norvegicus merupakan hewan coba yang umum digunakan
sebagai model penelitian biomedik yang penting untuk menjelaskan
berbagai penyakit pada manusia. Struktur yang mirip dan kesamaan
patobiologi telinga dalam menyebabkan hewan ini banyak digunakan
untuk penelitian, selain karena mudah didapat, cepat berkembang biak
sehingga mendapatkan populasi homogen yang diperlukan untuk
Universitas Sumatera Utara
24
kesamaan genetik. Identifikasi gen dan sekuensnya homolog, dengan
demikian tikus mempunyai potensi untuk pengembangan studi ketulian
genetik. Selain itu perubahan histopatologis yang diamati dari hasil
penelitian pada tikus juga mempunyai relevansi klinis dengan manusia
(Gravel and Ruben, 1996; Cancian, 1997; Steel, 1998).
2.12 Teknik Imunohistokimia untuk Identifikasi Ekspresi Protein
Teknik pemeriksaan identifikasi protein yang dilakukan yaitu antara lain
dengan teknik imunohistokimia untuk mengetahui ekspresi variabel yang
diperiksa di fibroblas sediaan jaringan koklea dengan menggunakan
metode Avidin-Biotin kompleks. Reagen yang digunakan pada teknik ini
adalah antibodi primer dan antibodi sekunder yang diikatkan secara kimia
dengan biotin dan suatu kompleks glikoprotein yang diikatkan pada biotin
dan
peroksidase.
Avidin
memiliki
nonimunologik dengan biotin.
kemampuan
berikatan
secara
Peroksidase akan bereaksi dengan
Hydrogen Peroxide (H2O2), bila terdapat elektron donor membentuk
molekul berwarna (Haryuna, 2013).
Antibodi primer dan sekunder dapat melekat pada elemen jaringan
yang bermuatan tinggi, seperti jaringan ikat sehingga menghasilkan reaksi
warna yang positif ditempat yang tidak mengandung variabel yang
diperiksa.
Sebelum pewarnaan daerah ini dapat
ditutup dengan
menggunakan protein plasma non imun yang berasal dari binatang
dengan spesies yang sama dengan binatang yang memproduksi antibodi
sekunder. Penutupan ini bertujuan mengurangi perlekatan antibodi
sekunder non spesifik dengan jaringan sehingga reaktivitas non spesifik
menurun. Sebagian besar jaringan yang mengandung peroksidase akan
bereaksi dengan substrat kromogen. Peroksidase endogen dapat
dihambat dengan menambahkan H2O2 3% dalam larutan methanol
(Haryuna, 2013).
Universitas Sumatera Utara
25
2.13 Kerangka Konsep
STZ
Kolagen Tipe IV
Degradasi
MES
Gambar 2.5 Kerangka Konsep.
Universitas Sumatera Utara
26
2.13.1 Penjelasan kerangka konsep
STZ yang diinjeksikan akan diabsorbsi sel beta pankreas dan dapat
mengganggu fungsi sel beta yang dapat mengakibatkan penurunan
sekresi insulin sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia. Keadaan
hiperglikemia akan menimbulkan berbagai jalur sinyal yang berpotensi
meningkatkan komplikasi yang dapat mengakibatkan kerusakan MES.
Kerusakan sel fibroblas dinding lateral koklea yang merupakan struktur
dari MES dapat mempengaruhi produksi kolagen tipe IV. Kerusakan pada
dinding lateral koklea menyebabkan gangguan transduksi impuls hingga
gangguan fungsi pendengaran sebagai hasil akhir.
Curcuminoid dapat meningkatkan ekspresi kolagen tipe IV sehingga
dapat mencegah dan memperbaiki kerusakan MES akibat DM. Ekspresi
kolagen tipe IV pada fibroblas dinding lateral koklea adalah protein yang
kami teliti.
2.14 Hipotesis
2.14.1 Hipotesis mayor
Curcuminoid dapat mencegah dan memperbaiki kerusakan fibroblas
koklea.
2.14.2 Hipotesis minor
1. Curcuminoid dapat meningkatkan ekspresi kolagen tipe IV pada
fibroblas dinding lateral koklea.
2. Ada hubungan antara dosis curcuminoid dengan ekspresi kolagen
tipe IV. Semakin tinggi dosis curcuminoid maka semakin tinggi
ekspresi kolagen tipe IV.
3. Ada manfaat lama waktu pemberian curcuminoid. Semakin lama
waktu pemberian curcuminoid maka semakin tinggi ekspresi
kolagen tipe IV.
Universitas Sumatera Utara
Download