STRUKTUR POPULASI SEMUT INVASIF

advertisement
STRUKTUR POPULASI SEMUT INVASIF Anoplolepis gracilipes Smith
(HYMENOPTERA:FORMICIDAE) DI KEBUN RAYA BOGOR
RION APRIYADI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Struktur Populasi Semut
Invasif Anoplolepis gracilipes Smith (Hymenoptera:Formicidae) di Kebun Raya
Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Rion Apriyadi
NIM A351120041
RINGKASAN
RION APRIYADI. Struktur Populasi Semut Invasif Anoplolepis gracilipes Smith
(Hymenoptera:Formicidae) di Kebun Raya Bogor. Dibimbing oleh
DAMAYANTI BUCHORI, IDHAM SAKTI HARAHAP dan AKHMAD
RIZALI.
Invasi habitat oleh Anoplolepis gracilipes (yellow crazy ant) berdampak
negatif pada keseluruhan ekosistem dan interaksi yang terjadi didalamnya.
Keberadaan spesies semut ini menyebabkan terganggunya keseimbangan pada
habitat yang dimasukinya dan seringkali menyebabkan tersingkirnya spesies lain
penghuni habitat tersebut. Situasi ini menunjukkan pentingnya untuk mengetahui
dan mempelajari struktur populasi dan perilaku A. gracilipes yang terdapat pada
suatu ekosistem. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari struktur populasi
semut invasif A. gracilipes di Kebun Raya Bogor. Agresi diamati dengan
parameter indeks agresi, indeks mortalitas, dan aggression latency. Waktu
penemuan makanan ditentukan dengan mengukur waktu yang diperlukan oleh A.
gracilipes untuk menemukan makanan pada plat umpan madu pada jarak 20 meter
dari sarang. Struktur populasi diamati dengan melakukan analisis DNA, yaitu
dengan menggunakan 6 penanda mikrosatelit. Sampel dikumpulkan dari 5 koloni
yang ditentukan berdasarkan data pola spasial A. gracilipes.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa A. gracilipes menempati sekitar 25%
dari area Kebun Raya Bogor dan populasi terpisah ke dalam 5 koloni potensial
berdasarkan posisi keberadaan sarang. Agresi antara koloni menunjukkan ada
perbedaan signifikan pada indeks agresi, indeks mortalitas dan aggression latency.
A. gracilipes membutuhkan waktu kurang dari 1 jam untuk menemukan makanan
di sekitar sarang. Total 18 alel ditemukan pada seluruh populasi sampel A.
gracilipes di Kebun Raya Bogor (200 individu dari 5 koloni potensial). AMOVA
pada tiga level populasi menunjukkan adanya kelebihan heterozigot yang besar
pada tingkat intrakoloni. Diferensiasi genetik yang rendah ditemukan pada level
sarang dalam koloni dan koloni dalam total populasi. Hubungan antar koloni A.
gracilipes di Kebun Raya Bogor menunjukkan adanya jarak genetik (FST) yang
dekat.
Analisis struktur populasi menggunakan perangkat lunak STRUCTURE
menunjukkan bahwa nilai logaritma kemiripan data genetik [LnP(D)] tertinggi
pada K = 2 (K adalah asumsi jumlah subgrup). Pengelompokan individu ke dalam
subgrup/koloni berdasarkan penanda mikrosatelit menunjukkan bahwa masingmasing koloni potensial tidak dapat dikelompokkan ke dalam kelompok genetik
spesifik. Ada kemungkinan bahwa koloni potensial A. gracilipes yang ditemukan
di Kebun Raya Bogor merupakan koloni baru yang berasal dari koloni induk yang
sama dan mulai memisahkan diri menjadi koloni independen. Hal ini dapat
terlihat pada hasil uji perilaku agresif yang menunjukkan adanya interaksi agresif
pada beberapa koloni potensial yang ditemukan dengan skor yang cukup tinggi
namun secara genetik hampir mirip satu sama lain.
Kata kunci: Anoplolepis gracilipes, indeks agresi, koloni, spesies invasif.
SUMMARY
RION APRIYADI. Population Structure of Invasive Ant Anoplolepis gracilipes
Smith (Hymenoptera:Formicidae) in Bogor Botanical Garden. Supervised by
DAMAYANTI BUCHORI, IDHAM SAKTI HARAHAP and AKHMAD
RIZALI.
Anoplolepis gracilipes or commonly known as yellow crazy ant is widely
distributed due to its invasiveness. The species easily becomes established and
dominate even in a new habitat. The existence of this ant species can disrupt the
balance of the communities in a particular habitat due to its ability to outcompete
its competitors. Therefore, it is very important to know and study the population
structure and behaviour of A. gracilipes in a given habitat. The aim of this
research was to investigate the population structure of the invasive ant A.
gracilipes in Bogor Botanical Garden. The aggression was observed using several
parameters, i.e. aggression index, mortality index, and aggression latency. Food
finding time was determined using honey bait plate in 20 m from the nest. The
population structure was observed by DNA analysis using 6 microsatellite
markers. Samples were collected from 5 colonies determined by spatial patterns of
A. gracilipes.
Result showed that A. gracilipes occupy around 25% of Bogor Botanical
Garden area and the population was separated in 5 potential colonies based on the
nest positions. Aggression between colonies showed there were significantly
differences in aggression index, mortality index and aggression latency although
in some potential colonies showed tolerance behavior. A. gracilipes needed less
than 1 hour to find the food on surrounding nests. We found a total of 18 alleles in
the entire population in Bogor Botanical Garden. Three level AMOVA showed
there were high excess heterozygosity in intracolony level. Low genetic
differentiation was found among nests within colony and among colonies within
total population. We found close genetic distance (FST) among colonies of A.
gracilipes in Bogor Botanical Garden.
Population structure analysis using STRUCTURE showed the highest value
in logarithm of the genetic data likelihood [LnP(D)] in K =2, (K is the assumed
number of subgroup). Clustering the individuals into subgroup/colony based on
microsatellite markers showed each potential colony can not be clustered into a
specific cluster. There was a possibility that some of the potential colonies were
found in Bogor Botanical Garden were newly formed colonies. Those colonies
came from the same ancestor colony and began to separate themselves into
independent colonies. This condition could be seen in some behavioral tests which
showed that there were aggressive interactions between some potential colonies
which had high score of aggression but genetically they were almost similar one
each other.
Keywords : aggression index, Anoplolepis gracilipes, colony, invasive species.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRUKTUR POPULASI SEMUT INVASIF Anoplolepis gracilipes Smith
(HYMENOPTERA:FORMICIDAE) DI KEBUN RAYA BOGOR
RION APRIYADI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Purnama Hidayat, MSc
Judul Tesis : Struktur Populasi Semut Invasif Anoplolepis gracilipes Smith
(Hymenoptera:Formicidae) di Kebun Raya Bogor
Nama
: Rion Apriyadi
NIM
: A351120041
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Damayanti Buchori, MSc
Ketua
Dr Ir Idham S Harahap, MSi
Anggota
Dr Akhmad Rizali, SP, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Entomologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Pudjianto, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 6 Oktober 2014
Tanggal Lulus
10
PRAKATA
Alhamdulillahi robbil alamin, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT yang telah memberikan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Struktur Populasi Semut Invasif
Anoplolepis gracilipes Smith (Hymenoptera:Formicidae) di Kebun Raya Bogor”
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program
Studi Entomologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini
telah dilaksanakan di Kebun Raya Bogor, Kampus IPB Dramaga dan GeorgAugust-Universität Göttingen pada bulan Juli 2013 hingga Juni 2014.
Penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc, Bapak Dr. Ir. Idham Sakti
Harahap, M.Si dan Bapak Dr. Akhmad Rizali, M.Si selaku komisi
pembimbing yang telah memberikan banyak masukan, pelajaran, saran dan
motivasi kepada penulis dalam menyusun tesis ini.
2. Dr. Jochen Drescher selaku field advisor atas segala masukan, pelatihan dan
bimbingan teknis yang telah diberikan selama berlangsungnya penelitian dan
penulisan tesis ini.
3. Ibunda Jumarni dan Ayahanda Ahmad Badaruddin atas segala nasihat,
pelajaran hidup dan doa yang telah menghantarkan penulis untuk berada pada
titik ini.
4. Istri Tercinta Tri Wenti, S.E atas segala dorongan semangat dan motivasi yang
telah diberikan.
5. Adinda Ria Gusti Handayani atas segala dorongan semangat dan bantuan yang
telah diberikan.
6. Prof. Stefan Scheu (CRC 990) yang telah memberikan ijin dan dukungan
penelitian di Departement of Animal Zoology, Georg-August-Universität
Göttingen, Jerman.
7. Pengelola Kebun Raya Bogor yang telah memberikan ijin dan bantuan teknis
dalam menyelesaikan pengamatan lapangan.
8. Rekan – rekan mahasiswa Program Studi Entomologi angkatan 2012.
9. Rekan – rekan Laboratorium Pengendalian Hayati, Mbak Adha Sari, S.P dan
Mbak Nita atas segala bantuan yang telah diberikan.
10. Partner lapangan Deni Pratama S.P atas kesediaannya mendampingi penulis
selama pengamatan lapangan.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita
semua.
Bogor, Oktober 2014
Rion Apriyadi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Hipotesis
Manfaat Penelitian
1
1
2
3
3
TINJAUAN PUSTAKA
Struktur Populasi
Spesies Invasif
Semut A.gracilipes
Taksonomi A. gracilipes
Reproduksi dan Dispersal
Makanan
Asal dan Persebarannya
Habitat
Ekosistem Kebun Raya Bogor
4
4
5
6
6
7
8
8
9
9
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian
Pemetaan dan Penentuan Posisi Koloni
Uji Perilaku/Aggression test
Uji Perilaku Penemuan Makanan
Analisis DNA
Analisis Data
11
11
11
11
11
12
13
13
15
HASIL
Koloni dan Sebaran Habitat A. gracilipes
Agresi Intraspesifik
Indeks Agresi
Indeks Mortalitas
Aggression Latency
Karakteristik Penemuan Makanan
Proporsi Keseimbangan Hardy-Weinberg (HWE)
Diferensiasi Genetik pada A. gracilipes di Kebun Raya Bogor
16
16
19
19
20
21
23
25
26
Jarak Genetik (FST) pada Koloni Potensial A. gracilipes
Korelasi Antara Agresi dan Jarak Genetik (FST)
Struktur Populasi A. gracilipes di Kebun Raya Bogor
27
28
29
SIMPULAN
32
DAFTAR PUSTAKA
33
RIWAYAT HIDUP
37
DAFTAR TABEL
1. Sekuens dan suhu annealing primer pada masing-masing lokus
mikrosatelit target (Felhaar et al. 2006)
2. Keragaman genetik A. gracilipes di Kebun Raya Bogor
3. Diferensiasi populasi yang diestimasi menggunakan 5 lokus
mikrosatelit dalam tiga level AMOVA
4. Nilai jarak genetik (FST) pada 5 koloni potensial menggunakan 1000
kali permutasi
5. Koefisien korelasi antara indeks agresi, indeks mortalitas, Tbite, Tdead
dan jarak genetik (FST) pada 5 koloni potensial A. gracilipes di Kebun
Raya Bogor
14
25
27
28
29
DAFTAR GAMBAR
Ciri-ciri morfologi umum A. gracilipes (Wilson & Taylor 1967)
Posisi peletakan umpan pada wilayah Kebun Raya Bogor
Sarang buatan dalam koleksi A. gracilipes sebagai spesimen uji agresi
Plat umpan madu
Posisi peletakan umpan pada wilayah Kebun Raya Bogor
Keberadaan semut A. gracilipes pada wilayah Kebun Raya Bogor
Persentase keberadaan A. gracilipes di Kebun Raya Bogor
Koloni potensial A. gracilipes yang ditemukan di Kebun Raya Bogor
Peralatan dan setup Uji Agresi (A), Interaksi yang terjadi antar semut
pekerja pada berbagai sarang yang berbeda (B)
10. Indeks spesimen uji pada berbagai kombinasi koloni potensial (nilai
tengah ± standar error; P <0.01)
11. Indeks Mortalitas spesimen uji pada berbagai kombinasi koloni
potensial (rata-rata ± standar error; P <0.01)
12. Aggression Latency (Rata-rata ± Standar Error; P<0.01) pada koloni
potensial A. gracilipes di Kebun Raya Bogor. (tbite: waktu yang
diperlukan untuk melakukan agresi/serangan pertama; tdead: waktu
yang diperlukan untuk membunuh semut kompetitor pada pengujian)
13. Waktu penemuan makanan pada koloni potensial A. gracilipes di
Kebun Raya Bogor
14. Pola tingkah laku A. gracilipes dalam menemukan makanan tanpa
diberikan gangguan (A) dan setelah diberikan gangguan (B)
15. Hubungan mutualisme antara kutu tanaman dan A. gracilipes
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
7
11
12
16
16
17
17
18
19
20
21
22
23
24
25
14
16. Rata-rata logaritma kemiripan data (likelihood) [LnP(D)] dengan nilai
K = 1 sampai 5. Garis vertikal menunjukkan nilai standar deviasi.
Analisis dilakukan dengan menggunakan 1000 kali pengulangan
17. Pengelompokan individu A. gracilipes di Kebun Raya Bogor ke
dalam kelompok genetik menggunakan nilai asumsi subgroup (K) 1 –
5. Tiap bar merupakan individu sampel yang dianalisis
29
30
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tiap-tiap populasi suatu spesies memiliki interaksi yang kompleks dan
karakteristik yang berbeda dengan spesies lain. Beberapa spesies organisme
seperti serangga dapat membentuk kelompok kecil di dalam sebuah populasi yang
dikenal sebagai subpopulasi. Berbeda dengan serangga-serangga soliter, seranggaserangga sosial seperti semut memiliki populasi dengan karakteristik unik yaitu
adanya unit-unit koloni di dalam populasi. Pada beberapa spesies semut, koloni
yang terbentuk terbagi ke dalam sarang-sarang yang terpisah satu sama lain
sehingga terdapat tingkatan tertentu dalam suatu populasi (Steiner et al. 2007).
