BAB 1 PENDAHULUAN Kehamilan pada wanita dengan penyakit ginjal kronis (CKD) relatif jarang. Dari kesehatan besar organisasi pemeliharaan di barat daya Amerika selama 1994-1997, 4% wanita dengan CKD yang melahirkan anak didefinisikan sebagai kreatinin serum (Scr) ≥1.2 mg / L (kreatinin 1 mg / L = 88.4μmol / L) 2 atau glomerular laju filtrasi (GFR) <90ml / min / 1.73m2.1 Ada beberapa kemungkinan alasan kelangkaan CKD pada kehamilan. Pertama, populasi hamil biasanya muda dan relatif sehat. Kedua, wanita hamil tidak secara rutin diskrining untuk fungsi ginjal. Ketiga, banyak wanita hamil dengan insufisiensi ginjal substansial atau gagal ginjal mengalami infertilitas. Nefropati diabetik umumnya penyebab paling umum dari CKD selama kehamilan. Namun, hampir semua jenis CKD dapat ditemukan dalam kehamilan, termasuk glomerulonefritis kronis, lupus eritematosus sistemik, refluks nefropati, penyakit ginjal polikistik, dan penyakit tubulointerstitial. 1 Dalam meninjau hal ini, penting untuk membedakan antara penyakit ginjal primer dan penyakit sistemik yang mempengaruhi ginjal. Berdasarkan data penelitian yang tersedia menunjukkan bahwa tingkat gangguan fungsi ginjal adalah penentu utama hasil kehamilan. Selain keparahan CKD, ada tidaknya hipertensi dan proteinuria juga menjadi faktor prognostik yang penting. 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic kidney Disease (CKD) 2.1.1 Definisi Proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap seperti dialisis atau transplantasi ginjal. 2 2.1.2 Kriteria CKD2 2.1.3 Patofisiologi CKD Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas CKD adalah albuminuria, hipertensi, hipergikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium paling dini CKD, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal GFR masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada GFR sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, nokturia, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada GFR dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual muntah dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi salun napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain kalium dan natrium dan kalium. Pada GFR dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang serius, dan pasien sudah memerlukan terpi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antar lain dialisis atau transplantai ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. 2 2.2 CKD dalam kehamilan 2.2.1 Perubahan Anatomi Ginjal dan Saluran Kemih3 • Volume, berat dan ukuran ginjal bertambah selama kehamilan – Panjang +1cm – Kaliks renalis, pelvis renalis mengalami dilatasi (kehamilan 6-10 minggu sampai 3-4 bulan postpartum) – Teori: Akibat dari perubahan uterus yang membesar, relaksasi otot polos akibat progesteron • Ureter memanjang, melekuk, berpindah ke laterl dan dilatasi à terjadi refluks air kemih • Hiperplasia dan hipertrofi otot dinding ureter dan kaliks • Berkurangnya tonus otot dan saluran kemih • Kandung kemih lebih ke anterior dan superior • Otot kandung kemih mengalami hipertrofi karena pengaruh estrogen • Kapasitas kandung kemih meningkat hingga 1 liter, karena efek relaksasi dari hormon progesteron. 2.2.2 Perubahan Fisiologi Ginjal dan Saluran Kemih3 • Peningkatan aliran plasma renal (RPF) – Sejak trimester kedua – 50-80% diatas kadar perempuan tidak hamil 137ml/menit) – Semakin tua kehamilan à semakin menurunkan aliran darah ginjal à penurunan kadar kreatinin serum dan urea nitrogen darah) • Peningkatan laju filtrasi glomerulus (GFR) Terjadi selama fase luteal siklus menstruasi dan terus meningkat setelah konsepsi, kemudian mencapai puncak 50% dari tidak hamil pada trimester II. Sampai usia kehamilan 36 minggu, lalu terjadi penurunan 15-20% • Perubahan reabsorpsi glukosa, sodium, asam amino, asam urat tubular 2.2.3 Tingkat Keparahan CKD dan Hubungannya dengan Kehamilan1 2.2.2.1 CKD ringan (serum kreatinin <1.3 mg/dl atau GFR 60-89 ml/min/1.73m2) Pada 1/3 wanita hamil dengan CKD ringan mengalami perburukan hipertensi dan proteinuria dan preeklampsia. Tingkat kejadian prematuritas, BBLR, dan kematian janin lebih tinggi pada wanita hamil dengan CKD ringan daripada wanita dengan kehamilan normal. Data terbaru mengatakan wanita hamil dengan CKD ringan mempunyai prognosis fetal yang baik (98%) dimana sekitar 65% kehamilan tidak mempunyai komplikasi fetal seperti BBLR, IUGR atau kelahiran prematur. 