1 pendahuluan - IPB Repository

advertisement
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue famili flaviviridae, dengan genusnya flavivirus.
Virus ini mempunyai empat serotype yang dikenal dengan Den-1, Den-2, Den-3
dan Den-4 yang masuk ke tubuh manusia melalui gigitan vektor nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus. Seluruh wilayah tropis di dunia saat ini telah
menjadi hiperendemis dengan ke-empat serotype virus secara bersama-sama
diwilayah Amerika, Asia Pasifik dan Afrika. Indonesia, Myanmar, Thailand
masuk kategori A yaitu : KLB/wabah siklus terulang pada jangka waktu antara 3
sampai 5 tahun (WHO, 2001).
Penyakit DBD merupakan masalah kesehatan masyarakat, umumnya terjadi
di daerah perkotaan namun saat ini juga sudah menyebar sampai daerah pedesaan,
dengan sirkulasi serotype virus beragam dan endemik khususnya di negara-negara
tropis dan subtropis seperti Indonesia (Chakravarti dan Kumaria, 2005). Hampir
semua wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DBD,
sebab baik virus dengue penyebab maupun nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor
penularnya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum
diseluruh Indonesia (Handayani, 2006).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2007) menyebutkan bahwa lebih dari
50 juta orang di dunia terinfeksi virus DBD setiap tahunnya, dan tiap 20 menit ada
satu anak meninggal karena DBD. Secara nasional morbiditas DBD di Indonesia
pada tahun 2008 tercatat 136 399 kasus, dan angka mortalitas 1 170 korban jiwa
yang kebanyakan terjadi pada anak di bawah umur 15 tahun (Ginanjar, 2008).
Kasus DBD di Kalimantan Barat tertinggi di Kota Pontianak, dimana
sampai akhir Desember 2009 jumlah kasus positif DBD tercatat 3 893 orang dan
yang meninggal 71 orang dengan case fatality rate (CFR) 1.82% masih di atas
1%. Terjadi peningkatan kasus lebih dari 13 (tiga belas) kali lipat, mengingat pada
tahun 2008 kasus DBD di kota Pontianak hanya tercatat 282 orang dan meninggal
20 orang (CFR 7%), sehingga sudah dinyatakan KLB (Kejadian Luar Biasa) oleh
Walikota Pontianak (Dinkes Kota Pontianak, 2009).
Kota Pontianak merupakan salah satu kota endemis DBD di Indonesia,
terletak di garis khatulistiwa merupakan dataran rendah (1 m dpl) dengan
temperatur rata-rata 280C, curah hujan rata-rata 2 500 mm/tahunnya, jumlah
penduduk lebih dari 500 ribu jiwa. Sebagian besar masyarakat Pontianak memiliki
kebiasaan menyimpan air hujan sebagai cadangan di tempayan/tempat penyimpan
air
lainnya untuk memenuhi kebutuhan air minum, serta tingkat mobilitas
penduduk tinggi karena merupakan jalur lalulintas antar negara yaitu Malaysia
dan Brunei Darussalam. Dengan karakteristik wilayah seperti di atas
kota
Pontianak berpotensi sebagai habitat Aedes aegyti sebagai vektor utama DBD.
Perubahan komponen lingkungan iklim seperti curah hujan, suhu,
kelembaban, dan kemarau panjang akan mempengaruhi pertumbuhan, persebaran,
kepadatan, kebiasaan reproduksi, usia hidup dan perkembangbiakan serta
ketangguhan dari vektor Aedes aegypti dan Aedes alpopictus (Aron et al. 2001).
Terjadinya pemanasan global, dimana terjadi kenaikan suhu bumi rata-rata sekitar
1– 3.5 0C juga berdampak pada meningkatnya berbagai kasus penyakit termasuk
DBD (McMichael, 2003).
Sumunar (2008) menyatakan bahwa penginderaan jauh (remote sensing)
berupa citra satelit mampu menyajikan kenampakan permukaan bumi sesuai
dengan kenampakan sebenarnya di lapangan, sehingga beberapa parameter
lingkungan yang berpengaruh terhadap habitat perkembangbiakan vektor nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai penular penyakit DBD, seperti badan
air, penutupan lahan vegetasi, ketinggian tempat, pola perumahan, dan kepadatan
pemukiman dapat disadap dan diinterpretasi. Melalui analisis data kondisi
lingkungan yang diperoleh dengan dukungan teknologi penginderaan jauh satelit,
dan mengintegrasikannya dengan data hasil survey vektor di lapangan, diharapkan
akan dapat diperoleh informasi tentang intensitas penularan DBD.
Perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus sebagai
vektor penyakit DBD berkaitan erat dengan lingkungan, maka peranan
penginderaan jauh sangat besar di dalam sistem informasi data dan
pengelolaannya serta diharapkan dapat membantu memecahkan masalah-masalah
kesehatan yang terkait erat dengan lingkungan, melalui tiga macam pendekatan
yakni, pendekatan keruangan (spasial), kelingkungan (ekologis), dan kewilayahan
(regional) (Hagget, 1983).
1.2 Rumusan Masalah
Pelaksanaan survaillance DBD di Indonesia saat ini masih belum
optimal, salah satu penyebabnya antara lain adalah karena kegiatan
pengamatan (surveillance) DBD yang dikembangkan program DBD sekarang
ini belum dapat berjalan dengan semestinya. Kendalanya karena cara
pendekatan pengamatannya masih menitikberatkan pada penemuan kasus
baru DBD dan belum memanfaatkan kondisi lingkungan secara maksimal.
Cara pendekatan seperti ini sulit untuk dilaksanakan di beberapa daerah di
Indonesia, karena terbatasnya petugas surveillance DBD di lapangan dan
luasnya wilayah endemis DBD yang perlu dipantau (Holani et al. 2003).
Agar kegiatan pengamatan DBD berjalan dengan semestinya dan
mencapai tujuannya,
dikembangkan,
maka cara pendekatan pengamatannya perlu
yaitu dengan menitikberatkan pengamatannya pada
perubahan-perubahan yang terjadi pada ko ndisi spesifik lingkungan.
Eksplorasi data diduku ng dengan aplikasi teknologi penginderaan jauh
satelit (remote sensing). Beberapa peneliti di luar negeri banyak
melaporkan tentang kemampuan penginderaan jauh untuk mengobservasi
dan mengidentifikasi kondisi lingkungan yang terkait dengan penularan
penyakit berbasis lingkunan. Berdasarkan data kond isi lingkungan yang
diperoleh dengan duku ngan penginderaan jauh tersebut, kemudian
diestimasi kondisi DBDnya (Beck et al. 1997).
Adapun pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Seberapa besar dukungan hasil kajian deteksi parameter lingkungan (suhu
udara, kelembaban, curah hujan, kepadatan bangunan, vegetasi) menggunakan
dukungan penginderaan jauh dan keberadaan vektor DBD yang diperoleh dari
survey vektor Aedes aegypti dalam menentukan tingkat intensitas penularan
DBD.
2. Parameter apasaja yang berpengaruh terhadap keberadaan vektor DBD
berdasarkan hasil kajian deteksi menggunakan dukungan penginderaan jauh
dalam menentukan tingkat intensitas penularan DBD di kota Pontianak.
3. Bagaimana model pendekatan perhitungan estimasi intensitas penularan DBD
berdasarkan kajian deteksi parameter lingkungan dan keberadaan vektor DBD
yang diperoleh dari dukungan penginderaan jauh.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:
1. Mengetahui seberapa besar dukungan penginderaan jauh (remote sensing)
dalam mendeteksi parameter keberadaan vektor DBD dalam menentukan
tingkat intesitas penularan DBD.
2. Mengetahui parameter apasaja yang mempengaruhi keberadaan vektor DBD
yang diperoleh menggunakan dukungan penginderaan jauh dan investigasi
vektor Aedes aegypti, terhadap intensitas penularan DBD
3. Diperolehnya pendekatan perhitungan estimasi jumlah penderita DBD
berdasarkan kajian deteksi parameter lingkungan dan keberadaan vektor DBD
menggunakan dukungan penginderaan jauh.
1.4 Kerangka Pemikiran Penelitian
Pada tahun 1980 WHO telah memberikan model pengelolaan lingkungan
untuk tujuan pengendalian vektor virus DBD melalui modifikasi dan manipulasi
lingkungan serta mengubah kebiasaan dan perilaku manusianya untuk mengurangi
kontak vektor–inang–pathogen. Keberhasilan di dalam mengelola vektor
tergantung dari pemahaman manusia terhadap eksistensi dan esensi vektor sebagai
penular penyakit DBD yang kehidupannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan
dan inang sehat ataupun sakit (Supartha, 2008).