Populasi yang terbagi ke dalam beberapa kelas tertentu dan terjadi interaksi
didalamnya dikatakan sebagai populasi yang terstruktur (Briggs et al. 2010).
Populasi yang terstruktur dapat mengalami perubahan tergantung pada kondisi
subpopulasi atau koloni didalamnya. Perubahan dalam populasi yang terstruktur
dapat diprediksi dari kondisi kolektif individu melalui model struktur populasi
(Ellner & Guckenheimer 2006). Model struktur populasi diketahui telah secara
luas digunakan dalam 30 tahun terakhir untuk menggambarkan dinamika suatu
populasi (Ellner & Guckenheimer 2006). Struktur populasi dapat digambarkan
ketika sebuah populasi mengalami penyimpangan dari proporsi keseimbangan
Hardy-Weinberg yang disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah
perkawinan tak acak, seleksi, dan mutasi (Ewens 2004). Struktur populasi sangat
penting untuk melihat laju evolusi dan hubungan aliran gen antar populasi (Hartl
2007). Saat ini model struktur populasi telah banyak digunakan dalam berbagai
fokus penelitian diantaranya adalah penelitian mengenai struktur populasi spesies
invasif.
Keberadaan spesies invasif dalam suatu ekosistem memberikan dampak
nyata terhadap perubahan kondisi lingkungan (Lockwood et al. 2007). Ketika
spesies invasif masuk ke dalam habitat baru, daya rusaknya yang tinggi sering
menyebabkan kehancuran habitat karena terjadinya monopolisasi lingkungan
(Lockwood et al. 2007). Spesies invasif umumnya memiliki kemampuan
distribusi dan migrasi yang cepat dan luas (Elton 2000). Spesies invasif pada
golongan hewan sebagian besar berasal dari kelas insekta (serangga). Serangga
memiliki kemampuan dispersal yang luas dan reproduksi yang cepat sehingga
mendukung terjadinya invasi. Salah satu spesies serangga invasif yang memiliki
persebaran yang cukup luas adalah semut (Lowe et al. 2000). Spesies semut
invasif yang telah diketahui dan memiliki dampak invasi yang cukup luas yaitu
Anoplolepis gracilipes (Hymenoptera:Formicidae).
A. gracilipes dikenal dengan nama umum “Yellow Crazy Ant”. Spesies ini
merupakan satu dari 100 spesies invasif paling merusak yang telah dilaporkan dan
dikategorikan sebagai 5 spesies semut invasif paling berbahaya bagi lingkungan
sekitarnya (Lowe et al. 2000). Spesies ini secara nyata mampu menurunkan
populasi kepiting merah endemik di Christmas Island, yaitu sebanyak 3 juta ekor
mati oleh A. gracilipes selama rentang waktu 18 bulan (Lowe et al. 2000). A.
gracilipes memiliki karakter sangat agresif terhadap spesies semut lain dan mudah
2
terlibat dalam perkelahian mematikan (Drescher et al. 2011). Spesies ini memiliki
koloni dengan beberapa ratu dan membentuk struktur koloni besar yang dikenal
dengan nama “Superkoloni” (Stewart et al. 2010). Kehadiran superkoloni ini
secara tidak langsung telah memonopoli berbagai sumberdaya kehidupan pada
sebuah lingkungan tertentu. Monopolisasi sumberdaya yang dilakukan oleh A.
gracilipes mampu menekan populasi spesies lain pada suatu habitat. Selain itu,
semut ini unggul dalam dominasi jumlah karena memiliki populasi yang
berukuran cukup besar. Populasi yang berukuran besar dapat menekan
pertumbuhan populasi lokal yang berukuran kecil sehingga menuju ke arah
hilangnya spesies lokal pada suatu wilayah (Bahagiawati et al. 2010). A.
gracilipes memiliki populasi terstruktur yang unik dimana individu membentuk
kelompok pada masing-masing sarang, sarang-sarang secara kolektif yang
dipimpin oleh beberapa ratu membentuk suatu koloni. Beberapa koloni
membentuk sebuah superkoloni yang lebih besar melalui kerjasama antar sarang
dan membentuk populasi unikolonial (Steiner et al. 2007). Adanya karateristik
unik dalam populasi A. gracilipes menjadi sangat menarik untuk diteliti sebagai
upaya mempelajari struktur populasi dan dinamika yang terjadi didalamnya.
Karakter genetik pada A. gracilipes dapat dijadikan sebagai dasar dalam
mempelajari struktur populasi semut ini. Karakter tersebut dapat diketahui melalui
analisis genetik menggunakan marka molekuler.
Analisis struktur populasi menggunakan marka/penanda genetika molekuler
merupakan teknik mutakhir untuk mengetahui dinamika populasi pada tingkat
genetik. Salah satu penanda genetik yang sering digunakan adalah penanda
mikrosatelit. Mikrosatelit telah banyak digunakan oleh para entomologis dalam
mempelajari struktur dan dinamika populasi (Macdonald & Loxdale 2004).
Penanda mikrosatelit lokus tunggal kodominan dapat mengungkapkan tingkat
polimorfisme genetik yang terjadi pada suatu populasi (Goldstein and SchlÓ§tterer
1999). Mikrosatelit dapat divisualisasikan dengan menggunakan berbagai metode,
salah satunya yaitu perunutan basa DNA (DNA sequencing). Urutan basa DNA
dapat digunakan untuk melihat motif mikrosatelit pada lokus target dan mengukur
indeks populasi struktural sehingga dapat dideteksi kemungkinan adanya aliran
genetik pada suatu populasi (Hartl 2007).
Di Indonesia, informasi mengenai struktur populasi semut invasif A.
gracilipes masih sangat terbatas. Kondisi ini menyebabkan perlunya penelitian
mengenai struktur populasi A. gracilipes secara lebih mendalam. Penelitian ini
merupakan salah satu upaya dalam mempelajari struktur populasi spesies invasif
pada suatu habitat serta diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dalam
menentukan langkah pengelolaan yang tepat di masa mendatang.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari struktur populasi semut
invasif A. gracilipes di Kebun Raya Bogor.
3
Hipotesis
1. Di Kebun Raya Bogor hanya terdapat satu koloni A. gracilipes.
2. Tidak ada perbedaan pada keragaman/variasi genetik antar koloni A.
gracilipes yang terdapat di Kebun Raya Bogor.
Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui struktur populasi dan keragaman genetik dari semut
invasif A. gracilipes dapat dijadikan sebagai rujukan penting mengenai susunan
genetik semut invasif pada suatu habitat. Hasil penelitian akan sangat bermanfaat
untuk digunakan dalam deteksi dan pemetaan daerah persebaran A. gracilipes dan
mengetahui struktur populasi yang ada pada populasi A. gracilipes di Kebun Raya
Bogor.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Struktur populasi
Secara harfiah struktur populasi mengarah pada kepadatan suatu populasi,
ukuran populasi, dinamika populasi, pertumbuhan populasi dan genetika populasi.
Sebuah populasi dikatakan terstruktur jika didalamnya terdapat kelompokkelompok individu yang saling berinteraksi satu sama lain didalamnya (Ellner &
Guckenheimer 2006). Struktur populasi secara genetik dapat diketahui dengan
melihat distribusi dan perubahan frekuensi alel/gen dalam suatu populasi (Ewens
2004). Adanya perubahan frekuensi alel berhubungan erat dengan proporsi
keseimbangan Hardy-Weinberg yang menyatakan bahwa frekuensi alel dan
frekuensi genotip dalam suatu populasi akan tetap konstan, yakni berada dalam
kesetimbangan dari satu generasi ke generasi lainnya kecuali apabila terdapat
faktor-faktor tertentu yang mengganggu kesetimbangan tersebut (Guo &
Thompson 1992). Faktor-faktor tersebut meliputi seleksi, perkawinan tak acak,
mutasi, ukuran populasi terbatas/kecil, dan migrasi yang menyebabkan adanya
perpindahan gen (Ewens 2004).
Seleksi. merupakan suatu keadaan dimana hanya sifat tertentu yang
menjadikan suatu organisme menjadi lebih mampu dalam bertahan hidup dan
bereproduksi. Genetika populasi menjelaskan istilah seleksi alam dengan
mendefinisikan kebugaran sebagai kecenderungan atau probabilitas kelangsungan
hidup dan reproduksi suatu populasi pada lingkungan tertentu. Seleksi alam
diketahui bekerja pada tingkat fenotip atau karakteristik yang dapat diamati pada
organisme, tetapi genetik merupakan dasar terbentuknya fenotip yang
memberikan keuntungan pada reproduksi. Sehingga pada dasarnya genetik
merupakan dasar awal yang menentukan karakteristik suatu populasi.
Perkawinan tak acak. Perkawinan pada umumnya terjadi tidak secara acak
yaitu perkawinan yang terjadi antar individu dalam satu populasi yang sama. Hal
ini dikarenakan adanya kemungkinan untuk bertemu dan berinteraksi yang lebih
besar. Perkawinan yang terjadi secara tak acak menyebabkan pergeseran terhadap
hukum keseimbangan Hardy-Weinberg dimana keturunan yang dihasilkan
memiliki frekuensi genetik yang tidak konstan. Perkawinan sesama (inbreeding)
merupakan salah satu bentuk perkawinan tidak acak yang terjadi pada suatu
populasi. Inbreeding memberikan beberapa dampak negatif yang berpengaruh
besar terhadap keseimbangan populasi. Dampak tersebut meliputi: Penurunan
fertilitas reproduksi, meningkatkan resiko kelainan genetik, depresi pertumbuhan
dan kehilangan kemampuan dispersal (Jiménez et al. 1994).
Mutasi. merupakan perubahan yang terjadi pada material genetik (DNA
maupun RNA), baik pada taraf urutan gen (sekuens) yang disebut sebagai mutasi
titik ataupun pada tingkat kromosom. Mutasi pada gen dapat mengarah pada
munculnya alel baru dan menjadi dasar munculnya variasi-variasi baru pada
spesies yang berujung kepada proses evolusi. Mutasi yang terjadi di alam
biasanya memiliki frekuensi yang rendah, 1:10.000 individu. Mutasi di alam
dapat terjadi akibat zat pembangkit mutasi (mutagen) dan radiasi.
Migrasi dan Aliran Gen. Dalam genetika populasi, aliran gen (juga
dikenal sebagai migrasi gen) merupakan transfer alel gen dari satu populasi ke
5
populasi lainnya. Imigrasi atau emigrasi suatu populasi dapat bertanggung jawab
terhadap perubahan frekuensi alel (proporsi anggota yang membawa varian gen
tertentu). Terdapat sejumlah faktor-faktor yang memengaruhi aliran gen antara
populasi-populasi yang berbeda. Salah satu faktor yang paling signifikan adalah
mobilitas. Semakin besar mobilitas suatu individu, semakin besar potensi migrasi
individu tersebut. Aliran gen antara dua populasi secara terus menerus dan
konsisten juga dapat mengurangi variasi genetika antara dua kelompok.
Dalam perkembangannya, struktur populasi telah banyak digunakan dalam
menggambarkan keadaan suatu populasi dan dinamikanya dalam suatu
lingkungan (Ellner & Guckenheimer 2006). Struktur populasi dapat dijelaskan
melalui analisis genetika populasi yang mempelajari perubahan susunan genetik di
dalam suatu populasi. Salah satu indeks yang digunakan dalam mempelajari
struktur populasi adalah indeks fiksasi (FST). Secara khusus, FST tidak mengukur
identitas pada silsilah keturunan inbreeding (F), atau sistem inbreeding (f), atau
dampak dari hanyut genetik pada rata-rata identitas keturunan hasil inbreeding.
Lebih tepatnya, FST mengukur rasio aliran gen yang hanyut dan bagaimana
perbandingan ini berpengaruh terhadap struktur populasi dalam arti yang
berorientasi pada proses (Templeton 2006). Nilai FST meningkat apabila ada
variasi yang kecil di dalam subpopulasi dan terdapat diferensiasi genetik yang
tinggi antar subpopulasi. Oleh karena itu, dalam hal definisi pola struktur
populasi, FST mengukur proporsi variasi genetik di antara individu yang diambil
dari semua populasi lokal yang disebabkan oleh perbedaan genetik. Hal ini
merupakan salah satu langkah yang paling umum digunakan dalam mengukur
struktur populasi dalam genetika evolusi.
Spesies Invasif
Spesies invasif dapat didefinisikan sebagai suatu spesies yang bukan spesies
asli tempat tersebut (baik hewan ataupun tumbuhan), yang secara luas
mempengaruhi habitat baru yang mereka invasi (Kolar & Lodge 2001). Menurut
definisi USDA Forest Service (2003) spesies invasif merupakan spesies nonpribumi (introduksi) yang memiliki pengaruh terhadap suatu ekosistem
dan menyebabkan kerugian secara ekonomi atau lingkungan atau berpotensi
membahayakan kesehatan manusia. Beberapa ahli beranggapan bahwa spesies
serangga tertentu yang dimasukkan ke dalam suatu wilayah oleh manusia secara
sengaja disebut dengan spesies introduksi. Namun pendapat lain menyatakan
bahwa spesies invasif lebih terdefinisi oleh sifat dan tingkah lakunya bukan oleh
sumber introduksinya (Elton 2000) sehingga baik secara alami maupun oleh
aktivitas manusia yang menyebabkan masuknya spesies baru yang bersifat invasif
dikategorikan sebagai spesies invasif.