2.2.2.2 CKD sedang (serum kreatinin 1.3-1.9 mg/dl atau GFR 30-59 ml/min/1,73m2) Komplikasi yang terjadi pada wanita hamil yang mempunyai CKD sedang lebih tinggi daripada CKD ringan. Angka kejadian kelahiran prematur lebih tinggi (50-55%) dibandingkan dengan rata-rata angka kejadian 10% diantara wanita hamil di negara berkembang sama seperti mortalitas fetal yang juga lebih tinggi (diatas 6%) dan 34-37% bayi adalah kecil masa kehamilan (KMK). 2.2.2.3 CKD berat (serum kreatinin >1.9 mg/dl atau GFR 15-29 ml/min/1.73m2) Komplikasi yang terjadi pada wanita hamil yang mempunyai CKD berat lebih tinggi dibandingkan CKD ringan dan CKD sedang. CKD berat berhubungan dengan proteiuria berat dan edema yang berat yang mungkin menunjukkan edema plasenta dan berdampak pada kelahiran prematur (73%) dan BBLR (57%). Studi Cunningham et al mengatakan bahwa, 82% wanita hamil yang mempunyai CKD berat mengalami hipertensi kronik dan 64% mengalami preeklampsia. Risiko untuk mengalami progresi menjadi gagal ginjal paling tinggi ketika serum kreatiin >1.9 mg/dl pada awal kehamilan. 2.2.4 Dampak CKD dalam kehamilan Selama kehamilan secara fisiologi ginjal meningkatkan produksi eritropoetin, vitamin D aktif dan renin. Wanita hamil dengan CKD kurang mampu melakukan adaptasi renal yang diperlukan pada kehamilan normal yang seringkali berhubungan dengan anemia normositik normokrom, mengurangi ekspansi volume plasma dan defisiensi vitamin D.4 Selain itu, hipertensi maternal, proteinuria dan infeksi traktus urinarius yang rekuren sering terjadi pada wanita hamil dengan CKD. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut besifat individual.4 Walaupun wanita hamil dengan CKD mempunyai peningkatan risiko untuk morbiditas maternal dan perinatal, banyak kehamilan dengan CKD mempunyai hasil yang memuaskan. Morbiditas maternal yang berhubungan dengan CKD antara lain preeklampsia, fungsi renal yang memburuk dan gagal ginjal, kelahiran prematur, anemia, hipertensi kronik dan kelahiran secara cesarea.5 Trevisian dan asosiasinya melaporkan bahwa 40% wanita hamil yang CKD mempunyai preeklampsia, 48% mengalami anemia dan 56% mengalami hipertensi kronik. Selain itu angka kejadian kelahiran prematur 60% dan kelahiran secara sectio cesarean yaitu 52%.6 Dalam penelitian Bar dan asosiasinya dari 46 kehamilan diantaranya 38 kehamilan dengan CKD ringan, 22% mengalami preeklampsia, 22% kelahiran prematur dan 13% pertumbuhan intrauterine terhambat dan kelahiran sectio cesarea sekitar 24%.7 Dalam studi Jones dan Hayslett diantara 82 wanita hamil, 67 diantaranya memiliki CKD sedang sampai berat, tingkat prematuritas menjadi 59%, pertumbuhan janin terhambat adalah 37%, kelahiran secara sectio cessarea sekitar 59% dan angka bertahan hidup bayi sekitar 93%.8 2.2.5 Penatalaksanaan CKD dalam Kehamilan Semua wanita dengan CKD harus dirujuk pada awal kehamilan ke dokter kandungan dan spesialis lainnya yang diperlukan, untuk merencanakan kehamilan berikutnya. Namun, dengan beberapa pengecualian, aspek paling penting dari pengelolaan CKD pada kehamilan berhubungan dengan mengelola gejala klinis bukan jenis penyakit ginjal. Pemantauan fungsi ginjal maternal secara rutin (kreatinin serum dan serum urea), tekanan darah, urin midstream (untuk infeksi), proteinuria, dan USG (untuk mendeteksi obstruksi urologi) harus dilakukan untuk mengidentifikasi perubahan patologis dan memungkinkan intervensi tepat waktu untuk mengoptimalkan hasil perinatal dan maternal.4 2.2.5.1 Sebelum kehamilan Idealnya, semua wanita dengan CKD harus diinformasikan