Penanganan vektor dan kasus DBD tidak bisa lepas dari kegiatan
surveillance untuk mendapatkan informasi segar dalam penyusunan program
strategis selanjutnya baik berkaitan dengan penelitian, pengembangan teknologi,
advokasi, edukasi masyarakat maupun pengadaan bahan teknologi sebagai
antisipasi bila terjadi keadaan luar biasa (KLB). Berdasarkan hasil surveillance
tersebut, indikator angka bebas jentik (ABJ) yang dilakukan melalui investigasi
pemantauan jentik dan pemasangan ovitrap (perangkap telur dan larva nyamuk),
khususnya untuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sehingga dapat diketahui
peta penyebaran, dan status Aedes hubungannya dengan kasus DBD (Supartha,
2008).
Perkembangan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) yang saat ini
mulai berkembang di Indonesia memungkinkan pengumpulan data geografis
menjadi lebih menyingkat waktu, menghemat biaya dan tenaga jika dibandingkan
dengan menggunakan metode terestrial (lapangan). Pengumpulan data dapat
dilakukan melalui bermacam-macam citra (image) seperti foto udara, citra satelit
dan citra radar. Foto udara yang memiliki resolusi spasial mampu memberikan
informasi yang rinci dan mampu menggambarkan wujud dan letak objek yang
mirip dengan wujud dan letaknya di permukaan bumi, serta meliputi daerah yang
luas dan permanen (Sutanto, 1994).
Dengan keunggulan inilah maka citra satelit dapat dijadikan sebagai wadah
yang tepat untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penentuan lokasi
tingkat kerentanan terhadap perkembangbiakan nyamuk vektor DBD. Peranan
penginderaan jauh sangat besar di dalam sistem informasi data dan
pengelolaannya (Sutanto, 1994). Secara skematis, kerangka konsep penelitian ini
dapat dilihat pada gambar 1.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Memberikan
informasi
hasil
survaillance
keberadaan
vektor
DBD
menggunakan dukungan penginderaan jauh sebagai dasar untuk langkahlangkah preventif KLB DBD pada daerah/wilayah yang beresiko sehingga
membantu dalam menghemat waktu dan dana.
2. Dapat mengestimasi kecenderungan tingkat intensitas penularan DBD dalam
rangka mengantisipasi kejadian KLB DBD.
3. Bagi pemerintah daerah (Dinas Kesehatan), hasil penelitian ini diharapkan
menjadi data dasar untuk tindakan pencegahan dan penanggulangan DBD dan
dapat dijadikan pertimbangan dalam mengambil kebijakan khususnya tentang
pengendalian DBD, serta sebagai upaya sistem kewaspadaan dini (SKD)
mencegah terjadinya KLB DBD.
1.6 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Dukungan penginderaan jauh (remote sensing) sangat besar dan berpengaruh
signifikan dalam mendeteksi parameter keberadaan vektor DBD.
2. Parameter lingkungan (kepadatan bangunan, vegetasi) dan iklim (suhu,
kelembaban, curah hujan) yang diperoleh dari dukungan penginderaan jauh
berpengaruh signifikan terhadap keberadaan vektor dan intensitas penularan
DBD.
Surveillance
Keberadaan Vektor DBD
Investigasi vektor Aedes
aegypti
Pemantauan Jentik
Pemasangan Ovitrap
--------------------------------------------------------------------------------------------------DATA CITRA
SATELIT IKONOS
DATA CITRA
SATELIT NOAA
Ekstraksi Liputan Lahan
yang diperkirakan
penyebab DBD
Ekstraksi parameter
lingkungan yang diperkirakan
penyebab DBD
Faktor-faktor lingkungan yang
diperkirakan penyebab DBD
Informasi Intensitas
Penularan DBD
Faktor resiko
penularan DBD
Analisis
Diskriminan
lag 1 bulan
MODEL ESTIMASI
Estimasi
KLB
Info KLB Actual
Ketelitian Estimasi
KLB DBD
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Download