Sifat invasif dapat muncul dari perubahan perilaku yang terjadi secara cepat
dan dapat dipengaruhi pula oleh adanya tekanan seleksi. Munculnya spesies
invasif dapat pula disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor
migrasi dalam mencari sumberdaya dan mengeksploitasi suatu relung habitat yang
baru (Mooney & Hobbs 2000). Tekanan seleksi secara langsung berperan besar
dalam perubahan tingkah laku dan respon organisme terhadap kondisi
lingkungannya baik oleh sumber makanan, kompetitor atau musuh alaminya
6
(Speight at al. 2006). Spesies baru yang masuk pada suatu wilayah tertentu akan
mengoptimalkan setiap sumberdaya yang tersedia. Kemampuan spesies baru
dalam memanfaatkan sumberdaya yang tidak mampu dijangkau atau
dimanfaatkan oleh spesies asli akan menggeser populasi spesies asli menuju
kepada pengurangan ukuran bahkan kepunahan (extinction) spesies asli tersebut
(Lockwood et al. 2007). Sebagai contoh, spesies invasif Argentine ant (L. humile)
secara nyata mampu menekan pertumbuhan populasi spesies semut lokal di
California (Sanders et al. 2001).
Spesies invasif secara nyata telah mengubah komposisi populasi dalam
suatu komunitas bahkan ekosistem tertentu. Keberadaan spesies baru yang lebih
kompetitif dan lebih superior terhadap spesies lain semakin memberikan daya
dukung yang besar bagi perkembangbiakan dan persebarannya (Mooney & Hobbs
2000). Daya dukung lingkungan yang tinggi dan disertai dengan kemampuan
eksploitasi sumberdaya yang efisien menjadi dasar utama munculnya spesies
asing yang bersifat invasif pada ekosistem di suatu wilayah tertentu.
Semut A. gracilipes
Taksonomi A. gracilipes
A. gracilipes Smith (Formica gracilipes Smith) atau dulunya dikenal
dengan A. longipes Jerdon merupakan serangga yang berasal dari ordo
Hymenoptera, famili Formicidae dan subfamili Formicinae (Harris & Berry
2010). Subfamili formicinae merupakan salah satu subfamili semut yang memiliki
persebaran yang cukup luas. Subfamili ini memiliki ciri-ciri mempunyai satu buah
petiole dengan ruas antenna berjumlah 8 – 12. Subfamili formicinae memiliki
ujung gaster dengan bentuk acidopore semisirkuler dan sirkuler yang terbentuk
dari hypopygium, bentuk ini sering digambarkan sebagai nozzle (mulut pipa)
(Bolton 1994). Karakter ini merupakan karakter mayor yang membedakan
subfamili formicinae dengan subfamili lainnya. Terkadang diketahui pula
acidopore tersembunyi oleh tonjolan pygydium (Bolton 1994).
Smith (1857) mendeskripsikan karakter morfologi A. gracilipes kasta
pekerja yaitu memiliki kepala berbentuk oval dan lebih lebar dari thoraks serta
menyempit pada bagian belakang. Memiliki mata majemuk berwarna hitam dan
menonjol. Protoraks menyempit membentuk leher yang ramping. Tungkai
berukuran sangat panjang dengan tungkai pertama dan ketiga lebih panjang dari
panjang tubuh total (kepala, thoraks, abdomen) (Gambar 1). A. gracilipes
memiliki panjang tubuh sekitar 1-5 mm (Holway et al. 2002). A. gracilipes
memiliki antenna yang panjang dengan panjang skapus 1.5 kali lebih panjang dari
panjang kepala (Csurhes & Hankamer 2012). Pada umumnya jumlah segmen
antenna mulai dari scapus, pedicel hingga flagellum berjumlah 11 ruas.
Mesosoma memiliki bentuk ramping dan tidak memiliki seta/rambut-rambut pada
bagian punggung. Pada bagian propodeum tidak memiliki seta-seta atau duri.
Bagian mandibel masing-masing memiliki setidaknya delapan gerigi dan klipeus
berbentuk cembung (Abbott et al. 2005).
A. gracilipes diketahui dengan berbagai nama di seluruh dunia, dalam
bahasa inggris dikenal dengan yellow crazy ant dan long-legged ant sedangkan di
Indonesia sering diketahui sebagai semut gramang. Abbott et al. (2007)
7
mengungkapkan bahwa berdasarkan analisis genetik diketahui adanya dua
haplotype A. gracilipes (Tipe A dan Tipe D). Haplotype D lebih agresif, invasif
dan mampu menggantikan proporsi yang lebih tinggi daripada spesies semut
lainnya. Hal ini diketahui bahwa 50 persen spesies semut lebih sedikit ditemukan
di pulau-pulau yang diinvasi oleh A. gracilipes haplotype D.
Gambar 1 Ciri-ciri morfologi umum A. gracilipes (Wilson & Taylor 1967)
Reproduksi dan Dispersal
Banyak spesies semut membangun koloni dengan ratu tunggal. A.
gracilipes memiliki karateristik unik yaitu membangun superkoloni dengan
beberapa ratu, dan diketahui dapat membangun superkoloni hingga 300 ratu
didalamnya. Pada beberapa sarang diantaranya memiliki ukuran terbesar dari
setiap spesies semut di dunia, dan dapat meluas hingga lebih dari 150 hektar.
Kepadatan A. gracilipes dapat mencapai hingga 20 juta semut per hektar yang
telah tercatat di Christmas Island (Abbott et al. 2005: Lowe et al. 2000) dan
sekitar 5 juta per hektar di Seychelles (Haines & Haines 1978). Superkoloni yang
terbentuk bergantung pada tingkat agresi dan kerjasama antara sarang.
Semut pekerja memiliki siklus hidup 76-84 hari (Csurhes & Hankamer
2012) sedangkan ratu dapat bertahan hidup selama beberapa tahun (Walsh &
Walters 2010). Semut pekerja diproduksi sepanjang tahun, tetapi dengan jumlah
produksi yang berfluktuasi. A. gracilipes yang muncul mungkin mampu
berkembang biak melalui perkawinan saudara (Intranidal mating) tanpa menderita
depresi inbreeding sebagai heterozigositas tinggi yang dipertahankan pada pekerja
(Drescher et al 2007; Thomas et al 2009). Keturunan seksual diproduksi setiap
tahun tetapi pada umumnya 1-2 bulan sebelum musim hujan (Abbott et al. 2005).
Koloni berkembang dengan menggunakan proses yang dikenal sebagai “budding”,
yaitu satu atau beberapa ratu meninggalkan sarang secara bersama-sama dengan
beberapa pekerja untuk membentuk koloni baru (Csurhes & Hankamer 2012).
Budding merupakan sarana penyebaran yang relatif lebih lambat dibandingkan
penyebaran bersayap (ratu muda dan semut pejantan yang memiliki sayap). A.
8
gracilipes diketahui memiliki ketergantungan pada manusia sebagai mediator
dalam penyebaran untuk membentuk koloni yang lebih jauh. Persebaran melalui
aktivitas manusia seperti pertambangan, perdagangan antar wilayah bahkan
melalui barang bawaan menjadi salah satu media persebaran A. gracilipes menuju
wilayah lain (Csurhes & Hankamer 2012). Perkembangan koloni A. gracilipes
cukup luas di wilayah tropis (Wetterer 2005). Selain itu, Perkembangan koloni
yang dilaporkan telah menyebar 37-402 m per tahun di Seychelles (Holway et al.
2002) dan 1100 m per tahun di Pulau Christmas atau jika dikalkulasikan setara
dengan penyebaran rata-rata 3 m per hari (O'Dowd et al. 1999).
Makanan
A. gracilipes memiliki kisaran makanan yang luas, bersifat oportunistik
yang merupakan sifat umum yang dimiliki oleh kebanyakan spesies semut invasif
(GISD 2009). Spesies ini mampu memanfaatkan setiap sumberdaya yang
berpotensi menjadi makanan yang tersedia di alam dan mampu menjelajah daerah
yang luas untuk mendapatkan makanan. Makanan kaya protein yang diperlukan
untuk reproduksi ratu (O'Dowd et al. 1999) sedangkan karbohidrat diperlukan
untuk pertumbuhan larva dan pekerja. Selain itu, A. gracilipes juga sering
ditemukan bersimbiosis dengan kutu-kutuan yang dapat memberikan embun madu
sebagai sumber karbohidrat. Pasokan karbohidrat mungkin memainkan peran
penting dalam keberhasilan invasi A. gracilipes (O'Dowd et al. 2003).
Vertebrata dan invertebrata lain merupakan mangsa yang berperan sebagai
sumber makanan kaya protein. A. gracilipes dapat membunuh mangsa
invertebrata, atau vertebrata kecil, dengan menyemprotkan asam format.
Mekanisme penyemprotan asam format ini tidak membunuh target dengan
sendirinya, tetapi dapat menyebabkan kebutaan dan menyebabkan kematian
karena kelaparan (GISD 2009). Seperti banyak spesies semut lain, A. gracilipes
melemahkan hewan yang lebih besar seperti kepiting tanah, reptil kecil, mamalia
kecil dan burung hanya jika jumlah semut yang menyerang sangat tinggi dan jika
hewan-hewan yang diserang termasuk hewan-hewan yang rentan atau hewanhewan yang berjalan di wilayah superkoloni (Csurhes & Hankamer 2012).
Asal dan Persebarannya
A. gracilipes diyakini berasal dari daerah afrika (Wetterer 2005). Drescher
et al. (2007) menyatakan bahwa tidak bisa dikesampingkan berdasarkan pola
persebarannya bahwa A. gracilipes mungkin asli Asia Tenggara. Asal A.
gracilipes telah dikaburkan oleh sejarah panjang penyebarannya yang difasilitasi
oleh manusia, spesies ini dapat berpindah melalui kargo pada perkapalan maupun
melalui udara. Hingga saat ini, semut A. gracilipes ini secara teratur terdeteksi
dalam kontainer pengiriman dan angkutan lainnya dalam perpindahan lintas
wilayah maupun negara. A. gracilipes memiliki distribusi yang cepat dan meluas
serta mulai merambah negara-negara lain. Banyak negara di Asia tropis
disebutkan sebagai kisaran asal semut invasif ini, beberapa negara tersebut
diantaranya adalah Brunei, Kamboja, Cina, India, Indonesia, Malaysia, Myanmar,
Papua Nugini, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Taiwan, Thailand dan Vietnam,
serta bagian Afrika, termasuk Afrika Selatan dan Tanzania (Dar es
Salaam dan Zanzibar), Amerika Tengah dan Selatan (Brasil, Panama, Meksiko),
dan Australia (Wetterer 2005).
9
Habitat
Iklim optimal bagi A. gracilipes adalah iklim tropis, namun beberapa
populasi bertahan di iklim subtropis. Spesies ini melimpah di dataran rendah
tropis di Asia, dan pulau-pulau di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Perubahan iklim global diperkirakan akan meningkatkan berbagai kondisi
lingkungan yang menguntungkan bagi A. gracilipes pada garis lintang yang lebih
tinggi (Chen 2008). Habitat yang disukai meliputi daerah hutan di tepi sungai
yang lembab dan hutan tropis dataran rendah (Abbott et al. 2005). Di Australia
utara, A. gracilipes awalnya diyakini lebih memilih hutan hujan, tetapi penelitian
baru-baru ini menegaskan mereka dapat berkembang pada daerah berkontur kasar,
berbatu, dan daerah kering di Arnhem Land, Northern Territory (Csurhes &
Hankamer 2012). Kehadiran akasia dan tanaman lainnya yang memasok
karbohidrat yang berasal dari nektar bunga tampaknya menjadi pengaruh utama.
Beberapa referensi menyatakan bahwa spesies ini dapat bertahan hidup di padang
rumput (GISD 2009).
A. gracilipes biasanya menginvasi daerah yang lembab, ternaung, habitat
terganggu seperti lahan pertanian, khususnya agroforestri. Curah hujan yang
tinggi mungkin menjadi faktor penting yang menentukan distribusi, hal ini
berkaitan dengan reproduksi induk yang bergantung pada awal musim hujan
(Abbott et al. 2005). Sarang biasanya dibuat di dalam tanah, di celah dan retakan,
di bawah serasah daun dan bagian bambu di lantai hutan (GISD 2009). Di
Christmas Island, semut ini mudah mengambil alih liang kepiting merah dan juga
bersarang di dasar rongga daun kelapa yang jatuh, A. gracilipes diketahui pula
bersifat arboreal, bersarang di cekungan kanopi pohon dan tanaman epifit
(O'Dowd et al. 1999).
Ekosistem Kebun Raya Bogor
Ekosistem sebagai unit ekologi yang merupakan ruang lingkup yang luas
mengenai berbagai interaksi antara komponen biotik maupun abiotik didalamnya.
Ekosistem dapat dikatakan juga sebagai suatu tatanan kesatuan secara utuh dan
menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.
Ekosistem dalam ekologi tidak hanya melibatkan suatu sistem antara tingkah laku
(behavior) dari faktor-faktor biotik dan non biotik, tetapi melibatkan berbagai
sistem dalam aliran energi dan siklus materi (Begon et al. 2006). Dalam
ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang bersama-sama dengan
lingkungan fisik sebagai suatu sistem. Organisme akan beradaptasi dengan
lingkungan fisik baik secara langsung maupun tidak langsung (Campbell & Reece
2009).
Kebun Raya Bogor merupakan ekosistem campuran yang terdiri dari habitat
alami dan habitat buatan dengan berbagai komponen didalamnya yang secara
fluktuatif berubah secara cepat. Ekosistem buatan merupakan ekosistem yang
terbentuk dari hasil rekayasa manusia untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan
hidup penduduk yang jumlahnya terus meningkat (Resosoedarmo 1985).