akan risiko fungsi ginjal jangka panjang mereka dan janin sebelum mereka hamil. Wanita dengan CKD sering menunjukkan gejala amenorea tapi masih mungkin sesekali ovulasi sehingga hamil. Penggunaan kontrasepsi dapat dipertimbangkan jika tidak ingin hamil. Asam folat 400 µg harus diberikan per hari secara teratur sebelum konsepsi sampai usia kehamilan 12 minggu. Dosis rendah aspirin (50-150 mg/hari) harus dimulai pada awal kehamilan untuk mengurangi risiko pre-eklampsia. Obat fetotoksik sebagai ACE inhibitor and ARB harus dihentikan sebelum kehamilan jika tersedia obat yang efektivitasnya yang sama atau sesegera kehamilan dikonfirmasi.4 Penggunaan obat ACE-inhibitor dan ARB dapat menyebabkan hipocalvaria, gagal ginjal, oliguria dan kematian pada janin.5 Wanita hamil dengan CKD harus melakukan konseling tentang kehamilan untuk minimalisasi risiko pertumbuhan janin terhambat (PJT) , prematur dan abortus. Wanita hamil dengan CKD harus diperhatikan oleh dokter kandungan dan nefrologis. Wanita hamil dengan CKD jarang diketahui selama kehamilan dikarenakan tidak secara rutin memeriksakan fungsi renal. Sebaliknya, wanita hamil yang telah diketahui memiliki CKD dan disfungsi renal sebelum kehamian harus diinformasikan bahwa penyakit ginjal nya akan mengalami progresi selama kehamilan, khusunya pada CKD sedang dan berat.1 Fertilitas dan juga hasil akhir dari kehamilan tergantung derajat keparahan CKD, CKD ringan dan berat akan berdampak pada kelahiran prematuritas. Selain itu, wanita hamil yang memiliki serum kreatinin lebih dari 2.0 mg/dl harus dikonsulkan karena mereka memiliki kesempatan untuk mengalami progresi menjadi gagal ginjal selama 1 tahun postpartum.1 Jika adanya sindroma nefrotik, kehamilan harus ditunda sampai pengobatan yang sesuai telah diberikan.Wanita hamil dengan nefropati diabetik harus melakukan evaluasi nefropati dan mencapai kontrol glikemik optimal sebelum merencakan kehamilan. Kehamilan menjadi sesuatu yang berbahaya pada wanita hamil dengan nefropati diabetik yang mana memiliki serum kreatininnya diatas 1,5 sampai 1,7 mg/dl atau GFR <60ml/min/1,73m2, ditambah lagi jika adanya hipertensi yang tidak terkontrol. Pada wanita hamil yang nefritis lupus, konsepsi lebih baik direncanakan pada periode stabil atau pada remisi stabil paling kurang 6 bulan.1 2.2.5.2 Selama Kehamilan1 CKD termasuk dalam kondisi yang berbeda, dan pemantauan selama kehamilan harus disesuaikan dengan tingkat keparahan penyakit dan komplikasi. Secara umum, gejala klinis dan laboratorium harus diperiksa lebih sering selama kehamilan berlangsung atau jika perubahan pada perburukan fungsi ginjal. Perawatan spesialis harus dimulai pada awal kehamilan, tetapi CKD ringan dapat dilakukan oleh dokter pelayanan primer. Wanita hamil dengan CKD membutuhkan frekuensi berkunjung prenatal untuk pemantauan ibu dan janin lebih sering, tergantung pada beratnya insufisiensi ginjal mereka. Dianjurkan untuk memeriksan pasien setiap 2 minggu sampai usia kehamilan 30-32 minggu dan kemudian setiap 1 minggu pada sisa kehamilan berikutanya. Sebagai tambahan, tes laborat prenatal rutin harus dinilai dan kemudian diulang setidaknya setiap 4-6 minggu. Evaluasi ini tidak terbatas pada serum kreatinin, serum urea nitrogen, elektrolit, albumin, kolesterol, hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit, urinalisis, dan kultur urin saja melainkan perlu juga pemeriksaan urin 24 jam untuk menilai volume, klirens kreatinin, dan protein. Pemeriksaan ini dilakukan untuk memantau perburukan fungsi ginjal atau pengembangan preeklampsia. Indikasi untuk biopsi ginjal selama kehamilan masih kontroversial. Tidak ada data ilmiah yang menjadi dasar tertentu rekomendasi klinis mengenai biopsi ginjal selama kehamilan. Oleh karena itu, dokter-dokter spesialis lebih memilih untuk menunda biopsi ginjal untuk periode postpartum karena komplikasi yang terkait yaitu hematuria, hematoma perirenal dan nyeri pinggang. 