Ekosistem buatan memiliki tingkat metabolisme yang tinggi sehingga butuh
sumber energi yang banyak. Kebutuhan materi juga tinggi dan tergantung dari
luar, serta memiliki pengeluaran yang eksesif seperti polusi dan panas. Dinamika
10
ekosistem campuran dengan berbagai komponen biotik dan abiotik didalamnya
yang senantiasa berubah juga berperan nyata terhadap komposisi populasi yang
menghuninya. Ekosistem Kebun Raya Bogor dipenuhi oleh aktivitas manusia,
tanaman liar dan beberapa jenis tumbuhan budidaya sebagai ruang hijau serta
beberapa hewan yang sebagian besar dipenuhi oleh hewan berukuran kecil.
11
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Pengamatan lapangan dilakukan di Kebun Raya Bogor meliputi pemetaan
posisi koloni menggunakan umpan madu dan eksplorasi sarang, koleksi spesimen
uji, uji agresi dan uji penemuan sumberdaya serta koleksi sampel analisis genetik.
Analisis DNA mikrosatelit meliputi kegiatan ekstraksi, Polymerase Chain
Reaction (PCR), dan analisis fragmen mikrosatelit dilakukan di Departement of
Animal Zoology, Georg-August-Universität Göttingen, Jerman. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Juli 2013 hingga bulan Juni 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu madu, alkohol 100%, botol koleksi, Fluon dan
bahan analisis genetik seperti EDTA, primer spesifik, dan buffer. Alat yang
digunakan meliputi GPS (global positioning system) Garmin 60CSx, kompas, plat
umpan, pinset, arena bioassay, ember, handcounter, pipet dan molecular analysis
tools.
Prosedur Penelitian
Pemetaan dan Penentuan Posisi Koloni
Posisi koloni ditentukan dengan menandai setiap umpan madu yang
digunakan menggunakan GPS. Umpan madu diletakkan pada setiap transek
berukuran 50 x 50 m selama 2 jam pada pukul 09.00 hingga 11.00 WIB di
seluruh wilayah Kebun Raya Bogor. Peletakan umpan madu dilakukan untuk
mendeteksi ada atau tidaknya A. gracilipes (Gambar 2). Pengamatan dilanjutkan
dengan observasi posisi sarang utama berdasarkan kepadatan aktivitas semut yang
tercatat pada plat umpan. Sarang yang ditemukan dijadikan sebagai asumsi awal
koloni A. gracilipes di Kebun Raya Bogor.
Gambar 2 Posisi peletakan umpan pada wilayah Kebun Raya Bogor
12
Uji perilaku (Aggression test)
Uji perilaku (uji agresi) dilakukan untuk mengidentifikasi batas-batas
koloni. Uji agresi dilakukan dengan objek semut pekerja dari kelompok sarang
yang terpisah untuk menentukan apakah mereka termasuk dalam koloni yang
sama atau berbeda (Drescher et al. 2007; Drescher et al. 2010). Pengujian yang
dilakukan berdasarkan rekomendasi Roulston et al. (2003), yaitu dengan
mengamati
interaksi yang
terjadi antara pekerja dari superkoloni
putatif pada arena pengujian yang terbuat dari plastik Polyethylene dengan tinggi
8 cm dan diameter 10 cm serta dilapisi dengan Fluon®TM untuk mencegah
spesimen uji melarikan diri. Arena pengujian diberi alas kertas HVS dan diganti
untuk setiap pengujian.
Semut dikumpulkan dengan terlebih dahulu meletakkan sarang buatan pada
sarang alami yang telah diidentifikasi. Sarang buatan terbuat dari PVC dengan
diameter 5 cm dan panjang 35cm (Gambar 3) dengan bagian dasar sarang diberi
tutup untuk memudahkan pada saat pengumpulan semut. Setiap sarang alami
yang ditemukan diletakkan 5 sarang buatan. Semut dikumpulkan dengan
membuka tutup pada bagian dasar sarang buatan dan dimasukkan ke dalam ember
yang telah dilapisi oleh Fluon®TM. Ember koleksi diberi kertas koran agar semut
dapat bersarang selama proses pengujian. Semut hasil koleksi yang tidak
digunakan dalam pengujian akan dikembalikan kembali ke sarang alaminya.
Gambar 3 Sarang buatan dalam koleksi A. gracilipes sebagai spesimen uji agresi
Agresivitas diamati dengan tiga indeks yaitu indeks agresi, indeks mortalitas
dan aggression latency. indeks agresi (AI) diamati dengan meletakkan semut dari
dua koloni yang berbeda ke dalam arena dengan rasio 5:5. Pengamatan dilakukan
terhadap interaksi yang terjadi selama 5 menit peletakan spesimen uji. Pengujian
menggunakan 10 ulangan untuk setiap kombinasi termasuk kontrol. Interaksi
dinilai menggunakan skoring dengan menggunakan kriteria: (1) Tidak ada
interaksi; (2) mengetukkan antenna; (3) menggigit satu sama lain; (4) menggigit
dan menyemprotkan asam format.
Indeks mortalitas (MI) menggunakan rasio semut yang sama (5:5) seperti
pada pola AI. Semut diletakkan pada arena sesuai dengan rasio yang ditentukan
dan setiap awal peletakan semut akan dilakukan penghitungan waktu
13
menggunakan stopwatch. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah semut yang
mati setiap interval 5 menit selama 1 jam dan menggunakan 10 ulangan. Indeks
mortalitas diperoleh dengan rumus MI = (y/2)/t50 (Drescher et al. 2007), dimana
y adalah jumlah individu yang mati di akhir pengamatan (60 menit) dan t50
adalah waktu ketika setengah dari jumlah individu (y/2) telah dibunuh.
Aggression latency (AL) dilakukan dengan menggunakan rasio semut 5:1
untuk setiap kombinasi pengujian. Semut uji diletakkan secara bersamaan pada
arena. Selanjutnya dilakukan penghitungan waktu yang diperlukan untuk
melakukan serangan/agresi pertama (tbite) serta waktu yang diperlukan untuk
membunuh semut kompetitor (tdead) selama 10 menit. Masing-masing kombinasi
pengujian menggunakan 10 ulangan. Jumlah kombinasi pengujian ditentukan dari
jumlah koloni potensial yang berhasil diidentifikasi melalui tahapan pemetaan dan
penghitungan kepadatan semut pada tiap plat umpan.
Uji Perilaku Penemuan Makanan
Uji perilaku penemuan makanan meliputi waktu penemuan makanan dan
pengamatan observatif terhadap perilaku semut pada plat umpan. Pengamatan
waktu penemuan makanan dilakukan dengan meletakkan masing-masing 2 plat
umpan madu pada jarak 20 meter dari lokasi sarang. Pengamatan dilakukan
terhadap waktu yang diperlukan oleh A. gracilipes untuk menemukan umpan
madu yang diletakkan dan dilakukan selama 60 menit untuk setiap umpan madu
yang diberikan. Pengamatan observatif terhadap perilaku semut diamati dengan
melihat perilaku semut pada saat menemukan makanan dan aktivitas yang terjadi
pada plat umpan selama 20 menit.
Analisis DNA
Semut pekerja yang berasal 5 koloni awal dikoleksi sebagai sampel dengan
menggunakan plat umpan. Masing-masing koloni diwakili oleh 5 titik sampel.
Sebanyak 8 individu pada setiap titik sampel dikoleksi dan disimpan dalam Etanol
99,8%. Total individu yang digunakan berjumlah 200 individu sampel. Sampel
kemudian ditransfer ke fasilitas laboratorium di Departement of Animal Zoology,
Georg-August-Universität Göttingen - Jerman dan dilakukan analisis genetik
DNA inti (mikrosatelit). Analisis mikrosatelit meliputi tahapan ekstraksi DNA,
Polymerase Chain Reaction (PCR), dan analisis produk PCR.
Ekstraksi DNA, Metode ekstraksi DNA pada dasarnya yaitu metode yang
digunakan untuk menghilangkan material-material penghambat seperti
polisakarida, protein, garam mineral dan material lain yang membatasi sensitivitas
reaksi isolasi DNA yang dilakukan (Plaza et al. 2003). DNA diekstraksi dengan
total 40 sampel (individu semut) per sarang menggunakan Puregene® DNA
Purification Kit (Gentra Systems) sesuai dengan rekomendasi penggunaan.
Ekstraksi DNA sampel dimulai dengan memasukkan masing-masing satu ekor
semut A. gracilipes dalam eppendorf 1.5 ml. Selanjutnya dilakukan penambahan
nitrogen cair hingga sampel membeku dan digerus menggunakan pistil hingga
halus. Selanjutnya dilakukan penambahan Cell Lysis Solution (CLS) yang
berfungsi untuk melisis sel yang mengandung DNA dan diinkubasi pada suhu 65 °
C selama satu jam.
14
Setelah melalui inkubasi selanjutnya sampel didinginkan pada suhu
ruangan dan ditambahkan larutan presipitasi protein yang berfungsi untuk
memisahkan protein (termasuk DNA) dari sisa lisis sel. Sampel divorteks selama
20 detik agar larutan dan sampel tercampur dengan merata. Selanjutnya sampel
didinginkan pada es selama 5 menit untuk mengoptimalkan proses presipitasi
protein dan dilanjutkan dengan sentrifugasi selama 5 menit pada 16,000 rpm.
Presipitasi DNA dilakukan dengan mengambil supernatan yang terbentuk
pada proses sebelumnya dan dipindahkan ke dalam tabung eppendorf baru yang
telah berisi 100 μl Iso (2-) Propanol yang berfungsi sebagai presipitan DNA.
Selanjutnya tabung eppendorf dibolak-balik sebanyak 50 kali dan disentrifugasi
pada 16,000 rpm selama 20 menit. Supernatan yang terbentuk dibuang dengan
hati-hati dan menyisakan lapisan pellet tipis pada dasar tabung reaksi. Pellet yang
terbentuk dicuci dengan 100 μl ethanol 70% dan dibolak-balik sebanyak 30 kali
serta dilanjutkan dengan sentrifugasi pada 16,000 rpm selama 3 menit. Supernatan
dibuang dengan hati-hati untuk menjaga kuantitas DNA yang berhasil diekstraksi.
Pellet dikeringan pada suhu ruang selama 1 jam.
Tahapan selanjutnya yaitu rehidrasi DNA yang dilakukan dengan
menambahkan larutan Hidrasi DNA pada pellet sebanyak 50 μl. Sampel DNA
hasil ekstraksi disimpan pada suhu -20 °C selama satu malam untuk melarutkan
pellet DNA yang terbentuk dan selanjutnya dipindahkan ke dalam tabung reaksi
0.5 ml. DNA hasil ekstraksi disimpan pada suhu -20 °C untuk digunakan dalam
tahap analisis selanjutnya.
Polymerase Chain Reaction (PCR), Polymerase Chain Reaction (PCR)
merupakan teknik perbanyakan DNA suatu organisme dengan menggunakan
bantuan enzim polymerase dan parameter suhu bersiklus (Smith 2009). Tujuan
dilakukannya PCR yaitu untuk meningkatkan kuantitas DNA hasil ekstraksi agar
dapat digunakan pada rangkaian analisis DNA selanjutnya. PCR yang dilakukan
pada penelitian ini menggunakan tujuh primer/lokus mikrosatelit polimorfik
(Ano1, Ano3, Ano 5, Ano6, Ano8, Ano10) sesuai dengan metode Feldhaar et al.
(2006) (Tabel 1).
Tabel 1
Lokus
Ano1
Ano3
Ano5
Ano6
Ano8
Ano10
Sekuens dan suhu annealing primer pada masing-masing lokus
mikrosatelit target (Felhaar et al. 2006)
Suhu
Sekuens Primer (5' - 3')
Annealing
(â—ĤC)
ACTATCGTTTCTCTCACTAGGTCGGGTCTTAAAATACAGAGC
57
TCTTATCGTGCCTATTTGCTCGAGCGCAAACATTGCTAAGATG
55
ACGTGAATATTCGCTTGGACCTCGGCTTCGCGTACTTCC
60
TGGTAGATTCCTTCTTATCGACAAAATAAATACCCGCTGC
51
TGCATTGGTTTCTACTTCTAGCACAATGATCGCTCTTCTAATTCC
62
ACATAATTGTGATATCTTACCTTTCCCTTGTTATCCGAC
52
Amplifikasi PCR dilakukan pada Biometra thermocycler dalam total
Volume reaksi 12.5μl yang terdiri dari template DNA, PCR-buffer, MgCl2, dNTP,
2.5μM dari masing-masing primer (primer forward dilabeli dengan fluorescent
dye IR-700) dan Taq DNA polimerase. Parameter siklus yang dilakukan adalah
15
sebagai berikut: denaturasi awal selama 3 menit pada 94° C, diikuti dengan 30
siklus dengan tahapan denaturasi pada suhu 94° C selama 40 detik, annealing
pada suhu 45° C selama 40 detik, dan ekstensi pada suhu 72° C selama 40 detik,
dan ekstensi akhir 3 menit pada 72° C (Feldhaar et al. 2006).
Analisis Produk PCR, Analisis produk PCR dilakukan dengan
menggunakan teknik spektrometri massa yang diaplikasikan dalam ABI genetic
Analyzer 3000. Spektrometri massa (MS) adalah teknik kimia analitik yang
digunakan dalam mengidentifikasi jumlah dan jenis bahan kimia yang terdapat
dalam sampel dengan mengukur rasio dan kelimpahan massa molekul terhadap
muatan ion pada fase gas. Pada prinsipnya teknik yang digunakan yaitu matrixassisted laser desorption/ionization (MALDI). Teknik ini memiliki 3 langkah
utama yaitu (1) pencampuran sampel dengan bahan matriks yang sesuai dan
diaplikasikan pada pelat logam; (2) Laser ditembakkan pada sampel yang memicu
terjadi ablasi dan desorpsi sampel dan material matriks; (3) Molekul-molekul
nukleotida yang terionisasi selanjutnya dideteksi berdasarkan massa molekul dan
diakselerasikan dengan spektrometri massa yang digunakan. Penelitian ini
menggunakan plat dengan jumlah 12 x 8 slot. Tiap slot berisi produk PCR yang
dihasilkan dengan menggunakan masing-masing primer berlabel fluorescence dan
bahan matriks. Plat selanjutnya ditransfer ke fasilitas laboratorium Genetika
Georg-August-Universitat Gottingen untuk dianalisis. Hasil analisis berupa data
fragmen mikrosatelit pada lokus yang ditargetkan. Setelah itu, ukuran masingmasing fragmen mikrosatelit akan digunakan untuk menghitung indeks struktur
populasi seperti analysis of molecular variance (AMOVA) dan Indeks Fiksasi
(FST)
Analisis Data
Data hasil pengujian agresi intraspesifik dianalisis menggunakan analysis of
variance (ANOVA) Kruskal-Wallis pada tingkat kepercayaan 95% menggunakan
perangkat lunak Statistica 6.0. Analisis diferensiasi genetik dan jarak genetik
menggunakan 1000 kali permutasi dilakukan menggunakan perangkat lunak
Arlequin 3.5. Analisis struktur populasi dilakukan dengan menggunakan analisis
kemiripan genetik (likelihood) yang diaplikasikan dalam perangkat lunak
Structure 2.3.4. Perhitungan proporsi keseimbangan Hardy-Weinberg dilakukan
menggunakan perangkat lunak Genalex 6.0 dengan rumus umum:
Heterozigositas yang diamati (Ho)
Dimana n adalah jumlah individu dalam populasi,
pada lokus target.
adalah alel individu
Heterozigositas yang diharapkan (He)
Dimana
adalah jumlah alel pada lokus target dan
alel pada lokus target.
adalah frekuensi alel dari
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Koloni dan Sebaran Habitat A. gracilipes di Kebun Raya Bogor
Kebun Raya Bogor merupakan ekosistem dengan habitat campuran yang
terdiri dari berbagai tipe habitat seperti hutan, rerumputan, sungai, dan habitat
perkotaan disekitarnya. Kompleksitas ekosistem Kebun Raya Bogor dapat
menjadi habitat bagi serangga seperti semut A. gracilipes. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa keberadaan semut A. gracilipes terpisah secara spasial pada
wilayah Kebun Raya Bogor dan tersebar pada berbagai tipe habitat. Hal ini
diketahui berdasarkan data semut A. gracilipes yang terperangkap oleh plat umpan
madu yang diletakkan pada seluruh area penelitian (Gambar 4).
Gambar 4 Plat umpan madu
Sebanyak 298 plat umpan madu yang diletakkan pada seluruh area Kebun
Raya Bogor (Gambar 5) untuk mendeteksi keberadaan A. gracilipes pada wilayah
studi.
Gambar 5 Posisi peletakan umpan pada wilayah Kebun Raya Bogor.
17
Keberadaan A. gracilipes tidak tersebar secara merata pada seluruh area,
namun hanya berada pada beberapa spot atau wilayah tertentu (Gambar 6).
Gambar 6 Keberadaan semut A. gracilipes pada wilayah Kebun Raya Bogor.
Persentase keberadaan A. gracilipes pada ekosistem Kebun Raya Bogor
berada pada kisaran 25% dari total area studi (Gambar 7). Hal ini menunjukkan
bahwa hanya tempat-tempat dengan kriteria tertentu yang menjadi pilihan bagi A.
gracilipes untuk membentuk sarang dan koloninya.
Gambar 7 Persentase keberadaan A. gracilipes di Kebun Raya Bogor
Kriteria penentuan koloni potensial didasarkan pada ukuran sarang dan
kelimpahan populasi A. gracilipes didalamnya. Sarang utama yang ditemukan
dikodekan sebagai koloni potensial dengan nama KRB 1, KRB 2, KRB 3, KRB 4
dan KRB 5. Posisi sarang utama / koloni potensial yang ditemukan terpisah cukup
jauh antara satu sarang dengan sarang yang lain, kecuali koloni potensial KRB 5
dan KRB 3 yang memiliki jarak yang cukup berdekatan (Gambar 8).
18
Gambar 8 Koloni potensial A. gracilipes yang ditemukan di Kebun Raya Bogor
Pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa terdapat beberapa sarang
dengan ukuran yang berbeda-beda dalam satu koloni potensial. A. gracilipes
diketahui memiliki susunan koloni dengan beberapa sarang yang dapat terpisah
satu sama lain (Drescher et al. 2011). Sarang utama yang memiliki ukuran serta
populasi yang lebih besar merupakan pusat koloni sedangkan sarang-sarang kecil
di sekitarnya yaitu anak-anak koloni baru yang merupakan hasil penyebaran
(budding) dari sarang utama (Csurhes & Hankamer 2012).
Observasi habitat di sekitar sarang utama dalam radius 50 meter
menunjukkan bahwa A. gracilipes lebih sering dijumpai pada lingkungan yang
lembab dan tidak terpapar oleh sinar matahari secara langsung seperti di bawah
pohon, di bawah tumpukan daun kering, di dalam rongga akar dan batang
tanaman bambu serta di bawah tumpukan sampah. Gruber et al. (2012)
menemukan bahwa A. gracilipes tersebar secara meluas pada wilayah Arnhem
Land, Australia dan menempati sarang yang bervariasi serta wilayah dengan
kepadatan populasi yang beragam. Di Arnhem Land, A. gracilipes ditemukan
pada daerah berkontur kasar, berbatu dan daerah kering (Csurhes & Hankamer
2012).
Keberadaan semut A. gracilipes pada area studi memiliki pola dan
preferensi habitat yang hampir sama yaitu lebih banyak dijumpai pada habitat
yang memiliki tanaman bambu. Tiga dari lima sarang yang ditentukan memiliki
vegetasi utama tanaman bambu. Tanaman bambu digunakan oleh A. gracilipes
sebagai tempat untuk bersarang karena memiliki ruang pada batang dan akar serta
memiliki penutupan kanopi yang luas. Semut ini memilih rongga tanaman bambu
sebagai sarang karena struktur tanaman bambu mendukung semut ini untuk
mempertahankan sarangnya dari spesies lain. Tidak seperti spesies semut lain
yang dapat membangun sarang sendiri, A. gracilipes hanya dapat menggunakan
tempat-tempat tertentu yang dapat dijadikan sebagai sarang seperti rongga pohon,
ruang dibawah tumpukan daun dan bahkan bersarang pada liang bekas sarang
hewan lain seperti liang kepiting merah di Christmas Island, Australia (O'Dowd et
al. 1999).
19
Agresi Intraspesifik
Agresi intraspesifik merupakan fenomena interaksi yang terjadi antara
organisme dalam satu spesies yang sama. Hal serupa juga terjadi pada seranggaserangga sosial seperti semut A. gracilipes. Pengujian terhadap agresi intraspesifik
ditujukan untuk mengetahui batas-batas antar koloni dari 5 sarang yang telah
diidentifikasi sebelumnya. Uji agresi menjadi asumsi awal dalam menentukan
jumlah koloni potensial A. gracilipes sesungguhnya yang terdapat dalam
ekosistem Kebun Raya Bogor berdasarkan perilaku yang diamati.
Uji agresi dilakukan menggunakan pipa PVC berlapis Fluon sebagai “arena”
pengujian dan dilengkapi dengan stopwatch pada masing-masing arena sebagai
penunjuk waktu pada setiap ulangan yang di berlakukan (Gambar 9A). Interaksi
yang terjadi pada masing-masing kombinasi sarang diamati berdasarkan jenis
indeks yang telah ditetapkan. Gambar 9B menunjukkan interaksi yang terjadi pada
semut pekerja yang berasal dari koloni potensial yang berbeda. Interaksi yang
muncul dapat berupa serangan langsung pada semut lawan dengan cara menggigit
dan menyemprotkan asam format. Selain itu interaksi lain yang terjadi yaitu
berupa aktivitas mengetuk-ngetukkan antena antar satu sama lain sebagai cara
mengenali anggota koloninya.
A
B
Gambar 9 Peralatan dan setup uji agresi (A), interaksi yang terjadi antar semut
pekerja pada berbagai sarang yang berbeda (B)
Indeks Agresi
Indeks agresi merupakan tingkat agresi yang terjadi diantara spesimen uji
yang dipaparkan dalam waktu dan rasio semut yang sama. Indeks ini diukur
menggunakan skor yang merepresentasikan tingkat agresi atau tingkah laku yang
terjadi pada spesimen uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan pola tingkah laku/tingkat agresi yang terjadi pada berbagai kombinasi
spesimen uji dari koloni potensial yang berbeda. Agresi dengan nilai 2.0 yang
terjadi pada kombinasi koloni potensial yang sama menunjukkan bahwa tidak
adanya aktivitas saling serang antara spesimen uji. Hal juga ini terjadi antara
koloni potensial KRB 4 dengan KRB 5 serta KRB 3 dengan KRB 5. Kondisi ini
mungkin mengindikasikan bahwa koloni potensial KRB 4 dan KRB 5 serta KRB
3 dan KRB 5 merupakan satu koloni yang sama. Namun agresi yang terjadi
diantara koloni potensial KRB 3 dan KRB 4 dengan nilai 3.0 ± 0.14 terkategori ke
dalam tipe agresif (Gambar 10).
20
Gambar 10 Indeks agresi spesimen uji pada berbagai kombinasi koloni potensial
(nilai tengah ± standar error; P <0.01 [nilai pvalue Kruskal-Wallis
pada keseluruhan hasil pengujian])
Hasil analisis menggunakan ANOVA Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa
terdapat beda nyata pada kombinasi koloni potensial yang diujikan. Agresi yang
terjadi dengan nilai indeks diatas 3.0 dikategorikan termasuk ke dalam tipe
agresif. Agresi koloni potensial KRB 1 terhadap KRB 2, KRB 4, dan KRB 5
menunjukkan bahwa KRB 1 memiliki tingkat agresi yang cukup tinggi terhadap
hampir seluruh koloni potensial yang ditemukan di Kebun Raya Bogor. Agresi
tertinggi terjadi antara KRB 2 dan KRB 5 dengan nilai indeks agresi 3.5 ± 0.16.
Indeks Mortalitas
Indeks mortalitas merupakan parameter yang menerangkan tingkat kematian
spesimen uji pada satuan waktu tertentu. Indeks mortalitas pada penelitian yang
telah dilakukan diukur pada setiap interval waktu 5 menit dan diakumulasi selama
satu jam (60 menit). Analisis menggunakan ANOVA Kruskal-Wallis
menunjukkan bahwa terdapat beda nyata pada perlakukan kombinasi koloni
potensial yang diujikan. Indeks mortalitas bervariasi antar perlakuan yang
diujikan. Kombinasi KRB 1 dan KRB 4 memiliki nilai indeks mortalitas tertinggi
dengan tingkat kematian 2.92 ± 0.74. Kondisi ini menjelaskan bahwa interaksi
saling serang yang terjadi pada kedua koloni potensial ini cukup intensif.
Fenomena yang sama pada pengamatan indeks agresi ditemukan pula pada
kombinasi KRB 3 dan KRB 5 serta KRB 4 dan KRB 5 dengan nilai indeks
mortalitas 0.0 ± 0.0 (Gambar 11).
21
Gambar 11
Indeks mortalitas spesimen uji pada berbagai kombinasi koloni
potensial (rata-rata ± standar error; P <0.01 [nilai pvalue KruskalWallis pada keseluruhan hasil pengujian])
Adanya fenomena ini mungkin disebabkan oleh KRB 3 dan KRB 4
merupakan koloni yang berasal dari penyebaran secara budding dari KRB 5.
Koloni potensial KRB 3 dan KRB 4 mengenali koloni KRB 5 sebagai bagian dari
koloni yang sama namun KRB 3 dan KRB 4 tidak mengenali satu sama lain
sebagai anggota koloni yang sama.
Pola pengenalan antar anggota koloni semut didasari oleh susunan senyawa
hidrokarbon pada kutikula yang dihasilkan oleh A. gracilipes (Suarez et al. 2002).
A. gracilipes mampu mengenali anggota koloninya melalui bau dan profil
kutikula hidrokarbon yang dideteksi melalui organ basiconic sensilla yang
terdapat pada antenna. Basiconic sensilla merupakan organ chemoreceptor yang
digunakan oleh serangga dalam mendeteksi kondisi kimia pada lingkungan
(Gullan & Cranston 2010). Tinggi rendahnya perilaku agresif sangat dipengaruhi
oleh profil hidrokarbon pada kutikula (Vander Meer & Morel 1998). Selain itu,
perilaku agresif juga dapat dipengaruhi oleh diet (Corin et al. 2007).
Aggression Latency
Aggression latency yang diamati bervariasi antar perlakuan kombinasi
koloni potensial yang diujikan. Nilai tbite terkecil terdapat pada kombinasi uji
koloni potensial KRB 1 dan KRB 2 dengan nilai 51.45 ± 3.72 detik. Hal ini
menunjukkan bahwa KRB 1 dan KRB 2 membutuhkan waktu yang sangat singkat
untuk mengenali dan mulai menyerang antar satu sama lain. Sedangkan nilai tbite
tertinggi terdapat pada masing-masing koloni yang diuji dengan sesamanya.
Selain itu kombinasi uji KRB 4 dan KRB 5 serta KRB 3 dan KRB 5 juga tidak
menunjukkan adanya agresi dalam interval waktu pengujian selama 10 menit
(Gambar 12).