2.2.5.3 Dialisis selama Kehamilan5 Wanita hamil yang melakukan dialisis harus diinformasikan kemungkinan fertilitas dan risiko kehamilan, terrmasuk komplikasi maternal dan fetal. Dibandingkan dialisis, transplantasi ginjal tampaknya menjadi pilihan yang lebih baik untuk prognosis maternal dan fetal dibandingkan dengan dialisis darah. Indikasi untuk melakukan dialisis akut selama kehamilan adalah sama dengan wanita yang tidak hamil.Indikasi tersebut adalah: 1. Asidosis Metabolik Refraktori berat 2. Retensi toksin 3. Ketidakseimbangan elektrolit khususnya hiperkalemia refraktori berat 4. Kelebihan volume yang mengarah pada gagal jantung atau edema pulmo 2.2.5.3 Pelayanan Postpartum1 Perubahan fisiologis pada kehamilan akan menghilang dalam waktu tiga bulan, bahkan kadang-kadang lebih lama.Selama waktu itu, harus dilakukan pemantauan ketat keseimbangan cairan, fungsi ginjal, tekanan darah, dan ulasan lebih lanjut dari terapi obat yang diperlukan. Wanita yang baru memiliki onset proteinuria terkait dengan pre-eklampsia harus diikuti sampai proteinuria menghilang. Menyusui seharusnya dianjurkan pada wanita hamil dengan CKD. Terdapat informasi yang membingungkan terkait beberapa obat imunosupresif seperti cyclosporine dan tacrolimus-yang terdapat dalam ASI, namun prednisolon, azathioprine, dan ACE-inhibitor hampir tidak terdeteksi dalam ASI. Hal ini masih belum jelas apakah manfaat menyusui bertentangan dengan penyerapan obat imunosupresif pada neonatal. Biasanya diberikan dukungan untuk ibu menyusui, yang tetap membutuhkan obat imunosupresif. BAB 3 KESIMPULAN Meskipun wanita hamil dengan CKD mengalami peningkatan risiko dalam hal morbiditas maternal dan perinatal, banyak kehamilan yang demikian diharapkan mempunyai hasil yang memuaskan. Sebaliknya hasil yang tidak diharapkan pada kehamilan dengan CKD berhubungan dengan ada tidaknya hipertensi dan proteinuria serta derajat insufisiensi ginjal. Komplikasi maternal yang biasa terjadi adalah preeklampsia, hipertensi kronis yang memburuk, kerusakan fungsi ginjal dan stadium akhir penyakit ginjal, meningkatnya risiko sesar, kelahiran prematur, dan anemia. Sedangkan untuk komplikasi janin meliputi pertumbuhan janin terhambat, prematuritas, dan peningkatan morbiditas perinatal dan kematian. Skrining dan perawatan prenatal dapat dilakukan oleh dokter kandungan yang seharusnya memperhatikan risiko kehamilan dalam CKD. Konseling manajemen dari komplikasi yang terpilih dan masalah mengenai waktu dan cara persalinan dapat diatur oleh dokter kandungan. Penting untuk konsultasi dengan nefrologis untuk pertimbangan atau inisiasi dialisis dalam kedua kasus akut maupun kronis. Wanita hamil dengan CKD harus merencanakan kehamilan sesuai dengan etiologi penyakitnya dan derajat insufisiensi ginjal. 4 BAB 4 DAFTAR PUSTAKA 1. Bili E, Tsolakidis D, Stangou S, Tarlatzis B. Pregnancy management and outcome in women with chronic kidney disease. Hippokratia 2013, 17, 2:163-168. 2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V 2009, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 3. Prawirohardjo, S., Wiknjosastro, H., Sumapraja, S. Ilmu kandungan. Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono; 2007. 4. Williams D, Davison J. Chronic kidney disease in pregnancy. BMJ January 2008. volume 336 hal 211-214. 5. Susan M. Ramin, MD, Alex C. Vidaeff, MD, Edward R. Yeomans, MD, and Larry C. Gilstrap III, MD. Chronic Renal Disease in Pregnancy. American College of Obstetric and Gynecologic vol 108 no 6. Desember 2006) 6. Trevisan G, Ramos JG, Martins-Costa S, Barros EJ. Pregnancy in patients with chronic renal insufficiency at Hospital de Clinicas of Porto Alegre, Brazil. Ren Fail 2004;26:29– 34. 7. Bar J, Orvieto R, Shalev Y, Peled Y, Pardo Y, Gafter U, et al. Pregnancy outcome in women with primary renal disease. Isr Med Assoc J 2000;2:178–81. 8. Jones DC, Hayslett JP. Outcome of pregnancy in women with moderate or severe renal insufficiency [published erratum appears in N Engl J Med 1997;336:739]. N Engl J Med 1996;335:226–32.