22
Gambar 12 Aggression latency (Rata-rata ± Standar Error; P<0.01 [nilai pvalue
Kruskal-Wallis pada keseluruhan hasil pengujian]) pada koloni
potensial A. gracilipes di Kebun Raya Bogor (tbite: waktu yang
diperlukan untuk melakukan agresi/serangan pertama; tdead: waktu
yang diperlukan untuk membunuh semut kompetitor pada pengujian)
Nilai tdead 600 ± 0.0 menerangkan bahwa tidak ada semut uji yang mati
dalam interval waktu pengujian. Kombinasi uji antara koloni potensial KRB 1 dan
KRB 2 menunjukkan bahwa agresi tersebut terjadi paling efektif yang
diindikasikan melalui kemampuan membunuh spesimen uji (tdead) dalam waktu
yang paling singkat yaitu 570.25 ± 9.74. Hal ini menjelaskan bahwa agresi yang
terjadi antara koloni KRB 1 dan KRB 2 tergolong ke dalam agresi yang cukup
kuat.
Tidak adanya interaksi antar beberapa koloni uji menunjukkan bahwa
hilangnya penanda pengenalan terhadap anggota koloni sangat berpengaruh
terhadap perilaku agresif yang ditunjukkan. Hilangnya penanda pengenalan dapat
menyebabkan terjadinya penurunan level agresi. Hal ini terjadi pada spesies semut
invasif L. humile yang mengalami penurunan laju agresi karena hilangnya isyarat
pengenalan terhadap sesama anggota koloninya (Giraud et al. 2002). Fenomena
ini diketahui sebagai mekanisme potensial terhadap evolusi unikolonial pada
suatu spesies (Holway et al. 1998). Populasi unikolonial dapat terbentuk apabila
antar masing-masing koloni mampu untuk saling bekerja sama dan membentuk
struktur gabungan dari beberapa koloni. Steiner et al. (2007) menemukan bahwa
adanya diskriminasi terhadap anggota sarang merupakan tahap awal dalam
pembentukan populasi unikolonial. Potensi ini dapat terjadi karena adanya
kemungkinan tolerasi atas pertukaran pekerja antar sarang. Kerjasama pekerja
antar sarang dijelaskan oleh Helanterä et al. (2009) merupakan landasan penting
terbentuknya populasi unikolonial.
23
Karakteristik Penemuan Makanan
Sumberdaya kehidupan terutama makanan merupakan faktor fundamental
dalam siklus hidup suatu organisme, begitu pula pada semut invasif A. gracilipes.
A. gracilipes memiliki beberapa pola penemuan sumber makanan yaitu melalui
eksplorasi dan simbiosis dengan organisme lain. Semut ini memiliki pola
penemuan makanan yang unik dimana beberapa pekerja dalam jumlah sedikit
mulai mengeksplorasi suatu wilayah untuk menemukan sumber makanan.
Makanan yang ditemukan selanjutnya dieksploitasi dengan cara mengumpulkan
pekerja dari koloni yang sama dan dalam jumlah yang lebih banyak. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas penemuan makanan ini dilakukan
dengan waktu kurang dari 1 jam (Gambar 13). Kemampuan menemukan makanan
yang cukup tinggi pada A. gracilipes menjadikan spesies ini dapat bertahan lebih
lama pada suatu habitat. Dalam kondisi lingkungan yang mendukung, semut ini
dapat memperluas daerah sebaran koloninya pada habitat baru. Persebaran koloni
A. gracilipes yang luas menyebabkan sumberdaya yang berada di dalam wilayah
koloni dapat dengan mudah dimonopolisasi. Drescher et al. (2011) menemukan
bahwa A. gracilipes sangat unggul dalam penemuan dan monopolisasi
sumberdaya yang berada dalam wilayah superkoloninya.
Gambar 13 Waktu penemuan makanan pada koloni potensial A. gracilipes di
Kebun Raya Bogor
Aktivitas penemuan makanan dalam satu jam memperlihatkan sejumlah
semut A. gracilipes telah berada pada plat umpan dengan posisi mengelilingi
cairan madu (Gambar 14A). Madu yang diletakkan pada plat umpan diambil dan
disimpan pada bagian abdomen untuk selanjutnya dibawa menuju sarang. Apabila
A. gracilipes yang terdapat pada plat umpan diberi gangguan maka pola
mengelilingi umpan madu akan berubah menjadi pola berbentuk acak dan tidak
beraturan (Gambar 14B).
24
Gambar 14 Pola tingkah laku A. gracilipes dalam menemukan makanan tanpa
diberikan gangguan (A) dan setelah diberikan gangguan (B)
Selain itu diketahui bahwa setelah diberikan gangguan terhadap plat umpan,
semut ini terlihat lebih agresif dalam mempertahankan wilayah sumber makanan
yang mereka temukan. Hal ini diketahui terjadi pada spesies semut invasif lain
seperti L. humile (Human & Gordon 1999) and S. invicta (Calcaterra et al. 2008).
Keberadaan suatu koloni yang terdiri dari individu-individu dalam jumlah besar
menuntut adanya kemampuan yang baik dalam mempertahankan sumberdaya
yang ditemukan. Hal ini berkaitan erat dengan kelangsungan hidup koloninya
sehingga perilaku agresif tampaknya menjadi sebuah faktor penting dalam
bertahan hidup. Drescher et al. (2011) mengungkapkan bahwa perilaku agresif ini
mungkin menjadi penyebab terjadinya persaingan terhadap spesies lokal pada
habitat yang diinvasi oleh A. gracilipes.
Monopolisasi sumberdaya yang dilakukan oleh A. gracilipes pada wilayah
penelitian dipertegas dengan tidak ditemukannya spesies semut lain pada plat
umpan madu yang disebar disekitar sarang utama / pusat koloni. Drescher et al.
(2011) menemukan bahwa pada habitat terganggu A. gracilipes memiliki potensi
untuk menggeser keberadaan kelompok spesies lokal. Parr (2008) menjelaskan
bahwa dominasi salah satu spesies semut pada sumber makanan dapat mengontrol
kekayaan spesies semut pada tingkat kelompok. Keunggulan dalam sisi jumlah
dan agresivitas memberikan kesempatan yang lebih besar bagi A. gracilipes untuk
mengeksploitasi dan memonopoli sumberdaya yang ada.
Selain menemukan sumberdaya secara eksplorasi, A. gracilipes
mendapatkan makanan melalui hubungan saling menguntungkan dengan
organisme lain. Hasil pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa
terjadi hubungan simbiosis antara kutu tanaman dengan A. gracilipes (Gambar
15). Hubungan saling menguntungkan (mutualisme) merupakan salah satu bentuk
interaksi yang terbentuk sebagai cara untuk tetap bertahan pada suatu habitat.
25
Gambar 15 Hubungan mutualisme antara kutu tanaman dan A. gracilipes
Dalam hubungan mutialistik ini, semut memberikan perlindungan kepada
kutu tanaman dari serangan predator sedangkan kutu tanaman memberikan hasil
ekskresi berupa embun madu yang menjadi salah satu sumber karbohidrat bagi
semut (Buckley 1987; Borror et al. 1992). Namun diketahui bahwa simbiosis ini
memiliki dampak ekologi yang luas (Speight et al. 2008), diantaranya yaitu
kerusakan pada tanaman (Price 1997) dan secara dramatis merubah kelimpahan
dan perilaku predasi semut pada tanaman (Sharma & Sundararaj 2011).
Proporsi Keseimbangan Hardy-Weinberg (HWE)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa total terdapat 18 alel yang berasal dari
populasi A. gracilipes (200 individu sampel) di Kebun Raya Bogor yang terpisah
secara spasial ke dalam 5 koloni potensial yang berbeda. Keseluruhan jumlah alel
total didapat pada 5 lokus dari total 6 lokus mikrosatelit yang digunakan. Lokus
Ano8 tidak dapat didetaksi sebagai lokus monomorfik sehingga tidak dapat di
analisis sebagai fragmen mikrosatelit polimorfik. Jumlah alel per lokus bervariasi
antara 2 hingga 5 alel per lokus. Lokus Ano1 dan Ano3 memiliki alel terbanyak,
masing-masing 5 alel per lokus (Tabel 2).
Tabel 2 Keragaman genetik A. gracilipes di Kebun Raya Bogor.
Lokus
Na
HO
HE
Ano1
5
0.91014
0.55156
Ano3
5
0.99459
0.64492
Ano5
2
0.95216
0.49822
Ano6
2
1
0.5
Ano10
4
0.89973
0.54502
All
18
0.95100
0.54800
PHWE
< 0.05
< 0.05
0.092
< 0.05
0.145
< 0.05
Ket: Na: jumlah alel pada seluruh populasi; H O: Heterozigositas yang diamati; HE:
Heterozigositas yang diharapkan; PHWE, nilai probabilitas terhadap Keseimbangan HardyWeinberg (HWE).
26
Heterozigositas yang diamati (HO) berada pada rentang 0.89 hingga 1.00
dengan nilai keseluruhan HO= 0.95 sedangkan heterozigositas yang diharapkan
(HE) berada pada rentang 0.49 hingga 0.64 (keseluruhan HE = 0.54). Tiga dari
lima penanda mikrosatelit yang digunakan menunjukkan nilai yang signifikan
(P<0.05) terhadap hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Nilai tersebut
menjelaskan bahwa populasi A. gracilipes yang terdapat di Kebun Raya Bogor
telah mengalami penyimpangan dari hukum keseimbangan Hardy-Weinberg.
Sedangkan dua lokus lainnya (Ano5 dan Ano10) menunjukkan nilai yang tidak
signifikan terhadap yang berarti frekuensi alel pada lokus tersebut masih berada
dalam hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Hal ini menjelaskan bahwa
terdapat pengaruh-pengaruh yang menyebabkan terjadinya pergeseran
keseimbangan Hardy-Weinberg pada populasi A. gracilipes di Kebun Raya
Bogor. Faktor-faktor tersebut dapat berupa ukuran populasi yang sangat besar,
terjadinya mutasi, perkawinan tak acak, adanya seleksi dan aliran genetik pada
suatu populasi (Stern 1943). Untuk kondisi di Kebun Raya Bogor, kemungkinan
besar pengaruh yang mungkin terjadi adalah adanya perkawinan yang terjadi
secara tidak acak (perkawinan antar sesama anggota koloni). Hal ini dipertegas
dengan karakteristik koloni A. gracilipes yang bersifat polydomy. Polydomy
merupakan suatu bentuk koloni pada semut dimana secara sosial masih saling
berhubungan namun memiliki sarang yang terpisah (Hölldobler & Wilson 1977).
Fenomena ini mungkin berkaitan dengan fakta bahwa spesies semut pada tipe
koloni ini tidak memiliki kemampuan untuk terbang sehingga hubungan antar
sarang hanya terbentuk melalui jejak pekerja (Debout et al. 2007). Sifat ini
mengindikasikan bahwa kemampuan untuk menemukan pasangan kawin yang
berasal dari luar koloni lebih kecil sehingga potensi perkawinan tidak acak yang
terjadi antar sesama lebih tinggi jika dibandingkan dengan spesies semut yang
memiliki penyebaran bersayap. Hal ini memperkuat dugaan bahwa adanya
perubahan genetik pada A. gracilipes sehingga tidak berada dalam keseimbangan
Hardy-Weinberg mungkin disebabkan oleh adanya perkawinan yang terjadi secara
tak acak. Sifat polydomy diketahui juga terdapat pada beberapa spesies semut
invasif lain seperti L. humile (Jaquiery et al. 2005) dan Pheidole megacephala
(Fournier et al. 2009).
Diferensiasi Genetik pada A. gracilipes di Kebun Raya Bogor
AMOVA tiga level populasi menunjukkan adanya diferensiasi genetik yang
rendah pada level antar individu dalam sarang (FIND-SARANG = - 0.81771, P>0.05).
Nilai negatif yang ditunjukkan pada level individu dalam sarang menunjukkan
adanya kelebihan heterozigot. Drescher et al. (2007) menemukan adanya
kelebihan heterozigot yang cukup besar pada level intrakoloni A. gracilipes di
Sabah, Malaysia. Kelebihan heterozigot terjadi karena A. gracilipes mungkin
mampu berkembang biak melalui perkawinan antar sesama anggota koloni
(Intranidal mating) tanpa mengalami depresi inbreeding sehingga heterozigositas
dapat dipertahankan (Drescher et al. 2007; Thomas et al. 2009). Pada dasarnya
fenomena Inbreeding menghasilkan keturunan homozigot baik dominan ataupun
resesif. Akumulasi sifat resesif homozigot yang mengkontrol suatu keturunan
sebagai dampak negatif dari terjadinya perkawinan antar sesama
27
menyebabkan terjadinya penurunan kebugaran dan kemampuan reproduksi dan
dispersal yang dikenal sebagai depresi inbreeding (Jiménez et al. 1994). Namun
pada A. gracilipes, mungkin terdapat mekanisme tertentu pada perkawinan sesama
dimana keturunan yang dihasilkan tidak mengalami depresi inbreeding sehingga
heterozigositas tetap dapat dipertahankan.
Diferensiasi genetik yang lebih tinggi terdapat pada antar sarang dalam
koloni baik pada koloni awal (5 koloni sebelum uji agresi) dengan nilai 0.04925,
Pvalue <0.05 dan koloni yang telah dipisahkan berdasarkan hasil uji agresi (3
koloni) dengan nilai 0.05575, P<0.05. Selain itu diferensiasi genetik pada level
koloni dalam keseluruhan populasi juga menunjukkan nilai yang lebih tinggi
(0.02287, P<0.05 dan 0.01831, P<0.05) jika dibandingkan dengan variasi genetik
yang terdapat pada level individu di dalam sarang (Tabel 3).
Tabel 3 Diferensiasi populasi yang diestimasi menggunakan 5 lokus mikrosatelit
dalam tiga level AMOVA.
5 Koloni (Sebelum Uji Agresi)
Lokus
3 Koloni (Setelah Uji Agresi)
FIND-
FSARANG-
FKOLONI-
FIND-
FSARANG-
SARANG
KOLONI
POPULASI
SARANG
KOLONI
FKOLONIPOPULASI
Ano1
-0.68001
0.02301
0.00058
-0.68001
0.02512
-0.00297
Ano3
-0.82639
0.17543
0.06739
-0.82639
0.19515
0.0578
Ano5
-0.90912
-0.00033
0.00012
-0.90912
-0.00010
-0.00024
Ano6
-1.00000
0
0
-1.00000
0
0
Ano10
-0.69214
0.01324
0.02941
-0.69214
0.02546
0.02162
All
-0.81771
0.04925*
0.02287*
-0.81771
0.05755*
0.01831*
Ket: * : Pvalue <0.05
Hal ini menunjukkan bahwa sebaran diferensiasi genetik yang ada pada
populasi A. gracilipes di Kebun Raya Bogor tidak tersebar secara merata pada
seluruh tingkat populasi. Ketidakmerataan diferensiasi genetik antar level populasi
juga ditemukan pada A. gracilipes yang terdapat di Sabah, Malaysia (Drescher et
al. 2007).
Jarak Genetik (FST) pada Koloni Potensial A. gracilipes
Nilai jarak genetik (FST) antar koloni potensial di Kebun Raya Bogor
melalui uji menggunakan 1000 kali permutasi menunjukkan bahwa nilai FST
secara keseluruhan yaitu 0.030 (Pvalue = 0.001). Nilai ini menunjukkan bahwa
antar subpopulasi A. gracilipes yang tersebar di Kebun Raya Bogor memiliki
diferensiasi genetik yang kecil atau dengan kata lain memiliki kemiripan susunan
genetik yang tinggi. Semakin kecil jarak genetik yang diperoleh maka semakin
mirip karakter genetik yang terdapat pada sampel yang diujikan. Jarak genetik
pada koloni potensial A. gracilipes di Kebun Raya Bogor menunjukkan nilai
tertinggi didapat pada kombinasi uji koloni KRB 4 dan KRB 5 (FST = 0.063,
Pvalue = 0.004). Sedangkan nilai terendah berada pada kombinasi uji koloni KRB
3 dan KRB 4 (FST = 0.008, Pvalue = 0.167) (Tabel 4).
28
Tabel 4 Nilai jarak genetik (FST) pada 5 koloni potensial menggunakan 1000 kali
permutasi
Pasangan Koloni
FST
P-value
KRB1-KRB 2
0.012
0.11
KRB1-KRB 3
0.021
0.049
KRB1-KRB 4
0.019
0.049
KRB1-KRB 5
0.021
0.045
KRB2-KRB 3
0.03
0.034
KRB2-KRB 4
0.013
0.119
KRB2-KRB 5
0.059
0.006
KRB3-KRB 4
0.008
0.167
KRB3-KRB 5
0.053
0.003
KRB4-KRB 5
0.063
0.004
TOTAL
0.03
0.001
Secara keseluruhan nilai jarak genetik (FST) antar masing-masing koloni
potensial berada pada kisaran 0.008 hingga 0.063. Nilai tersebut menunjukkan
bahwa masing-masing koloni potensial A. gracilipes di Kebun Raya Bogor
memiliki kemiripan genetik yang tinggi atau dengan kata lain memiliki
keragaman genetik yang rendah. Keragaman genetik yang rendah (FST rendah)
juga ditemukan pada spesies semut invasif L. humile (Jaqueiry et al. 2005).
Kondisi ini umumnya terjadi pada koloni semut yang memiliki pola superkoloni
polygyny – polydomy dalam skala besar (Debout et al. 2007). Rendahnya
diferensiasi genetik yang ada kembali merujuk kepada tingginya potensi
perkawinan sesama yang terjadi pada suatu koloni. Tidak adanya transfer gen dari
koloni/populasi lain mungkin menjadi penyebab adanya kemiripan genetik yang
tinggi pada suatu koloni yang berujung pada terjadinya isolasi secara genetik.
Korelasi Antara Agresi dan Jarak Genetik (FST)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara nilai
indeks agresi (AI) dan indeks mortalitas (MI) walaupun secara statistik tidak
berbeda secara signifikan (r2 = 0.62, P >0.05). Pada uji agresi ditemukan bahwa
koloni potensial yang memiliki indeks agresi yang tinggi juga menunjukkan nilai
indeks mortalitas yang tinggi pula walaupun tidak selalu konstan. Dalam
penelitian ini, beberapa hasil pengamatan menunjukkan bahwa adanya bukti yang
mengarah pada hubungan yang kuat antara indeks agresi dan indeks mortalitas
walaupun diketahui tidak terjadi secara konsisten. Namun demikian, nilai indeks
agresi berkorelasi negatif terhadap waktu yang diperlukan untuk melakukan
serangan (Tbite) dan waktu yang diperlukan untuk membunuh semut lawan (Tdead)
(Tabel 5). Hal ini berarti secara keseluruhan menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat agresi maka waktu yang diperlukan untuk menyerang (Tbite) dan
membunuh (Tdead) semut lawan menjadi lebih singkat.
29
Tabel 5 Koefisien korelasi antara indeks agresi, indeks mortalitas, Tbite, Tdead dan
jarak genetik (FST) pada 5 koloni potensial A. gracilipes di Kebun Raya
Bogor
AI
MI
Tbite
MI
0.62ns
Tbite
-0.93ns
-0.61ns
Tdead
-0.74ns
-0.35ns
0.48*
Fst
-0.16ns
-0.15ns
0.52ns
Tdead
-0.36ns
Ket : ns = tidak signifikan pada taraf alpha 5 % (P>0.05)
* = signifikan pada taraf alpha 5 % (P<0.05)
Korelasi positif ditemukan pada uji korelasi antara Tbite dan Tdead yang
secara statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (r2 = 0.48,
P<0.05). Hal ini berarti semakin singkat waktu yang diperlukan untuk menyerang
(Tbite) maka semakin singkat pula waktu yang diperlukan untuk membunuh semut
lawan pada pengujian (Tdead). Korelasi bernilai negatif ditemukan pada jarak
genetik (FST) terhadap indeks mortalitas, indeks agresi dan nilai Tdead. Nilai
korelasi antara FST dan Tbite menunjukkan adanya korelasi positif (r2 = 0.52,
P>0.05) walaupun secara statistik tidak signifikan.
Struktur Populasi A. gracilipes di Kebun Raya Bogor
Nilai kemiripan data genetik (likelihood) [LnP(D)] menunjukkan bahwa
nilai [LnP(D)] tertinggi terdapat pada K = 2 (-2032.83), sedangkan nilai
kemiripan data genetik dengan standar deviasi terkecil didapat pada K = 1 (2037.06). (Gambar 16). Nilai K merupakan asumsi jumlah subgrup yang
digunakan dalam analisis menggunakan perangkat lunak STRUCTURE (Pritchard
et al. 2000).
Gambar 16 Rata-rata logaritma kemiripan data (likelihood) [LnP(D)] dengan nilai
K = 1 sampai 5. Garis vertikal menunjukkan nilai standar deviasi.
Analisis dilakukan dengan menggunakan 1000 kali pengulangan
30
Individu-individu sampel yang digunakan dikelompokkan ke dalam masingmasing kelompok (cluster) berdasarkan kemiripan susunan genetik pada lokus
target yang digunakan. Pengelompokan individu sampel menggunakan program
Structure menunjukkan bahwa pada K = 2 beberapa individu berkelompok ke
dalam cluster hijau dengan beberapa menunjukkan nilai probabilitas yang cukup
tinggi (>90%). Pada K = 5 sebagian besar individu tidak berkelompok ke dalam
kelompok (cluster) spesifik kecuali kelompok sampel pada KRB 4 yang
berkelompok ke dalam kelompok yang sama (cluster biru) (Gambar 17).
Gambar 17 Pengelompokan individu A. gracilipes di Kebun Raya Bogor ke
dalam kelompok genetik menggunakan nilai asumsi subgroup (K) =
1 – 5. Tiap bar merupakan individu sampel yang dianalisis
Koloni potensial yang ditemukan tidak dapat dikelompokkan secara spesifik
ke dalam cluster tertentu karena rendahnya variasi genetik yang terdapat diantara
individu- individu sampel (FST rendah). Kesulitan pengelompokan individu ke
dalam cluster yang spesifik kemungkinan juga disebabkan oleh lokus Ano 8 yang
tidak dapat dianalisis karena memiliki setengah data hilang. Lokus Ano 8
merupakan lokus polimorfik paling beragam pada A. gracilipes (Gruber et al.
2012). Ketidakhadiran lokus Ano 8 mungkin memberikan pengaruh tertentu
terhadap klasifikasi individu ke dalam kelompok koloni (cluster) spesifik.
Rendahnya variasi genetik yang ada mungkin disebabkan oleh koloni potensial
yang ditemukan di Kebun Raya Bogor berasal dari koloni tetua yang sama namun
mulai memisahkan diri sebagai koloni-koloni yang independen.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa jumlah koloni sesungguhnya
berdasarkan data genetik masih belum dapat diketahui secara pasti. Keragaman
genetik yang rendah menjadi penyebab individu-individu dalam populasi A.
gracilipes di Kebun Raya Bogor sulit untuk dikelompokkan ke dalam
subgroup/koloni tertentu. Kondisi ini terjadi pada A. gracilipes di Arnhem Land
31
yang memiliki kemiripan karakteristik genetik yang mengarah kepada superkoloni
tunggal (Gruber et al. 2012). Gruber et al. (2012) juga menemukan bahwa
kemungkinan superkoloni tersebut berasal dari satu sumber yang sama walaupun
memiliki populasi yang heterogen. Pada beberapa pengujian terhadap A.
gracilipes di Arnhem Land, terdapat adanya diferensiasi genetik yang lebih tinggi
dan diikuti dengan skor agresi yang tinggi pula. Kondisi ini mirip dengan
populasi A. gracilipes di Kebun Raya Bogor yang menunjukkan adanya agresi
pada beberapa koloni potensial, namun juga terdapat adanya tolerasi (non-agresif)
pada beberapa koloni potensial yang ditemukan. Dengan rendahnya keragaman
genetik dan dinamika agresi yang terjadi mungkin mengindikasikan bahwa koloni
potensial yang ada menunjukkan perilaku superkoloni tunggal walaupun belum
dapat dibuktikan secara pasti. Kondisi yang sama ditemukan juga pada spesies
semut invasif L. humile yang juga menunjukkan rendahnya variasi genetik dan
perilaku agresi pada banyak superkoloni yang ditemukan (Giraud et al. 2002).
Koloni A. gracilipes di Kebun Raya Bogor kemungkinan merupakan koloni
yang berada pada tahap awal proses divergensi populasi. Drescher et al. (2010)
mengajukan skenario mengenai divergensi superkoloni A. gracilipes yang dimulai
dengan fragmentasi koloni dan diikuti oleh segregasi spasial, proses ini
menghasilkan diferensiasi populasi dari waktu ke waktu. Mekanisme ini
mengasumsikan bahwa terjadinya perkawinan sesama (intranidal mating) dapat
mencegah efek homogenisasi aliran gen (Gruber et al. 2012). Cara reproduksi A.
gracilipes belum dapat dikonfirmasi secara pasti, namun hubungan antar sarang
yang relatif tinggi dalam spesies tersebut menunjukkan bahwa perkawinan yang
terjadi secara intranidal (Drescher et al. 2010). Dengan mengacu kepada skenario
tersebut, seiring dengan waktu koloni A. gracilipes di Kebun Raya Bogor
mungkin akan mengalami segregasi spasial membentuk koloni independen yang
mengalami isolasi genetik dan perilaku, seperti yang telah ditemukan pada A.
gracilipes di Kalimantan (Drescher et al. 2010).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi tidak dapat dikelompokkannya
individu – individu sampel ke dalam kelompok genetik spesifik adalah adanya
kemungkinan kesalahan penentuan sarang yang dijadikan sebagai sampel analisis
genetik. Sarang yang telah diprediksi merupakan bagian dari salah satu koloni
tertentu namun kenyataannya merupakan milik koloni lain. Kondisi ini dapat
mempengaruhi hasil pengelompokan individu A. gracilipes ke dalam kelompok
(cluster) genetik spesifik. Kesalahan dalam asumsi penentuan sarang dalam
analisis genetik mengarah kepada pola genetik hasil yang berbeda sehingga perlu
dilakukan observasi secara intensif untuk menentukan batas-batas koloni yang
sesungguhnya.
32
SIMPULAN
Semut invasif A. gracilipes tersebar ke dalam beberapa tipe habitat di Kebun
Raya Bogor. Jumlah koloni/subpopulasi A. gracilipes sesungguhnya di Kebun
Raya Bogor belum dapat ditentukan secara pasti berdasarkan penanda mikrosatelit
yang digunakan. Terdapat kemungkinan bahwa koloni – koloni A. gracilipes yang
ditemukan di Kebun Raya Bogor merupakan koloni baru yang berasal dari koloni
tetua/asal yang sama namun mulai terpisah sebagai koloni independen.
Agresivitas intraspesifik yang diamati bervariasi pada 3 indeks parameter yang
digunakan dan menunjukkan adanya toleransi pada beberapa koloni potensial.
Sifat agresif A. gracilipes juga terlihat pada pola penemuan makanan pada saat
diberikannya gangguan pada aktivitas pengumpulan makanan. Analisis struktur
populasi A. gracilipes di Kebun Raya Bogor menunjukkan bahwa koloni-koloni
yang ditemukan tidak dapat dikelompokkan ke dalam kelompok genetik spesifik
karena terdapat adanya variasi/keragaman genetik yang rendah. Keragaman
genetik yang rendah diasumsikan terjadi karena adanya mekanisme perkawinan
sesama antar anggota koloni A. gracilipes sehingga tidak terjadi transfer gen dari
koloni lain.
33
DAFTAR PUSTAKA
[GISD] Global Invasive Species Database. 2009. Anoplolepis gracilipes, Global
Invasive Species Database, compiled by O’Dowd, D [internet]. Tersedia
pada: www.issg.org/database/species/ecology.asp?si=110.
[USDA Forest Service] United States Departement of Agriculture Forest Service.
2003. Framework for a Forest Service strategy for invasive species. United
States.
Abbott K, Harris R & Lester P. 2005. Invasive ant risk assessment: Anoplolepis
gracilipes. Landcare Research contract report for Biosecurity New Zealand,
Ministry of Agriculture and Forestry.Wellington. New Zealand.
Abbott KL, Greaves SNJ, Ritchie PA, Lester PJ. 2007. Behaviourally and
genetically distinct populations of an invasive ant provide insight into
invasion history and impacts on a tropical ant community. Biological
Invasions 9: 453–463
Bahagiawati, Utami DW, Buchori D. 2010. Pengelompokan dan Struktur Populasi
Parasitoid Telur Trichogrammatoidea armigera pada Telur Helicoverpa
armigera pada Jagung Berdasarkan Karakter Molekuler. J. Entomol. Indon.,
April 2010, Vol. 7, No. 1, 54-65
Begon M, Townsend CR, Harper JL. 2006. Ecology: From individuals to
ecosystems. Oxford (UK). Blackwell Publishing.
Bolton B. 1994. Identification guide to the ant genera of the world. Cambridge
(US): Harvard University Press.
Borror CA. Triplehorn and N.F. Johnson. 1992. An Introduction to the Study of
Insect. Philadephia (US): W.B. Saunders.
Briggs J, Dabbs K, Holm M, Lubben J, Rebarber R, Tenhumberg B, RiserEspinoza D. 2010. Structured population dynamics: An Introduction to
integral modelling. Draft. 83 (4): 1 – 14.
Buckley RC. 1987. Interactions involving plants, Homoptera, and ants. Annu. Rev.
Ecol. Syst. 18: 111-135.
Calcaterra LA, Livore JP, Delgado A, Briano JA. 2008. Ecological dominance of
the red imported fire ant, Solenopsis invicta, in its native range. Oecologia.
156: 411–421.
Campbell NA, Reece JB. 2009. Biology. USA: Pearson Benjamin Cummings.
Chen Y. 2008. Global potential distribution of an invasive species, the yellow
crazy ant (Anoplolepis gracilipes) under climate change. Integrative
Zoology. 3: 166–175.
Corin SE, Abbott KL, Ritchie PA, Lester PJ. 2007. Large scale unicoloniality: the
population and colony structure of the invasive Argentine ant (Linepithema
humile) in New Zealand. Insectes Sociaux. 54: 275–282.
Csurhes S, Hankamer C. 2012. Pest animal risk assessment: Yellow crazy antAnoplolepis gracilipes. Department of Employment, Economic
Development and Innovation. Biosecurity Queensland. Queensland (AU).
Queensland Government.
Debout G, Schatz B, Elias M, McKey D. 2007. Polydomy in ants: what we know,
what we think we know, and what remains to be done. Biological Journal of
the Linnean Society. 90: 319–348.
34
Drescher J, Blüthgen N and Feldhaar H. 2007. Population structure and
intraspecific aggression in the invasive ant species Anoplolepis gracilipes in
Malaysian Borneo. Molecular Ecology. 16:1453-1465.
Drescher J, Blüthgen N, Schmitt T, Bühler J, Feldhaar H. 2010. Societies drifting
apart? Behavioural, genetic and chemical differentiation between
supercolonies in the Yellow Crazy Ant Anoplolepis gracilipes. Plos One.
5:e13581.
Drescher J, Feldhaar H, Bluthgen N. 2011. Interspecific Aggression and Resource
Monopolization of the Invasive Ant Anoplolepis gracilipes in Malaysian
Borneo. Biotropica. 43(1): 93–99
Ellner SP, Guckenheimer J. 2006. Dynamic Models in Biology. New Jersey (US) :
Princeton University Press.
Elton CS. 2000. The Ecology of Invasions by Animals and Plants. Chicago (US).
University of Chicago Press.
Ewens WJ. 2004. Mathematical Population Genetics. Second Edition. New York
(US): Springer-Verlag.
Feldhaar H, Drescher J, Blüthgen N. 2006. Characterization of microsatellite
markers for the invasive ant species Anoplolepis gracilipes. Molecular
Ecology Notes. 6:912-914.
Fournier D, Biseau JC, Aron S. 2009. Genetics, behaviour and chemical
recognition of the invading ant Pheidole megacephala. Molecular Ecology.
18: 186–199.
Giraud T, Pedersen JS, Keller L. 2002. Evolution of supercolonies: the
Argentine ants of southern Europe. Proceedings of the National Academyof
Sciences USA. 99: 6075–6079
Goldstein D B, SchlÓ§tterer C. 1999. Microsatellites: Evolution and Applications.
Oxford (UK). Oxford University Press.
Gruber MAM, Hoffman BD, Ritchie PA, Lester PJ. 2012. Recent behavioural and
population genetic divergence of an invasive ant in a novel environment.
Diversity Distrib. 18: 323–333
Gullan PJ dan Cranston PS. 2010. The Insects: an Outline of Entomology. US:
Wiley-Blackwell Publishing.
Guo SW, Thompson EA. 1992. Performing the exact test of Hardy-Weinberg
proportion for multiple alleles. Biometrics. 48 (2): 361–372
Haines IH, Haines, JB. 1978. Pest status of the crazy ant, Anoplolepis longipes
(Jerdon) (Hymenoptera: Formicidae) in the Seychelles. Bulletin of
Entomological Research. 68: 627–638.
Harris R, Berry J. 2010. Anoplolepis gracilipes information sheet, Landcare
Research Manaaki Whenua. Biosecurity [internet]. Tersedia pada:
www.landcareresearch.co.nz/research/biocons/invertebrates/ants/invasive_a
nts/anogra_info.asp.
Hartl D. 2007. Principles of Population Genetics. Sinauer Associates : 95. ISBN
978-0-87893-308-2.
Helantera H, Strassmann JE, Carrillo J, Queller DC. 2009. Unicolonial ants:
where do they come from, what are they and where are they going?. Trends
in Ecology and Evolution. 24: 341–349.
Hölldobler B, Wilson EO. 1977. The number of queens: an important trait in ant
evolution. Naturwissenschaften. 64: 8–15.
35
Holway DA, Lach L, Suarez AV, Tsutsui ND, Case TJ. 2002. The causes and
consequences of ant invasions. Annual Reviews Ecol. Syst. 33:181-233.
Holway DA, Suarez AV, Case TJ. 1998. Loss of intraspecific aggression in the
success of a widespread invasive social insect. Science. 282: 949–952.
Human KG, Gordon DM. 1999. Behavioral interactions of the invasive Argentine
ant with native ant species. Insectes Sociaux. 46: 159–163.
Jaquiery J, Vogel V, Keller L. 2005. Multilevel genetic analyses of two European
supercolonies of the Argentine ant, Linepithema humile. Molecular
Ecology. 14: 589–598.
Jiménez JA, Hughes KA, Alaks G, Graham L, Lacy RC. 1994. An experimental
study of inbreeding depression in a natural habitat. Science. 266 (5183)
Kolar CS, Lodge DM. 2001. Progress in invasion biology: predicting invaders.
Trends in Ecology & Evolution. 16 (4) : 199 - 204
Lockwood J, Hoopes M, Marchetti M. 2007. Invasion Ecology. United States
(US). Blackwell Publishing.
Lowe S, Browne M, Boudjelas S, De Poorter M. 2000. 100 of the world’s worst
invasive alien species: A selection from the Global Invasive Species
Database (GISD). Aliens. 12: 12pp.
Macdonald C, Loxdale HD. 2004. Molecular markers to study population
structure and dynamics in beneficial insects (predators and parasitoids).
International journal of pest management. 50 (3):215-224. [Internet].
Hugh_Loxdale
Tersedia
pada:
http://www.researchgate.net/profile/
/publication/248980260_Molecular_markers_to_study_population_structure
_and_dynamics_in_beneficial_insects_%28predators_and_parasitoids%29/f
ile/3deec51e7847989638.pdf
Mooney HA, Hobbs RJ. 2000. Invasive species in a changing world. New York
(US). Island Press
O’Dowd DJ, Green PT, Lake PS. 1999. Status, impact, and recommendations for
research and management of exotic invasive ants in Christmas Island
National Park. Environment Australia, Darwin, Northern Territory.
[Artikel].
O’Dowd DJ, Green PT, Lake PS. 2003. Invasional “meltdown” on an oceanic
island. Ecology Letters. 6: 812–817.
Parr CL. 2008. Dominant ants can control assemblage species richness in a South
African savanna. J. Anim. Ecol. 77: 1191–1198.
Plaza GA, Upchurch R, Brigmon RL, Whitman WB, Ulfig K. 2004. Rapid DNA
Extraction for Screening Soil Filamentous Fungi Using PCR Amplification.
Polish Journal of Environmental Studies [Internet]. 13 (3): Tersedia pada:
http://www.pjoes.com/pdf/13.3/315-318.pdf
Price PW. 1997. Insect Ecology. 3th ed. New York (US): John Wiley & Sons.
Pritchard JK, Stephens M, Donnelly P. 2000. Inference of population structure
using multilocus genotype data. Genetics. 155: 945–959
Resosoedarmo RS. 1985. Pengantar Ekologi. Bandung (ID). Remaja Karya
Robinson WH. 2005. Handbook of Urban Insects and Arachnids. United
Kingdom. Cambridge University Press.
Roulston THG. Buczkowski, Silverman J. 2003. Nestmate discrimination in ants:
effect of bioassay on aggressive behavior. Insectes Sociaux. 50:151-159.
36
Sanders NJ, Barton KE, Gordon DM. 2001. Long-term dynamics of the
distribution of the invasive Argentine ant, Linepithema humile, and native
ant taxa in northern California. Oecologia. 127 : 123-130.
Sharma G, Sundararaj R. 2011. Association of Ants and Honeydew Producing
Sucking Pests in Bangalore Provenance of Sandal (Santalum album Linn.).
Biological Forum - An International Journal. 3(2): 62-64
Smith F. 1857. Catalogue of the hymenopterous insects collected at Sarawak,
Borneo; Mount Ophir, Malacca; and at Singapore, by A. R. Wallace.
[Internet].
[diunduh
2014
Oct
13].
Tersedia
pada:
https://archive.org/stream/ants_02588#page/n14/mode/1up.
Smith JE. 2009. Biotechnology: Fifth edition. Cambridge (US). Cambridge
University Press.
Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 2008. Ecology of Insect: Concepts and
Application. Oxford (UK): John Willey & Sons.
Steiner FM, Schlick-Steiner BC, Moder K, Stauffer C, Arthofer W, Buschinger A,
Espadaler X, Christian E, Einfinger K, Lorbeer E, et al. 2007. Abandoning
aggression but maintaining self-nonself discrimination as a first stage in ant
supercolony formation. Current Biology. 17: 1903–1907.
Stern C. 1943. The Hardy–Weinberg Law. Science. 97: 137–138
Stewart PLCF, Brown LR, Richards G, Bernard A. 2010. An alternative baiting
method of Yellow Crazy Ants (Anoplolepis gracilipes) on Christmas Island,
Indian Ocean. Tersedia pada: http://www.antcafe.com/An-AlternativeControl-Method-of-Yellow-Crazy-Ants.pdf
Suarez AV, Holway DA, Liang D, Tsutsui ND, Case TJ. 2002. Spatiotemporal
patterns of intraspecific aggression in the invasive Argentine ant. Animal
Behaviour. 64: 697–708.
Templeton AR. 2006. Population Genetics and Microevolutionary Theory. New
Jersey (US): John Wiley & Sons
Thomas ML, Becker K, Abbott K, Feldhaar H. 2009. Supercolony mosaics: Two
different the invasions by the yellow crazy ant, Anoplolepis gracilipes, on
Christmas Island, Indian Ocean. Biological Invasions. 12:677-687.
Vandermeer R, Morel L. 1998. Nestmate recognition in ants. Pheromone
communication in social insects: ants, wasps, bees, and termites (ed. by R.
VanderMeer, M. Breed, M. Winston and K. Espilie). Colorado (US):
Westview Press.
Walsh A & Walters A. 2010. Collaborative response to yellow crazy ant outbreak
in Darwin, NT: a case study. Proceedings of the 3rd Queensland Pest
Animal Symposium Gladstone. 2010 August 3–5.
Wetterer JK. 2005. Worldwide distribution and potential spread of the longlegged ant, Anoplolepis gracilipes (Hymenoptera: Formicidae).
Sociobiology. 45 : 77–97.
Wilson EO, Taylor RW. 1967. The ants of Polynesia (Hymenoptera: Formicidae).
Pacif. Ins. Mon. 14: 1-109.
37
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 20 April 1989 di Pangkalpinang, Propinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Penulis merupakan putra pertama dari dua
bersaudara pasangan Achmad Badarudin dan Jumarni.
Penulis merupakan lulusan SMAN 1 Pangkalpinang pada tahun 2007. Pada
tahun yang sama, penulis melanjutnya studi program Strata 1 Jurusan
Agroteknologi, Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi – Universitas Bangka
Belitung dan lulus pada tahun 2011 dengan predikat kelulusan cumlaude. Penulis
sempat mengajar sebagai staf dosen luar biasa di Jurusan Agroteknologi –
Universitas Bangka Belitung pada tahun 2011 – 2012. Penulis melanjutkan
pendidikan magister sains di Program Studi Entomologi Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor melalui program Beasiswa Unggulan DIKTI tahun 2012
sebagai calon dosen.
Download